27 Juni 2012

Apa yang Dilakukan Cermin?

Bedah Puisi Uniflor-MAN Ende

Oleh Frans Anggal



cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah 
meraung, tersedan, atau terisak,
meski apa pun jadi terbalik di dalamnya 
barangkali ia hanya bisa bertanya: 
mengapa kau seperti kehabisan suara?

Itulah “Cermin I”, puisi karya penyair Sapardi Djoko Damono, 1980. Puisi ini dibedah dan didiskusikan oleh mahasiswa Semester IV Kelas G Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Flores (Uniflor) bersama mitranya Kelas XI Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Ende. Kegiatan dilangsungkan di aula baru dan megah MAN pada Selasa 29 Mei 2012, selama tiga jam, pukul 10.30-13.30.

Bedah dan diskusi puisi merupakan salah satu model pembelajaran Kajian Apresiasi Puisi, mata kuliah yang diampu Suster Wilda Wisang CIJ. MAN adalah sekolah keenam dari tujuh sekolah yang digandeng sebagai mitra.

Bertema “Nilai Kejujuran dalam Puisi ‘Cermin’ Karya Sapardi Djoko Damono”, kegiatan ini sukses, berkat kerja sama apik di bawah koordinasi Ketua Panitia Polycarpus H. Mbuu dan Sekretaris Mersiana Dhone.

“Cermin adalah media introspeksi,” kata Yustina Ria selaku MC di awal sapaannya. Disusul doa pembukan oleh Triutami Nurdin. “Cermin itu jujur. Tidak berbohong. Apa adanya,” kata Polycarpus saat menyampaikan laporan selaku ketua panitia.

Dalam sambutan membuka kegiatan, Kepala MAN Ende Samsudin Thalib menyampaikan terima kasih atas kepercayaan Uniflor menjadikan MAN mitra dalam kegiatan ini.

Presentasi dan diskusi dimoderatori Maria Goreti Tima Gui. Bertindak sebagai pemateri I, Tekla Angelina Evi, pemateri II Marselinus Dor, pemateri III Egensia Fransiska Pel. Notulis sekaligus perumus simpulan diskusi, Gradiana Rosalina Kabut.

Mengantar presentasi, Fransiska Wua tampil mendeklamasikan “Cermin I”. Pembawaannya sangat padu dengan petikan gitar Oskarius Aja mengiringi Maria Hendrito Mare dan Rian Desantos Karo melantunkan “Untuk Kita Renungkan” karya Ebit G. Ade.

Kegiatan ini ditutup dengan penyerahan cenderamata dari para mahasiswa, disampaikan oleh dosen senior Uniflor Theo Uheng kepada guru senior MAN Haji Abdullah Ama.

Jujur dan Hening 

Pemaparan materi dimulai dari judul. Secara denotatif-leksikal, cermin adalah kaca bening yang salah satu mukanya dicat dengan air raksa dsb. Sehingga dapat memperlihatkan bayangan benda-benda yang ditaruh di depannya, biasanya untuk melihat wajah ketika bersolek dsb.

Sedangkan secara konotatif-imajinatif, cermin kaya akan makna. Terlebih ketika benda mati itu “dihidupkan” dalam tubuh puisi melalui majas personifikasi seakan-akan cermin itu adalah manusia. Itulah yang dilakukan penyair Sapardi Djoko Damono dalam puisinya ini.

// cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah / meraung, tersedan, atau terisak, / meski apa pun jadi terbalik di dalamnya / 

Dengan negasi “tidak pernah”, larik-larik itu hendak menyatakan sesuatu yang tidak tekstual. Bahwa yang dilakukan cermin hanyalah memperlihatkan, bukan menyuarakan. Cermin hanya menyodorkan bayangan benda-benda yang terdapat di depannya. Ia tidak berkomentar apa pun tentangnya. Ia hanya menunjukkan sesuatu, tanpa mengatakan apa pun tentang sesuatu itu.

“Meski tidak bisa berkata apa pun, cermin selalu memberikan gambaran yang jelas tentang sesuatu seperti aslinya, apa adanya,” kata pemateri. Apa yang ada di dalam cermin, sama dengan apa yang ada di luarnya. Itulah kejujuran.

Kejujuran tidak lahir dengan sendirinya. Keutamaan moral ini membutuhkan proses melalui pendidikan dalam pengertian yang luas. Dalam proses panjang itu, yang ditekankan bukan hanya perihal belajar untuk mampu berkata-kata, tetapi juga belajar untuk bisa mengendalikan kata-kata. Belajar untuk “bicara yang penting”, bukan “yang penting bicara”.

Lebih daripada itu, belajar untuk diam. Berhening. Berefleksi. Bermeditasi. Berkontemplasi. Inilah pesan lain dari cermin. Dalam konteks inilah larik keempat dan kelima bisa dipahami. Bahwa, cermin tidak pernah bersuara. Kalaupun bersuara, / barangkali ia hanya bisa bertanya: / mengapa kau seperti kehabisan suara?//.

Yah, mengapa kau seperti kehabisan suara? Jawabannya: karena kau terlalu banyak bersuara! Kurang berhening. Kurang melihat ke dalam diri. Padahal di dalam diri itu ada cermin: hati. Di sini, cermin berarti nurani. Nurani harus bening, lewat hening, agar bisa memperlihatkan sesuatu apa adanya. Itulah kejujuran.

Aktif Bertanya

Saat sesi tanya jawab dibuka, siswa MAN tak lewatkan kesempatan. Mereka sangat aktif. Moderator “terpaksa” menambah jumlah termin, dari dua menjadi tiga.

Termin pertama, lima siswa maju. Isnawati: “Apa hubungan puisi ini dengan kami sebagai pelajar?” Yayu: “Nilai apa yang terkandung dalam puisi ini?” Uni: “Dikatakan, penyair gunakan riama bebas, itu terdapat pada larik mana?” Fauzia: “Berikan contoh kata-kata arkais, dan mengapa disebut arkais.” Swarnika: “Apa latar belakang penulisan puisi ini, dan mengapa diberi judul ‘Cermin’?”

Termin kedua, tujuh siswa tampil. Aludin: “Coba jelaskan arti penulisan tematik dan stilistik.” Nakoda: “Jelaskan makna larik ketiga: meski apa pun jadi terbalik di dalamnya.” Aan: “Apa maksudnya, mengapa kau seperti kehabisan suara?” Sajudin: “Apa hubungan antara cermin dan hati?” Marisa: “Apa tipografi puisi ‘Cermin’, tolong jelaskan.” Sulistri: “Mengapa puisi disebut sebagai puncak karya seni di Indonesia?” Yuni: “Hikmah apa yang dapat kita petik dari puisi ini?”

Termin ketiga, giliran Trisnawati, Uni, dan Nunung. Mereka bertanya tentang gaya bahasa yang membedakan penyair yang satu dari penyair yang lain. Juga tentang rima bebas dan rima terikat.

Pertanyaan mereka dijawab satu per satu oleh pemateri. Dilengkapi oleh floor. Akhirnya disempurnakan oleh dosen.

Masukan dan Saran 

Di mata Ardi Sumbi, cermin menjadi kata yang memiliki banyak arti. Cermin adalah hati, nurani, tempat kita berkiblat untuk menimbang-nimbang sesuatu. Larik / mengapa kau seperti kehabisan suara? / menunjukkan ketumpulan suara hati sehingga tak mampu menyuarakan kebenaran. “Kualitas hidup tidak dilihat dari dari seberapa panjang umur seseorang, tetapi dari seberapa banyak yang ia lakukan dalam menyuarakan dan memperjuangkan kebenaran,” kata dosen Uniflor ini.

Menurut Yohanes Sehandi, Sapardi Djoko Damono adalah penyair sekaligus intelektual. Yang membedakan. Sapardi Djoko Damono dari penyair lain adalah diksi. Ia mengandalkan kekuatan kata yang membangun imajinasi. Kata-katanya sederhana tetapi kuat. “Kita harus selalu bercermin,” pesannya. “Dan, jangan sekali-kali memecahkan cermin, nurani kita.”

Theo Uheng berpendapat, pertanyaan menggelitik pada larik / mengapa kau seperti kehabisan suara? / dan pertanyaan-pertanyaan lain dari floor bisa dijawab oleh “Cermin II” karya Sapardi Djoko Damono. Maka ia menganjurkan “Cermin I” dikaitkan dengan “Cermin II”. “Cermin I” cermin bening. “Cermin II” cermin buram.

Haji Abdullah Ama mengusulkan uraian yang detail tetapi singkat dan runtut tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi. “Ini agar tidak membingungkan anak-anak.”

Wakil siswa berharap kegiatan ini dilanjutkan pada masa mendatang. “Terima kasih kepada kakak-kakak yang telah memberi pengetahuan begitu luas tentang puisi.” ***

Flores Pos, Kamis 31 Mei 2012

Tidak ada komentar: