15 September 2012

Pahlawan Tolak Tambang?




PENGORBANAN --- Pahlawan mengorbankan diri, 
untuk menyelamatkan orang lain. Pengecut mengorbankan 
orang lain, untuk menyelamatkan diri.

Oleh Frans Anggal 

Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur dianugerahi gelar pahlawan tolak tambang. Gelar ini diberikan warga Leragere melalui ritus adat di Desa Lodotodokowa, Rabu 29 Agustus 2012. Dalam ritus itu, Bupati Yance---demikian ia biasa disapa---diangkat menjadi warga Leragere. Demikian berita Flores Pos Sabtu 8 September 2012.

Berita itu dilansir berdasarkan siaran pers Humas Setda Lembata yang meliput kunjungan kerja bupati dan rombongan ke Leragere. Namanya siaran pers humas, ya, cenderung mewartakan yang baik-baik dan promotif tentang pejabat dan lembaganya. Anutannya, good news is good news. Berita (tentang) yang baik adalah berita yang baik. Berbeda dengan anutan umum media massa, bad news is good news. Berita (tentang) yang buruk adalah berita yang baik.

Dalam hierarki berita Flores Pos hari itu, “berita (tentang) yang baik” ini kalah dari banyak “berita (tentang) yang buruk”. Ia pun tidak lolos ke halaman depan. Cuma ditempatkan pada halaman dalam. Itu pun tidak sebagai berita utama. Hanya menjadi berita ketiga atau terakhir pada halaman 6.

Ada alasan lain. Di Flores dan Lembata---tempat Flores Pos paling banyak dibaca---, seremoni adat pemberian gelar sudah terlalu sering terjadi. Saking seringnya, makna dan sensasinya merosot. Dalam persepsi publik, berita seremonial seperti itu seakan bukan berita lagi. Sebab, gelar bisa diberikan kapan saja, kepada siapa saja, dengan alasan apa saja. Tergantung pada maunya si pemberi gelar. Pada masyarakat yang struktur adatnya masih kuat,  kepala persekutuanlah yang menentukan.   

Kalau seorang pejabat tinggi mengunjungi sebuah kampung di Kabupaten Ende, misalnya, apalagi kalau kedatangannya memastikan (akan) membawa berkah uang, barang, atau proyek, besar kemungkinan ia dinobatkan menjadi mosalaki. Ini kepala dalam struktur adat setempat. Contohnya terlalu banyak untuk dilitanikan di sini.

Sekadar ilustrasi, sebut saja yang aktual, yang diwartakan Flores Pos  Selasa 28 Agustus 2012. Pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur NTT  Christian Rotok dan Abraham Paul Liyanto (paket Cristal) dinobatkan menjadi mosalaki Ende di rumah adat Kapitan Rukuramba Ambrosius Era Toma di Nangaba, Kecamatan Ende, Senin 27 Agustus 2012. Penobatan ini ditandai dengan pengenaan pakaian adat mosalaki Ende berupa luka-lesu oleh keturunan langsung Kapitan Rukuramba Ambros Era Toma.  

Itu di Ende. Juga di banyak tempat lain. Ritusnya ritus adat. Gelar yang dianugerahkan pun gelar adat. Akan halnya yang terjadi di Leragere terhadap Bupati Yance Sunur lain sama sekali. Ritusnya ritus adat. Tetapi gelarnya bukan gelar adat. Pahlawan tolak tambang itu tidak ada dalam perbendaharaan gelar adat setempat. Ini tidak lazim. Bahkan janggal. Dan kejanggalan ini menarik untuk dibicarakan, meskipun dalam hierarki berita Flores Pos  hari itu berita ini tidak mendapat tempat di halaman depan.

Bupati Yance Sunur pahlawan tolak tambang. Pertanyaan yang segera muncul: pengorbanan khusus apa yang telah diberikannya dalam perjuangan tolak tambang di Lembata sehingga dia dinilai pantas digelari pahlawan? Frasa kunci di sini adalah “pengorbanan khusus”, bukan sekadar “jasa khusus”. Ini penting, karena perbedaan antara pahlawan dan penjasa justru terletak di situ.

Pahlawan bukanlah terutama seseorang yang memberikan jasa khusus, tetapi seseorang yang melakukan pengorbanan khusus. Dalam banyak kasus, yang dikorbankan adalah milik terakhir yang tak tergantikan, yaitu hidup dan nyawa. Demikian menurut sosiolog Ignas Kleden dalam artikelnya “Pahlawan, Jasa dan Pengorbanan” (Majalah Tempo 17 Februari 2008). Seseorang yang memberikan jasa khusus, itulah penjasa. Seseorang yang melakukan pengorbanan khusus, itulah pahlawan. Berjasa berarti memberikan sesuatu. Berkorban berarti kehilangan sesuatu.

Dalam praktik, terutama demi kepentingan politik, pembedaan ini sering diabaikan. Maka tidak mengejutkan, misalnya, pada 2010 muncul usul agar mantan presiden Soeharto diberi gelar pahlawan nasional. Alasannya: dibandingkan dengan sembilan calon lain yang diajukan ke Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa  tahun itu, Soeharto paling layak. Dia hidup dan berperan besar dalam empat masa pembangunan, 1945-2008.

Bahwa Soeharto berperan besar, itu jelas dan harus diakui. Dia penjasa. Karena itulah  dia telah dianugerahi gelar bapak pembangunan. Namun tidak dengan itu dia otomatis pahlawan. Tidak setiap penjasa adalah pahlawan. Soeharto memang memberikan jasa khusus, tetapi tidak melakukan pengorbanan khusus. Dia tidak mengorbankan dirinya sendiri. Sebaliknya, dalam banyak kasus pelanggaran HAM selama berkuasa, dia justru mengorbankan (banyak) orang lain. Dia pun tidak kehilangan sesuatu. Sebaliknya, dia mendapat hampir segala sesuatu, bahkan secara berlimpah-limpah. Dia hanyalah seorang penjasa. Dia bukan seorang pahlawan.

Bagaimana dengan Bupati Yance Sunur? Dalam tolak tambang di Lembata, dia bukanlah pahlawan. Dia tidak melakukan pengorbanan khusus. Dia tidak kehilangan apa pun. Yang pantas digelari pahlawan adalah masyarakat Leragere sendiri. Mereka telah berkali-kali melakukan demo tolak tambang. Berkali-kali berkonfrontasi dengan pemerintah. Berkali-kali diancam, dst. Bahkan, mereka telah mempertaruhkan nyawa melalui sumpah adat. Mereka tidak akan mengizinkan sejengkal pun tanah warisan leluhurnya ditambang. Melanggar sumpah adat ini berarti kematian.  

Dalam tolak tambang di Lembata, Bupati Yance Sunur juga bukanlah penjasa. Dia tidak memberikan jasa khusus. Yang pantas digelari penjasa adalah para imam Katolik yang berkali-kali turun ke tengah masyarakat Leragere melakukan penyadaran. Meskipun, kalau dianugerahi gelar ini, mereka mungkin akan menolak, sebab bagi mereka apa yang mereka lakukan hanyalah sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan oleh semua kaum tertahbis, karena altar imam adalah altar kehidupan masyarakat, tidak sekadar altar di gedung-gedung gereja.

Kalau bukan sebagai pahlawan, bukan pula sebagai penjasa, lantas sebagai apakah Bupati Yance Sunur? Tidak sebagai apa-apa, selain hanya sebagai bupati, titik, yang dulu saat menuju kursi Lembata 1 berkampanye tolak tambang, tetapi sekarang ketika duduk di atas kursi itu mulai melupakan janjinya dan perlahan tergoda mewacanakan buka tambang.

Kalaupun dipaksa-paksakan untuk dimasukkan ke dalam perjuangan tolak tambang, di tengah kenyataan tersebut di atas, maka sebagai apanya sang bupati akan mengerucut pada dua kemungkinan berikut. Pertama,  jika janji tolak tambang pada kampanyenya hanyalah akal-akalan guna mendulang suara memenangkan pemilukada, maka dia telah bertindak sebagai pembohong. Kedua, jika janji tolak tambang pada kampanyenya benar-benar sebuah komitmen dengan rakyat tetapi kemudian dia tanggalkan hanya demi komitmen barunya dengan investor, maka dia telah bertindak sebagai pengkhianat.

Kalau seperti ini keadaannya,  lalu atas dasar apa dia digelari pahlawan tolak tambang? Apakah masyarakat Leragere sudah begitu dungunya sampai tidak bisa  membedakan secara sederhana saja mana yang bernas dan mana yang ampas? Atau sudah demikian bobroknyakah mereka sehingga mudah beralih tabiat dari pejuang menjadi penjilat, demi duit, sembako, proyek, dan lain-lain?

Saya menduga sebaliknya.  Masyarakat Leragere cerdas dan berintegritas. Mereka menganugerahi bupatinya gelar pahlawan bukan “karena” sang bupati telah melakukan pengorbanan khusus, tetapi “supaya” sang bupati berkewajiban melakukan pengorbanan khusus. Gelar di sini bukan lagi Gabe, pemberian sebagai kontraprestasi, tetapi Aufgabe, tugas yang harus ditunaikan. Sungguh sebuah kreativitas dari masyarakat yang cerdas dan berintegritas. ***

“Opini” Flores Pos, Sabtu 15 September 2012

Tidak ada komentar: