Sidang "Class Action" Kasus Tambang Manggarai
Oleh Frans Anggal
Warga lingkar tambang Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, kembali kecewa. Untuk kedua kalinya, 22 April 2010, sidang gugatan perwakilan (class action) yang mereka ajukan ke PN Ruteng ditunda. Penyebabnya sama dengan penyebab penundaan sidang perdana 25 Maret 2010. Para tergugat mangkir (Flores Pos Sabtu 24 April 2010).
Dari lima tergugat, hanya PT Sumber Jaya Asia (SJA) yang hadir. Lainnya absen, tanpa keterangan pula. Mereka: bupati Manggarai, PT Tribina Sempurna, PT Istindo Mitra Perdana, dan Mentamben.
Mangkirnya bupati mendapat sorotan khusus dari majelis hakim. Tidak hanya majelis hakim sebetulnya. Kita juga, yang notabene bukan hakim. Ada beberapa hal yang membuat kita tidak bisa menerima ketidakhadiran sang bupati, apalagi sampai dua kali berturut-turut, tanpa keterangan.
Pertama, kasus ini terjadi di Manggarai. Penambangan mangan oleh PT SJA dalam kawasan hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103. Jadi, wilayahnya wilayah sang bupati! Kedua, penambangan ini ilegal, tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Jadi, locus delicti-nya dalam wilayah sang bupati! Ketiga, penambangan ini telah merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat. Jadi, dampak buruknya menimpa tidak hanya wilayah tapi juga rakyatnya sang bupati! Keempat, penambangan ini hadir antara lain karena adanya izin bupati. Jadi, kebijakannya kebijakan sang bupati!
Cukup jelas, begitu melekatnya kasus ini pada diri sang bupati. Kalau begitu, alasannya apa sampai sang bupati tidak menghadiri sidang?
Wabup Deno Kamelus kasih jawaban. ”Kami kan masuk turut tergugat. Tetapi, kopi gugatan tidak dikasih. Jadi, permasalahannya di situ,” katanya kepada Flores Pos. Kopi gugatan diperlukan agar bisa dipelajari sebelum bupati maju ke persidangan.
Pertanyaan kita: apakah hal itu sudah disampaikan ke PN Ruteng? Apakah kopi gugatan sudah diminta tapi tidak dikasih? Atau tidak pernah diminta? Apakah perihal tidak adanya kopi gugatan sudah diterangkan kepada PN sebagai alasan tidak hadirnya bupati dalam persidangan? Kalau sudah, kenapa majelis hakim kepada pers mengatakan sudah dua kali bupati tidak hadir tanpa informasi apa pun?
Pertanyaan ini penting guna menghindarkan kita dari penyederhanaan persoalan. Seolah-olah mangkir di sini hanya persoalan teknis. Hanya persoalan ada atau tidaknya kopi gugatan. Secara teknis, kopi gugatan bisa bahkan mudah didapat, kalau mau! Kalau ada itikad baik! Kalau proaktif! Jadi, persoalannya bukan persoalan teknis, tapi persoalan etis.
Secara etis, sebagai pemimpin wilayah, pemimpin rakyat, dan pemimpin kebijakan, bupati seharusnya menjadi yang terdepan. Terdepan dalam menyelamatkan wilayahnya dari penghancuran oleh tambang. Terdepan dalam meluputkan rakyatnya dari pemelaratan oleh tambang. Dan, kalau karena kebijakannyalah penghancuran dan pemelaratan itu terjadi, maka ia harus menjadi yang terdepan pula dalam bertanggung jawab dan bertanggung gugat.
Ini yang tidak kita tidak lihat. Sekurang-kurangnya dari sidang gugatan class action itu. Dalam hal bertanggung jawab dan bertanggung gugat secara hukum, sang bupati tidak menjadi yang terdepan. Dua kali dalam sidang class action, dia hanya menjadi yang tersekian. Hanya menjadi salah satu dari empat tergugat yang mangkir, tanpa keterangan. Menyedihkan!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 27 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar