Oleh Frans Anggal
KPUD NTT telah mengumumkan hasil final pilgub. Keluar sebagai pemenang, FREN (Frans Lebu Raya – Esthon Foenay) dari PDI Perjuangan, mengalahakan TULUS (Ibrahim Agustinus Medah – Paulus Moa) dari Partai Golkar dan GAUL (Gaspar Parang Ehok – Yulius Bobo) dari koalisi parpol.
Hasil final ini tetap sah meski tingkat voter turnout atau partisipasi pemilih yang mencoblos di TPS pada hari pemilihan cukup rendah, 81 persen. Angka ini berada di bawah rata-rata voter turnout di Indonesia, 90 persen. Secara hukum, rendahnya tingkat partisipasi publik tidak membatalkan pemilu. Sejak awal, negara kita menganut asas suka-rela dalam partisipasi politik pada pemilu. Para pemilih boleh mendaftarkan diri sebagai pemilih, boleh juga tidak. Bahkan pemilih yang sudah memiliki kartu pemilih boleh datang ke tempat pemilihan, boleh juga tidak. Partisipasi politik itu dianggap menjadi hak warga negara, bukan kewajiban.
Di AS, negara kampiun demokrasi, voter turnout juga cukup rendah. Dalam pilpres, persentasenya 50-60 persen saja. Meski begitu, demokrasinya terus berjalan. Pemimpin yang terpilih juga memperoleh legitimasi yang kuat. Di sana, siapa pun yang terpilih, sistem politiknya sudah berjalan: pro-demokrasi, pro-pasar bebas, dan pro-kebebasan individu. Rendahnya voter turnout tak berkaitan dengan ketidakpercayaan kepada demokrasi.
Indonesia bukan AS, demikian diingatkan pakar politik Denny JA. Yang “tidak apa-apa” bagi AS bisa menjadi “apa-apa” bagi negeri kita yang masih belajar berdemokrasi. Yang dikhawatirkan, rendahnya voter turnout menjadi awal dari mosi tak percaya publik kepada demokrasi. Ahli komunikasi Effendi Gozali membidiknya dari interaksi publik dengan partai politik.
Sangat kasat mata, pilkada tidak sungguh-sungguh didesain untuk publik, tapi lebih untuk partai politik. Publik hanya objek, yakni pemilih yang didorong-dorong datang ke TPS pada hari-H, dan sebagian dikerahkan saat kampanye. Dalam pilkada, hampir tidak terlihat partai politik melibatkan publik dalam penetapan pasangan calon. Walaupun hak-hak publik dijamin berkali-kali untuk memberi masukan terhadap calon-calon yang akan diajukan partai politik, namun partai politik melenggang sendiri. Alih-alih berkonsultasi dengan publik, partai politik lebih berkonsultasi dengan tim sukses. Tim sukses ini pun bukan mereka yang ahli strategi komunikasi politik atau kampanye, tapi mereka yang punya massa dengan karakter: setia sampai mati, asal dibayar, berani dan nekat berbuat apa pun.
Inikah yang menjadi sebab rendahnya voter turnout dalam pilgub NTT? Kita perlu tahu jawabannya. Agar, setelah pilgub berlalu, yang kita peroleh bukan hanya pemimpin baru, tapi juga pembelajaran berharga bagi demokrasi yang lebih berkualitas.
"Bentara" FLORES POS, Senin 23 Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar