27 Juni 2012

Menatap si Peminta-minta

Bedah Puisi Uniflor-SMAN 1 Ende
      
Oleh Frans Anggal



Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan lagi tentang aku
Nanti darahku jadi beku

Puisi Chairil Anwar “Kepada Peminta-minta” dibahas di panggung  terbuka Batara Smansa di SMA Negeri 1 Ende, Rabu 30 Mei 2012.

Mahasiswa Semester IV Kelas B Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Flores (Uniflor) menggandeng Kelas XI Bahasa sekolah itu dalam bedah dan diskusi puisi “Membaca Realitas Kemiskinan dalam Puisi ‘Kepada Peminta-minta’ Karya Chairil Anwar”. Kegiatannya tiga jam sejak pukul 15.30.

Didahului sapaan MC Kristina Bara dan doa pembuka secara Katolik oleh Maria Yulita Ati serta laporan Ketua Panitia Fransiskus Aurelius Loko, kegiatan dibuka  Kasek Amatus Peta. Selanjutnya presentasi materi. Diawali deklamasi oleh Yohana Natalia Dhone.

Bertindak sebagai moderator, Elias Radi. Pemateri I, Elisabeth Valeria Puty, pemateri II Stefanus Dalung, pemateri III Monika Alfonsa Mau. Notulis Emiliana Kreten Muda.

Di pengujung acara, mahasiswa serahkan cenderamata, disampaikan  Dekan FKIP Pius Pampe kepada guru Smansa Yuvita Ida. Doa penutup secara Islam dibawakan  Afrida Haryanti.

Dalam sambutan membuka kegiatan, Amatus Peta mengatakan Batara adalah akronim dari Bina Akrab Cipta Sejahtera. “Dalam keakraban, kesejahteraan bisa tercapai. Dan keakraban harus dibina. Suasana sore ini adalah suasana keakraban.”

Tentang puisi, ia berpendapat, “Puisi adalah nyanyian jiwa selaras rasa. Yang ditampilkan adalah jiwa yang bernyanyi menurut apa yang dirasakan. Anehnya, saat baca puisi, orang kurang berminat.  Orang belum menyadari kekuatannya.  Chairil Anwar itu terkenal karena nyanyian jiwanya yang selaras rasa.”

Dua Versi, Dua Pesan

Pamateri menjelaskan, puisi  “Kepada Peminta-minta” (Juni 1943) merupakan saduran dari puisi penyair Belanda  W. Ellesschots “Tot den Arme”.  Chairil tak pernah menyebut sumbernya.Ia pun dicap plagiator.

Dalam “Tot den Arme”, tokoh  “aku”  merujuk pada  orang kaya pada Injil Lukas 16: 19-30, “Orang Kaya dan Lazarus yang Miskin”. 

Seperti dikisahkan Injil, Lazarus miskin, penuh borok, dan kelaparan. Ia berbaring dekat pintu rumah seorang kaya. Tetapi si kaya tidak memberinya makan. Keduanya  meninggal. Selanjutnya tentang si kaya Injil berkisah, “… sementara ia menderita sengsara di alam maut ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya.” 

Bisa diimajinasikan, “Tot den Arme” melukiskan adegan itu, ketika Lazarus dan si kaya bertatapan.  Si kaya diliputi rasa bersalah, takut, ngeri,  karena semasa hidup di dunia ia tidak berempati dan berbelas kasih.

Bagaimana dengan “Kepada Peminta-minta”?

// Baik, baik aku akan menghadap Dia / Menyerahkan diri dan segala dosa / Tapi jangan tentang lagi aku / Nanti darahku jadi beku // Jangan lagi kau bercerita / Sudah tercacar semua di muka / Nanah meleleh dari luka / Sambil berjalan kau usap juga //  Bersuara tiap kau melangkah / Mengerang tiap kau memandang / Menetes dari suasana kau datang / Sembarang kau merebah //  Mengganggu dalam mimpiku / Menghempas aku di bumi keras / Di bibirku terasa pedas / Mengaum di telingaku // Baik, baik aku akan menghadap Dia / Menyerahkan diri dan segala dosa / Tapi jangan tentang lagi aku / Nanti darahku jadi beku //

Kata “tentang” dalam bait pertama dan terakhir sama artinya dengan memandang atau menatap.

Oleh mahasiswa, konteks Injil  dari “Tot den Arme” ditanggalkan, diganti dengan konteks sosial Indonesia saat Chairil Anwar menyadur. Ini bertolak dari pengakuan, “Kepada Peminta-minta” tetaplah  karya Chairil Anwar, meskipun saduran. Berbeda dengan terjemahan, saduran itu merupakan hasil adaptasi dan kontekstualisasi.

Karena itulah  sikap tokoh aku dalam pembahasan bergeser, dari aku yang merasa bersalah (kepada pengemis) ke aku yang mempersalahkan (si pengemis). Bahkan,  “Chairil Anwar memandang si peminta-minta dengan rasa benci.” Chairil terganggu karena si peminta-minta “... terlalu menyerah pada keadaan hidup yang hanya mempertontonkan kemelaratan, yang sebenarnya masih dapat diatasi.”

Argumentasi ini pas untuk keadaan tertentu saat ini. Di Jakarta, misalnya, mengemis dijadikan profesi. Ini yang ditolak  mahasiswa. Maka, pesan moral yang mereka tarik dari “Kepada Peminta-minta” pun berbeda dengan pesan moral “Tot den Arme”.

“Tot den Arme” mengamanatkan pesan: perlunya berempati dan berbagi kepada yang kecil, lemah, tersingkir, tertindas, termiskinkan. Sedangkan “Kepada Peminta-minta” beramanat: jangan suka dikasihani, bangkitlah, bebaskan diri dari kemiskinan.

Kemiskinan dalam padangan para mahasiswa bermakna luas. Tidak hanya kemiskinan  material, tetapi juga kemiskinan visi, misi, pengetahuan, niat, tekat, dan daya juang.

Seru

Sesi tanya-jawab cukup seru. Siswa Smansa  melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis. Jawaban pemateri tidak mereka terima begitu saja. Mereka masih mengujinya.

Semua pertanyaan akhirnya bisa dijawab, tidak hanya oleh pematri tetapi juga oleh floor serta masukan dari para guru dan dosen.

Masukan

Dosen Uniflor Yohanes Sehandi mengatakan, tema membaca realitas kemiskinan bisa disambung dengan membaca realitas kemiskinan di NTT. “APBD kita 90% dari pusat, hanya 10% dari PAD. Ini peringatan keras dari Chairil Anwar untuk kita di NTT.”

Dekan FKIP Pius Pampe  menekankan, dalam bedah puisi, perlu dipahami dengan baik latar belakang dan watak si penyair. “Chairil Anwar itu vitalis, sangat hidup. Juga anarkis, dalam pilihan kata, bukan dalam tindakan. Dia juga pandai hidup bersama dengan orang lain.”

Dosen muda Ardi Sumbi  mengatakan, yang menarik dia sejak kecil adalah foto Chairil Anwar yang memberi kesan bermenung. “Puisi ini gambarkan diri penyair sendiri.”

Guru Smansa Yuvita Ida melihat sisi lain. “Chairil Anwar beri contoh buruk, plagiat. Seharusnya angkat puisi lain. “

Dosen senior Theo Uheng memberi semangat. Kita bisa, tidak jadi peminta-minta. “Saya bangga dengan anak-anak Smansa. Kamu sudah tunjukkan kamu bisa dan pasti bisa.”

Kesan

Wakil siswa meniai kegiatan ini  sangat bagus. “Ini membantu saya dan teman-teman dalam memahami puisi. Harapan, dilakukan tiap tahun.”

Frans Anggal memuji ketekunan Suster Wilda Wisang CIJ, pengampu mata kuliah Kajian Apresiasi Puisi,  dalam membimbing  mahasiswa   sehingga kegiatan pada tujuh       sekolah berlangsung dan berakhir dengan sukses. 

Suster Wilda terkesan dengan kesungguhan mahasiswanya. “Dengan kegiatan ini, mereka belajar menjadi guru. Menjadi guru yang  kreatif, yang  mampu membuat siswa kreatif.”  

Ia menyampaikan terima kasih kepada semua pihak. Kepala sekolah mitra, para guru, dan siswa.***

Flores Pos, Jumat 1 Juni 2012

Tidak ada komentar: