02 Agustus 2013

Antologi Frans Sarong Itu



(Untuk Pemprov, Pemkab, Pemkot di NTT)

Oleh Frans Anggal
Jurnalis, tinggal di Ende



NTT sangat kaya dengan pe­ning­galan budaya. Namun, fakta lapangan menunjukkan, nilai-nilai budaya itu mulai tercecer, merana, dan nyaris punah. Ditambah lagi dengan kenya­taan, sekolah-sekolah pun tidak mem­beri ruang yang cukup untuk pemuatan budaya lokal.

Pernyataan itu disampaikan Frans Sarong, penulis antologi Serpihan Budaya NTT,  dalam keterangan pers di Kupang, Kamis (1-8-2013), dua hari menjelang peluncuran karyanya itu (Flores Pos, Jumat, 2 Agustus 2013).

“Peninggalan budaya NTT nyaris punah,” kata wartawan senior Harian Kompas ini, “karena ada intervensi dari aspek lain yang merontokkan budaya yang dipegang teguh masya­rakat lokal.” 

Menurutnya, kenyataan itulah yang mendorongnya membukukan ficer-ficernya yang sudah dimuat Kompas.

Antologi Serpihan Budaya NTT (Kumpulan Ficer di Harian Kompas) diterbitan Penerbit Ledalero. Cetakan I, Mei 2013. Editor Tony Kleden dan Marsel Robot.  

***

Pernyataan Frans Sarong dalam keterangan persnya menyembulkan dua kenyataan yang merupakan alas­an ia membukukan ficer-ficernya. Pertama, di satu sisi, nilai-nilai adiluhung budaya NTT terancam punah akibat intervensi kekuatan dari luar. Kedua, di sisi lain, tidak adanya upaya serius menyelamatkan apalagi  melestarikan nilai-nilai luhur itu.

Kalau itu alasannya, lalu apa tujuan ficer-ficernya dibukukan? Da­lam keterangan persnya sejauh dibe­ritakan Flores Pos, Frans Sarong tidak menyatakan tujuannya secara tersurat. Meski demikian, akal sehat orang sehat pasti mudah menangkap keter­siratan tujuan berdasarkan alasan ficer-ficer itu dibukukan.

Ketersiratan pertama. Kepriha­tinan  terancam punahnya nilai-nilai adiluhung budaya NTT  di tengah tidak adanya upaya serius menyelamatkan apalagi  melestarikannya mengandung imperatif  perlunya nilai-nilai luhur itu dilestarikan.

Ketersiratan kedua. Keprihatinan atas kenyataan bahwa sekolah-sekolah tidak memberi ruang yang cukup untuk pemuatan budaya lokal mengandung imperatif  perlunya nilai-nilai adi­luhung budaya lokal dilestarikan secara kelem­bagaan di sekolah-se­kolah.

Bila imperatif itu terlaksana maka mimpi Frans Sarong tentang antolo­ginya mungkin akan terwujud, seba­gaimana yang ia suratkan dalam prakatanya, “… menyuburkan kembali harta batin tersisa … sekaligus men­jadi jejak awal menuju kejernihan jati diri masyarakat daerah ini ….” (hlm. x).

Secara lebih tegas dan khusus, mimpi itu dibahasakan Ketua Panitia Peluncuran Buku Serpihan Budaya NTT Marianus Kleden dalam kete­rangan pers dua hari jelang peluncuran. Bahwa  kumpulan ficer Frans Sarong dibukukan agar bisa menjadi bacaan luas bagi pelajar, mahasiswa, dan pemerintah.

Bagi pemerintah, kata Marianus, antologi ini bisa menjadi referensi dalam meng­am­bil kebijakan pu­blik. Misalnya, tu­­lis­an tentang kam­pung tua da­lam anto­logi ini bisa men­jadi refe­rensi bagi peme­rintah da­lam  me­nata dae­rah se­suai dengan buda­ya lokal.

***

Sekilas gam­bar­an. Anto­lo­gi itu setebal 311 halaman, birisi 43 ficer yang pernah dimuat Kompas dalam rentang waktu 23 tahun, 1990-2013. Foto-fotonya 82 buah, sebagian besarnya foto warna.

Berdasarkan tahun terbitnya pada Kompas, ficer “tertua” dalam antologi ini adalah “’Jagho!’ Kedua Petinju pun Mulai Beradu” (hlm. 77-80), yang di­muat pada edisi 20 Mei 1990. Ini ficer tentang etu, tinju tradisional di Boawae (Flores),  saat itu wilayah Kabupaten Ngada (kini wilayah Kabupaten Nage­keo). Sedangkan ficer “termuda” adalah  “Ritus Kure, Jejak Awal Penyebaran Katolik di Timor” (hlm.  59-67), dimuat pada edisi 28 Maret 2013.

Masih berdasarkan tahun terbitnya, ficer terbanyak berasal dari tahun 2012 sebanyak 17 buah, disusul tahun 2010 sebanyak 5 buah, tahun 2001 sebanyak 3 buah, tahun 1990, 1991, 1997, 1998, 1999, 2011 masing-masing 2 buah, tahun 2000, 2004, 2006, 2007, 2008, 2013 masing-masing 1 buah, sedangkan tahun 1992, 1993, 1994, 1995, 1996, 2002, 2003, 2005, 2009 kosong.

Berdasarkan wilayah peliputan, ficer terbanyak adalah tentang budaya di Pulau Flores sebanyak 17 buah, disusul Timor 15 buah, Sumba 8 buah, Lembata dan Alor masing-masing 1 buah.

Berdasarkan aspek budaya,  ke-43 ficer dalam antologi ini dibagi oleh para editornya ke dalam 5 bagian, (diurutkan di sini berdasarkan jumlah ficer) meli­puti “Denyut Kehidupan” 13 buah, “Artefak” 10 buah, “Ritual” 9  buah, “Kampung Tua” 7 buah, dan “Atraksi Tradisional” 4 buah.

Selain oleh pemilahan subjek ke dalam 5 aspek budaya, ke-43 ficer dalam antologi ini dianyam, direnda, bahkan dibentang menjadi lebih luas oleh 5 tulisan pembuka dan penutup.

Di bagian awal, penulis Frans Sarong menyapa pembaca dengan prakata “Harta Batin yang Mengerdil” (hlm. vii-x), Tony Kleden dengan pengantar “Menulis dengan Mata” (hlm. xi-xviii),  sedangkan Pius Rengka dan Marsel Robot mengisi “Testimoni”  dengan “Neoliberal dalam Kepungan Komu­nalisme” (hlm. xxi-xxvi) dan  “Serpihan yang Mewanti” (hlm. xxvii-xxx). Di bagian akhir, sebelum “Tentang Penu­lis” (hlm. 309-3011), Marianus Kleden mengisi “Epilog”  dengan “Benturan atau Perpaduan?” (hlm. 297-308).

***

Dari sekilas data di atas, terpancar samar serbaneka nilai adiluhung dari khazanah budaya NTT. Liputannya mencakup yang indah (pulchrum), suci (sacrum), utuh (unum), benar (verum), baik (bonum), cerah (clarum), jujur (honestum), manusiawi (humanum), adil (iustum), dan dina (parvum). 

Serbaneka nilai adiluhung itu kini tercecer, merana, dan nyaris punah. Maka,  apa yang secara tersirat disampaikan oleh Frans Sarong dan secara tersurat serta lebih khusus oleh Marianus Kleden patut diperhatikan oleh Pemprov NTT serta pemkab dan pemkot di NTT.

Antologi Serpihan Budaya NTT layak menjadi bacaan luas. Caranya? Disebarluaskan, dengan dana pem­prov/pemkab/pemkot, ke sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan kantor-kantor pemerintah di NTT.

***

Albino Luciani, uskup, kardinal, dan patriark Venesia, Italia, yang kemudian menjadi Paus Yohanes Paulus I dalam surat imajinernya kepada pengarang terkenal Mark Twain yang dimuat majalah Messagero di S. Antonio (Bentara Santo Antonius) menulis begini:

“Mark Twain yang saya hormati. …. Buku-buku memang mengandung nilai yang tak terukur, tapi sangat berbeda-beda—begitu Anda menja­wab kepada seorang gadis. Sebuah buku yang dijilid dengan sampul dari kulit, cocok terutama seperti untuk mengasah pisau cukur. Sebuah buku tipis, dengan isi yang diringkaskan, seperti lazim bisa dibuat oleh orang-orang Prancis, membawa akibat yang mengagumkan seperti pada kaki meja yang terlalu pendek. Sebuah buku yang tebal, misalnya kamus, cocok sebagai proyektil, untuk mengusir kucing-kucing. Akhirnya sebuah atlas dengan daun-daunnya yang besar, cocok untuk menutup kaca-kaca jendela .…” 

Albino Luciani melanjutkan, “… sebagaimana terdapat banyak buku, demikian juga terdapat uskup-uskup yang berbeda satu dengan yang lain. Ada yang menyerupai burung rajawali. Mereka melayang-layang tinggi di udara dengan surat-surat gembala bertingkat tinggi. Yang lain bagaikan burung bulbul menyanyikan ke­mu­liaan bagi Tuhan dengan suara yang merdu.  Yang lain lagi menyerupai burung pipit kecil yang hinggap pada ujung ranting dari pohon yang me­lambangkan gereja, dan hanya dengan mencicit memper­dengarkan buah pikirannya yang tak seberapa artinya dalam pokok-pokok yang tak habis-habisnya. Saya sendiri, Twain yang baik, termasuk dalam golongan ter­akhir itu.”  

Ke-43 ficer karya jurnalistik Frans Sarong dalam antologi Serpihan Budaya NTT adalah cicitan seekor burung pipit, selama 23 tahun, yang melompat dari satu ranting ke ranting yang lain: Flores, Timor, Sumba, Lem­bata, Alor.

Mudah-mudahan, cicitan yang telah dibukukan ini dapat dibawa masuk ke sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah. Ini mungkin lompatan kecil, tapi pasti berarti, demi “… menyuburkan kembali harta batin tersisa … sekaligus menjadi jejak awal menuju kejernihan jati diri masyarakat daerah ini ….” ***

Dimuat pada kolom “Opini” Harian Umum Flores Pos edisi Sabtu 3 Agustus 2013, halaman 12.
 

Tidak ada komentar: