04 Juni 2012

Dari Tanah Air Mata ….

Bedah Puisi Uniflor-SMAN 2 Ende

Oleh Frans Anggal




Tanah airmata tanah tumpah dukaku 
mata air airmata kami 
airmata tanah air kami 


Mewakili keluh jelata yang dimiskink an dan dipinggirkan penguasa di negeri ini, suara Theresia Elviana Gala terdengar sendu ketika bait pertama puisi Sutardji Calzoum Bachri ia bacakan.

Pembacaan puisi ini mengawali bedah dan diskusi puisi bertajuk “Representasi Perjuangan Rakyat dalam Puisi ‘Tanah Air Mata’ Karya Sutardji Calzoum Bachri”. Kerja sama mahasiswa Semester IV Kelas D Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Flores (Uniflor) dengan Kelas XI Bahasa SMA Negeri 2 Ende. Berlangsung di aula SMAN 2 Ende, Jumat 25 Mei 2012, selama tiga jam sejak pukul 07.30.

Kegiatan dimulai dengan sambutan Ketua Panitia Marianus Pantur, disusul doa pembuka secara Katolik oleh Getrudis Mur dan diakhiri doa penutup secara Islam oleh Samsya. Sebagai pamungkas, penyerahan cenderamata dari Uniflor oleh Pembantu Dekan II FKIP Eta Bali Larasati kepada Wilhelmina Manja mewakili Kasek Handrikus Sengi.

Tampil sebagai MC, Kristina Gue. Vokalnya jernih, diksinya jelas. Bertindak sebagai pemateri I Novita Sena, pemateri II Damsik Juma, pemateri III Simson Papu. Ketiganya cerdas menjawab setiap pertanyaan. Moderator Eduardus Gon apik mengatur lalu lintas diskusi. Notulis Karni Diaz Gonzales ringkas padat membuat simpulan akhir. Semua ini hasil kerja sama dan kerja keras semua anggota kelas di bawah koordinasi Ketua Panitia Marianus Pantur dan Sekretaris Syafari Ahbdul Rejab.

Perjuangan Rakyat 

Suara Theresia Elviana Gala kian sendu memasuki bait kedua, ketika para jelata menyatakan // di sinilah kami berdiri / menyanyikan airmata kami //.

Kesenduan pun mengharu biru tatkala selubung kontras mulai dilucuti, antara yang mekar dan yang memar, antara yang makmur dan yang hancur. // di balik gembur subur tanahmu / kami simpan perih kami / di balik etalase megah gedung-gedungmu / kami coba sembunyikan derita kami //.

Coba disembunyikan, tetapi tidak bisa. // kami coba simpan nestapa / kami coba kuburkan duka lara / tapi perih tak bisa sembunyi / ia merebak kemana-mana //.

Perih, derita, nestapa, dan duka lara menyebar dan meluas. Inilah yang menjadikan tanah air ini tanah air mata. Bahkan, inilah yang menjadikan tanah air ini mata airnya air mata. Maka air mata pun menggenangi tanah air. Sehingga penguasa tak akan bisa membantah atau menyangkal.

// bumi memang tak sebatas pandang / dan udara luas menunggu / namun kalian takkan bisa menyingkir / ke manapun melangkah / kalian pijak airmata kami / ke manapun terbang / kalian kan hinggap di air mata kami / ke manapun berlayar / kalian arungi airmata kami / kalian sudah terkepung / takkan bisa mengelak / takkan bisa ke mana pergi / menyerahlah pada kedalaman air mata //

Maka hanya ada satu pilihan. Dan itu keharusan. Mengakui kenyataan. Tidak lagi menutup-nutupi fakta. Itulah awal untuk berbenah. Untuk mengubah tanah air, dari tanah air mata menjadi tanah mata air. Yang menghidupkan, membersihkan, dan menyegarkan segenap warganya.

Dengan muatan seperti itu, benarkah puisi ini representasi perjuangan rakyat? Mengapa tidak! Para pemateri tidak membatasi perjuangan sekadar aksi demo atau angkat senjata. Perjuangan bisa berarti kritik dan upaya penyadaran atau konsientisasi. Puisi justru bergerak di ranah ini.

Melalui puisi “Tanah Air Mata”, Sutardji mencelikkan mata dan hati penguasa yang buta terhadap derita rakyat. Ia membuka kedok mereka yang menutup-nutupi kenyataan dengan retorika semu dan statistik menyesatkan. Ia mempermalukan mereka yang bermekaran di atas kememaran rakyat, yang berkemakmuran di atas kehancuran jelata.

Puisi ini diciptakan pada 1991, ketika rezim Orde Baru Soeharto masih sangat berkuasa. Ini rezim yang otoriter dan represif, yang mengharamkan kebebasan berpendapat. Dalam konteks inilah “Tanah Air Mata” berani bersuara lantang. Ini perjuangan. Representasi perjuangan rakyat.

Antusiasme dan Pujian 

Bedah dan diskusi puisi di SMAN 2 Ende ini merupakan kegiatan ketiga dari safari selama tiga pekan ke beberapa sekolah. Kegiatan ini merupakan salah satu model pembelajaran mata kuliah Apresasi Kajian Puisi yang diampu Suster Wilda Wisang CIJ.

Pada sambutan membuka kegiatan, Kepala SMAN 2 Ende Hendrikus Sengi menyatakan antusias. Ia berharap kegiatan ini membangkitkan apresiasi sastra, khususnya puisi. Sebab, akhir-akhir ini seni puisi hampir kurang diperhatikan. Padahal seni bisa menjadi kekuatan pembebasan, seperti ditunjukkan Angkatan 45. “Ironis. Sekarang banyak perguruan tinggi dan kaum terpelajar, tetapi seni makin kerdil.”

Usai bedah dan diskusi, guru sastra SMAN 2 Ende Wilhelmina Manja memuji para mahasiwa. Pujian yang sama dikemukakan rekannya Sinta Nainggolan. “Baru semester IV, tapi sudah bisa. Yang sudah sarjana belum tentu bisa.”

Pujian juga dikemukakan Yohanes Sehandi, dosen Uniflor dan penulis buku Sastra dan Sastrawan NTT yang akan segera terbit. “Saya sudah bandingakn analisis para kritikus sastra tentang puisi Sutadji ini. Yang paling kuat Dami N. Toda. Lalu saya bayangkan seperti apa kelas IV D menganalisis puisi ini. Pertama-tama saya tak percaya. Saat saya ikuti pertanggungjawaban mereka, saya puji. Luar biasa.”

Wakil siswa pun turut memuji. “Sangat bagus. Ini memotivasi kami untuk lebih memahami dan mencintai puisi.” Ia berharap kegiatan seperti ini diteruskan dan ditingkatkan.

Aktifnya Para Siswa 

Begitu sesi tanya jawab dibuka, wow, para siswa langsung “menyerbu”. Mereka mengisi ful dua termin tanya-jawab dengan berbagai pertanyaan informatif dan pertanyaan diskusi.

Keaktifan dan kekritisan mereka mendapat pujian dari Frans Anggal dan Suster Wilda. “Bertanya itu pertanda kecerdasan,” kata Frans Anggal. Ilmu pengetahun lahir dari pertanyaan. “Siswa SMAN 2 hebat benar, aktif dalam diskusi,” timpal Suster Wilda.

Suster Wilda membacakan sebuah puisi, satu dari banyak tanggap spontan siswa saat kegiatan berlangsung.

Pada sambutan menutup kegiatan, Pembantu Dekan II Eta Bali Larasati menyatakan penghargaannya atas respon positif SMAN 2 Ende, sekolah yang sudah lama menjadi mitra Uniflor. “Saya senang, siswa dan guru SMAN 2 Ende sangat antusias.”

Ia melihat pembelajaran bedah dan diskusi puisi ini sebagai model yang sangat diharapkan untuk membangkitkan minat guru di bidang sastra. “Karena, ketika guru tidak berminat pada sastra maka porsi sastra kurang sekali dalam pembelajaran di sekolah. Lebih banyak aspek kebahasaannya. Seharusnya fifty-fifty,” katanya. ***

Flores Pos, Senin 28 Mei 2012

Tidak ada komentar: