27 Agustus 2009

Potret Ende, Potret Indonesia

Perayaan HUT Ke-46 RI di Ende

Oleh Frans Anggal

Perayaan HUT Ke-64 Kemerdekaan RI 17 Agustus 2009 di Kabupaten Ende meriah. Di kota Ende digelar aneka kegiatan menjelang dan saat hari puncak. Ada defile, apel bendera, marching band, panjat pinang, dll.

Dibanding tahun sebelumnya, perayaan kali ini lebih semarak. Mungkin karena serba-baru. Bupati dan wabupnya baru. Sekdanya baru. Para kepala SKPD-nya baru. Muka baru, semangat baru, gaya baru. Meskipun, masalah pokoknya tidaklah baru. Masih yang itu-itu juga.

Dalam pidato pelantikannya Selasa 7 April 2009, Bupati Don Bosco M Wangge menyebut masalah pokok itu ada tiga. Rendahnya tingkat kesejahteraan. Rendahnya mutu pendidikan. Rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Sudah 64 tahun RI, Ende masih ‘serba-rendah’. Belum sepenuhnya merdeka.

Dalam keadaan ‘serba-rendah’ itulah masyarakat menyambut HUT kemerdekaan. Meriah. Semarak. Mereka terhibur sejenak. Namun tidak semua dari mereka. Banyak yang masih terpuruk dalam derita. Salah satunya, seorang perempuan. Ia janda, 23 tahun, yang tertahan di RSUD Maumere karena tak ada uang untuk biaya rumah sakit.

Warga Ende ini penderita HIV/AIDS. Dirawat di RSUD Maumere sejak 6 Agustus. “Saya sudah minta untuk pulang, tapi petugas belum izin karena biaya administrasi tidak ada. Saya tidak punya uang untuk membayar administrasi.” Itu ia katakan ke wartawan Flores Pos Wall Abulat, Selasa 18 Agustus, sehari setelah HUT kemerdekaan, yang di kabupaten asalnya, Ende, dirayakan semarak meriah.

Apa gerangan yang dapat ia katakan kalau kepadanya diberi tahu bahwa di ibukota kabupatennya HUT proklamasi diramaikan dengan defile, marching band, panjat pinang, dll? Mungkin, seraya menarik napas panjang, ia hanya mendesahkan kata-kata seperti diucapannya kepada sang wartawan: “Saya merasa sendirian di sini.”

Inilah ‘potret kecil’ 64 tahun Indonesia merdeka. Namun ia menceritakan hal yang sama seperti diperlihatkan banyak ‘potret besar’ di Tanah Air. Dari Sabang sampai Marauke, ceritanya selalu berulang, seperti dilukiskan Daoed Joesoef dalam sebuah renungan HUT kemerdekaan.

Di Aceh, warga setempat hanya menjadi penonton bagaimana gas dan minyak buminya disedot terus-menerus oleh perusahaan asing. Di Kalimantan, suku Dayak dipersilakan menonton hutan alamnya dibabat, dan ketika mereka menebang sendiri pohon untuk keperluan hidupnya, mereka dikejar seperti pencuri di atas tanah ulayatnya sendiri. Suku Melayu di situ dipersulit mendulang emas dan batu mulia di tepian sungai-sungai tradisionalnya, dengan dalih merusak lingkungan, sedangkan maskapai asing dipermudah dan dilindungi beroperasi di tempat yang sama.

Di Papua, penduduk asli terpaksa menonton saja bagaimana bukit-bukit digali hingga berlubang bagai danau. Bila malam hari kompleks permukiman para penambang terang-benderang bagai surga, sedangkan orang-orang Papua di sekitarnya tetap tinggal di hutan dalam kegelapan seperti sediakala.

Semuanya menceritakan ketidakadilan! Setiap tahun, HUT kemerdekaan kita dirayakan dalam ketidakadilan itu. Seandainya Nabi Amos masih hidup, ia pasti akan mengulangi teksnya yang terkenal (Am 5:21-24):

“Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. ... Jauhkanlah daripada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.”

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 22 Agustus 2009

Tidak ada komentar: