06 Februari 2012

Lebih Jauh dengan Bupati Marianus Sae (3)


“Karena Malu, Saya Ganti Nama Jadi Aris”

Oleh Frans Anggal

KOPI dalam cangkir putih itu tidak lagi kepulkan uap. Sudah tidak panas. Setengah jam lewat, kami belum menyeruputnya. Bupati berapi-api bicara sampai lupa persilakan kami minum. Sejurus kemudian, barulah ajakan itu tiba.

"Mari Pater, kita omong sambil minum."

Ia lanjutkan beberan tentang Membangun Ngada dari Desa. Sangat terasa, ia prihatin dan peduli terhadap orang kecil, orang desa, orang miskin.

"Rupanya perhatian terhadap orang kecil ini ada kaitan dengan pengalaman hidup Pak Bupati," kata saya menyela.

"Benar," jawabnya.

Ia pun mulai kisahkan hidupnya. Kisah seorang anak miskin dan yatim piatu, yang sengsara tapi ulet, dan akhirnya kaya, lalu jadi bupati.

"Saya dari kecil orang tua tidak ada," katanya mengawali cerita. "Saya yatim piatu. Dipiara om dan tanta.

"Tamat SD, saya masuk SMP PGRI di Bajawa, tamat 1982. Sambil sekolah, saya kerja di tempat pembuatan bata merah CV Galeta. Pagi-pagi saya bangun kerja, gali tanah, campur semen, cetak bata. Jam 12 mandi, ke sekolah. Di sekolah saya sering ngantuk. Guru sering pukul. Puji Tuhan, saya tak pilih jadi pencuri, perampok.

"Saya kerja di bata merah sampai tampat SMA Negeri Bajawa, 1985. Di SMA, sekolahnya pagi, sorenya kerja. Maka, tiap setengah empat pagi saya bangun, belajar. Setengah enam saya mandi, makan, ke sekolah. Ini terpola dari dulu. Maka sekarang setengah tujuh saya sudah di kantor. Saya beri tahu staf saya, belajarlah dari ayam. Rezeki itu datang pagi hari.

"Dari SMA, saya ke Kupang, 1986. Di sana jadi buruh gedung SDI Kelapa Lima. Lalu kuliah, sambil kerja. Prinsip: SMA saya bisa, kenapa kuliah tidak. Saya daftar di FKIP Undana jurusan Adminstrasi Pendidikan. Lulus. Sambil kuliah, saya kerja gali sumur.

"Berhenti gali sumur, saya tidak dapat uang. Tanta dari Bajawa kirim saya brenebon. Brenebon abis, saya sengsara. Tidak makan. Pulang kuliah saya hanya minum air lalu tidur. Itu selama 3 hari 3 malam. Akhirnya saya tidak sadarkan diri. Untung ada yang tolong, kasih minum saya gula tinggi dengan cara cungkil gigi, buka paksa mulut saya. Saya bisa hidup.

"Suatu hari ada yang tawari saya kerja di Asuransi Bumi Asih Jaya. Saya ikut pendidikan seminggu, lalu cari nasabah. Dapat. Ada yang masuk 3,4 juta rupiah. Saya dapat komisi 1 juta 320 ribu. Saya rasa macam melayang. Kacab ajak saya beli sepeda motor. Kerja lancar. Tiga bulan kemudian saya jadi pegawai tetap. Gaji 600-700 ribu per bulan tambah komisi. Hidup berkecukupan. Cewek-cewek mendekat. Waktu miskin tidak. Lepas kuliah, saya ke Bali.

"Di Bali, pertama saya kerja cleaning service di perusahaan kargo (Interpec Jasa Tama Semesta di bidang ekspor impor). Satu bulan kemudian, saya jadi kurir antar-antar surat. Lalu tugas di air port sebagai tukang angkut barang. Dua bulan di situ, saya dipindahkan ke bagian reservasi. Dua bulan kemudian jadi manajer di air port. Tiga bulan kemudian ke customer service yang khusus layani orang Barat. Maka saya perdalam bahasa Inggris.

"Tak lama kemudian saya pindah ke document department. Lalu manajer dokumen. Lalu manajer marketing. Satu tahun 3 bulan kemudian jadi kacab. Dikasih rumah, mobil. Dua bulan kemudian, seorang pelanggan asing bilang ke saya, 'You are stupid. Why do you still work here? Kamu sudah tahu semua,’ katanya.

"Saya pun mundur. Buka usaha ekspor impor sendiri. Flobal Express. Singkatan dari Flores Bali. Lalu ubah jadi PT Mansada Dirgantara.

"Tahun 1994 bupati Ngada Yoachim Reo ke Denpasar. Cari anak-anak Ngada yang bisa bangun Ngada. Dia ajak saya pulang. Saya pulang. Juklaknya kelola tempat pemandian air panas Mengeruda, di bawah PT Ngada Paradise yang saya pimpinan. Kontrak 30 tahun. Investasi saya 450 juta dolar AS atau sekitar Rp4 miliar. Saya tata tempat itu, yang masih hutan belukar. Begitu mau finishing, suksesi. Pak Yoachim Reo diganti Pak Nani Aoh (Joahanes Samping Aoh). Saya pendukung Yoachim Reo.

"Pak Nani bilang, kontrak harus dibuat ulang. Sebab, tak ada persetujuan DPRD. Saya gulung tikar. Bangkrut. Saya kerja sawah di Soa. Tahun 1997.

"Tahun 1998 saya putuskan kembali ke Bali. Dengan uang di tangan Rp200 ribu, baju 5 potong, celana Jeans 3 potong. Naik bus. Sampai di terminal Denpasar, uang tinggal Rp10 ribu lebih. Saya beli koran Bali Post, cari iklan lowongan kerja.

"Di iklan ada lowongan di bagian ekspor impor, tapi mesti ada surat pengalaman kerja. Saya tidak punya. Lowongan lain, persyaratannya sederhana: yang penting mau kerja. Saya ke sana, naik ojek. Ternyata itu bengkel las. Mau mundur, uang tinggal Rp3.000 setelah datang naik ojek Rp7.000. Akhirnya saya masuk. Gaji Rp250.000. Tinggal di dalam, makan di dalam. Penuh debu.

"Saya malu. Seorang bekas direktur perusahaan ekspor impor jadi buruh bengkel las. Karena malu, saya ganti nama jadi Aris. Kerja pertama saya di bengkel ini, tukang gerinda. Lalu naik jadi pembantu tukang.

"Suatu waktu bos pemilik bengkel dan pelanggan orang Prancis bertengkar. Keduanya tidak saling mengerti. Bos pake bahasa Indonesia, orang Prancis itu pake bahasa Inggris. Saya bisa bahasa Inggris. Saya selesaikan masalah mereka. Rupanya karena itu bos pekerjakan saya di kantor bengkel.

"Selanjutnya saya undurkan diri, tahun 2000. Buka bengkel las sendiri untuk usaha furniture. Order pertama Rp40 juta lebih. Uang mukanya Rp25 juta. Dari situ usaha berkembang. Omzet ekspor setahun bisa belasan hingga dua puluh miliar rupiah. Di bawah CV Soatri Iron, saya produksi dan ekspor sendiri furniture. Keahlian saya di eskpor. Usaha ini sempat sepi saat Bom Bali, 2002.

"Tahun 2006, besi berkurang. Kebanyakan besi campur kayu untuk pembuatan meja. Sulit cari kayu jati. Pernah cari hingga Kupang, tapi kualitasnya kurang bagus. Saya ke Labuan Bajo. Banyak kayu bagus-bagus, milik Pater Wasser (Pater Ernest Wasser SVD). Dari situ saya mulai pikir, jangan hanya tebang. Perlu tanam. Maka saya beli tanah. Ada 48 sertfikat. Termasuk sebuah pulau, Pulau Tetawa, di perairan Manggarai Barat

"Di Ngada, saya buka kebun di Zeu (Desa Sobo I, Kecamatan Golewa), 45 ha. Saya tanam kayu. Tapi saya tidak mau sendirian. Saya lakukan sosialisasi pribadi dari desa ke desa tentang keuntungan tanam kayu. Masyarakat termotvasi. Lalu saya kirim bibit.

"Tahun 2008 saya masuk politik. Kebetulan PAN di Ngada bermasalah. Saya diminta orang PAN pusat untuk fasilitasi musdalub. Saya bawa 200-an karyawan saya untuk jaga musdalub. Saya di luar ruangan. Malamnya saya dipanggil masuk. Semua peserta musdalub sepakat minta saya jadi ketua PAN. Itu terjadi pada jam 8 malam, tanggal 8, bulan 8, tahun 2008."

Dengan kendaraan politik inilah Marianus Sae bersama pasangannya Paulus Soliwoa (paket MULUS) maju ke pemilukada Ngada 2010. Paket ini menang hanya dalam sekali putaran, mengalahkan 7 paket lain. Rakyat Ngada tahu siapa yang mereka pilih. ***

Flores Pos, Senin 6 Februari 2012

Tidak ada komentar: