Senin,
1 Oktober 2012. “Selamat mengenang awal tragedi terbesar di negeri ini, 47
tahun lalu, saat ribuan orang dibunuh dan ribuan lain dipenjara tanpa proses
peradilan.”
Kata-kata
itu tertera pada dinding akun Facebook Hery Prabowo, seorang sahabat, jurnalis
di Jakarta. Dia satu dari sedikit orang yang sedang melawan lupa. Dia tetap mengenangkan
kejadian selepas 30 September 1965, seraya mengingatkan sesamanya agar tidak pernah lupa.
Berapa
persisnya korban terbantai setelah G-30-S, belum dipastikan. Dari 39 artikel himpunan Robert
Cribb (1990), jumlahnya berkisar 78 ribu hingga 2 juta. Kalau dirata-ratakan, 432.590.
Sebagian besar sejarahwan sepakat, minimal 500 ribu orang dihabisi. Ini jumlah terbesar
dalam sejarah Indonesia. Sedangkan jenisnya,
di tingkat dunia, ini salah satu kejahatan terbesar terhadap kemanusiaan pada paro kedua abad 20.
Karakteristik
pembantaian massal itu pun khas. "Mereka (para algojo) menggunakan pisau
atau golok," tulis Cribb. Dengan kata lain, peralatannya sederhana. Tidak
seperti Nazi di Jerman, misalnya, yang membunuh
massal orang Yahudi dengan teknologi canggih masa itu: kamar gas.
Demikian
pula tempat pembantaiannya, sederhana. Umumnya para calon korban dibunuh dekat rumah mereka sendiri. "Biasanya
malam hari," tulis Cribb. Berbeda dengan Nazi yang harus jauh-jauh menggiring
calon korban ke kamp-kamp konsentrasi.
Proses
pembantaiannya pun singkat. Beberapa bulan, tuntas. Tidak demikian waktu yang dibutuhkan Nazi atau Khmer Merah. Rezim
Hitler di Jerman dan Pol Pot di Kamboja membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Pembantaian
massal ala Indonesia ini cepat, mudah,
murah, juga meluas, dan pasti karena terencana, dengan demikian pula sesungguhnya
sistematis. Karakteristik ini
menunjukkan orkestrasi kematian itu punya konduktor andal, dari pucuk kekuasaan negara, melalui rentang
kendali aparatur negara, dalam koordinasi apik aparat terlatih. Tidak terbantahkan,
ini adalah kejahatan negara.
Pelakunya?
Komnas HAM, yang menyelidik empat tahun sejak 2008, mempunyai jawaban atas
dugaan pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan ini. Kata Wakil Ketua Nurcholis dalam jumpa pers
di Jakarta, Senin 23 Juli 2012, yang dianggap bisa dimintai pertanggungjawaban adalah
semua pejabat struktural Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)
pada 1965-1968 dan 1970-1978 serta semua panglima militer daerah saat itu (www.bbc.co.uk).
Akankan
pelaku ditindak? Jawabannya tergantung pada Kejaksaan Agung, institusi yang berwenang melakukan
penyelesaian yudisial. Yang terbayangkan, itu pasti tidak mudah. Sebab, kejahatan ini
kejahatan negara, yang bersifat impersonal dan massal.
Menurut
kriminolog Adrianus Meliala (2006), semakin personal pelaku suatu kejahatan
atau penyimpangan maka semakin mudah kejahatan atau penyimpangan itu dilihat,
diperlakukan, dan ditindak. Sebaliknya, semakin
impersonal dan massal pelaku dan korbannya maka semakin tidak mudah pula kejahatan atau penyimpangan itu
diperlakukan, apalagi ditindak.
Preposisi
kriminologis ini menawarkan solusi, yang tentu masih bisa diperdebatkan. Bahwa,
terhadap dugaan kejahatan yang dilakukan entitas sebesar negara, harapan akan
penyelesaian yudisial berkemungkinan
besar akan jauh panggang dari api. Kemungkinan solusi terbaik adalah solusi melalui
konsolidasi sosial-politik antar-elemen non-negara. Bukan solusi dengan membawa
kasusnya ke jalur hukum.
Solusi
non-yudisial itu dimungkinkan. Sebab, mekanismenya sudah ada, melalui komisi
kebenaran dan rekonsiliasi, sebagaimana diatur dalam pasal 47 ayat 1 dan 2 UU
Pengadilan HAM.
Dalam
konteks ini, pernah terbetik rencana Presiden SBY mengajukan permintaan maaf
kepada para korban semua pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Air sejak
Indonesia merdeka.
Menanggapi
rencana ini, ahli filsafat politik Franz Magnis-Suseno SJ menurunkan opini yang
mendukung (Kompas, Sabtu 24 Maret
2012). “Dengan minta maaf,” tulis Magnis-Suseno, “kita akan dibebaskan dari sisa kebencian dan
dendam warisan pemerintahan Soeharto. Kita tahu, orang yang hatinya masih ada
dendam dan benci tak dapat menghadap Pencipta dengan rasa baik. Kita pun ikut
bersalah. Bersalah karena kita tidak menyebutkan jahat apa yang jahat, bersalah
karena tidak mengakui para korban sebagai korban. Permintaan maaf akan
membebaskan hati kita juga.”
Sulastomo,
Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam 1963-1966, beropini sebaliknya:
rencana itu tidak pantas didukung (Kompas, 31 Maret 2012). “Kalau benar presiden hendak minta maaf atas
peristiwa 1965 itu, siapa yang harus meminta maaf ketika partai-partai lawan
PKI dibubarkan, pemimpin Masyumi/PSI dipenjarakan tanpa diadili, pemimpin teras
TNI/Angkatan Darat diculik dan dibunuh, demikian juga korban peristiwa Madiun
1948?”
Menurut
Sulastomo, minta maaf pada salah satu golongan saja lebih bersifat politis, dengan
demikian akan tetap meninggalkan implikasi politik. “Dengan pertimbangan
seperti itu, Presiden SBY tak perlu minta maaf atas kejadian 1965. Pendekatan
budaya justru akan lebih memperkukuh upaya rekonsiliasi nasional.”
Beberapa
tahun sebelumnya Presiden SBY menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada
Syafrudin Prawiranegara, tokoh yang menurut Sulastomo dapat merepresentasikan
pemimpin Masyumi yang hak-hak sipilnya pernah direnggut. “Kebijakan Presiden
SBY itu bisa dianggap sebagai penyelesaian dengan pendekatan budaya terhadap
pelanggaran HAM yang dialami tokoh Masyumi dan anggotanya yang banyak
dipenjarakan tanpa diadili.”
Hingga
di sini, bentuk penyelesaian yang paling mungkin tampaknya masih akan menjadi
wacana panjang. Lagi pula, merujuk Magnis-Suseno, masalahnya tidaklah sederhana,
bahwa pembunuhan itu kebijakan terencana Soeharto. Sesungguhnya, pembunuhan
itu—di dalamnya militer memang sangat terlibat—merupakan akibat dari akumulasi ketegangan
bertahun-tahun. Yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Soeharto adalah
kebijakan resmi negara sesudah 11 Maret 1966, berupa penghancuran kehidupan
serta stigmatisasi ”terlibat” atau “tak bersih lingkungan”, yang menciptakan benci
dan dendam gelap.
Di
tengah silang pendapat ini, apa yang bisa dilakukan warga? Sesuatu yang sederhana
namun bermakna? Jawabannya diperlihatkan Hery Prabowo. Ia mengenangkan peristiwa
itu. Peristiwa penumpasan kudeta PKI, yang berujung pembunuhan massal terhadap semua
yang dicap komunis, disusul kebijakan negara yang menghancurkan hidup serta
menstigmatisasi terkutuk jutaan masyarakat yang sejatinya tidak terlibat,
dengan ratusan ribu orang ditahan selama lebih dari sepuluh tahun, yang hampir
semuanya tidak melewati proses peradilan. Mengenangkan peristiwa itu dan korbannya
merupakan langkah melawan lupa.
Langkah
ini penting, karena selama 32 tahun Orde Baru, mata hati warga dipenuhi debu manipulasi
sejarah melalui historiografi yang dimonopoli penguasa. Di dalamnya, yang satu
diperlihatkan, yang lain disembunyikan. Yang satu diingatkan, yang lain dilupakan.
G-30-S dikenang, tetapi dengan politik
ingatan hanya pada kebiadaban PKI, titik.
Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober dikenang, tetapi dengan politik ingatan hanya pada kepahlawanan
Soeharto, titik.
Selama
32 tahun, warga tidak berani mengenang sesuatu yang sengaja dihilangkan penguasa dari
ingatan mereka. Yaitu, kejahatan negara membantai dan memenjarakan massal
rakyatnya sendiri tanpa proses peradilan.
Sejarah
memang sering hanyalah sejarahnya pamenang, bukan sejarahnya pecundang. Sejarahnya
penguasa, bukan sejarahnya jelata. Penyair Bertolt Brecht menyadari ini ketika
melalui puisinya ‘menatap’ Tembok Tiongkok. // Pada
malam ketika Tembok Tiongkok jadi, / Ke
mana para tukang batu pergi?// Tak ada jawaban. Para tukang batu itu tidak tercatat.
Hanya para kaisarlah yang disebut-sebut.
Lebih
dramatis, ‘tatapan’ sosiolog Peter L. Berger pada piramida di Mesir. Ia tidak menanyakan ke
mana para tukang batu pergi setelah piramida dibangun. Tetapi, berapa banyak tukang batu yang mati. Di mata Berger,
piramida itu tidak hanya piramida kemashyuran firaun, tapi juga dan terutama
‘piramida korban manusia’ (pyramids of
sacrifice).
Mata
hati Brecht ‘menatap’ Tembok Tiongkok
dan mata hati Berger ‘menatap’ piramida di Mesir sesungguhnya sama dengan mata hati Hery Prabowo
cs ‘menatap’ 1 Oktober. Mata hati yang celik
setelah bersih dari debu manipulasi sejarah penguasa. Mata hati, yang akhirnya
berani mengakui kejahatan sebagai kejahatan, korban sebagai korban. Sebuah mata hati melawan
lupa. ***
“Opini” Flores
Pos, Sabtu 6 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar