25 Agustus 2012

Lumpur Mataloko dan Peremehan Itu

Oleh Frans Anggal



Lima hari setelah peringatan HUT Ke-67 RI, sebuah kabar buruk datang dari Kabupaten Ngada. Lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Mataloko memuntahkan lumpur panas dari 30-an lubang dengan diameter 15-20 meter. Lubang-lubang itu menyebar pada lahan warga di sekitar lokasi PLTP. Lahan dan isinya seperti jagung, padi, kopi, dan albesia pun rusak. Warga mengeluh. Mereka mendesakkan penanggulangan segera (Flores Pos, Sabtu 22 Agustus 2012).

Sejauh diwartakan Flores Pos, ini bukan keluhan pertama dalam tujuh tahun terakhir. Pada 2005 warga tiga desa sekitar lokasi pengeboran mengadu ke pemkab. Mereka menderita penyakit kulit dan infeksi saluran pernapasan. Diduga akibat gas belerang yang bersumber dari lokasi pengeboran. Seng rumah warga juga rusak. Kurang lebih seribu tanaman perkebunan seperti kopi, vanili, avokad, dan enau mengering dimangsa gas belerang.

Apa tanggapan pihak terkait? Pimpro PLTP Mataloko saat itu meyakinkan bahwa gangguan kesehatan dan kerusakan tanaman tidak akan berlangsung lama. Sebab, setelah PLTP dioperasikan, semburan uap belerangnya akan ditutup secara permanen. Semburan uap itu berasal dari pipa bocor dan sumur percobaan.

Dua tahun berlalu. Pada 2007, terjadi letusan geotermal yang cukup besar. Bahaya yang menyertainya adalah gas asam belerang yang keluar bersama uap. Kenyataan yang kasat mata: seng rumah warga terdekat cepat berkarat dan bocor. Seng saja dimangsa, apalagi manusia dan lingkungan sekitar.

Dua tahun selanjutnya, pada 2009, salah satu sumur panas bumi itu menyemburkan lumpur setinggi dua meter lebih. Warga sekitar bersaksi: dari tahun ke tahun diameter semburan semakin lebar. Begitu juga diameter lokasi semburan. Saat itu diameternya baru belasan meter. Sekarang, Agustus 2012, ketika 30-an lubangnya aktif melontarkan lumpur dan berbagai partikel, diameternya sudah mencapai 20-30 meter.

Tentang fenomena 2009 tersebut, petugas geologi kala itu memberikan penjelasan. Semburan lumpur terjadi karena intensitas hujan yang tinggi. Lumpur berasal dari luar, dari banjir, bukan dari dalam perut bumi. Sumur panas bumi Mataloko hanya mengeluarkan uap. Ini bedanya dengan sumur Lapindo di Sidoarjo yang memuntahkan lumpur dari dalam perut bumi.

Pernyataan kabag Humas Setda Ngada saat itu lain lagi. Semburan lumpur panas bumi Mataloko tidak membahayakan warga. Sebab, letak permukiman cukup jauh dan berada di ketinggian. Dampak dari uap sumur juga kecil, cuma asap dan belerang, yang membuat seng rumah warga terdekat cepat rusak.

Kita belum tahu, pernyataan seperti apa lagi yang akan keluar dari mulut para pejabat dan pengambil kebijakan menanggapi fenomena saat ini.

Lapangan panas bumi Mataloko merupakan salah satu lapangan panas bumi di NTT yang dikembangkan untuk PLTP. Meski pengembangannya belum optimal, PLTP ini relatif membantu upaya elektrifikasi di tengah kenyataan harga listrik dari pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang semakin mahal dengan meningkatnya biaya operasional dan turunnya efisiensi mesin. Proyek PLTP Mataloko dibangun 2004, menggunakan dana APBN Rp59 miliar. Kalau sudah beroperasi optimal sebagaimana direncanakan, kapasitas energi listriknya mencapai 2,5 mega watt (MW). Energi sebanyak ini akan mampu memenuhi kebutuhan listrik bagi 254 desa dan kelurahan. Atau bisa menambah pelanggan baru hingga 5-6 ribu rumah tangga.

PLTP itu sudah beroperasi, meski belum optimal. Ini saja sudah luar biasa. Benar-benar berkat. Yang tampaknya diabaikan adalah ancaman kutukannya. Setiap sumur panas bumi, di mana pun, memiliki tiga potensi maut: bahaya geologi longsor, bahaya letusan geotermal, dan bahaya gas beracun.

Sejauh ini, potensi bahaya eksploitasi panas bumi Mataloko sudah aktual di dalam akibat yang ditimbulkannya. Pertama, seng atap rumah warga cepat berkarat dan bocor. Kedua, lahan serta tanaman pangan dan tanaman perdagangan menjadi rusak. Ketiga, penyakit kulit dan infeksi saluran pernapasan.

Semua itu nyata, bahkan kasat mata. Namun, sejauh diberitakan Flores Pos sejak 2005, dampak buruk itu cenderung diremehkan oleh para pejabat dan pengambil kebijakan.

Pandangan ekologi modern mengenal sebuah prinsip---satu dari enam prinsip yang turut melatarbelakangi lahirnya Alkitab Bumi (Earth Bible) di negara-negara berbahasa Inggris. Yaitu, prinsip resistensi atau perlawanan. Bumi dan unsur-unsurnya tidak saja menderita akibat ketidakadilan yang dilakukan manusia, tetapi juga secara aktif melawannya demi mendapatkan keadilan.

Sebelum 2004, lapangan panas bumi Mataloko aman-aman saja. Begitu PLTP dibangun, amuk alam pun muncul: 2005, 2007, 2009, dan sekarang 2012. Amuk alam itu akan terus terjadi. Sebab, itu tadi: alam punya resistensi, punya perlawanan terhadap segala bentuk eksploitasi.

Menghadapi kenyataan seperti ini, pernyataan para pejabat dan pengambil kebijakan sering bikin kita tercengang-cengang.

Pertama, “Gangguan kesehatan dan kerusakan tanaman tidak akan berlangsung lama.” Boleh jadi itu benar. Namun, untuk kesehatan manusia, gangguan tidak lama tidak berarti tidak berbahaya. Demikian pula untuk kehidupan tanaman, gangguan singkat tidak berarti tidak mematikan.

Kedua, “Setelah PLTP dioperasikan nanti, semburan uap belerangnya akan ditutup secara permanen. Semburan uap itu berasal dari pipa bocor dan sumur percobaan.” PLTP sudah beroperasi. Tidak ada lagi pipa bocor. Tidak ada lagi sumur percobaan. Namun, ternyata, semua itu bukan jaminan. Uap belerang kini menyembur lewat jalan lain, yang diciptakan alam, berupa 30-an lubang dengan diameter 15-20 meter.  

Ketiga, “Semburan lumpur panas bumi Mataloko tidak membahayakan warga. Sebab, letak permukiman cukup jauh dan berada di ketinggian.” Lumpurnya mungkin tidak membahayakan warga, tetapi gas asam belerang yang menyertainya? Penyakit kulit dan infeksi saluran pernapasan itu datang dari mana? Lumpurnya mungkin tidak mematikan warga, tapi sudah terbukti mematikan tananam mereka.

Keempat, “Dampak dari uap sumur itu kecil, cuma asap dan belerang yang membuat seng rumah warga terdekat cepat rusak.” Hmmm, cuma! Cuma asap dan belerang (bukan banjir lumpur seperti di Sidoarjo). Cuma merusak seng rumah warga (bukan seng rumah bupati). Cuma penyakit kulit dan infeksi saluran pernapasan (bukan kanker atau serangan jantung). Cuma merusakkan tanaman warga (bukan tanaman anggota muspida).

Pernyataan-pernyataan itu mengesankan satu hal. Para pejabat dan pengambil kebijakan meremehkan, mengecil-ngecilkan, menyembunyikan, dan menyangkal dampak buruk ekploitasi panas bumi Matataloko.

Pernyataan meremehkan pada hakikatnya tidak hanya salah, tetapi juga buruk dan berbahaya. Salah, karena tidak sesuai dengan kenyataan. Buruk, karena tidak dilandasi kejujuran. Berbahaya, karena tidak antisipatif terhadap segala bentuk ancaman dan bahaya.

Saat ini, warga Mataloko mengeluh lagi. Lokasi PLTP kembali memuntahkan lumpur panas. Lahan pertanian mereka dan isinya rusak. Mereka mendesakkan penanggulangan segera.

Tidak ada pilihan lain. Segeralah bertindak. Dan agar tidak salah tindak, salah satu syarat harus dipenuhi. Hentikan semua dan segala bentuk peremehan! ***

"Opini" Flores Pos, Sabtu 25 Agustus 2012

Tidak ada komentar: