Keluhan Dana Guru Pengawas UN/UAS 2011
Oleh Frans Anggal
Para guru pengawas UN di Ende keluhkan rendahnya uang transportasi. Untuk mengawas silang dalam kota empat hari, tiap guru dapat Rp120 ribu. Sedangkan guru dari desa yang mengawas di kota menerima Rp250 ribu. Jumlah ini tidak cukup, karena mereka harus inap dan urus makan minum (Flores Pos Jumat 29 April 2011).
Keluhan ini mencuat saat kunjungan DPRD Ende di MTs Negeri Ende, Rabu 24 April 2011. DPRD yang dengar langsung keluhan ini langsung bereaksi pula.
Wakil Ketua Fransiskus Taso katakan, seharusnya hal seperti ini disampaikan kepada pemerintah, dinas PPO. Sebab, dinas yang lebih tahu penghitungan dan dasar penentuan anggaran yang diusulkan ke dewan untuk dibahas dan ditetapkan.
Jawaban ini tidak tepat. Benar, dinas lebih tahu penghitungan dan dasar penentuan anggaran yang diusulkan ke dewan. Namun, tidak berarti dewan boleh kurang tahu atau tidak tahu tentangnya. Usulan dinas dibahas oleh dewan. Pembahasan mengharuskan dewan mempelajari dan memahami apa yang diusulkan. Atas dasar pemahaman itulah dewan memutuskan menerima atau menolak.
Jadi, tidak benar pemosisian diri dewan sebagai pihak yang kurang tahu, di hadapan eksekutif yang diposisikan lebih tahu, tentang sesuatu yang sudah mereka bahas bersama. Semestinya sama-sama tahu. Bahkan, seharusnya dewan lebih tahu. Sebab dengan itu, ia bisa mengontrol eksekutif.
Selaku pengontrol, dewan harus tahu pelaksanaan penggunaan anggaran oleh eksekutif. Dalam konteks fungsi kontrol inilah DPRD Ende melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah yang selenggarakan UN. Dan pada saat itulah guru pengawas UN mengeluhkan uang transportasi yang terlalu kecil. Ini keluhan yang tepat. Tepat sasarannya, tepat waktunya, tepat tempatnya.
Sayang, terhadap keluhan yang sudah tepat ini, tanggapan Wakil Ketua DPRD justru tidak tepat. Dia bilang, seharusnya keluhan seperti ini disampaikan kepada pemerintah, dinas PPO. Pertanyaan kita: apakah salah alamat keluhan itu disampaikan kepada DPRD? Bukanah DPRD hadir di tempat itu, pada waktu itu, dalam rangka menjalankan fungsi kontrol, menjaring aspirasi, dan mendengarkan keluh kesah para pemangku kepentingan?
Selain menanggap tidak tepat, pernyataan Wakil Ketua DPRD juga bernada tidak sedap. Dia bilang, selama ini DPRD selalu dikambinghitamkan sebagai pihak yang mencoret dan mengurangi anggaran. Padahal, katanya, dewan dalam fungsi budget-nya hanya bertugas membahas dan menetapkan anggaran yang diusulkan pemerintah.
Pertanyaan kita: dengan "hanya" bertugas membahas dan menetapkan anggaran yang diusulkan pemerintah, apakah DPRD Ende tidak melakukan pencoretan atau pemangkasan anggaran? Nada pernyataan Wakil Ketua DPRD terkesan seolah-olah begitu. Sehingga, terkesan pula, semuanya salah eksekutif. Siapa suruh eksekutif usulkan anggaran pelaksanaan UN/UAS terlalu sedikit. Akibatnya, itu tadi, dana transportasi pengawas UN sangat rendah.
Benarkah semua ini salah eksekutif? Kadis PPO Yeremias Bore menjelaskan, dalam pembahasan anggaran 2011, dinasnya usulkan alokasi anggaran pelaksanaan UN/UAS sebesar Rp1,5 miliar. Setelah dibahas di dewan, anggarannya menjadi Rp1 miliar.
Artinya apa? DPRD yang pangkas! Pangkas sepetiganya memang. Maka, anggaran pelaksanaan UN/UAS berkurang. Dan sekarang DPRD lemparkan tanggung jawab ke dinas PPO? Mau cuci tangan?
"Bentara” FLORES POS, Sabtu 30 April 2011
30 April 2011
DPRD Ende Cuci Tangan?
Label:
bentara,
dana trans[portasi pengawas un/uas,
dinas ppo ende,
dprd ende,
ende,
flores,
flores pos,
kadis p[po ende yeremias bore,
pendidikan,
politik,
un/uas 2011
29 April 2011
Yang Benarlah Polres Manggarai!
Kasus Tambang Mangan di Serise
Oleh Frans Anggal
Siprianus Amon, tua teno Serise, ditetapkan menjadi tersangka, atas laporan perusahaan tambang mangan PT Arumbai Mangabekti. Amon dkk dilaporkan menghalang-halangi kegiatan Arumbai di Serise, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur. "Perusahaan memiliki perizinan yang sah," kata Kasat Reskrim Polres Manggarai, Trianus Ouwpoly (Flores Pos Kamis 28 April 2011).
Sementara itu, dari pihak Arumbai belum satu pun tersangaka yang ditetapkan. Oleh masyarat adat Serise, Arumbai dilaporan melakukan penyerobotan Lingko Rengge Komba milik mereka. Laporan ini sedang ditindaklanjuti, kata Kasat Reskrim Trianus Ouwpoly. Tersangka dari pihak Arumbai belum bisa ditetapkan karena Serise belum menunjukkan bukti-bukti hukum kepemilikannya atas Rengge Komba.
Ini kasus saling lapor. Yang pertama melapor ke polres adalah pihak Serise, 23 November 2010. Langkah ini mereka tempuh setelah berkali-kali melakukan protes langsung ke Arumbai. Rengge Komba yang ditambang Arumbai adalah milik Serise yang tidak pernah diserahkan untuk ditambang. Karena itu, penambangan Arumbai merupakan tindak penyerobotan.
Laporan ini tidak ditindaklanjuti polres. Demikian pula dengan pengaduan Serises ke pemkab Manggarai Timur. Karena itulah, akhir November 2010, mereka menempuh cara mereka sendiri menghentikan penambangan. Mereka menduduki dan memagari lokasi tambang di Rengge Komba. Setelah dua pekan, aksi ini dibubarkan polisi.
Pendudukan dan pemagaran inilah yang dilaporkan Arumbai sebagai perbuatan menghalang-halangi kegiatan perusahaan. Laporan yang datangnya kemudian inilah yang justru lebih cepat ditindaklanjuti polres. Alasan: laporan Arumbai disertai bukti-bukti hukum tentang keabsahan penambangan. Sedangkan laporan Serise tidak disertai bukti-bukti hukum tentang kepemilikan atas Rengge Komba.
Rengge Komba itu lingko. Yakni lahan pertanian dan perkebunan bulat melingkar, di dalamnya para anggota persekutuan adat (gendang) membuka dan mengerjakan kebun menurut bagian masing-masing. Kalau ada lingko berarti ada gendang. Demikian pula sebaliknya. Singkatnya, lingko itu tanah ulayat.
Tentang tanah ulayat inilah, Polres Manggarai menuntut bukti-bukti hukum kepemilikan. Serise harus tunjukkan bukti hukum bahwa Rengge Komba tanah ulayatnya. Bukti apa? Bukti tertulis? Kemungkinan besar tidak ada. Kebanyakan tanah ulayat di Indonesia tidak didaftarkan. Dengan demikian, sebagian besar tanah ulayat tidak punya “bukti” kepemilikan.
Pada titik inilah cara wawas Polres Manggarai tak boleh menyempit. Jangan hanya memelototi hukum positif. Bukalah mata terhadap hukum adat, yang pada prinsipnya diakui keberadaannya oleh hukum tanah nasional Indonesia. Pengakuan itu tercantum dalam UU Pokok Agraria No. 5/1960, UU No 39/1999 tentang HAM, dan UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Khusus tentang hak ulayat, pasal 3 UUPA No. 5/1960 menyatakan, hak ulayat hanya diberikan jika pada kenyataannya masyarakat adat itu masih ada.
Masyarakat adat Serise faktual masih ada. Siprianus Amon si tersangka itu adalah tua teno-nya, semacam kepala agraria dalam sistem pemerintahan lokal. Bukti kepemilikan tanah pada masyarakat adat ini bukan kertas, tapi kuburan, tanaman, testimoni, dll.
Testimoni para tetua adat sudah disampaikan dalam pertemuan di mapolres. Isinya: Rengge Komba milik Serise. Nah, tunggu apa lagi? Tunggu bukti berupa kertas? Yang benarlah Polres Manggarai!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 29 April 2011
Oleh Frans Anggal
Siprianus Amon, tua teno Serise, ditetapkan menjadi tersangka, atas laporan perusahaan tambang mangan PT Arumbai Mangabekti. Amon dkk dilaporkan menghalang-halangi kegiatan Arumbai di Serise, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur. "Perusahaan memiliki perizinan yang sah," kata Kasat Reskrim Polres Manggarai, Trianus Ouwpoly (Flores Pos Kamis 28 April 2011).
Sementara itu, dari pihak Arumbai belum satu pun tersangaka yang ditetapkan. Oleh masyarat adat Serise, Arumbai dilaporan melakukan penyerobotan Lingko Rengge Komba milik mereka. Laporan ini sedang ditindaklanjuti, kata Kasat Reskrim Trianus Ouwpoly. Tersangka dari pihak Arumbai belum bisa ditetapkan karena Serise belum menunjukkan bukti-bukti hukum kepemilikannya atas Rengge Komba.
Ini kasus saling lapor. Yang pertama melapor ke polres adalah pihak Serise, 23 November 2010. Langkah ini mereka tempuh setelah berkali-kali melakukan protes langsung ke Arumbai. Rengge Komba yang ditambang Arumbai adalah milik Serise yang tidak pernah diserahkan untuk ditambang. Karena itu, penambangan Arumbai merupakan tindak penyerobotan.
Laporan ini tidak ditindaklanjuti polres. Demikian pula dengan pengaduan Serises ke pemkab Manggarai Timur. Karena itulah, akhir November 2010, mereka menempuh cara mereka sendiri menghentikan penambangan. Mereka menduduki dan memagari lokasi tambang di Rengge Komba. Setelah dua pekan, aksi ini dibubarkan polisi.
Pendudukan dan pemagaran inilah yang dilaporkan Arumbai sebagai perbuatan menghalang-halangi kegiatan perusahaan. Laporan yang datangnya kemudian inilah yang justru lebih cepat ditindaklanjuti polres. Alasan: laporan Arumbai disertai bukti-bukti hukum tentang keabsahan penambangan. Sedangkan laporan Serise tidak disertai bukti-bukti hukum tentang kepemilikan atas Rengge Komba.
Rengge Komba itu lingko. Yakni lahan pertanian dan perkebunan bulat melingkar, di dalamnya para anggota persekutuan adat (gendang) membuka dan mengerjakan kebun menurut bagian masing-masing. Kalau ada lingko berarti ada gendang. Demikian pula sebaliknya. Singkatnya, lingko itu tanah ulayat.
Tentang tanah ulayat inilah, Polres Manggarai menuntut bukti-bukti hukum kepemilikan. Serise harus tunjukkan bukti hukum bahwa Rengge Komba tanah ulayatnya. Bukti apa? Bukti tertulis? Kemungkinan besar tidak ada. Kebanyakan tanah ulayat di Indonesia tidak didaftarkan. Dengan demikian, sebagian besar tanah ulayat tidak punya “bukti” kepemilikan.
Pada titik inilah cara wawas Polres Manggarai tak boleh menyempit. Jangan hanya memelototi hukum positif. Bukalah mata terhadap hukum adat, yang pada prinsipnya diakui keberadaannya oleh hukum tanah nasional Indonesia. Pengakuan itu tercantum dalam UU Pokok Agraria No. 5/1960, UU No 39/1999 tentang HAM, dan UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Khusus tentang hak ulayat, pasal 3 UUPA No. 5/1960 menyatakan, hak ulayat hanya diberikan jika pada kenyataannya masyarakat adat itu masih ada.
Masyarakat adat Serise faktual masih ada. Siprianus Amon si tersangka itu adalah tua teno-nya, semacam kepala agraria dalam sistem pemerintahan lokal. Bukti kepemilikan tanah pada masyarakat adat ini bukan kertas, tapi kuburan, tanaman, testimoni, dll.
Testimoni para tetua adat sudah disampaikan dalam pertemuan di mapolres. Isinya: Rengge Komba milik Serise. Nah, tunggu apa lagi? Tunggu bukti berupa kertas? Yang benarlah Polres Manggarai!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 29 April 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
lingko rengge komba,
manggari timur,
perkara,
pertambangan,
polres manggarai,
serise,
sipri amon,
tua teno
Mogok di RSUD Ende
Kenapa Tidak Tempuh Cara Lain?
Oleh Frans Anggal
Lebih kurang dua jam para perawat di RSUD Ende mogok kerja. Mereka menuntut pembayaran tambahan penghasilan yang tunggak empat bulan. Mereka juga minta kenaikan tambahan penghasilan. Aksi ini nyaris melumpuhkan pelayanan RSUD. Pelayanan poliklinik hanya dilakukan dokter dan sejumlah PNS non-perawat. Setelah berdilaog dengan Direktris RSUD Yayik Prawitra Gati, mereka paham dan siap bekeja seperti biasa (Flores Pos Rabu 27 A[ril 2011).
Dalam catatan Flores Pos, ini kejadian kedua yang menimpa RSUD di Flores-Lembata dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya, Januari 2008, mogok kerja menimpa RSUD Lewoleba. Pelakunya personel paramedis dan nonmedis. Mereka menuntut, dana jasa pelayanan sembilan bulan segera dibayar. Aksi mereka menyebabkan pasien benar-benar terlantar.
Akhir kisahnya sama. Setelah berdialog dengan atasan, mereka paham lalu kembali bekerja seperti biasa. Berbeda dengan yang terjadi di RSUD Ende, mogok di RSUD Lewoleba melibatkan semua karyawan. Pelayanan lumpuh total. "Pasien menunggu terlalu lama. Kalau mau urus kewajiban, atur yang baik, jangan begini caranya, menelantarkan pasien", kata seorang keluarga pasien.
Pembandingan ini tidak hendak menyatakan mogok di RSUD Ende lebih baik. Kedua aksi itu sama-sama buruk dan salah. Buruk, karena melanggar etika, yakni Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (Koderasi). Salah, karena melanggar hukum, yakni UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Koderasi mengharuskan rumah sakit mengindahkan hak-hak asasi pasien. Antara lain, hak atas pelayanan kesehatan yang optimal. Mogok yang potensial dan aktual menyebabkan pasien terlantar jelas melanggar kode etik yang mengamanatkan pemberian pelayanan kesehatan optimal.
Di seberang lain, UU tentang Kesehatan dan Rumah Sakit telah mengatur hak-hak pasien. Kedua UU ini mengamanatkan, tiap orang berhak mendapatkan kesehatan optimal. Bagaimana mungkin itu didapat kalau mereka terlantar akibat sebuah aksi mogok di rumah sakit?
Dengan spirit yang sama, UU Perlindungan Konsumen menegaskan masyarakat konsumen, dalam hal ini pasien, berhak atas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan dalam pelayanan jasa yang diterimanya. Keselamatan, keamanan, dan kenyamanan itu hak. Maka, boleh diklaim. Bahkan wajib diklaim, agar pasien terlindungi dari kemungkinan pelayanan kesehatan yang tidak bertanggung jawab, antara lain penelantaran.
Atas pijakan etika dan hukum ini, kita mendukung pernyataan Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kabupaten Ende, Hendrikus Mbira. Aksi mogok yang dilakukan perawat di RSUD Ende seharusnya tidak terjadi. Upaya menuntut hak hendaknya tidak sampai menelantarkan pelayanan pasien.
Atau, secara lain, diungkapkan Direktur RSUD Lewoleba Dokter Maryono, tahun 2008. "Lain kali jangan begini lagi. Utus saja beberapa orang datang untuk sampaikan. Jangan semua. Kasihan pasien harus menunggu."
Pada mogok di RSUD Ende, sejauh diberitakan Flores Pos, Direktris Yayik Prawitra Gati tidak menyampaikan opininya tentang tingkah laku para bawahan. Ia tidak menyatakan penilaiannya. Namun, sebagai pemimpin (kepala rumah sakit) dan dokter (profesi pelindung manusia), ia pasti prihatin. Dan kita yakin, keprihatinan itulah yang mendorongnya membangun komunikasi sukses. Sehingga, mogok hanya dua jam. Dan tidak sampai melumpuhkan pelayanan.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 28 April 2011
Oleh Frans Anggal
Lebih kurang dua jam para perawat di RSUD Ende mogok kerja. Mereka menuntut pembayaran tambahan penghasilan yang tunggak empat bulan. Mereka juga minta kenaikan tambahan penghasilan. Aksi ini nyaris melumpuhkan pelayanan RSUD. Pelayanan poliklinik hanya dilakukan dokter dan sejumlah PNS non-perawat. Setelah berdilaog dengan Direktris RSUD Yayik Prawitra Gati, mereka paham dan siap bekeja seperti biasa (Flores Pos Rabu 27 A[ril 2011).
Dalam catatan Flores Pos, ini kejadian kedua yang menimpa RSUD di Flores-Lembata dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya, Januari 2008, mogok kerja menimpa RSUD Lewoleba. Pelakunya personel paramedis dan nonmedis. Mereka menuntut, dana jasa pelayanan sembilan bulan segera dibayar. Aksi mereka menyebabkan pasien benar-benar terlantar.
Akhir kisahnya sama. Setelah berdialog dengan atasan, mereka paham lalu kembali bekerja seperti biasa. Berbeda dengan yang terjadi di RSUD Ende, mogok di RSUD Lewoleba melibatkan semua karyawan. Pelayanan lumpuh total. "Pasien menunggu terlalu lama. Kalau mau urus kewajiban, atur yang baik, jangan begini caranya, menelantarkan pasien", kata seorang keluarga pasien.
Pembandingan ini tidak hendak menyatakan mogok di RSUD Ende lebih baik. Kedua aksi itu sama-sama buruk dan salah. Buruk, karena melanggar etika, yakni Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (Koderasi). Salah, karena melanggar hukum, yakni UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Koderasi mengharuskan rumah sakit mengindahkan hak-hak asasi pasien. Antara lain, hak atas pelayanan kesehatan yang optimal. Mogok yang potensial dan aktual menyebabkan pasien terlantar jelas melanggar kode etik yang mengamanatkan pemberian pelayanan kesehatan optimal.
Di seberang lain, UU tentang Kesehatan dan Rumah Sakit telah mengatur hak-hak pasien. Kedua UU ini mengamanatkan, tiap orang berhak mendapatkan kesehatan optimal. Bagaimana mungkin itu didapat kalau mereka terlantar akibat sebuah aksi mogok di rumah sakit?
Dengan spirit yang sama, UU Perlindungan Konsumen menegaskan masyarakat konsumen, dalam hal ini pasien, berhak atas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan dalam pelayanan jasa yang diterimanya. Keselamatan, keamanan, dan kenyamanan itu hak. Maka, boleh diklaim. Bahkan wajib diklaim, agar pasien terlindungi dari kemungkinan pelayanan kesehatan yang tidak bertanggung jawab, antara lain penelantaran.
Atas pijakan etika dan hukum ini, kita mendukung pernyataan Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kabupaten Ende, Hendrikus Mbira. Aksi mogok yang dilakukan perawat di RSUD Ende seharusnya tidak terjadi. Upaya menuntut hak hendaknya tidak sampai menelantarkan pelayanan pasien.
Atau, secara lain, diungkapkan Direktur RSUD Lewoleba Dokter Maryono, tahun 2008. "Lain kali jangan begini lagi. Utus saja beberapa orang datang untuk sampaikan. Jangan semua. Kasihan pasien harus menunggu."
Pada mogok di RSUD Ende, sejauh diberitakan Flores Pos, Direktris Yayik Prawitra Gati tidak menyampaikan opininya tentang tingkah laku para bawahan. Ia tidak menyatakan penilaiannya. Namun, sebagai pemimpin (kepala rumah sakit) dan dokter (profesi pelindung manusia), ia pasti prihatin. Dan kita yakin, keprihatinan itulah yang mendorongnya membangun komunikasi sukses. Sehingga, mogok hanya dua jam. Dan tidak sampai melumpuhkan pelayanan.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 28 April 2011
Label:
bentara,
direkties rsud ende yayik prawitra gati,
flores,
flores pos,
koderasi,
mogok,
rsud ende,
uu kesehatan,
uu rumah sakit
Drama di DPRD Mabar
Surat Rekomendasi Dukung Tambang(?)
Oleh Frans Anggal
Sidang DPRD Manggarai Barat, Senin 18 April 2011, kisruh. Berawal dari rumor: pimpinan dewan telah buat rekomendasi dukung tambang. Padahal DPRD belum bersepakat untuk dukung atau tolak. Ketua DPRD Matheus Hamsi yang pimpin rapat tidak bersedia berikan klarifikasi, meski didesak anggota. Soal tambang akan dibahas kemudian, katanya. Sidang pun diskors dan akhirnya ditunda (Flores Pos Selasa 26 April 2011).
Sidang itu beragenda pembahasan jadwal dan agenda sidang DPRD Mabar masa sidang II tahun sidang 2011. Atas dasar agenda itu, Ketua DPRD Matheus Hamsi mengelak memberikan klarifikasi.
Ia benar. Sidang hari itu hanya omong tentang jadwal dan agenda sidang, bukan omong tentang tambang. Omong tambang, ada waktunya. Termasuk, soal ada tidaknya, benar tidaknya, sah tidaknya rekomendasi dukung tambang yang konon telah dibuat pimpinan dewan. Kapan ini dibahas? Itulah yang antara lain hendak disepakati dalam sidang hari itu. Sayang, sidang akhirnya ditunda.
Dengan penundaan itu, buyarlah semuanya. Sidang tidak hasilkan apa pun. Yang sudah diagendakan akhirnya gagal dibicarakan. Yang muncul tiba-tiba melalui interupsi juga tidak terverifikasi.
Seandainya Mateus Hamsi bersedia memberikan klarifikasi, sidang hari itu masih ada gunanya, meskipun melenceng dari agenda utama. Klarifikasi penting agar para wakil rakyat tidak berkanjang dalam rumor, tidak mengonsumsi rumor, dan tidak mengambil keputusan berdasarkan rumor. Karena itu, desakan agar Mateus Hamsi segera berikan klarifikasi tidak hanya rasional, tapi juga urgen.
Namun, Mateus Hamsi bergeming. Ia tidak bersedia memberikan klarifikasi. Ia mengikatkan diri sedemikian kuatnya pada agenda sidang yang sudah ditetapkan, sehingga hal lain yang tak teragendakan tidak ia ladeni, meskipun itu sangat penting dan urgen untuk segera disikapi. Sidang diperlakukannya penuh rigiditas, kekakuan. Jauh dari fleksibilitas, kelenturan.
Seandainya bom meledak di DPRD saat itu, mungkin Mateus Hamsi tetap bergeming dengan agenda sidangnya. Ledakan bom tidak akan dibahas. Pembahasannya, tunggu nanti, pada sidang berikut. Itu pun kalau sudah diagendakan. Kalau belum, ya, jangan harap. Ia cenderung memilih menunda sidang daripada bersidang dengan agenda dadakan.
Kita menghargai rigiditas itu. Mungkin itu salah satu wujud disiplin bersidang. Peserta harus tertib agenda, selain tertib waktu dan tertib tingkah laku. Namun, pada kasus di atas, persoalannya bukan itu. Rumor rekomendasi dukung tambang merupakan sebuah "interupsi" mengawali sidang, bukan sebuah "instruksi" menggantikan agenda sidang.
Karena itu, penolakan Mateus Hamsi memberikan klarifikasi dengan alasan taat agenda sidang tidaklah cukup berdasar. Patut dapat diduga, taat agenda sidang hanyalah dalih. Besar kemungkinan, rekomendasi dukung tambang benar ada, telah dibuat pimpinan dewan, secara diam-diam. Cara seperti ini jelas salah.
Mungkin karena menyadari kesalahan itulah, Mateus Hamsi kelabakan ketika interupsi tiba-tiba muncul. Ia tidak punya pilihan selain menghindar memberikan klarifikasi, termasuk sekadar untuk mengatakan ya atau tidak. Dalihnya: materi interupsi tidak sesuai dengan agenda sidang. Aha! Sebuah drama yang tidak lucu. Kedoknya langsung kelihatan. Drama konyol di DPRD Mabar.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 27 April 2011
Oleh Frans Anggal
Sidang DPRD Manggarai Barat, Senin 18 April 2011, kisruh. Berawal dari rumor: pimpinan dewan telah buat rekomendasi dukung tambang. Padahal DPRD belum bersepakat untuk dukung atau tolak. Ketua DPRD Matheus Hamsi yang pimpin rapat tidak bersedia berikan klarifikasi, meski didesak anggota. Soal tambang akan dibahas kemudian, katanya. Sidang pun diskors dan akhirnya ditunda (Flores Pos Selasa 26 April 2011).
Sidang itu beragenda pembahasan jadwal dan agenda sidang DPRD Mabar masa sidang II tahun sidang 2011. Atas dasar agenda itu, Ketua DPRD Matheus Hamsi mengelak memberikan klarifikasi.
Ia benar. Sidang hari itu hanya omong tentang jadwal dan agenda sidang, bukan omong tentang tambang. Omong tambang, ada waktunya. Termasuk, soal ada tidaknya, benar tidaknya, sah tidaknya rekomendasi dukung tambang yang konon telah dibuat pimpinan dewan. Kapan ini dibahas? Itulah yang antara lain hendak disepakati dalam sidang hari itu. Sayang, sidang akhirnya ditunda.
Dengan penundaan itu, buyarlah semuanya. Sidang tidak hasilkan apa pun. Yang sudah diagendakan akhirnya gagal dibicarakan. Yang muncul tiba-tiba melalui interupsi juga tidak terverifikasi.
Seandainya Mateus Hamsi bersedia memberikan klarifikasi, sidang hari itu masih ada gunanya, meskipun melenceng dari agenda utama. Klarifikasi penting agar para wakil rakyat tidak berkanjang dalam rumor, tidak mengonsumsi rumor, dan tidak mengambil keputusan berdasarkan rumor. Karena itu, desakan agar Mateus Hamsi segera berikan klarifikasi tidak hanya rasional, tapi juga urgen.
Namun, Mateus Hamsi bergeming. Ia tidak bersedia memberikan klarifikasi. Ia mengikatkan diri sedemikian kuatnya pada agenda sidang yang sudah ditetapkan, sehingga hal lain yang tak teragendakan tidak ia ladeni, meskipun itu sangat penting dan urgen untuk segera disikapi. Sidang diperlakukannya penuh rigiditas, kekakuan. Jauh dari fleksibilitas, kelenturan.
Seandainya bom meledak di DPRD saat itu, mungkin Mateus Hamsi tetap bergeming dengan agenda sidangnya. Ledakan bom tidak akan dibahas. Pembahasannya, tunggu nanti, pada sidang berikut. Itu pun kalau sudah diagendakan. Kalau belum, ya, jangan harap. Ia cenderung memilih menunda sidang daripada bersidang dengan agenda dadakan.
Kita menghargai rigiditas itu. Mungkin itu salah satu wujud disiplin bersidang. Peserta harus tertib agenda, selain tertib waktu dan tertib tingkah laku. Namun, pada kasus di atas, persoalannya bukan itu. Rumor rekomendasi dukung tambang merupakan sebuah "interupsi" mengawali sidang, bukan sebuah "instruksi" menggantikan agenda sidang.
Karena itu, penolakan Mateus Hamsi memberikan klarifikasi dengan alasan taat agenda sidang tidaklah cukup berdasar. Patut dapat diduga, taat agenda sidang hanyalah dalih. Besar kemungkinan, rekomendasi dukung tambang benar ada, telah dibuat pimpinan dewan, secara diam-diam. Cara seperti ini jelas salah.
Mungkin karena menyadari kesalahan itulah, Mateus Hamsi kelabakan ketika interupsi tiba-tiba muncul. Ia tidak punya pilihan selain menghindar memberikan klarifikasi, termasuk sekadar untuk mengatakan ya atau tidak. Dalihnya: materi interupsi tidak sesuai dengan agenda sidang. Aha! Sebuah drama yang tidak lucu. Kedoknya langsung kelihatan. Drama konyol di DPRD Mabar.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 27 April 2011
Label:
bentara,
drprd mabar,
flores,
flores pos,
mabar,
politik,
rekomendasi dukung tambang
26 April 2011
Paska Telah Lewat
Ini Negara Demokrasi atau Negara Moral?
Oleh Frans Anggal
Perayaan Paska 2011 telah lewat. Suasana "tertentu" ikut berlalu. Seperti dilansir media nasional, perayaan Paska di Jakarta, 23-24 April 2011, diwarnai siaga satu. Penjagaan ketat oleh aparat keamanan. Indonesia kembali dihantui teror.
Pekan sebelumnya, Senin 14 April, gereja Katolik di Taluk Kuantang, ibu kota Kabupaten Kuatan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau, dibakar massa, usai rapat pleno KPUD. Peristiwa ini mengesankan, terhadap minoritas, teror di negeri ini tidak hanya bisa muncul kapan saja dan di mana saja. Tapi juga bisa muncul karena alasan apa saja.
Dalam masalah izin mendirikan bangunan (IMB), gereja bisa dibakar: kasus di Kecamatan Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, Januari 2010. Dalam masalah vonis di pengadilan, gereja bisa dibakar: kasus di Temanggung, Jawa Tengah, Februari 2011. Dalam masalah penetapan pemenang pemiluada di KPUD, gereja bisa dibakar: kasus di Taluk Kuantang, April 2011.
Yang menarik, ketika peristiwa terjadi, para elite selalu tidak mengakuinya sebagai peristiwa SARA. Faktor agama sebagai sumber konflik sosial selalu ditutup-tutupi. Padahal, semuanya itu kasat mata.
Tentang kasus di Taluk Kuantang, misalnya, Gubernur Riau Rusli Zainal mengataan, pembakaran gereja dalam peristiwa ini bukan karena SARA. Pertanyaan kita: kalau bukan karena faktor SARA, mengapa massa harus membakar gereja?
Terhadap pertanyaan seperti ini, bisa muncul jawaban "klise". Yakni bahwa: agama hanyalah alat yang dipakai oleh para elite politik dan elite agama untuk mempertahankan status quo serta memperjuangkan kepentingan politik dan ekonomi mereka. Simbol-simbol agama dieksploitasi untuk membakar semangat destruktif umat, yang bermuara pada konflik horizontal bernuansa SARA.
Jawaban ini cenderung mengabaikan kenyataan yang justru semakin telanjang di negeri ini. Yakni bahwa agama, dengan keyakinan dan warisan pemahaman teologis tertentu, juga menjadi sumber utama kekerasan sosial. Bahkan, keyakinan dan warisan pemahaman teologis tertentu itu menyuburkan teologi politik diskriminatif.
Pro-kontra UU Sidiknas dan UU Pornografi, misalnya, merupakan cetusan alam bawah sadar kolektif seperti ini. Alam bawah sadar yang masih sangat kuat dan mungkin semakin kuat menganut teologi politik diskriminatif. Salah satu ciri utamanya adalah fobia pada umat beragama lain. Si yang lain (the other) dipandang sebagai ancaman, bukan pemerkaya dan peneguh eksitensi diri. Apalagi sebagai pewahyuan wajah Sang Yang Lain (The Other).
Karena dipandang sebagai ancaman, maka si yang lain harus ditiadakan. Karena hanya boleh ada satu ada, maka ada yang lain tidak boleh ada. Teologi politik seperti ini, di satu sisi melawan kemanusiaan, di sisi lain mengerdilkan kebesaran Tuhan. Seolah-olah Yang Mahabesar itu buta warna dan hanya mengenal satu warna atas khalik ciptaan-Nya.
Atmosfer seperti ini sangat terasa akhir-akhir ini. Maka, tidak mengherankan, di negeri ini umat lebih penting ketimbang warga negara. Mayoritarianisme lebih penting ketimbang kedaulatan rakyat. Pendidikan akhlak lebih penting ketimbang pendidikan akal sehat. Kesantunan lebih penting ketimbang kritisisme. Dan kita pun menjadi bingung: Indonesia ini negara demokrasi ataukah (sudah menjadi) negara moral.
Paska telah lewat. Kebingungan belum berakhir. Suasana "tertentu" itu mungkin akan datang lagi.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 26 April 2011
Oleh Frans Anggal
Perayaan Paska 2011 telah lewat. Suasana "tertentu" ikut berlalu. Seperti dilansir media nasional, perayaan Paska di Jakarta, 23-24 April 2011, diwarnai siaga satu. Penjagaan ketat oleh aparat keamanan. Indonesia kembali dihantui teror.
Pekan sebelumnya, Senin 14 April, gereja Katolik di Taluk Kuantang, ibu kota Kabupaten Kuatan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau, dibakar massa, usai rapat pleno KPUD. Peristiwa ini mengesankan, terhadap minoritas, teror di negeri ini tidak hanya bisa muncul kapan saja dan di mana saja. Tapi juga bisa muncul karena alasan apa saja.
Dalam masalah izin mendirikan bangunan (IMB), gereja bisa dibakar: kasus di Kecamatan Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, Januari 2010. Dalam masalah vonis di pengadilan, gereja bisa dibakar: kasus di Temanggung, Jawa Tengah, Februari 2011. Dalam masalah penetapan pemenang pemiluada di KPUD, gereja bisa dibakar: kasus di Taluk Kuantang, April 2011.
Yang menarik, ketika peristiwa terjadi, para elite selalu tidak mengakuinya sebagai peristiwa SARA. Faktor agama sebagai sumber konflik sosial selalu ditutup-tutupi. Padahal, semuanya itu kasat mata.
Tentang kasus di Taluk Kuantang, misalnya, Gubernur Riau Rusli Zainal mengataan, pembakaran gereja dalam peristiwa ini bukan karena SARA. Pertanyaan kita: kalau bukan karena faktor SARA, mengapa massa harus membakar gereja?
Terhadap pertanyaan seperti ini, bisa muncul jawaban "klise". Yakni bahwa: agama hanyalah alat yang dipakai oleh para elite politik dan elite agama untuk mempertahankan status quo serta memperjuangkan kepentingan politik dan ekonomi mereka. Simbol-simbol agama dieksploitasi untuk membakar semangat destruktif umat, yang bermuara pada konflik horizontal bernuansa SARA.
Jawaban ini cenderung mengabaikan kenyataan yang justru semakin telanjang di negeri ini. Yakni bahwa agama, dengan keyakinan dan warisan pemahaman teologis tertentu, juga menjadi sumber utama kekerasan sosial. Bahkan, keyakinan dan warisan pemahaman teologis tertentu itu menyuburkan teologi politik diskriminatif.
Pro-kontra UU Sidiknas dan UU Pornografi, misalnya, merupakan cetusan alam bawah sadar kolektif seperti ini. Alam bawah sadar yang masih sangat kuat dan mungkin semakin kuat menganut teologi politik diskriminatif. Salah satu ciri utamanya adalah fobia pada umat beragama lain. Si yang lain (the other) dipandang sebagai ancaman, bukan pemerkaya dan peneguh eksitensi diri. Apalagi sebagai pewahyuan wajah Sang Yang Lain (The Other).
Karena dipandang sebagai ancaman, maka si yang lain harus ditiadakan. Karena hanya boleh ada satu ada, maka ada yang lain tidak boleh ada. Teologi politik seperti ini, di satu sisi melawan kemanusiaan, di sisi lain mengerdilkan kebesaran Tuhan. Seolah-olah Yang Mahabesar itu buta warna dan hanya mengenal satu warna atas khalik ciptaan-Nya.
Atmosfer seperti ini sangat terasa akhir-akhir ini. Maka, tidak mengherankan, di negeri ini umat lebih penting ketimbang warga negara. Mayoritarianisme lebih penting ketimbang kedaulatan rakyat. Pendidikan akhlak lebih penting ketimbang pendidikan akal sehat. Kesantunan lebih penting ketimbang kritisisme. Dan kita pun menjadi bingung: Indonesia ini negara demokrasi ataukah (sudah menjadi) negara moral.
Paska telah lewat. Kebingungan belum berakhir. Suasana "tertentu" itu mungkin akan datang lagi.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 26 April 2011
Label:
agama,
bentara,
flores pos,
ideologi,
negara moral,
paska 2011,
pembakaran gereja,
politik,
teologi politik diskriminatif
15 April 2011
NTT Provinsi Kelautan
Bukan Provinsi Kepulauan!
Oleh Frans Anggal
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal NTT Abraham Paul Liyanto menyatakan mendukung NTT menjadi provinsi kepulauan. Perjuangan provinsi kepulauan tidak hanya bertujuan meningkatkan dana alokasi umum (DAU), katanya. Dengan menjadi provinsi kepulauan, NTT akan mendapat perhatian khusus dan memiliki wewenang lebih luas dalam pengaturan laut (Flores Pos Jumat 15 April 2011)
Sebagai provinsi yang terdiri dari dua per tiga lautan dan hanya sepertiga daratan, NTT harus diperjuangkan menjadi provinsi kepulauan, kata Liyanto. Dalam proyeksi lebih jauh ke depan, perwujudan Provinsi Kepulauan NTT akan mendorong pengakuan konstitusional atas Indonesia sebagai negara kepulauan. Liyanto dan kawan-kawan anggota DPD akan terus berjuang agar impian itu terwujud.
Kita menghadapi dua hal dalam pernyataan Liyanto. Pertama, pernyataannya sebagai wacana. Wacana provinsi kepulauan dan wacana negara kepulauan. Kedua, pernyataannya sebagai rencana. Rencana memperjuangkan NTT menjadi provinsi kepulauan dan Indonesia negara kepulauan.
Sebagai wacana, provinsi kepulauan dan negara kepulauan itu tepat dari segi alasan, tapi salah dari segi penamaan. Benar, wilayah terluas NTT adalah laut, bukan darat. Benar pula, wilayah terluas Indonesia adalah perairan, bukan daratan. Luasya 5,8 juta kilometer persegi. Garis pantainya 81 kali panjang Pulau Jawa. Terluas dan potensial, namun wilayah ini justru terlantar. Kurang diberdayakan. Kurang dimanfaatkan.
Kalau wilayah terluasnya perairan, tepatkah NTT diperjuangan menjadi provinsi kepulauan? Dan Indonesia menjadi negara kepulaun? Apakah itu tidak salah dari segi penamaan? Kalau "negara kepulauan" mengacu pada istilah asing archipelago, bukankah itu terjemahan yang salah dari segi makna kata?
Merujuk The Lexicon Webster Dictionary (Volume I, The English-Language Institute of America, Inc., 1977), istilah archipelago berasal dari kata Yunani, arch(i)- (utama) dan pelagos (laut). Jadi, terjemahan yang tepat untuk archipelago adalah "wilayah laut utama" atau "wilayah kelautan", bukan "wilayah kepulauan".
Ini bukan hanya soal istilah yang pas. Ini juga soal cara wawas yang tepat. Wilayah negeri kita, sesungguhnya, bukanlah kumpulan nusa yang di-antara-i laut (nusantara). Tapi, hamparan laut yang ditaburi pulau. Pada yang pertama, laut itu memisahkan. Pada yang kedua, laut itu menyatukan. Yang kedua inilah filosofi sekaligus spirit sesungguhnya dari archipelago.
Inilah yang hendak kita pesankan kepada Abraham Paul Liyanto dkk di DPD. Pejuangkanlah NTT menjadi "provinsi kelautan", bukan "provinsi kepulauan". Perjuangkanlah juga Indonesia menjadi "negara kelautan", bukan "negara kepulauan".
Akankan Liyanto dkk akan sungguh-sungguh memperjuangkannya? Ini yang tidak bisa kita pastikan. Pada titik inilah pernyataannya kita hadapi sebagai rencana, sebagai janji. Dan tentang janji, Liyanto pernah mengecewakan konstituennya di Flores, khususnya warga lingkar tambang di Manggarai Raya.
Dalam kunjungan kerjanya ke Manggarai Raya beberapa waktu lalu, dia hanya bertatap muka dengan elite kabupaten. Tidak penuhi janji kunjungi masyarakat lingkar tambang. "Saya jadi tanda tanya …. Dia yang janji mau datangi lokasi-lokasi tambang pada tiga kabupaten saat saya mendatangi kantornya di Jakarta 14 Oktober 2010 lalu. Saya amat kecewa …," kata aktivis tolak tambang Abdul Latif (Flores Pos Senin 17 Januari 2011). Apakah ini juga preseden buruk bagi janjinya memperjuangkan NTT provinsi kelautan? Wallahualam.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 16 April 2011
Oleh Frans Anggal
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal NTT Abraham Paul Liyanto menyatakan mendukung NTT menjadi provinsi kepulauan. Perjuangan provinsi kepulauan tidak hanya bertujuan meningkatkan dana alokasi umum (DAU), katanya. Dengan menjadi provinsi kepulauan, NTT akan mendapat perhatian khusus dan memiliki wewenang lebih luas dalam pengaturan laut (Flores Pos Jumat 15 April 2011)
Sebagai provinsi yang terdiri dari dua per tiga lautan dan hanya sepertiga daratan, NTT harus diperjuangkan menjadi provinsi kepulauan, kata Liyanto. Dalam proyeksi lebih jauh ke depan, perwujudan Provinsi Kepulauan NTT akan mendorong pengakuan konstitusional atas Indonesia sebagai negara kepulauan. Liyanto dan kawan-kawan anggota DPD akan terus berjuang agar impian itu terwujud.
Kita menghadapi dua hal dalam pernyataan Liyanto. Pertama, pernyataannya sebagai wacana. Wacana provinsi kepulauan dan wacana negara kepulauan. Kedua, pernyataannya sebagai rencana. Rencana memperjuangkan NTT menjadi provinsi kepulauan dan Indonesia negara kepulauan.
Sebagai wacana, provinsi kepulauan dan negara kepulauan itu tepat dari segi alasan, tapi salah dari segi penamaan. Benar, wilayah terluas NTT adalah laut, bukan darat. Benar pula, wilayah terluas Indonesia adalah perairan, bukan daratan. Luasya 5,8 juta kilometer persegi. Garis pantainya 81 kali panjang Pulau Jawa. Terluas dan potensial, namun wilayah ini justru terlantar. Kurang diberdayakan. Kurang dimanfaatkan.
Kalau wilayah terluasnya perairan, tepatkah NTT diperjuangan menjadi provinsi kepulauan? Dan Indonesia menjadi negara kepulaun? Apakah itu tidak salah dari segi penamaan? Kalau "negara kepulauan" mengacu pada istilah asing archipelago, bukankah itu terjemahan yang salah dari segi makna kata?
Merujuk The Lexicon Webster Dictionary (Volume I, The English-Language Institute of America, Inc., 1977), istilah archipelago berasal dari kata Yunani, arch(i)- (utama) dan pelagos (laut). Jadi, terjemahan yang tepat untuk archipelago adalah "wilayah laut utama" atau "wilayah kelautan", bukan "wilayah kepulauan".
Ini bukan hanya soal istilah yang pas. Ini juga soal cara wawas yang tepat. Wilayah negeri kita, sesungguhnya, bukanlah kumpulan nusa yang di-antara-i laut (nusantara). Tapi, hamparan laut yang ditaburi pulau. Pada yang pertama, laut itu memisahkan. Pada yang kedua, laut itu menyatukan. Yang kedua inilah filosofi sekaligus spirit sesungguhnya dari archipelago.
Inilah yang hendak kita pesankan kepada Abraham Paul Liyanto dkk di DPD. Pejuangkanlah NTT menjadi "provinsi kelautan", bukan "provinsi kepulauan". Perjuangkanlah juga Indonesia menjadi "negara kelautan", bukan "negara kepulauan".
Akankan Liyanto dkk akan sungguh-sungguh memperjuangkannya? Ini yang tidak bisa kita pastikan. Pada titik inilah pernyataannya kita hadapi sebagai rencana, sebagai janji. Dan tentang janji, Liyanto pernah mengecewakan konstituennya di Flores, khususnya warga lingkar tambang di Manggarai Raya.
Dalam kunjungan kerjanya ke Manggarai Raya beberapa waktu lalu, dia hanya bertatap muka dengan elite kabupaten. Tidak penuhi janji kunjungi masyarakat lingkar tambang. "Saya jadi tanda tanya …. Dia yang janji mau datangi lokasi-lokasi tambang pada tiga kabupaten saat saya mendatangi kantornya di Jakarta 14 Oktober 2010 lalu. Saya amat kecewa …," kata aktivis tolak tambang Abdul Latif (Flores Pos Senin 17 Januari 2011). Apakah ini juga preseden buruk bagi janjinya memperjuangkan NTT provinsi kelautan? Wallahualam.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 16 April 2011
Label:
abraham paul liyanto,
bentara,
dpd asal ntt,
flores pos,
negara kelautan,
negara kepulauan,
ntt,
politik,
provinsi kelautan,
provinsi kepulauan
”Pengadilan di Tempat”
Perkelahian Berdarah di Manggarai
Oleh Frans Anggal
Perkelahian antarwarga di Desa Ruang, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Rabu 13 April 2011, menelan korban jiwa: 3 tewas dan 10 luka-luka. Perkelahian terjadi di pekuburan umum di Lingko Langke Norang antara orang Hero Koe dan orang Ruang. Motif perkelahian masih dalam penyelidikan Polres Manggarai (Flores Pos Kamis 14 April 2011).
Konon, para patikai masih bertalian keluarga. Hari itu, orang Hero Koe menyelenggarakan ritus adat di pekuburan umum. Saat ritus berlangsung, datanglah orang Ruang. Mereka mempersoalkan ritus itu. Rupanya (karena) mereka tidak diundang atau dilibatkan. Timbullah pertengkaran, lalu perkelahian.
Tampaknya, perkelahian berdarah itu timbul tidak hanya karena pertengkaran di kuburan. Pertengkaran hanyalah insiden pemicu (casus belli). Akarnya, pasti, masalah lain. Mungkin masalah tanah pekuburan, tempat ritus berlangsung. Atau sengketa lain, yang berkaitan atau dikaitkan dengan tanah pekuburan dan ritusnya.
Kedua warga datang dari kampung masing-masing, Hero Koe dan Ruang. Mereka menuju lokasi yang sama, Lingko Langke Norang. Dengan tujuan yang berbeda. Orang Hero Koe datang untuk selenggarakan ritus. Orang Ruang datang untuk persoalkan ritus. Kenapa ritus itu memicu konflik?
Dalam budaya Manggarai dan Flores umumnya, ritus adat berkaitan erat dengan status adat, khususnya kepemilikan. Hanya yang berstatus tuan atau pemilik atas tanahlah yang berhak menyelenggaran ritus di atas tanah. Terutama kalau tanah itu tanah warisan leluhur (mbate dise ame, redong dise empo).
Menurut maknanya paling asli, tanah warisan leluhur itulah adalah "tanah tumpah darah". Kenapa "tumpah darah"? Di atas tanah itulah, darah "telah ditumpahkan" saat seseorang dilahirkan. Dan di atas tanah itu pulalah, darah "siap ditumpahkan" saat seseorang menghadapi setiap ancaman penyerobotan.
Sikap "siap tumpah darah" mempertahankan "tanah tumpah darah" semakin mengental manakala tanah itu memiliki banyak nilai. Mislanya, nilai historis, kalau tanah itu bagian tak terpisahkan dari sejarah awal keberadaan suku. Nilai religious, kalau tanah itu memiliki situs, seperti kubur nenek moyang. Nilai ekonomis, kalau tanah itu telah ditumbuhi banyak tanaman pedagangan.
Untuk mempertahankan atau merebut (kembali) tanah benilai tinggi dan luhur itu, orang sering tidak takut untuk mati. Tidak takut untuk membunuh dan dibunuh. Pilihannya sering begitu sempit. Sesempit pilihan seorang serdadu di palagan: 'membunuh atau dibunuh' (to kill or to be killed). Kalah mata, kalah nyawa.
Pada 1980-an, ketika Manggarai penuh perang tanding dalam sengketa tanah, suasana "siap tumpah darah" itu sangat terasa. Muncullah istilah "pengadilan di tempat". Ini tandingan terhadap "pengadilan di kantor". Sekaligus kritik atas praktik peradilan yang mudah disogok. Masyarakat tidak percaya lagi pada lembaga hukum. Maka, mereka ciptakan peradilan sendiri: peradilan di lokasi sengketa. Hasilnya: yang kalah masuk kubur (karena dibunuh). Yang menang masuk penjara (karena membunuh).
Kita khawatir, suasana seperti itu kini datang lagi. Dalam beberapa kasus, suasananya mengental di Keca¬matan Satar Mese dan Satar Mese Barat. Bukan tidak mungkin menular ke wilayah lain. Sebagaimana pada 1980-an, "pengadilan di tempat" melahirkan demonstration effect, sehingga menjalar dan marak. Tantangan bagi pemkab dan gereja. Keduanya perlu bergandeng tangan.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 15 April 2011
Oleh Frans Anggal
Perkelahian antarwarga di Desa Ruang, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Rabu 13 April 2011, menelan korban jiwa: 3 tewas dan 10 luka-luka. Perkelahian terjadi di pekuburan umum di Lingko Langke Norang antara orang Hero Koe dan orang Ruang. Motif perkelahian masih dalam penyelidikan Polres Manggarai (Flores Pos Kamis 14 April 2011).
Konon, para patikai masih bertalian keluarga. Hari itu, orang Hero Koe menyelenggarakan ritus adat di pekuburan umum. Saat ritus berlangsung, datanglah orang Ruang. Mereka mempersoalkan ritus itu. Rupanya (karena) mereka tidak diundang atau dilibatkan. Timbullah pertengkaran, lalu perkelahian.
Tampaknya, perkelahian berdarah itu timbul tidak hanya karena pertengkaran di kuburan. Pertengkaran hanyalah insiden pemicu (casus belli). Akarnya, pasti, masalah lain. Mungkin masalah tanah pekuburan, tempat ritus berlangsung. Atau sengketa lain, yang berkaitan atau dikaitkan dengan tanah pekuburan dan ritusnya.
Kedua warga datang dari kampung masing-masing, Hero Koe dan Ruang. Mereka menuju lokasi yang sama, Lingko Langke Norang. Dengan tujuan yang berbeda. Orang Hero Koe datang untuk selenggarakan ritus. Orang Ruang datang untuk persoalkan ritus. Kenapa ritus itu memicu konflik?
Dalam budaya Manggarai dan Flores umumnya, ritus adat berkaitan erat dengan status adat, khususnya kepemilikan. Hanya yang berstatus tuan atau pemilik atas tanahlah yang berhak menyelenggaran ritus di atas tanah. Terutama kalau tanah itu tanah warisan leluhur (mbate dise ame, redong dise empo).
Menurut maknanya paling asli, tanah warisan leluhur itulah adalah "tanah tumpah darah". Kenapa "tumpah darah"? Di atas tanah itulah, darah "telah ditumpahkan" saat seseorang dilahirkan. Dan di atas tanah itu pulalah, darah "siap ditumpahkan" saat seseorang menghadapi setiap ancaman penyerobotan.
Sikap "siap tumpah darah" mempertahankan "tanah tumpah darah" semakin mengental manakala tanah itu memiliki banyak nilai. Mislanya, nilai historis, kalau tanah itu bagian tak terpisahkan dari sejarah awal keberadaan suku. Nilai religious, kalau tanah itu memiliki situs, seperti kubur nenek moyang. Nilai ekonomis, kalau tanah itu telah ditumbuhi banyak tanaman pedagangan.
Untuk mempertahankan atau merebut (kembali) tanah benilai tinggi dan luhur itu, orang sering tidak takut untuk mati. Tidak takut untuk membunuh dan dibunuh. Pilihannya sering begitu sempit. Sesempit pilihan seorang serdadu di palagan: 'membunuh atau dibunuh' (to kill or to be killed). Kalah mata, kalah nyawa.
Pada 1980-an, ketika Manggarai penuh perang tanding dalam sengketa tanah, suasana "siap tumpah darah" itu sangat terasa. Muncullah istilah "pengadilan di tempat". Ini tandingan terhadap "pengadilan di kantor". Sekaligus kritik atas praktik peradilan yang mudah disogok. Masyarakat tidak percaya lagi pada lembaga hukum. Maka, mereka ciptakan peradilan sendiri: peradilan di lokasi sengketa. Hasilnya: yang kalah masuk kubur (karena dibunuh). Yang menang masuk penjara (karena membunuh).
Kita khawatir, suasana seperti itu kini datang lagi. Dalam beberapa kasus, suasananya mengental di Keca¬matan Satar Mese dan Satar Mese Barat. Bukan tidak mungkin menular ke wilayah lain. Sebagaimana pada 1980-an, "pengadilan di tempat" melahirkan demonstration effect, sehingga menjalar dan marak. Tantangan bagi pemkab dan gereja. Keduanya perlu bergandeng tangan.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 15 April 2011
Label:
flores,
flores pos,
hukum,
manggarai,
perkelahian berdarah,
sengketa tanah
14 April 2011
Negara Harus Tegas
Pembakaran Gereja di Kuatan Singingi
Oleh Frans Anggal
Pemprov NTT mengecam pembakaran gereja Katolik di Taluk Kuantang, ibu kota Kabupaten Kuatan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau, Senin 14 April 2011. "Kita mengecam tindakan itu, karena mengganggu kebersamaan dan persaudaraan yang terus dirajut untuk membangun negeri ini," kata Gubernur Frans Lebu Raya.
Ia minta masyarakat NTT sikapi ini dengan tenang dan menjaga suasana kondusif. Sehingga, daerah lain melihat, walaupun beraneka ragam, NTT tetap rukun. "Kita harus biasakan diri untuk selesaikan dengan kepala dingin" (Flores Pos Rabu 13 April 2011).
Kasus Taluk Kuantang pecah usai rapat pleno KPUD Kuasing yang tetapkan pasangan Sukarmis (incumbent) dan Zulkifli sebagai pemenang. Pasangan lainnya, Mursini dan Gumpita, kalah. Ini menyulut kemarahan massa. Mereka lempari kantor KPUD, rumah pejabat, dan rumah ketua KPUD. Mereka juga bakar gereja Katolik (www.detiknews.com).
Pemprov NTT mengecam aksi ini karena "mengganggu kebersamaan dan persaudaraan". Itu benar, dalam tataran bermasyarakat. Sedangkan dalam tataran bernegara, yang terjadi itu menghujam sendi dasar republik. Republik yang berdiri di atas penghargaan terhadap keberagaman.
Gubernur Riau Rusli Zainal bilang, pembakaran gereja itu bukan karena SARA. Ini tidak masuk akal. Kalau bukan karena SARA, kenapa gereja dibakar?
Kita harus jujur katakan dan akui, ini masalah SARA. Ini perilaku intoleran dan kekerasan massa yang bermotif agama. Dan ini sudah sering terjadi. Gereja selalu bisa dibakar karena alasan apa pun. Masalah IMB, gereja dibakar: kasus di Kecamatan Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, Januari 2010. Masalah vonis di pengadilan, gereja dibakar: kasus di Temanggung, Jawa Tengah, Februari 2011. Sekarang, di Taluk Kuantang, masalah pemilukada, gereja dibakar.
Keberulangan seperti ini menunjukkan apa? Lemahnya penegakan hukum dan etika politik hidup bersama. Akibatnya, prinsip dasar bernegara, seperti pluralisme, hak asasi manusia, dalam hal ini hak beragama dan menjalankan ibadah sebagaimana dimaksud konstitusi, selalu dilanggar.
Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, terus dibiarkan dan dibiakkannya kelompok berbasis keagamaan garis keras yang tak menyukai toleransi. Pernyataan Ketua Komisi JPIC Keuskupan Agung Kupang Romo Leo Mali Pr sangat tepat. "Aksi tersebut akibat dari pembiaran yang dilakukan oleh negara kepada kelompok-kelompok tetentu."
Kedua, aparat keamanan lamban dan cenderung melakukan pembiaran terhadap perilaku main hakim sendiri oleh masyarakat. Ketiga, aturan hukum sering tidak mampu menyentuh para pelaku kekerasan sehingga perilaku main hakim sendiri makin tumbuh subur. Keempat, ada dugaan tindak kekerasan juga dikarenakan oleh sistem birokrasi yang korup (Siaran Pers Perhimpunan Pendidikan Demokrasi/P2D 26 January 2010).
Tidak ada cara lain. Negara harus tegas. Pertama, tegas menindak para pelaku. Kedua, tegas berpijak pada ayat konstitusi, dan hanya pada ayat konstitusi, bukan pada ayat kitab suci. Konstitusi UUD 1945 jelas-tegas nyatakan negara menjamin warganya memeluk agama dan kepercayan serta beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Perlindungan konstitusional warga negara dalam pasal 28 E ayat 1 dan 2 serta pasal 29 ayat 2 UUD 1945 ini kini seolah-olah menjadi teks tanpa makna. Teks tanpa kekuatan legal. Sungguh menyedihkan!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 13 April 2011
Oleh Frans Anggal
Pemprov NTT mengecam pembakaran gereja Katolik di Taluk Kuantang, ibu kota Kabupaten Kuatan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau, Senin 14 April 2011. "Kita mengecam tindakan itu, karena mengganggu kebersamaan dan persaudaraan yang terus dirajut untuk membangun negeri ini," kata Gubernur Frans Lebu Raya.
Ia minta masyarakat NTT sikapi ini dengan tenang dan menjaga suasana kondusif. Sehingga, daerah lain melihat, walaupun beraneka ragam, NTT tetap rukun. "Kita harus biasakan diri untuk selesaikan dengan kepala dingin" (Flores Pos Rabu 13 April 2011).
Kasus Taluk Kuantang pecah usai rapat pleno KPUD Kuasing yang tetapkan pasangan Sukarmis (incumbent) dan Zulkifli sebagai pemenang. Pasangan lainnya, Mursini dan Gumpita, kalah. Ini menyulut kemarahan massa. Mereka lempari kantor KPUD, rumah pejabat, dan rumah ketua KPUD. Mereka juga bakar gereja Katolik (www.detiknews.com).
Pemprov NTT mengecam aksi ini karena "mengganggu kebersamaan dan persaudaraan". Itu benar, dalam tataran bermasyarakat. Sedangkan dalam tataran bernegara, yang terjadi itu menghujam sendi dasar republik. Republik yang berdiri di atas penghargaan terhadap keberagaman.
Gubernur Riau Rusli Zainal bilang, pembakaran gereja itu bukan karena SARA. Ini tidak masuk akal. Kalau bukan karena SARA, kenapa gereja dibakar?
Kita harus jujur katakan dan akui, ini masalah SARA. Ini perilaku intoleran dan kekerasan massa yang bermotif agama. Dan ini sudah sering terjadi. Gereja selalu bisa dibakar karena alasan apa pun. Masalah IMB, gereja dibakar: kasus di Kecamatan Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, Januari 2010. Masalah vonis di pengadilan, gereja dibakar: kasus di Temanggung, Jawa Tengah, Februari 2011. Sekarang, di Taluk Kuantang, masalah pemilukada, gereja dibakar.
Keberulangan seperti ini menunjukkan apa? Lemahnya penegakan hukum dan etika politik hidup bersama. Akibatnya, prinsip dasar bernegara, seperti pluralisme, hak asasi manusia, dalam hal ini hak beragama dan menjalankan ibadah sebagaimana dimaksud konstitusi, selalu dilanggar.
Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, terus dibiarkan dan dibiakkannya kelompok berbasis keagamaan garis keras yang tak menyukai toleransi. Pernyataan Ketua Komisi JPIC Keuskupan Agung Kupang Romo Leo Mali Pr sangat tepat. "Aksi tersebut akibat dari pembiaran yang dilakukan oleh negara kepada kelompok-kelompok tetentu."
Kedua, aparat keamanan lamban dan cenderung melakukan pembiaran terhadap perilaku main hakim sendiri oleh masyarakat. Ketiga, aturan hukum sering tidak mampu menyentuh para pelaku kekerasan sehingga perilaku main hakim sendiri makin tumbuh subur. Keempat, ada dugaan tindak kekerasan juga dikarenakan oleh sistem birokrasi yang korup (Siaran Pers Perhimpunan Pendidikan Demokrasi/P2D 26 January 2010).
Tidak ada cara lain. Negara harus tegas. Pertama, tegas menindak para pelaku. Kedua, tegas berpijak pada ayat konstitusi, dan hanya pada ayat konstitusi, bukan pada ayat kitab suci. Konstitusi UUD 1945 jelas-tegas nyatakan negara menjamin warganya memeluk agama dan kepercayan serta beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Perlindungan konstitusional warga negara dalam pasal 28 E ayat 1 dan 2 serta pasal 29 ayat 2 UUD 1945 ini kini seolah-olah menjadi teks tanpa makna. Teks tanpa kekuatan legal. Sungguh menyedihkan!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 13 April 2011
13 April 2011
Di Nampar Sepang Ini Apa?
Rencana Eksplorasi Mangan di Manggarai Timur
Oleh Frans Anggal
Ketua Komisi JPIC SVD Ruteng Pater Simon Suban Tukan SVD meminta Pemkab Manggarai Timur (1) hentikan rencana eksplorasi tambang mangan di Desa Nampar Sepang, Kecamatan Sambirampas, (2) mencabut izin pertambangan, (3) mendukung usaha masyarakat di bidang kelautan dan pertanian (Flores Pos Selasa 12 Januari 2011).
Pater Simon hanya menegas ulang sikap masyarakat Nampar Sepang. Sebanyak 338 warga sudah menandatangani pernyataan tolak tambang. Alasan penolakan sangat rasional. Areal eksplorasi berada dekat permukiman, persawahan, dan mata air.
Bagi masyarakat Manggarai, permukiman atau perkampungan (beo) yang terdiri dari rumah (mbaru), serta persawahan atau kebun (uma) dan mata air (wae) merupakan satu kesatuan integratif dan holistik yang membentuk ruang hidup (Lebensraum). Satu saja dari keempat unsur ini dirusakkan maka keseluruhan ruang hidup itu terganggu.
Pada kasus Nampar Sepang, yang terancam dirusakkan tambang bukan hanya satu unsur, tapi semu unsur ruang hidup. Tambang akan menghancurkan rumah, kampung, sawah, dan mata air. Hanya warga yang tidak waras yang menganggap ancaman ini bukan apa-apa. Dan hanya pemkab yang tidak waras yang membiarkannya.
Dalam kasus tambang di tiga kabupaten Manggarai Raya, kita selalu menyaksikan kenyataan yang sama. Masyarakat adat, terancam oleh kapitalis tambang, sekaligus terlantar oleh pemkabnya sendiri. Menghadapi kesewenangan tambang, mereka berjuang sendirian. Syukur kalau didampingi LSM.
Pertanyaan kita: di manakah bupati, wabup, dan anggota DPRD? Mereka pasti ada di mana-mana, tapi tidak di pihak rakyat. Mereka, yang mengemis suara rakyat saat pemilu dan pemilukada, kini menjadi pemilik kedaulatan. Begitu terpilih dan dilantik, mereka memutuskan hubungan historisnya dengan rakyat. Mereka lalu menjadi pengemis baru. Bukan lagi pada rakyat, tetapi pada penguasa lebih tinggi dan pengusaha lebih besar.
Hubungan dengan yang lebih tinggi dan lebih besar itu berupa hubungan transaksional yang tak ada kaitannya dengan politik ideologi. Ini melulu hubungan komersial. Perkara uang dan segala sesuatu yang membutuhkannya. Pada uanglah politik bergantung. Dengan uanglah persaingan ideologi diselesaikan. Betul-betul keuangan yang maha-esa.
Maka, tak heran, demi uang, banyak calon kepala daerah mengijonkan proyek-proyek APBD kepada para pemodal. Demi uang, banyak kepala daerah atau calon kepala daerah menggadaikan wilayahnya kapada kapitalis tambang. Tak heran, kapitalis tambang terkesan begitu arogan saat bersengketa dengan masyarakat. Tak heran pula, bupati terkesan begitu tak berdaya di hadapan sengketa itu.
Pada kasus tambang di Manggarai Raya, kita saksikan, pemkab tak berdaya. Lalu memilih absen. Cari aman. Paling jauh, lakukan mediasi. Belum berani lakukan advokasi. Ini mencengangkan. Tidak berani membela rakyat yang suaranya ia butuhkan saat pemilukada. Lebih membela supporter (pendukung/pembiaya) ketimbang voter (pemilih).
Itulah kondisinya. Dalam kondisi itulah masyarakat Nampar Sepang berteriak tolak rencana eksplorasi mangan. Beranikah bupati mendengarkan mereka dan berpihak pada mereka? Semestinya berani. Sebab, ia sudah tegas nyatakan tolak tambang dalam pertemuan dengan warga Manggarai Raya di Jakarta, Jumat 10 Desember 2010. Tolak tambang? Hmmm. Di Nampar Sepang ini apa?
“Bentara” FLORES POS, Rabu 13 April 2011
Oleh Frans Anggal
Ketua Komisi JPIC SVD Ruteng Pater Simon Suban Tukan SVD meminta Pemkab Manggarai Timur (1) hentikan rencana eksplorasi tambang mangan di Desa Nampar Sepang, Kecamatan Sambirampas, (2) mencabut izin pertambangan, (3) mendukung usaha masyarakat di bidang kelautan dan pertanian (Flores Pos Selasa 12 Januari 2011).
Pater Simon hanya menegas ulang sikap masyarakat Nampar Sepang. Sebanyak 338 warga sudah menandatangani pernyataan tolak tambang. Alasan penolakan sangat rasional. Areal eksplorasi berada dekat permukiman, persawahan, dan mata air.
Bagi masyarakat Manggarai, permukiman atau perkampungan (beo) yang terdiri dari rumah (mbaru), serta persawahan atau kebun (uma) dan mata air (wae) merupakan satu kesatuan integratif dan holistik yang membentuk ruang hidup (Lebensraum). Satu saja dari keempat unsur ini dirusakkan maka keseluruhan ruang hidup itu terganggu.
Pada kasus Nampar Sepang, yang terancam dirusakkan tambang bukan hanya satu unsur, tapi semu unsur ruang hidup. Tambang akan menghancurkan rumah, kampung, sawah, dan mata air. Hanya warga yang tidak waras yang menganggap ancaman ini bukan apa-apa. Dan hanya pemkab yang tidak waras yang membiarkannya.
Dalam kasus tambang di tiga kabupaten Manggarai Raya, kita selalu menyaksikan kenyataan yang sama. Masyarakat adat, terancam oleh kapitalis tambang, sekaligus terlantar oleh pemkabnya sendiri. Menghadapi kesewenangan tambang, mereka berjuang sendirian. Syukur kalau didampingi LSM.
Pertanyaan kita: di manakah bupati, wabup, dan anggota DPRD? Mereka pasti ada di mana-mana, tapi tidak di pihak rakyat. Mereka, yang mengemis suara rakyat saat pemilu dan pemilukada, kini menjadi pemilik kedaulatan. Begitu terpilih dan dilantik, mereka memutuskan hubungan historisnya dengan rakyat. Mereka lalu menjadi pengemis baru. Bukan lagi pada rakyat, tetapi pada penguasa lebih tinggi dan pengusaha lebih besar.
Hubungan dengan yang lebih tinggi dan lebih besar itu berupa hubungan transaksional yang tak ada kaitannya dengan politik ideologi. Ini melulu hubungan komersial. Perkara uang dan segala sesuatu yang membutuhkannya. Pada uanglah politik bergantung. Dengan uanglah persaingan ideologi diselesaikan. Betul-betul keuangan yang maha-esa.
Maka, tak heran, demi uang, banyak calon kepala daerah mengijonkan proyek-proyek APBD kepada para pemodal. Demi uang, banyak kepala daerah atau calon kepala daerah menggadaikan wilayahnya kapada kapitalis tambang. Tak heran, kapitalis tambang terkesan begitu arogan saat bersengketa dengan masyarakat. Tak heran pula, bupati terkesan begitu tak berdaya di hadapan sengketa itu.
Pada kasus tambang di Manggarai Raya, kita saksikan, pemkab tak berdaya. Lalu memilih absen. Cari aman. Paling jauh, lakukan mediasi. Belum berani lakukan advokasi. Ini mencengangkan. Tidak berani membela rakyat yang suaranya ia butuhkan saat pemilukada. Lebih membela supporter (pendukung/pembiaya) ketimbang voter (pemilih).
Itulah kondisinya. Dalam kondisi itulah masyarakat Nampar Sepang berteriak tolak rencana eksplorasi mangan. Beranikah bupati mendengarkan mereka dan berpihak pada mereka? Semestinya berani. Sebab, ia sudah tegas nyatakan tolak tambang dalam pertemuan dengan warga Manggarai Raya di Jakarta, Jumat 10 Desember 2010. Tolak tambang? Hmmm. Di Nampar Sepang ini apa?
“Bentara” FLORES POS, Rabu 13 April 2011
Label:
bentara,
bupati manggarai timur,
flores,
flores pos,
jpic svd ruteng,
manggarai timur,
nampar sepang,
pater simon suban tukan svd,
pertambangan,
tambang mangan
12 April 2011
Jangan Hanya Polisi
Kasus Shabu-Shabu di Sikka
Oleh Frans Anggal
Unit Satuan Narkoba Polres Sikka membekuk Petrus Slamet Indrianto, warga setempat, atas kepemilikan 0,4 gram shabu-shabu, Sabtu 9 April 2011. Pelaku menyimpan shabu-shabu dalam kandang tikus amsterdam, dalam perjalanan Makassar-Maumere dengan KM Wilis. Shabu-shabu disembunyian di balik serbuk kertas terbungkus kertas koran (Flores Pos Senin 11 April 2011).
"Saya beli paket shabu-shabu itu seharga Rp300 ribu dari salah seorang tak dikenal di Pelabuhan Makassar," kata pelaku. Ia minta maaf di hadapan penyidik. Keluarganya mohon penangguhan penahanan. Kuasa hukum Marianus Laka sudah ingatkan, polisi tidak akan tangguhkan penahanan. "Saya sudah sampaikan bahwa kasus narkoba ini diprioritaskan," kata Marianus.
Khusus di Kabupaten Sikka, ini kasus ketiga dalam empat tahun terakhir. Pertama, 2008, polisi membongkar shabu-shabu 0,8 gram di Bandara Waioti (sekarang Bandara Frans Seda). Kedua, 2009, polisi menangkap Indra Lai (25), pemilik shabu-shabu 6,5 gram. Kasus ketiga, 2011, polisi menangkap Petrus Slamet Indrianto pemilik shabu-shabu 0,4 gram.
Dibanding dengan dua kasus terdahulu, yang terakhir ini kecil dari segi jumlah. Hanya setengah dari kasus pertama. Meski demikian, dari segi modus operandinya, yang terakhir ini tergolong baru. Shabu-shabu disimpan dalam kandang tikus.
Modus baru ini menunjukkan satu hal. Pengedaran narkotika selalu mencari cara baru, yang tidak terduga, sehingga luput dari endusan aparat keamanan. Pada kasus di Maumere, polisi sudah duluan mendapat informasi. Pelaku sudah menjadi target. Sehingga, apa pun bawaanya, digeledah. Kandang tikus sekalipun, diperiksa. Dan, tak terduga, ternyata shabu-shabu disembunyikan di situ.
Seandainya polisi tidak memiliki informasi awal, dengan demikian pelaku tidak menjadi target operasi, apakah kandang tikus tadi akan tetap diperiksa secara ketat dan cermat? Kemungkinan besar tidak. Atas cara itulah pengedaran narkoba marak ke mana-mana.
Kita akui, menyingkap kasus narkoba tidaklah mudah. Menangkap pelakunya pun tidaklah gampag. Sebab, si pelaku haruslah tertangkap tangan. Untuk itu, dibutuhkan dua hal dari pihak kepolisian. Yakni, keahlian khusus dan informasi yang cukup. Pada banyak peristiwa penang¬kap¬an, polisi terpaksa menyamar sebagai pembeli.
Atas dasar itu, setiap penangkapan yang tepat sasaran dan tepat tindakan merupakan prestasi. Karenanya, keberhasilan Unit Satuan Narkoba Polres Sikka membekuk Petrus Slamet Indrianto patut kita acungi jempol. Bayangkan seandainya unit ini tidak memiliki keahlian khusus dan informasi yang cukup. Apa yang terjadi? Petrus Slamet Indrianto lenggang kangkung masuk Maumere. Dan mungkin semakin lancar bolak-balik Maumere-Makassar bersama kandang tikusnya.
Langkah sigap Polres Sikka tentu tidakah cukup. Pemberantasan narkoba dan pemutusan mata rantainya tidak akan berhasil kalau hanya mengandalkan polisi. Perlu tindakan bersama dan serempak. Dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sasaran utama kita adalah anak-anak dan remaja. Mereka rentan terhadap pengaruh buruk dan merupakan target utama pasar gelap narkoba.
Data narkoba di NTT memberikan lampu kuning. Hingga November 2010, sudah banyak pelajar dan mahasiswa yang terlibat narkoba. Mahasiswa pasca-sarjana 2 kasus, mahasiswa calon sarjana 9 kasus, siswa SMA 132 kasus, siswa SMP 72 kasus, murid SD 5 kasus. Lihatlah, jumlah terbesar justru anak-anak dan remaja. Maka, bergegaslah. Jangan berlambat.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 12 April 2011
Oleh Frans Anggal
Unit Satuan Narkoba Polres Sikka membekuk Petrus Slamet Indrianto, warga setempat, atas kepemilikan 0,4 gram shabu-shabu, Sabtu 9 April 2011. Pelaku menyimpan shabu-shabu dalam kandang tikus amsterdam, dalam perjalanan Makassar-Maumere dengan KM Wilis. Shabu-shabu disembunyian di balik serbuk kertas terbungkus kertas koran (Flores Pos Senin 11 April 2011).
"Saya beli paket shabu-shabu itu seharga Rp300 ribu dari salah seorang tak dikenal di Pelabuhan Makassar," kata pelaku. Ia minta maaf di hadapan penyidik. Keluarganya mohon penangguhan penahanan. Kuasa hukum Marianus Laka sudah ingatkan, polisi tidak akan tangguhkan penahanan. "Saya sudah sampaikan bahwa kasus narkoba ini diprioritaskan," kata Marianus.
Khusus di Kabupaten Sikka, ini kasus ketiga dalam empat tahun terakhir. Pertama, 2008, polisi membongkar shabu-shabu 0,8 gram di Bandara Waioti (sekarang Bandara Frans Seda). Kedua, 2009, polisi menangkap Indra Lai (25), pemilik shabu-shabu 6,5 gram. Kasus ketiga, 2011, polisi menangkap Petrus Slamet Indrianto pemilik shabu-shabu 0,4 gram.
Dibanding dengan dua kasus terdahulu, yang terakhir ini kecil dari segi jumlah. Hanya setengah dari kasus pertama. Meski demikian, dari segi modus operandinya, yang terakhir ini tergolong baru. Shabu-shabu disimpan dalam kandang tikus.
Modus baru ini menunjukkan satu hal. Pengedaran narkotika selalu mencari cara baru, yang tidak terduga, sehingga luput dari endusan aparat keamanan. Pada kasus di Maumere, polisi sudah duluan mendapat informasi. Pelaku sudah menjadi target. Sehingga, apa pun bawaanya, digeledah. Kandang tikus sekalipun, diperiksa. Dan, tak terduga, ternyata shabu-shabu disembunyikan di situ.
Seandainya polisi tidak memiliki informasi awal, dengan demikian pelaku tidak menjadi target operasi, apakah kandang tikus tadi akan tetap diperiksa secara ketat dan cermat? Kemungkinan besar tidak. Atas cara itulah pengedaran narkoba marak ke mana-mana.
Kita akui, menyingkap kasus narkoba tidaklah mudah. Menangkap pelakunya pun tidaklah gampag. Sebab, si pelaku haruslah tertangkap tangan. Untuk itu, dibutuhkan dua hal dari pihak kepolisian. Yakni, keahlian khusus dan informasi yang cukup. Pada banyak peristiwa penang¬kap¬an, polisi terpaksa menyamar sebagai pembeli.
Atas dasar itu, setiap penangkapan yang tepat sasaran dan tepat tindakan merupakan prestasi. Karenanya, keberhasilan Unit Satuan Narkoba Polres Sikka membekuk Petrus Slamet Indrianto patut kita acungi jempol. Bayangkan seandainya unit ini tidak memiliki keahlian khusus dan informasi yang cukup. Apa yang terjadi? Petrus Slamet Indrianto lenggang kangkung masuk Maumere. Dan mungkin semakin lancar bolak-balik Maumere-Makassar bersama kandang tikusnya.
Langkah sigap Polres Sikka tentu tidakah cukup. Pemberantasan narkoba dan pemutusan mata rantainya tidak akan berhasil kalau hanya mengandalkan polisi. Perlu tindakan bersama dan serempak. Dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sasaran utama kita adalah anak-anak dan remaja. Mereka rentan terhadap pengaruh buruk dan merupakan target utama pasar gelap narkoba.
Data narkoba di NTT memberikan lampu kuning. Hingga November 2010, sudah banyak pelajar dan mahasiswa yang terlibat narkoba. Mahasiswa pasca-sarjana 2 kasus, mahasiswa calon sarjana 9 kasus, siswa SMA 132 kasus, siswa SMP 72 kasus, murid SD 5 kasus. Lihatlah, jumlah terbesar justru anak-anak dan remaja. Maka, bergegaslah. Jangan berlambat.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 12 April 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
narkoba,
petrus slamet indrianto,
shabu-shabu,
sikka
11 April 2011
Tunda Pemilukada Lembata?
Pemilukada Harus Jalan Terus
Oleh Frans Anggal
Anggota KPU Lembata, Yusuf Dolu, mengatakan tak ada alasan menunda pemilukada. Penundaan hanya bisa oleh dua alasan: bencana alam dan kerusuhan besar. Yang tidak puas, silakan menempuh jalur hukum (Flores Pos Sabtu 9 April 2011).
Menunda pemilukada harus beralasan. Itu benar. Alasannya harus berterima. Itu pun benar. Dan alasan berterima hanya dua. Bencana alam dan kerusuhan besar. Bencana alam yang menunda pemilukada belum pernah terjadi di Flores. Sedangkan kerusuhan besar, sudah. Di Kabupaten Flotim, 2010.
Mei 2010, massa pendukung lima paket cabup-cawabup Flotim berdemo di Larantuka. Mereka tolak paket Mondial (Simon Hayon dan Fransiskus Diaz Alffi). Paket ini dinilai tidak memenuhi syarat administrasi menurut Paraturan KPU No 68 Tahun 2009 (Flores Pos Rabu 12 Mei 2010).
Aksi mereka terkategori kerusuhan besar. Tidak hanya mendatangi kantor KPU, kantor bupati, dan kantor DPRD, mereka juga melakukan sweeping terhadap semua kendaraan yang masuk Larantuka. Mereka mengincar mobil KPU NTT dan KPU Pusat. Dua KPU ini dinilai telah mengintervensi pemilukada dan merongrong otonomi KPU Flotim. Dua KPU ini tidak boleh masuk Larantuka.
Setelah kerusuhan itu, proses dan tahapan pemilu¬ka¬da Flotim praktis mentok. Bahkan bisa dipas¬tikan, proses dan tahapan pemilukada mentok oleh karena kerusuhan itu. Formulasi umumnya: situasi tidak kondusif untuk lanjutkan pemilukada. Penundaan pun menjadi kesempatan melakukan pembenahan atas yang tidak beres, sekaligus persiapan bagi rencana tindak lanjut.
Nah. Kalau masyarakat Lembata ingin pemilukadanya ditunda, silakan tempuh salah satu dari dua cara itu atau, kalau bisa, kedua cara itu sekaligus. Pertama, meminta kepada Tuhan agar Lembata ditimba bencana alam yang dahsyat. Kedua, bersatu padu melakukan kerusuhan besar, membunuh dan membumi hangus. Hanya atas cara itu, pemilukda Lembata bisa ditunda.
Cara kedua hampir sukses seandainya polisi tidak cekatan. Kamis 17 Maret 2011, Generasi Peduli Kasih (GPK) berdemo ke kantor KPU Lembata. Tuntutan mereka: hentikan pemilukada. Kalau tidak dihenti¬kan, KPUD mereka ratakan, mereka hancurkan. Bahkan ada yang siap dibui asalkan nyawa Ketua KPUD Wilhelmus Panda Mana Apa lenyap. "KPUD Lembata harus hentikan semua proses dan tahapan pemilukada Lembata," kata Masudin Yamin. "Kalau tidak, Lembata jadi abu dan saya bertanggung jawab!" Kerusuhan pun pecah.
Dalam kerusuhan itu, massa menyerang dan melem¬pari kantor dengan batu. Polisi turut jadi sasaran. Kapolres Marthen Johannis yang berusaha menye¬lamatkan anak buahnya terkena lemparan batu di bagian wajah, di bawah bola mata kanan. Beberapa orang yang diduga sebagai provokatur langsung diciduk untuk jalani pemeriksaan (Flores Pos Senin 21 Maret 2011).
Seandainya tujuannya menunda atau membatalkan pemilukada, demo ini jelas gagal total. Massanya kurang banyak. Anarkismenya kurang heboh. Mereka hanya melempar dan merusak kantor KPU. Tidak sampai membumihanguskannya. Mereka juga hanya mengancam membunuh ketua KPU. Tidak sampai benar-benar menghilangkan nyawanya. Karena mereka gagal lakukan kerusuhan besar, pemilukda Lembata jalan terus.
Dengan ini, kita hendak mengatakan, kalau hanya melalui cara ini pemilukada bisa ditunda, lupakan saja penundaan. Pemilukada harus jalan terus. Yang tidak puas, silakan menempuh jalur hukum.
“Bentara” FLORES POS, Senin 11 April 2011
Oleh Frans Anggal
Anggota KPU Lembata, Yusuf Dolu, mengatakan tak ada alasan menunda pemilukada. Penundaan hanya bisa oleh dua alasan: bencana alam dan kerusuhan besar. Yang tidak puas, silakan menempuh jalur hukum (Flores Pos Sabtu 9 April 2011).
Menunda pemilukada harus beralasan. Itu benar. Alasannya harus berterima. Itu pun benar. Dan alasan berterima hanya dua. Bencana alam dan kerusuhan besar. Bencana alam yang menunda pemilukada belum pernah terjadi di Flores. Sedangkan kerusuhan besar, sudah. Di Kabupaten Flotim, 2010.
Mei 2010, massa pendukung lima paket cabup-cawabup Flotim berdemo di Larantuka. Mereka tolak paket Mondial (Simon Hayon dan Fransiskus Diaz Alffi). Paket ini dinilai tidak memenuhi syarat administrasi menurut Paraturan KPU No 68 Tahun 2009 (Flores Pos Rabu 12 Mei 2010).
Aksi mereka terkategori kerusuhan besar. Tidak hanya mendatangi kantor KPU, kantor bupati, dan kantor DPRD, mereka juga melakukan sweeping terhadap semua kendaraan yang masuk Larantuka. Mereka mengincar mobil KPU NTT dan KPU Pusat. Dua KPU ini dinilai telah mengintervensi pemilukada dan merongrong otonomi KPU Flotim. Dua KPU ini tidak boleh masuk Larantuka.
Setelah kerusuhan itu, proses dan tahapan pemilu¬ka¬da Flotim praktis mentok. Bahkan bisa dipas¬tikan, proses dan tahapan pemilukada mentok oleh karena kerusuhan itu. Formulasi umumnya: situasi tidak kondusif untuk lanjutkan pemilukada. Penundaan pun menjadi kesempatan melakukan pembenahan atas yang tidak beres, sekaligus persiapan bagi rencana tindak lanjut.
Nah. Kalau masyarakat Lembata ingin pemilukadanya ditunda, silakan tempuh salah satu dari dua cara itu atau, kalau bisa, kedua cara itu sekaligus. Pertama, meminta kepada Tuhan agar Lembata ditimba bencana alam yang dahsyat. Kedua, bersatu padu melakukan kerusuhan besar, membunuh dan membumi hangus. Hanya atas cara itu, pemilukda Lembata bisa ditunda.
Cara kedua hampir sukses seandainya polisi tidak cekatan. Kamis 17 Maret 2011, Generasi Peduli Kasih (GPK) berdemo ke kantor KPU Lembata. Tuntutan mereka: hentikan pemilukada. Kalau tidak dihenti¬kan, KPUD mereka ratakan, mereka hancurkan. Bahkan ada yang siap dibui asalkan nyawa Ketua KPUD Wilhelmus Panda Mana Apa lenyap. "KPUD Lembata harus hentikan semua proses dan tahapan pemilukada Lembata," kata Masudin Yamin. "Kalau tidak, Lembata jadi abu dan saya bertanggung jawab!" Kerusuhan pun pecah.
Dalam kerusuhan itu, massa menyerang dan melem¬pari kantor dengan batu. Polisi turut jadi sasaran. Kapolres Marthen Johannis yang berusaha menye¬lamatkan anak buahnya terkena lemparan batu di bagian wajah, di bawah bola mata kanan. Beberapa orang yang diduga sebagai provokatur langsung diciduk untuk jalani pemeriksaan (Flores Pos Senin 21 Maret 2011).
Seandainya tujuannya menunda atau membatalkan pemilukada, demo ini jelas gagal total. Massanya kurang banyak. Anarkismenya kurang heboh. Mereka hanya melempar dan merusak kantor KPU. Tidak sampai membumihanguskannya. Mereka juga hanya mengancam membunuh ketua KPU. Tidak sampai benar-benar menghilangkan nyawanya. Karena mereka gagal lakukan kerusuhan besar, pemilukda Lembata jalan terus.
Dengan ini, kita hendak mengatakan, kalau hanya melalui cara ini pemilukada bisa ditunda, lupakan saja penundaan. Pemilukada harus jalan terus. Yang tidak puas, silakan menempuh jalur hukum.
“Bentara” FLORES POS, Senin 11 April 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
kpud lembata,
lembata,
pemilukada,
politik,
tunda pemilukada
10 April 2011
Dari Pakta ke Fakta
Pemkab Sikka Tanda Tangani Pakta Integritas
Oleh Frans Anggal
Para kepala SKPD Kabupaten Sikka tanda tangani pakta integritas cegah dan berantas KKN, Selasa 5 April 2011. Tanda tangan dilakukan usai rapat persiapan pelaksanaan koordinasi pemutakhiran data dan evaluasi tindak lanjut temuan hasil pemeriksaan aparat pengawas fungsional tingkat Kabupaten Sikka (Flores Pos Kamis 7 April 2011).
Setelah membuka kegiatan, Bupati Sosimus Mitang, Wabup Wera Damianus, dan Sekda Cypri da Costa memasang stiker di mobil para kepala SKPD. Tertulis dalam bahasa "Sikkanesia" (Sikka campur Indonesia). "Mai mogat hama-hama, mai kita ate lele ha, mai kita sa ate, dai tite hama-hama: Mencegah dan memberantas korupsi, kolusi, dna nepotisme."
Pakta integritas kini lagi tren di tubuh birokrasi pemerintah. Maklum, pakta integritas telah jadi program Kementerian PAN. Dalam rangka reformasi birokrasi internal guna mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dari pusat hingga daerah, ritus ini akan menghiasi ruang-ruang media.
Pakta integritas diperkenalkan oleh Transparency International pada 1990-an. Awalnya, pakta integritas merupakan komitmen manajemen atau pemimpin dalam implementasi good corporate governance (GCG) di perusahaan. Isinya berupa komitmen atau pernyataan janji untuk melaksanakan segala tugas, kewajiban, dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Di kalangan perusahaan, pakta integritas mengharuskan manajemen selalu bertindak jujur (honest), dapat dipercaya (credible), bebas benturan kepentingan (conflict of interest), anti KKN, dan anti suap. Perusahaan yang tanda tangani pakta integritas diharapkan memperoleh enam manfaat. (1) Tercegahnya praktik KKN. (2) Meningkatnya kinerja perusahaan yang ditunjukkan dengan pencapaian key performance indicator (KPI) yang memuaskan. (3) Terciptanya suasana dan lingkungan kerja kondusif. (4) Meningkatnya nilai perusahaan (value creation) dan jika perusahaan go public maka akan meningkat pula harga sahamnya. (5) Meningkatnya kredibilitas manajemen perusahaan. (6) Meningkatnya citra (image) positif perusahaan di mata publik.
Di Indonesia, perusahaan swasta pertama yang tanda tangani pakta integritas adalah PT Bakrie Telecom. Modulnya berisikan tiga substansi utama, yaitu GCG, pedoman perilaku, dan sistem keuangan operasi terpadu, sebagai alat mewujudkan perusahaan bersih, transparan, dan profesional (BTP). Sampai akhir 2007, baru 4 BUMN yang tanda tangani pakta integritas, yaitu PT Bank Tabungan Negara (BTN), PT Jamsostek, Perum Bulog, dan PT Pertamina. Pakta integritas ditandatangani para direksi dan dewan komisaris (Muh. Ariel Effendi, “Pakta Integritas sebagai Implementasi GCG”, www.Inkubator-Bisnis.Com, Majalah Online Masyarakat Bisnis, Edisi Rabu, 27 Februari 2008).
Di tubuh birokrasi pemerintahan, pakta integritas makin bergema akhir-akhir ini. Sesungguhnya tidak baru. Spiritnya sudah lama ada, misalnya dalam bab 1 bagian pertama pasal 1 poin 21 Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksnaan Pengadaan Barang dan Jasa. Pengaturannya telah diperbarui dengan Perpres 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Jadi? Tidak ada yang baru. Spiritnya sama dengan sumpah jabatan yang sudah diucapkan oleh kepala SKPD. Yang baru di sini hanyalah ritusnya. Ramai-ramai mereka tanda tangan. Diupacarakan dan, karena itu, diberitakan. Ujung-ujungnya nanti bagaimana pelaksanaannya. Dari “pakta integritas” ke “fakta integritas”. Kita tunggu dan lihat itunya.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 9 April 2011
Oleh Frans Anggal
Para kepala SKPD Kabupaten Sikka tanda tangani pakta integritas cegah dan berantas KKN, Selasa 5 April 2011. Tanda tangan dilakukan usai rapat persiapan pelaksanaan koordinasi pemutakhiran data dan evaluasi tindak lanjut temuan hasil pemeriksaan aparat pengawas fungsional tingkat Kabupaten Sikka (Flores Pos Kamis 7 April 2011).
Setelah membuka kegiatan, Bupati Sosimus Mitang, Wabup Wera Damianus, dan Sekda Cypri da Costa memasang stiker di mobil para kepala SKPD. Tertulis dalam bahasa "Sikkanesia" (Sikka campur Indonesia). "Mai mogat hama-hama, mai kita ate lele ha, mai kita sa ate, dai tite hama-hama: Mencegah dan memberantas korupsi, kolusi, dna nepotisme."
Pakta integritas kini lagi tren di tubuh birokrasi pemerintah. Maklum, pakta integritas telah jadi program Kementerian PAN. Dalam rangka reformasi birokrasi internal guna mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dari pusat hingga daerah, ritus ini akan menghiasi ruang-ruang media.
Pakta integritas diperkenalkan oleh Transparency International pada 1990-an. Awalnya, pakta integritas merupakan komitmen manajemen atau pemimpin dalam implementasi good corporate governance (GCG) di perusahaan. Isinya berupa komitmen atau pernyataan janji untuk melaksanakan segala tugas, kewajiban, dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Di kalangan perusahaan, pakta integritas mengharuskan manajemen selalu bertindak jujur (honest), dapat dipercaya (credible), bebas benturan kepentingan (conflict of interest), anti KKN, dan anti suap. Perusahaan yang tanda tangani pakta integritas diharapkan memperoleh enam manfaat. (1) Tercegahnya praktik KKN. (2) Meningkatnya kinerja perusahaan yang ditunjukkan dengan pencapaian key performance indicator (KPI) yang memuaskan. (3) Terciptanya suasana dan lingkungan kerja kondusif. (4) Meningkatnya nilai perusahaan (value creation) dan jika perusahaan go public maka akan meningkat pula harga sahamnya. (5) Meningkatnya kredibilitas manajemen perusahaan. (6) Meningkatnya citra (image) positif perusahaan di mata publik.
Di Indonesia, perusahaan swasta pertama yang tanda tangani pakta integritas adalah PT Bakrie Telecom. Modulnya berisikan tiga substansi utama, yaitu GCG, pedoman perilaku, dan sistem keuangan operasi terpadu, sebagai alat mewujudkan perusahaan bersih, transparan, dan profesional (BTP). Sampai akhir 2007, baru 4 BUMN yang tanda tangani pakta integritas, yaitu PT Bank Tabungan Negara (BTN), PT Jamsostek, Perum Bulog, dan PT Pertamina. Pakta integritas ditandatangani para direksi dan dewan komisaris (Muh. Ariel Effendi, “Pakta Integritas sebagai Implementasi GCG”, www.Inkubator-Bisnis.Com, Majalah Online Masyarakat Bisnis, Edisi Rabu, 27 Februari 2008).
Di tubuh birokrasi pemerintahan, pakta integritas makin bergema akhir-akhir ini. Sesungguhnya tidak baru. Spiritnya sudah lama ada, misalnya dalam bab 1 bagian pertama pasal 1 poin 21 Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksnaan Pengadaan Barang dan Jasa. Pengaturannya telah diperbarui dengan Perpres 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Jadi? Tidak ada yang baru. Spiritnya sama dengan sumpah jabatan yang sudah diucapkan oleh kepala SKPD. Yang baru di sini hanyalah ritusnya. Ramai-ramai mereka tanda tangan. Diupacarakan dan, karena itu, diberitakan. Ujung-ujungnya nanti bagaimana pelaksanaannya. Dari “pakta integritas” ke “fakta integritas”. Kita tunggu dan lihat itunya.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 9 April 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
pakta integritas,
pemerintahan,
politik,
sikka
08 April 2011
Tahan Sampai Habis!
Kasus Pencobaan Pembunuhan di Sikka
Oleh Frans Anggal
Meridian Dewanto, kuasa hukum Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sikka Bernadus Nita, ajukan permohonan penangguhan penahanan. Kapolres Ghiri Prawijaya masih mempelajarinya, sebelum memutuskan mengabulkan atau menolak (Flores Pos Kamis 7 April 2011).
Kadis Nita ditahan 20 hari sejak Kamis 31 Maret, setelah ditetapkan jadi tersangka dalam kasus pencobaan pembunuhan terhadap seorang stafnya, Wens Maring. Ia dijerat pasal 53 jo 338 subsidair 335 KUHP dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.
Tersangka mengejar Wens Maring dengan sebilah parang Rabu 30 Maret 2011, di kantor, pada jam dinas. Polisi turun tangan. Bupati Sosi Mitang tugas¬kan Asisten II Setda Blasius Pedor memediasi penye¬lesaian masalah (Flores Pos Kamis 31 Maret 2011).
Mediasi tidak batalkan tekad Wens Maring melapor ke polisi. Berdasarkan laporannyalah polisi bertindak. "Ia (Berandus Nita) ditetap¬kan jadi tersangka dan ditahan karena memiliki cukup bukti melakukan pencobaan pembunuhan terhadap salah seorang stafnya," kata Kasubag Humas Polres Sikka M. Behi (Flores Pos Sabtu 2 April 2011).
Sekarang kuasa hukum tersangka ajukan permohonan penangguhan penahanan. Dia kemukakan dua alasan. Pertama, selaku kadis DKP, tersangka masih sangat dibutuhkan sumbangsihnya bagi kepentingan masyarakat di dinasnya. Kedua, selaku kepala keluarga, tersangka sangat dibutuhkan kehadirannya oleh istri dan anak-anak di rumah.
Mengabulkan atau menolak, itu hak prerogatif kapolres. Hak prerogatif merupakan sebuah privilese, hak istimewa. Meski demikian, dasarnya harus tetap rasional. Kalau kapolres mengabulkan atau menolak permohonan penangguhan penahanan, dasarnya apa? Tanpa dasar yang rasional, penunaian hak prerogatif layak dan patut diduga sebagai bentuk pe¬nyalah¬gunaan wewenang (abuse of power).
Secara objektif, penahanan sang tersangka sudah legal. Sebab, ancaman hukumannya di atas lima tahun. Secara subjektif, penahanannya pun sudah rasional. Bukan hanya karena ia bisa mengulangi perbuatannya, bisa menghilangkan barang bukti, dan bisa melarikan diri. Tapi juga dan terutama, karena ia sedang berperkara dengan bawahannya sendiri!
Seandainya ia tidak ditahan, dengan demikian pula tetap berdinas sebagai kepala kantor, patut dapat diduga ia akan menyalahgunakan wewenang untuk memaksa atau mempengaruhi atau mengondisikan sedemikian rupa bawahannya sehingga sang bawahan terpaksa menarik kembali laporan polisi. Praduga ini patut dipertimbangkan menghadapi pernyataan kuasa hukum. Dia bilang, kalau kliennya bisa berada di luar tahanan, maka ia akan berupaya maksimal mendamaikan pelaku dan korban.
Dengan dasar objektif dan subjektif, kita mendesak kapolres agar tidak mengabulkan permohonan penangguhan penahanan tersangka. Lagi pula, alasan yang dikemukakan kuasa hukumnya sangat rapuh. Dia bilang, selaku kadis DKP, tersangka masih sangat dibutuhkan sumbangsihnya bagi kepentingan masyarakat di dinasnya.
Benarkah begitu? Tidak! De facto, sang tersangka tidak sedang dibutuhkan. Kalau benar ia dibutuhkan di dinasnya, bupati tentu sudah mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Itu tidak terjadi. Yang terjadi adalah: bupati menunjuk Asisten II Setda Blasius Pedor menjadi penjabat kepala DKP (Flores Pos Senin 4 April 2011). Jadi, Pak Kapolres, jangan ragu-ragu. Tahan sampai habis 20 hari!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 8 April 2011
Oleh Frans Anggal
Meridian Dewanto, kuasa hukum Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sikka Bernadus Nita, ajukan permohonan penangguhan penahanan. Kapolres Ghiri Prawijaya masih mempelajarinya, sebelum memutuskan mengabulkan atau menolak (Flores Pos Kamis 7 April 2011).
Kadis Nita ditahan 20 hari sejak Kamis 31 Maret, setelah ditetapkan jadi tersangka dalam kasus pencobaan pembunuhan terhadap seorang stafnya, Wens Maring. Ia dijerat pasal 53 jo 338 subsidair 335 KUHP dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.
Tersangka mengejar Wens Maring dengan sebilah parang Rabu 30 Maret 2011, di kantor, pada jam dinas. Polisi turun tangan. Bupati Sosi Mitang tugas¬kan Asisten II Setda Blasius Pedor memediasi penye¬lesaian masalah (Flores Pos Kamis 31 Maret 2011).
Mediasi tidak batalkan tekad Wens Maring melapor ke polisi. Berdasarkan laporannyalah polisi bertindak. "Ia (Berandus Nita) ditetap¬kan jadi tersangka dan ditahan karena memiliki cukup bukti melakukan pencobaan pembunuhan terhadap salah seorang stafnya," kata Kasubag Humas Polres Sikka M. Behi (Flores Pos Sabtu 2 April 2011).
Sekarang kuasa hukum tersangka ajukan permohonan penangguhan penahanan. Dia kemukakan dua alasan. Pertama, selaku kadis DKP, tersangka masih sangat dibutuhkan sumbangsihnya bagi kepentingan masyarakat di dinasnya. Kedua, selaku kepala keluarga, tersangka sangat dibutuhkan kehadirannya oleh istri dan anak-anak di rumah.
Mengabulkan atau menolak, itu hak prerogatif kapolres. Hak prerogatif merupakan sebuah privilese, hak istimewa. Meski demikian, dasarnya harus tetap rasional. Kalau kapolres mengabulkan atau menolak permohonan penangguhan penahanan, dasarnya apa? Tanpa dasar yang rasional, penunaian hak prerogatif layak dan patut diduga sebagai bentuk pe¬nyalah¬gunaan wewenang (abuse of power).
Secara objektif, penahanan sang tersangka sudah legal. Sebab, ancaman hukumannya di atas lima tahun. Secara subjektif, penahanannya pun sudah rasional. Bukan hanya karena ia bisa mengulangi perbuatannya, bisa menghilangkan barang bukti, dan bisa melarikan diri. Tapi juga dan terutama, karena ia sedang berperkara dengan bawahannya sendiri!
Seandainya ia tidak ditahan, dengan demikian pula tetap berdinas sebagai kepala kantor, patut dapat diduga ia akan menyalahgunakan wewenang untuk memaksa atau mempengaruhi atau mengondisikan sedemikian rupa bawahannya sehingga sang bawahan terpaksa menarik kembali laporan polisi. Praduga ini patut dipertimbangkan menghadapi pernyataan kuasa hukum. Dia bilang, kalau kliennya bisa berada di luar tahanan, maka ia akan berupaya maksimal mendamaikan pelaku dan korban.
Dengan dasar objektif dan subjektif, kita mendesak kapolres agar tidak mengabulkan permohonan penangguhan penahanan tersangka. Lagi pula, alasan yang dikemukakan kuasa hukumnya sangat rapuh. Dia bilang, selaku kadis DKP, tersangka masih sangat dibutuhkan sumbangsihnya bagi kepentingan masyarakat di dinasnya.
Benarkah begitu? Tidak! De facto, sang tersangka tidak sedang dibutuhkan. Kalau benar ia dibutuhkan di dinasnya, bupati tentu sudah mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Itu tidak terjadi. Yang terjadi adalah: bupati menunjuk Asisten II Setda Blasius Pedor menjadi penjabat kepala DKP (Flores Pos Senin 4 April 2011). Jadi, Pak Kapolres, jangan ragu-ragu. Tahan sampai habis 20 hari!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 8 April 2011
Label:
bentara,
bernadus nita,
dinas kelautan dan perikanan sikka,
flores,
flores pos,
hukum,
pencobaan pembunuhan,
sikka,
wens maring
Jalur Damai, Hanya Cara
Kasus Tambang Mangan di Serise
Oleh Frans Anggal
Unsur muspida sarankan, sengketa warga Serise vs PT Arumbai Mangabekti diselesaikan secara damai. Saran disampaikan dalam pertemuan warga Serise dengan Arumbai di Mapolres Manggarai di Ruteng, Sabtu 2 April 2011. Petemuan ini terkait sengketa lokasi tambang mangan Lingko Rengge Komba, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur (Flores Pos Selasa 5 April 2011).
Saran dilontarkan Ketua Pengadilan Negeri Ruteng Robert, Kajari Ruteng Gembong Priyanto, Dandim Manggarai Abdul Fatoni, dan Kadistamban Mangga¬rai Timur Thomas Ngalong. Pertemuan diprakarsai dan difasilitasi Kapolres Manggarai Hambali.
Menurut para pejabat, jalur damai lebih baik ketimbang jalur hukum. Di jalur damai, kedua pihak bisa sama-sama menang (win-win solution). Tidak demikian di jalur hukum. Jalur hukum mengha-ruskan mereka siap menang dan kalah (win-lose solution).
Hingga pertemuan berakhir, saran tersebut tetap menggantung. Kedua belah pihak tetap pada sikap masing-masing. Arumbai berpendirian, penambangan di Lingko Rengge Komba legal. Sebab, pihaknya telah dapat izin dari Gendang Satar Teu. Sedangkan Serise tetap bersikap, penambangan itu ilegal. Sebab, Lingko Rengge Komba bukan milik Satar Teu. Itu milik Serise. Dan Serise tidak pernah beri izin atau serahkan lahan itu untuk ditambang.
Dari sikap berbeda itu, lahir tindakan berbeda. Karena menganggapnya legal, Arumbai tetap menambang. Sebaliknya, karena menganggapnya ilegal, Serise menghalangi penambangan. Mereka duduki dan pagari lokasi. Polres turun tangan. Awal Desember 2010, lahir kesepakatan pen-status-quo-an. Tidak boleh ada kegiatan apa pun di atas lokasi sengketa. Pelaksanaannya dijamin kapolres.
Fakta di lapangan, jaminan kapolres tidak jalan. Dua kali Arumbai langgar kesepakatan. Pertama, akhir Desember 2010, Arumbai membuka jalan masuk di areal status quo. Juga membuang limbah mangan. Orang-orang tak dikenal, kaki tangan Arumbai, lalu-lalang. Serise sudah laporkan ini ke polres. Kedua, medio Maret 2011, Arumbai paksa agar prosesing mangan di tengah kampung Serise diaktifkan lagi. Warga menolak. Kedua pihak bersitegang. Warga mengusir Arumbai keluar dari kampung.
Apa tindakan polres terhadap dua pelanggaran Arumbai? Tidak ada! Aneh. Melanggar kesepakatan yang dijamin kapolres sama artinya mengangkangi kapolres, si penjamin kesepakatan. Dua kali kapolres dikangkangi. Kapolres hanya diam. Tidak berdaya.
Sekarang, si tak berdaya ini pertemuan Serise dan Arumbai. Setingnya, Serise dan Arumbai berdamai. Ini didukung muspida. Bagaimana bisa damai kalau kesepakatan pen-status-quo-an Lingko Rengge Komba tetap dilanggar? Bagaimana bisa damai kalau terhadap pelanggaran itu, kapolres hanya diam?
Itu menyangkut prakondisi perdamaian. Sedangkan menyangkut isi perdamaian, itu belum jelas. Namun, sepertinya sudah ada preseden. Akhir Desember 2010, para kaki tangan Arumbai keluar masuk lokasi sengketa. Mereka merayu warga agar menerima ganti rugi, dengan demikian Arumbai tetap menambang.
Kalau itu isinya, lupakan saja perdamain. Sebab, sikap Serise sudah jelas, tegas, dan final: "Kembalikan ruang hidup kami!" Dalam budaya Manggarai, ‘ruang hidup’ (Jerman: Lebensraum) mencakup rumah, kampung, kebun, dan sumber air. Sangat jelas, ruang hidup itu bukan uang. Tidak bisa pula diganti dengan uang. Ia hanya bisa dikembalikan, apa pun caranya. Dan, jalur damai atau jalur hukum, itu hanya cara.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 7 April 2011
Oleh Frans Anggal
Unsur muspida sarankan, sengketa warga Serise vs PT Arumbai Mangabekti diselesaikan secara damai. Saran disampaikan dalam pertemuan warga Serise dengan Arumbai di Mapolres Manggarai di Ruteng, Sabtu 2 April 2011. Petemuan ini terkait sengketa lokasi tambang mangan Lingko Rengge Komba, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur (Flores Pos Selasa 5 April 2011).
Saran dilontarkan Ketua Pengadilan Negeri Ruteng Robert, Kajari Ruteng Gembong Priyanto, Dandim Manggarai Abdul Fatoni, dan Kadistamban Mangga¬rai Timur Thomas Ngalong. Pertemuan diprakarsai dan difasilitasi Kapolres Manggarai Hambali.
Menurut para pejabat, jalur damai lebih baik ketimbang jalur hukum. Di jalur damai, kedua pihak bisa sama-sama menang (win-win solution). Tidak demikian di jalur hukum. Jalur hukum mengha-ruskan mereka siap menang dan kalah (win-lose solution).
Hingga pertemuan berakhir, saran tersebut tetap menggantung. Kedua belah pihak tetap pada sikap masing-masing. Arumbai berpendirian, penambangan di Lingko Rengge Komba legal. Sebab, pihaknya telah dapat izin dari Gendang Satar Teu. Sedangkan Serise tetap bersikap, penambangan itu ilegal. Sebab, Lingko Rengge Komba bukan milik Satar Teu. Itu milik Serise. Dan Serise tidak pernah beri izin atau serahkan lahan itu untuk ditambang.
Dari sikap berbeda itu, lahir tindakan berbeda. Karena menganggapnya legal, Arumbai tetap menambang. Sebaliknya, karena menganggapnya ilegal, Serise menghalangi penambangan. Mereka duduki dan pagari lokasi. Polres turun tangan. Awal Desember 2010, lahir kesepakatan pen-status-quo-an. Tidak boleh ada kegiatan apa pun di atas lokasi sengketa. Pelaksanaannya dijamin kapolres.
Fakta di lapangan, jaminan kapolres tidak jalan. Dua kali Arumbai langgar kesepakatan. Pertama, akhir Desember 2010, Arumbai membuka jalan masuk di areal status quo. Juga membuang limbah mangan. Orang-orang tak dikenal, kaki tangan Arumbai, lalu-lalang. Serise sudah laporkan ini ke polres. Kedua, medio Maret 2011, Arumbai paksa agar prosesing mangan di tengah kampung Serise diaktifkan lagi. Warga menolak. Kedua pihak bersitegang. Warga mengusir Arumbai keluar dari kampung.
Apa tindakan polres terhadap dua pelanggaran Arumbai? Tidak ada! Aneh. Melanggar kesepakatan yang dijamin kapolres sama artinya mengangkangi kapolres, si penjamin kesepakatan. Dua kali kapolres dikangkangi. Kapolres hanya diam. Tidak berdaya.
Sekarang, si tak berdaya ini pertemuan Serise dan Arumbai. Setingnya, Serise dan Arumbai berdamai. Ini didukung muspida. Bagaimana bisa damai kalau kesepakatan pen-status-quo-an Lingko Rengge Komba tetap dilanggar? Bagaimana bisa damai kalau terhadap pelanggaran itu, kapolres hanya diam?
Itu menyangkut prakondisi perdamaian. Sedangkan menyangkut isi perdamaian, itu belum jelas. Namun, sepertinya sudah ada preseden. Akhir Desember 2010, para kaki tangan Arumbai keluar masuk lokasi sengketa. Mereka merayu warga agar menerima ganti rugi, dengan demikian Arumbai tetap menambang.
Kalau itu isinya, lupakan saja perdamain. Sebab, sikap Serise sudah jelas, tegas, dan final: "Kembalikan ruang hidup kami!" Dalam budaya Manggarai, ‘ruang hidup’ (Jerman: Lebensraum) mencakup rumah, kampung, kebun, dan sumber air. Sangat jelas, ruang hidup itu bukan uang. Tidak bisa pula diganti dengan uang. Ia hanya bisa dikembalikan, apa pun caranya. Dan, jalur damai atau jalur hukum, itu hanya cara.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 7 April 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kapolres manggarai,
manggarai timur,
pertambangan,
pt raumbai mangabekti,
serise,
tambang mangan
05 April 2011
”Trio Maut” dari Matim
Bupati-DPRD-Kapitalis vs Masyarakat Adat
Oleh Frans Anggal
Pertemuan antara warga Serise dan PT Arumbai Mangabekti terkait sengketa Lingko Rengge Komba, areal Arumbai menambang mangan di Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai Timur, gagal mencapai kesepakatan. Pertemuan di mapolres di Ruteng, Sabtu 4 April 2011. Pemrakarsa Kapolres Hambali. Hadir, Kajari Gembong Priyanto, Ketua PN Robert, Dandim Abdul Fatony, dan Kadistamben Manggarai Timur Thomas Ngalong (Flores Pos Senin 4 April 2011).
Arumbai tetap berpendirian, penambangan di Lingko Rengge Komba sah. Sebab, pihaknya telah mendapat izin dari Gendang Satar Teu. "Kalau dirugikan, silakan gugat Satar Teu. Karena kita dapat izinan dari Satar Teu," kata Ahmadi, kepala perwakilan Arumbai.
Sedangkan Serise tetap bersikap, penambangan itu ilegal. Sebab, Lingko Rengge Komba bukan milik Satar Teu, tapi milik Serise. Dan Serise tidak pernah memberi izin atau menyerahkannya untuk ditambang. "Kami tidak (ber)perkara dengan orang Satar Teu, tapi dengan perusahaan (Arumbai) yang merusak lingko kami," kata Sipri Amon, tua teno Serise. Tuntutannya: kembalkan ruang hidup mereka. Hentikan kegiatan di lingko mereka, Rengge Komba.
Yang mengikuti kasus ini tentu tidak asing dengan sikap dan argumentasi kedua belah pihak. Yang baru di sini hanyalah forumnya. Para pihak dipertemukan oleh kapolres. Sebelumnya, diupayakan oleh Bupati Manggarai Timur Yoseph Tote, di Dampek, tapi gagal karena Serise tidak hadir. Serise tidak hadiri karena pemkab berpihak secara salah setelah mewawas secara salah.
Menurut pemkab, masalah pokok di Serise bukan masalah tambang tapi masalah tanah. Maksudnya, sengketa itu bukan sengketa Serise vs Arumbai, tapi sengketa Serise vs Satar Teu. Ini cara wawas yang sesat. Dan kesesatan itu semakin terlihat dalam pertemuan yang diprakarsai kapolres.
Dalam pertemuan tersebut, tua adat Satar Teu, Herman Lau, menegaskan, Satar Teu tidak pernah menyerahkan Lingko Rengge Komba ke Arumbai. "Yang diserahkan hanya Lingko Golo Bongko. Buktinya, ada surat penyerahan. Untuk Rengge Komba, tidak ada." Pernyataan ini mementahkan argumentasi Arumbai. Sebaliknya, mengukuhkan argumentasi Serise.
Sejalan dengan itu, sesat wawas pemkab pun semakin tersingkap. Masalah pokok di Serise bukan masalah tanah, tapi masalah tambang. Sengketanya bukan Serise vs Satar Teu, tapi Serise vs Arumbai. Arumbai menambang di Lingko Rengge Komba tanpa izin Serise selaku pemilik. Arumbai menyerobot. Dengan demikian, penambangannya ilegal.
Tidak hanya secara lisan. Secara tertulis, masyarakat adat Satar Teu telah membuat pernyataan. Bertanggal 1 Februari 2011. Ditujukan kepada kapolres. Isinya, antara lain, Satar Teu tidak pernah menyerahkan Lingko Rengge Komba kepada Arumbai. "Berdasarkan sejarah leluhur kami, Rengge Komba adalah milik masyarakat adat Serise. Kami merasa tidak berhak untuk menyerahkan Rengge Komba kepada PT Arumbai Mangabekti."
Masyarakat adat ini prihatin dengan sikap bupati, DPRD, dan Arumbai. Tiga pihak ini tetap saja menyebarkan informasi sesat bahwa masyarakat adat Satar Teu telah memberi izin kepada Arumbai untuk mengeksploitasi Rengge Komba dengan sejumlah kompensasi yang telah diberikan Arumbai.
Bukan hanya masyarakat adat Satar Teu yang heran. Masyarakat adat Serise pun heran. Kita juga ikut heran. Arumbali, bupati, dan DPRD begitu kompaknya. Mereka jadi "trio", berdiri satu kaki, membawa maut bagi masyarakat adat yang ruang hidupnya dicaplok tambang. "Trio Maut" dari Matim!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 5 April 2011
Oleh Frans Anggal
Pertemuan antara warga Serise dan PT Arumbai Mangabekti terkait sengketa Lingko Rengge Komba, areal Arumbai menambang mangan di Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai Timur, gagal mencapai kesepakatan. Pertemuan di mapolres di Ruteng, Sabtu 4 April 2011. Pemrakarsa Kapolres Hambali. Hadir, Kajari Gembong Priyanto, Ketua PN Robert, Dandim Abdul Fatony, dan Kadistamben Manggarai Timur Thomas Ngalong (Flores Pos Senin 4 April 2011).
Arumbai tetap berpendirian, penambangan di Lingko Rengge Komba sah. Sebab, pihaknya telah mendapat izin dari Gendang Satar Teu. "Kalau dirugikan, silakan gugat Satar Teu. Karena kita dapat izinan dari Satar Teu," kata Ahmadi, kepala perwakilan Arumbai.
Sedangkan Serise tetap bersikap, penambangan itu ilegal. Sebab, Lingko Rengge Komba bukan milik Satar Teu, tapi milik Serise. Dan Serise tidak pernah memberi izin atau menyerahkannya untuk ditambang. "Kami tidak (ber)perkara dengan orang Satar Teu, tapi dengan perusahaan (Arumbai) yang merusak lingko kami," kata Sipri Amon, tua teno Serise. Tuntutannya: kembalkan ruang hidup mereka. Hentikan kegiatan di lingko mereka, Rengge Komba.
Yang mengikuti kasus ini tentu tidak asing dengan sikap dan argumentasi kedua belah pihak. Yang baru di sini hanyalah forumnya. Para pihak dipertemukan oleh kapolres. Sebelumnya, diupayakan oleh Bupati Manggarai Timur Yoseph Tote, di Dampek, tapi gagal karena Serise tidak hadir. Serise tidak hadiri karena pemkab berpihak secara salah setelah mewawas secara salah.
Menurut pemkab, masalah pokok di Serise bukan masalah tambang tapi masalah tanah. Maksudnya, sengketa itu bukan sengketa Serise vs Arumbai, tapi sengketa Serise vs Satar Teu. Ini cara wawas yang sesat. Dan kesesatan itu semakin terlihat dalam pertemuan yang diprakarsai kapolres.
Dalam pertemuan tersebut, tua adat Satar Teu, Herman Lau, menegaskan, Satar Teu tidak pernah menyerahkan Lingko Rengge Komba ke Arumbai. "Yang diserahkan hanya Lingko Golo Bongko. Buktinya, ada surat penyerahan. Untuk Rengge Komba, tidak ada." Pernyataan ini mementahkan argumentasi Arumbai. Sebaliknya, mengukuhkan argumentasi Serise.
Sejalan dengan itu, sesat wawas pemkab pun semakin tersingkap. Masalah pokok di Serise bukan masalah tanah, tapi masalah tambang. Sengketanya bukan Serise vs Satar Teu, tapi Serise vs Arumbai. Arumbai menambang di Lingko Rengge Komba tanpa izin Serise selaku pemilik. Arumbai menyerobot. Dengan demikian, penambangannya ilegal.
Tidak hanya secara lisan. Secara tertulis, masyarakat adat Satar Teu telah membuat pernyataan. Bertanggal 1 Februari 2011. Ditujukan kepada kapolres. Isinya, antara lain, Satar Teu tidak pernah menyerahkan Lingko Rengge Komba kepada Arumbai. "Berdasarkan sejarah leluhur kami, Rengge Komba adalah milik masyarakat adat Serise. Kami merasa tidak berhak untuk menyerahkan Rengge Komba kepada PT Arumbai Mangabekti."
Masyarakat adat ini prihatin dengan sikap bupati, DPRD, dan Arumbai. Tiga pihak ini tetap saja menyebarkan informasi sesat bahwa masyarakat adat Satar Teu telah memberi izin kepada Arumbai untuk mengeksploitasi Rengge Komba dengan sejumlah kompensasi yang telah diberikan Arumbai.
Bukan hanya masyarakat adat Satar Teu yang heran. Masyarakat adat Serise pun heran. Kita juga ikut heran. Arumbali, bupati, dan DPRD begitu kompaknya. Mereka jadi "trio", berdiri satu kaki, membawa maut bagi masyarakat adat yang ruang hidupnya dicaplok tambang. "Trio Maut" dari Matim!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 5 April 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
manggarai timur,
pertambangan,
pt arumbai mangabekti,
serise,
tambang mangan
04 April 2011
Makarius Arus
Mengenang Jasa Seorang Pemusik
Oleh Frans Anggal
Penyanyi legendaris Manggarai, Makarius Arus, tutup usia Selasa 26 Maret 2011 di kampungnya, Maras, Desa Belang Turi, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai. Ia meninggal pada usia 70 tahun, setelah cukup lama menderita sakit. Ia meninggalkan seorang istri dan tiga anak yang sudah besar. Almarhum dikuburkan pada Rabu 27 Maret (Flores Pos Sabtu 2 April 2011)
"Kita kehilangan seorang maestro musik Manggarai," kata Kristo Mboi, keluarga almarhum. Menurut anggota DPRD Manggarai ini, Makarius perlu diberi penghargaan. Makarius telah harumkan nama Manggarai lewat lagu-lagunya.
Kalau Makarius diberi penghargaan, tentu alasannya tidak hanya karena ia telah harumkan Manggarai. Ia juga telah mendidik Manggarai! Lagu-lagunya bersaksi tentang nilai-nilai. Tentang yang indah (pulchrum), suci (sacrum), utuh (unum), benar (verum), baik (bonum), cerah (clarum), jujur (honestum), manusiawi (humanum), adil (iustum), dina (parvum).
Pada lagu "Thomas e", jerit dukalara seorang istri begitu terasa. Suaminya, Thomas, hilang tersapu banjir ketika sedang mencari nafkah. Sang istri yakin suaminya meninggal, namun ia tetap berharap kekasih hatinya itu akan kembali. "Ide de toe tara cai rona ge." Sebuah pengalaman eksistensial keterhilangan yang membawa seseorang pada ilusi penantian sia-sia.
Pada lagu "Congka Sae", generasi muda Manggarai diingatkan agar tetap bangga dan menghargai budaya sendiri. "Neka nanang dansa, dansa congka data." Empunya sendiri lebih bagus daripada empunya orang lain. Maka, boleh terbuka, asal tetap kritis. Silakan 'ke luar’, asalkan tidak tercerabut dari akar budaya tanah tumpah darah. Silakan keluar dari Manggarai, tapi janganlah Manggarai keluar dari diri para insannya.
Pada lagu "Kiong", warga Manggarai diingatkan akan entitas ke-manggarai-annya. Entitas geografis-kultural. "Selat Sape rahit salen. Wae Mokel rahit awon." Ini semacam "Dari Sabang Sampai Marauke”-nya Manggarai. Dalam lagu ini, warga diajak untuk tidak melupakan tanah tumpah darah . "Neka oke kuni agu kalo." Secara geografis-administratif-kepemerintahan, Manggarai sudah terbagi dalam tiga kabupaten. Meski demikian, secara kultural, warganya tetap merasa bersatu dalam sebuah Manggarai Raya.
Banyak atau sedikit, Makarius Arus punya andil merekatkan rasa itu. Tidak lewat pidato di mimbar. Tidak lewat opini di koran. Tapi lewat lagu, yang diciptakan dan dinyanyikannya sendiri, dan pada era 1970-an dibawakannya hanya dengan iringan sebuah gitar yang dimaikannya sendiri pula, sebelum akhirnya ia masuk dapur rekaman "sesungguhnya" pada era 2000-an bersama Rensi Ambang.
Pada tahun 1970-an, ”dapur rekaman” Makarius adalah rumah warga. Di Ruteng, kala itu, ia diundang dari rumah ke rumah. Bernyanyi sambil bergitar dan direkam dengan tape recorder. Jasanya dibayar. Tentu sangat melelahkan kalau sehari ia melayani lima undangan, yang berarti lima kali rekaman. Namun, berkat rekaman door to door itulah lagu-lagunya tersebar dari kaset ke kaset. Tak lama berselang, "Thomas e" masuk rekaman "benaran" oleh De Rozen Group pimpinan MT de Rosari yang saat itu sukses merilis lagu dari 12 kabupaten di NTT.
Makarius Arus seorang tunanetra. Orang kampung. Tinggal di kampung. Tidak bersekolah. Ia sederhana. Notasi lagu-lagunya pun sederhana. Akordnya sederhana. Mudah diingat, mudah dihafalkan. Cara bernyanyinya juga sederhana. Suaranya los, lepas, apa adanya. Tapi, sungguh menyentuh rasa. Karena, dia bernyanyi dengan hati. Hati untuk sebuah Manggarai, tanah tumpah darahnya, kuni agu kalo ne.
Syair lagu-lagunya menunjukkan ia mencintai tumpah darahnya itu. Lewat musik, ia mengabdi, mendidik, menyadarkan, mencerahkan, dan mempersatukannya. Ia penjasa. Karena itu, Manggarai pantas mengenangnya. Pantas memberinya penghargaan.
“Bentara” FLORES POS, Senin 4 April 2011
Oleh Frans Anggal
Penyanyi legendaris Manggarai, Makarius Arus, tutup usia Selasa 26 Maret 2011 di kampungnya, Maras, Desa Belang Turi, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai. Ia meninggal pada usia 70 tahun, setelah cukup lama menderita sakit. Ia meninggalkan seorang istri dan tiga anak yang sudah besar. Almarhum dikuburkan pada Rabu 27 Maret (Flores Pos Sabtu 2 April 2011)
"Kita kehilangan seorang maestro musik Manggarai," kata Kristo Mboi, keluarga almarhum. Menurut anggota DPRD Manggarai ini, Makarius perlu diberi penghargaan. Makarius telah harumkan nama Manggarai lewat lagu-lagunya.
Kalau Makarius diberi penghargaan, tentu alasannya tidak hanya karena ia telah harumkan Manggarai. Ia juga telah mendidik Manggarai! Lagu-lagunya bersaksi tentang nilai-nilai. Tentang yang indah (pulchrum), suci (sacrum), utuh (unum), benar (verum), baik (bonum), cerah (clarum), jujur (honestum), manusiawi (humanum), adil (iustum), dina (parvum).
Pada lagu "Thomas e", jerit dukalara seorang istri begitu terasa. Suaminya, Thomas, hilang tersapu banjir ketika sedang mencari nafkah. Sang istri yakin suaminya meninggal, namun ia tetap berharap kekasih hatinya itu akan kembali. "Ide de toe tara cai rona ge." Sebuah pengalaman eksistensial keterhilangan yang membawa seseorang pada ilusi penantian sia-sia.
Pada lagu "Congka Sae", generasi muda Manggarai diingatkan agar tetap bangga dan menghargai budaya sendiri. "Neka nanang dansa, dansa congka data." Empunya sendiri lebih bagus daripada empunya orang lain. Maka, boleh terbuka, asal tetap kritis. Silakan 'ke luar’, asalkan tidak tercerabut dari akar budaya tanah tumpah darah. Silakan keluar dari Manggarai, tapi janganlah Manggarai keluar dari diri para insannya.
Pada lagu "Kiong", warga Manggarai diingatkan akan entitas ke-manggarai-annya. Entitas geografis-kultural. "Selat Sape rahit salen. Wae Mokel rahit awon." Ini semacam "Dari Sabang Sampai Marauke”-nya Manggarai. Dalam lagu ini, warga diajak untuk tidak melupakan tanah tumpah darah . "Neka oke kuni agu kalo." Secara geografis-administratif-kepemerintahan, Manggarai sudah terbagi dalam tiga kabupaten. Meski demikian, secara kultural, warganya tetap merasa bersatu dalam sebuah Manggarai Raya.
Banyak atau sedikit, Makarius Arus punya andil merekatkan rasa itu. Tidak lewat pidato di mimbar. Tidak lewat opini di koran. Tapi lewat lagu, yang diciptakan dan dinyanyikannya sendiri, dan pada era 1970-an dibawakannya hanya dengan iringan sebuah gitar yang dimaikannya sendiri pula, sebelum akhirnya ia masuk dapur rekaman "sesungguhnya" pada era 2000-an bersama Rensi Ambang.
Pada tahun 1970-an, ”dapur rekaman” Makarius adalah rumah warga. Di Ruteng, kala itu, ia diundang dari rumah ke rumah. Bernyanyi sambil bergitar dan direkam dengan tape recorder. Jasanya dibayar. Tentu sangat melelahkan kalau sehari ia melayani lima undangan, yang berarti lima kali rekaman. Namun, berkat rekaman door to door itulah lagu-lagunya tersebar dari kaset ke kaset. Tak lama berselang, "Thomas e" masuk rekaman "benaran" oleh De Rozen Group pimpinan MT de Rosari yang saat itu sukses merilis lagu dari 12 kabupaten di NTT.
Makarius Arus seorang tunanetra. Orang kampung. Tinggal di kampung. Tidak bersekolah. Ia sederhana. Notasi lagu-lagunya pun sederhana. Akordnya sederhana. Mudah diingat, mudah dihafalkan. Cara bernyanyinya juga sederhana. Suaranya los, lepas, apa adanya. Tapi, sungguh menyentuh rasa. Karena, dia bernyanyi dengan hati. Hati untuk sebuah Manggarai, tanah tumpah darahnya, kuni agu kalo ne.
Syair lagu-lagunya menunjukkan ia mencintai tumpah darahnya itu. Lewat musik, ia mengabdi, mendidik, menyadarkan, mencerahkan, dan mempersatukannya. Ia penjasa. Karena itu, Manggarai pantas mengenangnya. Pantas memberinya penghargaan.
“Bentara” FLORES POS, Senin 4 April 2011
Label:
bentara,
budaya,
flores,
flores pos,
manggarai raya,
musik
02 April 2011
Ganti Kadis DKP Sikka!
Kasus Ancaman Pembunuhan
Oleh Frans Anggal
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sikka Bernadus Nita mengejar stafnya Wens Maring dengan sebilah parang, Rabu 30 Maret 2011. Polisi turun tangan. Bupati Sosimus Mitang tugaskan Asisten II Setda Blasius Pedor memediasi penyelesaian masalah (Flores Pos Kamis 31 Maret 2011).
Motif kasusnya belum jelas. Kadis Bernadus Nita menolak diwawancarai. Korban Wens Maring pun tidak tahu apa biang keroknya. Kejadiannya di kantor, pada jam dinas. Wens dkk duduk di ruang komputer. "Saya tidak main-main komputer. Hanya, saat kadis datang, mouse komputer saya sentuh dengan tangan. Kadis kira saya main komputer. Lalu (kadis) bentak saya."
Setelah dibentak, Wens keluar ruangan. Ia tetap dibuntuti sang kadis. "Saat saya ngobrol dengan teman-teman, kadis tiba-tiba lari menuju mobilnya dan mengambil sebilah parang. Saya dikejar kadis sampai dua kali sambil bawa parang." Wens bertekad bikin laporan polisi. "Saya dikejar dengan parang. Ini membuat saya terancam. Kenyamanan saya terganggu."
Apa pun motifnya, tindakan Kadis Nita tidak dapat dibenarkan. Hukum dan moral pasti mendakwanya bersalah. Lain halnya kalau dia dalam kedaaan gila. Orang gila tidak dapat menjadi subjek hukum. Mereka dianggap tidak bebas dan tidak sadar melakukan sesuatu, sehingga tidak dapat pula dimintai pertanggungjawaban.
Apakah Kadis Nita dalam kedaan seperti itu, sehingga tidak perlu dimintai pertanggungjawaban? Pertanyaan ini sebentuk dukungan terhadap tekad Wens Maring melapor ke polisi. Sang kadis perlu dipolisikan, bukan hanya karena pelapornya terancam, tapi juga karena sang pelaku tidak sedang dalam keadaan gila. Kalau gila, ia tidak perlu "di-polisi-kan". Cukup "di-psikiater-kan".
Sejauh diberitakan Flores Pos, ini kasus kedua dalam tiga bulan terakhir. Melibatkan orang yang sama: Kadis Bernadus Nita. Memperlihatan tingkah laku yang sama pula: temperamental. Awal Januari 2011, tiga wartawan di Maumere melaporkan kadis ini ke polisi. Ia diduga melakukan pelecehan lewat kata-kata. Dia bilang, dia tidak punya uang untuk bayar wartawan. Orang pers biasa datang minta uang. Ia menyuruh ketiga wartawan minta uang ke pihak lain (Flores Pos Selasa 4 Januari 2011).
“Bentara” Flores Pos Rabu 5 Januari 2011 menegaskan sang kadis salah sangka. Sesat pikir. Gegabah menggeneralisasi. Seolah semua wartawan tukang minta uang. Ia tak pandai pula kendalikan diri. Apa yang ada di otak langsung disemburkan ke luar. Ia buruk berucap, setelah gagal bernalar.
Tentang dia, Bupati Sosi Mitang telah nyatakan kekecewaan. "Saya sudah bosan dengan sikap bawahan saya ini. Ia sering melakukan aksi tak terpuji, termasuk dengan bawahannya. Apa yang keluar dari mulutnya harus bisa dipertanggungjawabkan. Saya akan segera panggil dia" (Flores Pos Selasa 4 Januari 2011).
Halo, Pak Bupati. Inikah hasilnya? Setelah Bapak panggil dan bina orang yang sikapnya sudah membuat Bapak bosan itu, sekarang orang yang sama melakukan aksi yang lain. Mengejar stafnya dengan parang. Pembinaan Bapak terbukti tidak mempan. Orang ini perlu segera diganti.
Ia juga perlu diproses hukum. Untuk itu, tekad stafnya Wens Maring melapor ke polisi patut didukung. Tentu, tetap disertai mental reserve, siap batin untuk 'kecewa'. Belajar dari kasus sang kadis dengan tiga wartawan. Mulanya para wartawan ngotot memproses hukum. Eh, akhirnya diselesaikan di meja makan.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 2 April 2011
Oleh Frans Anggal
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sikka Bernadus Nita mengejar stafnya Wens Maring dengan sebilah parang, Rabu 30 Maret 2011. Polisi turun tangan. Bupati Sosimus Mitang tugaskan Asisten II Setda Blasius Pedor memediasi penyelesaian masalah (Flores Pos Kamis 31 Maret 2011).
Motif kasusnya belum jelas. Kadis Bernadus Nita menolak diwawancarai. Korban Wens Maring pun tidak tahu apa biang keroknya. Kejadiannya di kantor, pada jam dinas. Wens dkk duduk di ruang komputer. "Saya tidak main-main komputer. Hanya, saat kadis datang, mouse komputer saya sentuh dengan tangan. Kadis kira saya main komputer. Lalu (kadis) bentak saya."
Setelah dibentak, Wens keluar ruangan. Ia tetap dibuntuti sang kadis. "Saat saya ngobrol dengan teman-teman, kadis tiba-tiba lari menuju mobilnya dan mengambil sebilah parang. Saya dikejar kadis sampai dua kali sambil bawa parang." Wens bertekad bikin laporan polisi. "Saya dikejar dengan parang. Ini membuat saya terancam. Kenyamanan saya terganggu."
Apa pun motifnya, tindakan Kadis Nita tidak dapat dibenarkan. Hukum dan moral pasti mendakwanya bersalah. Lain halnya kalau dia dalam kedaaan gila. Orang gila tidak dapat menjadi subjek hukum. Mereka dianggap tidak bebas dan tidak sadar melakukan sesuatu, sehingga tidak dapat pula dimintai pertanggungjawaban.
Apakah Kadis Nita dalam kedaan seperti itu, sehingga tidak perlu dimintai pertanggungjawaban? Pertanyaan ini sebentuk dukungan terhadap tekad Wens Maring melapor ke polisi. Sang kadis perlu dipolisikan, bukan hanya karena pelapornya terancam, tapi juga karena sang pelaku tidak sedang dalam keadaan gila. Kalau gila, ia tidak perlu "di-polisi-kan". Cukup "di-psikiater-kan".
Sejauh diberitakan Flores Pos, ini kasus kedua dalam tiga bulan terakhir. Melibatkan orang yang sama: Kadis Bernadus Nita. Memperlihatan tingkah laku yang sama pula: temperamental. Awal Januari 2011, tiga wartawan di Maumere melaporkan kadis ini ke polisi. Ia diduga melakukan pelecehan lewat kata-kata. Dia bilang, dia tidak punya uang untuk bayar wartawan. Orang pers biasa datang minta uang. Ia menyuruh ketiga wartawan minta uang ke pihak lain (Flores Pos Selasa 4 Januari 2011).
“Bentara” Flores Pos Rabu 5 Januari 2011 menegaskan sang kadis salah sangka. Sesat pikir. Gegabah menggeneralisasi. Seolah semua wartawan tukang minta uang. Ia tak pandai pula kendalikan diri. Apa yang ada di otak langsung disemburkan ke luar. Ia buruk berucap, setelah gagal bernalar.
Tentang dia, Bupati Sosi Mitang telah nyatakan kekecewaan. "Saya sudah bosan dengan sikap bawahan saya ini. Ia sering melakukan aksi tak terpuji, termasuk dengan bawahannya. Apa yang keluar dari mulutnya harus bisa dipertanggungjawabkan. Saya akan segera panggil dia" (Flores Pos Selasa 4 Januari 2011).
Halo, Pak Bupati. Inikah hasilnya? Setelah Bapak panggil dan bina orang yang sikapnya sudah membuat Bapak bosan itu, sekarang orang yang sama melakukan aksi yang lain. Mengejar stafnya dengan parang. Pembinaan Bapak terbukti tidak mempan. Orang ini perlu segera diganti.
Ia juga perlu diproses hukum. Untuk itu, tekad stafnya Wens Maring melapor ke polisi patut didukung. Tentu, tetap disertai mental reserve, siap batin untuk 'kecewa'. Belajar dari kasus sang kadis dengan tiga wartawan. Mulanya para wartawan ngotot memproses hukum. Eh, akhirnya diselesaikan di meja makan.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 2 April 2011
Label:
ancaman pembunuhan,
bentara,
bernadus nita,
flores,
flores pos,
hukum,
kadis dkp sikka,
sikka
01 April 2011
Evakuasi Bangkai Politik
Optimalkan Kembali Fungsi Pelabuah Ippi Ende
Oleh Frans Anggal
Pemilik KM Nusa Damai, kapal roro yang tenggalam di kolam labuh Pelabuhan Ippi Ende pada 2004, meminta Pemkab Ende memfasilitasi pihak ketiga mengevakuasi bangkai kapal tersebut. Pemilik menyerahkan bangkai kapal kepada pemkab. Ia tidak minta ganti rugi ataupun pembagian hasil evakuasi.
Demikian kata Sekda Yoseph Ansar Rera usai memimpin rapat koordinasi dengan pihak terkait di Ende, Selasa 29 Maret 2011 (Flores Pos Rabu 30 Maret 2011). Pemkab tak punya dana evakuasi, kata sekda. Biaya evakuasi ditanggung pihak ketiga, dan diperhtungkan dalam pembangian hasil evakuasi.
Mudah-mudahan kesepakatan segera terlaksana. Pilihlah mitra yang profesional. Tujuannya hanya satu. Pelabuhan Ippi segera berfungsi optimal.
KM Nusa Damai milik Sonny Pago tenggalam di kolam labuh Pelabuhan Ippi 26 September 2004. Enam bulan lagi, bangkai kapal itu genap 7 tahun di dasar laut. Entahlah, keruwetan model apa yang membuat bangkai kapal ini berlama-lama di sana.
Janet Steele, profesor jurnalisme dari George Washington University, Amerika Serikat, terheran-heran ketika kasus ini turut diangkat dalam diskusi media di Grand Wisata Hotel, Ende, Kamis 8 Juli 2010. Diskusi diselenggarakan Konsulat Jenderal Amerika Serikat Surabaya.
Menurut Janet Steele, ini berita besar. Laik dimuat di media internasional. Pikiran waras masyarakat internaisonal akan terganggu oleh "kejanggalan" kasus ini. Kapal tenggelam di kolam labuh, itu bukan peristiwa pertama di dunia. Tapi, bangkai kapal "dibiarkan" bertahun-tahun karam di kolam labuh pelabuhan vital sebuah daerah, yang berdampak pada terganggunya perkonomian daerah, sungguh sesuatu yang langka. Jangan-jangan hanya terjadi di Ende.
Usaha evakuasi, ada. Namun, selalu berujung gagal. Pertama, evakuasi oleh perusahaan salvage Bahtera Mulia SDN BHD dari Malaysia. Kedua, oleh PT Dira Salvage dari Jakarta. Keduanya disewa oleh Sonny Pago. Ketiga, evakuasi oleh Professional Diving Course (Prodic) dari Jakarta. Kempat, oleh PT Frans Burton Internasional Indonesia.
Apakah "pihak ketiga" yang akan digandeng pemkab akan menjadi "pihak terakhir" yang menyudahi semua kebuntuan selama hampir tujuh tahun ini? Mudah-mudahan. Lebih daripada berharap, kita menuntut, kali ini tak boleh gagal lagi. Pelabuhan Ippi harus segera berfungsi optimal.
Pelabuhan memiliki fungsi strategis dan vital bagi kelancaran sektor tranportasi, yang berimplikasi terhadap kemajuan sektor lainnya, terutama sektor ekonomi. Fungsi itu sangat terasa oleh 238.040 penduduk Kabupaten Ende ketika Pelabuhan Ippi belum lumpuh. Proses produksi dan distribusi barang dan penumpang terasa sangat lancar. Begitu pelabuhan ini lumpuh, hal sebaliknya terasa. Proses produksi dan distribusi barang dan penumpang lambat dan panjang. Dampak lanjutannya, harga barang dan jasa kian mahal.
Dapatkah "derita panjang" warisan bupati-wabup periode lalu ini segera berakhir di era Bupati Don Bosco M Wangge dan Wabup Achmad Mochdar?
Mengakhiri "derita penjang" mungkin sulit. Tapi mengatasi salah satu biang kerok "derita penjang" itu, Wangge-Mochdar harus bisa. Biang kerok itu adalah bangkai kapal KM Nusa Damai. Dan bangkai itu kini sudah simbolik menjadi bangkai politik. Kalau Wangge-Mochdar gagal mengevakuasi, masyarakat Ende akan bilang, "Ndoe, sama saja!"
“Bentara” FLORES POS, Kamis 31 Maret 2011
Oleh Frans Anggal
Pemilik KM Nusa Damai, kapal roro yang tenggalam di kolam labuh Pelabuhan Ippi Ende pada 2004, meminta Pemkab Ende memfasilitasi pihak ketiga mengevakuasi bangkai kapal tersebut. Pemilik menyerahkan bangkai kapal kepada pemkab. Ia tidak minta ganti rugi ataupun pembagian hasil evakuasi.
Demikian kata Sekda Yoseph Ansar Rera usai memimpin rapat koordinasi dengan pihak terkait di Ende, Selasa 29 Maret 2011 (Flores Pos Rabu 30 Maret 2011). Pemkab tak punya dana evakuasi, kata sekda. Biaya evakuasi ditanggung pihak ketiga, dan diperhtungkan dalam pembangian hasil evakuasi.
Mudah-mudahan kesepakatan segera terlaksana. Pilihlah mitra yang profesional. Tujuannya hanya satu. Pelabuhan Ippi segera berfungsi optimal.
KM Nusa Damai milik Sonny Pago tenggalam di kolam labuh Pelabuhan Ippi 26 September 2004. Enam bulan lagi, bangkai kapal itu genap 7 tahun di dasar laut. Entahlah, keruwetan model apa yang membuat bangkai kapal ini berlama-lama di sana.
Janet Steele, profesor jurnalisme dari George Washington University, Amerika Serikat, terheran-heran ketika kasus ini turut diangkat dalam diskusi media di Grand Wisata Hotel, Ende, Kamis 8 Juli 2010. Diskusi diselenggarakan Konsulat Jenderal Amerika Serikat Surabaya.
Menurut Janet Steele, ini berita besar. Laik dimuat di media internasional. Pikiran waras masyarakat internaisonal akan terganggu oleh "kejanggalan" kasus ini. Kapal tenggelam di kolam labuh, itu bukan peristiwa pertama di dunia. Tapi, bangkai kapal "dibiarkan" bertahun-tahun karam di kolam labuh pelabuhan vital sebuah daerah, yang berdampak pada terganggunya perkonomian daerah, sungguh sesuatu yang langka. Jangan-jangan hanya terjadi di Ende.
Usaha evakuasi, ada. Namun, selalu berujung gagal. Pertama, evakuasi oleh perusahaan salvage Bahtera Mulia SDN BHD dari Malaysia. Kedua, oleh PT Dira Salvage dari Jakarta. Keduanya disewa oleh Sonny Pago. Ketiga, evakuasi oleh Professional Diving Course (Prodic) dari Jakarta. Kempat, oleh PT Frans Burton Internasional Indonesia.
Apakah "pihak ketiga" yang akan digandeng pemkab akan menjadi "pihak terakhir" yang menyudahi semua kebuntuan selama hampir tujuh tahun ini? Mudah-mudahan. Lebih daripada berharap, kita menuntut, kali ini tak boleh gagal lagi. Pelabuhan Ippi harus segera berfungsi optimal.
Pelabuhan memiliki fungsi strategis dan vital bagi kelancaran sektor tranportasi, yang berimplikasi terhadap kemajuan sektor lainnya, terutama sektor ekonomi. Fungsi itu sangat terasa oleh 238.040 penduduk Kabupaten Ende ketika Pelabuhan Ippi belum lumpuh. Proses produksi dan distribusi barang dan penumpang terasa sangat lancar. Begitu pelabuhan ini lumpuh, hal sebaliknya terasa. Proses produksi dan distribusi barang dan penumpang lambat dan panjang. Dampak lanjutannya, harga barang dan jasa kian mahal.
Dapatkah "derita panjang" warisan bupati-wabup periode lalu ini segera berakhir di era Bupati Don Bosco M Wangge dan Wabup Achmad Mochdar?
Mengakhiri "derita penjang" mungkin sulit. Tapi mengatasi salah satu biang kerok "derita penjang" itu, Wangge-Mochdar harus bisa. Biang kerok itu adalah bangkai kapal KM Nusa Damai. Dan bangkai itu kini sudah simbolik menjadi bangkai politik. Kalau Wangge-Mochdar gagal mengevakuasi, masyarakat Ende akan bilang, "Ndoe, sama saja!"
“Bentara” FLORES POS, Kamis 31 Maret 2011
Label:
bentara,
dermaga ippi ende,
flores,
flores pos,
hukum,
km nusa damai,
pemkab ende,
perhubungan,
politik,
sonny pago
Langganan:
Postingan (Atom)