23 Mei 2012

Rakyatlah Pemilik Sah Itu


Bedah dan Diskusi Puisi Uniflor-SMAK Syuradikara

Oleh Frans Anggal


  
tidak ada pilihan lain. kita harus
berjalan terus
karena berhenti atau mundur
berarti hancur

Kata-kata penyair Taufiq Ismail menggetarkan ruang baca SMAK Syuradikara Ende, Sabtu 19 Mei 2012. “Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini” dideklamasikan Rosalia Torlan dan Seltiana Ndaing. Keduanya mahasiswa Semester IV Kelas C Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Flores (Uniflor).

Hari itu, Rosalia cs menggandeng Kelas XI Bahasa SMAK Syuradikara dalam bedah dan diskusi puisi. Bertajuk, “Ekspresi Perjuangan Anak Bangsa dalam Puisi ‘Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini’ Karya Taufiq Ismail”.

Ini kegiatan kedua dalam sepekan. Sehari sebelumnya kegiatan serupa di SMAK Frateran Ndao: bedah dan diskusi puisi “Menjadi Manusia” karya penyair John Dami Mukese.

Kegiatan diawali sambutan Ketua Panitia Antonius Nia Nonga. Disusul sambutan Siti Harwati Kayu Manis mewakili kepala SMAK Syuradikara dan sambutan Ketua Program Studi PBSI FKIP Uniflor Alexander Bala Gawen. Selanjutnya presentasi materi oleh Aloysius S. Maran, Ida Wahyuti B. Djana, dan Erwinsyah. Bertindak sebagai moderator Yulgensius A. Serat dan notulis Florentina F. Fina.

Pada sesi pertama tanya-jawab, usai penyajian meteri, siswa SMAK Syuradikara tampak enggan bertanya. Namun memasuki sesi kedua, mereka ramai lontarkan pertanyaan. Tampaknya dua sesi saja tidak cukup. Sebagian pertanyaan mereka sangat kritis dan menantang.

Para guru dan dosen memberikan catatan akhir. Dari Syuradikara: Siti Harwati Kayu Manis dan Stefanus Luon. Dari Uniflor: Alexander Bala Gawen, Suster Wilda CIJ (pengampu mata kuliah Kajian Apresiasi Puisi), Veronika Genoa, Dominika Dapa, Irama Rupa, Agus Berek, Yan Sehandi, dan Frans Anggal.

Kegiatan ditutup dengan doa. Selanjutnya penyerahan cenderamata dari Uniflor. Diserahkan Alexander Bala Gawen kepada Siti Harwati Kayu Manis.

Puisi Spanduk

Dalam pemaparan, pemateri menjelaskan, “Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini” diangkat dari kumpulan puisi Taufiq Ismail, Tirani dan Benteng, 1966. Puisi ini adalah puisi spanduk. Yaitu puisi yang lebin menekankan amanat atau isi.

Puisi spanduk biasa dibacakan dan boleh jadi diciptakan untuk dibacakan di depan umum, khususnya pada aksi demonstrasi. Ketika mahasiwa berdemo menumbangkan tirani Orde Lama, 1966, puisi Taufiq dijadikan wahana ekspresi dan corong perjuangan. Karena itulah, amanat atau isi puisi mendapat perhatian lebih dari sang penyair. 

Lebih dipentingkannya isi daripada bentuk dapat dilihat, antara lain, pada rima atau persajakan. Pada puisi ini rima sempurna hanya terdapat pada bait pertama. Pada bait selanjutnya, rimanya tidak ketat lagi.

Pada bait pertama, bentuk dan isinya sama kuat. Persamaan bunyi suku kata akhir tiap larik baitnya berpola aa, bb. // tidak ada pilihan, kita harus / berjalan terus / karena berhenti atau mundur / berarti hancur //. Ini semacam gong pembuka yang sekaligus menjadi inti, fokus, dan spirit, dengan larik kunci  “berjalan terus”. Larik ini mendapat penekanan dengan cara diulang, pada awal dan akhir dua bait selanjutnya.
  
Pada bait kedua, isi lebih kuat daripada bentuk. Rimanya tidak berpola tetap. // apakah akan kita jual keyakinan kita / dalam pengabdian tanpa harga / akan maukah kita duduk satu meja / dengan para pembunuh tahun yang lalu / dalam setiap kalimat yang berakhiran: / “Duli tuanku?” //.  Ini pertanyaan retoris. Sikapnya jelas tegas: menolak pengkhianatan atas prinsip dan mental kompromistis terhadap penguasa tiran.

Demikian pula pada bait ketiga, isinya lebih kuat daripada bentuk. Pola rimanya pun tidak tetap. // kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan / mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh / kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara /  dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama / dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka //.  Ini sebuah deskripsi tentang siapakah “kita”, korban ketidakadilan dan bencana alam, yang sesungguhnya adalah pemilik sah republik ini.

Oleh sifatnya yang lebih menekankan isi, dan oleh pemanfaatannya sebagai corong perjuangan demonstran, puisi spanduk mudah dicerna. Lugas. Puisi spanduk tidak seberat puisi reflektif “Menjadi Manusia” karya John Dami Mukese, misalnya, yang hanya bisa dimengerti dengan baik kalau direnungkan dengan baik.

Puisi Perjuangan

Pemateri menggolongkan puisi Taufiq Ismail ini ke dalam puisi perjuangan. Judul presentasi serta unsur lahiriah dan batiniah puisi itu sendiri gamblang memperlihatkan hal itu.

Salah satu hal yang menunjukkan spirit perjungan adalah ritme atau iramanya. Terutama ketika puisi ini dibacakan atau dideklamasikan. Sangat terasa, puisi ini menggunakan ritme troche,  keras dan lembutnya bergantian, menggambarkan dinamika perjuangan. Ketika  mempresentasikan puisi ini, para mahasiswa  memilih deklamasi ketimbang membacakannya. Ini pilihan tepat. Deklamasi lebih menghadirkan spirit perjuangan itu.

Apa amanat puisi ini? Berjalan terus! Artinya, terus berjuang menjadikan bangsa ini cerdas, bermartabat, adil, dan sejahtera. Tidak boleh berhenti, apalagi mundur. Sebab, berhenti berarti kendur. Mundur berarti hancur.

Karena itu, meski konteks kelahirannya adalah perjuangan menumbangkan Orde Lama, puisi ini tetap relevan.  Sebab, selagi negara ada, penguasa tetap ada. Selagi penguasa ada, kecenderungan menyalahgunakan kekuasaan tetap ada. Selagi kecenderungan menyalahgunakan kekuasaan tetap ada, kontrol tidak boleh tidak ada.

Siapa yang harus mengontrol?  Puisi ini menjawab: “kita”. “Siapakah  ‘kita’ dalam puisi ini?” tanya Maria Trisnawati siswi Syuradikara. “Rakyat!” jawab pemateri.

Rakyatlah pemilik sah republik ini. Penguasa hanyalah pengemban mandat dan amanat rakyat. Kalau penguasa tidak becus, pemilik sah berhak menggantinya. Untuk itulah ada pemilu, pilpres, pemilukada.

Motivasi

Taufiq Ismail  bukan sarjana bahasa dan sastra. Ia sarjana kehewanan dan peternakan. Kenyataan  ini mematahkan mitos bahwa hanya orang Bahasa yang bisa bikin puisi. “Ini motivasi untuk kelas Bahasa,” kata Alexander Bala Gawen, mengawali komentar para guru dan dosen.

Siti Harwati Kayu Manis meminta perhatian pada penggunaan bahasa. “Jangan bicara sastra, tapi abaikan bahasa. Bahasa itu media sastra. Kalau bahasa tidak benar maka sastra juga tidak benar.”

Stefanus Luon alumnus Uniflor menyatakan iri pada mahasiwa Uniflor sekarang ini. “Dulu kami tidak seperti mereka.” Ia melihat kegiatan ini sebagai kebangkitan Uniflor.

Dominika Fanda menerjemahkan “berjalan terus” pada puisi Taufiq Ismail sebagai ajakan bagi para pelajar agar tekun dan terus belajar, baik di sekolah maupun  di rumah.

Senada, Agus Berek dan Irama Rupa mengalamatkan pesan. “Berjuang terus untuk mencapai cita-cita,” kata  Agus. “Bangkit dan berjuang terus, karena kita makhluk yang berproses,” ujar Irama.

Mewakili para siswa, Ave Mario menyatakan terima kasih karena mereka telah terlibat dan bisa membedah puisi secara lebih dalam. “Ke depan, termin tanya jawab diperpanjang, tidak hanya dua termin,” usulnya. ***

Flores Pos, Rabu 23 Mei 2012

Tidak ada komentar: