Agar Flores Bebas Rabies
Oleh Frans Anggal
Direktur RSUD Maumere Dokter Asep Purnomo mengibaratkan penanggulangan rabies di Flores dan Lembata (Floresta) sebagai pemadam kebakaran yang kehabisan air. Dalam emailnya Selasa 18 Agustus 2009, ia menjelaskan maksudnya. Kita keliru dalam fokus. Kita fokus pada pengobatan, bukan pada pencegahan. Padahal, pencegahan lebih baik daripada pengobatan.
Bayangkan saja seperti yang diibaratkan itu. Kita tidak mencegah kebakaran. Karena tidak dicegah, kebakaran pun terjadi. Dan ketika sudah terjadi, kita tidak bisa pula memadamkannya karena kita kehabisan air. Seperti itulah penanggulangan rabies. Pencegahan tidak berjalan dengan baik. Ketika kasus terjadi, penanganannya pun tidak dilakukan dengan baik karena kita selalu kehabisan vaksin anti rabies (VAR).
Kenapa selalu kehabisan? Dana terbatas, kata Dokter Asep. Di Sikka, misalnya, APBD-nya Rp400 miliar, PAD-nya hanya Rp20 miliar. Jadi, kemandiriannya hanya 5%. Miskin. Sementara, VAR mahal, Rp150 ribu per suntik. Harus empat kali suntik. Total per orang Rp600 ribu. Di sisi lain, yang harus diurus bukan hanya rabies. Masih banyak isi “supermarket penyakit” di NTT: malaria, TBC, HIV, frambusia, filariasis, demam berdarah, antraks, dll.
Di daerah kita yang miskin, mengandalkan VAR semata merupakan kekeliruan. Selain mahal, VAR itu upaya pengobatan (kuratif). Padahal, ada cara yang jauh lebih ekonomis, efektif, dan efisien. Yaitu upaya pencegahan (preventif). Ironinya, yang ini justru kita abaikan.
Kalau ada yang digigit anjing, kita sibuk minta VAR. Langkah kita hanya itu dan berhenti di situ. Kenapa tidak mengatur supaya tidak ada anjing rabies yang menggigit? Caranya? Pertama, upayakan tidak ada anjing rabies. Maka: anjing harus divaksinasi. Kalau tidak (mau) divaksinasi ya dieliminasi. Kedua, upayakan tidak ada anjing yang menggigit. Caranya: anjing diikat atau moncongnya ditutup.
Sudahkah upaya pencegahan ini dilaksanakan secara konsisten, berkesinambungan, dan tuntas? Belum! Buktinya, sudah satu dasawarsa lebih, rabies belum hilang-hilang dari Flores. Patah tumbuh, hilang berganti. Hilang di sini, muncul di sana. Tiap kabupaten akan mendapat giliran, seperti ‘arisan rabies’ saja.
Inilah yang justru menjadi inti keprihatinan Bupati Nagekeo Johanes Samping Aoh ketika melontarkan desakan perlunya gerakan bersama memberantas rabies, seperti diwartakan Flores Pos Kamis 27 Agustus 2009. Rabies hanya bisa lenyap dari Flores kalau ada gerakan bersama. Apalah artinya kalau satu kabupaten memberantas, sementara kabupaten lain membiarkan. “Perlu gerakan bersama melakukan vaksinasi. Jika ada HPR yang tidak tertib, dibasmi saja.”
Dengan menyebutkan vaksinasi HPR (hewan penular rabies), Bupati Aoh menekankan pentingnya pencegahan ketimbang pengobatan. Pendapatnya nyambung dengan pandangan Dokter Asep. Lebih jauh, Bupati Aoh menggarisbawahi satu hal penting. Pencegahan mesti dilakukan sebagai gerakan bersama. Ia menamakannya ‘gerakan vaksin bersama’.
Gerakan ini , kata Bupati Aoh, harus berlangsung sporadis dan berkelanjutan. Dimulai dari Kabupaten Lembata hingga Kabupaten Mabar. Untuk itu, semua kepala daerah perlu duduk bersama. Gagasan yang bagus.
Kalau semua kepala daerah mau duduk bersama, ini awal yang baik. Tapi kalau masing-masing suka terpasung dalam ‘ghettoisme’ daerah, sinyalemen Velens Daki-Soo pun terbukti. Masyarakat Flores adalah ‘masyarakat yang terpecah’ (disintegrated community). Aduh!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 29 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar