Oleh Frans Anggal
Sebuah kontras! Itulah yang mencuat dari dua foto
master halaman depan Flores Pos pekan
pertama dan kedua September 2012. Foto edisi Rabu 5 September mempertontonkan rumah
dinas pimpinan DPRD Sikka yang tidak dihuni: berdinding tembok, berlantai keramik,
beratap seng, berpagar beton. Sedangan foto edisi Kamis 13 September memperlihatkan
bangunan sekolah darurat SD Kaki Wukak Toeng: berdinding pelupuh, berlantai
tanah, beratap ilalang, berpagar angin.
Seandainya tanpa keterangan, kedua foto itu tetap berbicara.
Walau membekukan dan membisukan kenyataan hidup, kedua foto itu tetap kuat menyuguhkan pesan. Sebab,
fotografi selalu mengikutsertakan pembaca, bahkan menuntut pembaca terlibat.
Dari keterlibatan itulah pesan lahir. Dan pesan itu penuh kontras. Foto
pertama: meskipun (tampak) layak, bangunan (rumah dinas) itu tidak digunakan. Foto
kedua: meskipun (tampak) tidak layak, bangunan (SD) itu tetap digunakan.
Dalam beku dan bisunya kedua foto, pesan kontrasnya
berteriak lantang tentang sebuah kontroversi. Yaitu, rencana pembangunan tiga
rumah jabatan (rujab) pimpinan DPRD Sikka yang menelan dana Rp2 miliar lebih dari APBD 2012. Kontroversi ini diberitakan Flores Pos pekan pertama dan kedua September. Atas dasar
kontroversi itulah kedua foto ditampilkan, agar persoalan etisnya mencuat.
Bahwa, DPRD Sikka berhasrat kuat membangun tiga rujab pimpinan miliaran rupiah
di tengah kenyataan masih sangat memprihatinkannya
kondisi banyak infrastruktur dasar dan fasilitas publik.
Dari tilikan etika, kontras seperti ini sudah merupakan
skandal. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2001) mengartikan ”skandal” tidak hanya secara psikologis: sesuatu yang
memalukan, tetapi juga secara etis: sesuatu yang menurunkan martabat seseorang.
“Ketika begitu banyak orang lapar, ketika begitu
banyak keluarga menderita kemiskinan, ketika begitu banyak orang tetap tinggal
dalam kebodohan, ketika begitu banyak sekolah, rumah sakit, dan rumah hunian
yang layak mesti dibangun, penghamburan kekayaan baik umum maupun pribadi,
seluruh perbelanjaan yang didorong oleh motif-motif kemewahan nasional atau
pribadi ... merupakan satu skandal yang tidak dapat ditoleransi ….” Demikian seruan
etis Populorum Progressio, ensiklik Kemajuan
Bangsa-Bangsa, yang disampaikan Paus Paulus VI pada 26 Maret 1967.
Pada dekade ensiklik itu lahir, jurang kaya-miskin
antar-kelompok negara di dunia sudah menganga, seperti diperbandingkan Susan
George (1976). Hewan di kelompok negara maju menghabiskan seperempat gandum
dunia atau sama dengan konsumsi penduduk Cina dan India yang seluruhnya 1 miliar
300 juta jiwa. Di Amerika Serikat, 1967, produksi makanan anjing hampir sama
dengan pendapatan rata-rata pria di India. Di Prancis, konsumsi kalori 8 juta
anjing dan 7 juta kucing sama dengan konsumsi kalori seluruh penduduk Portugal.
Jumlah sisa makanan yang dibuang ke tempat sampah oleh warga Amerika tiap tahun
cukup untuk memberi makan penduduk semua negara di Benua Afrika selama satu
bulan.
Itu 45 tahun silam. Sekarang? Makin gila saja
skandalnya, seperti ditulis Mohammed Bedjaoui (1979). Pada zaman modern ini, harkat
hewan seolah-olah lebih tinggi daripada harkat manusia. Hewan, khususnya anjing
dan kucing, mempunyai kelebihan tertentu yang tidak dipunyai kebanyakan orang
di dunia. Untuk hewan-hewan ini disediakan kamar ber-AC, toilet mewah, pemangkas
rambut, penjahit, dan restoran khusus. Ini ketidakadilan terhadap martabat
manusia. Ini skandal, skandal terbesar abad ini.
Kacamata Paus
Paulus VI dalam ensikliknya adalah kacamata etika. Kacamata Susan George dan Mohammed
Bedjaoui dalam buku mereka adalah juga kacamata etika. Etika di sini adalah
etika sosial. Etika yang memedulikan, mempertahankan, dan memperjuangkan kemanusiaan
sebuah masyaraat. Prinsipnya sangat sederhana, tulis Franz Magnis-Suseno
(1987). Kemanusiaan sebuah masyarakat dapat diukur dari perhatiannya kepada
anggota-anggotanya yang paling lemah, miskin, dan menderita.
Prinsip etis inilah yang menjiwai PMKRI Cabang
Maumere dan GMNI Sikka ketika menolak rencana pembangunan tiga rujab pimpinan
DPRD (Flores Pos Rabu 5 September
2012). Prinsip etis jugalah yang mendasari sorotan Pemred Flores Pos Steph Tupeng Witin dalam editorial “Bentara” yang
memelesetkan DPR sebagai dewan perwakilan rujab, bukan dewan perwakilan rakyat,
karena demi rujab mereka melupakan
rakyat (Flores Pos Kamis 6 September
2012). Prinsip yang samalah yang mengakari sikap Direktur Pusam Indonesia
Kasimirus Bara Bheri, Ketua DPC ISKA Kabupaten Sikka Kornelis Soge, anggota
Partai Nasdem Sikka Marsel Isa, dan Kades Waihawa Vitalis Julius ketika
menyatakan DPRD Sikka menjauhi rakyat: membangun rujab di tengah masih
banyaknya rumah dinas yang tidak ditempati (Flores
Pos Selasa 11 September 2012). Prinsip etis pulalah yang menggerakkan PMKRI
Cabang Maumere berdemo mendesak anggaran rujab dialihkan untuk kepentingan urgen
masyarakat, sedangkan untuk rujab naikkan saja status tiga rumah dinas yang ada dengan rehabilitasi seperlunya (Flores Pos Kamis 13 September 2012).
Tanggapan DPRD Sikka? Sepertinya sudah bisa ditebak.
Jawaban diberikan Ketua DPRD Rafael Raga, Wakil Ketua Alexander Longginus, serta
anggota Agustinus Pora dan Simon Subandi. (1) Pembangunan rujab itu sudah
ditetapkan dan dianggarkan sesuai dengan aturan dan mekanisme yang berlaku. (2)
Tiga rumah yang ada itu rumah dinas, bukan rujab. (3) Sudah dikaji
bahwa tiga rumah dinas itu tidak layak sebagai rujab pimpinan DPRD yang
notebene pejabat negara. (4) Rujab itu punya standar dan spesifikasi tertentu
berdasarkan peraturan yang berlaku.
Apa yang terjadi pada DPRD Sikka? Mereka menggunakan paradigma aturan menghadapi paradigma
moral. Mereka memeluk resistensi yuridis menyikapi konfrontasi etis. Akar
terdalamnya adalah positivisme hukum. Nobertus Jegalus (2011) menjelaskan dengan
terang. Dalam positivisme hukum, betapapun tidak selaras atau bahkan
bertentangan dengan rasa keadilan dalam masyarakat, sebuah peraturan harus
tetap dilaksanakan karena sudah ditetapkan secara resmi. Selama belum dibatalkan atau diubah menurut prosedur hukum
yang sah, peraturan itu tetap mengikat.
Itu tentu bagus, sejauh peraturan itu tidak
melanggar etika atau tidak membuka peluang bagi pelanggaran etika. Namun, dalam
kenyataan, pada banyak kasus, aturan justru menginjak etika atau minimal
memungkinkan etika dilanggar. Hal ini terjadi ketika hukum yang seharusnya
melindungi masyarakat dari kejahatan justru digunakan untuk mengesahkan
kejahatan. Itulah, misalnya, yang terjadi di Jerman di bawah rezim Nazi. Adolf Hitler
memakai hukum untuk mengesahkan semua tindakan anti-Yahudi. Undang-undangnya mengizinan
negara merampas hak milik orang Yahudi. Ini jelas-jelas kejahatan. Akan tetapi,
karena telah disahkan pihak berwenang dan ditetapkan menurut prosedur hukum
yang berlaku, undang-undang jahat itu tetap dipandang sebagai hukum yang sah.
Itulah contoh buruk positivisme hukum. Tidak memberi
ruang bagi paradigma moral dan konfrontasi etis. Pada benteng inilah DPRD Sikka
tanam kaki dan tikam kepala. Seolah-olah mereka tidak bisa tidak bersikap
legalistik-positivistik. Padahal, mereka bisa dan seharusnya bersikap lain.
Pada era reformasi, dua nama patut dikenang. Hidayat
Nur Wahid, ketua MPR RI 2004-2009. Dia menolak
mobil dinas mewah. Dia tidak ingin mempertontonkan kemewahan di tengah
kemiskinan masyarakat. Pamer pemborosan di tengah utang luar negeri yang
menumpuk dipandangnya sebagai skandal: melanggar etika sosial dan etika
kepatutan.
Laode Ida, wakil ketua DPD RI. Dia mengembalikan
mobil dinas dengan alasan mobil itu terlalu mewah. Dia merasa tidak pantas menggunakan
mobil Rp1,3 miliar di tengah banyaknya persoalan masyarakat. Menurutnya,
sepantasnya pejabat cukup diberi mobil Rp200-300 juta. ”Pejabat di pemerintahan
Malaysia hanya menggunakan kendaraan dinas yang harganya sekitar Rp190 juta.
Bahkan untuk perdana menteri Malaysia, kendaraan dinasnya seharga Rp200 juta.” (Flores Pos Selasa 5 Januari 2009).
Hidayat Nur Wahid dan Laode Ida. Keduanya pejabat negara,
seperti ketua dan wakil ketua DPRD Sikka. Bedanya, mereka tetap mengutamakan
dirinya sebagai wakil rakyat ketimbang sebagai pejabat negara. Mereka memenangkan
rasa keadilan dalam masyarakat di atas hukum protokoler kepejabatan. Mereka
abdi rakyat, bukan budak aturan. ***
“Opini” Flores
Pos, Sabtu 22 September 2012