PENGORBANAN --- Pahlawan mengorbankan diri,
untuk menyelamatkan orang lain. Pengecut mengorbankan orang lain, untuk menyelamatkan diri. |
Oleh Frans Anggal
Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur dianugerahi gelar
pahlawan tolak tambang. Gelar ini diberikan warga Leragere melalui ritus adat
di Desa Lodotodokowa, Rabu 29 Agustus 2012. Dalam ritus itu, Bupati Yance---demikian
ia biasa disapa---diangkat menjadi warga Leragere. Demikian berita Flores Pos Sabtu 8 September 2012.
Berita itu dilansir berdasarkan siaran pers Humas
Setda Lembata yang meliput kunjungan kerja bupati dan rombongan ke Leragere.
Namanya siaran pers humas, ya, cenderung mewartakan yang baik-baik dan promotif
tentang pejabat dan lembaganya. Anutannya, good
news is good news. Berita (tentang) yang baik adalah berita yang baik.
Berbeda dengan anutan umum media massa, bad
news is good news. Berita (tentang) yang buruk adalah berita yang baik.
Dalam hierarki berita Flores Pos hari itu, “berita (tentang) yang baik” ini kalah dari banyak
“berita (tentang) yang buruk”. Ia pun tidak lolos ke halaman depan. Cuma ditempatkan
pada halaman dalam. Itu pun tidak sebagai berita utama. Hanya menjadi berita ketiga
atau terakhir pada halaman 6.
Ada alasan lain. Di Flores dan Lembata---tempat Flores Pos paling banyak dibaca---, seremoni
adat pemberian gelar sudah terlalu sering terjadi. Saking seringnya, makna dan sensasinya
merosot. Dalam persepsi publik, berita seremonial seperti itu seakan bukan
berita lagi. Sebab, gelar bisa diberikan kapan saja, kepada siapa saja, dengan alasan
apa saja. Tergantung pada maunya si pemberi gelar. Pada masyarakat yang struktur
adatnya masih kuat, kepala
persekutuanlah yang menentukan.
Kalau seorang pejabat tinggi mengunjungi sebuah
kampung di Kabupaten Ende, misalnya, apalagi kalau kedatangannya memastikan (akan)
membawa berkah uang, barang, atau proyek, besar kemungkinan ia dinobatkan menjadi
mosalaki. Ini kepala dalam struktur
adat setempat. Contohnya terlalu banyak untuk dilitanikan di sini.
Sekadar ilustrasi, sebut saja yang aktual, yang diwartakan
Flores Pos Selasa 28 Agustus 2012. Pasangan bakal calon
gubernur dan wakil gubernur NTT Christian
Rotok dan Abraham Paul Liyanto (paket Cristal) dinobatkan menjadi mosalaki Ende di rumah adat Kapitan
Rukuramba Ambrosius Era Toma di Nangaba, Kecamatan Ende, Senin 27 Agustus 2012.
Penobatan ini ditandai dengan pengenaan pakaian adat mosalaki Ende berupa luka-lesu
oleh keturunan langsung Kapitan Rukuramba Ambros Era Toma.
Itu di Ende. Juga di banyak tempat lain. Ritusnya
ritus adat. Gelar yang dianugerahkan pun gelar adat. Akan halnya yang terjadi
di Leragere terhadap Bupati Yance Sunur lain sama sekali. Ritusnya ritus adat.
Tetapi gelarnya bukan gelar adat. Pahlawan tolak tambang itu tidak ada dalam perbendaharaan
gelar adat setempat. Ini tidak lazim. Bahkan janggal. Dan kejanggalan ini
menarik untuk dibicarakan, meskipun dalam hierarki berita Flores Pos hari itu berita ini
tidak mendapat tempat di halaman depan.
Bupati Yance Sunur pahlawan tolak tambang. Pertanyaan
yang segera muncul: pengorbanan khusus apa yang telah diberikannya dalam
perjuangan tolak tambang di Lembata sehingga dia dinilai pantas digelari pahlawan?
Frasa kunci di sini adalah “pengorbanan khusus”, bukan sekadar “jasa khusus”.
Ini penting, karena perbedaan antara pahlawan dan penjasa justru terletak di
situ.
Pahlawan bukanlah terutama seseorang yang
memberikan jasa khusus, tetapi seseorang yang melakukan pengorbanan khusus.
Dalam banyak kasus, yang dikorbankan adalah milik terakhir yang tak
tergantikan, yaitu hidup dan nyawa. Demikian menurut sosiolog Ignas Kleden
dalam artikelnya “Pahlawan, Jasa dan Pengorbanan” (Majalah Tempo 17 Februari 2008). Seseorang yang memberikan jasa khusus, itulah
penjasa. Seseorang yang melakukan pengorbanan khusus, itulah pahlawan. Berjasa
berarti memberikan sesuatu. Berkorban berarti kehilangan sesuatu.
Dalam praktik, terutama demi kepentingan politik,
pembedaan ini sering diabaikan. Maka tidak mengejutkan, misalnya, pada 2010 muncul
usul agar mantan presiden Soeharto diberi gelar pahlawan nasional. Alasannya: dibandingkan
dengan sembilan calon lain yang diajukan ke Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan
Tanda Jasa tahun itu, Soeharto paling
layak. Dia hidup dan berperan besar dalam empat masa pembangunan, 1945-2008.
Bahwa Soeharto berperan besar, itu jelas dan harus
diakui. Dia penjasa. Karena itulah dia telah
dianugerahi gelar bapak pembangunan. Namun tidak dengan itu dia otomatis
pahlawan. Tidak setiap penjasa adalah pahlawan. Soeharto memang memberikan jasa
khusus, tetapi tidak melakukan pengorbanan khusus. Dia tidak mengorbankan dirinya
sendiri. Sebaliknya, dalam banyak kasus pelanggaran HAM selama berkuasa, dia
justru mengorbankan (banyak) orang lain. Dia pun tidak kehilangan sesuatu. Sebaliknya,
dia mendapat hampir segala sesuatu, bahkan secara berlimpah-limpah. Dia hanyalah
seorang penjasa. Dia bukan seorang pahlawan.
Bagaimana dengan Bupati Yance Sunur? Dalam tolak
tambang di Lembata, dia bukanlah pahlawan. Dia tidak melakukan pengorbanan
khusus. Dia tidak kehilangan apa pun. Yang pantas digelari pahlawan adalah
masyarakat Leragere sendiri. Mereka telah berkali-kali melakukan demo tolak
tambang. Berkali-kali berkonfrontasi dengan pemerintah. Berkali-kali diancam,
dst. Bahkan, mereka telah mempertaruhkan nyawa melalui sumpah adat. Mereka tidak
akan mengizinkan sejengkal pun tanah warisan leluhurnya ditambang. Melanggar
sumpah adat ini berarti kematian.
Dalam tolak tambang di Lembata, Bupati Yance Sunur
juga bukanlah penjasa. Dia tidak memberikan jasa khusus. Yang pantas digelari
penjasa adalah para imam Katolik yang berkali-kali turun ke tengah masyarakat Leragere
melakukan penyadaran. Meskipun, kalau dianugerahi gelar ini, mereka mungkin akan
menolak, sebab bagi mereka apa yang mereka lakukan hanyalah sesuatu yang sudah
seharusnya dilakukan oleh semua kaum tertahbis, karena altar imam adalah altar
kehidupan masyarakat, tidak sekadar altar di gedung-gedung gereja.
Kalau bukan sebagai pahlawan, bukan pula sebagai penjasa,
lantas sebagai apakah Bupati Yance Sunur? Tidak sebagai apa-apa, selain hanya sebagai
bupati, titik, yang dulu saat menuju kursi Lembata 1 berkampanye tolak tambang,
tetapi sekarang ketika duduk di atas kursi itu mulai melupakan janjinya dan perlahan
tergoda mewacanakan buka tambang.
Kalaupun dipaksa-paksakan untuk dimasukkan ke dalam
perjuangan tolak tambang, di tengah kenyataan tersebut di atas, maka sebagai
apanya sang bupati akan mengerucut pada dua kemungkinan berikut. Pertama,
jika janji tolak tambang pada kampanyenya hanyalah akal-akalan guna mendulang
suara memenangkan pemilukada, maka dia telah bertindak sebagai pembohong. Kedua, jika janji tolak tambang pada kampanyenya
benar-benar sebuah komitmen dengan rakyat tetapi kemudian dia tanggalkan hanya demi
komitmen barunya dengan investor, maka dia telah bertindak sebagai pengkhianat.
Kalau seperti ini keadaannya, lalu atas dasar apa dia digelari pahlawan
tolak tambang? Apakah masyarakat Leragere sudah begitu dungunya sampai tidak
bisa membedakan secara sederhana saja mana
yang bernas dan mana yang ampas? Atau sudah demikian bobroknyakah mereka sehingga
mudah beralih tabiat dari pejuang menjadi penjilat, demi duit, sembako, proyek,
dan lain-lain?
Saya menduga sebaliknya. Masyarakat Leragere cerdas dan berintegritas.
Mereka menganugerahi bupatinya gelar pahlawan bukan “karena” sang bupati telah melakukan
pengorbanan khusus, tetapi “supaya” sang bupati berkewajiban melakukan
pengorbanan khusus. Gelar di sini bukan lagi Gabe, pemberian sebagai kontraprestasi, tetapi Aufgabe, tugas yang harus ditunaikan. Sungguh sebuah kreativitas
dari masyarakat yang cerdas dan berintegritas. ***
“Opini” Flores Pos, Sabtu 15 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar