Isu SARA Putaran Kedua Pemilukada
Oleh Frans Anggal
Jelang pencoblosan putaran kedua pemilukada Lembata, beredar selebaran berbau SARA. Persoalkan etnis Cina pada diri paket Lem¬bata Baru: Eliaser Yentji Sunur dan Viktor Mado Watun. Selebaran itu dari dua forum: Aliansi Masyarakat Pribumi Menggu-gat (Sikat) dan Gerakan Pemuda Selamatkan Lem¬bata (Germa). Penanggung jawab dan alamatnya tidak dicantumkan (Flores Pos Senin 6 Juni 2011).
"Jangan berikan pendidikan politik yang keliru kepada masyarakat. Jangan provokasi masyarakat dengan isu SARA. Kita minta aparat kepolisian dan TNI melacak selebaran tersebut," kata Pius Namang, ketua tim keluarga Lembata Baru.
Selebaran ini semakin menjauhkan pemilukada Lembata dari harapan menjadi pemilukada teladan. Apanya yang mau diteladani? Sejak awal, pemilukadanya sudah kisruh. Para kandidat baku sikat baku sikut. Masyarakat bawah lebih menjadi supporter (pendukung) ketimbang voter (pemilih). Maka, ketika berdemo ke KPU, mereka jadi bonek. Serbu dan hancurkan. Ketua KPU pun undurkan diri.
Semua kekisruhan itu terlewati ketika hari-H putaran pertama tiba. Dari 6 paket putaran pertama, tersisa 2 paket putaran kedua. Paket Titen (Herman Loli Wutun-Viktus Murin) dan Lembata Baru (Eliaser Yentji Sunur-Viktor Mado Watun). Mereka harus bertarung hingga pencoblosan 4 Juli 2011. Menyongsong hari-H itu, kekisruhan lain pun datang. Selebaran berbau SARA.
Siapa yang adakan dan edarkan selebaran itu? Kalau mau diusut, gampang. Lembata itu kabupaten pulau, kecil pula, dan relatif homogen masyarakatnya. Pada masyarakat seperti ini, tembok-tembok bertelinga juga. Batuk di sini cepat terdengar di sana. Rahasia sekelompk orang terbatas mudah menjadi rahasia umum masyarakat luas.
Forum Sikat dan Germa, ada atau tidak, orang-orangnya pastilah orang-orang tersesat. Mereka salah masuk arena. Gelanggang pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) dikiranya gelanggang pemilihan umum kepala suku (pemilukaku).
Boleh jadi juga, mereka tidak sedang salah ki¬ra. Tapi sengaja memperlakukan calon kepala daerah sebagai calon kepala suku. Dengan pertimbangan, si calon kepala daerah adalah juga calon kepala saku. Sehingga nanti, kalau dia sudah jadi bupati, orang-orang ini tinggal suka-suka mainkan suku, demi terpenuhinya kebutuhan saku.
Dengan kata lain, ketergantungan pada uanglah yang menerangkan ada dan beredarnya selebaran SARA itu. Tampaknya, isu SARA diyakini efektif untuk mengegolkan tujun. Yakni, mengalahkan kandidat tertentu, demi memenangkan kandidat lain.
Karena isu SARA-lah mainannya, maka cara wawas masyarakat terhadap para kandidat pun perlu diubahsesuaikan dengannya. Agar klop. Maka, yang dilihat pada diri kandidat adalah keturunannya, bukan kewargaannya; kepri¬bumiannya, bukan kepribadiannya; kulitnya (kuning atau hitam), bukan hatinya (bening atau keruh); rambutnya (lurus atau keriting), bukan otaknya (cerdas atau tolol).
Akankah masyarakat Lembata mudah terpengaruh oleh cara seperti ini? Mudah-mudahan tidak. Namun, berharap saja tidaklah cukup. Perlu ada usaha. Pelbagai elemen civil society di Lembata perlu lakukan perlawanan. Dengan cara memberikan pencerahan kepada masyarakat. Intinya, pemilukada itu pilih kepala daerah, bukan pilih kepala suku. Maka, lihatlah kewargaannya, bukan keturunannya; kepribadiannya, bukan kepribumiannya; hatinya, bukan kulitnya; otaknya, bukan rambutnya.
”Bentara” FLORES POS, Rabu 8 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar