Oleh Frans Anggal
Kesibukan di Aula 2 FKIP
Uniflor Ende sangat terasa jelang pukul 08.00, Sabtu 23 Juni 2012. Pagi itu Komunitas
Kata PBSI menggelar bedah dan diskusi buku Pemerolehan
dan Pembelajaran Bahasa, karya Alexander Bala Gawen.
Alexander Bala Gawen
adalah dosen Uniflor, pengampu mata kuliah Teori Pembelajaran Bahasa, dan kini
Ketua Program Studi PBSI. Pemerolehan dan
Pembelajaran Bahasa diterbitkan Nusa
Indah, Ende, 2012, tebal 148 halaman.
Buku yang merupakan materi kuliah Teori Pembelajaran Bahasa ini melewati
sentuhan editor M. M. Sinta Wardani dan penyunting naskah Hendrik L. Kerans.
Dicetak pada Moya Zam Zam Printika Yogyakarta.
Dalam kegiatan ini,
mahasiswa PBSI terlibat penuh. Sebagian besar dari semester VI plus beberapa
dari semester IV. Dalam kepanitiaan, misalnya, hanya ketuanya yang dosen,
Suster Wilda CIJ, yang kini Sekretaris Program Studi PBSI. Sedangkan
sekretarisnya mahasiswa, Adven A. Menzen, dibantu Polycarpus Mbu. Juru kamera
Ivan Jehadan. Operator tayang Bartol Tolok. Penangan registrasi Stefin Bude.
Konsumsi Irma dan Ilham, membantu dosen mereka Agus Berek.
Demikian pula yang
berperan pada sesi bedah dan diskusi, sebagian besar mahasiwsa. MC, Fransiskus Dena dan Eustakia Erlinda.
Moderator Libertus Demu. Notulis Maria Liliornis Inas. Doa, Vivi dan Ona Maria
Harti.
Dua dari lima pembahas
juga mahasiswa: Yosef Pius Marianus Beoang (pembahas III) dan Elisabeth Valeria
Puty (pembahs IV). Bersama moderator, keduanya duduk sederet dengan para dosen:
Alexander Bala Gawen (penulis), Pius Pampe (pembahasa utama), M. M. Sinta
Wardani (pembahas I), dan Veronika Genua
(pembahas II).
Suasana kegiatan ini
serius tetapi santai. Sebelum ke inti, acara diawali nyanyi diiringi gitar oleh
para mahasiwa. Saat jeda minum, mengantarai presentasi dan diskusi, para dosen
“ditodong” untuk menyanyi. Tak terkecuali Alexander Bala Gawen. Ia pun
mendendangkan “Bale Nagi” dari Flores Timur. Sinta Wardani dan Yohanes Sehandi
mendapat giliran “dipaksa” berduet. Mereka melantunkan “Hatimu dan Hatiku”,
tembang lawasnya Titiek Sandhora dan Muchsin Alatas.
Hangatnya bedah dan dikusi
membuat waktu tiga jam mengalir tak terasa. Suster Wilda lega. Kegiatan ini
berjalan sukes. Ini awal yang baik untuk kegiatan selanjutnya, bedah buku atau
diskusi apa saja. Direncanakan, PBSI menggelar diskusi sekali sebulan.
Jaga Idealisme
Selaku penulis buku,
Alexander Bala Gawen mengantarkan presentasi “Pemerolehan versus Pembelajaran
Bahasa, Menjaga Identitas Kita”.
Pemerolehan bahasa,
katanya, merupakan fase yang terkait dengan budaya. Melalui bahasa, kita dapat mengungkapkan
segala sesuatu di sekitar kita. Secara teoritis, sejak lahir yang ditandai
dengan tangisan, manusia sudah mengenal bahasa. Bahasa yang dikuasai sejak
lahir inilah yang mendorong anak menguasai dunia.
“Oleh karena itu, dunia
dikuasai dengan baik kalau orang menguasai bahasa. Orang yang mengenal banyak
bahasa akan mengenal banyak ilmu pengetahuan.”
Ada dua evolusi besar
dalam pemerolehan bahasa, katanya. Evolusi fisik dan evolusi bahasa. “Bagaimana
secara teoritis berlangsungnya proses ini, semunaya ada dalam buku ini.” Bahwa
apabila penguasaan bahasa itu baik pada umur pralinguistik maka anak akan lebih
mantap menghadapi tugas-tugas kebahasaan yang lebih luas.
Karena itu, ia menekankan
pentingnya peran orangtua, tanpa mengabaikan faktor lingkungan sosial. Bisa
saja, anak yang sudah berbahasa santun dalam keluarga berubah menjadi anak yang
berbahasa kasar akibat pengaruh lingkungaan.
Berbeda dengan pemerolehan
bahasa yang diterima di dalam keluarga, pembelajaran bahasa diterima anak di
dalam lingkungan sekolah dasar sampai batas ia masih ingin belajar bahasa.
“Yang perlu diperhatikan,
kita menjaga idealisme kita. Jati diri orang tampak dari bahasa yang ia
gunakan. Secara sosial orang bisa berkonflik karena bahasa yang digunakan. Oleh
karena itu, idealisme dari bahasa kita perlu dijaga.”
Karena itu, ia menutup
pengantarnya dengan mengutip filsuf analitika bahasa, Ludwig Wittgenstein.
“Batas bahasaku, berarti duniaku. Segala sesuatu yang bisa dikatakan berarti
bisa dikatakan dengan jelas. Bilamana seseorang tidak dapat berbicara, dia
harus diam.”
Pendalaman
Mendalami buku ini,
Pembahas I Sinta Wardani menyajikan “Menggagas Bahasa, Menggagas Kemanusiaan”.
“Mengapa makhluk
infrahuman lain seperti gorila, orang utan, mamalia yang memiliki struktur
biologis yang hampir sama dengan manusia, tidak mampu berbahasa? Karena potensi biologis-psikologisnya tidak
mendukung performa berbahasa. Bagaimana manusia berbahasa? Hal ini dibahas
mendalam di dalam buku ini,” katanya.
Menurutnya, yang
dipaparkan Alexander Bala Gawen dalam bukunya,
mengantar pembaca pada keunikan bahasa sebagai milik khas manusia.
Pembahas II Veronika Genua
menyoroti hal yang lebih praktis, “Strategi Pembelajaran Bahasa”. Yakni
usaha sadar dan sengaja yang dilakukan
untuk membelajarkan sebuah bahasa kepada orang lain yang dilakukan sistemis,
sistematis, tersadari, dan terencana.
Ia mengingatkan suatu hal
penting. “Pada strategi pemerolehan bahasa, anak-anak berbeda dengan orang
dewasa.” Anak-anak identik dengan
bermain, bernyanyi, bercerita, dan mendongeng. Tujuannya, anak betah dan
terpanggil untuk mempelajari bahasa. Yang diupayakan adalah belajar itu menjadi
menyenangkan, belajar sambil bermain, dan pemberian motivasi untuk terus
belajar.
Pembahas III Yosef Pius
Marianus Beoang mengulas “Pemerolehan Bahasa”. Sedangkan Pembaas IV Elisabeth
Valeria Puty menyelisik “Tahap Perkembangan Bahasa”.
Pujian
Setelah pendalaman oleh
keempat pembahas, Pius Pampe memberikan penilaian selaku pembahas utama.
Ia menyampaikan apresiasi.
Buku ini lebih banyak menampilkan original
thinking atau pemikiran asli si penulis. Ini hal terpuji, tidak sekadar
memindahkan pikiran orang lain.
Tak lupa ia memberikan
beberapa catatan. Antara lain, tentang pemerolehan bahasa. “Betul ada banyak
teori. Yang belum mucul, teori gelombang.” Perlu ditampilkan juga sejarah ilmu
bahasa, karena hal itu terkait dengan teori pemerolehan dan pembelajaran
bahasa. “Kalau ada ilmu bahasa, pasti ada filsafat bahasa. Di dalam buku ini,
pendapat filsuf Ludwig Wittgenstein belum terlalu muncul, yakni tentang logika
bahasa, penamaan, proposisi, dan pemaknaan.”
Mengingat pentingnya buku
ini bagi mahasiwa PBSI maka selaku dekan FKIP, ia menyatakan buku ini wajib
dimiliki mahasiswa. Ia juga mendorong para dosen giat menulis. “Sebentar lagi
FKIP punya jurnal yang memiliki ISBN.”
Masukan
Masukan disumbangkan
antara lain oleh Pater Hendrik L. Kerans SVD, direktur Penerbit Nusa Indah,
pada sesi diskusi. Menurutnya, buku ini belum diletakkan dalam tindakan
komunikasi. Semestinya teori tindakan komunkasi dimasukkan.
Ia menyebutkan empat
elemen penting dalam teori tindakan komunikasi. Pertama, menyampaikan sesuatu.
Kedua, sesuatu yang disampaikan itu masuk akal. Ketiga, yang disampaikan itu
diharapkan dimengerti. Keempat, sesuatu itu akhirnya dipahami bersama.
Turut menyumbangkan
pendapat, Pater Amandus Klau SVD, editor Harian Umum Flores Pos. Ia antara lain menjelaskan fenomena bahasa penyair
Sutardji Calzoum Bachri yang ditanyakan Yohanes Sehandi. Sutardji melakukan dekonstruksi atau
pembongkaran terhadap bahasa. Pater Amandus merujuk pada filsafat dekonstruksi
Jacques Derrida.
Banyak pertanyaan yang
dilontarkan mahasiswa. Semuanya terjawab dengan memusakan oleh penulis,
pembahas, dan floor. Kecuali dua
pertanyaan ini. Pertama, pertanyaan tentang fenomena bahasa dukun (mantra) yang
dilontarkan Yohanes Sehandi. Kedua, pertanyaan tentang bahasa dan pikiran yang
diajukan seorang mahasiswa: mana yang lebih dahulu ada, bahasa atau pikiran?
***
Flores Pos, Selasa 26 Juni 2012