(Untuk
Pemprov, Pemkab, Pemkot di NTT)
Oleh
Frans Anggal
Jurnalis,
tinggal di Ende
NTT
sangat kaya dengan peninggalan budaya. Namun, fakta lapangan menunjukkan,
nilai-nilai budaya itu mulai tercecer, merana, dan nyaris punah. Ditambah lagi
dengan kenyataan, sekolah-sekolah pun tidak memberi ruang yang cukup untuk
pemuatan budaya lokal.
Pernyataan
itu disampaikan Frans Sarong, penulis antologi Serpihan Budaya NTT, dalam keterangan pers di Kupang, Kamis
(1-8-2013), dua hari menjelang peluncuran karyanya itu (Flores Pos, Jumat, 2 Agustus 2013).
“Peninggalan
budaya NTT nyaris punah,” kata wartawan senior Harian Kompas ini, “karena ada
intervensi dari aspek lain yang merontokkan budaya yang dipegang teguh masyarakat
lokal.”
Menurutnya,
kenyataan itulah yang mendorongnya membukukan ficer-ficernya yang sudah dimuat
Kompas.
Antologi
Serpihan Budaya NTT (Kumpulan Ficer di
Harian Kompas) diterbitan Penerbit Ledalero. Cetakan I, Mei 2013. Editor
Tony Kleden dan Marsel Robot.
***
Pernyataan
Frans Sarong dalam keterangan persnya menyembulkan dua kenyataan yang merupakan
alasan ia membukukan ficer-ficernya. Pertama,
di satu sisi, nilai-nilai adiluhung budaya NTT terancam punah akibat intervensi
kekuatan dari luar. Kedua, di sisi
lain, tidak adanya upaya serius menyelamatkan apalagi melestarikan nilai-nilai luhur itu.
Kalau
itu alasannya, lalu apa tujuan ficer-ficernya dibukukan? Dalam keterangan
persnya sejauh diberitakan Flores Pos,
Frans Sarong tidak menyatakan tujuannya secara tersurat. Meski demikian, akal
sehat orang sehat pasti mudah menangkap ketersiratan tujuan berdasarkan alasan
ficer-ficer itu dibukukan.
Ketersiratan
pertama. Keprihatinan terancam punahnya
nilai-nilai adiluhung budaya NTT di
tengah tidak adanya upaya serius menyelamatkan apalagi melestarikannya mengandung imperatif perlunya nilai-nilai luhur itu dilestarikan.
Ketersiratan
kedua. Keprihatinan atas kenyataan bahwa sekolah-sekolah tidak memberi ruang
yang cukup untuk pemuatan budaya lokal mengandung imperatif perlunya nilai-nilai adiluhung budaya lokal
dilestarikan secara kelembagaan di sekolah-sekolah.
Bila
imperatif itu terlaksana maka mimpi Frans Sarong tentang antologinya mungkin
akan terwujud, sebagaimana yang ia suratkan dalam prakatanya, “… menyuburkan
kembali harta batin tersisa … sekaligus menjadi jejak awal menuju kejernihan
jati diri masyarakat daerah ini ….” (hlm. x).
Secara
lebih tegas dan khusus, mimpi itu dibahasakan Ketua Panitia Peluncuran Buku Serpihan Budaya NTT Marianus Kleden
dalam keterangan pers dua hari jelang peluncuran. Bahwa kumpulan ficer Frans Sarong dibukukan agar
bisa menjadi bacaan luas bagi pelajar, mahasiswa, dan pemerintah.
Bagi
pemerintah, kata Marianus, antologi ini bisa menjadi referensi dalam mengambil
kebijakan publik. Misalnya, tulisan tentang kampung tua dalam antologi
ini bisa menjadi referensi bagi pemerintah dalam menata daerah sesuai dengan budaya lokal.
***
Sekilas
gambaran. Antologi itu setebal 311 halaman, birisi 43 ficer yang pernah
dimuat Kompas dalam rentang waktu 23
tahun, 1990-2013. Foto-fotonya 82 buah, sebagian besarnya foto warna.
Berdasarkan
tahun terbitnya pada Kompas, ficer
“tertua” dalam antologi ini adalah “’Jagho!’ Kedua Petinju pun Mulai Beradu”
(hlm. 77-80), yang dimuat pada edisi 20 Mei 1990. Ini ficer tentang etu, tinju
tradisional di Boawae (Flores), saat itu
wilayah Kabupaten Ngada (kini wilayah Kabupaten Nagekeo). Sedangkan ficer
“termuda” adalah “Ritus Kure, Jejak Awal
Penyebaran Katolik di Timor” (hlm.
59-67), dimuat pada edisi 28 Maret 2013.
Masih
berdasarkan tahun terbitnya, ficer terbanyak berasal dari tahun 2012 sebanyak
17 buah, disusul tahun 2010 sebanyak 5 buah, tahun 2001 sebanyak 3 buah, tahun
1990, 1991, 1997, 1998, 1999, 2011 masing-masing 2 buah, tahun 2000, 2004,
2006, 2007, 2008, 2013 masing-masing 1 buah, sedangkan tahun 1992, 1993, 1994,
1995, 1996, 2002, 2003, 2005, 2009 kosong.
Berdasarkan
wilayah peliputan, ficer terbanyak adalah tentang budaya di Pulau Flores sebanyak
17 buah, disusul Timor 15 buah, Sumba 8 buah, Lembata dan Alor masing-masing 1
buah.
Berdasarkan
aspek budaya, ke-43 ficer dalam antologi
ini dibagi oleh para editornya ke dalam 5 bagian, (diurutkan di sini
berdasarkan jumlah ficer) meliputi “Denyut Kehidupan” 13 buah, “Artefak” 10
buah, “Ritual” 9 buah, “Kampung Tua” 7
buah, dan “Atraksi Tradisional” 4 buah.
Selain
oleh pemilahan subjek ke dalam 5 aspek budaya, ke-43 ficer dalam antologi ini
dianyam, direnda, bahkan dibentang menjadi lebih luas oleh 5 tulisan pembuka
dan penutup.
Di
bagian awal, penulis Frans Sarong menyapa pembaca dengan prakata “Harta Batin
yang Mengerdil” (hlm. vii-x), Tony Kleden dengan pengantar “Menulis dengan
Mata” (hlm. xi-xviii), sedangkan Pius
Rengka dan Marsel Robot mengisi “Testimoni”
dengan “Neoliberal dalam Kepungan Komunalisme” (hlm. xxi-xxvi) dan “Serpihan yang Mewanti” (hlm. xxvii-xxx). Di
bagian akhir, sebelum “Tentang Penulis” (hlm. 309-3011), Marianus Kleden
mengisi “Epilog” dengan “Benturan atau
Perpaduan?” (hlm. 297-308).
***
Dari
sekilas data di atas, terpancar samar serbaneka nilai adiluhung dari khazanah
budaya NTT. Liputannya mencakup yang indah (pulchrum),
suci (sacrum), utuh (unum), benar (verum), baik (bonum),
cerah (clarum), jujur (honestum), manusiawi (humanum), adil (iustum), dan dina (parvum).
Serbaneka
nilai adiluhung itu kini tercecer, merana, dan nyaris punah. Maka, apa yang secara tersirat disampaikan oleh
Frans Sarong dan secara tersurat serta lebih khusus oleh Marianus Kleden patut
diperhatikan oleh Pemprov NTT serta pemkab dan pemkot di NTT.
Antologi Serpihan Budaya
NTT
layak menjadi bacaan luas. Caranya? Disebarluaskan, dengan dana pemprov/pemkab/pemkot,
ke sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan kantor-kantor pemerintah di NTT.
***
Albino
Luciani, uskup, kardinal, dan patriark Venesia, Italia, yang kemudian menjadi
Paus Yohanes Paulus I dalam surat imajinernya kepada pengarang terkenal Mark
Twain yang dimuat majalah Messagero di S.
Antonio (Bentara Santo Antonius) menulis begini:
“Mark
Twain yang saya hormati. …. Buku-buku memang mengandung nilai yang tak terukur,
tapi sangat berbeda-beda—begitu Anda menjawab kepada seorang gadis. Sebuah
buku yang dijilid dengan sampul dari kulit, cocok terutama seperti untuk
mengasah pisau cukur. Sebuah buku tipis, dengan isi yang diringkaskan, seperti
lazim bisa dibuat oleh orang-orang Prancis, membawa akibat yang mengagumkan
seperti pada kaki meja yang terlalu pendek. Sebuah buku yang tebal, misalnya
kamus, cocok sebagai proyektil, untuk mengusir kucing-kucing. Akhirnya sebuah
atlas dengan daun-daunnya yang besar, cocok untuk menutup kaca-kaca jendela
.…”
Albino
Luciani melanjutkan, “… sebagaimana terdapat banyak buku, demikian juga
terdapat uskup-uskup yang berbeda satu dengan yang lain. Ada yang menyerupai
burung rajawali. Mereka melayang-layang tinggi di udara dengan surat-surat
gembala bertingkat tinggi. Yang lain bagaikan burung bulbul menyanyikan kemuliaan
bagi Tuhan dengan suara yang merdu. Yang
lain lagi menyerupai burung pipit kecil yang hinggap pada ujung ranting dari
pohon yang melambangkan gereja, dan hanya dengan mencicit memperdengarkan
buah pikirannya yang tak seberapa artinya dalam pokok-pokok yang tak
habis-habisnya. Saya sendiri, Twain yang baik, termasuk dalam golongan terakhir
itu.”
Ke-43
ficer karya jurnalistik Frans Sarong dalam antologi Serpihan Budaya NTT adalah cicitan seekor burung pipit, selama 23
tahun, yang melompat dari satu ranting ke ranting yang lain: Flores, Timor,
Sumba, Lembata, Alor.
Mudah-mudahan,
cicitan yang telah dibukukan ini dapat dibawa masuk ke sekolah-sekolah dan
kantor-kantor pemerintah. Ini mungkin lompatan kecil, tapi pasti berarti, demi
“… menyuburkan kembali harta batin tersisa … sekaligus menjadi jejak awal
menuju kejernihan jati diri masyarakat daerah ini ….” ***
Dimuat pada kolom “Opini” Harian Umum Flores Pos edisi Sabtu 3 Agustus
2013, halaman 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar