Penertiban Penjual Ikan di Lembata
Oleh Frans Anggal
Ibu-ibu penjual ikan, yang menjajakan dagangannya dari rumah ke rumah di kota Lewoleba, mengadu ke DPRD Lembata. Tidak hanya ke sana. Mereka juga melapor ke polisi. Mereka tidak terima baik perlakukan anggota Satpol PP. Mereka dikejar. Ikan jualan mereka dirusakkan dan dibuang (Flores Pos Jumat 23 April 2010).
Lain lagi ibu-ibu penjual ikan dari Pasar Pada. Mereka mengamuk di kantor Satpol PP Lembata. Alasannya sama. Saat mereka berjualan di pinggir jalan kota Lewoleba (karena di Pasar Pada tidak laku), jualan mereka diambil petugas dan dibuang di belakang kantor Satpol PP (Flores Pos Sabtu 24 April 2010).
Tentang peristiwa ini, Kasat Pol PP Markus Lela Udak mengatakan, pihaknya sedang mengamankan perda. Perda Nomor 12 Tahun 2003 tentang Tata Ruang Kota. Yang melanggar perda, dalam hal ini yang berjualan tidak pada tempatnya, harus ditertibkan.
Dengan dasar perda-lah, dan atas nama penertiban-lah, ibu-ibu penjual ikan dikejar. Dagangannya dirampas, dirusakkan, dibuang. Nilai nominal dagangan mereka mungkin tidak seberapa. Namun, yang tak seberapa ini sangatlah berarti bagi mereka yang miskin. Mungkin itu satu-satunya sumber kehidupan keluarga. Maka, ketika itu dirampas, dirusakkan, dan dibuang, yang terenggut sebenarnya bukan hanya ”barang”-nya tapi juga ”sumber kehidupan”-nya.
Bahwa mereka melanggar perda, jelas. Yang jadi pertanyaan: kenapa mereka melanggar? Dari penuturan mereka terkuak, itu mereka lakukan demi menyambung nyawa. Berjualan di tempat yang ditentukan perda, di Pasar Pada, dagangan mereka tidak laku. Kalau tidak laku, keluarga makan apa? Mereka terpaksa menjual di tempat yang laris. Di pinggir jalan dalam kota. Juga, dari rumah ke rumah.
Mereka tahu, mereka melanggar perda. Mereka juga tahu, mereka bakal digaruk petugas dan boleh jadi akan berhadapan dengan hukum. Namun, di depan hukum, mereka akan membela diri dengan alasan yang sama. Melanggar perda, demi menafkahi keluarga, agar bisa tetap hidup, dst. Dengan ini, mereka tidak hanya memiliki alasan masuk akal, tapi juga alasan moral.
Hukum mungkin tidak akan mempertimbangkan alasan seperti itu. Akan tetapi, keadilan pasti akan mendiskusikannya sebagai problem etis. Yang sudah pasti, dengan adanya alasan moral dalam melanggar perda, ibu-ibu penjual ikan itu tidak sedang dilanda defisit moral.
Lain halnya dengan bupati yang melanggar perda. Misalnya, membangun rumah pada lokasi yang menyalahi perda. Berbeda dengan ibu-ibu penjual ikan, sang bupati tidak punya alasan yang dapat dibenarkan secara etis untuk membela diri. Sebab, dari tangannyalah perda lahir. Bagaimana bisa, dia yang lahirkan, dia pula yang langgar.
Pertanyaan kita untuk Satpol PP Lembata: kalau bupati membangun rumah di lokasi yang melanggar perda, apakah Anda juga berani melakukan penertiban? Sisi keadilan inilah yang turut diangkat oleh ibu-ibu penjual ikan. “Kalau omong perda, bupati dan pemerintah sendiri melanggar perda,” kata Fatimah.
Kita berharap, Satpol PP Lembata melihat persoalan secara luas dan lengkap. Dalam menegakkan perda, jangan pakai kacamata kuda! Seakan-akan hukum demi hukum, perda demi perda, titik. Dan demi perda, manusia dibinatangkan. Dikejar. Barangnya dirampas, dirusakkan, dibuang. Tak ada lagi cara yang manusiawi. Kasihan. Mereka tidak tahu, hukum itu adalah penjaga moral.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 28 April 2010
29 April 2010
27 April 2010
Ketika Bupati Mangkir Lagi
Sidang "Class Action" Kasus Tambang Manggarai
Oleh Frans Anggal
Warga lingkar tambang Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, kembali kecewa. Untuk kedua kalinya, 22 April 2010, sidang gugatan perwakilan (class action) yang mereka ajukan ke PN Ruteng ditunda. Penyebabnya sama dengan penyebab penundaan sidang perdana 25 Maret 2010. Para tergugat mangkir (Flores Pos Sabtu 24 April 2010).
Dari lima tergugat, hanya PT Sumber Jaya Asia (SJA) yang hadir. Lainnya absen, tanpa keterangan pula. Mereka: bupati Manggarai, PT Tribina Sempurna, PT Istindo Mitra Perdana, dan Mentamben.
Mangkirnya bupati mendapat sorotan khusus dari majelis hakim. Tidak hanya majelis hakim sebetulnya. Kita juga, yang notabene bukan hakim. Ada beberapa hal yang membuat kita tidak bisa menerima ketidakhadiran sang bupati, apalagi sampai dua kali berturut-turut, tanpa keterangan.
Pertama, kasus ini terjadi di Manggarai. Penambangan mangan oleh PT SJA dalam kawasan hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103. Jadi, wilayahnya wilayah sang bupati! Kedua, penambangan ini ilegal, tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Jadi, locus delicti-nya dalam wilayah sang bupati! Ketiga, penambangan ini telah merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat. Jadi, dampak buruknya menimpa tidak hanya wilayah tapi juga rakyatnya sang bupati! Keempat, penambangan ini hadir antara lain karena adanya izin bupati. Jadi, kebijakannya kebijakan sang bupati!
Cukup jelas, begitu melekatnya kasus ini pada diri sang bupati. Kalau begitu, alasannya apa sampai sang bupati tidak menghadiri sidang?
Wabup Deno Kamelus kasih jawaban. ”Kami kan masuk turut tergugat. Tetapi, kopi gugatan tidak dikasih. Jadi, permasalahannya di situ,” katanya kepada Flores Pos. Kopi gugatan diperlukan agar bisa dipelajari sebelum bupati maju ke persidangan.
Pertanyaan kita: apakah hal itu sudah disampaikan ke PN Ruteng? Apakah kopi gugatan sudah diminta tapi tidak dikasih? Atau tidak pernah diminta? Apakah perihal tidak adanya kopi gugatan sudah diterangkan kepada PN sebagai alasan tidak hadirnya bupati dalam persidangan? Kalau sudah, kenapa majelis hakim kepada pers mengatakan sudah dua kali bupati tidak hadir tanpa informasi apa pun?
Pertanyaan ini penting guna menghindarkan kita dari penyederhanaan persoalan. Seolah-olah mangkir di sini hanya persoalan teknis. Hanya persoalan ada atau tidaknya kopi gugatan. Secara teknis, kopi gugatan bisa bahkan mudah didapat, kalau mau! Kalau ada itikad baik! Kalau proaktif! Jadi, persoalannya bukan persoalan teknis, tapi persoalan etis.
Secara etis, sebagai pemimpin wilayah, pemimpin rakyat, dan pemimpin kebijakan, bupati seharusnya menjadi yang terdepan. Terdepan dalam menyelamatkan wilayahnya dari penghancuran oleh tambang. Terdepan dalam meluputkan rakyatnya dari pemelaratan oleh tambang. Dan, kalau karena kebijakannyalah penghancuran dan pemelaratan itu terjadi, maka ia harus menjadi yang terdepan pula dalam bertanggung jawab dan bertanggung gugat.
Ini yang tidak kita tidak lihat. Sekurang-kurangnya dari sidang gugatan class action itu. Dalam hal bertanggung jawab dan bertanggung gugat secara hukum, sang bupati tidak menjadi yang terdepan. Dua kali dalam sidang class action, dia hanya menjadi yang tersekian. Hanya menjadi salah satu dari empat tergugat yang mangkir, tanpa keterangan. Menyedihkan!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 27 April 2010
Oleh Frans Anggal
Warga lingkar tambang Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, kembali kecewa. Untuk kedua kalinya, 22 April 2010, sidang gugatan perwakilan (class action) yang mereka ajukan ke PN Ruteng ditunda. Penyebabnya sama dengan penyebab penundaan sidang perdana 25 Maret 2010. Para tergugat mangkir (Flores Pos Sabtu 24 April 2010).
Dari lima tergugat, hanya PT Sumber Jaya Asia (SJA) yang hadir. Lainnya absen, tanpa keterangan pula. Mereka: bupati Manggarai, PT Tribina Sempurna, PT Istindo Mitra Perdana, dan Mentamben.
Mangkirnya bupati mendapat sorotan khusus dari majelis hakim. Tidak hanya majelis hakim sebetulnya. Kita juga, yang notabene bukan hakim. Ada beberapa hal yang membuat kita tidak bisa menerima ketidakhadiran sang bupati, apalagi sampai dua kali berturut-turut, tanpa keterangan.
Pertama, kasus ini terjadi di Manggarai. Penambangan mangan oleh PT SJA dalam kawasan hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103. Jadi, wilayahnya wilayah sang bupati! Kedua, penambangan ini ilegal, tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Jadi, locus delicti-nya dalam wilayah sang bupati! Ketiga, penambangan ini telah merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat. Jadi, dampak buruknya menimpa tidak hanya wilayah tapi juga rakyatnya sang bupati! Keempat, penambangan ini hadir antara lain karena adanya izin bupati. Jadi, kebijakannya kebijakan sang bupati!
Cukup jelas, begitu melekatnya kasus ini pada diri sang bupati. Kalau begitu, alasannya apa sampai sang bupati tidak menghadiri sidang?
Wabup Deno Kamelus kasih jawaban. ”Kami kan masuk turut tergugat. Tetapi, kopi gugatan tidak dikasih. Jadi, permasalahannya di situ,” katanya kepada Flores Pos. Kopi gugatan diperlukan agar bisa dipelajari sebelum bupati maju ke persidangan.
Pertanyaan kita: apakah hal itu sudah disampaikan ke PN Ruteng? Apakah kopi gugatan sudah diminta tapi tidak dikasih? Atau tidak pernah diminta? Apakah perihal tidak adanya kopi gugatan sudah diterangkan kepada PN sebagai alasan tidak hadirnya bupati dalam persidangan? Kalau sudah, kenapa majelis hakim kepada pers mengatakan sudah dua kali bupati tidak hadir tanpa informasi apa pun?
Pertanyaan ini penting guna menghindarkan kita dari penyederhanaan persoalan. Seolah-olah mangkir di sini hanya persoalan teknis. Hanya persoalan ada atau tidaknya kopi gugatan. Secara teknis, kopi gugatan bisa bahkan mudah didapat, kalau mau! Kalau ada itikad baik! Kalau proaktif! Jadi, persoalannya bukan persoalan teknis, tapi persoalan etis.
Secara etis, sebagai pemimpin wilayah, pemimpin rakyat, dan pemimpin kebijakan, bupati seharusnya menjadi yang terdepan. Terdepan dalam menyelamatkan wilayahnya dari penghancuran oleh tambang. Terdepan dalam meluputkan rakyatnya dari pemelaratan oleh tambang. Dan, kalau karena kebijakannyalah penghancuran dan pemelaratan itu terjadi, maka ia harus menjadi yang terdepan pula dalam bertanggung jawab dan bertanggung gugat.
Ini yang tidak kita tidak lihat. Sekurang-kurangnya dari sidang gugatan class action itu. Dalam hal bertanggung jawab dan bertanggung gugat secara hukum, sang bupati tidak menjadi yang terdepan. Dua kali dalam sidang class action, dia hanya menjadi yang tersekian. Hanya menjadi salah satu dari empat tergugat yang mangkir, tanpa keterangan. Menyedihkan!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 27 April 2010
Label:
bentara,
bupati manggarai,
etika,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus tambang di manggarai,
manggarai
25 April 2010
Aldiras Dibungkam
Gejala Personalisasi Birokrai
Oleh Frans Anggal
Kepala Badan Kesbanglinmas Kabupaten Lembata Gregorius Pesa Nilan melarang semua ormas, LSM, aliansi, forum, dan konsorsium melakukan aksi jika belum tercatat secara resmi. Satu di antaranya, Aldiras (Aliansi Kebenaran dan Keadilan Antikekerasan). Tanggapan Aldiras? Ini cara pemerintah membungkam Aldiras (Flores Pos Kamis 22 April 2010).
Tanggapan Aldiras masuk akal. Pelarangan itu tidak lahir dari kehampaan. Ada konteksnya. Konteksnya: kasus pembunuhan Yoakim Langoday. Aldiras lahir karena kasus ini. Ia forum bagi beberapa elemen masyarakat yang punya tujuan sama. Tegaknya kebenaran dan keadilan dalam proses hukum kasus Langoday.
Dari tujuannya, forum ini berhasil. Lima pelaku pembunuhan Langoday divonis 15-17 tahun penjara. Salah satunya, Erni Manuk, putri Andreas Duli Manuk bupati Lembata. Hingga di sini, Aldiras tidak diapa-apakan. Keberadaannya baru mulai dipersoalkan ketika aksinya menohok bupati.
Pada demo Senin 12 April 2010, Aldiras mendesak Bupati Ande Manuk turun. Sang bupati diduga kuat sebagai otak pembunuhan Langoday. Demikian pernyataan Sekretaris Aldiras Alex Murin dalam orasinya. Alex Murin pun dilaporkan ke polisi oleh bupati. Deliknya: pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.
Menyusul laporan bupati inilah, Kesbanglinmas keluarkan pelarangan aksi bagi semua ormas, LSM, aliansi, forum, dan konsorsium yang belum tercatat resmi. Aldiras pun kena batunya, karena memang belum tercatat. Kalau sebelumnya bupati ditohok Aldiras, kini Aldiras yang balik ditohok. Tohokan pertama: laporan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Tohokan kedua: pelarangan aksi.
Dengan konteks seperti ini, sulit untuk tidak menyimpulkan, Aldiras sedang diserang balik. Dalam istilah Aldiras sendiri, mereka sedang dibungkam. Masuk akal. Sebab, kalau tindakan Kesbanglinmas itu murni atas nama aturan, kenapa tidak dari dulu-dulu? Kenapa baru pada saat ketika bupati merasa sangat dirugikan?
Pertanyaan ini perlu diajukan. Sebab, Kesbanglinmas itu salah satu organnya bupati (baca: penguasa). Setiap pengusa selalu tergoda menyalahgunakan (organ) kekuasaannya demi kepentingannya sendiri. Demi pembenaran diri. Demi pembelaan diri. Demi langgeng dan besarnya kekuasaannya sendiri. Aldiras boleh jadi sedang menghadapi kemungkinan seperti ini.
Kemungkinan itu ada, terutama dari presedennya. Dalam proses hukum kasus Langoday, kuat terkesan, organ kekuasaan tampil sebagai saksi untuk kepentingan alibi Erni Manuk, anaknya bupati, dan bukan untuk ’kepentingan’ si terbunuh Yoakim Langoday, kabid dinas perikanan, bawahannya bupati.
Ini gejala apa? Personalisasi birokrasi! Istilah sosiolog Peter L Berger. Masuknya pola-pola emosionalitas dan hubungan pribadi ke dalam struktur birokrasi. Gejala ini pula yang terkesan melekat pada Kesbanglinmas vs Aldiras. Terkesan, demi kepentingan personal bupati, Aldiras harus dibungkam. Harus tercatat resmi dulu di Kesbanglinmas, baru boleh melakukan aksi.
Aneh. Aldiras itu bukan lembaga permanen. Ia tidak punya AD/ART. Sifatnya temporer. Kenapa harus dicatat? Bikin habis waktu, tenaga, kertas, dan tinta saja. Saking anehnya persyaratan ini, kita patut dapat menduga, ini satu cara membungkam Aldiras. Dengan kata lain, persyaratan itu bukan demi sebuah ”orde” (tata aturan), tapi demi sebuah ”order” (pesanan). Order siapa?
“Bentara” FLORES POS, Senin 26 April 2010
Oleh Frans Anggal
Kepala Badan Kesbanglinmas Kabupaten Lembata Gregorius Pesa Nilan melarang semua ormas, LSM, aliansi, forum, dan konsorsium melakukan aksi jika belum tercatat secara resmi. Satu di antaranya, Aldiras (Aliansi Kebenaran dan Keadilan Antikekerasan). Tanggapan Aldiras? Ini cara pemerintah membungkam Aldiras (Flores Pos Kamis 22 April 2010).
Tanggapan Aldiras masuk akal. Pelarangan itu tidak lahir dari kehampaan. Ada konteksnya. Konteksnya: kasus pembunuhan Yoakim Langoday. Aldiras lahir karena kasus ini. Ia forum bagi beberapa elemen masyarakat yang punya tujuan sama. Tegaknya kebenaran dan keadilan dalam proses hukum kasus Langoday.
Dari tujuannya, forum ini berhasil. Lima pelaku pembunuhan Langoday divonis 15-17 tahun penjara. Salah satunya, Erni Manuk, putri Andreas Duli Manuk bupati Lembata. Hingga di sini, Aldiras tidak diapa-apakan. Keberadaannya baru mulai dipersoalkan ketika aksinya menohok bupati.
Pada demo Senin 12 April 2010, Aldiras mendesak Bupati Ande Manuk turun. Sang bupati diduga kuat sebagai otak pembunuhan Langoday. Demikian pernyataan Sekretaris Aldiras Alex Murin dalam orasinya. Alex Murin pun dilaporkan ke polisi oleh bupati. Deliknya: pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.
Menyusul laporan bupati inilah, Kesbanglinmas keluarkan pelarangan aksi bagi semua ormas, LSM, aliansi, forum, dan konsorsium yang belum tercatat resmi. Aldiras pun kena batunya, karena memang belum tercatat. Kalau sebelumnya bupati ditohok Aldiras, kini Aldiras yang balik ditohok. Tohokan pertama: laporan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Tohokan kedua: pelarangan aksi.
Dengan konteks seperti ini, sulit untuk tidak menyimpulkan, Aldiras sedang diserang balik. Dalam istilah Aldiras sendiri, mereka sedang dibungkam. Masuk akal. Sebab, kalau tindakan Kesbanglinmas itu murni atas nama aturan, kenapa tidak dari dulu-dulu? Kenapa baru pada saat ketika bupati merasa sangat dirugikan?
Pertanyaan ini perlu diajukan. Sebab, Kesbanglinmas itu salah satu organnya bupati (baca: penguasa). Setiap pengusa selalu tergoda menyalahgunakan (organ) kekuasaannya demi kepentingannya sendiri. Demi pembenaran diri. Demi pembelaan diri. Demi langgeng dan besarnya kekuasaannya sendiri. Aldiras boleh jadi sedang menghadapi kemungkinan seperti ini.
Kemungkinan itu ada, terutama dari presedennya. Dalam proses hukum kasus Langoday, kuat terkesan, organ kekuasaan tampil sebagai saksi untuk kepentingan alibi Erni Manuk, anaknya bupati, dan bukan untuk ’kepentingan’ si terbunuh Yoakim Langoday, kabid dinas perikanan, bawahannya bupati.
Ini gejala apa? Personalisasi birokrasi! Istilah sosiolog Peter L Berger. Masuknya pola-pola emosionalitas dan hubungan pribadi ke dalam struktur birokrasi. Gejala ini pula yang terkesan melekat pada Kesbanglinmas vs Aldiras. Terkesan, demi kepentingan personal bupati, Aldiras harus dibungkam. Harus tercatat resmi dulu di Kesbanglinmas, baru boleh melakukan aksi.
Aneh. Aldiras itu bukan lembaga permanen. Ia tidak punya AD/ART. Sifatnya temporer. Kenapa harus dicatat? Bikin habis waktu, tenaga, kertas, dan tinta saja. Saking anehnya persyaratan ini, kita patut dapat menduga, ini satu cara membungkam Aldiras. Dengan kata lain, persyaratan itu bukan demi sebuah ”orde” (tata aturan), tapi demi sebuah ”order” (pesanan). Order siapa?
“Bentara” FLORES POS, Senin 26 April 2010
Label:
aldiras,
bentara,
bupati lembata,
erni manuk,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus langoday,
kesbanglinmas lembata,
pencemaran nama baik,
perbuatan tak menyenangkan
Langganan:
Postingan (Atom)