Oleh Frans Anggal
Para mahasiswa asal Manggarai yang tengah studi di Ende menghutankan kembali Golowelu dengan menanam 1.500 anakan mahoni yang disiapkan pemerintah. Hutan Golowelu dipilih karena merupakan sumber mata air bagi beberapa kecamatan. Selain aksi lapangan, mereka juga menggelar seminar tentang peran masyarakat melestarikan hutan.
Menarik bahwa para mahasiswa ini ‘hanyalah’ perhimpunan ‘biasa’. Lazimnya, kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan alam menjadi kesibukan ‘kelompok pencinta alam’ (KPA). Di kalangan mahasiswa dinamakan ‘mapala’ (mahasiswa pencinta alam), sedangkan di kalangan pelajar disebut ‘sispala’ (siswa pencinta alam). Sejauh ini belum ada kegiatan yang berarti seperti ini yang dilakukan mapala dan sispala di Flores. Umumnya kegiatan mereka sebatas hobi, mendaki gunung, menikmati indahnya alam, berpotret, lalu meninggalkan coretan iseng pada batu atau pohon.
Padahal, dalam sejarahnya di Indonesia, mapala bukan sekadar kumpulan mahasiswa iseng. Almarhum Soe Hok Gie, anggota Mapala UI yang juga aktivis mahasiswa Angkatan ’66, pergi ke gunung selain untuk menikmati alam, juga untuk mengetahui kondisi masyarakat pedesaan. Saat ini yang banyak terlihat justru kalangan LSM lingkungan. Mereka melakukan pembelaan melawan perusakan lingkungan hidup. Sementara mapala semakin tak diketahui rimbanya. Kalaupun muncul, tunggu pada momen tertentu seperti pada Hari Bumi (22 April).
Di tengah kegelisahan dunia akan perubahan iklim akibat pemanasan global, semestinya peran mapala semakin mengemuka. Tapi, adakah mapala dari sekian banyak perguruan tinggi di Flores? Kalau ada, apa yang sudah mereka lakukan? Apakah mereka sudah berbuat seperti yang dilakukan sesama mahasiswa di hutan Golowelu yang notabene bukan kelompok mapala?
Kita beharap lahir banyak mapala di Flores. Yakni mapala yang merupakan salah satu unsur masyarakat sipil yang selalu berinteraksi dengan alam. Mapala yang, karena kedekatannya dengan alam, selalu mewacanakan paradigma pengelolaan sumber daya alam yang arif dan berkeadilan.
Dengan demikian, mapala mempunyai posisi penting dalam membina generasi muda. Sayangnya, dalam tataran politik lingkungan, kelompok ini cenderung apolitis. Secara keseluruhan, mereka belum memperlihatkan sinergi gerakan yang dinamis. Sepertinya belum ada pemikiran taktis dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak ramah lingkungan. Mereka juga apatis dalam advokasi bagi korban pencemaran lingkungan atau penolakan rencana pembangunan yang merusak alam. Kini saatnya mereka harus bangkit.
"Bentara" FLORESPOS, Sabtu 29 Desember 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar