27 Juni 2012

Bahasa Kita, Jati Diri Kita

Bedah Buku Alexander Bala Gawen

Oleh Frans Anggal


Kesibukan di Aula 2 FKIP Uniflor Ende sangat terasa jelang pukul 08.00, Sabtu 23 Juni 2012. Pagi itu Komunitas Kata PBSI menggelar bedah dan diskusi buku Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa, karya Alexander Bala Gawen.

Alexander Bala Gawen adalah dosen Uniflor, pengampu mata kuliah Teori Pembelajaran Bahasa, dan kini Ketua Program Studi PBSI. Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa  diterbitkan Nusa Indah, Ende,  2012, tebal 148 halaman. Buku yang merupakan materi kuliah Teori Pembelajaran Bahasa ini melewati sentuhan editor M. M. Sinta Wardani dan penyunting naskah Hendrik L. Kerans. Dicetak pada Moya Zam Zam Printika Yogyakarta.

Dalam kegiatan ini, mahasiswa PBSI terlibat penuh. Sebagian besar dari semester VI plus beberapa dari semester IV. Dalam kepanitiaan, misalnya, hanya ketuanya yang dosen, Suster Wilda CIJ, yang kini Sekretaris Program Studi PBSI. Sedangkan sekretarisnya mahasiswa, Adven A. Menzen, dibantu Polycarpus Mbu. Juru kamera Ivan Jehadan. Operator tayang Bartol Tolok. Penangan registrasi Stefin Bude. Konsumsi Irma dan Ilham, membantu dosen mereka Agus Berek.

Demikian pula yang berperan pada sesi bedah dan diskusi, sebagian besar mahasiwsa. MC,  Fransiskus Dena dan Eustakia Erlinda. Moderator Libertus Demu. Notulis Maria Liliornis Inas. Doa, Vivi dan Ona Maria Harti.

Dua dari lima pembahas juga mahasiswa: Yosef Pius Marianus Beoang (pembahas III) dan Elisabeth Valeria Puty (pembahs IV). Bersama moderator, keduanya duduk sederet dengan para dosen: Alexander Bala Gawen (penulis), Pius Pampe (pembahasa utama), M. M. Sinta Wardani (pembahas I), dan  Veronika Genua (pembahas II).

Suasana kegiatan ini serius tetapi santai. Sebelum ke inti, acara diawali nyanyi diiringi gitar oleh para mahasiwa. Saat jeda minum, mengantarai presentasi dan diskusi, para dosen “ditodong” untuk menyanyi. Tak terkecuali Alexander Bala Gawen. Ia pun mendendangkan “Bale Nagi” dari Flores Timur. Sinta Wardani dan Yohanes Sehandi mendapat giliran “dipaksa” berduet. Mereka melantunkan “Hatimu dan Hatiku”, tembang lawasnya Titiek Sandhora dan Muchsin Alatas.

Hangatnya bedah dan dikusi membuat waktu tiga jam mengalir tak terasa. Suster Wilda lega. Kegiatan ini berjalan sukes. Ini awal yang baik untuk kegiatan selanjutnya, bedah buku atau diskusi apa saja. Direncanakan, PBSI menggelar diskusi sekali sebulan.    

Jaga Idealisme

Selaku penulis buku, Alexander Bala Gawen mengantarkan presentasi “Pemerolehan versus Pembelajaran Bahasa, Menjaga Identitas Kita”.

Pemerolehan bahasa, katanya, merupakan fase yang terkait dengan budaya.  Melalui bahasa, kita dapat mengungkapkan segala sesuatu di sekitar kita. Secara teoritis, sejak lahir yang ditandai dengan tangisan, manusia sudah mengenal bahasa. Bahasa yang dikuasai sejak lahir inilah yang mendorong anak menguasai dunia.

“Oleh karena itu, dunia dikuasai dengan baik kalau orang menguasai bahasa. Orang yang mengenal banyak bahasa akan mengenal banyak ilmu pengetahuan.”

Ada dua evolusi besar dalam pemerolehan bahasa, katanya. Evolusi fisik dan evolusi bahasa. “Bagaimana secara teoritis berlangsungnya proses ini, semunaya ada dalam buku ini.” Bahwa apabila penguasaan bahasa itu baik pada umur pralinguistik maka anak akan lebih mantap menghadapi tugas-tugas kebahasaan yang lebih luas.

Karena itu, ia menekankan pentingnya peran orangtua, tanpa mengabaikan faktor lingkungan sosial. Bisa saja, anak yang sudah berbahasa santun dalam keluarga berubah menjadi anak yang berbahasa kasar akibat pengaruh lingkungaan.

Berbeda dengan pemerolehan bahasa yang diterima di dalam keluarga, pembelajaran bahasa diterima anak di dalam lingkungan sekolah dasar sampai batas ia masih ingin belajar bahasa. 

“Yang perlu diperhatikan, kita menjaga idealisme kita. Jati diri orang tampak dari bahasa yang ia gunakan. Secara sosial orang bisa berkonflik karena bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, idealisme dari bahasa kita perlu dijaga.”

Karena itu, ia menutup pengantarnya dengan mengutip filsuf analitika bahasa, Ludwig Wittgenstein. “Batas bahasaku, berarti duniaku. Segala sesuatu yang bisa dikatakan berarti bisa dikatakan dengan jelas. Bilamana seseorang tidak dapat berbicara, dia harus diam.”

Pendalaman

Mendalami buku ini, Pembahas I Sinta Wardani menyajikan “Menggagas Bahasa, Menggagas Kemanusiaan”.

“Mengapa makhluk infrahuman lain seperti gorila, orang utan, mamalia yang memiliki struktur biologis yang hampir sama dengan manusia, tidak mampu berbahasa?  Karena potensi biologis-psikologisnya tidak mendukung performa berbahasa. Bagaimana manusia berbahasa? Hal ini dibahas mendalam di dalam buku ini,” katanya.

Menurutnya, yang dipaparkan Alexander Bala Gawen dalam bukunya,  mengantar pembaca pada keunikan bahasa sebagai milik khas manusia.

Pembahas II Veronika Genua menyoroti hal yang lebih praktis, “Strategi Pembelajaran Bahasa”. Yakni usaha  sadar dan sengaja yang dilakukan untuk membelajarkan sebuah bahasa kepada orang lain yang dilakukan sistemis, sistematis, tersadari, dan terencana.

Ia mengingatkan suatu hal penting. “Pada strategi pemerolehan bahasa, anak-anak berbeda dengan orang dewasa.” Anak-anak identik dengan  bermain, bernyanyi, bercerita, dan mendongeng. Tujuannya, anak betah dan terpanggil untuk mempelajari bahasa. Yang diupayakan adalah belajar itu menjadi menyenangkan, belajar sambil bermain, dan pemberian motivasi untuk terus belajar.

Pembahas III Yosef Pius Marianus Beoang mengulas “Pemerolehan Bahasa”. Sedangkan Pembaas IV Elisabeth Valeria Puty menyelisik “Tahap Perkembangan Bahasa”.

Pujian

Setelah pendalaman oleh keempat pembahas, Pius Pampe memberikan penilaian selaku pembahas utama.

Ia menyampaikan apresiasi. Buku ini lebih banyak menampilkan original thinking atau pemikiran asli si penulis. Ini hal terpuji, tidak sekadar memindahkan pikiran orang lain.

Tak lupa ia memberikan beberapa catatan. Antara lain, tentang pemerolehan bahasa. “Betul ada banyak teori. Yang belum mucul, teori gelombang.” Perlu ditampilkan juga sejarah ilmu bahasa, karena hal itu terkait dengan teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa. “Kalau ada ilmu bahasa, pasti ada filsafat bahasa. Di dalam buku ini, pendapat filsuf Ludwig Wittgenstein belum terlalu muncul, yakni tentang logika bahasa, penamaan, proposisi, dan pemaknaan.”

Mengingat pentingnya buku ini bagi mahasiwa PBSI maka selaku dekan FKIP, ia menyatakan buku ini wajib dimiliki mahasiswa. Ia juga mendorong para dosen giat menulis. “Sebentar lagi FKIP punya jurnal yang memiliki  ISBN.”

Masukan

Masukan disumbangkan antara lain oleh Pater Hendrik L. Kerans SVD, direktur Penerbit Nusa Indah, pada sesi diskusi. Menurutnya, buku ini belum diletakkan dalam tindakan komunikasi. Semestinya teori tindakan komunkasi dimasukkan.

Ia menyebutkan empat elemen penting dalam teori tindakan komunikasi. Pertama, menyampaikan sesuatu. Kedua, sesuatu yang disampaikan itu masuk akal. Ketiga, yang disampaikan itu diharapkan dimengerti. Keempat, sesuatu itu akhirnya dipahami bersama.

Turut menyumbangkan pendapat, Pater Amandus Klau SVD, editor Harian Umum Flores Pos. Ia antara lain menjelaskan fenomena bahasa penyair Sutardji Calzoum Bachri yang ditanyakan Yohanes Sehandi.      Sutardji melakukan dekonstruksi atau pembongkaran terhadap bahasa. Pater Amandus merujuk pada filsafat dekonstruksi Jacques Derrida. 

Banyak pertanyaan yang dilontarkan mahasiswa. Semuanya terjawab dengan memusakan oleh penulis, pembahas, dan floor. Kecuali dua pertanyaan ini. Pertama, pertanyaan tentang fenomena bahasa dukun (mantra) yang dilontarkan Yohanes Sehandi. Kedua, pertanyaan tentang bahasa dan pikiran yang diajukan seorang mahasiswa: mana yang lebih dahulu ada, bahasa atau pikiran? *** 

Flores Pos, Selasa 26 Juni 2012 

Tidak ada komentar: