01 Oktober 2012

Kejutan dari Lembata



Oleh Frans Anggal

Badan Anggaran (Banggar) DPRD Lembata bikin kejutan. Diwartakan Flores Pos medio September 2012, banggar mengusulkan agar setiap anggota DPRD mendapat fasilitas mobil. Dalam cakaran pemkab,  dengan jumlah anggota DPRD 22 orang, dikalikan dengan harga mobil sekitar Rp200 juta per unit, maka dana APBD yang harus digelontorkan sekitar Rp4 miliar.

Ini kejutan. Dalam nalar publik, yang mendesak dipenuhi bukanlah pembelian mobil bagi wakil rakyat, melainkan perbaikan infrastruktur dasar jalan raya bagi semua rakyat. Banyak ruas jalan raya di Lembata yang rusak sana-sini. Tidak sedikit pula yang  masih berupa jalan tanah. Koq, yang terlintas dalam benak banggar bukan bagaimana agar jalan-jalan itu diperbaiki dan ditingkatkan mutunya, tetapi bagaimana agar semua wakil rakyat memperoleh fasilitas mobil.

Dalam kondisi infrastruktur dasar jalan raya yang masih sangat memprihatinkan, tidak meleknya banggar menunjukkan mereka tidak memiliki sense of crisis, yaitu kepekaan merasakan gentingnya masalah. Di sisi lain, tidak tergeraknya mereka mendahulukan perbaikan dan peningkatan kualitas infrastrutur dasar itu memperlihatkan mereka tidak mempunyai sense of urgency, yakni kepekaan merasakan mana yang mendesak didahulukan. Dalam perkara rasa, mereka cuma merasa tahu tetapi tidak tahu merasa. Mereka cuma merasa peka tetapi tidak peka merasa. Mereka sudah pekak-rasa, tidak lagi peka-rasa.

Perkara rasa pernah heboh pada sebuah kabupaten di Flores beberapa tahun lalu. Pemkab Ende membeli sebuah mobil mewah Toyota Land Cruiser miliaran rupiah untuk bupati. Nalar publik langsung menilai pemkab tidak punya sense of crisis dan sense of urgency. Yang menjadi pertanyaan: patutkah bupati sebuah daerah yang infrastruktur dasar jalan rayanya masih buruk menggunakan mobil mewah miliaran rupiah? 

Jawaban Pemkab Ende kala itu: patut, bahkan harus. Sebab, medan di Kabupaten Ende berat. Jalannya buruk. Mobil biasa tidak bisa tembus ke desa-desa. Hanya mobil sekelas Toyota Land Cruiser yang bisa menerobos medan berat itu. Dan itu benar, masuk akal seratus persen. Toyota Land Cruiser adalah mobil serbaguna. Land Cruiser terkenal dengan ketangguhannya di medan berat.

Yang dipertanyakan publik: kalau jalan buruklah yang menjadi masalah, mengapa bukan jalan itu yang diperbaiki? Seandainya jalan diperbaiki atau ditingkatan mutunya maka bukan hanya bupati dengan Land Cruisernya tetapi semua orang dengan kendaraan apa saja bisa dan mudah mencapai desa-desa. Rakyat dari desa pun akan gampang memasarkan hasil mereka ke kota. Jadi? Dari segi kepentingan umum, Land Cruiser bukan jawaban tepat. Land Cruiser hanya menjawabi kepentingan bupati. Kalau kepentingan bupatilah yang paling penting, bukankah lebih efektif membeli sebuah helikopter?  Sebab, helikopter tidak membutuhkan jalan raya. Tanpa jalan raya, dengan helikoper, bupati bisa ke pelosok mana pun.   

Gugatan yang sama patut dialamatkan kepada Banggar DPRD Lembata yang mengusulkan pembelian mobil bagi  setiap anggota DPRD di tengah kenyataan masih sangat memprihatinkannya infrastruktur dasar jalan raya di kabupaten itu. Meskipun, dalam berita Flores Pos tidak tersurat alasan dari usulan itu. Yang terlansir hanyalah tujuannya, yakni untuk kepentingan rakyat. Maksudnya, untuk memperlancar mobilitas segala urusan para anggota dewan demi kepentingan rakyat.

Kalau tujuannya memperlancar mobilitas maka itu berarti salama ini, selama belum ada mobil dinas per anggota, mobilitas para wakil rakyat belum benar-benar lancar. Supaya lancar betul, ya, harus beli mobil. Taruhlah, mobil itu dibeli. Apa yang terjadi dalam kondisi infrastruktur dasar jalan raya yang bertebaran lubang di sana-sini? Sebagaimana kendaraan lain yang digunakan masyarakat umum selama ini, 22 mobil DPRD Lembata itu akan semaput juga. Lain halnya kalau yang dibeli adalah Toyota Land Cruiser seperti yang digunakan bupati Ende, dan itu berarti APBD Lembata harus mengucurkan Rp22 miliar lebih. Atau, agar mobilitas para wakil rakyat (yang katanya demi kepentingan rakyat) itu  tetap mudah, cepat, dan lancar, meskipun tak ada lagi jalan raya di Lembata, maka lebih efektif  membeli 22 helikopter, dan itu berarti APBD Lembata langsung habis bahkan minus.

Dengan uji penalaran seperti ini,  terlihat betapa Banggar DPRD Lembata tidak menempatkan usulannya dalam etika pelayanan publik. Padahal, merujuk Kathryn G. Denhardt (1988), agar dianggap etis maka para wakil rakyat perlu menguji dan mempertanyakan standar atau  asumsinya sebagai dasar pembuatan usulan atau keputusan. Standar atau asumsi itu harus mencerminkan nilai-nilai dasar masyarakat, yang meliputi kebebasan, kesetaraan, keadilan, kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Nilai-nilai dasar masyarakat itulah yang hilang dalam usulan banggar, selain terinjak habisnya nalar publik. Padahal, dalam tupoksinya sebagai banggar, mereka tetaplah wakil rakyat, yang secara etis berkewajiban mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi. Dalam konteks usulannya, mereka berkewajiban mengutamakan perbaikan dan peningkatan mutu jalan raya yang digunakan semua orang, bukan mendahulukan pembelian mobil yang dipakai hanya oleh segelintir orang, diri mereka sendiri. Yang harus menjadi lokus dan fokus, pusat dan kiblat mereka adalah rakyat dan kepentingan umum. Ini justru tidak tampak. Banggar DPRD Lembata melakukan penjungkirbalikan. Mereka menjadikan diri mereka sendiri lokus dan fokus, pusat dan kiblat. Sebuah egosentrisme sekaligus egoisme.

Pada banyak persoalan etis seperti ini,  wakil rakyat gemar memakai argumentasi teknis. Jadinya tidak nyambung, padahal mereka penyambung lidah rakyat. Lazimnya argumentasi teknis mereka meliputi empat hal: aturan, prosedur, anggaran, dan kesepakatan. Pertimbangan prosedural-teknis mereka gunakan untuk menghadapi persoalan substansial-etis. Etiket mereka pakai untuk menghadapi etika.

K. Bertens (2000) menjelaskan perbedaan antara etika dan etiket secara sederhana. Etika mengacu pada norma tindakan. Pertanyaannya, apakah tindakan itu baik (boleh) atau buruk (tidak boleh) dilakukan. Mencuri, misalnya, jelas tidak baik, kapan pun, di mana pun, atas cara apa pun, dengan alasan dan tujuan apa pun. Sedangkan etiket mengacu pada  tata cara tindakan dilakukan. Pertanyaannya, apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kebiasaan yang berlaku. Dalam budaya masyarakat tertentu, memberi dengan tangan kiri itu melanggar etiket, melanggar sopan santun, tetapi tidak pada masyarakat berkebudayaan lain. Karena itu, kata Bertens, etika berlaku universal dan mengutamakan sikap batin. Sedangkan etiket berlaku parsial, dan mengutamakan simbol lahiriah.

Dikhawatirkan, etiket alias argumentasi prosedural-teknislah yang akan dimenangan DPRD Lembata dalam perjuangannya yang sudah kebelet mendapat mobil dinas. Hal seperti sudah terjadi di Kabupaten Sikka, seperti diwartakan Flores Pos  pekan pertama dan kedua September 2012. DPRD Sikka  membangun tiga rumah jabatan  (rujab) pimpinan Rp2 miliar lebih di tengah kenyataan sudah ada rumah dinas dan masih memprihatinkannya kondisi banyak infrastruktur dasar dan fasilitas publik. Argumetasi mereka betul-betul prosedural-teknis. Bahwa, pembangunan rujab itu sudah ditetapkan dan dianggarkan sesuai dengan aturan dan mekanisme yang berlaku.

Akan demikian jugakah sikap DPRD Lembata menyahuti usulan banggar? Mudah-mudah tidak. Angin segar telah diembuskan Ketua Partai Golkar Lembata Yohanes de Rosari yang adalah juga ketua DPRD Lembata. Diwartakan Flores Pos Selasa 25 September 2012, Yohanes de Rosari menolak usulan banggar. Alasannya, masih banyak kebutuhan masyaraat seperti air, listrik, dan jalan yang harus diperhatikan serius oleh Pemkab dan DPRD Lembata. Argumentasinya adalah argumentasi substansial-etis. Argumentasi seperti inilah yang seharusnya dimenangkan oleh banggar.

Mudah-mudahan Yohanes de Rosari tidak sendirian. Masih ada 21 anggota DPRD Lembata yang sikapnya sedang ditunggu-tunggu oleh rakyat. Apakah mereka juga akan menempatkan yang substansial-etis di atas yang prosedural-teknis? Mengutamakan etika daripada etiket? Mendahulukan yang pupulisentris dan altruistis ketimbang yang egosentris dan egoistis? Jawaban atasnya akan memperlihatkan jatidiri DPRD Lembata sesungguhnya. Apakah mereka wakil rakyat autentik, ataukah cuma wakil rakyat statistik. ***

“Opini” Flores Pos, Sabtu 29 September 2012

Tidak ada komentar: