Kontroversi Pemindahan Komodo Flores ke Bali
Oleh Frans Anggal
Penolakan terhadap SK Menhut MS Kaban tentang pemindahan komodo dari Wae Wuul ke Bali bergulung seperti bola salju. Makin lama makin besar. Banyak argumentasi telah mematahkan dalih Kaban. Tapi ia tetap ngotot, dengan dalih baru.
Setelah dalih pemurnian genetik komodo dimentahkan, Kaban kemukakan dalih lain: penyelamatan populasi komodo sambil ‘mempersalahkan’ habitat di Flores. Kata dia, komodo Flores terancam, hidup di areal semak belukar penuh rumput kering yang di musim panas sanga mudah terbakar.
Alasan lain: komodo Flores mulai masuk perkampungan dan memangsa ternak masyarakat. Ini dapat memicu konflik.
Satu lagi: kurangnya pasokan makanan. Apabila dibiarkan di habitat dengan kondisi kekurangan sumber makanan, suatu saat komodo Flores akan habis secara alamiah karena kanibalisme.
Semua ini dikatakan Menhut Kaban di Jakarta, Selasa 28 Juli 2009 (Kompas.com).
Betapa tololnya semua dalih itu. Pertama, dalih komodo hidup di areal semak belukar. Habitat komodo memang begitu, Pak! Di Pulau Komodo, Gili Motang, Nusa Kode, dan Rinca, sama. Begitulah savana. Di musim kemarau, rumputnya kering sehingga mudah terbakar. Tetapi justru di savana inilah hidup hewan pemakan rumput seperti rusa dll yang adalah makanan utama komodo. Apa Menhut mau habitat ini dijadikan hutan tropis? Gila namanya. Menghutankan savana sama dengan memutus mata rantai makanan komodo.
Kedua, dalih bahwa komodo mulai masuk perkampungan dan memangsa ternak masyarakat. Ini bukan hal baru. Di permukiman di TNK juga begitu. Soal makan, komodo itu oportunistik. Ikan jemuran nelayan juga dia sikat. Apa ini dapat memicu konflik? Jangan berlebihanlah. Di Flores, anjing, kucing, musang memangsa ternak bukan cerita baru. Yang begini tidak perlu memicu perang antar-kampung. Di TNK, komodo memangsa kambing warga juga biasa. Apa lalu komodo di sana juga mau dipindahkan ke Bali?
Ketiga,dalih kurangnya pasokan makanan, sehingga suatu saat komodo akan habis secara alamiah karena kanibalisme. Bisa saja. Persoalannya, apa lantas komodonya harus dipindahkan? Ketika orang di Etiopia kelaparan, apa yang dilakukan PBB? PBB membawa makanan ke Etiopia, bukan memindahkan orang kelaparan itu keluar dari Etiopia. Kalau komodo kekurangan makanan, yang harus dibawa adalah makanannya, bukan komodonya. Bawa makanan komodo ke habitatnya, bukan bawa komodo keluar dari habitatnya.
Untuk itu, untuk mencukupkan makanan bagi komodo, perlu dibangun pusat konservasi di habitat aslinya. Ini yang mendesak dilakukan, bukan memindahkan komodo. Bahwa dibutuhkan dana besar, jelaslah. Sama juga, pindahkan komodo bukan tanpa dana. Sekadar gambaran, pemindahan tiga harimau sumatera dari Aceh ke Lampung tahun 2008 menelan Rp 2,8 miliar.
Nah, berapa dana pemindahan komodo ke Bali? Belum diketahui. Miliaran sudah pasti. Adalah jauh lebih berdaya guna dan berhasil guna kalau dana itu dianggarkan untuk membangun pusat konservasi, meski bertahap.
Setujukah Menhut? Hmmm. Pindahkan komodo itu kan proyek. Siapa dapat berapa, rahasia. Yang tidak rahasia cuma ini: komodo kita di Flores diambil gratis, lewat proyek pemindahan yang untungnya bukan untuk kita, sehingga kita cuma makan angin, masuk angin, dan buang angin. Relakah kita?
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 1 Agustus 2009
31 Juli 2009
Menhut Cari Enaknya Saja
Kontroversi Pemindahan Komodo Flores ke Bali
Oleh Frans Anggal
Kalau Menhut MS Kaban ke Mabar sekarang, mungkin ia diludahi. Masyarakat sedang marah. Melalui SK-nya, Kaban mengizinkan pemindahan 5 pasang atau 10 ekor komodo dari Wae Wuul ke Taman Safari Indonesia di Bali. Tujuannya: pemurnian genetik.
"Yang perlu dimurnikan adalah otak Menhut.” Begitu komentar warga Mabar, Riberti M Nohos, dari Labuan Bajo melalui SMS 29 Juli 2009. Komentar geram kaum awam. Tapi, nyambung juga dengan pendapat ahli.
“Apa maksud dari pemurnian genetik? Semua komodo yang ada di dunia masih murni. Komodo tidak pernah disilangkan dengan makhluk apa pun di dunia." Itu kata M Syamsul Arifin Zein (Kompas.com Rabu 29 Juli 2009). Ia salah satu anggota Tim Peneliti Kajian DNA Molekuler Komodo dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Jadi, pemurnian genetik komodo itu ngawur. Menhut sembarangan. Kalau omongnya pakai otak, otaknya perlu dimurnikan. Tepat, celoteh warga Mabar. Yang perlu dimurnikan bukan genetik komodo, tapi otak Menhut.
Dari penjelasannya kemudian, tampaknya yang dimaksudkan Menhut bukanlah pemurnian genetik, tapi peningkatan diversitas genetika dalam penangkaran atau di kebun binatang dengan menambah sampel komodo baru. Kalau begitu maksudnya, tetap saja ada soal. Kenapa harus dari Wae Wuul?
Di Wae Wuul populasinya tinggal 17 ekor, versi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT. Yang lain bilang sisa 10-12 ekor, versi Komodo Survival Program/KSP). Kalau 10 ekor dipindahkan, apa yang tersisa? Ini merugikan Mabar, Flores, NTT.
Menurut sang ahli, perbaikan keragaman genetika sebagai dasar penangkaran yang baik tidak harus selalu menggunakan satwa dari habitat asli. Lebih bijaksana menggunakan komodo dari kebun binatang yang telah berhasil. Di Ragunan Jakarta ada 44 ekor, Gembira Loka Yogyakarta 11 ekor, Surabaya 26 ekor. “Populasi komodo dalam penangkaran ini cukup mewakili secara genetis dan merupakan sumber yang baik untuk program penangkaran komodo."
Tapi, Menhut punya alasan lain lagi. Populasi. Komodo Wae Wuul perlu dipindahkan ‘sementara’ ke tempat lain agar tidak punah seperti harimau jawa dan harimau bali. Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dephut Darori menambahkan, selama pemindahan, pemda diminta menata ulang kawasan habitat yang gersang itu. Nanti, setelah itu, komodo generasi kedua ‘akan’ dikembalikan ke situ.
Kapan kembalinya, tidak jelas. Tergantung, terpenuhi atau tidaknya persyaratan. Kalau pemda tidak menata ulang Wae Wuul, komodonya tidak bakal dipulangkan. Bisa juga terjadi, meski sudah ditata ulang, tetap saja kawasan itu dinilai belum layak, sehingga komodonya tetap di Bali. Kemungkinan terburuk: Wae Wuul tidak bisa ditata ulang karena satu dan lain hal, misalnya menjadi atau dekat wilayah tambang. Maka, selamanya, komodo-komodo itu tidak kembali.
Menyedihkan. Wae Wuul, tanggung jawab Dephut melalui BBKSDA NTT. Dephut terlantarkan habitat ini. Ketika populasi komodo terancam punah, yang mereka lakukan bukan menata habitat asli ini tapi membawa keluar komodo. Sedangkan penataan habitatnya mereka todong ke pemkab, dengan ancaman: generasi kedua komodo bisa dipulangkan kalau habitatnya sudah ditata ulang.
Ini tidak bertanggung jawab. Menhut mau cari enaknya saja.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 31 Juli 2009
Oleh Frans Anggal
Kalau Menhut MS Kaban ke Mabar sekarang, mungkin ia diludahi. Masyarakat sedang marah. Melalui SK-nya, Kaban mengizinkan pemindahan 5 pasang atau 10 ekor komodo dari Wae Wuul ke Taman Safari Indonesia di Bali. Tujuannya: pemurnian genetik.
"Yang perlu dimurnikan adalah otak Menhut.” Begitu komentar warga Mabar, Riberti M Nohos, dari Labuan Bajo melalui SMS 29 Juli 2009. Komentar geram kaum awam. Tapi, nyambung juga dengan pendapat ahli.
“Apa maksud dari pemurnian genetik? Semua komodo yang ada di dunia masih murni. Komodo tidak pernah disilangkan dengan makhluk apa pun di dunia." Itu kata M Syamsul Arifin Zein (Kompas.com Rabu 29 Juli 2009). Ia salah satu anggota Tim Peneliti Kajian DNA Molekuler Komodo dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Jadi, pemurnian genetik komodo itu ngawur. Menhut sembarangan. Kalau omongnya pakai otak, otaknya perlu dimurnikan. Tepat, celoteh warga Mabar. Yang perlu dimurnikan bukan genetik komodo, tapi otak Menhut.
Dari penjelasannya kemudian, tampaknya yang dimaksudkan Menhut bukanlah pemurnian genetik, tapi peningkatan diversitas genetika dalam penangkaran atau di kebun binatang dengan menambah sampel komodo baru. Kalau begitu maksudnya, tetap saja ada soal. Kenapa harus dari Wae Wuul?
Di Wae Wuul populasinya tinggal 17 ekor, versi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT. Yang lain bilang sisa 10-12 ekor, versi Komodo Survival Program/KSP). Kalau 10 ekor dipindahkan, apa yang tersisa? Ini merugikan Mabar, Flores, NTT.
Menurut sang ahli, perbaikan keragaman genetika sebagai dasar penangkaran yang baik tidak harus selalu menggunakan satwa dari habitat asli. Lebih bijaksana menggunakan komodo dari kebun binatang yang telah berhasil. Di Ragunan Jakarta ada 44 ekor, Gembira Loka Yogyakarta 11 ekor, Surabaya 26 ekor. “Populasi komodo dalam penangkaran ini cukup mewakili secara genetis dan merupakan sumber yang baik untuk program penangkaran komodo."
Tapi, Menhut punya alasan lain lagi. Populasi. Komodo Wae Wuul perlu dipindahkan ‘sementara’ ke tempat lain agar tidak punah seperti harimau jawa dan harimau bali. Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dephut Darori menambahkan, selama pemindahan, pemda diminta menata ulang kawasan habitat yang gersang itu. Nanti, setelah itu, komodo generasi kedua ‘akan’ dikembalikan ke situ.
Kapan kembalinya, tidak jelas. Tergantung, terpenuhi atau tidaknya persyaratan. Kalau pemda tidak menata ulang Wae Wuul, komodonya tidak bakal dipulangkan. Bisa juga terjadi, meski sudah ditata ulang, tetap saja kawasan itu dinilai belum layak, sehingga komodonya tetap di Bali. Kemungkinan terburuk: Wae Wuul tidak bisa ditata ulang karena satu dan lain hal, misalnya menjadi atau dekat wilayah tambang. Maka, selamanya, komodo-komodo itu tidak kembali.
Menyedihkan. Wae Wuul, tanggung jawab Dephut melalui BBKSDA NTT. Dephut terlantarkan habitat ini. Ketika populasi komodo terancam punah, yang mereka lakukan bukan menata habitat asli ini tapi membawa keluar komodo. Sedangkan penataan habitatnya mereka todong ke pemkab, dengan ancaman: generasi kedua komodo bisa dipulangkan kalau habitatnya sudah ditata ulang.
Ini tidak bertanggung jawab. Menhut mau cari enaknya saja.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 31 Juli 2009
29 Juli 2009
Manuk Bupati, Manuk Ayah
Kasus Kematian Yoakim Langoday
Oleh Frans Anggal
Andaikan Anda bupati, lalu anak Anda ditetapkan jadi tersangka kasus pembunuhan, bagaimana perasaan Anda? Mungkin sulit dilukiskan. Tapi, hampir pasti, selalu bisa diekpresikan.
Andreas Duli Manuk, bupati Lembata, misalnya. Ia ekspresikan dengan kata-kata, dalam konferensi pers di Lewoleba, Selasa 28 Juli 2009. “Secara pribadi saya terpukul karena anak saya sejahat itu kah?” Anaknya, Erni Manuk, ditetapkan jadi tersangka kasus kematian Yoakim Langoday, Kabid Pengawasan, Pengolahan, dan Pemasaran Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata yang ditemukan tewas di hutan bakau Pantai Lamahora, 19 Mei 2009.
Awalnya, Erni diperiksa terkait kepemilikan mobil Escudo merah EB 50 DI. Mobil itu miliknya. Selanjutnya, Minggu 26 Juli 2009, mobil diambil paksa polisi dari halaman rujab bupati. Alasan: mobil inilah yang mengangkut para tersangka pelaku pembunuhan pada hari kejadian. Berselang dua hari, Selasa 28 Juli 2009, Erni ditetapkan jadi tersangka. “Bisa secepat itu ko anak saya ditetapkan sebagai tersangka. Setahu saya dia selama ini diperiksa sebagai pemilik mobil,” kata Ande Manuk.
Boleh jadi mobil itu ‘terlibat’ pembunuhan Langoday. Jika demikian, Ande Manuk sudah ambil sikap: tidak akan terima kembali mobil itu. Mau diapakan, terserah polisi. Tidak demikian dengan anaknya. Ia bela. Ia yakin, anaknya tidak terlibat. Sebab, pada hari kejadian, anaknya ke Denpasar. “Saya sebagai bapa tahu ke mana dia berangkat, saya tahu.”
Semua itu, kata-kata Ande Manuk sebagai seorang ayah. Ayah yang mencintai anak. Dan kalau sudah menyangkut cinta kepada anak, orangtua bisa mengorbankan apa saja. Amor vincit omnia, kata pepatah Latin. Cinta mengalahkan semuanya.
Ini sengketa kepentingan. Ande Manuk sadar akan bahayanya. Ke-ayah-an bisa mengalahkan ke-bupati-an. Ia juga sadar, publik akan cenderung berpikir seperti itu. Maka, ia gelar konferensi pers. Ia nyatakan sikap: menghargai proses hukum. Ia imbau masyarakat tidak main hakim sendiri. Ia ajak semua pihak junjung tingga asas praduga tak bersalah. Tidak hanya itu. Ia tidak berkontak dengan kapolres. Ia tak mau beri kesan mengintervensi proses hukum.
Luar biasa. Kita salut. Kita berharap sikapnya konsisten sampai proses hukum kasus Langoday tuntas. Tidak mudah, tentu. Sebab, yang bersengketa bukan siapa-siapa, tapi diri sendiri. Sengketa aku melawan saya. Aku ayah melawan saya bupati. Dua perasaan diperhadapkan. Perasaan kasihan dan tega (sebagai sifat psikologis sang ayah) melawan perasaan adil dan tak adil (sebagai sifat moral yang harus dimiliki sang bupati).
Mana yang harus dimenangkan? Dalam negara hukum, pilihannya jelas: sifat-sifat moral. Pertimbangan moral yang langgeng harus menang atas belaskasihan dan rasa tega yang mudah datang dan pergi. Keadilan tak boleh terhapus oleh airmata. Airmata itu sementara saja. Nihil lacrima citius arescit, kata Cicero. Tak ada yang lebih cepat kering ketimbang airmata.
Untuk itu, dibutuhkan ketegaran sikap. Tampaknya, Ande Manuk memilikinya. Ia sudah berujar lantang dalam konferensi pers: “Bagi saya, anak saya tersangka atau tertuduh, saya rela, asal yang benar.”
Jadi? Kalau bersalah, ya, harus dihukum dong! Dura lex, sed lex. Hukum memang keras, tetapi itulah hukum.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 30 Juli 2009
Oleh Frans Anggal
Andaikan Anda bupati, lalu anak Anda ditetapkan jadi tersangka kasus pembunuhan, bagaimana perasaan Anda? Mungkin sulit dilukiskan. Tapi, hampir pasti, selalu bisa diekpresikan.
Andreas Duli Manuk, bupati Lembata, misalnya. Ia ekspresikan dengan kata-kata, dalam konferensi pers di Lewoleba, Selasa 28 Juli 2009. “Secara pribadi saya terpukul karena anak saya sejahat itu kah?” Anaknya, Erni Manuk, ditetapkan jadi tersangka kasus kematian Yoakim Langoday, Kabid Pengawasan, Pengolahan, dan Pemasaran Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata yang ditemukan tewas di hutan bakau Pantai Lamahora, 19 Mei 2009.
Awalnya, Erni diperiksa terkait kepemilikan mobil Escudo merah EB 50 DI. Mobil itu miliknya. Selanjutnya, Minggu 26 Juli 2009, mobil diambil paksa polisi dari halaman rujab bupati. Alasan: mobil inilah yang mengangkut para tersangka pelaku pembunuhan pada hari kejadian. Berselang dua hari, Selasa 28 Juli 2009, Erni ditetapkan jadi tersangka. “Bisa secepat itu ko anak saya ditetapkan sebagai tersangka. Setahu saya dia selama ini diperiksa sebagai pemilik mobil,” kata Ande Manuk.
Boleh jadi mobil itu ‘terlibat’ pembunuhan Langoday. Jika demikian, Ande Manuk sudah ambil sikap: tidak akan terima kembali mobil itu. Mau diapakan, terserah polisi. Tidak demikian dengan anaknya. Ia bela. Ia yakin, anaknya tidak terlibat. Sebab, pada hari kejadian, anaknya ke Denpasar. “Saya sebagai bapa tahu ke mana dia berangkat, saya tahu.”
Semua itu, kata-kata Ande Manuk sebagai seorang ayah. Ayah yang mencintai anak. Dan kalau sudah menyangkut cinta kepada anak, orangtua bisa mengorbankan apa saja. Amor vincit omnia, kata pepatah Latin. Cinta mengalahkan semuanya.
Ini sengketa kepentingan. Ande Manuk sadar akan bahayanya. Ke-ayah-an bisa mengalahkan ke-bupati-an. Ia juga sadar, publik akan cenderung berpikir seperti itu. Maka, ia gelar konferensi pers. Ia nyatakan sikap: menghargai proses hukum. Ia imbau masyarakat tidak main hakim sendiri. Ia ajak semua pihak junjung tingga asas praduga tak bersalah. Tidak hanya itu. Ia tidak berkontak dengan kapolres. Ia tak mau beri kesan mengintervensi proses hukum.
Luar biasa. Kita salut. Kita berharap sikapnya konsisten sampai proses hukum kasus Langoday tuntas. Tidak mudah, tentu. Sebab, yang bersengketa bukan siapa-siapa, tapi diri sendiri. Sengketa aku melawan saya. Aku ayah melawan saya bupati. Dua perasaan diperhadapkan. Perasaan kasihan dan tega (sebagai sifat psikologis sang ayah) melawan perasaan adil dan tak adil (sebagai sifat moral yang harus dimiliki sang bupati).
Mana yang harus dimenangkan? Dalam negara hukum, pilihannya jelas: sifat-sifat moral. Pertimbangan moral yang langgeng harus menang atas belaskasihan dan rasa tega yang mudah datang dan pergi. Keadilan tak boleh terhapus oleh airmata. Airmata itu sementara saja. Nihil lacrima citius arescit, kata Cicero. Tak ada yang lebih cepat kering ketimbang airmata.
Untuk itu, dibutuhkan ketegaran sikap. Tampaknya, Ande Manuk memilikinya. Ia sudah berujar lantang dalam konferensi pers: “Bagi saya, anak saya tersangka atau tertuduh, saya rela, asal yang benar.”
Jadi? Kalau bersalah, ya, harus dihukum dong! Dura lex, sed lex. Hukum memang keras, tetapi itulah hukum.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 30 Juli 2009
Soal Batas, Libatkan Rakyat
Kasus Perbatasan Ngada dan Manggarai Timur
Oleh Frans Anggal
Ratusan warga Kecamatan Riung dan Riung Barat, Kabupaten Ngada, mendatangi DPRD Ngada di Bajawa, Senin 21 Juli 2009. Mereka menuntut bupati dan pimpinan DPRD bersama rakyat Ngada mendesak gubernur NTT menyelesaikan masalah perbatasan Ngada dan Manggarai Timur.
Tidak hanya itu. Mereka juga mendesak bupati dan ketua DPRD menandatangani surat pernyataan kesediaan berjuang bersama rakyat. Bila kedua tuntutan tidak dipenuhi, mereka akan duduki kantor bupati.
Kasihan, Bupati Piet Yos Nuwa Wea dan Ketua DPRD Thomas Dolaradho. Mereka yang kena getahnya. Padahal, ini urusannya gubernur. Mereka mau buat apa lagi kalau setelah berkali-kali berusaha, gubernurnya tenang-tenang saja?
Ketika baru habis dilantik, Bupati Nuwa Wea langsung pelajari soal perbatasan ini. Termasuk surat kesepakatan bersama (SKB) bupati Ngada dan bupati Manggarai tahun 1973 di Aimere tentang perbatasan. Ia temukan ada masalah dari segi hukum. Ia sampaikan ke gubernur. Tanggapan gubernur? Gubernur minta masalah ini dibicarakan bersama antara warga di perbatasan Ngada dan Manggarai.
Bagaimana bisa gubernur kasih jawaban seperti itu? Ia mau minta siapa? Minta bupati gelar rembuk warga perbatasan dua daerah? Bupati gila mana yang mau lakukan sesuatu yang bukan wewenangnya? Yang begini ini kewenangan gubernur. Gubernurlah yang turun tangan. Mempertemukan pemerintah dan bila perlu rakyat perbatasan kedua daerah.
Sejauh ini, gubernur belum lakukan itu. Pernah ada upaya tapi mengecewakan, kata Bupati Nuwa Wea. Ia dan pimpinan DPRD pernah diundang ke Kupang untuk tanda tangani berita acara masalah perbatasan. Tanda tangannya di lembaran kosong. Dicek, baru kaget. Ternyata isinya: menyetujui SKB Aimere 1973. Merasa ditipu, mereka protes ke gubernur.
Protes ya protes, tapi sudah tanda tangan to. Yang dikhawatirkan, implikasinya ke depan. Karena sudah tanda tangan maka bereslah perkara. Tidak ada masalah lagi dengan SKB Aimere 1973. Kalau sebelumnya pihak Ngada menilai SKB ini cacat hukum, sekarang tidak lagi, karena bupati dan pimpinan DPRD-nya sudah bubuhkan tanda tangan penuh keyakinan, menyetujui SKB itu.
Kalau benar begitu, satu hal menjadi jelas. Bahwa, dalam masalah perbatas ini, gubernur sudah punya sikap. Sikapnya: SKB Aimere 1973 sudah final. Karena itu, tidak perlu diutak-atik lagi. Dan agar semakin kukuh kekuatan hukumnya, bupati dan pimpinan DPRD Ngada yang suka protes itu diminta bubuhkan tanda tangan di atas berita acara lembaran kosong, yang ternyata isinya menyetujui SKB Aimere 1973. Nah, kena deh!
Kalau begitu ceritanya, kurang ajar. Ini penipuan. Kejahatan. Berita acara yang terlanjur ditandatangani harus dibatalkan melalui mekanisme yang dibenarkan hukum. Karena itu, protes saja tidaklah cukup, apalagi jika sampai sekarang pembatalan belum terjadi. Bupati dan pimpinan DPRD Ngada harus lebih berani. Tempuh saja jalur hukum. Gugat itu gubernur. Jangan hanya protes lalu diam, pasrah.
Selanjutnya, desak ke gubernur penyelesaian perbatasan yang demokratis. Libatkan rakyat wilayah perbatasan. Jangan ulangi penyelesaian elitis, apalagi yang tidak lucu itu. Bayangkan, bupati dan pimpinan DPRD Ngada mau saja disuruh tanda tangani lembaran kosong. Ini namanya pemimpin berani mati. Setelah mati baru kaget.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 29 Juli 2009
Oleh Frans Anggal
Ratusan warga Kecamatan Riung dan Riung Barat, Kabupaten Ngada, mendatangi DPRD Ngada di Bajawa, Senin 21 Juli 2009. Mereka menuntut bupati dan pimpinan DPRD bersama rakyat Ngada mendesak gubernur NTT menyelesaikan masalah perbatasan Ngada dan Manggarai Timur.
Tidak hanya itu. Mereka juga mendesak bupati dan ketua DPRD menandatangani surat pernyataan kesediaan berjuang bersama rakyat. Bila kedua tuntutan tidak dipenuhi, mereka akan duduki kantor bupati.
Kasihan, Bupati Piet Yos Nuwa Wea dan Ketua DPRD Thomas Dolaradho. Mereka yang kena getahnya. Padahal, ini urusannya gubernur. Mereka mau buat apa lagi kalau setelah berkali-kali berusaha, gubernurnya tenang-tenang saja?
Ketika baru habis dilantik, Bupati Nuwa Wea langsung pelajari soal perbatasan ini. Termasuk surat kesepakatan bersama (SKB) bupati Ngada dan bupati Manggarai tahun 1973 di Aimere tentang perbatasan. Ia temukan ada masalah dari segi hukum. Ia sampaikan ke gubernur. Tanggapan gubernur? Gubernur minta masalah ini dibicarakan bersama antara warga di perbatasan Ngada dan Manggarai.
Bagaimana bisa gubernur kasih jawaban seperti itu? Ia mau minta siapa? Minta bupati gelar rembuk warga perbatasan dua daerah? Bupati gila mana yang mau lakukan sesuatu yang bukan wewenangnya? Yang begini ini kewenangan gubernur. Gubernurlah yang turun tangan. Mempertemukan pemerintah dan bila perlu rakyat perbatasan kedua daerah.
Sejauh ini, gubernur belum lakukan itu. Pernah ada upaya tapi mengecewakan, kata Bupati Nuwa Wea. Ia dan pimpinan DPRD pernah diundang ke Kupang untuk tanda tangani berita acara masalah perbatasan. Tanda tangannya di lembaran kosong. Dicek, baru kaget. Ternyata isinya: menyetujui SKB Aimere 1973. Merasa ditipu, mereka protes ke gubernur.
Protes ya protes, tapi sudah tanda tangan to. Yang dikhawatirkan, implikasinya ke depan. Karena sudah tanda tangan maka bereslah perkara. Tidak ada masalah lagi dengan SKB Aimere 1973. Kalau sebelumnya pihak Ngada menilai SKB ini cacat hukum, sekarang tidak lagi, karena bupati dan pimpinan DPRD-nya sudah bubuhkan tanda tangan penuh keyakinan, menyetujui SKB itu.
Kalau benar begitu, satu hal menjadi jelas. Bahwa, dalam masalah perbatas ini, gubernur sudah punya sikap. Sikapnya: SKB Aimere 1973 sudah final. Karena itu, tidak perlu diutak-atik lagi. Dan agar semakin kukuh kekuatan hukumnya, bupati dan pimpinan DPRD Ngada yang suka protes itu diminta bubuhkan tanda tangan di atas berita acara lembaran kosong, yang ternyata isinya menyetujui SKB Aimere 1973. Nah, kena deh!
Kalau begitu ceritanya, kurang ajar. Ini penipuan. Kejahatan. Berita acara yang terlanjur ditandatangani harus dibatalkan melalui mekanisme yang dibenarkan hukum. Karena itu, protes saja tidaklah cukup, apalagi jika sampai sekarang pembatalan belum terjadi. Bupati dan pimpinan DPRD Ngada harus lebih berani. Tempuh saja jalur hukum. Gugat itu gubernur. Jangan hanya protes lalu diam, pasrah.
Selanjutnya, desak ke gubernur penyelesaian perbatasan yang demokratis. Libatkan rakyat wilayah perbatasan. Jangan ulangi penyelesaian elitis, apalagi yang tidak lucu itu. Bayangkan, bupati dan pimpinan DPRD Ngada mau saja disuruh tanda tangani lembaran kosong. Ini namanya pemimpin berani mati. Setelah mati baru kaget.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 29 Juli 2009
Escudo yang Bikin Heboh
Kasus Kematian Yoakim Langoday
Oleh Frans Anggal
Mobil Escudo merah itu resmi ditahan setelah diambil paksa polisi di Lewoleba, Minggu 26 Juli 2009. Pengambilpaksaan disaksikan ratusan warga. Ke kantor polisi, mobil ini diarak 600-an pengendara. Lewoleba heboh.
Mana tidak heboh, penahanan mobil berkaitan dengan kematian Yoakim Langoday. Kabid Pengawasan, Pengolahan, dan Pemasaran Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata ini ditemukan tewas di hutan bakau Pantai Lamahora, 19 Mei 2009. Mobil inilah yang mengangkut para tersangka pelaku pembunuhan pada hari kejadian.
Kisah sang mobil sudah mencuat sejak berita kematian Langoday dilansir media. Berawal dari penuturan bocah Yohan. Saksi kunci ini menyebutnya ‘mobil merah’. Ia takut kalau melihatnya. Ia pun mengingatkan anak-anak Langoday agar hati-hati dengan ‘mobil merah’. Mobil ini sempat ditahan keluarga Langoday, diserahkan ke polisi, tapi kemudian dikembalikan ke pemiliknya karena penyidikan belum sampai ke sana.
Yang bikin heboh, mobil ini milik Erni Manuk. Erni adalah putri Andreas Duli Manuk, bupati Lembata. Tidak mungkin tidak heboh. Semua yang berkaitan dengan orang penting biasanya heboh. Teori jurnalistik menegaskan, names makes news, nama menciptakan berita. Kalangan figur publik selalu disorot. Itu lumrah, dari Sabang sampai Marauke, dari Kutub Utara sampai Kutub Selatan, dari musim durian sampai musim rambutan.
Yang bikin tambah heboh, tempat pengambilpaksaan mobil putri bupati ini. Yaitu, halaman rumah jabatan bupati. Soalnya, parkirnya di situ, di antara mobil dinas bupati EB 1 F dan mobil pribadi sang ayah, Nissan Terano, yang notabene mobil dinas alias pelat merah yang sudah dipelat-hitamkan alias diputihkan.
Coba kalau mobil sang putri diparkir di tempat lain, hebohnya tidak seperti ini. Dengan demikian, tidak perlu terjadi tidur siang sang ayah terganggu. Tidak perlu terjadi ia keluar dari rumah, bercelana pendek berbaju singlet, marah-marah dan mengusir penonton. Tidak perlu terjadi ia sebut-sebut nama wartawan dengan emosional.
Reaksi emosionalnya malah bikin peristiwanya tambah heboh. Lagi pula, sudah marah-marah, mesin mobilnya tidak bisa hidup. Kuncinya di tangan sang putri. Sementara sang putri tidak ada di tempat. Satu ban depan pun gembos. Maka, untuk bisa ke kantor polisi, mobil ini ditarik pakai mobil Dalmas. Diarak pula oleh ratusan pengendara roda dua dan roda empat. Betul-betul heboh.
Apa arti semua kehebohan ini? Fenomena biasa? Fenomena kerumunan? Fenomena jalanan? Fenomena baku ikut? Orang datang nonton karena yang lain datang nonton? Orang ikut perarakan karena yang lain ikut perarakan?
Tampaknya, tidak. Ini fenomena luar biasa. Mereka itu nonton bukan karena baku ikut. Mereka itu berarak bukan karena ingin rame. Mereka kumpulan individu tercerahkan. Punya agenda setting. Mereka sedang dan akan tetap mengawal proses hukum kasus Langoday sampai tuntas.
Dengan caranya, mereka dorong penegak hukum bekerja lurus. Mereka dorong tersangka bertutur jujur. Kebenaran harus cepat diungkapkan agar keadilan segera ditegakkan. Sebab, seperti kata Henri Frederic Amiel, Truth is not only violated by falsehood; it may be equally outraged by silence. Kebenaran tidak hanya dilanggar oleh dusta; ia mungkin juga diperkosa oleh bungkam.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 28 Juli 2009
Oleh Frans Anggal
Mobil Escudo merah itu resmi ditahan setelah diambil paksa polisi di Lewoleba, Minggu 26 Juli 2009. Pengambilpaksaan disaksikan ratusan warga. Ke kantor polisi, mobil ini diarak 600-an pengendara. Lewoleba heboh.
Mana tidak heboh, penahanan mobil berkaitan dengan kematian Yoakim Langoday. Kabid Pengawasan, Pengolahan, dan Pemasaran Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata ini ditemukan tewas di hutan bakau Pantai Lamahora, 19 Mei 2009. Mobil inilah yang mengangkut para tersangka pelaku pembunuhan pada hari kejadian.
Kisah sang mobil sudah mencuat sejak berita kematian Langoday dilansir media. Berawal dari penuturan bocah Yohan. Saksi kunci ini menyebutnya ‘mobil merah’. Ia takut kalau melihatnya. Ia pun mengingatkan anak-anak Langoday agar hati-hati dengan ‘mobil merah’. Mobil ini sempat ditahan keluarga Langoday, diserahkan ke polisi, tapi kemudian dikembalikan ke pemiliknya karena penyidikan belum sampai ke sana.
Yang bikin heboh, mobil ini milik Erni Manuk. Erni adalah putri Andreas Duli Manuk, bupati Lembata. Tidak mungkin tidak heboh. Semua yang berkaitan dengan orang penting biasanya heboh. Teori jurnalistik menegaskan, names makes news, nama menciptakan berita. Kalangan figur publik selalu disorot. Itu lumrah, dari Sabang sampai Marauke, dari Kutub Utara sampai Kutub Selatan, dari musim durian sampai musim rambutan.
Yang bikin tambah heboh, tempat pengambilpaksaan mobil putri bupati ini. Yaitu, halaman rumah jabatan bupati. Soalnya, parkirnya di situ, di antara mobil dinas bupati EB 1 F dan mobil pribadi sang ayah, Nissan Terano, yang notabene mobil dinas alias pelat merah yang sudah dipelat-hitamkan alias diputihkan.
Coba kalau mobil sang putri diparkir di tempat lain, hebohnya tidak seperti ini. Dengan demikian, tidak perlu terjadi tidur siang sang ayah terganggu. Tidak perlu terjadi ia keluar dari rumah, bercelana pendek berbaju singlet, marah-marah dan mengusir penonton. Tidak perlu terjadi ia sebut-sebut nama wartawan dengan emosional.
Reaksi emosionalnya malah bikin peristiwanya tambah heboh. Lagi pula, sudah marah-marah, mesin mobilnya tidak bisa hidup. Kuncinya di tangan sang putri. Sementara sang putri tidak ada di tempat. Satu ban depan pun gembos. Maka, untuk bisa ke kantor polisi, mobil ini ditarik pakai mobil Dalmas. Diarak pula oleh ratusan pengendara roda dua dan roda empat. Betul-betul heboh.
Apa arti semua kehebohan ini? Fenomena biasa? Fenomena kerumunan? Fenomena jalanan? Fenomena baku ikut? Orang datang nonton karena yang lain datang nonton? Orang ikut perarakan karena yang lain ikut perarakan?
Tampaknya, tidak. Ini fenomena luar biasa. Mereka itu nonton bukan karena baku ikut. Mereka itu berarak bukan karena ingin rame. Mereka kumpulan individu tercerahkan. Punya agenda setting. Mereka sedang dan akan tetap mengawal proses hukum kasus Langoday sampai tuntas.
Dengan caranya, mereka dorong penegak hukum bekerja lurus. Mereka dorong tersangka bertutur jujur. Kebenaran harus cepat diungkapkan agar keadilan segera ditegakkan. Sebab, seperti kata Henri Frederic Amiel, Truth is not only violated by falsehood; it may be equally outraged by silence. Kebenaran tidak hanya dilanggar oleh dusta; ia mungkin juga diperkosa oleh bungkam.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 28 Juli 2009
Label:
bentara,
erni manuk,
flores pos,
hukum,
kasus kematian yoakim langoday,
lembata,
mobil escudo erni manuk
Mau Lihat, Seperti Apa
Tindak Lanjut Perpas VIII Regio Nusara
Oleh Frans Anggal
Pertemuan Pastoral (Perpas) VIII Regio Nusa Tenggara di Hotel Sylvia, Maumere, sudah berakhir. Perpas sepekan bertema “Gereja Nusa Tenggara Peduli Petani Membangun Kedaulatan Pangan” ini hasilkan 31 rekomendasi. Kamis malam 23 Juli 2009, rekomendasi diserahkan ke Gubernur NTT.
Gubernur Frans Lebu Raya berjanji menindaklanjuti butir-butir rekomendasi. Seperti apa tindak lanjutnya, belum jelas. Sedangkan Bupati Sikka Sosimus Mitang langsung teken MoU dengan Uskup Maumere Mgr Gerulfus Kherubim Pareira SVD.
Tanpa mengurangi apresiasi terhadap perpas, kita catat beberapa hal. Intinya: kedaulatan pangan itu tidak mudah.
Pertama, tema perpas menyebutkan Gereja Nusra peduli petani. Pedulinya petani, namun tempat perpasnya bukan pondok petani di ladang. Tapi hotel, hotel baru, hotel berbintang, di kota Maumere. Perpas sepertinya juga menyatu dengan hotel. Awal perpas ditandai misa syukur peresmian hotel.
Ini menceritakan satu hal. Peduli itu tidak mudah. Di luar hotel, masih begitu banyak petani miskin yang khawatir akan hari esok, yang tak punya rumah yang layak meski sederhana, yang tak punya akses ke palayanan medis dasar, yang tidak bisa berpartisipasi dalam kekayaan budaya, kehidupan sosial dan politik.
Gereja lewat Sollicitudo Rei Socialis (nomor 28 dan 16) mengingatkan. “Salah satu ketidakadilan dalam dunia sekarang adalah: hanya orang relatif sedikit memiliki banyak, dan banyak yang hampir tidak memiliki apa-apa. Ini adalah ketidakadilan pembagian buruk benda dan pelayanan yang semula diperuntukkan bagi semua. Bahwa pada saat kemiskinan masih merajalela, ada yang memamerkan kekayaan ... membuat kita merasa marah dan tersandung.”
Kedua, kita penasaran ingin tahu: apa saja yang dimakan dan diminum perserta selama perpas. Mudah-mudahan konsumsinya pangan lokal. Ada jagung. Ubi-ubian. Celaka kalau makan roti atau mi instan. Roti dan mi itu dari gandum, dan gandum seratus persen diimpor. Kalau nasi, mudah-mudahan dari padi varietas lokal, bukan transgenik. Begitu juga sayurnya. Buahnya. Semoga dari Flores, bukan dari Bali atau Amerika.
Kepenasaran kita menceritakan satu hal. Berdaulat dalam pangan tidaklah mudah. Di masyarakat Indonesia telah terjadi tren meningkatnya konsumsi gandum per kapita per hari. Ini berbanding terbalik dengan konsumsi beras yang justru menurun. Mi instan sudah menjadi makanan pokok kedua. Masuk sampai ke kampung-kampung. Ini arus besar. Gerakan kedaulatan pangan adalah gerakan melawan arus.
Ketiga, dalam perpas, begitu mudahnya Gereja dan pemerintah bersepakat. Gubernur NTT berjanji tindak lanjuti butir rekomendasi. Bupati Sikka teken MoU dengan Uskup Maumere. Sepakatnya gampang, laksananya sulit. Bukan karena pemerintah bakal berkhianat. Letak soalnya pada paradigma. Gereja maju dengan “kedaulatan pangan” . Pemerintah masih dengan “ketahanan pangan”.
Bagi pemerintah (PP No. 68 Tahun 2002), hal terpenting adalah terpenuhinya pangan bagi rumah tangga.Tersedia cukup dalam jumlah dan mutu, aman, merata, dan terjangkau. Tidak diatur, bagaimana pangan diproduksi dan dari mana pangan berasal. Maka, impor pun gencar. Petani dirugikan. Pangan lokal tergusur.
Nah, mau berdaulat pangan bagaimana? Tidak mudah. Tapi juga tidak mustahil. Gubenur NTT sudah janji. Bupati Sikka sudah teken MoU. Kita mau lihat, seperti apa.
“Bentara” FLORES POS, Senin 27 Juli 2009
Oleh Frans Anggal
Pertemuan Pastoral (Perpas) VIII Regio Nusa Tenggara di Hotel Sylvia, Maumere, sudah berakhir. Perpas sepekan bertema “Gereja Nusa Tenggara Peduli Petani Membangun Kedaulatan Pangan” ini hasilkan 31 rekomendasi. Kamis malam 23 Juli 2009, rekomendasi diserahkan ke Gubernur NTT.
Gubernur Frans Lebu Raya berjanji menindaklanjuti butir-butir rekomendasi. Seperti apa tindak lanjutnya, belum jelas. Sedangkan Bupati Sikka Sosimus Mitang langsung teken MoU dengan Uskup Maumere Mgr Gerulfus Kherubim Pareira SVD.
Tanpa mengurangi apresiasi terhadap perpas, kita catat beberapa hal. Intinya: kedaulatan pangan itu tidak mudah.
Pertama, tema perpas menyebutkan Gereja Nusra peduli petani. Pedulinya petani, namun tempat perpasnya bukan pondok petani di ladang. Tapi hotel, hotel baru, hotel berbintang, di kota Maumere. Perpas sepertinya juga menyatu dengan hotel. Awal perpas ditandai misa syukur peresmian hotel.
Ini menceritakan satu hal. Peduli itu tidak mudah. Di luar hotel, masih begitu banyak petani miskin yang khawatir akan hari esok, yang tak punya rumah yang layak meski sederhana, yang tak punya akses ke palayanan medis dasar, yang tidak bisa berpartisipasi dalam kekayaan budaya, kehidupan sosial dan politik.
Gereja lewat Sollicitudo Rei Socialis (nomor 28 dan 16) mengingatkan. “Salah satu ketidakadilan dalam dunia sekarang adalah: hanya orang relatif sedikit memiliki banyak, dan banyak yang hampir tidak memiliki apa-apa. Ini adalah ketidakadilan pembagian buruk benda dan pelayanan yang semula diperuntukkan bagi semua. Bahwa pada saat kemiskinan masih merajalela, ada yang memamerkan kekayaan ... membuat kita merasa marah dan tersandung.”
Kedua, kita penasaran ingin tahu: apa saja yang dimakan dan diminum perserta selama perpas. Mudah-mudahan konsumsinya pangan lokal. Ada jagung. Ubi-ubian. Celaka kalau makan roti atau mi instan. Roti dan mi itu dari gandum, dan gandum seratus persen diimpor. Kalau nasi, mudah-mudahan dari padi varietas lokal, bukan transgenik. Begitu juga sayurnya. Buahnya. Semoga dari Flores, bukan dari Bali atau Amerika.
Kepenasaran kita menceritakan satu hal. Berdaulat dalam pangan tidaklah mudah. Di masyarakat Indonesia telah terjadi tren meningkatnya konsumsi gandum per kapita per hari. Ini berbanding terbalik dengan konsumsi beras yang justru menurun. Mi instan sudah menjadi makanan pokok kedua. Masuk sampai ke kampung-kampung. Ini arus besar. Gerakan kedaulatan pangan adalah gerakan melawan arus.
Ketiga, dalam perpas, begitu mudahnya Gereja dan pemerintah bersepakat. Gubernur NTT berjanji tindak lanjuti butir rekomendasi. Bupati Sikka teken MoU dengan Uskup Maumere. Sepakatnya gampang, laksananya sulit. Bukan karena pemerintah bakal berkhianat. Letak soalnya pada paradigma. Gereja maju dengan “kedaulatan pangan” . Pemerintah masih dengan “ketahanan pangan”.
Bagi pemerintah (PP No. 68 Tahun 2002), hal terpenting adalah terpenuhinya pangan bagi rumah tangga.Tersedia cukup dalam jumlah dan mutu, aman, merata, dan terjangkau. Tidak diatur, bagaimana pangan diproduksi dan dari mana pangan berasal. Maka, impor pun gencar. Petani dirugikan. Pangan lokal tergusur.
Nah, mau berdaulat pangan bagaimana? Tidak mudah. Tapi juga tidak mustahil. Gubenur NTT sudah janji. Bupati Sikka sudah teken MoU. Kita mau lihat, seperti apa.
“Bentara” FLORES POS, Senin 27 Juli 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
kedaulatan pangan,
ntt,
perpas VIII regio nusra
24 Juli 2009
TNK dan Penguasa Aneh
Kritik untuk Bupati Pranda dan Menhut Kaban
Oleh Frans Anggal
Selangkah lagi, Taman Nasional Komodo masuk ‘7 keajaiban baru alam dunia’ (new 7 wonders of nature). Posisinya kini: satu dari 28 nominasi. Seleksi masih berlanjut. Finalnya 2011. Kalau dukungan poling ke penyelenggara di Swiss tetap besar, impian new 7 wonders bukan mustahil.
Jika impian itu jadi kenyataan, apa unutungnya ? “Wisatawan mancanegara akan semakin banyak berkunjung ke Indonesia.” Begitu tulis Kepala Balai TNK Tamen Sitorus dalam buletin Varanus, Vol 1/April 2009.
Karena itu, kampanye pun besar-besaran. Di daerah: Pemkab Mabar mendorong masyarakat mengirim dukungan. Pemkab menyiapkan internet gratis. Di tingkat nasional: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menggandeng National Geografic Indonesia bersama berbagai media nasional, komunitas, pemenang kontes, dan selebritis.
Semua pihak punya mimpi yang sama. TNK masuk ‘7 keajaiban dunia’. Sayangnya , mimpi boleh sama, tindakan belum tentu. Mimpi jalan lain, tindakan jalan lain. Bukan hanya lain, tapi juga bertentangan. Tindakan menghancurkan mimpi.
Di daerah, tindakan menghancurkan mimpi itu dilakukan Bupati Fidelis Pranda. Di satu sisi, ia impikan TNK masuk 7 kejaiban dunia, sehingga ia gencar kampanyekan dukungan dan sediakan internet gratis. Di sisi lain, ia izinkan ekplorasi tambang emas di Batu Gosok yang notebene jalur hijau dan masih termasuk wilayah kota Labuan Bajo. Tambang terbuka perusak lingkungan ia kawinpaksakan dengan pariwisata pencinta alam lestari.
Di tingkat nasional, tindakan menghancurkan mimpi ‘7 keajaiban dunia’ dilakukan Menhut MS Kaban. Ia datang ke Labuan Bajo, bikin pernyataan. Dia bilang, Batu Gosok tidak masuk hutan lindung. Batu Gosok berada di luar TNK. Juga bukan zona penyangga (buffer zone) TNK. Secara tekstual, pernyataannya benar. Secara kontekstual, tidak. Ia tidak melihat bagaimana ancaman tambang Batu Gosok bagi TNK.
Kendati bukan buffer zone TNK, Batu Gosok merupakan bagian tak terpisahkan dari pariwisata terpadu yang merangkai TNK dan Labuan Bajo. Dalam konteks pariwisata terpadu, Batu Gosok buffer zone juga. Boleh dibilang, zona intinya TNK, zona penyangganya Labuan Bajo dan sekitarnya, termasuk Batu Gosok.
Idealnya, turis yang ke TNK harus terpikat juga ke Labuan Bajo membelanjakan dolar mereka. Bagaimana mereka bisa terpikat kalau di kawasan kota itu ada tambang terbuka yang merusak lingkungan? Dari sisi pariwisata terpadu, memaksakan tambang Batu Gosok tidaklah waras.
Ini tidak dilihat Bupati Pranda. Juga tidak dilihat Menhut Kaban. Bahkan sedemikian rabunnya, menhut satu ini bisa bikin surat aneh. Ia izinkan penangkapan lima pasang komodo di Wae Wuul dan Riung untuk Taman Safari Denpasar, Bali. Katanya demi pemurnian genetik. Memangnya di Wae Wuul dan Riung komodo itu bisa kawin sama kambing sehingga harus dibawa ke Bali untuk dimurnikan genetiknya?
Tambang emas Batu Gosok. Penangkapan komodo. Dua-duanya tidak waras. Dua-duanya menghancurkan TNK. Kasihan nasibmu TNK. Dipermainkan penguasa daerah dan penguasa nasional. Untuk masuk ‘7 keajaiban dunia’, kamu mereka dukung lewat kampanye, imbauan, dan internet gratis. Bersamaan dengan itu, citramu mereka rusakkan. Penguasa aneh, layaknya ditempeleng.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 25 Juli 2009
Oleh Frans Anggal
Selangkah lagi, Taman Nasional Komodo masuk ‘7 keajaiban baru alam dunia’ (new 7 wonders of nature). Posisinya kini: satu dari 28 nominasi. Seleksi masih berlanjut. Finalnya 2011. Kalau dukungan poling ke penyelenggara di Swiss tetap besar, impian new 7 wonders bukan mustahil.
Jika impian itu jadi kenyataan, apa unutungnya ? “Wisatawan mancanegara akan semakin banyak berkunjung ke Indonesia.” Begitu tulis Kepala Balai TNK Tamen Sitorus dalam buletin Varanus, Vol 1/April 2009.
Karena itu, kampanye pun besar-besaran. Di daerah: Pemkab Mabar mendorong masyarakat mengirim dukungan. Pemkab menyiapkan internet gratis. Di tingkat nasional: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menggandeng National Geografic Indonesia bersama berbagai media nasional, komunitas, pemenang kontes, dan selebritis.
Semua pihak punya mimpi yang sama. TNK masuk ‘7 keajaiban dunia’. Sayangnya , mimpi boleh sama, tindakan belum tentu. Mimpi jalan lain, tindakan jalan lain. Bukan hanya lain, tapi juga bertentangan. Tindakan menghancurkan mimpi.
Di daerah, tindakan menghancurkan mimpi itu dilakukan Bupati Fidelis Pranda. Di satu sisi, ia impikan TNK masuk 7 kejaiban dunia, sehingga ia gencar kampanyekan dukungan dan sediakan internet gratis. Di sisi lain, ia izinkan ekplorasi tambang emas di Batu Gosok yang notebene jalur hijau dan masih termasuk wilayah kota Labuan Bajo. Tambang terbuka perusak lingkungan ia kawinpaksakan dengan pariwisata pencinta alam lestari.
Di tingkat nasional, tindakan menghancurkan mimpi ‘7 keajaiban dunia’ dilakukan Menhut MS Kaban. Ia datang ke Labuan Bajo, bikin pernyataan. Dia bilang, Batu Gosok tidak masuk hutan lindung. Batu Gosok berada di luar TNK. Juga bukan zona penyangga (buffer zone) TNK. Secara tekstual, pernyataannya benar. Secara kontekstual, tidak. Ia tidak melihat bagaimana ancaman tambang Batu Gosok bagi TNK.
Kendati bukan buffer zone TNK, Batu Gosok merupakan bagian tak terpisahkan dari pariwisata terpadu yang merangkai TNK dan Labuan Bajo. Dalam konteks pariwisata terpadu, Batu Gosok buffer zone juga. Boleh dibilang, zona intinya TNK, zona penyangganya Labuan Bajo dan sekitarnya, termasuk Batu Gosok.
Idealnya, turis yang ke TNK harus terpikat juga ke Labuan Bajo membelanjakan dolar mereka. Bagaimana mereka bisa terpikat kalau di kawasan kota itu ada tambang terbuka yang merusak lingkungan? Dari sisi pariwisata terpadu, memaksakan tambang Batu Gosok tidaklah waras.
Ini tidak dilihat Bupati Pranda. Juga tidak dilihat Menhut Kaban. Bahkan sedemikian rabunnya, menhut satu ini bisa bikin surat aneh. Ia izinkan penangkapan lima pasang komodo di Wae Wuul dan Riung untuk Taman Safari Denpasar, Bali. Katanya demi pemurnian genetik. Memangnya di Wae Wuul dan Riung komodo itu bisa kawin sama kambing sehingga harus dibawa ke Bali untuk dimurnikan genetiknya?
Tambang emas Batu Gosok. Penangkapan komodo. Dua-duanya tidak waras. Dua-duanya menghancurkan TNK. Kasihan nasibmu TNK. Dipermainkan penguasa daerah dan penguasa nasional. Untuk masuk ‘7 keajaiban dunia’, kamu mereka dukung lewat kampanye, imbauan, dan internet gratis. Bersamaan dengan itu, citramu mereka rusakkan. Penguasa aneh, layaknya ditempeleng.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 25 Juli 2009
Label:
bentara,
bupati fidelis pranda,
flores,
flores pos,
lingkungan,
manggarai barat,
menhut ms kaban,
pariwisata,
tambang batu gosok,
tnk
23 Juli 2009
Surat Menhut, Awal Petaka
Kontroversi Penangkapan 5 Pasang Komodo
Oleh Frans Anggal
Menhut M S Kaban bikin kesal Flores, NTT. Ia keluarkan surat yang izinkan penangkapan lima pasang komodo dari dua kawasan konservasi alam. Dari Wae Wuul, Kabupaten Manggarai Barat, dan Riung, Kabupaten Ngada. Binatang langka ini akan dipindahkan ke Taman Safari Denpasar, Bali. Kata menhut, untuk mencegah kepunahan genetik.
Kebijakan ini patut dipertanyakan. Kalau untuk menghindari kepunahan, mengapa tidak di Wae Wuul dan Riung saja? Ini habitat asli. Habitat asli merupakan lingkungan terbaik. Pemurnian genetik, pengembangbiakan, membutuhkan lingkungan terbaik. Tak ada yang sebaik habitat asli.
Menjadi pertanyakan kita: mengapa tidak di Wae Wuul dan Riung saja? Koq komodo-komodo itu mau direnggut paksa dari habitat aslinya, diangkut paksa, lalu dijeblos paksa ke sebuah habitat tiruan di Bali. Benarkah ini melulu untuk memurnikan genetik dan menghindari kepunahan? Ataukah bertujuan ganda dan mungkin utama: untuk memperkaya koleksi taman safari sehingga semakin ramai dikunjungi dan akhirnya semakin menguntungkan?
Secara bisnis, untungnya jelas. Apalagi kalau pengembangbiakannya sukses. Burung kecil langka saja mahal. Apalagi kadal raksasa purba. Ratusan juta rupiah sudah pasti. Untung besar bukan?
Nah, ketika Taman Safari Denpasar menikmati semua keuntungan itu, apanya untuk Wae Wuul dan Manggarai Barat? Apanya untuk Riung dan Ngada? Apanya untuk Flores? Tidak ada! Nanti, komodo Wae Wuul di Wae Wuul dan komodo Riung di Riung tinggal nama. Musnah. Yang ada hanyalah komodo Wae Wuul di Bali. Komodo Riung di Bali. Bali selaku pusat pariwisata akan semakin ramai dikunjungi. Wae Wuul dan Riung dilupakan. Tak perlu lagi ke sana. Buat apa? Komodonya sudah pindah ke Bali! Bali untung, Flores buntung.
Jangankan nanti, sekarang saja sudah begitu. Wisatawan datang dengan kapal pesiar dari Bali, langsung ke Taman Nasional Komodo, lalu balik lagi ke Bali. Mereka ogah singgahi Labuan Bajo. Bali makan duitnya, Manggarai Barat makan bangganya. Ke Labuan Bajo mereka ogah, apalagi ke Wae Wuul ketika komodonya sudah tiada.
Patut dapat diduga, dampak surat menhut tidak seluhur tujuan tersuratnya. Sangat mungkin surat ini dijadikan pintu masuk ‘bisnis jahat’ kapitalisme global. Tentang kemungkinan seperti ini, ada sebuah ilustrasi.
Tahun 1998, bagaikan film horor, sebuah cerita mencuat dari Brisbane, Australia. Sumbernya, Lyndon Osmond-Parker, arkeolog Australia yang selama setahun meluangkan waktu di Museum Sejarah Alam di London, Inggris. Penelitian Osmond-Parker membuktikan, sebanyak 3.000 sampai 6.000 jasad orang Aborigin disimpan di Inggris dan berbagai negeri Eropa, sebagai koleksi! "Di museum itu sendiri tersimpan lebih dari 160 jasad orang Aborigin," kata Osmond-Parker.
Dari mana jasad itu diperoleh? "Sebagian besar ditembak, lalu dijual dengan harga paling murah 30," kata Les Malezer, Manajer Foundation for Aboriginal and Islander Research Action. Jasad itu lalu diterbangkan untuk menjadi koleksi pribadi di Inggris, Jerman, Belanda, dan Italia.
Manusia saja bisa diperdagangkan, dijadikan koleksi. Apalagi binatang. Nanti, ketika di Wae Wuul dan Riung sudah musnah, komodo hanya dapat disaksikan di Bali, Eropa, Amerika. Ini petaka. Sudah dimulai. Surat menhut itu.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 24 Juli 2009
Oleh Frans Anggal
Menhut M S Kaban bikin kesal Flores, NTT. Ia keluarkan surat yang izinkan penangkapan lima pasang komodo dari dua kawasan konservasi alam. Dari Wae Wuul, Kabupaten Manggarai Barat, dan Riung, Kabupaten Ngada. Binatang langka ini akan dipindahkan ke Taman Safari Denpasar, Bali. Kata menhut, untuk mencegah kepunahan genetik.
Kebijakan ini patut dipertanyakan. Kalau untuk menghindari kepunahan, mengapa tidak di Wae Wuul dan Riung saja? Ini habitat asli. Habitat asli merupakan lingkungan terbaik. Pemurnian genetik, pengembangbiakan, membutuhkan lingkungan terbaik. Tak ada yang sebaik habitat asli.
Menjadi pertanyakan kita: mengapa tidak di Wae Wuul dan Riung saja? Koq komodo-komodo itu mau direnggut paksa dari habitat aslinya, diangkut paksa, lalu dijeblos paksa ke sebuah habitat tiruan di Bali. Benarkah ini melulu untuk memurnikan genetik dan menghindari kepunahan? Ataukah bertujuan ganda dan mungkin utama: untuk memperkaya koleksi taman safari sehingga semakin ramai dikunjungi dan akhirnya semakin menguntungkan?
Secara bisnis, untungnya jelas. Apalagi kalau pengembangbiakannya sukses. Burung kecil langka saja mahal. Apalagi kadal raksasa purba. Ratusan juta rupiah sudah pasti. Untung besar bukan?
Nah, ketika Taman Safari Denpasar menikmati semua keuntungan itu, apanya untuk Wae Wuul dan Manggarai Barat? Apanya untuk Riung dan Ngada? Apanya untuk Flores? Tidak ada! Nanti, komodo Wae Wuul di Wae Wuul dan komodo Riung di Riung tinggal nama. Musnah. Yang ada hanyalah komodo Wae Wuul di Bali. Komodo Riung di Bali. Bali selaku pusat pariwisata akan semakin ramai dikunjungi. Wae Wuul dan Riung dilupakan. Tak perlu lagi ke sana. Buat apa? Komodonya sudah pindah ke Bali! Bali untung, Flores buntung.
Jangankan nanti, sekarang saja sudah begitu. Wisatawan datang dengan kapal pesiar dari Bali, langsung ke Taman Nasional Komodo, lalu balik lagi ke Bali. Mereka ogah singgahi Labuan Bajo. Bali makan duitnya, Manggarai Barat makan bangganya. Ke Labuan Bajo mereka ogah, apalagi ke Wae Wuul ketika komodonya sudah tiada.
Patut dapat diduga, dampak surat menhut tidak seluhur tujuan tersuratnya. Sangat mungkin surat ini dijadikan pintu masuk ‘bisnis jahat’ kapitalisme global. Tentang kemungkinan seperti ini, ada sebuah ilustrasi.
Tahun 1998, bagaikan film horor, sebuah cerita mencuat dari Brisbane, Australia. Sumbernya, Lyndon Osmond-Parker, arkeolog Australia yang selama setahun meluangkan waktu di Museum Sejarah Alam di London, Inggris. Penelitian Osmond-Parker membuktikan, sebanyak 3.000 sampai 6.000 jasad orang Aborigin disimpan di Inggris dan berbagai negeri Eropa, sebagai koleksi! "Di museum itu sendiri tersimpan lebih dari 160 jasad orang Aborigin," kata Osmond-Parker.
Dari mana jasad itu diperoleh? "Sebagian besar ditembak, lalu dijual dengan harga paling murah 30," kata Les Malezer, Manajer Foundation for Aboriginal and Islander Research Action. Jasad itu lalu diterbangkan untuk menjadi koleksi pribadi di Inggris, Jerman, Belanda, dan Italia.
Manusia saja bisa diperdagangkan, dijadikan koleksi. Apalagi binatang. Nanti, ketika di Wae Wuul dan Riung sudah musnah, komodo hanya dapat disaksikan di Bali, Eropa, Amerika. Ini petaka. Sudah dimulai. Surat menhut itu.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 24 Juli 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
komodo,
manggarai barat,
ngada,
ntt,
pariwisata
22 Juli 2009
Setelah Rekonstruksi Itu
Kasus Kematian Rm Faustin Sega Pr
Oleh Frans Anggal
Di rumah Anus Waja, di Hobotopo, Romo Faustin Sega Pr disuguhi kopi. Setelah minum, ia sakit perut dan pusing. Saat itulah ia dipukul para pelaku. Setelah sekarat, ia dibawa keluar menuju hand tractor. Kakinya diikat. Ia diangkut ke Dena Biko. Di tempat ini, dipukul lagi. Urbanus dan Anus Waja memukulnya pakai kayu. Antonius Seke menendang. Theresia Tawa menampar serta memasukkan tanah dan rumput ke mulutnya. Setelah dipastikan tewas, jenazah mereka letakkan di bawah pohon. Sebelum tinggalkan lokasi, mereka atur segala sesuatunya rapi. Motor korban diparkir 100 meter dari lokasi. Tas dan helm ditaruh di samping jenazah. Seolah-olah korban mati wajar.
Begitulah ringkasan narasi rekonstruksi pembunuhan Romo Faustin yang digelar tim Polda NTT di tempat kejadian perkara, Sabtu 18 Juli 2009.
Rekonstruksi ini mengukuhkan satu hal. Hal yang sudah lama terkuak dan terkuatkan oleh autopsi dan hasil penyidikan tim polda. Bahwa, Romo Faustin mati tidak wajar. Ia mati karena tindak kekerasan. Mati karena dibunuh. Dibunuh secara berencana. Semua itu klop dengan ringkasan narasi rekonstruksi.
Seandainya ini pentas, bukan proses hukum, kita bisa mengatakan: Acta est fabula. The play is over. Sandiwara telah berakhir. Plaudite! Bertepuk tanganlah! Semuanya sudah jelas. Begitulah kisahnya. Dan hanya itulah kisahnya. Tak ada kisah lain. Kalaupun ada, kisah lain itu tidak relevan dengan kematian korban. Kisah lain itu, misalnya, dituturkan Theresia Tawa kepada tabloit Expo NTT. Kisah perbuatan asusila, dengan gaya pemberitaan yang tak beda dengan pornografi.
Bagaimana bisa dipercaya? Kebenarannya tidak bisa diverifikasi. Romonya sudah mati. Daripadanya tidak bisa diperoleh hak jawab, hak bantah, hak gugat. Omong tentangnya hal seburuk apa pun, orang yang sudah meninggal tak bakal menyahut. Ia tidak bisa lagi gunakan hak jawab, hak bantah, hak gugat.
Menyadari hal ini, manusia beradab sejagat mewarisi dan mewariskan sikap bijaksana. De mortuis nihil nisi bene. Tentang orang yang sudah berpulang, tak ada yang dapat diceritakan kecuali tentang yang baik. Ini ungkapan Latin klasik. Ungkapan keadaban, warisan bersama umat manusia.
Sayang, Theresia Tawa dan tabloit yang memuat pornografinya tidak berada dalam keadaban ini. Mereka melenceng sendirian. Menjadi semacam anomali keadaban.
Ini bukan by accident. Ini by design. Menarik, misalnya, memperbandingkan tuturan Theresia Tawa di tabloit dengan BAP di Polres Ngada. Kajian bahasa bisa memastikan tingkat kewajaran. Kalau sama dan sebangun dengan BAP, patut dapat diduga tuturan itu merupakan bocoran BAP. BAP yang dituangkan ke atas kertas ber-SIUPP.
Masih banyak hal yang patut dapat diduga. Namun kita cukupkan sampai di sini. Sebab, semua itu tidak relevan. Seporno apa pun kisahnya, tidak dapat dijadikan pembenaran bagi penghilangan paksa nyawa seseorang.
Tentang kisah yang tak relevan, sikap yang patut adalah berdiam diri. Ungkapan Latin klasik mengajarkan itu. Si decem habeas linguas, mutum esse addecet. Bahkan jika engkau memiliki sepuluh lidah, sebaiknya engkau tetap diam. Si tacuisses, philosophus mansisses. Andaikan engkau tetap diam, mungkin engkau tetap menjadi seorang filsuf.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 23 Juli 2009
Oleh Frans Anggal
Di rumah Anus Waja, di Hobotopo, Romo Faustin Sega Pr disuguhi kopi. Setelah minum, ia sakit perut dan pusing. Saat itulah ia dipukul para pelaku. Setelah sekarat, ia dibawa keluar menuju hand tractor. Kakinya diikat. Ia diangkut ke Dena Biko. Di tempat ini, dipukul lagi. Urbanus dan Anus Waja memukulnya pakai kayu. Antonius Seke menendang. Theresia Tawa menampar serta memasukkan tanah dan rumput ke mulutnya. Setelah dipastikan tewas, jenazah mereka letakkan di bawah pohon. Sebelum tinggalkan lokasi, mereka atur segala sesuatunya rapi. Motor korban diparkir 100 meter dari lokasi. Tas dan helm ditaruh di samping jenazah. Seolah-olah korban mati wajar.
Begitulah ringkasan narasi rekonstruksi pembunuhan Romo Faustin yang digelar tim Polda NTT di tempat kejadian perkara, Sabtu 18 Juli 2009.
Rekonstruksi ini mengukuhkan satu hal. Hal yang sudah lama terkuak dan terkuatkan oleh autopsi dan hasil penyidikan tim polda. Bahwa, Romo Faustin mati tidak wajar. Ia mati karena tindak kekerasan. Mati karena dibunuh. Dibunuh secara berencana. Semua itu klop dengan ringkasan narasi rekonstruksi.
Seandainya ini pentas, bukan proses hukum, kita bisa mengatakan: Acta est fabula. The play is over. Sandiwara telah berakhir. Plaudite! Bertepuk tanganlah! Semuanya sudah jelas. Begitulah kisahnya. Dan hanya itulah kisahnya. Tak ada kisah lain. Kalaupun ada, kisah lain itu tidak relevan dengan kematian korban. Kisah lain itu, misalnya, dituturkan Theresia Tawa kepada tabloit Expo NTT. Kisah perbuatan asusila, dengan gaya pemberitaan yang tak beda dengan pornografi.
Bagaimana bisa dipercaya? Kebenarannya tidak bisa diverifikasi. Romonya sudah mati. Daripadanya tidak bisa diperoleh hak jawab, hak bantah, hak gugat. Omong tentangnya hal seburuk apa pun, orang yang sudah meninggal tak bakal menyahut. Ia tidak bisa lagi gunakan hak jawab, hak bantah, hak gugat.
Menyadari hal ini, manusia beradab sejagat mewarisi dan mewariskan sikap bijaksana. De mortuis nihil nisi bene. Tentang orang yang sudah berpulang, tak ada yang dapat diceritakan kecuali tentang yang baik. Ini ungkapan Latin klasik. Ungkapan keadaban, warisan bersama umat manusia.
Sayang, Theresia Tawa dan tabloit yang memuat pornografinya tidak berada dalam keadaban ini. Mereka melenceng sendirian. Menjadi semacam anomali keadaban.
Ini bukan by accident. Ini by design. Menarik, misalnya, memperbandingkan tuturan Theresia Tawa di tabloit dengan BAP di Polres Ngada. Kajian bahasa bisa memastikan tingkat kewajaran. Kalau sama dan sebangun dengan BAP, patut dapat diduga tuturan itu merupakan bocoran BAP. BAP yang dituangkan ke atas kertas ber-SIUPP.
Masih banyak hal yang patut dapat diduga. Namun kita cukupkan sampai di sini. Sebab, semua itu tidak relevan. Seporno apa pun kisahnya, tidak dapat dijadikan pembenaran bagi penghilangan paksa nyawa seseorang.
Tentang kisah yang tak relevan, sikap yang patut adalah berdiam diri. Ungkapan Latin klasik mengajarkan itu. Si decem habeas linguas, mutum esse addecet. Bahkan jika engkau memiliki sepuluh lidah, sebaiknya engkau tetap diam. Si tacuisses, philosophus mansisses. Andaikan engkau tetap diam, mungkin engkau tetap menjadi seorang filsuf.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 23 Juli 2009
PPO Manggarai dan Keledai
Kasus DAK 2009 bagi Sekolah-Sekolah
Oleh Frans Anggal
Dana DAK 2009 belum turun ke sekolah-sekolah, para kasek di Manggarai sudah ketakutan. Ada apa? Dalam juknis, dana DAK diswakelola oleh kasek bersama komite. Dalam kenyataan, mereka ditekan para calo proyek. Para calo minta proyek dikerjakan kontraktor yang ditentukan dinas PPO. Berani tolak, DAK dialihkan ke sekolah lain.
Diduga, para calo itu orang-orang dinas PPO. Begitu laporan Koordinator Forum Pemerhati Masalah Pendidikan (FPMP) Manggarai, Fery Cembes. Plt Kadis PPO Rafael Ogur membantah. Kata dia, pengelolaan DAK kewenangan kasek dan komite. Dinas tak campur tangan. Dinas hanya awasi pelaksanaannya. Yang dilakukan dinas saat ini hanyalah sosialisasi juknis ke sekolah penerima DAK. Bukan intervensi, apalagi sampai mengebiri hak kasek dan komite.
Percaya yang mana? Percaya Fery Cembes yang laporkan keluhan para kasek? Ataukah percaya Rafael Ogur yang membantah semua keluhan itu? Anda, yang tahu kebiasaan penguasa mereaksi kontrol publik, tahu jawabannya.
Menanggapi laporan Fery Cembes, Rafael Ogur langsung membantah. Seakan-akan di tangannya sudah tersaji data lengkap yang menafikan semua isi laporan itu. Seakan-akan tentang hal yang dipersoalkan, Cembes dan Ogur telah bekerja secara simultan, merekam hal yang sama dan sebangun secara diametral. Ini tidak realistis.
Jadi? Bantahan yang disampaikan Ogur hanyalah mekanisme pertahanan diri khas penguasa. Tak lebih dari ekspresi alergi terhadap kontrol dan kritik. Kontrol publik dianggap sebagai tudingan. Tudingan dianggap sebagai ancaman. Karena itu, langsung ditanggapinya saat itu juga dengan bantahan.
Sikap seperti ini tidak bijaksana. Semestinya, hal yang disampaikan melalui kontrol publik dihargai dulu sebagai masukan. Selanjutnya, masukan itu diverifikasi melalui kroscek di lapangan. Ini, belum apa-apa, langsung dibantah.
Bagi dinas PPO Manggarai, sikap bijaksana mereaksi kontrol publik mendesak dituntut dari siapa pun yang memimpin. Ada tiga alasan.
Pertama, dinas ini menyerap anggaran paling besar. APBD 2010 mengalokasikan Rp35 miliar. Tanpa kontrol dan sikap bijaksana menanggapi kontrol, petakalah yang akan muncul. Banyak uang, banyak kasus. Banyak proyek, banyak korupsi.
Kedua, dinas PPO diandalkan sebagai garda terdepan penyiapan generasi penerus bangsa. Nilai adiluhung apa yang bisa ditawarkan kepada dunia pendidikan Manggarai apabila dinas ini menjadi sarang penyamun?
Ketiga, soal dana, khususnya DAK, dinas PPO Manggarai sudah punya reputasi buruk. Pengelolaan DAK 2007 bermasalah. Kadis Tadeus Juit dan staf Yosef Labu jadi tersangka kasus korupsi. Ceritanya mirip. Dimulai dari keluhan para kasek. Keluhan mereka tidak ditanggapi bijaksana. Dinas masa bodoh, tetap potong sana, kebiri sini. Nah, ketika dinasnya tidak tanggap, kejarilah yang tanggap. Maka, Tadeus Juit dan Yosef Labu pun menjadi penghuni Labe.
Dalam anggapan kita, kasus DAK 2007 yang menjebloskan kadis ke Labe sudah cukup menghentakkan dinas PPO Manggarai. Selanjutnya, dinas ini pasti lebih hati-hati, jujur dan lurus, ikut aturan main. Tampaknya, anggapan kita terlampau polos. Kita lupakan satu hal: keuangan yang mahakuasa. Uang bisa bikin dinas jadi seperti keledai. Dan keledai selalu terantuk pada batu yang sama.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 22 Juli 2009
Oleh Frans Anggal
Dana DAK 2009 belum turun ke sekolah-sekolah, para kasek di Manggarai sudah ketakutan. Ada apa? Dalam juknis, dana DAK diswakelola oleh kasek bersama komite. Dalam kenyataan, mereka ditekan para calo proyek. Para calo minta proyek dikerjakan kontraktor yang ditentukan dinas PPO. Berani tolak, DAK dialihkan ke sekolah lain.
Diduga, para calo itu orang-orang dinas PPO. Begitu laporan Koordinator Forum Pemerhati Masalah Pendidikan (FPMP) Manggarai, Fery Cembes. Plt Kadis PPO Rafael Ogur membantah. Kata dia, pengelolaan DAK kewenangan kasek dan komite. Dinas tak campur tangan. Dinas hanya awasi pelaksanaannya. Yang dilakukan dinas saat ini hanyalah sosialisasi juknis ke sekolah penerima DAK. Bukan intervensi, apalagi sampai mengebiri hak kasek dan komite.
Percaya yang mana? Percaya Fery Cembes yang laporkan keluhan para kasek? Ataukah percaya Rafael Ogur yang membantah semua keluhan itu? Anda, yang tahu kebiasaan penguasa mereaksi kontrol publik, tahu jawabannya.
Menanggapi laporan Fery Cembes, Rafael Ogur langsung membantah. Seakan-akan di tangannya sudah tersaji data lengkap yang menafikan semua isi laporan itu. Seakan-akan tentang hal yang dipersoalkan, Cembes dan Ogur telah bekerja secara simultan, merekam hal yang sama dan sebangun secara diametral. Ini tidak realistis.
Jadi? Bantahan yang disampaikan Ogur hanyalah mekanisme pertahanan diri khas penguasa. Tak lebih dari ekspresi alergi terhadap kontrol dan kritik. Kontrol publik dianggap sebagai tudingan. Tudingan dianggap sebagai ancaman. Karena itu, langsung ditanggapinya saat itu juga dengan bantahan.
Sikap seperti ini tidak bijaksana. Semestinya, hal yang disampaikan melalui kontrol publik dihargai dulu sebagai masukan. Selanjutnya, masukan itu diverifikasi melalui kroscek di lapangan. Ini, belum apa-apa, langsung dibantah.
Bagi dinas PPO Manggarai, sikap bijaksana mereaksi kontrol publik mendesak dituntut dari siapa pun yang memimpin. Ada tiga alasan.
Pertama, dinas ini menyerap anggaran paling besar. APBD 2010 mengalokasikan Rp35 miliar. Tanpa kontrol dan sikap bijaksana menanggapi kontrol, petakalah yang akan muncul. Banyak uang, banyak kasus. Banyak proyek, banyak korupsi.
Kedua, dinas PPO diandalkan sebagai garda terdepan penyiapan generasi penerus bangsa. Nilai adiluhung apa yang bisa ditawarkan kepada dunia pendidikan Manggarai apabila dinas ini menjadi sarang penyamun?
Ketiga, soal dana, khususnya DAK, dinas PPO Manggarai sudah punya reputasi buruk. Pengelolaan DAK 2007 bermasalah. Kadis Tadeus Juit dan staf Yosef Labu jadi tersangka kasus korupsi. Ceritanya mirip. Dimulai dari keluhan para kasek. Keluhan mereka tidak ditanggapi bijaksana. Dinas masa bodoh, tetap potong sana, kebiri sini. Nah, ketika dinasnya tidak tanggap, kejarilah yang tanggap. Maka, Tadeus Juit dan Yosef Labu pun menjadi penghuni Labe.
Dalam anggapan kita, kasus DAK 2007 yang menjebloskan kadis ke Labe sudah cukup menghentakkan dinas PPO Manggarai. Selanjutnya, dinas ini pasti lebih hati-hati, jujur dan lurus, ikut aturan main. Tampaknya, anggapan kita terlampau polos. Kita lupakan satu hal: keuangan yang mahakuasa. Uang bisa bikin dinas jadi seperti keledai. Dan keledai selalu terantuk pada batu yang sama.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 22 Juli 2009
Label:
bentara,
dak 2009 bagi sekolah,
flores,
flores pos,
manggarai,
pendiddikan
20 Juli 2009
Perpas Kedaulatan Pangan
Kedaulatan Pangan, Kedaulatan Petani, Kedaulatan Negara
Oleh Frans Anggal
Keuskupan Regio Nusra membahas kedaulatan pangan dalam pertemuan pastoral (perpas) di Maumare, 20-25 Juli 2009. Fokusnya, kedaulatan pangan petani. Karena itu, tema yang dipilih: “Gereja Nusa Tenggara Peduli Petani Membangun Kedaulatan Pangan”.
Pilihan tema ini tepat. Membangun kedaulatan pangan dikaitkan dengan kepedulian pada petani. Omong kedaulatan pangan mesti omong kedaulatan petani. Kedaulatan pangan harus bertumpu pada dan didukung oleh kedaulatan petani. Tanpa kedaulatan petani, tak ada kedaulatan pangan sejati.
Kedaulatan petani hanya bisa terwujud kalau hak asasi petani diakui, dipenuhi, dan dilindungi. Hak atas kehidupan layak. Hak atas sumber-sumber agraria. Hak atas kebebasan budidaya dan tanaman. Hak atas modal dan sarana produksi pertanian. Hak atas akses informasi dan teknologi pertanian. Hak atas kebebasan menentukan harga dan pasar produksi pertanian. Hak atas perlindungan nilai-nilai budaya pertanian. Hak atas keanekaragaman hayati. Hak atas kelestarian lingkungan.
Di hadapan hak ini, negaralah pengemban kewajiban. Negara wajib mengakui, memenuhi, dan melindunginya. Namun, itu hanya mungkin kalau negara berdaulat. Sebab, kedaulatan pangan hanya bisa kalau ada kedaulatan petani. Dan kedaulatan petani hanya bisa kalau ada kedaulatan negara. Justru ini pokok soal kita. Tak adanya kedaulatan negara!
Negara kita belum mampu membebaskan diri dari rezim Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Selama ini kita mengadopsi kebijakan pangan neo-lib yang sangat pro pasar bebas (free-market). Kebijakan ini didikte IMF dan Bank Dunia. Misalnya: penghapusan/pengurangan subsidi. Penurunan tarif impor pangan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll). Pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pangan, contohnya mengubah Bulog dari lembaga pemerintah non-departemen menjadi perusahaan umum miliki pemerintah.
Kebijakan tersebut merugikan petani. Naiknya harga berbagai bahan pangan tidak membawa keuntungan bagi petani. Nilai tambah membaiknya harga bahan pangan justru dinikmati kaum pedagang. Penelitian Surono-HIVOS 2003 menunjukkan, pihak yang paling banyak mengambil keuntungan dalam rantai perdagangan beras adalah pengusaha penggilingan, pedagang besar, dan pedagang pengecer. Yang lebih memprihatinkan, sejak program raskin diluncurkan, petani adalah pihak yang paling banyak menjadi penerima tetap beras raskin.
Dalam kondisi seperti ini, kita mau bicarakan kedaultan pangan. Bagaimana mungkin ada kedaulatan pangan kalau tak ada kedaulatan petani? Bagaimana mungkin ada kedautan petani kalau tak ada kedaulatan negara? Bagaimana mungkin negara berdaulat kalau tidak mampu bebaskan diri dari IMF, Bank Dunia, dan WTO? Bagaimana mungkin negara bisa bebaskan diri kalau yang jadi presiden dan wapres tetap terhipnotis oleh paradigma neo-lib?
Ini semua benang kusut. Mudah-mudahan perpas di Maumere bisa mengurainya. Kita ingin segera mendapatkan hasilnya. Bagaimana persisnya Gereja Nusa Tenggara membangun kedaulatan pangan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 21 Juli 2009
Oleh Frans Anggal
Keuskupan Regio Nusra membahas kedaulatan pangan dalam pertemuan pastoral (perpas) di Maumare, 20-25 Juli 2009. Fokusnya, kedaulatan pangan petani. Karena itu, tema yang dipilih: “Gereja Nusa Tenggara Peduli Petani Membangun Kedaulatan Pangan”.
Pilihan tema ini tepat. Membangun kedaulatan pangan dikaitkan dengan kepedulian pada petani. Omong kedaulatan pangan mesti omong kedaulatan petani. Kedaulatan pangan harus bertumpu pada dan didukung oleh kedaulatan petani. Tanpa kedaulatan petani, tak ada kedaulatan pangan sejati.
Kedaulatan petani hanya bisa terwujud kalau hak asasi petani diakui, dipenuhi, dan dilindungi. Hak atas kehidupan layak. Hak atas sumber-sumber agraria. Hak atas kebebasan budidaya dan tanaman. Hak atas modal dan sarana produksi pertanian. Hak atas akses informasi dan teknologi pertanian. Hak atas kebebasan menentukan harga dan pasar produksi pertanian. Hak atas perlindungan nilai-nilai budaya pertanian. Hak atas keanekaragaman hayati. Hak atas kelestarian lingkungan.
Di hadapan hak ini, negaralah pengemban kewajiban. Negara wajib mengakui, memenuhi, dan melindunginya. Namun, itu hanya mungkin kalau negara berdaulat. Sebab, kedaulatan pangan hanya bisa kalau ada kedaulatan petani. Dan kedaulatan petani hanya bisa kalau ada kedaulatan negara. Justru ini pokok soal kita. Tak adanya kedaulatan negara!
Negara kita belum mampu membebaskan diri dari rezim Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Selama ini kita mengadopsi kebijakan pangan neo-lib yang sangat pro pasar bebas (free-market). Kebijakan ini didikte IMF dan Bank Dunia. Misalnya: penghapusan/pengurangan subsidi. Penurunan tarif impor pangan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll). Pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pangan, contohnya mengubah Bulog dari lembaga pemerintah non-departemen menjadi perusahaan umum miliki pemerintah.
Kebijakan tersebut merugikan petani. Naiknya harga berbagai bahan pangan tidak membawa keuntungan bagi petani. Nilai tambah membaiknya harga bahan pangan justru dinikmati kaum pedagang. Penelitian Surono-HIVOS 2003 menunjukkan, pihak yang paling banyak mengambil keuntungan dalam rantai perdagangan beras adalah pengusaha penggilingan, pedagang besar, dan pedagang pengecer. Yang lebih memprihatinkan, sejak program raskin diluncurkan, petani adalah pihak yang paling banyak menjadi penerima tetap beras raskin.
Dalam kondisi seperti ini, kita mau bicarakan kedaultan pangan. Bagaimana mungkin ada kedaulatan pangan kalau tak ada kedaulatan petani? Bagaimana mungkin ada kedautan petani kalau tak ada kedaulatan negara? Bagaimana mungkin negara berdaulat kalau tidak mampu bebaskan diri dari IMF, Bank Dunia, dan WTO? Bagaimana mungkin negara bisa bebaskan diri kalau yang jadi presiden dan wapres tetap terhipnotis oleh paradigma neo-lib?
Ini semua benang kusut. Mudah-mudahan perpas di Maumere bisa mengurainya. Kita ingin segera mendapatkan hasilnya. Bagaimana persisnya Gereja Nusa Tenggara membangun kedaulatan pangan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 21 Juli 2009
Janji Kapolres Lembata
Kasus Kematian Yoakim Langoday
Oleh Frans Anggal
Minggu 19 Juli 2009, dua bulan sudah kematian Yoakim Langoday. Ia Kabid Pengawasan, Pengolahan, dan Pemasaran Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata. Ditemukan tewas (dibunuh) di hutan bakau Pantai Lamahora.
Siapa pelakunya? Siapa otaknya? Apa motifinya? Semuanya sedang dalam lidik polisi. Kapan terungkap, tergantung dari kerja polisi. Kapolres Marthen Johannis sudah berjanji, akhir Juli tersangka pelakunya diumumkan.
Jadi, tunggu saja. Ini proses hukum. Dan, begitulah proses hukum. Karakteristiknya sering penuh dengan selubung. Di bawah selubung, bisa terjadi apa saja. Dan di tangan aparat curang, di bawah selubung itu, keadilan dan kebenaran bisa mati tercekik. Atau, dalam rumusan Profesor Charles Chaumont, “Hukum seperti ini tidak akan adil ditinjau dari segi apa yang dibenarkan dan tidak realistis karena mengabaikan apa yang sebenarnya terjadi.”
Dalam kasus kematian Langoday, gejala penuh selubung sempat terendus katika Polres Lembata masih dipimpin Geradus Bata Besu. Lidiknya begitu lamban. Keluarga tidak puas, lalu mendesak Polda NTT mengambil alih penanganan. Desakan keluarga dipenuhi. Bukan hanya mengambil alih kasus, polda malah mencopot Bata Besu. Ia diganti Marthen Johannis.
Hingga di sini, seraya menunggu sejauh mana Marthen Johannis memenuhi janjinya, langkah Polda NTT patut dipuji. Polda begitu tanggap. Juga rendah hati mengakui kelemahan jajarannya. Kelemahan seperti ini merata di mana-mana. Boleh dibilang sudah sistemik. Lihatlah, di banyak tempat, cepat atau lambat, kapolres akhirnya terkooptasi oleh kepala daerah. Ada yang begitu lemah gemulainya sampai rela menjadi anjing piaraan bupati.
Di tangan kapolres seperti ini, apa yang bisa diharapkan ketika, misalnya, sang bupati melakukan korupsi? Di tangan kapolres seperti ini, apa yang bisa diharapkan ketika, misalnya, anak bupati melakukan perbuatan melawan hukum karena merasa ‘anak bupati’ sama dengan ‘bupati anak’? Tidak ada yang bisa diharapkan! Sebab, sang kapolres bukan lagi penegak hukum, tapi budak dari kepentingan yang sudah melekat (vested interest).
Di tangan kapolres yang salah, hukum yang benar bisa jadi salah. Ini terkait dengan ciri daya paksa hukum. Oleh penghalusan moral dan nilai-nilai sosial, hukum memang mempunyai kekuatan. Namun, ciri daya paksanya tidak berasal dari dalam dirinya sendiri. Ia berasal dari tempat lain, dari kekuatan lain. Antara lain, dari polisi, jaksa, hakim, dst. Karena itu, tidak berlebihan kalau dikatakan, bagaimana hukum dan hukumannya, tergantung dari siapa dulu kapolresnya.
Selaku kapolres baru Lembata, Marthen Johannis relatif masih bersih.Belum terlilit vested interest. Belum terkooptasi kekuatan lain. Karenannya, kita boleh berharap, ia akan memenuhi janjinya. Mengumumkan tersangka pelaku, akhir Juli.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 18 Juli 2009
Oleh Frans Anggal
Minggu 19 Juli 2009, dua bulan sudah kematian Yoakim Langoday. Ia Kabid Pengawasan, Pengolahan, dan Pemasaran Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata. Ditemukan tewas (dibunuh) di hutan bakau Pantai Lamahora.
Siapa pelakunya? Siapa otaknya? Apa motifinya? Semuanya sedang dalam lidik polisi. Kapan terungkap, tergantung dari kerja polisi. Kapolres Marthen Johannis sudah berjanji, akhir Juli tersangka pelakunya diumumkan.
Jadi, tunggu saja. Ini proses hukum. Dan, begitulah proses hukum. Karakteristiknya sering penuh dengan selubung. Di bawah selubung, bisa terjadi apa saja. Dan di tangan aparat curang, di bawah selubung itu, keadilan dan kebenaran bisa mati tercekik. Atau, dalam rumusan Profesor Charles Chaumont, “Hukum seperti ini tidak akan adil ditinjau dari segi apa yang dibenarkan dan tidak realistis karena mengabaikan apa yang sebenarnya terjadi.”
Dalam kasus kematian Langoday, gejala penuh selubung sempat terendus katika Polres Lembata masih dipimpin Geradus Bata Besu. Lidiknya begitu lamban. Keluarga tidak puas, lalu mendesak Polda NTT mengambil alih penanganan. Desakan keluarga dipenuhi. Bukan hanya mengambil alih kasus, polda malah mencopot Bata Besu. Ia diganti Marthen Johannis.
Hingga di sini, seraya menunggu sejauh mana Marthen Johannis memenuhi janjinya, langkah Polda NTT patut dipuji. Polda begitu tanggap. Juga rendah hati mengakui kelemahan jajarannya. Kelemahan seperti ini merata di mana-mana. Boleh dibilang sudah sistemik. Lihatlah, di banyak tempat, cepat atau lambat, kapolres akhirnya terkooptasi oleh kepala daerah. Ada yang begitu lemah gemulainya sampai rela menjadi anjing piaraan bupati.
Di tangan kapolres seperti ini, apa yang bisa diharapkan ketika, misalnya, sang bupati melakukan korupsi? Di tangan kapolres seperti ini, apa yang bisa diharapkan ketika, misalnya, anak bupati melakukan perbuatan melawan hukum karena merasa ‘anak bupati’ sama dengan ‘bupati anak’? Tidak ada yang bisa diharapkan! Sebab, sang kapolres bukan lagi penegak hukum, tapi budak dari kepentingan yang sudah melekat (vested interest).
Di tangan kapolres yang salah, hukum yang benar bisa jadi salah. Ini terkait dengan ciri daya paksa hukum. Oleh penghalusan moral dan nilai-nilai sosial, hukum memang mempunyai kekuatan. Namun, ciri daya paksanya tidak berasal dari dalam dirinya sendiri. Ia berasal dari tempat lain, dari kekuatan lain. Antara lain, dari polisi, jaksa, hakim, dst. Karena itu, tidak berlebihan kalau dikatakan, bagaimana hukum dan hukumannya, tergantung dari siapa dulu kapolresnya.
Selaku kapolres baru Lembata, Marthen Johannis relatif masih bersih.Belum terlilit vested interest. Belum terkooptasi kekuatan lain. Karenannya, kita boleh berharap, ia akan memenuhi janjinya. Mengumumkan tersangka pelaku, akhir Juli.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 18 Juli 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kapolres lembata,
kematian yoakim langoday,
lembata
16 Juli 2009
Kampanye Pangan Lokal?
50 Tahun Ziarah Pangan NTT
Oleh Frans Anggal
Diskusi buku 50 Tahun Ziarah Pangan NTT di Kupang menarik salah satu benang merahnya begini. Masyarakat NTT masih menilai rendah pangan lokal. Padahal, nilai gizi pangan lokal cukup tinggi. Karena itu, pangan lokal perlu dikampanyekan terus-menerus.
Benang merah ini seakan menuding masyarakat. Masyarakatlah yang bodoh dalam menilai dan menghargai pangannya sendiri. Karena bodoh, mereka perlu dicerdaskan melalui pendidikan sadar pangan. Lewat kampanye terus-menerus. Lama-kelamaan mereka pintar. Maka pangan lokal jadi tuan di negeri sendiri.
Sesederhana itukah persoalan? Tentu tidak. Masalah pangan di NTT bukan hanya masalahnya NTT. Ini sudah masalah dunia. Bukan pula hanya masalah kesadaran. Ini sudah masalah ketergantungan dan ketakberdayaan akibat kapitalisme global. Mengatasinya, kampanye tidak cukup. Juga tidak dengan penataran P4 (pendidikan penghayatan dan pengamalan pangan). Perlu pilihan kebijakan dan kebijakan pilihan. memperhatikan desa dan sektor pertanian.
Tapi, apa yang dilakukan kepala daerah? Kacang lupa kulit. Mereka anak desa tapi abaikan desa. Mereka anak petani tapi terlantarkan pertanian. Supaya gampang ke desa, mereka beli mobil mewah, bukan bikin dan perbaiki jalan raya. Kantor bupati dibikin megah, irigasi pertanian dibiarkan parah. Desa dan pertanian belum dianggap penting. Padahal, situasi sudah genting.
Seperempat abad lalu, laporan Club of Rome menyebutkan, dunia sudah ditandai dua ciri mencolok. Krisis penduduk pedesaan dan kemelut bidang pertanian. Penduduk desa mengalami disintegrasi akibat kapitalisme. Selain tak dapat mengejar orbit kota, mereka semakin bergantung pada kehidupan kota. Mereka tak menemukan lagi titik pusat gaya beratnya sendiri. Tengoklah petani desa kita. Bibit, pupuk, obat-obatan, semuanya pakai beli, dari kota.
Seperti apakah mereka gerangan? Sebuah adegan film Aljazair karya Lakhdar Hamina memberikan gambaran. Dalam adegan itu, seorang nabi gila menyalami para petani di gerbang kota. Katanya, “Kalian memang miskin ... tapi bebas ..., namun sekarang kalian hanya miskin saja!“
Adegan film yang memenangkan Palm Emas festival Cannes 1975 ini menggarisbawahi sebuah keprihatinan. Bahwa, ketergantungan dan ketakberdayaan akibat penetrasi kapitalisme global telah membuat para petani kehilangan kedaulatannya. Dalam hal yang paling privat sekalipun , mereka didikte pihak luar. Makan ya harus nasi. Kalau bukan nasi, bukan makan namanya. Mereka, juga kita, telah menjadi korban penjajahan pangan.
Dengan kenyataan seperti ini, adilkah masyarakat dicap bodoh? Cukupkah semuanya diatasi hanya dengan kampanye pangan lokal? Sementara, oleh kepala daerah, desa tetap diabaikan, pertanian tetap diterlantarkan? Hmmm.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 17 Juli 2009
Oleh Frans Anggal
Diskusi buku 50 Tahun Ziarah Pangan NTT di Kupang menarik salah satu benang merahnya begini. Masyarakat NTT masih menilai rendah pangan lokal. Padahal, nilai gizi pangan lokal cukup tinggi. Karena itu, pangan lokal perlu dikampanyekan terus-menerus.
Benang merah ini seakan menuding masyarakat. Masyarakatlah yang bodoh dalam menilai dan menghargai pangannya sendiri. Karena bodoh, mereka perlu dicerdaskan melalui pendidikan sadar pangan. Lewat kampanye terus-menerus. Lama-kelamaan mereka pintar. Maka pangan lokal jadi tuan di negeri sendiri.
Sesederhana itukah persoalan? Tentu tidak. Masalah pangan di NTT bukan hanya masalahnya NTT. Ini sudah masalah dunia. Bukan pula hanya masalah kesadaran. Ini sudah masalah ketergantungan dan ketakberdayaan akibat kapitalisme global. Mengatasinya, kampanye tidak cukup. Juga tidak dengan penataran P4 (pendidikan penghayatan dan pengamalan pangan). Perlu pilihan kebijakan dan kebijakan pilihan. memperhatikan desa dan sektor pertanian.
Tapi, apa yang dilakukan kepala daerah? Kacang lupa kulit. Mereka anak desa tapi abaikan desa. Mereka anak petani tapi terlantarkan pertanian. Supaya gampang ke desa, mereka beli mobil mewah, bukan bikin dan perbaiki jalan raya. Kantor bupati dibikin megah, irigasi pertanian dibiarkan parah. Desa dan pertanian belum dianggap penting. Padahal, situasi sudah genting.
Seperempat abad lalu, laporan Club of Rome menyebutkan, dunia sudah ditandai dua ciri mencolok. Krisis penduduk pedesaan dan kemelut bidang pertanian. Penduduk desa mengalami disintegrasi akibat kapitalisme. Selain tak dapat mengejar orbit kota, mereka semakin bergantung pada kehidupan kota. Mereka tak menemukan lagi titik pusat gaya beratnya sendiri. Tengoklah petani desa kita. Bibit, pupuk, obat-obatan, semuanya pakai beli, dari kota.
Seperti apakah mereka gerangan? Sebuah adegan film Aljazair karya Lakhdar Hamina memberikan gambaran. Dalam adegan itu, seorang nabi gila menyalami para petani di gerbang kota. Katanya, “Kalian memang miskin ... tapi bebas ..., namun sekarang kalian hanya miskin saja!“
Adegan film yang memenangkan Palm Emas festival Cannes 1975 ini menggarisbawahi sebuah keprihatinan. Bahwa, ketergantungan dan ketakberdayaan akibat penetrasi kapitalisme global telah membuat para petani kehilangan kedaulatannya. Dalam hal yang paling privat sekalipun , mereka didikte pihak luar. Makan ya harus nasi. Kalau bukan nasi, bukan makan namanya. Mereka, juga kita, telah menjadi korban penjajahan pangan.
Dengan kenyataan seperti ini, adilkah masyarakat dicap bodoh? Cukupkah semuanya diatasi hanya dengan kampanye pangan lokal? Sementara, oleh kepala daerah, desa tetap diabaikan, pertanian tetap diterlantarkan? Hmmm.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 17 Juli 2009
Label:
bentara,
flores pos,
kampanye pangan lokal ntt,
ntt,
pangan ntt
15 Juli 2009
Mateus Hamsi Jadi Korban
Kasus Pencemaran Nama Baik Bupati Mabar
Oleh Frans Anggal
Ketua DPRD Mabar Mateus Hamsi divonis 6 bulan penjara oleh PN Ruteng dalam kasus pencemaran nama baik Bupati Fidelis Pranda. Sudah ditebak, akhirnya seperti ini. Seperti judul film komedi: Kejarlah Daku, Kau Kutangkap. Laporkan aku, kau kugugat. Begitulah. Laporan kasus korupsi sering berujung gugatan pencemaran nama baik. Kasus korupsinya diterlantarkan, kasus pencemaran nama baiknya diperhatikan. Si pelapor pun jadi korban.
Mateus Hamsi salah satunya. Sebelum dia, sekadar contoh di NTT, ada Rm Frans Amaneu Pr dan anggota DPRD NTT Arif Rahman. Keduanya, dalam kasus berbeda, diadukan mencemarkan nama baik Bupati Flotim Felix Fernandez setelah melaporkan dugaan korupsi sang bupati. Keduanya divonis penjara, sedangkan kasus korupsi yang mereka laporkan tidak disentuh.
Semua ini memang dimungkinkan oleh KUHP, warisan kolonial Belanda. Lucunya, di Belanda sendiri, delik pencemaran nama baik telah diubah dari apa yang ada di Indonesia. Bahkan di Timor Leste yang notabene mengadopsi KUHP kita, delik ini sudah disepak buang. Sementara kita tetap pertahankan mati-matian. Kenapa? Karena delik ini menguntungkan penguasa. Dampaknya: menyuburkan korupsi. Sebab, seperti judul film komedi itu: Kejarlah Daku, Kau Kutangkap. Laporkan aku, kau kugugat.
Polri menyadari praktik buruk ini. Tahun 2005, mabes menginstruksikan kepada jajaran kepolisian agar memprioritaskan penanganan perkara tindak pidana korupsi jika dalam waktu bersamaan ada tuduhan pencemaran nama baik.Di Mabar, instruksi ini tidak berlaku. Ini meyakinkan kita bahwa di daerah, sebaik apa pun instruksi mabes, efektivitasnya bergantung pada siapa dulu kapolresnya. Apakah ia benteng hukum atau cuma benteng penguasa.
Fenomena ini sekaligus mengukuhkan tesis tentang ciri daya paksa hukum. Bahwa, di dalam dan oleh dirinya sendiri, hukum tidak memiliki daya untuk memaksa. Ciri memaksa hukum berasal dari kekuatan ekonomi dan politik yang diekpresikan. Hukum tak bakal berdaya paksa menegakkan keadilan jika kapolres rela menjadi anjing piaraan bupati. Sebab, siapa yang beri makan, dia yang mendikte. Ada ungkapan Inggris: He who pays the piper, calls the tune. Siapa yang membayar pemain musik tiup, akan dapat mengendalikan nadanya. Seperti nada, hukum dan hukuman bisa diatur.
Patut dapat diduga, Mateus Hamsi dan para pelapor kasus korupsi menjadi korban dari fenomena seperti ini. Lihat. Hamsi melaporkan dugaan korupsi Bupati Pranda ke KPK dalam kapasitasnya sebagai ketua DPRD. Artinya, ia sedang menjalankan salah satu tupoksinya: mengontrol eksekutif. Terkait dengan pelaksanaan tugas itu, ia bikin siaran pers. Itu konteksnya. Aneh, dalam proses hukum, konteks ini ditanggalkan dan ditinggalkan. Yang dibidik cuma siaran persnya itu. Seolah-olah Hamsi jauh-jauh datang ke Jakarta hanya untuk bikin siaran pers. Ia pun dinyatakan bersalah: menista seseorang melalui surat.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 16 Juli 2009
Oleh Frans Anggal
Ketua DPRD Mabar Mateus Hamsi divonis 6 bulan penjara oleh PN Ruteng dalam kasus pencemaran nama baik Bupati Fidelis Pranda. Sudah ditebak, akhirnya seperti ini. Seperti judul film komedi: Kejarlah Daku, Kau Kutangkap. Laporkan aku, kau kugugat. Begitulah. Laporan kasus korupsi sering berujung gugatan pencemaran nama baik. Kasus korupsinya diterlantarkan, kasus pencemaran nama baiknya diperhatikan. Si pelapor pun jadi korban.
Mateus Hamsi salah satunya. Sebelum dia, sekadar contoh di NTT, ada Rm Frans Amaneu Pr dan anggota DPRD NTT Arif Rahman. Keduanya, dalam kasus berbeda, diadukan mencemarkan nama baik Bupati Flotim Felix Fernandez setelah melaporkan dugaan korupsi sang bupati. Keduanya divonis penjara, sedangkan kasus korupsi yang mereka laporkan tidak disentuh.
Semua ini memang dimungkinkan oleh KUHP, warisan kolonial Belanda. Lucunya, di Belanda sendiri, delik pencemaran nama baik telah diubah dari apa yang ada di Indonesia. Bahkan di Timor Leste yang notabene mengadopsi KUHP kita, delik ini sudah disepak buang. Sementara kita tetap pertahankan mati-matian. Kenapa? Karena delik ini menguntungkan penguasa. Dampaknya: menyuburkan korupsi. Sebab, seperti judul film komedi itu: Kejarlah Daku, Kau Kutangkap. Laporkan aku, kau kugugat.
Polri menyadari praktik buruk ini. Tahun 2005, mabes menginstruksikan kepada jajaran kepolisian agar memprioritaskan penanganan perkara tindak pidana korupsi jika dalam waktu bersamaan ada tuduhan pencemaran nama baik.Di Mabar, instruksi ini tidak berlaku. Ini meyakinkan kita bahwa di daerah, sebaik apa pun instruksi mabes, efektivitasnya bergantung pada siapa dulu kapolresnya. Apakah ia benteng hukum atau cuma benteng penguasa.
Fenomena ini sekaligus mengukuhkan tesis tentang ciri daya paksa hukum. Bahwa, di dalam dan oleh dirinya sendiri, hukum tidak memiliki daya untuk memaksa. Ciri memaksa hukum berasal dari kekuatan ekonomi dan politik yang diekpresikan. Hukum tak bakal berdaya paksa menegakkan keadilan jika kapolres rela menjadi anjing piaraan bupati. Sebab, siapa yang beri makan, dia yang mendikte. Ada ungkapan Inggris: He who pays the piper, calls the tune. Siapa yang membayar pemain musik tiup, akan dapat mengendalikan nadanya. Seperti nada, hukum dan hukuman bisa diatur.
Patut dapat diduga, Mateus Hamsi dan para pelapor kasus korupsi menjadi korban dari fenomena seperti ini. Lihat. Hamsi melaporkan dugaan korupsi Bupati Pranda ke KPK dalam kapasitasnya sebagai ketua DPRD. Artinya, ia sedang menjalankan salah satu tupoksinya: mengontrol eksekutif. Terkait dengan pelaksanaan tugas itu, ia bikin siaran pers. Itu konteksnya. Aneh, dalam proses hukum, konteks ini ditanggalkan dan ditinggalkan. Yang dibidik cuma siaran persnya itu. Seolah-olah Hamsi jauh-jauh datang ke Jakarta hanya untuk bikin siaran pers. Ia pun dinyatakan bersalah: menista seseorang melalui surat.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 16 Juli 2009
Label:
bentara,
daerah flores,
flores pos,
hukum,
kasus pencemaran nama baik bupati pranda,
mabar,
mateus hamsi
14 Juli 2009
“Cahir Gendang” Itu Aneh
Ritus Adat Peresmian Kantor Bupati Manggarai
Oleh Frans Anggal
Di tengah kesibukan acara adat peresmian kantor baru bupati Manggarai di Ruteng yang makan waktu dua pekan, muncul kontroversi. Ada yang bilang ini pemborosan. Ikut adat lurus-lurus itu makan waktu, makan biaya. Ada juga yang bilang ini politisasi budaya dan mobilisasi tokoh adat demi pilkada 2010. Bupati Chris Rotok dan Wabup Kamelus Deno ingin maju lagi, sepaket, periode kedua.
Menariknya, yang diangkat dalam rapat DPRD bukan perihal “boros” dan “politisasi”, tapi perihal salah satu ritus dalam rangkaian acara adat peresmian. Ritus cahir gendang, pisah gendang atau pisah rumah adat bagi Manggarai, Mabar, dan Matim. Ritusnya akan dilakukan 30 Juli 2009, sehari setelah acara puncak, ditandai dengan penyerahan dua batu compang (mezbah pusat kampang) kepada perwakilan adat Mabar dan Matim.
Anggota dewan Blasius Mempong khawatir. Pisah rumah adat bisa menimbulkan sengketa ulayat di daerah perbatasan. Sebab, sejak Manggarai mekar menjadi tiga daerah otonom, tanah ulayat sudah bersifat lintas kabupaten.
Itu soal dampak. Masih ada soal lain yang malah lebih hakiki. Soal dasarnya. Coba tanyakan: apa dasar pemisahan rumah adat tiga Manggarai? Tidak ada! Sebab, dari dulu tiga Manggarai tidak pernah memiliki satu rumah adat bersama di Ruteng. Kalau tidak ada, apa yang mau dipisahkan? Begitu juga mezbah bersama, tidak ada. Kalau begitu, dua batu mezbah yang mau diserahkan kepada perwakilan adat Mabar dan Matim itu dipungut dari mana? Absurd!
Karena dasarnya tidak ada maka yang dilakukan hanyalah ‘ritus seolah-olah’ dan ‘seolah-olah ritus’. Serba-artifisial. Seolah-olah ada rumah adat bersama di Ruteng bagi segenap warga masyarakat hukum adat Manggarai Raya. Setelah Manggarai Raya mekar, rumah adat yang seolah-olah ada itu pun seolah-olah mau dimekarkan melalui ritus seolah-olah cahir gendang.
Penggagas dan pendukung boleh berdalih, ini kan simbolik. Betul. Namun, simbolik sekalipun acaranya, paradigmanya haruslah benar. Justru di sini masalahnya. Ada anggapan keliru bahwa, seolah-olah, karena masyarakat hukum adat Manggarai memiliki corak teritorial genealogis dan kesatuan adat budaya yang relatif sama dan bertempat tinggal pada wilayah Manggarai Raya yang kini meliputi tiga kabupaten, maka seluruh suku bangsanya seakan-akan memiliki hanya seorang kepala adat tunggal yang berkedudukan di Ruteng.
Menyesatkan! Manggarai itu mejamuk. Memiliki banyak masyarakat hukum adat. Masing-masingnya punya otonomi luas. Masing-masingnya punya kepala adat. Tak ada kepala adat tunggal. Tak ada rumah adat tunggal. Tak ada mezbah tunggal. Apalagi kalau yang serba-tunggal itu harus berpusat di Ruteng. Karena itu, ritus pemisahan rumah adat di Ruteng bagi Mabar dan Matim sungguh aneh.
Yang aneh begini jangan dipaksakan. Kalau dipaksakan, ia tak sekadar artifisial lagi, tapi sudah manipulatif. Manipulasi adat budaya demi kepentingan politik kekuasaan dan pilkada.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 15 Juli 2009
Oleh Frans Anggal
Di tengah kesibukan acara adat peresmian kantor baru bupati Manggarai di Ruteng yang makan waktu dua pekan, muncul kontroversi. Ada yang bilang ini pemborosan. Ikut adat lurus-lurus itu makan waktu, makan biaya. Ada juga yang bilang ini politisasi budaya dan mobilisasi tokoh adat demi pilkada 2010. Bupati Chris Rotok dan Wabup Kamelus Deno ingin maju lagi, sepaket, periode kedua.
Menariknya, yang diangkat dalam rapat DPRD bukan perihal “boros” dan “politisasi”, tapi perihal salah satu ritus dalam rangkaian acara adat peresmian. Ritus cahir gendang, pisah gendang atau pisah rumah adat bagi Manggarai, Mabar, dan Matim. Ritusnya akan dilakukan 30 Juli 2009, sehari setelah acara puncak, ditandai dengan penyerahan dua batu compang (mezbah pusat kampang) kepada perwakilan adat Mabar dan Matim.
Anggota dewan Blasius Mempong khawatir. Pisah rumah adat bisa menimbulkan sengketa ulayat di daerah perbatasan. Sebab, sejak Manggarai mekar menjadi tiga daerah otonom, tanah ulayat sudah bersifat lintas kabupaten.
Itu soal dampak. Masih ada soal lain yang malah lebih hakiki. Soal dasarnya. Coba tanyakan: apa dasar pemisahan rumah adat tiga Manggarai? Tidak ada! Sebab, dari dulu tiga Manggarai tidak pernah memiliki satu rumah adat bersama di Ruteng. Kalau tidak ada, apa yang mau dipisahkan? Begitu juga mezbah bersama, tidak ada. Kalau begitu, dua batu mezbah yang mau diserahkan kepada perwakilan adat Mabar dan Matim itu dipungut dari mana? Absurd!
Karena dasarnya tidak ada maka yang dilakukan hanyalah ‘ritus seolah-olah’ dan ‘seolah-olah ritus’. Serba-artifisial. Seolah-olah ada rumah adat bersama di Ruteng bagi segenap warga masyarakat hukum adat Manggarai Raya. Setelah Manggarai Raya mekar, rumah adat yang seolah-olah ada itu pun seolah-olah mau dimekarkan melalui ritus seolah-olah cahir gendang.
Penggagas dan pendukung boleh berdalih, ini kan simbolik. Betul. Namun, simbolik sekalipun acaranya, paradigmanya haruslah benar. Justru di sini masalahnya. Ada anggapan keliru bahwa, seolah-olah, karena masyarakat hukum adat Manggarai memiliki corak teritorial genealogis dan kesatuan adat budaya yang relatif sama dan bertempat tinggal pada wilayah Manggarai Raya yang kini meliputi tiga kabupaten, maka seluruh suku bangsanya seakan-akan memiliki hanya seorang kepala adat tunggal yang berkedudukan di Ruteng.
Menyesatkan! Manggarai itu mejamuk. Memiliki banyak masyarakat hukum adat. Masing-masingnya punya otonomi luas. Masing-masingnya punya kepala adat. Tak ada kepala adat tunggal. Tak ada rumah adat tunggal. Tak ada mezbah tunggal. Apalagi kalau yang serba-tunggal itu harus berpusat di Ruteng. Karena itu, ritus pemisahan rumah adat di Ruteng bagi Mabar dan Matim sungguh aneh.
Yang aneh begini jangan dipaksakan. Kalau dipaksakan, ia tak sekadar artifisial lagi, tapi sudah manipulatif. Manipulasi adat budaya demi kepentingan politik kekuasaan dan pilkada.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 15 Juli 2009
Label:
bentara,
budaya,
cahir gendang,
flores,
flores pos,
kantor bupati manggarai,
manggarai,
pilkada manggarai 2010
Langganan:
Postingan (Atom)