Badan
Anggaran (Banggar) DPRD Lembata bikin kejutan. Diwartakan Flores Pos medio September 2012, banggar mengusulkan agar setiap anggota
DPRD mendapat fasilitas mobil. Dalam cakaran pemkab, dengan jumlah anggota DPRD 22 orang,
dikalikan dengan harga mobil sekitar Rp200 juta per unit, maka dana APBD yang
harus digelontorkan sekitar Rp4 miliar.
Ini
kejutan. Dalam nalar publik, yang mendesak dipenuhi bukanlah pembelian mobil
bagi wakil rakyat, melainkan perbaikan infrastruktur dasar jalan raya bagi
semua rakyat. Banyak ruas jalan raya di Lembata yang rusak sana-sini. Tidak
sedikit pula yang masih berupa jalan
tanah. Koq, yang terlintas dalam benak banggar bukan bagaimana agar jalan-jalan
itu diperbaiki dan ditingkatkan mutunya, tetapi bagaimana agar semua wakil
rakyat memperoleh fasilitas mobil.
Dalam
kondisi infrastruktur dasar jalan raya yang masih sangat memprihatinkan, tidak
meleknya banggar menunjukkan mereka tidak memiliki sense of crisis, yaitu kepekaan merasakan gentingnya masalah. Di
sisi lain, tidak tergeraknya mereka mendahulukan perbaikan dan peningkatan
kualitas infrastrutur dasar itu memperlihatkan mereka tidak mempunyai sense of urgency, yakni kepekaan
merasakan mana yang mendesak didahulukan. Dalam perkara rasa, mereka cuma
merasa tahu tetapi tidak tahu merasa. Mereka cuma merasa peka tetapi tidak peka
merasa. Mereka sudah pekak-rasa, tidak lagi peka-rasa.
Perkara
rasa pernah heboh pada sebuah kabupaten di Flores beberapa tahun lalu. Pemkab
Ende membeli sebuah mobil mewah Toyota Land Cruiser miliaran rupiah untuk
bupati. Nalar publik langsung menilai pemkab tidak punya sense of crisis dan sense of
urgency. Yang menjadi pertanyaan: patutkah bupati sebuah daerah yang
infrastruktur dasar jalan rayanya masih buruk menggunakan mobil mewah miliaran
rupiah?
Jawaban Pemkab Ende kala itu: patut, bahkan harus. Sebab, medan di Kabupaten Ende berat. Jalannya buruk. Mobil biasa tidak bisa tembus ke desa-desa. Hanya mobil sekelas Toyota Land Cruiser yang bisa menerobos medan berat itu. Dan itu benar, masuk akal seratus persen. Toyota Land Cruiser adalah mobil serbaguna. Land Cruiser terkenal dengan ketangguhannya di medan berat.
Yang dipertanyakan publik: kalau jalan buruklah yang menjadi masalah, mengapa bukan jalan itu yang diperbaiki? Seandainya jalan diperbaiki atau ditingkatan mutunya maka bukan hanya bupati dengan Land Cruisernya tetapi semua orang dengan kendaraan apa saja bisa dan mudah mencapai desa-desa. Rakyat dari desa pun akan gampang memasarkan hasil mereka ke kota. Jadi? Dari segi kepentingan umum, Land Cruiser bukan jawaban tepat. Land Cruiser hanya menjawabi kepentingan bupati. Kalau kepentingan bupatilah yang paling penting, bukankah lebih efektif membeli sebuah helikopter? Sebab, helikopter tidak membutuhkan jalan raya. Tanpa jalan raya, dengan helikoper, bupati bisa ke pelosok mana pun.
Jawaban Pemkab Ende kala itu: patut, bahkan harus. Sebab, medan di Kabupaten Ende berat. Jalannya buruk. Mobil biasa tidak bisa tembus ke desa-desa. Hanya mobil sekelas Toyota Land Cruiser yang bisa menerobos medan berat itu. Dan itu benar, masuk akal seratus persen. Toyota Land Cruiser adalah mobil serbaguna. Land Cruiser terkenal dengan ketangguhannya di medan berat.
Yang dipertanyakan publik: kalau jalan buruklah yang menjadi masalah, mengapa bukan jalan itu yang diperbaiki? Seandainya jalan diperbaiki atau ditingkatan mutunya maka bukan hanya bupati dengan Land Cruisernya tetapi semua orang dengan kendaraan apa saja bisa dan mudah mencapai desa-desa. Rakyat dari desa pun akan gampang memasarkan hasil mereka ke kota. Jadi? Dari segi kepentingan umum, Land Cruiser bukan jawaban tepat. Land Cruiser hanya menjawabi kepentingan bupati. Kalau kepentingan bupatilah yang paling penting, bukankah lebih efektif membeli sebuah helikopter? Sebab, helikopter tidak membutuhkan jalan raya. Tanpa jalan raya, dengan helikoper, bupati bisa ke pelosok mana pun.
Gugatan
yang sama patut dialamatkan kepada Banggar DPRD Lembata yang mengusulkan
pembelian mobil bagi setiap anggota DPRD
di tengah kenyataan masih sangat memprihatinkannya infrastruktur dasar jalan
raya di kabupaten itu. Meskipun, dalam berita Flores Pos tidak tersurat alasan dari usulan itu. Yang terlansir
hanyalah tujuannya, yakni untuk kepentingan rakyat. Maksudnya, untuk
memperlancar mobilitas segala urusan para anggota dewan demi kepentingan
rakyat.
Kalau
tujuannya memperlancar mobilitas maka itu berarti salama ini, selama belum ada
mobil dinas per anggota, mobilitas para wakil rakyat belum benar-benar lancar.
Supaya lancar betul, ya, harus beli mobil. Taruhlah, mobil itu dibeli. Apa yang
terjadi dalam kondisi infrastruktur dasar jalan raya yang bertebaran lubang di
sana-sini? Sebagaimana kendaraan lain yang digunakan masyarakat umum selama
ini, 22 mobil DPRD Lembata itu akan semaput juga. Lain halnya kalau yang dibeli
adalah Toyota Land Cruiser seperti yang digunakan bupati Ende, dan itu berarti
APBD Lembata harus mengucurkan Rp22 miliar lebih. Atau, agar mobilitas para
wakil rakyat (yang katanya demi kepentingan rakyat) itu tetap mudah, cepat, dan lancar, meskipun tak
ada lagi jalan raya di Lembata, maka lebih efektif membeli 22 helikopter, dan itu berarti APBD
Lembata langsung habis bahkan minus.
Dengan
uji penalaran seperti ini, terlihat
betapa Banggar DPRD Lembata tidak menempatkan usulannya dalam etika pelayanan
publik. Padahal, merujuk Kathryn G. Denhardt (1988), agar dianggap etis maka
para wakil rakyat perlu menguji dan mempertanyakan standar atau asumsinya sebagai dasar pembuatan usulan atau
keputusan. Standar atau asumsi itu harus mencerminkan nilai-nilai dasar
masyarakat, yang meliputi kebebasan, kesetaraan, keadilan, kebenaran, kebaikan,
dan keindahan.
Nilai-nilai
dasar masyarakat itulah yang hilang dalam usulan banggar, selain terinjak
habisnya nalar publik. Padahal, dalam tupoksinya sebagai banggar, mereka
tetaplah wakil rakyat, yang secara etis berkewajiban mendahulukan kepentingan
rakyat daripada kepentingan pribadi. Dalam konteks usulannya, mereka berkewajiban
mengutamakan perbaikan dan peningkatan mutu jalan raya yang digunakan semua
orang, bukan mendahulukan pembelian mobil yang dipakai hanya oleh segelintir
orang, diri mereka sendiri. Yang harus menjadi lokus dan fokus, pusat dan
kiblat mereka adalah rakyat dan kepentingan umum. Ini justru tidak tampak.
Banggar DPRD Lembata melakukan penjungkirbalikan. Mereka menjadikan diri mereka
sendiri lokus dan fokus, pusat dan kiblat. Sebuah egosentrisme sekaligus
egoisme.
Pada
banyak persoalan etis seperti ini, wakil
rakyat gemar memakai argumentasi teknis. Jadinya tidak nyambung, padahal mereka
penyambung lidah rakyat. Lazimnya argumentasi teknis mereka meliputi empat hal:
aturan, prosedur, anggaran, dan kesepakatan. Pertimbangan prosedural-teknis
mereka gunakan untuk menghadapi persoalan substansial-etis. Etiket mereka pakai
untuk menghadapi etika.
K.
Bertens (2000) menjelaskan perbedaan antara etika dan etiket secara sederhana.
Etika mengacu pada norma tindakan. Pertanyaannya, apakah tindakan itu baik (boleh)
atau buruk (tidak boleh) dilakukan. Mencuri, misalnya, jelas tidak baik, kapan
pun, di mana pun, atas cara apa pun, dengan alasan dan tujuan apa pun.
Sedangkan etiket mengacu pada tata cara
tindakan dilakukan. Pertanyaannya, apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan
kebiasaan yang berlaku. Dalam budaya masyarakat tertentu, memberi dengan tangan
kiri itu melanggar etiket, melanggar sopan santun, tetapi tidak pada masyarakat
berkebudayaan lain. Karena itu, kata Bertens, etika berlaku universal dan mengutamakan
sikap batin. Sedangkan etiket berlaku parsial, dan mengutamakan simbol
lahiriah.
Dikhawatirkan,
etiket alias argumentasi prosedural-teknislah yang akan dimenangan DPRD Lembata
dalam perjuangannya yang sudah kebelet mendapat mobil dinas. Hal seperti sudah
terjadi di Kabupaten Sikka, seperti diwartakan Flores Pos pekan pertama dan
kedua September 2012. DPRD Sikka
membangun tiga rumah jabatan
(rujab) pimpinan Rp2 miliar lebih di tengah kenyataan sudah ada rumah
dinas dan masih memprihatinkannya kondisi banyak infrastruktur dasar dan
fasilitas publik. Argumetasi mereka betul-betul prosedural-teknis. Bahwa,
pembangunan rujab itu sudah ditetapkan dan dianggarkan sesuai dengan aturan dan
mekanisme yang berlaku.
Akan
demikian jugakah sikap DPRD Lembata menyahuti usulan banggar? Mudah-mudah
tidak. Angin segar telah diembuskan Ketua Partai Golkar Lembata Yohanes de
Rosari yang adalah juga ketua DPRD Lembata. Diwartakan Flores Pos Selasa 25 September 2012, Yohanes de Rosari menolak
usulan banggar. Alasannya, masih banyak kebutuhan masyaraat seperti air,
listrik, dan jalan yang harus diperhatikan serius oleh Pemkab dan DPRD Lembata.
Argumentasinya adalah argumentasi substansial-etis. Argumentasi seperti inilah
yang seharusnya dimenangkan oleh banggar.
Mudah-mudahan
Yohanes de Rosari tidak sendirian. Masih ada 21 anggota DPRD Lembata yang
sikapnya sedang ditunggu-tunggu oleh rakyat. Apakah mereka juga akan
menempatkan yang substansial-etis di atas yang prosedural-teknis? Mengutamakan
etika daripada etiket? Mendahulukan yang pupulisentris dan altruistis ketimbang
yang egosentris dan egoistis? Jawaban atasnya akan memperlihatkan jatidiri DPRD
Lembata sesungguhnya. Apakah mereka wakil rakyat autentik, ataukah cuma wakil
rakyat statistik. ***
“Opini”
Flores Pos, Sabtu 29 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar