Kejahatan Institusional Dunia Pendidikan
Oleh Frans Anggal
Hasil ujian nasional (UN) SD 2011 sungguh luar biasa. Sama luar biasanya dengan hasil UN SMP dan SMA. Banyak sekolah lulus 100 persen. Di DKI Jakarta, misalnya, semua murid SD negeri dan swasta dinyatakan lulus. Di Provinsi NTT, tidak kalah hebat. Di Kabupaten Ende, kelulusan SD-nya 99,87 persen. Jauh di atas pencapaian tahun sebelumnya.
Apakah ini menunjukkan mutu sekolah membaik? Iya, kalau kriteria kelulusannya tidak berubah dan penyelenggaraan UN-nya jujur. De facto, kriteria kelulusan tahun ini lebih lunak. Nilai ujian sekolah ikut menentukan: 40 persen. Sedangan nilai ujian nasionalnya "hanya" 60% persen. Yang 40 persen itu peluang sekolah. Termasuk, peluang untuk tidak jujur.
Pada kabupaten tertentu di NTT, peluang 40 persen itu benar-benar dimanfaatkan. Ada sekolah yang sampai mengganti rapor dan buku induk. Nilai-nilai siswa dinaikkan. Sedemikian rupa, sehingga siswa yang mendapat nilai satu bahkan nol koma sekian saat UN tetap bisa lulus. Sedemikian rupa pula, sehingga sekolah yang tahun lalu nol persen kini bisa meraih kelulusan seratus persen.
Manipulasi data. Itulah salah satu kejahatan UN tahun ini. Dan kejahatan ini kejahatan institusional. Dilakukan oleh institusi, dalam hal ini sekolah. Mungkin juga atas sepengetahuan atau restu bahkan arahan kadis pendidikan. Tentu setelah mendapat petunjuk seperlunya dari bupati atau walikota. Sebab, UN tidak semata soal pendidikan. Ini soal politik juga. Politik pencitraan si bupati.
Tidak semua petinggi daerah seperti ini, tentu. Salah satunya, Don Bosco M Wangge, bupati Ende. "Dibayar berapa miliar pun, saya tidak akan mau," tandasnya ketika menyampaikan sambutan pada pengumuman kelulusan SDK Santa Ursula Ende, Senin 21 Juni 2011. Ia berbicara dalam kapasitas sebagai ketua komite dan wakil orangtua/wali murid.
Bupati Ende ini menekankan pentingnya kejujuran, selain kerja keras. Berapa pun hasil UN, ia tetap bangga, kalau hasil itu buah dari usaha yang serius dan jujur. Buah dari usaha seperti ini pastilah bermutu. Non multa, sed multum, kata pepatah Latin. Bukan jumlah, tapi mutu. Buah seperti inilah yang dihasilkan beberapa sekolah di Kabupaten Ende. Satu di antaranya, SDK Santa Ursula. Sekolah ini meraih kelulusan 100 persen. Hasil kerja keras dan kerja jujur.
Kita mendukung sikap bupati seperti ini. Yang menjadi tantangan, apakah barisan di bawahnya juga seperti dia? Kadisnya boleh jadi taati bupatinya. Tapi para kepala sekolah? Ketua yayasan? Bukankah masih banyak yang berorientasi sebaliknya? Non multum, sed multa. Bukan mutu, tapi jumlah. Mau diapakan?
Kita menyarankan tindakan praktis. Pertama-tama untuk mengukur kadar kejujuran sekolah, sebelum memikirkan langkah selanjutnya. Salah satunya melalui perbandingan antara nilai UN dan nilai sekolah. Perbedaan yang sangat jauh cukup jelas mengindikasikan adanya kecurangan. Bila banyak sekolah memiliki data seperti ini, patut dapat diduga mereka telah melakukan kejahatan.
Itu berarti, jauh panggang dari api. Jauh sikap sekolah dari sikap bupati. Bupati menekankan pentingnya "jujur". Sekolah masih menekanakan pentingnya "mujur". Bupati menekankan pentingnya "pintar". Sekolah masih menekankan pentingnya "pintar-pintar". Di mata bupati, penentuan kelulusan itu persoalan etis dan akademis: jujur dan pintar. Di mata sekolah, penentuan kelulusan itu persolaan teknis semata-mata: mujur dan pintar-pintar.
Terhadap sekolah seperti ini, apa langkah pemerintah? Perlu tindakan tegas. Dan itu hanya mungkin kalau pemerintah juga (mau) jujur. Hanya sapu bersih yang bisa membersihkan lantai kotor.
”Bentara” FLORES POS, Rabu 22 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar