Sumpah Adat di Palue dan Solor Barat
Oleh Frans Anggal
Warga Desa Lidi di Pulau Palue, Kabupaten Sikka, bikin sumpah adat secara massal. Tujuannya: menghentikan pengeboman ikan. Ritus ini dibuat akhir Juli 2009, disaksikan Wabup Wera Damianus, muspida, pencam, pemdes, tokoh masyarakat, tokoh agama, dll.
Sumpah ditandai dengan penyembelihan hewan korban. “Melalui darah babi, warga bersumpah demi langit dan bumi dan para leluhur,” kata Camat Palue Fernandes Woda. Yang melanggar diyakini akan dikutuk oleh leluhur, juga didenda oleh masyarakat berupa satu ekor babi ‘delapan ikat’ (ukuran terbesar).
Mengapa pakai sumpah adat, ada alasannya. “Warga sangat takut langgar sumpah adat,” kata tokoh masyarakat Darius Ware. “Itu berarti dapat mengurangi pengeboman ikan.” Sudah ada buktinya. Sumpah adat pernah dilakukan empat desa lain. Hasilnya, pengeboman ikan sudah jarang. “Bahkan dalam setahun terakhir sudah tidak ada lagi,” kata camat.
Enak to? Mantap to? Ya, dalam hasil atau manfaat. “Abusus non tollit usum”, kata ungkapan Latin. “Kemungkinan penyalahgunaan tidak menghalangi manfaat”. Korupsi, misalnya. Ini penyalahgunaan wewenang, jelas-jelas tidak baik, tapi bukan berarti tidak bermanfaat. Uang korupsi tetap bermanfaat: bisa buat ongkos sekolah anak, manjakan istri, kasih sedekah orang miskin, bahkan didermakan di gereja.
Patut dapat dikhawatirkan, sumpah adat di Paule dan tempat lain di Flores kurang lebih seperti itulah. Penjelasan camat dan tokoh masyarakat Palue itu memberi kesan bahwa sumpah ini bertujuan menimbulan rasa takut, dan rasa takut itu akan bermanfaat bagi pelestarian lingkungan. Apa benar begitu? Kalau ya maka ini sudah termasuk abusus, penyalahgunaan, penyalahgunaan adat.
Bukan tidak boleh bersumpah adat. Boleh saja, malah luhur, sejauh sebagai ikrar penyadaran, bukan ritus penakutan. Itu berarti, sumpah hanyalah mahkota dari proses penyadaran. Proses ini mengasah sifat moral dan merangsang tindakan etis untuk menghargai dan memelihara lingkungan hidup. Dengannya, orang tidak mengebom ikan bukan karena takut, tapi karena sadar.
Rasa takut itu sifat psikologis, bukan sifat moral. Sifat psikologis mudah hilang, tidak terkecuali yang dilahirkan dari sumpah adat. Sekali kutukan leluhur tidak terbukti, rasa takut akan hilang. Selanjutnya, hilangnya rasa takut menjadi dasar untuk terus-menerus melanggar sumpah.
Sebuah kasus. Pada 1 Juli 2009, warga Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flotim, melakukan sumpah adat di Desa Nusadani. Tujuannya: menghilangkan kebiasaan membakar hutan. Hasilnya: dua minggu kemudian kebakaran terjadi lagi. Camat Yoseph Dasi Muda kesal warganya tidak menaati sumpah adat. Ia pun berujar, “Pemerintah harapkan warga di Solor Barat takut dengan sumpah yang sudah diucapkan.”
Mirip dengan ucapan camat dan tokoh masyarakat Palue, ucapan camat Solor Barat ini menjunjung tinggi rasa takut. Sifat psikologis ini lebih ditonjolkan ketimbang sifat moral baik atau buruknya tindakan. Sekarang kita tunggu, kapan si pelaku kena kutuk. Kalau tidak terjadi? Sumpah adat itu kehilangan legitimasi.
Nasib sumpah adat akan selalu begitu manakala sifat psikologis rasa takut ditonjolkan. Nasibnya tidak banyak beda dengan nasib sumpah jabatan. Kalau disaksikan, efek psikologisnya aduhai mengharukan. Sumpahnya Pakai Kitab Suci segala. Sesudah itu? Kita semua tahu. Banyak sumpah menjadi sampah.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 12 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar