Oleh Frans Anggal
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan lagi tentang aku
Nanti darahku jadi beku
Puisi Chairil Anwar “Kepada Peminta-minta” dibahas di
panggung terbuka Batara Smansa di SMA
Negeri 1 Ende, Rabu 30 Mei 2012.
Mahasiswa Semester IV Kelas B Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) Universitas Flores (Uniflor) menggandeng Kelas XI Bahasa
sekolah itu dalam bedah dan diskusi puisi “Membaca Realitas Kemiskinan dalam
Puisi ‘Kepada Peminta-minta’ Karya Chairil Anwar”. Kegiatannya tiga jam sejak
pukul 15.30.
Didahului sapaan MC Kristina Bara dan doa pembuka
secara Katolik oleh Maria Yulita Ati serta laporan Ketua Panitia Fransiskus
Aurelius Loko, kegiatan dibuka Kasek
Amatus Peta. Selanjutnya presentasi materi. Diawali deklamasi oleh Yohana
Natalia Dhone.
Bertindak sebagai moderator, Elias Radi. Pemateri I,
Elisabeth Valeria Puty, pemateri II Stefanus Dalung, pemateri III Monika
Alfonsa Mau. Notulis Emiliana Kreten Muda.
Di pengujung acara, mahasiswa serahkan cenderamata,
disampaikan Dekan FKIP Pius Pampe kepada
guru Smansa Yuvita Ida. Doa penutup secara Islam dibawakan Afrida Haryanti.
Dalam sambutan membuka kegiatan, Amatus Peta
mengatakan Batara adalah akronim dari Bina Akrab Cipta Sejahtera. “Dalam
keakraban, kesejahteraan bisa tercapai. Dan keakraban harus dibina. Suasana
sore ini adalah suasana keakraban.”
Tentang puisi, ia berpendapat, “Puisi adalah nyanyian
jiwa selaras rasa. Yang ditampilkan adalah jiwa yang bernyanyi menurut apa yang
dirasakan. Anehnya, saat baca puisi, orang kurang berminat. Orang belum menyadari kekuatannya. Chairil Anwar itu terkenal karena nyanyian
jiwanya yang selaras rasa.”
Dua Versi, Dua Pesan
Pamateri menjelaskan, puisi “Kepada Peminta-minta” (Juni 1943) merupakan
saduran dari puisi penyair Belanda W.
Ellesschots “Tot den Arme”. Chairil tak
pernah menyebut sumbernya.Ia pun dicap plagiator.
Dalam “Tot den Arme”, tokoh “aku”
merujuk pada orang kaya pada
Injil Lukas 16: 19-30, “Orang Kaya dan Lazarus yang Miskin”.
Seperti
dikisahkan Injil, Lazarus miskin, penuh borok, dan kelaparan. Ia berbaring
dekat pintu rumah seorang kaya. Tetapi si kaya tidak memberinya makan.
Keduanya meninggal. Selanjutnya tentang
si kaya Injil berkisah, “… sementara ia menderita sengsara di alam maut ia
memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di
pangkuannya.”
Bisa diimajinasikan, “Tot den Arme” melukiskan adegan
itu, ketika Lazarus dan si kaya bertatapan.
Si kaya diliputi rasa bersalah, takut, ngeri, karena semasa hidup di dunia ia tidak
berempati dan berbelas kasih.
Bagaimana dengan “Kepada Peminta-minta”?
// Baik, baik aku akan menghadap Dia / Menyerahkan
diri dan segala dosa / Tapi jangan tentang lagi aku / Nanti darahku jadi beku
// Jangan lagi kau bercerita / Sudah tercacar semua di muka / Nanah meleleh
dari luka / Sambil berjalan kau usap juga //
Bersuara tiap kau melangkah / Mengerang tiap kau memandang / Menetes
dari suasana kau datang / Sembarang kau merebah // Mengganggu dalam mimpiku / Menghempas aku di
bumi keras / Di bibirku terasa pedas / Mengaum di telingaku // Baik, baik aku
akan menghadap Dia / Menyerahkan diri dan segala dosa / Tapi jangan tentang
lagi aku / Nanti darahku jadi beku //
Kata “tentang” dalam bait pertama dan terakhir sama
artinya dengan memandang atau menatap.
Oleh mahasiswa, konteks Injil dari “Tot den Arme” ditanggalkan, diganti
dengan konteks sosial Indonesia saat Chairil Anwar menyadur. Ini bertolak dari
pengakuan, “Kepada Peminta-minta” tetaplah
karya Chairil Anwar, meskipun saduran. Berbeda dengan terjemahan, saduran
itu merupakan hasil adaptasi dan kontekstualisasi.
Karena itulah
sikap tokoh aku dalam pembahasan bergeser, dari aku yang merasa bersalah
(kepada pengemis) ke aku yang mempersalahkan (si pengemis). Bahkan, “Chairil Anwar memandang si peminta-minta dengan
rasa benci.” Chairil terganggu karena si peminta-minta “... terlalu menyerah
pada keadaan hidup yang hanya mempertontonkan kemelaratan, yang sebenarnya
masih dapat diatasi.”
Argumentasi ini pas untuk keadaan tertentu saat ini.
Di Jakarta, misalnya, mengemis dijadikan profesi. Ini yang ditolak mahasiswa. Maka, pesan moral yang mereka
tarik dari “Kepada Peminta-minta” pun berbeda dengan pesan moral “Tot den
Arme”.
“Tot den Arme” mengamanatkan pesan: perlunya
berempati dan berbagi kepada yang kecil, lemah, tersingkir, tertindas,
termiskinkan. Sedangkan “Kepada Peminta-minta” beramanat: jangan suka
dikasihani, bangkitlah, bebaskan diri dari kemiskinan.
Kemiskinan dalam padangan para mahasiswa bermakna
luas. Tidak hanya kemiskinan material,
tetapi juga kemiskinan visi, misi, pengetahuan, niat, tekat, dan daya juang.
Seru
Sesi tanya-jawab cukup seru. Siswa Smansa melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis.
Jawaban pemateri tidak mereka terima begitu saja. Mereka masih mengujinya.
Semua pertanyaan akhirnya bisa dijawab, tidak hanya
oleh pematri tetapi juga oleh floor serta masukan dari para guru dan
dosen.
Masukan
Dosen Uniflor Yohanes Sehandi mengatakan, tema
membaca realitas kemiskinan bisa disambung dengan membaca realitas kemiskinan
di NTT. “APBD kita 90% dari pusat, hanya 10% dari PAD. Ini peringatan keras
dari Chairil Anwar untuk kita di NTT.”
Dekan FKIP Pius Pampe
menekankan, dalam bedah puisi, perlu dipahami dengan baik latar belakang
dan watak si penyair. “Chairil Anwar itu vitalis, sangat hidup. Juga anarkis,
dalam pilihan kata, bukan dalam tindakan. Dia juga pandai hidup bersama dengan
orang lain.”
Dosen muda Ardi Sumbi
mengatakan, yang menarik dia sejak kecil adalah foto Chairil Anwar yang
memberi kesan bermenung. “Puisi ini gambarkan diri penyair sendiri.”
Guru Smansa Yuvita Ida melihat sisi lain. “Chairil
Anwar beri contoh buruk, plagiat. Seharusnya angkat puisi lain. “
Dosen senior Theo Uheng memberi semangat. Kita bisa,
tidak jadi peminta-minta. “Saya bangga dengan anak-anak Smansa. Kamu sudah
tunjukkan kamu bisa dan pasti bisa.”
Kesan
Wakil siswa meniai kegiatan ini sangat bagus. “Ini membantu saya dan
teman-teman dalam memahami puisi. Harapan, dilakukan tiap tahun.”
Frans Anggal memuji ketekunan Suster Wilda Wisang
CIJ, pengampu mata kuliah Kajian Apresiasi Puisi, dalam membimbing mahasiswa
sehingga kegiatan pada tujuh
sekolah berlangsung dan berakhir dengan sukses.
Suster Wilda terkesan dengan kesungguhan
mahasiswanya. “Dengan kegiatan ini, mereka belajar menjadi guru. Menjadi guru
yang kreatif, yang mampu membuat siswa kreatif.”
Ia menyampaikan terima kasih kepada semua pihak. Kepala
sekolah mitra, para guru, dan siswa.***
Flores Pos, Jumat 1
Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar