Oleh Frans Anggal
Hari
itu, Senin 24 September 2012. DPRD Ende menggelar rapat paripurna. Membahas
tiga agenda. Rapat sudah dibuka ketika seorang anggota meminta sidang diskors. Alasannya,
jumlah yang hadir belum memenuhi kuorum (Flores
Pos, Jumat 28 September 2012).
Di
mana mereka? Sebagian masih dalam perjalanan menuju kantor. Sebagian lain masih
berada di rumah. Sekretariat DPRD diminta menjemput. Untuk menghadirkan
orang-orang terlambat ini, sidang diskors
30 menit. Kemudian jadinya dua jam,
karena pada waktu bersamaan ada demo
warga ke DPRD.
Anak
SD saja tahu, terlambat berarti tidak tepat waktu. Dan tidak tepat waktu cerminan sikap tidak disiplin. Disiplin tepat waktu
itu paling mudah. Juga paling gampang diukur.
Kalau dalam hal enteng dan kuantitatif ini orang tidak disiplin, bagaimana bisa
dipercaya dia berdisiplin dalam hal berat seperti mempertahankan dan
memperjuangan kebenaran, keadilan, dan lain-lain yang kualitatif?
Kalau
untuk tepat waktu menghadiri rapat saja anggota
DPRD Ende sudah tidak disiplin, bagaimana mungkin rakyat percaya bahwa mereka tepat
tindakan dalam hal-hal lebih mendasar? Tidak tepat waktu, dengan demikian, bukan
hanya soal presensial menyangkut kehadiran terlambat, tetapi juga soal esensial
menyangkut kualitas diri yang gawat. Banyak contoh diwartakan Flores Pos. Sekadar ilustrasi, di sini hanya
dinukilkan dua kasus dari berita 2010 dan 2011.
Tahun
2010. Pusat Kajian dan Advokasi Masyarakat Indonesia (Pusam) Ende mengumumkan:
setiap kali sidang banyak anggota DPRD Ende 2009-2014 yang diam. Pemantauan
setahun: hanya beberapa anggota yang aktif bicara dalam rapat. Dari 27 anggota,
6 tidak pernah bicara, 9 jarang, 12 sering. Di jajaran pemimpin, ada yang belum
pernah memimpin rapat (Flores Pos,
Rabu 22 September 2010).
Ini
tidak disiplin. Dalam arti, tidak tepat tindakan. Mereka diam justru pada saat
seharusnya mereka bicara.
DPRD
itu lembaga politik: tempat politik diaktifkan. DPRD juga lembaga demokrasi:
tempat demokrasi dirawat, sekaligus diuji. Menurut sosiolog Ignas Kleden dalam Goenawan Mohamad (1994), demokrasi bertahan
justru karena orang bersedia mengujinya. Yaitu, menguji semua konsekuensinya
sampai pada batas paling ekstrem, seperti yang dialami Lincoln dengan perang
saudara, Kennedy dengan krisis rasial, atau Nixon dengan krisis konstitusi.
Politik tidak mungkin diaktifkan dengan diam. Demokrasi tidak mungkin dirawat dengan bungkam. Oleh hakikat lembaga DPRD sebagai tempat politik diaktifkan dan demokrasi dirawat, anggotanya tidak boleh diam. Harus bicara. DPRD bukan tempat samadi. Bukan tempat retret.
Politik tidak mungkin diaktifkan dengan diam. Demokrasi tidak mungkin dirawat dengan bungkam. Oleh hakikat lembaga DPRD sebagai tempat politik diaktifkan dan demokrasi dirawat, anggotanya tidak boleh diam. Harus bicara. DPRD bukan tempat samadi. Bukan tempat retret.
Di sisi lain, aktif bicara tetapi ngawur juga tidak disiplin, tidak tepat tindakan. Sebagaimana bicara tak boleh asal bicara, demikian pula diam tak boleh asal diam. Diam sebagai “metode” itu perlu. Refleksi dan kontemplasi membutuhkan diam. Kreasi dan inovasi pun demikian. Sehingga, saatnya bicara, bicaranya berkualitas.
Sebaliknya, diam sebagai “sikap” haruslah ditolak. Selama setahun, 6 anggota DPRD Ende tidak pernah bicara saat sidang. Ini bukan “metode” lagi. Ini “sikap”. Sikap yang menunjukkan mereka tidak disiplin. Tidak tepat tindakan. Dan secara esensial, memperlihatkan mereka tidak cerdas.
Tahun
2011. Kali ini bukan perkara diam,
tetapi perkara bicara. Yang jadi soal, bicaranya tidak hanya pakai mulut tetapi
juga pakai lengan. Hari itu, Senin 24 Mei. Rapat gabungan komisi bersama pemerintah. Buntutnya ricuh. Setelah
menutup rapat, wakil ketua "membuka"
babak baru bersama seorang anggota. Babak nyaris adu jotos (Flores Pos Selasa 24 Mei 2011).
Konon, tersinggung oleh pernyataan si anggota, wakil ketua naik pitam. Ia mengejar anggota. Anggota lari ke luar ruang sidang. Karena tak bisa mengejar, wakil ketua merenggut peralatan sound system ruang sidang dan melempari anggota. Tidak kena. Anggota lari hingga jalan raya dan meninggalkan gedung DPRD.
Ini tidak disiplin. Tidak tepat tindakan. Pertama, tidak tepat menggunakan peralatan sound system. Peralatan untuk bicara, koq, dipakai untuk melempar orang. Kedua, tidak tepat mengolah dan menyalurkan emosi. Jadinya seperti orang gila. Benar kata Horace, amarah adalah kegilaan singkat. Ira furor brevis est.
Konon, tersinggung oleh pernyataan si anggota, wakil ketua naik pitam. Ia mengejar anggota. Anggota lari ke luar ruang sidang. Karena tak bisa mengejar, wakil ketua merenggut peralatan sound system ruang sidang dan melempari anggota. Tidak kena. Anggota lari hingga jalan raya dan meninggalkan gedung DPRD.
Ini tidak disiplin. Tidak tepat tindakan. Pertama, tidak tepat menggunakan peralatan sound system. Peralatan untuk bicara, koq, dipakai untuk melempar orang. Kedua, tidak tepat mengolah dan menyalurkan emosi. Jadinya seperti orang gila. Benar kata Horace, amarah adalah kegilaan singkat. Ira furor brevis est.
Bahwa
semua orang bisa marah, iyalah. Yang menjadi soal, marah yang bagaimana. Caranya akan menunjukkan
seseorang itu matang atau belum. Ini pulalah yang membedakan orang dewasa dari anak-anak.
Perbedaan itu melahirkan pembedaan anak timbangan. Bobot anak timbangan tidak
boleh sama atau disamakan. Dalam perbuatan mencuri, misalnya, yang sama alasan,
tujuan, dan caranya, anak timbangan bagi orang dewasa harus lebih berat daripada anak timbangan bagi
anak-anak.
Atas
dasar itu, laku amuk wakil rakyat tidak boleh didalihkan dengan pemaafan bahwa mereka
juga manusia, bukan malaikat. Sebaliknyalah yang harus dikatakan: mereka sebenarnya
orang waras, bukan orang gila. Dengannya, laku amuk itu memperlihatkan mereka
tidak disiplin. Tidak tepat tindakan. Tidak tepat mengolah dan menyalurkan emosi.
Bertingkah amuk dan kekanak-kanakan pada saat seharusnya mereka bertindak waras
dan matang. Ini juga pertanda mereka tidak cerdas. “Action
is the real measure of intelligence,” kata Napoleon Hill. Tindakan adalah
ukuran sejati kecerdasan.
Dipilih
dan dilantik 2009, tiga tahun sudah anggota DPRD Ende berkarya. Selama tiga
tahun, mereka sudah memiliki banyak pengalaman, banyak pengetahuan, dan tentu banyak
pendapatan---apalagi kalau sinyalemen sejumlah kontraktor benar: ada anggota
dewan yang ikut bermain tender proyek (Flores
Pos Kamis 11 November 2010). Memiliki lebih banyak (having more) semestinya mendorong mereka menjadi lebih baik
(being better). Minimal, dalam hal hadir dan tepat waktu menghadiri rapat.
Ini tidak terjadi.
Seperti
diberitakan, Ketua Badan Kehormatan DPRD Ende H. Muhamad Taher menyesalkan
peristiwa Senin 24 September 2012. Menurut dia, dalam menghadiri rapat, anggota
DPRD Ende semakin tidak displin. Kata “semakin” menunjukkan adanya gradasi dan
intensitas negatif.
Diproses
atau ditegur saja oleh badan kehormatan, apa susahnya? Ternyata susah. Tata tertib sudah mengatur,
anggota dewan baru bisa diproses atau ditegur kalau mangkir enam kali
berturut-turut. “Kalau ada anggota dewan yang jarang hadiri sidang tetapi tidak
(enam kali) berturut-turut, kami tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Taher.
Diubah
saja tata tertibnya, apa sulitnya?
Ternyata sulit. “Saya sudah pernah tanya orang pusat untuk bisa mengubah
ini,” kata Taher, “tetapi sampai sekarang belum terwujud.” Wah, ternyata tata
tertib yang penuh lubang tidak tertib itu diseragamkan dari pusat, yang
notabene sudah lama dikenal sebagai pusatnya tidak tertib.
Maka,
jadilah badan kehormatan seperti anjing yang diikat. Menggonggong tetapi tak leluasa
menggigit. Jadinya, badan kehormatan silakan kesal, anggota dewan lenggang kangung
terlambat terus. Sebab, patokan mereka tata tertib keropos itu. Maka, jangankan
datang terlambat, tidak hadiri sidang pun
tidak apa-apa sejauh tidak enam kali berturut-turut.
Tampaknya,
yang jadi soal di sini adalah tata tertib. Maka, langkahnya
adalah pengetatan tata tertib. Juga, tentu, penguatan kelembagaan badan
kehormatan. Di sisi lain, yang sebenarnya inti soal adalah individu anggota
dewan. Mereka mencari keuntungan pribadi di celah-celah keroposnya tata tertib.
Maka, langkahnya adalah pemberdayaan individu. Ini turut menjadi tugas parpol,
bukan hanya tugas DPRD.
Selagi
kedua langkah tersebut belum diambil, satu hal patut diingat. Di mata tata
tertib, sikap tidak disiplin wakil rayat boleh saja ditoleransi. Tetapi tidak di
mata rakyat. Alasannya sederhana. Kalau dalam perkara kecil tepat waktu, mereka
sudah tidak disiplin, bagaimana mungkin mereka bisa dipercaya tepat tindakan dalam
perkara besar?
"Barangsiapa
setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar.
Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga
dalam perkara-perkara besar ” (Lukas 16:10).
Nah.
Quo vadis DPRD Ende? Engkau mau ke
mana? ***
"Opini" Flores Pis, Sabtu 13 Oktober 2012
1 komentar:
penyakit politik yang sdh komplikatif dan kronis, tidak hanya di Ende. Itu gambaran performance personal sekaligus institusi terhormat Wakil Rakyat di semua tingkatan. kata-kata yang bisa menggambarkannya: PARAH atau MANTAB; ANEH atau LUAR BIASA.
Posting Komentar