Oleh Frans Anggal
Menurut KPUD NTT, jumlah pemilih terdaftar dalam pilgub NTT kali ini 2.464.000 lebih. Yang tidak menggunakan hak pilih 512.493 orang atau sekitar 19 persen. Dengan demikian, yang ikut memilih sebanyak 81 persen.
Angka 81 persen menunjukkan tingkat voter turnout, yakni partisipasi pemilih yang mencoblos di TPS pada hari pemilihan. Persentase ini cukup rendah, di bawah rata-rata pemilu nasional. Sejak Orde Baru sampai dengan Orde Reformasi, rata-rata voter turnout di Indonesia sekitar 90 persen.
Rendahnya voter turnout di NTT menggambarkan rendahnya antusiasime publik dan tingkat partisipasi masyarakat. Menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI), ini gejala mencolok pada pilkada langsung di ratusan tempat di Indonesia. Di banyak daerah, hanya 70 persen pemilih terdaftar yang datang ke TPS. Di beberapa tempat, bahkan hanya sekitar 50 persen yang ikut mencoblos. Mengapa?
Sebabnya macam-macam. Versi KPUD NTT menyebutkan alasan, pertama, banyak calon pemilih yang tidak mendapat kartu pemilih. Kedua, ada yang karena tempat TPS jauh dari permukiman. Ketiga, ada pula yang sengaja tidak memilih sebagai wujud sikap politik.
Belum diketahui, alasan mana yang dominan, apakah alasan teknis (alasan pertama dan kedua) ataukah alasan politik (alasan ketiga). Alasan teknis tidak ada kaitannya dengan kepercayaan publik terhadap demokrasi. Yang dikhawatirkan adalah alasan politis. Bisa jadi pemilih kehilangan antusiasme karena reformasi tidak juga membuat kehidupan ekonomi mereka membaik. Survei LSI merekam, kekecewaan publik atas reformasi meningkat.
Jangan-jangan ini yang menjadi penyebab terbesar rendahnya voter turnout pilgub NTT. Mungkin rakyat menilai, siapa pun yang jadi gubernur, sama saja, NTT tetap juara miskin dan juara korupsi. Rakyatnya “NTT” (nasib tidak tentu), pejabatnya “NTT” (nikmat tiada tara), dan semuanya tunggu “NTT” (nanti Tuhan tolong).
Kekecewaan itu kemudian diungkapkan dengan tidak ikut mencoblos. Kalau sudah begini, gawat. Ini pertanda ketidakpercayaan rakyat atas komitmen dan kapabilitas pemimpin yang dipilih secara demokratis. Kalau pemimpin yang dipilih secara demokratis tidak bisa dipercaya, mau jadi apa provinsi ini?
Kita berharap bukan itu alasannya. Mudah-mudahan, rendahnya voter turnout lebih dikarenakan oleh masalah teknis, seperti kata KPUD NTT: karena banyak calon pemilih yang tidak mendapat kartu pemilih dan karena tempat TPS jauh dari permukiman.
Untuk alasan teknis, penyelenggaraan pilkada berikut harus lebih matang. Sedangkan untuk alasan politis, pemimpin terpilih harus mampu membangkitkan kembali kepercayaan rakyat. Buktikan semua janji saat kampanye. Jangan sampai dinilai, sama saja.
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 21 Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar