Bedah dan Diskusi Puisi Uniflor-SMAK Syuradikara
Oleh Frans Anggal
tidak ada pilihan lain. kita harus
berjalan terus
berarti hancur
Kata-kata penyair Taufiq
Ismail menggetarkan ruang baca SMAK Syuradikara Ende, Sabtu 19 Mei 2012. “Kita
adalah Pemilik Sah Republik Ini” dideklamasikan Rosalia Torlan dan Seltiana
Ndaing. Keduanya mahasiswa Semester IV Kelas C Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas
Flores (Uniflor).
Hari itu, Rosalia cs
menggandeng Kelas XI Bahasa SMAK Syuradikara dalam bedah dan diskusi puisi.
Bertajuk, “Ekspresi Perjuangan Anak Bangsa dalam Puisi ‘Kita adalah Pemilik Sah
Republik Ini’ Karya Taufiq Ismail”.
Ini kegiatan kedua dalam
sepekan. Sehari sebelumnya kegiatan serupa di SMAK Frateran Ndao: bedah dan
diskusi puisi “Menjadi Manusia” karya penyair John Dami Mukese.
Kegiatan diawali sambutan
Ketua Panitia Antonius Nia Nonga. Disusul sambutan Siti Harwati Kayu Manis
mewakili kepala SMAK Syuradikara dan sambutan Ketua Program Studi PBSI FKIP
Uniflor Alexander Bala Gawen. Selanjutnya presentasi materi oleh Aloysius S.
Maran, Ida Wahyuti B. Djana, dan Erwinsyah. Bertindak sebagai moderator
Yulgensius A. Serat dan notulis Florentina F. Fina.
Pada sesi pertama
tanya-jawab, usai penyajian meteri, siswa SMAK Syuradikara tampak enggan
bertanya. Namun memasuki sesi kedua, mereka ramai lontarkan pertanyaan.
Tampaknya dua sesi saja tidak cukup. Sebagian pertanyaan mereka sangat kritis
dan menantang.
Para guru dan dosen
memberikan catatan akhir. Dari Syuradikara: Siti Harwati Kayu Manis dan
Stefanus Luon. Dari Uniflor: Alexander Bala Gawen, Suster Wilda CIJ (pengampu
mata kuliah Kajian Apresiasi Puisi), Veronika Genoa, Dominika Dapa, Irama Rupa,
Agus Berek, Yan Sehandi, dan Frans Anggal.
Kegiatan ditutup dengan
doa. Selanjutnya penyerahan cenderamata dari Uniflor. Diserahkan Alexander Bala
Gawen kepada Siti Harwati Kayu Manis.
Puisi Spanduk
Dalam pemaparan, pemateri
menjelaskan, “Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini” diangkat dari kumpulan
puisi Taufiq Ismail, Tirani dan Benteng, 1966. Puisi ini adalah puisi spanduk.
Yaitu puisi yang lebin menekankan amanat atau isi.
Puisi spanduk biasa
dibacakan dan boleh jadi diciptakan untuk dibacakan di depan umum, khususnya
pada aksi demonstrasi. Ketika mahasiwa berdemo menumbangkan tirani Orde Lama,
1966, puisi Taufiq dijadikan wahana ekspresi dan corong perjuangan. Karena
itulah, amanat atau isi puisi mendapat perhatian lebih dari sang penyair.
Lebih dipentingkannya isi
daripada bentuk dapat dilihat, antara lain, pada rima atau persajakan. Pada
puisi ini rima sempurna hanya terdapat pada bait pertama. Pada bait
selanjutnya, rimanya tidak ketat lagi.
Pada bait pertama, bentuk
dan isinya sama kuat. Persamaan bunyi suku kata akhir tiap larik baitnya
berpola aa, bb. // tidak ada pilihan,
kita harus / berjalan terus / karena berhenti atau mundur / berarti hancur //.
Ini semacam gong pembuka yang sekaligus menjadi inti, fokus, dan spirit, dengan
larik kunci “berjalan terus”. Larik ini
mendapat penekanan dengan cara diulang, pada awal dan akhir dua bait
selanjutnya.
Pada bait kedua, isi lebih
kuat daripada bentuk. Rimanya tidak berpola tetap. // apakah akan kita jual keyakinan kita / dalam pengabdian tanpa harga
/ akan maukah kita duduk satu meja / dengan para pembunuh tahun yang lalu /
dalam setiap kalimat yang berakhiran: / “Duli tuanku?” //. Ini pertanyaan retoris. Sikapnya jelas tegas:
menolak pengkhianatan atas prinsip dan mental kompromistis terhadap penguasa
tiran.
Demikian pula pada bait
ketiga, isinya lebih kuat daripada bentuk. Pola rimanya pun tidak tetap. // kita adalah manusia bermata sayu, yang di
tepi jalan / mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh / kita adalah
berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara /
dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama / dan bertanya-tanya diam
inikah yang namanya merdeka //. Ini
sebuah deskripsi tentang siapakah “kita”, korban ketidakadilan dan bencana
alam, yang sesungguhnya adalah pemilik sah republik ini.
Oleh sifatnya yang lebih
menekankan isi, dan oleh pemanfaatannya sebagai corong perjuangan demonstran,
puisi spanduk mudah dicerna. Lugas. Puisi spanduk tidak seberat puisi reflektif
“Menjadi Manusia” karya John Dami Mukese, misalnya, yang hanya bisa dimengerti
dengan baik kalau direnungkan dengan baik.
Puisi Perjuangan
Pemateri menggolongkan
puisi Taufiq Ismail ini ke dalam puisi perjuangan. Judul presentasi serta unsur
lahiriah dan batiniah puisi itu sendiri gamblang memperlihatkan hal itu.
Salah satu hal yang
menunjukkan spirit perjungan adalah ritme atau iramanya. Terutama ketika puisi
ini dibacakan atau dideklamasikan. Sangat terasa, puisi ini menggunakan ritme troche,
keras dan lembutnya bergantian, menggambarkan dinamika perjuangan. Ketika mempresentasikan puisi ini, para
mahasiswa memilih deklamasi ketimbang
membacakannya. Ini pilihan tepat. Deklamasi lebih menghadirkan spirit
perjuangan itu.
Apa amanat puisi ini?
Berjalan terus! Artinya, terus berjuang menjadikan bangsa ini cerdas,
bermartabat, adil, dan sejahtera. Tidak boleh berhenti, apalagi mundur. Sebab,
berhenti berarti kendur. Mundur berarti hancur.
Karena itu, meski konteks
kelahirannya adalah perjuangan menumbangkan Orde Lama, puisi ini tetap
relevan. Sebab, selagi negara ada,
penguasa tetap ada. Selagi penguasa ada, kecenderungan menyalahgunakan
kekuasaan tetap ada. Selagi kecenderungan menyalahgunakan kekuasaan tetap ada,
kontrol tidak boleh tidak ada.
Siapa yang harus
mengontrol? Puisi ini menjawab: “kita”.
“Siapakah ‘kita’ dalam puisi ini?” tanya
Maria Trisnawati siswi Syuradikara. “Rakyat!” jawab pemateri.
Rakyatlah pemilik sah
republik ini. Penguasa hanyalah pengemban mandat dan amanat rakyat. Kalau
penguasa tidak becus, pemilik sah berhak menggantinya. Untuk itulah ada pemilu,
pilpres, pemilukada.
Motivasi
Taufiq Ismail bukan sarjana bahasa dan sastra. Ia sarjana
kehewanan dan peternakan. Kenyataan ini
mematahkan mitos bahwa hanya orang Bahasa yang bisa bikin puisi. “Ini motivasi
untuk kelas Bahasa,” kata Alexander Bala Gawen, mengawali komentar para guru
dan dosen.
Siti Harwati Kayu Manis
meminta perhatian pada penggunaan bahasa. “Jangan bicara sastra, tapi abaikan
bahasa. Bahasa itu media sastra. Kalau bahasa tidak benar maka sastra juga
tidak benar.”
Stefanus Luon alumnus
Uniflor menyatakan iri pada mahasiwa Uniflor sekarang ini. “Dulu kami tidak
seperti mereka.” Ia melihat kegiatan ini sebagai kebangkitan Uniflor.
Dominika Fanda
menerjemahkan “berjalan terus” pada puisi Taufiq Ismail sebagai ajakan bagi
para pelajar agar tekun dan terus belajar, baik di sekolah maupun di rumah.
Senada, Agus Berek dan
Irama Rupa mengalamatkan pesan. “Berjuang terus untuk mencapai cita-cita,”
kata Agus. “Bangkit dan berjuang terus,
karena kita makhluk yang berproses,” ujar Irama.
Mewakili para siswa, Ave
Mario menyatakan terima kasih karena mereka telah terlibat dan bisa membedah
puisi secara lebih dalam. “Ke depan, termin tanya jawab diperpanjang, tidak
hanya dua termin,” usulnya. ***
Flores Pos, Rabu 23 Mei
2012