Sebagian Besar Lembata untuk Tambang
Oleh Frans Anggal
Lebih dari separo wilayah Kabupaten (Pulau) Lembata direncanakan untuk tambang tembaga dan emas. Menolak rencana ini, Aldiras dan masyarakat akan lakukan aksi ke DPRD, mendesak agar pasal 50 Ranperda RTRW yang memuat mineral logam dan radioaktif dihilangkan. Demikian pernyataan Koordinator Aldiras Petrus Bala Wukak dan Paulus Dolu dalam jumpa pers di Lewoleba (Flores Pos Jumat 7 Januari 2011).
Rencana penambangan ini terungkap dengan ditemukannya dokumen berupa draf keputusan bupati Lembata tentang persetujuan peningkatan izin usaha pertambangan eksplorasi menjadi izin usaha pertambangan operasi produksi kepada empat perusahaan.
Dari dekomen ini terungkap beberapa hal. Pertama, Pulau Lembata dikapling menjadi lima blok tambang. (1) Blok Atadei, 15.970 ha, IUP operasi produksi dikantongi PT Flobamora Raya Minerals. (2) Blok Hadakewa Timur, 11.700 ha, PT Tanjung Serapung. (3) Blok Hadakewa Barat, 13.600 ha, PT Lebong Tandai. (4) Blok Balauring, 18.900 ha, PT Nusa Lontar Minerals. (5) Blok Lewolein, 15.180 ha, PT Pukuafu Indah.
Kedua, muncul tiga blok baru, yang belum ada dalam rencana sebelumnya. Blok Atadei, Blok Hadakewa Timur, Blok Hadakewa Barat. Penambahan tiga blok ini semakin menjadikan sebagian besar Lembata ‘habis’ untuk tambang. Juga, menyingkapkan pembohongan pemkab, yang sebelumnya telah menyatakan Atadei bukan untuk tambang tapi untuk eksploitasi panas bumi.
Ketiga, pemain utama di balik rencana ‘menghabiskan’ Lembata untuk tambang ini tetaplah pemain lama. Duet 2M: Manuk-Merukh. Bupati Lembata Andreas Duli Manuk dan pengusaha tambang Jusuf Merukh. Draf keputusan ‘menghabiskan’ Lembata itu adalah draf keputusan bupati, yang sekarang dijabat Ande Manuk. Saham terbesar untuk penambangan di lima blok itu milik Jusuf Merukh.
Patut dapat diduga, draf ini segera menjadi keputusan seandainya Ranperda RTRW yang memuat pasal mineral logam dan radioaktif (pasal 50) disahkan. Hingga kini pembahasan ranperda mentok. Titik krusialnya terletak pada pasal itu. DPRD Lembata pecah-belah. Dan kita pun tahu kekuatan apa yang mengombang-ambingkan para wakil rakyat yang katanya ‘terhormat’ ini.
Untung ada elemen civil society seperti JPIC, Aldiras, dll. Mereka setia, tidak hanya dalam mendampingi dan menyadarkan masyarakat calon lingkar tambang, tapi juga dalam mengontrol sepak terjang perselingkuhan pejabat dan kepitalis tambang. Cara pandang mereka yang melihat pasal 50 Ranperda RTRW sebagai jalan masuk tambang semakin terbukti kebenarannya. Pasal inilah yang ditunggu-tunggu draf keputusan bupati itu. Begitu ranperda disahkan, draf itu segera ditetapkan menjadi keputusan. Maka, ‘selesai’-lah Lembata.
Masa jabatan Bupati Manuk sebentar lagi berakhir. Waktu yang tersisa ini menjadi momen penting bagi kekuatan pro-tambang. Keputusan yang sangat menentukan nasib Lembata ke depan bisa lahir justru di senjakala sebuah kekuasaan. Habis memutuskan ya habis, sebab sang penguasa segera diganti. Dia merasa tidak perlu bertanggung jawab atas dampaknya. Dampak itu urusan bupati berikut.
Kemungkinan seperti ini perlu dicegah. Karena itulah kita mendukung rencana aksi Aldiras bersama masyarakat mendatangi DPRD. Pasal 50 Ranperda RTRW yang memuat mineral logam dan radioaktif harus dihilangkan. Makin sulit dibantah, itu adalah pintu masuk 2M untuk ‘menghabiskan’ Lembata. Pulau ini harus diselamatkan.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 8 Januari 2011
08 Januari 2011
Lembata di Tangan 2M
Label:
aldiras,
bentara,
bupati andreas duli manuk,
flores pos,
hukum,
jpic,
jusuf merukh,
lembata,
pertambangan,
politik,
raperda rtrw lembata
07 Januari 2011
Pernyataan Cypri Aoer
Cara Wawas Sesat Kasus Serise
Oleh Frans Anggal
Tokoh Manggarai Timur di Jakarta, Cypri Aoer, melihat kasus di Serise, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, sebagai sengketa dua masyarakat adat: Serise vs Satarteu. Karena itu, ia dukung sikap pemkab. Serise dan Satarteu harus berembuk. Sedangkan JPIC harus kedepankan peran mediasi (Flores Pos Kamis 6 Januari 2011)
Dalam catatan Flores Pos, Cypri Aoer orang kedua yang jelas-tegas mendukung cara wawas, sikap, dan langkah pemkab. Sebelumnya, Rofino Kant, aktivis demokrasi dan lingkungan, di Ruteng. Cara wawas pemkab terlihat dari pernyataan Bupati Yoseph Tote. Masalah di Serise bukan masalah tambang, tapi masalah tanah (Flores Pos Kamis 25 November 2010). Maksudnya: masalah klaim tanah ulayat antara Serise dan Satarteu.
Dengan cara wawas itu, pemkab bersikap: perlunya Serise dan Satarteu duduk berembuk. Atas dasar sikap itu, pemkab mengambil langkah mediasi: mempertemukan Serise dan Satarteu di Dampek, Sabtu 27 November 2010. Hasilnya, kosong. Serise tidak mau datang, meski sudah dijemput.
Kenapa Serise tidak datang? Karena mereka tidak ada masalah dengan Satarteu! Mereka bermasalah dengan PT Arumbai Mangabekti, yang menyerobot dan menambang mangan di tanah ulayat mereka, lingko Rengge Komba. Karena itu, pada hari yang sama, setelah sepekan memagari dan menduduki lokasi tambang, Serise menggelar ritus adat “takung ceki ali rewak lingko”. Mereka korbankan seekor babi bagi nenek moyang karena lingko telah hancur oleh eksploitasi mangan (Flores Pos Senin 29 November 2010).
Ini ritus rekonsiliasi dengan roh nenek moyang. Dalam perasaan religius mereka, nenek moyang telah marah. Mereka tidak menjaga tanah leluhur, sehingga akhirnya tanah itu diklaim pihak tak berhak dan dieksploitasi penyerobot. Tanah itu kini terluka oleh tambang. Mereka telah berdosa terhadap leluhur dan alam. Mereka khawatirkan murka. Lewat kurban ini mereka minta ampun, damai, dan berkat (“Bentara” Flores Pos Selasa 30 November 2010).
Apakah Serise sedang bersandiwa? Tidak! Ritus seperti ini terlalu suci untuk dijadikan permainan. Mereka orang-orang sederhana, bukan politisi busuk. Mereka lakukan ritus itu dengan jujur, dalam kondisi perih sebagai korban. Korban perselingkuhan penguasa dan kapitalis tambang. Ini yang tidak (mau) dilihat oleh bupati. Tidak (mau) dilihat oleh Rofino Kant. Tidak (mau) dlihat oleh Cypri Aoer.
Serise itu korban! Maka, langkah yang diambil JPIC adalah advokasi. Adapun mediasi, sudah dilakukan, ke Arumbai sebagai lawan sengketa Serise, ke bupati sebagai regulator, ke DPRD sebagai legislator. Mediasi itu hanya jalan, cara. Sikap dasar JPIC tetap: membela korban. Advokasi! Mediasi ke Satarteu? Tidak pernah dan tidak akan! Sebab, ini masalah tambang, Serise vs Arumbai. Bukan sengketa tanah ulayat Serise vs Satarteu.
Ketika “Bentara” Flores Pos Selasa 28 Desember 2010 mengutip dan mengkritisi pernyataan Rofino Kant soal peran mediasi JPIC, anggota grup “Sejuta Facebookers Tolak Tambang di NTT” Pater Joanes Christof OFM melontarkan pertanyaan. “Siapa sih Rofino Kant yang tiba-tiba mau menjadi pendamai? Dia ada di mana ketika orang Sirise berteriak dan menangis ketika hak-haknya dirampas?”
Seandainya “Bentara” Flores Pos edisi ini dibaca Pater Christof, mungkin ia akan mengulangi pertanyaan yang sama, dengan sedikit perubahan. “Siapa sih Cypri Aoer yang tiba-tiba mau menjadi pendamai? Dia ada di mana ketika orang Sirise berteriak dan menangis ketika hak-haknya dirampas?”
“Bentara” FLORES POS, Jumat 7 Januari 2011
Oleh Frans Anggal
Tokoh Manggarai Timur di Jakarta, Cypri Aoer, melihat kasus di Serise, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, sebagai sengketa dua masyarakat adat: Serise vs Satarteu. Karena itu, ia dukung sikap pemkab. Serise dan Satarteu harus berembuk. Sedangkan JPIC harus kedepankan peran mediasi (Flores Pos Kamis 6 Januari 2011)
Dalam catatan Flores Pos, Cypri Aoer orang kedua yang jelas-tegas mendukung cara wawas, sikap, dan langkah pemkab. Sebelumnya, Rofino Kant, aktivis demokrasi dan lingkungan, di Ruteng. Cara wawas pemkab terlihat dari pernyataan Bupati Yoseph Tote. Masalah di Serise bukan masalah tambang, tapi masalah tanah (Flores Pos Kamis 25 November 2010). Maksudnya: masalah klaim tanah ulayat antara Serise dan Satarteu.
Dengan cara wawas itu, pemkab bersikap: perlunya Serise dan Satarteu duduk berembuk. Atas dasar sikap itu, pemkab mengambil langkah mediasi: mempertemukan Serise dan Satarteu di Dampek, Sabtu 27 November 2010. Hasilnya, kosong. Serise tidak mau datang, meski sudah dijemput.
Kenapa Serise tidak datang? Karena mereka tidak ada masalah dengan Satarteu! Mereka bermasalah dengan PT Arumbai Mangabekti, yang menyerobot dan menambang mangan di tanah ulayat mereka, lingko Rengge Komba. Karena itu, pada hari yang sama, setelah sepekan memagari dan menduduki lokasi tambang, Serise menggelar ritus adat “takung ceki ali rewak lingko”. Mereka korbankan seekor babi bagi nenek moyang karena lingko telah hancur oleh eksploitasi mangan (Flores Pos Senin 29 November 2010).
Ini ritus rekonsiliasi dengan roh nenek moyang. Dalam perasaan religius mereka, nenek moyang telah marah. Mereka tidak menjaga tanah leluhur, sehingga akhirnya tanah itu diklaim pihak tak berhak dan dieksploitasi penyerobot. Tanah itu kini terluka oleh tambang. Mereka telah berdosa terhadap leluhur dan alam. Mereka khawatirkan murka. Lewat kurban ini mereka minta ampun, damai, dan berkat (“Bentara” Flores Pos Selasa 30 November 2010).
Apakah Serise sedang bersandiwa? Tidak! Ritus seperti ini terlalu suci untuk dijadikan permainan. Mereka orang-orang sederhana, bukan politisi busuk. Mereka lakukan ritus itu dengan jujur, dalam kondisi perih sebagai korban. Korban perselingkuhan penguasa dan kapitalis tambang. Ini yang tidak (mau) dilihat oleh bupati. Tidak (mau) dilihat oleh Rofino Kant. Tidak (mau) dlihat oleh Cypri Aoer.
Serise itu korban! Maka, langkah yang diambil JPIC adalah advokasi. Adapun mediasi, sudah dilakukan, ke Arumbai sebagai lawan sengketa Serise, ke bupati sebagai regulator, ke DPRD sebagai legislator. Mediasi itu hanya jalan, cara. Sikap dasar JPIC tetap: membela korban. Advokasi! Mediasi ke Satarteu? Tidak pernah dan tidak akan! Sebab, ini masalah tambang, Serise vs Arumbai. Bukan sengketa tanah ulayat Serise vs Satarteu.
Ketika “Bentara” Flores Pos Selasa 28 Desember 2010 mengutip dan mengkritisi pernyataan Rofino Kant soal peran mediasi JPIC, anggota grup “Sejuta Facebookers Tolak Tambang di NTT” Pater Joanes Christof OFM melontarkan pertanyaan. “Siapa sih Rofino Kant yang tiba-tiba mau menjadi pendamai? Dia ada di mana ketika orang Sirise berteriak dan menangis ketika hak-haknya dirampas?”
Seandainya “Bentara” Flores Pos edisi ini dibaca Pater Christof, mungkin ia akan mengulangi pertanyaan yang sama, dengan sedikit perubahan. “Siapa sih Cypri Aoer yang tiba-tiba mau menjadi pendamai? Dia ada di mana ketika orang Sirise berteriak dan menangis ketika hak-haknya dirampas?”
“Bentara” FLORES POS, Jumat 7 Januari 2011
Label:
bentara,
cypri aoer,
flores,
flores pos,
jpic,
kasus tambang serise,
manggarai timur,
pertambangan,
series
06 Januari 2011
Keanggunan dari Serise
Perusahaan Tambang Langgar Kesepakatan
Oleh Frans Anggal
Warga Serise, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, melaporkan perusahaan tambang mangan PT Arumbai Mangabekti ke Polres Manggarai. Arumbai telah melanggar kesepakatan bahwa lingko Rengge Komba di-status-quo-kan. Tidak boleh ada kegiatan apa pun di atas lokasi sengketa itu (Flores Pos Rabu 5 Januari 2010).
Pen-status-quo-an ini telah dijamin oleh polres. Bahwa: Arumbai tidak masuk lagi ke areal hak ulayat masyarakat. Demikian pula prosesing mangan tidak dilakukan lagi di tengah permukiman. Sebelumnya, karena ruang hidup mereka dicaplok Arumbai, warga menduduki dan memagari lokasi selama dua minggu. Penambangan dan pengapalan material mangan terhenti. Jumat 3 Desember 2010, polisi membongkar paksa pagar di lokasi.
Dengan adanya jaminan lokasi sengketa bebas dari aktivitas tambang, warga Serise meninggalkan lokasi sengketa. Mereka kembali mengerjakan kebun sambil tetap memantau lingko Rengge Komba milik mereka yang sebelumnya ditambang Arumbai untuk eksploitasi dan prosesing mangan (Flores Pos Kamis 9 Desember 2010).
”Bentara” Flores Pos Jumat 10 Desember 2010 mengapresiasi langkah ini sebagai langkah awal yang adil. Lokasi sengketa di-status-quo-kan, sambil menunggu penyelesaian secara hukum. Ada semacam moderasi di areal sengketa dari kedua belah pihak. Serise mengakhiri pendudukan dan pemagaran. Arumbai mengakhiri penambangan dan prosesing mangan.
Kesepakatan yang sudah dibangun bersama, jaminan yang sudah diberikan polres, serta kondisi adil yang sudah tercipta ini, kini dirusakkan oleh Arumbai. Arumbai membuka jalan masuk di areal ulayat Serise di perbatasan selatan Golo Serente. Arumbai membuang limbah mangan di wilayah ulayat Serise. Orang-orang tak dikenal lalu-lalang di lokasi sengketa dan ujung-ujungnya merayu warga agar menerima ganti rugi. Mereka kaki tangan Arumbai.
Semua aktivitas yang merupakan pelanggaran kesepakatan itu dilakukan Arumbai pada masa Natal dan Tahun Baru. Rupanya perusahan ini sudah memperhitungkan momen yang tepat. Saat warga meluangkan lebih banyak waktu untuk kegiatan keagamaaan, mereka bergerilya mengeruk keuntungan bisnis. Dengan cara seperti itu, mereka tidak menghormati masa sakral warga.
Mereka mengira, dalam suasana Natal yang penuh damai, tindakan mereka dimaafkan. Mereka keliru. Damai Natal itu bukan damai murahan. Damai Natal adalah damai yang lahir dari perjuangan menegakkan keadilan. Opus iustitia pax est. Karya keadilanlah yang melahirkan kedamaian. Maka, kalau inginkan kedamaian, tegakkanlah keadilan. Si vis pacem, para iustitiam!
Ini sudah menjadi sikap dasar warga Serise. Mereka tidak akan mudah digoyahkan. Lihat, mereka menolak 36 parsel Natal dan Tahun Baru yang disiapkan Arumbai. Jumlah parsel itu sesuai dengan jumlah warga Serise karyawan Arumbai yang undurkan diri. “Lebih baik makan pisang daripada makan parsel,” kata tua teno Serise, Sipri Amon (Flores Pos Kamis 23 Desember 2010).
Kita bangga dengan masyarakat adat seperti ini. Punya harga diri. Tetap menapaki jalan kebenaran dan keadilan. Kita pun memuji reaksi mereka ketika Arumbai melanggar kesepakatan. Mereka tidak ikut-ikutan melakukan pelanggaran, kembali menduduki dan memagari lokasi sengketa misalnya. Tidak. Langkah yang mereka ambil adalah melaporkan Arumba ke polres. Ini sebuah keanggunan. Keanggunan dari Serise!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 6 Januari 2011
Oleh Frans Anggal
Warga Serise, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, melaporkan perusahaan tambang mangan PT Arumbai Mangabekti ke Polres Manggarai. Arumbai telah melanggar kesepakatan bahwa lingko Rengge Komba di-status-quo-kan. Tidak boleh ada kegiatan apa pun di atas lokasi sengketa itu (Flores Pos Rabu 5 Januari 2010).
Pen-status-quo-an ini telah dijamin oleh polres. Bahwa: Arumbai tidak masuk lagi ke areal hak ulayat masyarakat. Demikian pula prosesing mangan tidak dilakukan lagi di tengah permukiman. Sebelumnya, karena ruang hidup mereka dicaplok Arumbai, warga menduduki dan memagari lokasi selama dua minggu. Penambangan dan pengapalan material mangan terhenti. Jumat 3 Desember 2010, polisi membongkar paksa pagar di lokasi.
Dengan adanya jaminan lokasi sengketa bebas dari aktivitas tambang, warga Serise meninggalkan lokasi sengketa. Mereka kembali mengerjakan kebun sambil tetap memantau lingko Rengge Komba milik mereka yang sebelumnya ditambang Arumbai untuk eksploitasi dan prosesing mangan (Flores Pos Kamis 9 Desember 2010).
”Bentara” Flores Pos Jumat 10 Desember 2010 mengapresiasi langkah ini sebagai langkah awal yang adil. Lokasi sengketa di-status-quo-kan, sambil menunggu penyelesaian secara hukum. Ada semacam moderasi di areal sengketa dari kedua belah pihak. Serise mengakhiri pendudukan dan pemagaran. Arumbai mengakhiri penambangan dan prosesing mangan.
Kesepakatan yang sudah dibangun bersama, jaminan yang sudah diberikan polres, serta kondisi adil yang sudah tercipta ini, kini dirusakkan oleh Arumbai. Arumbai membuka jalan masuk di areal ulayat Serise di perbatasan selatan Golo Serente. Arumbai membuang limbah mangan di wilayah ulayat Serise. Orang-orang tak dikenal lalu-lalang di lokasi sengketa dan ujung-ujungnya merayu warga agar menerima ganti rugi. Mereka kaki tangan Arumbai.
Semua aktivitas yang merupakan pelanggaran kesepakatan itu dilakukan Arumbai pada masa Natal dan Tahun Baru. Rupanya perusahan ini sudah memperhitungkan momen yang tepat. Saat warga meluangkan lebih banyak waktu untuk kegiatan keagamaaan, mereka bergerilya mengeruk keuntungan bisnis. Dengan cara seperti itu, mereka tidak menghormati masa sakral warga.
Mereka mengira, dalam suasana Natal yang penuh damai, tindakan mereka dimaafkan. Mereka keliru. Damai Natal itu bukan damai murahan. Damai Natal adalah damai yang lahir dari perjuangan menegakkan keadilan. Opus iustitia pax est. Karya keadilanlah yang melahirkan kedamaian. Maka, kalau inginkan kedamaian, tegakkanlah keadilan. Si vis pacem, para iustitiam!
Ini sudah menjadi sikap dasar warga Serise. Mereka tidak akan mudah digoyahkan. Lihat, mereka menolak 36 parsel Natal dan Tahun Baru yang disiapkan Arumbai. Jumlah parsel itu sesuai dengan jumlah warga Serise karyawan Arumbai yang undurkan diri. “Lebih baik makan pisang daripada makan parsel,” kata tua teno Serise, Sipri Amon (Flores Pos Kamis 23 Desember 2010).
Kita bangga dengan masyarakat adat seperti ini. Punya harga diri. Tetap menapaki jalan kebenaran dan keadilan. Kita pun memuji reaksi mereka ketika Arumbai melanggar kesepakatan. Mereka tidak ikut-ikutan melakukan pelanggaran, kembali menduduki dan memagari lokasi sengketa misalnya. Tidak. Langkah yang mereka ambil adalah melaporkan Arumba ke polres. Ini sebuah keanggunan. Keanggunan dari Serise!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 6 Januari 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
manggarai timur,
pertambangan,
pt arumbai mangabekti,
serise,
tambang mangan
05 Januari 2011
Generalisasi Kadis Nita
Pelecehan Wartawan di Kabupaten Sikka
Oleh Frans Anggal
Tiga wartawan di Maumere, Kabupaten Sikka, melaporkan Kadis Kelautan dan Perikanan Bernadus Nita ke polisi. Sang kadis diduga telah melakukan pelecehan lewat kata-kata. Dia bilang, dia tidak punya uang untuk bayar wartawan. Orang pers biasa datang minta uang. Ia lalu menyuruh ketiga wartawan minta uang ke pihak lain (Flores Pos Selasa 4 Januari 2011).
Rabu minggu terakhir 2010, Slamet Kurniawan (San TV), Aloysius Yanlali (Suara Flores), dan Wento Agustinus Eliando (Flores File) mendatangi kantor dinas kelautan. Ketiga wartawan ini ingin menggali informasi tentang keributan antara kadis dan stafnya soal SPPD (uang) proyek rumput laut. Saat ditanyai tentang kasus itulah kadis lontarkan kata-kata yang dinilai melecehkan.
Boleh jadi benar, saat itu sang kadis tidak punya uang untuk bayar wartawan. Boleh jadi benar pula, orang pers biasa datang minta uang padanya. Mungkin itu pengalamannya. Pengalaman didatangi wartawan pengemis, wartawan pemeras, wartawan amplop, wartawan bodrex, wartawan bodong, wartawan calo proyek, dan lain-lain. Sayang, ia gegabah melakukan generalisasi. Dikiranya, semua wartawan seperti itu.
Titik paling mencuatkan sikap gegabahnya tampak ketika ia menyuruh ketiga wartawan pergi minta uang ke pihak lain. Lho, ketiga wartawan datang minta keterangan. Minta konfirmasi. Bukan minta uang. Kenapa dia menyuruh mereka menodong pihak lain? Ia telah salah sangka. Ia telah sesat pikir. Ia telah gegabah lakukan generalisasi.
Ilmu logika mendefinisikan generalisasi atau perumuman sebagai pernyataan yang merupakan penyimpulan bahwa apa yang berlaku pada sejumlah kecil anggota dari suatu himpunan berlaku pula bagi segenap anggota himpunan itu. Kalau beberapa wartawan mudah ditempeleng pakai uang, maka disimpulkan bahwa semua wartawan ya begitu.
Disiplin bernalar tidak membenarkan generalisasi. Namun, praksis kehidupan sosial menerimanya. Karena itu lahirlah peribahasa, “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Karena ulah beberapa wartawan pelacur profesi, rusaklah citra insan pers seluruhnya. Secara objektif, tidak demikian. Ulah tercela satu dua wartawan tidak otomatis meracuni semua jurnalis. Namun, secara subjektif, publik mempersepsikannya begitu. Publik mudah terperangkap generalisasi.
Kadis Bernadus Nita hanyalah salah satu dari banyak orang yang terperangkap sesat pikir atau sesat persepsi generalisasi. Disayangkan, tentunya. Ia pejabat, tapi payah dalam bernalar. Sudah begitu, ia tidak pandai mengendalikan diri. Apa yang ada di benak, langsung diseprotkan ke luar. Ia gagal berucap benar, setelah kandas berpikir teratur.
Pantas saja Bupati Sosimus Mitang kecewa. “Saya sudah bosan dengan sikap bawahan saya ini,” katanya. “Ia sering melakukan aksi tak terpuji, termasuk dengan bawahannya. Apa yang keluar dari mulutnya harus bisa dipertanggungjawabkan. Saya akan segera panggil dia.”
Di sisi lain, generalisasi Kadis Bernadus Nita ada hikmahnya. “Kasus ini harus menjadi bahan introsepksi bagi semua wartawan untuk lebih mengedepankan profesionalisme dalam bertugas,” kata wartawan TVRI Ruben Suban Raya. Tepat. Kedepankan profesionalisme.
Profesionalisme mengandung imperatif. Jadilah wartawan sejati. Bukan wartawan pengemis, wartawan penjilat, wartawan pesuruh, wartawan pemeras, wartawan amplop, wartawan bodrex, wartawan bodong, wartawan calo proyek, dst. Wartawan sejati butuhkan uang, tapi tak bisa dibeli dengan uang.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 5 Januari 2011
Oleh Frans Anggal
Tiga wartawan di Maumere, Kabupaten Sikka, melaporkan Kadis Kelautan dan Perikanan Bernadus Nita ke polisi. Sang kadis diduga telah melakukan pelecehan lewat kata-kata. Dia bilang, dia tidak punya uang untuk bayar wartawan. Orang pers biasa datang minta uang. Ia lalu menyuruh ketiga wartawan minta uang ke pihak lain (Flores Pos Selasa 4 Januari 2011).
Rabu minggu terakhir 2010, Slamet Kurniawan (San TV), Aloysius Yanlali (Suara Flores), dan Wento Agustinus Eliando (Flores File) mendatangi kantor dinas kelautan. Ketiga wartawan ini ingin menggali informasi tentang keributan antara kadis dan stafnya soal SPPD (uang) proyek rumput laut. Saat ditanyai tentang kasus itulah kadis lontarkan kata-kata yang dinilai melecehkan.
Boleh jadi benar, saat itu sang kadis tidak punya uang untuk bayar wartawan. Boleh jadi benar pula, orang pers biasa datang minta uang padanya. Mungkin itu pengalamannya. Pengalaman didatangi wartawan pengemis, wartawan pemeras, wartawan amplop, wartawan bodrex, wartawan bodong, wartawan calo proyek, dan lain-lain. Sayang, ia gegabah melakukan generalisasi. Dikiranya, semua wartawan seperti itu.
Titik paling mencuatkan sikap gegabahnya tampak ketika ia menyuruh ketiga wartawan pergi minta uang ke pihak lain. Lho, ketiga wartawan datang minta keterangan. Minta konfirmasi. Bukan minta uang. Kenapa dia menyuruh mereka menodong pihak lain? Ia telah salah sangka. Ia telah sesat pikir. Ia telah gegabah lakukan generalisasi.
Ilmu logika mendefinisikan generalisasi atau perumuman sebagai pernyataan yang merupakan penyimpulan bahwa apa yang berlaku pada sejumlah kecil anggota dari suatu himpunan berlaku pula bagi segenap anggota himpunan itu. Kalau beberapa wartawan mudah ditempeleng pakai uang, maka disimpulkan bahwa semua wartawan ya begitu.
Disiplin bernalar tidak membenarkan generalisasi. Namun, praksis kehidupan sosial menerimanya. Karena itu lahirlah peribahasa, “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Karena ulah beberapa wartawan pelacur profesi, rusaklah citra insan pers seluruhnya. Secara objektif, tidak demikian. Ulah tercela satu dua wartawan tidak otomatis meracuni semua jurnalis. Namun, secara subjektif, publik mempersepsikannya begitu. Publik mudah terperangkap generalisasi.
Kadis Bernadus Nita hanyalah salah satu dari banyak orang yang terperangkap sesat pikir atau sesat persepsi generalisasi. Disayangkan, tentunya. Ia pejabat, tapi payah dalam bernalar. Sudah begitu, ia tidak pandai mengendalikan diri. Apa yang ada di benak, langsung diseprotkan ke luar. Ia gagal berucap benar, setelah kandas berpikir teratur.
Pantas saja Bupati Sosimus Mitang kecewa. “Saya sudah bosan dengan sikap bawahan saya ini,” katanya. “Ia sering melakukan aksi tak terpuji, termasuk dengan bawahannya. Apa yang keluar dari mulutnya harus bisa dipertanggungjawabkan. Saya akan segera panggil dia.”
Di sisi lain, generalisasi Kadis Bernadus Nita ada hikmahnya. “Kasus ini harus menjadi bahan introsepksi bagi semua wartawan untuk lebih mengedepankan profesionalisme dalam bertugas,” kata wartawan TVRI Ruben Suban Raya. Tepat. Kedepankan profesionalisme.
Profesionalisme mengandung imperatif. Jadilah wartawan sejati. Bukan wartawan pengemis, wartawan penjilat, wartawan pesuruh, wartawan pemeras, wartawan amplop, wartawan bodrex, wartawan bodong, wartawan calo proyek, dst. Wartawan sejati butuhkan uang, tapi tak bisa dibeli dengan uang.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 5 Januari 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
jurnalisme,
kadis kelautan dan perikanan sikka,
pelecehan,
sikka,
wartawan
04 Januari 2011
Demo Tolak Boros
Kunjungan Wapres Boediono ke Ende
Oleh Frans Anggal
Kunjungan kerja (kunker) Wapres Boediono ke Ende, Selasa 28 Desember 2010, disambut demo elemen mahasiswa dari LMND, HMI, dan KAMMI. Mereka menilai kunker berbiaya besar itu suatu pemborosan. Mereka pertanyakan manfaatnya bagi petani, nelayan, buruh, dan masyarakat luas Kabupaten Ende (Flores Pos Rabu 29 Desember 2010).
Kunker ini pemenuhan janji wapres saat kampanye pilpres 2009. Ia janjikan pemugaran 4 situs Bung Karno. Meliputi: rumah kediaman Bung Karno, Taman Pancasila tempat Bung Karno merenungkan Pancasila, Gedung Immaculata tempat tonil-tonilnya dipentaskan, dan makam ibu mertuanya, Ibu Amsih. Total dana Rp30 miliar.
Bagi aparat kepolisian, aksi para mahasiswa merepotkan. Bagi sebagian masyarakat bahkan menjengkelkan. Sebab, mengganggu kenyamanan mereka menyaksikan kunjungan wapres. Apakah karena itu lantas para mahasiswa harus dipersalahkan? Sama sekali tidak!
Bagi yang kepetingannya terganggu, aksi mereka jelas dianggap sebagai gangguan. Namun, bagi yang kritis, pada kesejatian hakikatnya aksi mereka bukanlah “gangguan”, tapi “gugatan”. Lewat poster, orasi, dan pentas teatrikal, mereka pertanyakan laku boros para pejabat negara. Habiskan dana berlimpah untuk kunker, yang duitnya bersirkulasi di antara mereka, hingga hanya mentetes sedikit bahkan tak ada bagi rakyat.
Gugatan mereka bukan tanpa dasar. Pejabat kita memang boros koq. Anggaran kunker atau stuba duhai tingginya. Simaklah APBN 2010. Total belanja perjalanan dinas Rp19,5 triliun. Dua kali lipat daripada dana sejumlah program penanggulangan kemiskinan. BOS dan PNPM Mandiri hanya Rp7,4 triliun. Jamkesmas cuma Rp4,5 triliun. Bayangkan!
Menurut data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), khusus anggaran kunker ke luar negeri 2010, presiden dan DPR tempati peringkat pertama. Sepanjang 2010, presiden habiskan Rp179,03 miliar. DPR habiskan Rp170,351 miliar. Sejumlah kementerian juga habiskan tidak sedikit.
Ini menujukkan apa? Kepekaan pejabat kita terhadap derita rakyat sangatlah rendah, untuk tidak mengatakannya kosong-melompong. Berboros-boros di tengah kemiskinan rakyat tidak hanya merupakan ironi, tapi juga skandal. Bahkan sebuah kejahatan sosial.
Pesan Natal 2010 PGI-KWI sangat relevan. “Para penanggung jawab publik tidak sepenuhnya memperjuangkan kepentingan rakyat kebanyakan. Para penanggung jawab publik memperlihatkan kinerja dan moralitas yang cenderung merugikan kesejahteraan bersama. Sorotan media massa terhadap kinerja penanggung jawab publik yang kurang peka terhadap kepentingan masyarakat, khususnya yang terungkap dengan praktik korupsi dan mafia hukum hampir di segala segi kehidupan berbangsa, sungguh-sungguh memilukan dan sangat memprihatinkan, karena itu adalah kejahatan sosial.”
Dengan formulasi berbeda, inti terdalam aksi mahasiswa di Ende, ya, seperti itu. Malahan lebih daripada itu. Mereka tidak hanya prihatin, tapi juga menggugat, mengkritik, mengecam, dan mendesakkan perubahan. Indonesia pasca-reformasi ternyata tetap berkanjang dalam budaya bernegara yang hanya memenangkan yang kuat dan berkuasa atas yang kecil, lemah, dan miskin.
Wapres telah pergi. Ende kini menunggu situs Bung Karno dipugar. Akankah hasil pemugaran akan pantas dan layak bagi dana Rp30 miliar? Kontrol mahasiswa dan elemen civil society lainnya sangat dibutuhan. Sebab, di negeri para maling, tak ada yang tak bisa dicuri. Di negeri para pemboros, tak ada yang tak bisa dihabiskan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 4 Januari 2010
Oleh Frans Anggal
Kunjungan kerja (kunker) Wapres Boediono ke Ende, Selasa 28 Desember 2010, disambut demo elemen mahasiswa dari LMND, HMI, dan KAMMI. Mereka menilai kunker berbiaya besar itu suatu pemborosan. Mereka pertanyakan manfaatnya bagi petani, nelayan, buruh, dan masyarakat luas Kabupaten Ende (Flores Pos Rabu 29 Desember 2010).
Kunker ini pemenuhan janji wapres saat kampanye pilpres 2009. Ia janjikan pemugaran 4 situs Bung Karno. Meliputi: rumah kediaman Bung Karno, Taman Pancasila tempat Bung Karno merenungkan Pancasila, Gedung Immaculata tempat tonil-tonilnya dipentaskan, dan makam ibu mertuanya, Ibu Amsih. Total dana Rp30 miliar.
Bagi aparat kepolisian, aksi para mahasiswa merepotkan. Bagi sebagian masyarakat bahkan menjengkelkan. Sebab, mengganggu kenyamanan mereka menyaksikan kunjungan wapres. Apakah karena itu lantas para mahasiswa harus dipersalahkan? Sama sekali tidak!
Bagi yang kepetingannya terganggu, aksi mereka jelas dianggap sebagai gangguan. Namun, bagi yang kritis, pada kesejatian hakikatnya aksi mereka bukanlah “gangguan”, tapi “gugatan”. Lewat poster, orasi, dan pentas teatrikal, mereka pertanyakan laku boros para pejabat negara. Habiskan dana berlimpah untuk kunker, yang duitnya bersirkulasi di antara mereka, hingga hanya mentetes sedikit bahkan tak ada bagi rakyat.
Gugatan mereka bukan tanpa dasar. Pejabat kita memang boros koq. Anggaran kunker atau stuba duhai tingginya. Simaklah APBN 2010. Total belanja perjalanan dinas Rp19,5 triliun. Dua kali lipat daripada dana sejumlah program penanggulangan kemiskinan. BOS dan PNPM Mandiri hanya Rp7,4 triliun. Jamkesmas cuma Rp4,5 triliun. Bayangkan!
Menurut data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), khusus anggaran kunker ke luar negeri 2010, presiden dan DPR tempati peringkat pertama. Sepanjang 2010, presiden habiskan Rp179,03 miliar. DPR habiskan Rp170,351 miliar. Sejumlah kementerian juga habiskan tidak sedikit.
Ini menujukkan apa? Kepekaan pejabat kita terhadap derita rakyat sangatlah rendah, untuk tidak mengatakannya kosong-melompong. Berboros-boros di tengah kemiskinan rakyat tidak hanya merupakan ironi, tapi juga skandal. Bahkan sebuah kejahatan sosial.
Pesan Natal 2010 PGI-KWI sangat relevan. “Para penanggung jawab publik tidak sepenuhnya memperjuangkan kepentingan rakyat kebanyakan. Para penanggung jawab publik memperlihatkan kinerja dan moralitas yang cenderung merugikan kesejahteraan bersama. Sorotan media massa terhadap kinerja penanggung jawab publik yang kurang peka terhadap kepentingan masyarakat, khususnya yang terungkap dengan praktik korupsi dan mafia hukum hampir di segala segi kehidupan berbangsa, sungguh-sungguh memilukan dan sangat memprihatinkan, karena itu adalah kejahatan sosial.”
Dengan formulasi berbeda, inti terdalam aksi mahasiswa di Ende, ya, seperti itu. Malahan lebih daripada itu. Mereka tidak hanya prihatin, tapi juga menggugat, mengkritik, mengecam, dan mendesakkan perubahan. Indonesia pasca-reformasi ternyata tetap berkanjang dalam budaya bernegara yang hanya memenangkan yang kuat dan berkuasa atas yang kecil, lemah, dan miskin.
Wapres telah pergi. Ende kini menunggu situs Bung Karno dipugar. Akankah hasil pemugaran akan pantas dan layak bagi dana Rp30 miliar? Kontrol mahasiswa dan elemen civil society lainnya sangat dibutuhan. Sebab, di negeri para maling, tak ada yang tak bisa dicuri. Di negeri para pemboros, tak ada yang tak bisa dihabiskan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 4 Januari 2010
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
kunjungan wapres ke ende,
politik,
situs bung karno di ende,
wapres budiono
Langganan:
Postingan (Atom)