06 Juni 2011

NTT Tanpa Gubernur?

Masalah Tapal Batas Matim dan Ngada

Oleh Frans Anggal

Gubernur NTT didesak agar tidak menunda-nunda penyelesaian batas wilayah Kabupaten Manggarai Timur dan Ngada. Panasnya situasi di perbatasan, dengan pelbagai tindak provokasi oleh sekelompok warga, harus segera disikapi agar tidak menjadi bom waktu. Desakan ini disampaikan tokoh masyarakat perbatasan Her Tojong (Flores Pos Sabtu 4 Juni 2011).

Ini bukan desakan pertama. Desakan serupa telah disampaikan banyak pihak. Berkali-kali. Baik langsung maupun tidak langsung. Terbaru, desakan oleh 3 bupati, ketua DPRD, dan tokoh masyarakat Manggarai Raya, mencakup Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat (Mabar), dan Manggarai Timur (Matim). Desakan itu hasil rapat koordinasi di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Sabtu 28 Mei 2011 (Flores Pos Selasa 31 Mei dan Jumat 3 Juni 2011).

Mereka mendesak mendagri dan gubernur NTT segera selesaikan penegasan batas wilayah antara Kabupaten Matim dan Ngada di Wae Bakit, Desa Sangan Kalo, Kecamatan Elar, Kabupaten Matim. Selesaikan sesuai dengan tahapan yang diatur dalam Permendagri Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.

Dalam surat pernyataan sikapnya, ketiga bupati menegaskan, batas wilayah antara Kabupaten Manggarai sebelum pemekaran atau Manggarai Timur setelah pemekaran dengan Kabupateh Ngada sudah final. Mereka sebut tiga dokumen. Historis, berupa peta tahun 1916 dan 1918. Yuridis, berupa SK Gubernur NTT Nomor 22 Tahun 1973. Politis, berupa kesepakatan tahun 1973 di Aimere.

Akankah Gubernur Frans Lebu Raya segera tergerak oleh pernyataan sikap ini? Kemungkinan besar tidak. Tidak ada preseden yang menunjukkan ia cekatan. Situasi di wilayah perbatasan sudah mengerikan. Dan itu sudah berlangsung setahun lebih. Wilayah itu diblokir sekelompok warga. Diblokir pada titik semau gue para pemblokir. Jalan raya dipagari, juga dilubangi jadi parit. Bersamaan dengan pematokan tapal batas baru sesuka hati, pilar tapal batas lama dihancurkan. Jembatan dirusakkan.

Apa yang dilakukan Gubernur Lebu Raya? Tidak jelas! Untuk tidak mengatakan tidak ada. Katanya, dalam menyelesaikan masalah ini, ia gunakan pende¬katan kesehatian. Okelah, pendekatan kesehatian. Tapi koq sepertinya tidak punya hati. Selama setahun lebih kekacauan di tapal batas, ia tidak pernah ke sana. Padahal, ini kewenangan dan tanggung jawabnya.

Akhir Mei 2011, situasi di perbatasan makin mema¬nas. Beredar rumor, sekelompok warga mau tancapkan pilar induk, lalu bangun gapura di Wae Bakit. Maka, Sabtu 21 Mei 2011, tim Pemkab Matim ke sana. Bupati Matim Yoseph Tote dan Bupati Ngada Marianus Sae lakukan pertemuan. Sayang, tak ada titik temu. Kelanjut-annya, tiga bupati Manggarai Raya bertemu di Ruteng.

Dalam situasi ini, di mana Gubernur Lebu Raya? Dia tidak muncul. Dia malah muncul di tempat lain, yang urgensitas kehadirannya lebih rendah. Ia ke Bajawa, untuk resmikan gedung koperasi kredit. Lalu ke Ende, juga untuk resmikan gedung koperasi kredit. Kemudian ke Ruteng, untuk tinjau proyek PLTP Ulumbu.

Kalau benar dia punya hati dan serius dengan pendekatan kesehatian, kenapa dia absen pada saat kehadirannya sangat dibutuhkan? Kenapa dia tidak mampir di perbatasan, yang penyelesaian masalahnya merupakan kewenangan dan tanggung jawabnya?

Apa pun alasannya, kesannya sama. NTT sepertinya tidak punya gubernur. Kalaupun punya, sepertinya bupatilah gubernurnya. Sebab, bupatilah yang sibuk urus kasus tapal batas kabupaten. Apakah ini menunjukkan NTT tidak butuhkan gubernur? Ataukah butuh, tapi orangnya harus diganti?

”Bentara” FLORES POS, Senin 6 Juni 2011

Tidak ada komentar: