21 Maret 2009

Kembalikan Hak Sekolah

Oleh Frans Anggal

Kelulusan ujian nasional (UN) SMA/MA di NTT tahun ini 62,72 persen. Naik 0,67 persen dibanding tahun lalu. Hasil ini cukup optimal, kata Kadis P dan K Thobias Ully. Apalagi, standar kelulusan tahun ini naik dari 5,0 menjadi 5,25. Jumlah mata ujian pun bertambah dari tiga menjadi enam. Jumlah mata ujian per hari juga bertambah dari satu menjadi dua.

Betapun cukup optimal hasilnya, UN tetap tidak pantas dijadikan penentu kelulusan. Menurut spirit UU pendidikan, sekolah itu otonom. Yang berhak menentukan kelulusan adalah sekolah.

UN sendiri tidak bersifat utuh-menyeluruh. Yang dinilai hanya otak anak. Selain merugikan peserta didik, cara ini meminggirkan peran guru yang bertahun-tahun mendidik anak dalam segala aspeknya. Yang diasah guru bukan hanya kecerdasan intelektual, tapi juga kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual anak. Karya guru seluas itu direduksi pemerintah melalui UN yang hanya menilai kemampuan intelektual.

Mari tengok Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Salah satu acuan operasional KTSP adalah peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik. Dengan acuan ini, kurikulum disusun sedemikian rupa agar memungkinkan pengembangan keragaman potensi, minat, kecerdasan intelektual, emosional, spritual, dan kinestetik peserta didik secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya. Jadi, sifatnya utuh dan menyeluruh. Semestinya keberhasilan peserta didik dinilai dalam keutuhan dan seluruhan aspek itu. Kecerdasan intelektual hanya salah satu aspek. Anehnya, melalui UN, pemerintah menjadikan kecerdasan intelektual sebagai satu-satunya aspek penentu.

Kecerdasan intelektual memang penting. Namun, bagaimana menerapkan pemikiran kognitif di lapangan sosial, peserta didik membutuhkan kecerdasan emosional. Yaitu, kemampuan memahami dan mengelola emosi diri dan emosi orang lain ketika seseorang berhubungan dengan diri sendiri dan sesama. Tidak hanya itu. Apalah artinya cerdas secara intelektual dan emosional, tetapi bodoh secara spiritual: menipu, berbohong, berkhianat, memfitnah, merampas hak orang lain, dan seterusnya. Orang pintar yang jahat jauh lebih berbahaya. Indonesia rusak jutru oleh ulah orang-orang seperti ini. Makin sukses orang-orang-pintar-tapi-jahat menduduki jabatan dan peran strategis, semakin ganas pula korupsi dan kecurangannya. Langsung atau tidak, UN yang aneh bin ajaib itu turut berandil mencetak orang-orang seperti ini.

UN tidak layak dipertahankan. Kalaupun dipertahankan, UN hanya menjadi sarana akreditasi sekolah, bukan penentu kelulusan. Hak kelulusan ada pada sekolah. Kembalikan hak yang dirampas itu!

"Bentara" FLORES POS, Jumat 20 Juni 2008

Tidak ada komentar: