24 Februari 2012

Sejenak dengan Bupati Nani Aoh (1)


“Kalau Flores Punya Satu, Ini Mudah”

Oleh Frans Anggal


MBAY, ibu kota Kabupaten Nagekeo …. Bangunan bertembok putih itu memanjang dari timur ke barat. Halamannya telanjang dengan sedikit rerumputan. Di timur, lurus dengan sudut bangunan, merindang pohon bidara. Di bawahnya, puluhan sepeda motor diparkir. Belasan meter dari pohon itu, ke barat, terpancang tiang bendera.

Tak ada papan nama, ini kantor apa. Kami percaya penuh pada Wim de Rosari. Wartawan Flores Pos di Nagekeo ini tidak mungkin mengantar kami ke alamat yang salah ketika mengarahkan sopir Om Vitalis membelok masuk pekarangan bangunan itu dan berhenti. Ini pasti Kantor Bupati Nagekeo.

Siang itu, Jumat 3 Februari 2012, di kantor itu, Bupati Johanes S. Aoh menerima kami beraudiensi. Kami diantar masuk oleh Kabag Humas Ande Ndona Corsini.

Pemimpin Umum Flores Pos Pater John Dami Mukese SVD memperkenalkan kami satu per satu.

"Ini Pater Alex," katanya. Pater Alexander Ola Pukan SVD berjabat tangan dengan bupati. Ia imam muda yang baru bergabung ke Flores Pos, di bagian redaksi.

Saya mengira, usai jabat tangan itu kami dipersilakan ke sofa, sekitar 3 meter di depan meja kerja bupati . Eh, tidak. Empat sofa cokelat berdaya tampung 10 orang itu tetap kosong. Kami dipersilakan mengitari meja kerja bupati. Maka, di atas kursi biru, berjejerlah kami membentuk setengah lingkaran.

Hari itu Bupati Nani berpakaian agak santai. Bajunya kaus putih berkrah, bergaris horizontal hitam. Celana dan sepatunya tak kelihatan. Tersembunyi di balik meja kayu berlapis kaca.

Yang mencolok di atas meja, paling depan, dua papan nama ukiran jati. Di kiri, "Bupati Nagekeo". Di kanan, "Drs. Johanes S. Aoh". Di belakang papan nama itu, menumpuk map aneka warna. Di balik sebuah bingkai foto yang membelakangi kami, tergeletak sebuah asbak rokok.


SIANG itu, Bupati Nani banyak bicara tentang infrastruktur jalan raya, bandar udara, dan pelabuhan laut.

"Bagaimana dengan jalan Aegela ke bawah?" tanya Pater Dami. Maksudnya, ruas jalan negara Nangaroro-Aegela yang sedang dilebarkan. Ini proyek multiyears, sepanjang 15,6 km, dikerjakan PT Conblock Infra Tekno, dengan total anggaran Rp141 miliar, bantuan pemerintah Australia.

"Menurut kontrak, (proyek ini) harus berakhir Maret 2013. Lalu ada pemulihan 1 tahun," kata Bupati Nani. "Memang ada keterlambatan sedikit," akunya.

"Ini punya pusat, bukan dari APBD. Ini hasil pendekatan kita dengan Jakarta. Kerja sama Australia dengan Indonesia, AusAID. Kami diberi kewajiban membayar ganti rugi kepada warga masyarakat yang tanahnya tergusur. Kita siapkan dalam APBD. Kita bayar baru gusur. Ganti rugi tanaman itu untuk yang ada di kiri dan kanan jalan."

Ada sedikit masalah, katanya. "Ada yang sudah dibayar ganti ruginya tapi tak jadi digusur tanahnya karena penggusuran dipindahkan ke lokasi lain yang belum dianggarkana ganti ruginya. Akhirnya bayar lagi."

"Medannya juga sulit. Berbatu-batu," kata Pater Dami.

"Ya. Tipe tanahnya begitu. Di luar bagus, di dalam penuh batu-batu besar," kata bupati. "Keuntungannya, mereka (PT Conblock Infra Tekno) tidak perlu lagi cari batu dan pasir."

Tentang "ada sedikit malah" itu, Pos Kupang pernah melansirnya Desember 2011. Diberitakan, proyek ini baru menyerap dana 7,2 persen dari total anggaran Rp 141 miliar. "Lambannya kemajuan fisik proyek (ini) … akibat pembebasan lahan yang belum tuntas," kata Kasatker Wilayah Ende, O.H Tambunan (tribunnews.com).

"Untuk tahun 2011 pekerjaannya adalah (peng)galian tanah dan batu. Tetapi ketika pohon sudah ditebang, saat alat berat mau gusur tanah dan batu, ada masyarakat yang menghalangi karena belum ada pembebasan lahan."

Tambunan berharap kendala ini segera diatasi agar proyek ini selesai tepat waktu. Kalau tidak, ia khawatir, negara donor akan menarik kembali dananya karena Indonesia dinilai gagal.


TENTANG bandara, menjawab Pater Dami ....

"Dana awalnya Rp40-an miliar," kata bupati, "sedang ditender. Itu baru dana pengerukan tanah di bandara agar diisi tanah baru. Rencana awal tahun 2012, (sepanjang) 1.200 meter. Landasannya harus padat, takut terbelah, sebab ini bekas rembesan air dari sawah. Nanti gali buang dan diisi tanah dari luar. Kalau ini sukses, Juli atau Agustus 2012 bisa tambah lagi Rp60-an miliar. Sedangkan pengerjaan landasan dan pemagaran belum, masih jauh sekali.”

"Jadinya, setiap kabupaten punya satu bandara," kata saya.

Bupati Nani pun berkisah. Saat ekspo di Jakarta, muncul pertanyaan sepeerti itu. Mengapa harus bangun lagi bandara di Mbay? Kan sudah ada bandara terdekat, di Ngada dan Ende. Saat itu Gubenur NTT Frans Lebu Raya beberkan tiga alasan, kata bupati.

Pertama, NTT provinsi kepulauan. "Saya punya obsesi Flores , Timor, dan Sumba punya pesawat badan lebar," kata gubernur seperti dikutip bupati. Kalau terjadi bencana alam, tantangannya adalah kecepatan bantuan. Selama ini, pesawat badan lebar hanya bisa turun di Kupang. Dari Kupang, barulah bantuan disalurkan ke pulau-pulau bencana. "Kalau Flores punya satu, ini mudah," kata bupati.

Kedua, dari kebutuhan masyarakat yang bepergian di NTT. Enam puluh persennya dari Flores. Flores layak punya sebuah bandara utama yang bisa didarati pesawat badan lebar.

Ketiga, dari aspek pertahanan keamanan. Kita berbatasan dengan Timor Leste dan Australia. Jika Bandara El Tari didu¬duki musuh, Flores masih punya satu pangkalan. Ada reserve.

"Lokasinya di mana?" tanya saya.

"Di lokasi lama, Bandara Surabaya II," jawab bupati.

"Dulu pernah (uji coba) didarati pesawat Nomad, Angkatan Laut," kata saya.

"Ya. Pada masa saya jadi bupati Ngada. Kita mau bikin yang lebih baik."

Untuk bikin yang lebih baik itu, sawah jadi korban, kata bupati.

"Tapi, orang-orangnya jangan dirugikan," tandasnya. "Mereka bisa direlokasi. Biayanya lebih murah. Rp1-2 miliar, bisa. Relokasi bisa di Mbay Kiri. Bisa juga di lahan lama, karena itu tanah pemkab yang diberikan kepada masyarakat untuk digarap (bukan dimiliki). Butuh dana cukup. Untuk pembangunannya, pakai dana pusat. Untuk relokasi masyarakat, pakai dana APBD. Studi AMDAL, sudah."

"Bagaimana dengan Pelabuhan Maropokokt?" tanya Pater Dami.

"Tahun lalu (2011), kita dapat dana perluasan. Kita sudah bangun dermaga, tinggal jalur ASDP."

Kolam labuh Pelabuan Maropokot) cukup dalam, katanya. Saat pasang surut, kedalamannya 18 meter. Tapi untuk dilabuhi kapal besar, kolam labuh ini belum bisa.

"Kita pernah minta kapal roro masuk, coba, ternyata goyang. Perlu ada pelebaran."
Bentuk dermaga yang sekarang, kata bupati, berupa satu garis lurus. Kapal sandar menyampingi arah datangnya ombak. Akibatnya, ombak hantam langsung ke lambung kapal. Tidak aman. Nanti, dengan pelebaran dan perluasan, dermaganya berbentuk el kapital (L). Kapal sandar membelakangi arah datangnya ombak. Aman. ***

Flores Pos, Jumat 24 Februari 2012

Tidak ada komentar: