Oleh Frans
Anggal
"Anda
terbukti mengarang bebas …. Selama ini Anda membantai saya dalam tulisan Anda
di Flores Pos. Mudah-mudahan yang
Anda tulis itu benar adanya. Kalau tidak maka Anda lihat nanti!!”
Itu bunyi SMS,
yang untuk keperluan tulisan ini tidak dikutip seluruhnya. Datangnya dari seseorang
yang menyebut diri “Mikhael Hayon, mantan kades Kalike Aimatan, anggota DPRD
Flotim”. Ditujukan kepada Frans Kolong
Muda, wartawan Flores Pos di Kabupaten
Flotim. SMS terkirim pada Kamis, 18 Juni 2015,
sekitar pukul 11.00 Wita, dari nomor 081338133898.
SMS ini diduga
sebagai reaksi atas pemberitaan Flores Pos selama ini soal dugaan
penyalahgunaan dana Program Usaha Agrobisnis Perdesaan (PUAP) di Desa Kalike
Aimatan, Kecamatan Solor Timur, tahun 2008/2009. Nilainya Rp100 juta. Mikhael Hayon, kalau benar dia pengirim SMS
itu, diduga merasa terganggu oleh pemberitaan. Sebab, kasus tersebut terjadi
saat dia menjabat kades. Sebagai kades, dialah penanggung jawab pengelolaan
dana PUAP.
Dana PUAP itu
telah digunakan. Sayangnya, digunakan tidak seturut petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknis dari Kementerian Pertanian. Dana tidak mereka pakai untuk adakan bibit
tanaman dan anak hewan ternak, tapi untuk beli truk. Tidak main-main, truknya
truk bekas. Dan lebih tidak main-main lagi, truk itu truk bekas pangkat lima,
karena sudah di bawah lima tangan. Dana sisa dari beli truk itu mereka pakai
untuk bangun balai desa. Sialnya, truk kena strok tidak lama setelah
dioperasikan. Truk itu rusak sampai saat ini.
Menurut hasil
audit Inspektorat Flotim, kerugian keuangan negara dalam kasus ini Rp72 juta. Penyidik
Tindak Pidana Korupsi Polres Flotim telah melakukan penyelidikan sejak September
2014. Sudah hampir berulang tahun, penyelidikannya baru sebatas memeriksa sejumlah saksi. Sedangkan Mikhael
Hayon, si penanggung jawab pengelolaan dana PUAP, belum disentuh.
Nah, ini
titik penting: polisi belum sentuh dia. Yang malah rajin sentuh dia adalah Frans
Kolong Muda, si wartawan Flores Pos. Pemberitaannya
gencar dalam tiga bulan terakhir. Maka
kepada si penulis beritalah SMS disasarkan. Nadanya mengancam. Rupanya tujuannya agar
nyali Frans Kolong Muda ciut. Kalau nyalinya ciut, mana berani lagi dia
menulis? Maka pemberitaan terhenti. Dengan demikian, kasusnya mudah dihentikan.
Kan tak ada lagi yang mengontrol.
Kalau hitung-hitungan
si pengancam seperti itu, ia keliru besar. Disangkanya tujuan tercapai, alih-laih
hal lainlah yang terjadi. Pertama, SMS bernada ancaman itu dijadikan
berita oleh Frans Kolong Muda. Salain pertanda wartawan ini tidak kecut, pemberitaannya
itu membuat sesuatu yang sedang terjadi di ruang gelap diangkat ke ruang terang,
ke ruang publik, sehingga diketahui publik. Ini self cencorship wartawan agar ia tidak terperangkap dalam transaksi
gelap yang menistakan profesinya.
Selain itu, memberitakan
SMS bernada ancaman berarti juga mempertontonkan kepada publik mutu si pengirim
SMS. Kalau benar Mikhael Hayon yang mengirim SMS, betapa ini menyedihkan. Dia
itu kan anggota DPRD. Legislator.
Asal katanya leges (bahasa Latin),
yang berarti aturan. Dia pembuat aturan. Bagaimana bisa cara bereaksinya tidak pakai
aturan? Padahal aturannya sudah ada, dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Selama ini
Anda membantai saya dalam tulisan Anda di Flores
Pos,” bunyi SMS-nya. Kalau betul
begitu, kenapa dia tidak kirim tanggapan ke Flores
Pos? UU Pers menjamin haknya. Namanya, hak jawab. Yaitu hak seseorang atau
sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan
berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Pers berkewajiban memuat hak jawab.
"Anda
terbukti mengarang bebas.” Kalau benar demikian, kenapa pula ia tidak kirim
tanggapan ke Flores Pos? Di sini pun UU
Pers menjamin haknya. Hak koreksi. Yaitu,
hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan
pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Pers wajib hukumnya memperbaiki
informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah
diberitakannya.
Sayangnya, mekanisme
di atas tidak ditempuh oleh si pengirim SMS. Maka jadi teranglah di mata
publik, dia tidak tahu aturan main. Percuma saja jadi legislator, pembuat
aturan. Ganti pakai aturan, dia malah pakai cara preman, mengirim SMS bernada
ancaman. “Mudah-mudahan yang Anda tulis itu benar adanya. Kalau tidak maka Anda
lihat nanti!!”
Apa reaksi
Frans Kolong Muda? Setelah ia jadikan berita, SMS bernada ancaman itu ia jadikan
dasar pembuatan laporan polisi. Pelaporan tindak pidana ini pun ia beritakan.
Ia tahu aturan main. Tidak bereaski ala preman. Ini hal kedua yang mungkin di luar dugaan si pengirim SMS.
Dengan adanya
laporan polisi tersebut, kini dua kasus menimpa
Mikhael Hayon. Yang pertama, kasus PUAP. Yang kedua, kasus SMS. Yang pertama
itu kasus korupsi, yang dikenal sebagai extraordinary
crime atau tindak pidana luar biasa. Yang kedua kasus tindak pidana biasa.
Yang
menarik, kedua kasus ini terjadi karena hal yang sama. Karena orang tidak ikut
aturan main. Dalam kasus pertama, aturan mainnya berupa petunjuk pelaksanaan
dan petunjuk teknis dari Kementerian Pertanian. Ini tidak dihiraukan. Dalam kasus kedua, aturan
mainnya ada dalam UU Pers. Ini tidak diindahkan. Apakah karena tidak mau atau
karena tidak tahu, walahuallam.
Yang pasti,
pesan dari kedua kasus ini sangat jelas. Sebuah pesan tua dari peribahasa Latin
kuno, dengan kebenaran yang tak akan pernah kuno. Serva ordinem, et ordo sevabit te! Peliharalah aturan, maka aturan
akan memelihara engkau! Jadi? Ikut aturan main, Bung! ***
Dimuat pada kolom “Kutak-Kutik”
Harian Umum Flores Pos edisi Kamis, 27 Agustus 2015.