Bedah dan Diskusi Puisi Uniflor-SMAK Ndao
Oleh Frans Anggal
Mimpi menjadi seorang manusia
Tapi Jahur sesungguhnya manusia
Lahir dari seorang wanita
Berasal dari seorang pria
Hanya ia merasa bukan manusia
Lantaran hidupnya terlampau kejam
(rakyat jelata, ia. Ya rakyat jelata!
Memang ditakdir untuk diperintah)
Maka ia selalu bermimpi
untuk berenang sebebas ikan
untuk terbang seluas angkasa
dan coba berjalan seperti manusia
“Menjadi Manusia”.
Itulah judulnya. Puisi karya penyair John Dami Mukese, 1983. Termuat dalam
kumpulan puisinya, Puisi-Puisi Jelata, Nusa Indah, 1992.
“Menjadi Manusia”
dibedah dan didiskusikan di aula SMAK Model Frateran Ndao, Ende, Jumat 18 Mei 2012. Mahasiswa Semester
IV Kelas E Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP) Universitas Flores (Uniflor)
menggandeng sekolah mitra SMAK Ndao, diwakili siswa Kelas XI Bahasa. SMAK Ndao
adalah titik star safari bedah dan diskusi puisi pada beberapa sekolah mitra di
Kota Ende selama beberapa pekan.
Maria Katarina Tini membacakan tuntas puisi ini sebelum rekan-rekannya beraksi dan
berkolaborasi dalam bedah dan diskusi. Dorotea Pano, Muhamad Warnemen, dan
Yohana Wona bertindak sebagai pemateri. Maria Yunita Nona Nesti sebagai moderator. Wihelmina Hadia sebagai
notulis. Dan Herman Emanuel Nggano, sebagai pamungkas, menyentilkan refleksi
akhir.
Bedah dan diskusi ini bertajuk “Mimpi Sang Jelata: Deskripsi
Penderitaan Rakyat dalam Puisi ‘Menjadi Manusia’ Karya John Dami Mukese”.
Berlangsung sekitar tiga jam, sejak pukul 08.30. Diawali sapaan Ketua Panitia
Pelaksana Wilhelmus Tule dan sambutan Felix Pandai mewakili kepala SMAK Ndao,
kegiatan ini dibuka oleh Alexander Bala Gawen ketua Program Studi
PBSI FKIP Uniflor, dan ditutup dengan penyerahan cenderamata dari Uniflor
kepada SMAK Ndao.
Suasana terasa hangat saat diskusi berlangsung. Tiga sesi
pertanyaan diborong habis oleh guru dan siswa Ndao. Mereka melontarkan sekitar sepuluh
pertanyaan. Kebanyakan siswa mengajukan pertanyaan informatif.
Diskusi diakhiri dengan masukan dari para guru dan dosen.
Dari SMAK Ndao: Felix Pandai, Domi Mare,
Frater Raymundus BHK, dan Frater Patris BHK. Dari Uniflor: Alexander Bala
Gawen, Suster Wilda CIJ (pengampu mata kuliah Kajian Apresiasi Puisi), Yohanes
Sehandi, Eta Bali Larasati, Veronika Genoa, Salestinus Bagung, dan Frans
Anggal.
Perjuangan Hidup
Dalam pemaparan, usai membacakan biografi penyair,
pemateri membeberkan latar belakang penciptaan.
Puisi “Menjadi Manusia” merupakan rekaman kegelisahan
zaman, kejanggalan keadaan, kemuraman, dan keprihatinan yang sedang terjadi
dalam kehidupan zaman ini. Ada jurang pemisah yang dalam antara rakyat jelata
yang diperintah dan pemimpinnya yang memerintah. Jurang itu menganga sedemikian
lebarnya. Maka, si manusia Jahur yang terpuruk jauh di bawah merasa seakan-akan
bukan manusia. Karena itulah ia selalu bermimpi: menjadi manusia.
Dalam konteks tersebut, menjadi manusia bermakna
konotatif. Yaitu kerinduan seseorang untuk
keluar dari situasi hidupnya yang penuh tekanan, penderitaan,
ketidakdilan, dan perlakukan tidak manusiawi. Pemateri menggolongkan kerinduan
seperti ini sebagai perjuangan. “…
perjuangan dalam menemukan makna hidup sebagai manusia yang
sesungguhnya.”
Seperti apakah manusia sesungguhnya yang diidam-idamkan
Jahur? Pemateri merujuk ke imageri atau daya bayang atau citraan dalam puisi
ini. Yaitu imageri visual: … berenang sebebas ikan / … terbang seluas angkasa /
… berjalan seperti manusia. Dengan kata lain: kebebasan, keleluasaan,
kemerdekaan. Itulah mimpi Jahur. Menjadi manusia yang merdeka dari segala
bentuk penderitaan dan keterbelengguan.
Oleh karena itu, amanat atau pesan moral yang terkandung
dalam puisi ini adalah bermimpi. Tidak dalam pengertian psikologis sebagai
bunga tidur, tetapi dalam pengertian etis sebagai kerinduan yang dalam, tekad
yang bulat, kemauan yang kuat untuk menjadi manusia berharkat dan bermartabat.
Dalam pengertian inilah bermimpi merupakan perjuangan. Perjuangan dalam diam.
Silent struggle. Dan itu bukan tanpa manfaat. Sebab, di mana ada kemauan, di
situ ada jalan.
Maka, tidak mengejutkan, pemateri menyebut Jahur sebagai
“manusia idola”, dalam pengertian
sebagai model, teladan, patut dicontohi. Amanatnya pun menjadi sebuah imperatif
moral: jadilah seperti Jahur!
Ketakberdayaan Jelata
Usai pemaparan materi dan setelah tiga sesi tanya-jawab
yang lebih banyak bersifat informatif, diskusi mengerucut ke amanat yang justru
sebaliknya. Dalam catatan kritis para dosen mengentallah simpulan bahwa Jahur
tidak patut dijadikan model.
“Jahur hanya bermimpi. Tahunya cuma bermimpi dan berhenti
pada mimpi. Dia tidak bangkit berjuang melawan ketidakadilan yang ia keluhkan.
Puisi ini bukan puisi perjuangan hidup. Ini puisi ketakberdayaan jelata,” kata
Frans Anggal.
“Puisi ini bukan puisi perjuangan, tapi puisi tentang
harapan,” timpal Yohanes Sehandi. Menurut kajiannya, tema-tema puisi John Dami
Mukese berpusar sekitar renungan, keluhan, harapan, dan doa. “Tak ada gugatan
atau pemberontakan.”
Betolak dari cara pandang yang sama, Eta Bali Larasati
memandang Jahur sebagai personifikasi
orang NTT, yang berhenti pada mimpi dan belum benar-benar merealisasikan
mimpinya. “Untuk menjadi manusia, tak cukup berhenti pada mimpi,” pesannya
kepada para pelajar dan mahasiswa.
Veronika Genoa
menekankan pentingnya kesungguhan dalam berjuang. “Mahasiwa dan pelajar jangan
hanya bermimpi seperti Jahur.”
Salestinus Bagung melihat isi puisi ini tentang mimpi. “Tak
ada strategi atau tindakan perjuangan,” katanya. Maka, “Jangan hanya bermimpi!”
Keterbukaan Puisi
Seakan berdiri di persimpangan, Suster Wilda CIJ
merangkum dua Jahur itu. Pertama, jadilah seperti Jahur: berkerinduan dalam,
bertekad bulat, berkemauan kuat sebagai prasyarat sebuah perjuangan. Kedua,
jangan jadi seperti Jahur: hanya bermimpi dan berhenti pada mimpi.
Kedua pesan itu sah. Ibarat berada di simpang dua.
Setelah meniti ruas yang satu dan sama, orang boleh berlainan arah di titik
persimpangan. Itulah keunggulan puisi: terbuka terhadap berbagai persimpangan
apresiasi. Persimpangan, jelas, bukanlah penyimpangan. Maka, semuanya sah-sah
saja.
“Tiap orang bisa berapresiasi,” kata Suster Wilda.
Akibatnya, kesan dan pesan puisi bisa bermacam-macam. Tidak jarang pesan dan
kesan itu berlainan bahkan bertentangan dengan maksud si penyair. Itu tidak
jadi soal. Sebab, begitu selesai ditulis dan dipublikasikan, puisi itu otonom,
lepas dari kendali penyair. “Begitu puisi lahir, penyairnya mati,” tandas Suster
Wilda.
Perlu Dilanjutkan
Bedah dan diskusi ini sangat berkesan bagi para guru dan
siwa SMAK Ndao. Mereka berharap, ini bukan kegiatan pertama dan terakhir.
“Prosesnya sangat memuaskan,” kata Felix Pandai.
“Pada zaman saya kuliah di Uniflor, tidak pernah saya
alami yang seperti ini. Kegiatan ini saya apresiasi,” kata Frater Raymundus
BHK.
“Saya senang, siswa-siswi bicara. Tidak semua orang pada
usia mereka bisa dan berani kemukakan pendapat,” kata Frater Patris BHK.
Kesan siswa? “Dengan kegiatan ini, kami lebih paham
tentang cara memahami tiap jengkal puisi,” kata Cici Mawar. Ia mewakili Kelas XI Bahasa. “Sering-seringlah kegiatan
seperti ini. Saya dan teman-teman bangga sebagai orang Bahasa.” ***
Flores Pos, Selasa 22 Mei 2012
Flores Pos, Selasa 22 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar