Ketika Rektor Bekukan Senat dan Skors Mahasiswa
Oleh Frans Anggal
Mahasiswa Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere mogok makan di depan rektorat. Mereka tolak keputusan Rektor P Wilhelm Djulei SVD yang bekukan pengurus senat perguruan tinggi dan menskors 3 mahasiswa selama 1 tahun.
Awalnya, biaya kuliah kerja nyata (KKN) Rp145 juta. Seluruhnya dibebankan pada 120 peserta KKN. Tiap peserta wajib setor Rp700 ribu. Senat protes. Terlalu mahal. Peruntukannya pun tidak wajar. Biaya yang seharusnya tanggungan yayasan, dibebankan juga pada mahasiswa, seperti honor panitia dan belanja alat tulis kantor. Persoalan ini tak terselesaikan dengan baik oleh panitia. Di bawah senat, mahasiswa pun gelar orasi di halaman kampus. Menanggapi aksi, rektor terbitkan SK tentang pedoman pelaksanaan organisasi kemahasiswaan. Senat nilai SK ini langgar aturan lebih tinggi dan matikan demokrasi kampus. SK mereka coret. Akibatnya, ketua senat dan dua rekannya diskors. Rektor juga bekukan organisasi senat. Sebagai protes atas kesewenang-wenangan ini, mereka mogok makan.
Mogok makan adalah sebuah cara perlawanan tanpa kekerasan. Awalnya, di Irlandia, mogok makan seringkali dilakukan di depan pintu rumah si pelanggar. Membiarkan seseorang mati di depan rumah karena kesalahan yang dituduhkan dianggap sebagai sesuatu yang mencemarkan si pemilik rumah.
Mahatma Gandi pakai cara ini dalam gerakan kemerdekaan India melawan Inggris. Efektif. Yang baru saja dan berhasil, mogok makan 5 hari Presiden Bolivia Evo Morales. Ia baru berhenti setelah parlemen Bolivia menyetujui UU yang memastikan pemilu 6 Desember 2009, sekaligus mengizinkan presiden pertama suku Indian ini bisa ikuti kembali.
Akankah mogok makan para mahasiswa Unipa efektif seperti Gandhi dan berhasil seperti Morales? Tak tahulah. Mogoknya Gandi efektif karena dia tokoh berpengaruh. Mogoknya Morales berhasil karena dia presiden. Yang mereka hadapi, penjajah Inggris dan parlemen Bolivia. Di Unipa? Mereka cuma mahasiswa. Lagi pula, ini di Indonesia. Mau mati, mati saja. Pancasila sudah jadi Pencak Silat. Demokrasi sudah jadi demo-crazy. Kekuatan logika (intellectual power) sudah diganti logika kekuatan (political power).
Jadi? Jawabannya bergantung pada rektor dan ketua yayasan. Yang jelas, kita prihatin. Sejak berdiri 2004, baru kali ini Unipa lakukan KKN. Eh, langsung bermasalah. Dan, awal masalah itu adalah uang. Buruk. Bukan karena uang tidak penting. Yang jadi soal: mengapa gara-gara uang KKN, masalah ikutannya begitu panjang dan dramatis. Ini hanya memperkuat kesan, dunia perguruan tinggi semakin mengabdi pada kepentingan pasar. Kapitalisasi pendidikan menjadi begitu mutlak. Semua ruangnya dijadikan komoditas untuk menumpuk modal. Tak heran, pendidikan menjadi begitu mahal.
Kita berharap, rektor dan ketua yayasan bijaksana. Membiarkan seseorang mati di depan rumah hanya akan mencemarkan si pemilik rumah.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 30 April 2009
30 April 2009
Mogok Makan di Unipa
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
kasus uang kkn,
pendidikan. unipa,
sikka
29 April 2009
Ngawurnya Bupati Pranda
Aneka Pernyataan yang Memojokkan Gereja
Oleh Frans Anggal
Bupati Mabar Fidelis Pranda melontarkan pernyataan keras terhadap Gereja dalam seminar tambang di Labuan Bajo, Sabtu 25 April 2009. Tentang pernyataan ini, Flores Pos dan Pos Kupang hanya menyinggungnya sedikit. Yang lengkap justru beredar via SMS. Administrator Keuskupan Ruteng Rm Laurens Sopang Pr meneruskan SMS dari Rm Robert Pelita Pr di Labuan Bajo.
“Ini pernyataan-pernyataan Bupati Pranda yang bernada memojokkan Gereja kemarin dalam seminar. (1) Gereja jangan menjadi provokatur di tengah masyarakat. Kalau masyarakat sudah setuju kehadiran tambang, untuk apalagi kamu masuk ke sana? Jangan mengadu domba masyarakat. (2) Cincin nikah, cincin uskup, dan piala misa itu dari mana? (3) Mengapa pembalakan liar Gereja tidak omong, tapi tambang ngotot sekali? (4) Kita urus saja bidang kita masing-masing. Gereja jangan campur tangan lagi soal tambang. (5) Apa itu JPIC? Sampai dia buat pelesetan menjadi Gipi Asi, dengan nada sinis. (6) Dia menyapa Pater Simon sebagai Saudara. Tapi diawali dengan nada sinis juga. ‘Saya panggil Pater atau Pa moderator ini. Saya panggil Saudara saja. Karena saya tahu pastor itu hanya urus Gereja.’ (7) Yang menolak tambang itu anti-Pancasila dan UUD ’45.”
Bila ketujuh pernyataan Pranda dikritisi, kolom ini terlalu pendek. Ringkas saja, kata-katanya memang keras. Keras, karena memojokkan, bukan karena logis dan benarnya. Ia bernyali mengkritik Gereja dan para imam, sayangnya dengan bekal pengetahuan yang parah. Akibatnya: tahu sedikit, omong banyak. Tahu tidak betul, omong ngawur.
Dia tidak sendirian. Di Ende dan Lembata ada juga. Tahun 2008, ketika JPIC SVD dan Keuskupan Agung Ende mendampingi 11 pemilik tanah yang dikorbankan dalam ganti rugi tanah PLTU Ropa, Camat Maurole Gregorius Gadi mencap para imam provokatur, menghasut rakyat melawan pemerintah. Di Lembata, Wakil Bupati Andreas Nula Liliweri juga menuduh para imam provokatur karena memihak masyarakat menolak tambang emas.
Tanggapan para imam? Singkat saja. Ini misi kehadiran Gereja yang tidak bisa ditawar-tawar. Bagi imam Katolik, tak ada pelayanan kepada Allah tanpa kepedulian terhadap sesama dan alam ciptaan. Tanggapan ini pun terasa cukup untuk dialamatkan kepada Bupati Pranda.
Seorang bupati cerdas, Katolik, yang tahu hakikat, tugas, dan fungsi Gereja serta kaum tertahbis, dan bersih diri, tak mungkin omong ngawur. Kalau sampai ngawur, mungkin ada apa-apanya. Lazimnya, pemojokan terhadap Gereja dan cap provokatur terhadap para imam merupakan tanda kegelisahan kekuasaan menghadapi kebusukannya sendiri yang tengah terancam terbongkar kedoknya.
Untuk itu, Gereja dan para imam akan maju terus. Ini tugas perutusan. Bersuara lantang justru ketika semua orang memilih diam.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 29 April 2009
Oleh Frans Anggal
Bupati Mabar Fidelis Pranda melontarkan pernyataan keras terhadap Gereja dalam seminar tambang di Labuan Bajo, Sabtu 25 April 2009. Tentang pernyataan ini, Flores Pos dan Pos Kupang hanya menyinggungnya sedikit. Yang lengkap justru beredar via SMS. Administrator Keuskupan Ruteng Rm Laurens Sopang Pr meneruskan SMS dari Rm Robert Pelita Pr di Labuan Bajo.
“Ini pernyataan-pernyataan Bupati Pranda yang bernada memojokkan Gereja kemarin dalam seminar. (1) Gereja jangan menjadi provokatur di tengah masyarakat. Kalau masyarakat sudah setuju kehadiran tambang, untuk apalagi kamu masuk ke sana? Jangan mengadu domba masyarakat. (2) Cincin nikah, cincin uskup, dan piala misa itu dari mana? (3) Mengapa pembalakan liar Gereja tidak omong, tapi tambang ngotot sekali? (4) Kita urus saja bidang kita masing-masing. Gereja jangan campur tangan lagi soal tambang. (5) Apa itu JPIC? Sampai dia buat pelesetan menjadi Gipi Asi, dengan nada sinis. (6) Dia menyapa Pater Simon sebagai Saudara. Tapi diawali dengan nada sinis juga. ‘Saya panggil Pater atau Pa moderator ini. Saya panggil Saudara saja. Karena saya tahu pastor itu hanya urus Gereja.’ (7) Yang menolak tambang itu anti-Pancasila dan UUD ’45.”
Bila ketujuh pernyataan Pranda dikritisi, kolom ini terlalu pendek. Ringkas saja, kata-katanya memang keras. Keras, karena memojokkan, bukan karena logis dan benarnya. Ia bernyali mengkritik Gereja dan para imam, sayangnya dengan bekal pengetahuan yang parah. Akibatnya: tahu sedikit, omong banyak. Tahu tidak betul, omong ngawur.
Dia tidak sendirian. Di Ende dan Lembata ada juga. Tahun 2008, ketika JPIC SVD dan Keuskupan Agung Ende mendampingi 11 pemilik tanah yang dikorbankan dalam ganti rugi tanah PLTU Ropa, Camat Maurole Gregorius Gadi mencap para imam provokatur, menghasut rakyat melawan pemerintah. Di Lembata, Wakil Bupati Andreas Nula Liliweri juga menuduh para imam provokatur karena memihak masyarakat menolak tambang emas.
Tanggapan para imam? Singkat saja. Ini misi kehadiran Gereja yang tidak bisa ditawar-tawar. Bagi imam Katolik, tak ada pelayanan kepada Allah tanpa kepedulian terhadap sesama dan alam ciptaan. Tanggapan ini pun terasa cukup untuk dialamatkan kepada Bupati Pranda.
Seorang bupati cerdas, Katolik, yang tahu hakikat, tugas, dan fungsi Gereja serta kaum tertahbis, dan bersih diri, tak mungkin omong ngawur. Kalau sampai ngawur, mungkin ada apa-apanya. Lazimnya, pemojokan terhadap Gereja dan cap provokatur terhadap para imam merupakan tanda kegelisahan kekuasaan menghadapi kebusukannya sendiri yang tengah terancam terbongkar kedoknya.
Untuk itu, Gereja dan para imam akan maju terus. Ini tugas perutusan. Bersuara lantang justru ketika semua orang memilih diam.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 29 April 2009
Label:
bentara,
bupati fidelis pranda,
flores,
flores pos,
gereja dan imam,
manggarai barat,
pertambangan
28 April 2009
Lamalera Tolak Congkak
Di Balik Rencana Konservasi Ikan Paus
Oleh Frans Anggal
Masyarakat Lamalera, Lembata, menolak rencana pemerintah pusat menjadikan Laut Sawu Zona II satu-satunya kawasan konservasi nasional yang khusus melindungi ikan paus. Bila ini terlaksana, hancurlah ola nue, tradisi penangkapan ikan paus yang merupakan mata pencaharian satu-satunya masyarakat Lefo Lamalera yang diwariskan turun-temurun.
Yang hancur bukan hanya sumber ekonomi, tapi juga seperangkat nilai adiluhung. Sudah berabad-abad, ola nue menyangga nilai-nilai budaya yang kemudian berjalin berkelindan dengan nilai-nilai kristiani sejak masuknya agama Katolik di Lembata melalui Lamalera 1886.
Penangkapan paus berlangsung enam bulan, Mei-Oktober. Awal dengan bulan Maria, akhir dengan bulan Maria. Selama enam bulan, Lamalera berkanjang dalam doa rosiario. Sebelum melaut, 27-29 April dibuat upacara adat. Persiapan lahir-batin dan rekonsiliasi. Pada 30 April, sore hari, misa mohon keselamatan bagi arwah semua orang yang meninggal di laut. Pada 1 Mei, misa mohon keselamatan bagi yang akan melaut. Baru keesokan harinya, 2 Mei, mulai melaut. Lima hari seminggu, Sabtu dan Minggu istirahat. Hasil tangkapan dibagikan kepada semua warga kampung, dengan mengutamakan para janda, yatim piatu, dan fakir miskin. Ini luar biasa!
Semua ini terancam punah oleh kebijakan konservasi. Di Indonesia, kebijakan ini mengabaikan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA). Begitu terpusatnya, secara sistematis ia memperlemah posisi masyarakat dan meruntuhkan tatanan sosial masyarakat.
Konservasi di Indonsia tergila-gila pada sains. Atas nama sains, segala hal yang tidak berbasis ilmiah dicampakkan. Begitu mutlaknya sehingga semua yang disebut kearifan lokal dan pengetahuan tradisional ditendang buang. Lucunya, di Jepang, negara yang sainsnya begitu maju, sistem pengelolaan sumber daya pesisir berbasis masyarakat masih dipertahankan, berseiring dengan kegiatan perikanan modern. Jepang tidak ahistoris seperti Indonesia.
Konservasi di Indonesia sok ilmiah, akhirnya terjerumus ke "ortodoksi lingkungan" (environmental orthodoxy). Lihat, begitu terjadi kerusakan lingkungan, masyarakat lokal yang miskin yang dipersalahkan. Kalau populasi paus di Laut Sawu menurun, tradisi ola nue di Lamaleralah yang dituding.
Yang tidak dilihat, orang miskin justru sangat sadar terhadap dampak negatif dari lingkungannya mengingat mereka bergantung penuh pada lingkungan itu. Mereka pun dapat melakukan pengelolaan lingkungan yang lebih baik, asalkan tersedia rangsangan dan informasi yang memadai. Ini yang semestinya dilakukan pemerintah, bukan secara sepihak menetapkan wilayah konservasi lalu datang sebagai pembunuh.
Penolakan mayarakat Lamalera sangat bisa dimengerti. Pusat congkak, Lamalera tolak.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 28 April 2009
Oleh Frans Anggal
Masyarakat Lamalera, Lembata, menolak rencana pemerintah pusat menjadikan Laut Sawu Zona II satu-satunya kawasan konservasi nasional yang khusus melindungi ikan paus. Bila ini terlaksana, hancurlah ola nue, tradisi penangkapan ikan paus yang merupakan mata pencaharian satu-satunya masyarakat Lefo Lamalera yang diwariskan turun-temurun.
Yang hancur bukan hanya sumber ekonomi, tapi juga seperangkat nilai adiluhung. Sudah berabad-abad, ola nue menyangga nilai-nilai budaya yang kemudian berjalin berkelindan dengan nilai-nilai kristiani sejak masuknya agama Katolik di Lembata melalui Lamalera 1886.
Penangkapan paus berlangsung enam bulan, Mei-Oktober. Awal dengan bulan Maria, akhir dengan bulan Maria. Selama enam bulan, Lamalera berkanjang dalam doa rosiario. Sebelum melaut, 27-29 April dibuat upacara adat. Persiapan lahir-batin dan rekonsiliasi. Pada 30 April, sore hari, misa mohon keselamatan bagi arwah semua orang yang meninggal di laut. Pada 1 Mei, misa mohon keselamatan bagi yang akan melaut. Baru keesokan harinya, 2 Mei, mulai melaut. Lima hari seminggu, Sabtu dan Minggu istirahat. Hasil tangkapan dibagikan kepada semua warga kampung, dengan mengutamakan para janda, yatim piatu, dan fakir miskin. Ini luar biasa!
Semua ini terancam punah oleh kebijakan konservasi. Di Indonesia, kebijakan ini mengabaikan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA). Begitu terpusatnya, secara sistematis ia memperlemah posisi masyarakat dan meruntuhkan tatanan sosial masyarakat.
Konservasi di Indonsia tergila-gila pada sains. Atas nama sains, segala hal yang tidak berbasis ilmiah dicampakkan. Begitu mutlaknya sehingga semua yang disebut kearifan lokal dan pengetahuan tradisional ditendang buang. Lucunya, di Jepang, negara yang sainsnya begitu maju, sistem pengelolaan sumber daya pesisir berbasis masyarakat masih dipertahankan, berseiring dengan kegiatan perikanan modern. Jepang tidak ahistoris seperti Indonesia.
Konservasi di Indonesia sok ilmiah, akhirnya terjerumus ke "ortodoksi lingkungan" (environmental orthodoxy). Lihat, begitu terjadi kerusakan lingkungan, masyarakat lokal yang miskin yang dipersalahkan. Kalau populasi paus di Laut Sawu menurun, tradisi ola nue di Lamaleralah yang dituding.
Yang tidak dilihat, orang miskin justru sangat sadar terhadap dampak negatif dari lingkungannya mengingat mereka bergantung penuh pada lingkungan itu. Mereka pun dapat melakukan pengelolaan lingkungan yang lebih baik, asalkan tersedia rangsangan dan informasi yang memadai. Ini yang semestinya dilakukan pemerintah, bukan secara sepihak menetapkan wilayah konservasi lalu datang sebagai pembunuh.
Penolakan mayarakat Lamalera sangat bisa dimengerti. Pusat congkak, Lamalera tolak.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 28 April 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
konservasi ikan paus,
lamalera,
lembata,
lingkungan
27 April 2009
Ketika Gereja “Dijinakkan”
Kontroversi Tambang di Flores-Lembata
Oleh Frans Anggal
“Banyak upaya investor agar usaha mereka berjalan. Di antaranya dengan royal memberikan sumbangan, termasuk ke Gereja. Bagi saya, ini bagian dari upaya menjinakkan Gereja dalam menyikapi masalah pertambangan.”
Kata-kata ini dilontarkan George Junus Aditjondro, pembicara pada pertemuan Tahun Peduli Kemiskinan Keuskupan Ruteng. Kata-katanya bikin merah kuping Gereja. Tapi, ini harus dikatakan. Sebagai warga Gereja, ia berhak angkat bicara. Ia pun bicara pada saatnya, sebelum semuanya terlambat.
Aditjondro tidak mengada-ada. Tengoklah Freeport di Papua. Menambang tambaga dan emas sejak 1967 dan menjadi salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia. Namun, ia juga pemerkosa salah satu ekosistem dunia paling perawan dan hanya memberi sedikit berkah bagi penduduk sekitar.
Ketika kontroversi merebak, Freeport kucurkan jutaan dolar untuk iklan di media massa terkemuka Amerika dan Indonesia. Ia memperbaiki citranya yang tercoreng. Di Indonesia, ia terbitkan majalahnya sendiri, The Nation. Ia punya banyak teman di tempat tinggi. Juga di kalangan akademisi. Ia murah hati memberi jutaan dolar untuk berbagai universitas. Dengan ini, posisisnya tak tergoyahkan. Tak mengherankan, Tom Beanal, kepala suku Amungme di Papua, sampai bilang, di mata Freeport segala bentuk protes dan perlawanan masyarakat lokal tak lebih daripada “hiburan” belaka.
Seandainya Freeport masuk Flores-Lembata, ia akan pakai cara yang sama. Merangkul bupati. Sebab, di era otda, bupati punya kewenangan besar di bidang pertambangan. Merangkul uskup. Sebab, wilayah gerejawi ini mayoritas Katolik, dan Gereja masih dipandang sebagai benteng moral. Sekali jebol, selesai.
Kiita harus akui, gejala ini sudah tampak. “Bentara” Flores Pos edisi Kamis 15 November 2007 pernah menyorot, dalam kontroversi rencana tambang emas Lembata, Gereja lokal justru tidak memiliki posisi jelas. Ini membawa dampak serius. Tidak hanya bingung, umat kehilangan pegangan bersama. Kegamangan seperti ini memudahkan jalan masuk bagi investor yang sebelumnya sudah berbulan madu dengan penguasa.
Seorang umat, Yohanes Kia Nunang, pernah kirim SMS. “Saya seorang demonstran yang pernah bersama-sama dengan rakyat Kedang dan Leragere menolak tambang. Tapi saya diintimidasi oleh penguasa Lembata dan preman-preman bayarannya, maka saya pernah hijrah ke Paroki Hokeng, tinggal dengan Pater Pit Nong SVD.” Kisahnya hanya cuplikan kecil dari cerita panjang Flores-Lembata ketika Gereja sudah mulai dijinakkan.
Keuskupan Ruteng sedang menunggu uskup baru. Alangkah bagusnya kalau yang baru bukan hanya uskupnya, tapi juga posisi Gerejanya. Tegas bersikap dalam setiap tragedi kemiskinan, krisis lingkungan, dan pelanggaran HAM.
“Bentara” FLORES POS, Senin 27 April 2009
Oleh Frans Anggal
“Banyak upaya investor agar usaha mereka berjalan. Di antaranya dengan royal memberikan sumbangan, termasuk ke Gereja. Bagi saya, ini bagian dari upaya menjinakkan Gereja dalam menyikapi masalah pertambangan.”
Kata-kata ini dilontarkan George Junus Aditjondro, pembicara pada pertemuan Tahun Peduli Kemiskinan Keuskupan Ruteng. Kata-katanya bikin merah kuping Gereja. Tapi, ini harus dikatakan. Sebagai warga Gereja, ia berhak angkat bicara. Ia pun bicara pada saatnya, sebelum semuanya terlambat.
Aditjondro tidak mengada-ada. Tengoklah Freeport di Papua. Menambang tambaga dan emas sejak 1967 dan menjadi salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia. Namun, ia juga pemerkosa salah satu ekosistem dunia paling perawan dan hanya memberi sedikit berkah bagi penduduk sekitar.
Ketika kontroversi merebak, Freeport kucurkan jutaan dolar untuk iklan di media massa terkemuka Amerika dan Indonesia. Ia memperbaiki citranya yang tercoreng. Di Indonesia, ia terbitkan majalahnya sendiri, The Nation. Ia punya banyak teman di tempat tinggi. Juga di kalangan akademisi. Ia murah hati memberi jutaan dolar untuk berbagai universitas. Dengan ini, posisisnya tak tergoyahkan. Tak mengherankan, Tom Beanal, kepala suku Amungme di Papua, sampai bilang, di mata Freeport segala bentuk protes dan perlawanan masyarakat lokal tak lebih daripada “hiburan” belaka.
Seandainya Freeport masuk Flores-Lembata, ia akan pakai cara yang sama. Merangkul bupati. Sebab, di era otda, bupati punya kewenangan besar di bidang pertambangan. Merangkul uskup. Sebab, wilayah gerejawi ini mayoritas Katolik, dan Gereja masih dipandang sebagai benteng moral. Sekali jebol, selesai.
Kiita harus akui, gejala ini sudah tampak. “Bentara” Flores Pos edisi Kamis 15 November 2007 pernah menyorot, dalam kontroversi rencana tambang emas Lembata, Gereja lokal justru tidak memiliki posisi jelas. Ini membawa dampak serius. Tidak hanya bingung, umat kehilangan pegangan bersama. Kegamangan seperti ini memudahkan jalan masuk bagi investor yang sebelumnya sudah berbulan madu dengan penguasa.
Seorang umat, Yohanes Kia Nunang, pernah kirim SMS. “Saya seorang demonstran yang pernah bersama-sama dengan rakyat Kedang dan Leragere menolak tambang. Tapi saya diintimidasi oleh penguasa Lembata dan preman-preman bayarannya, maka saya pernah hijrah ke Paroki Hokeng, tinggal dengan Pater Pit Nong SVD.” Kisahnya hanya cuplikan kecil dari cerita panjang Flores-Lembata ketika Gereja sudah mulai dijinakkan.
Keuskupan Ruteng sedang menunggu uskup baru. Alangkah bagusnya kalau yang baru bukan hanya uskupnya, tapi juga posisi Gerejanya. Tegas bersikap dalam setiap tragedi kemiskinan, krisis lingkungan, dan pelanggaran HAM.
“Bentara” FLORES POS, Senin 27 April 2009
Label:
flores,
flores pos,
kontroversi pertambangan,
sikap gereja
25 April 2009
Diakonia Palang Pintu
Mencegah Jatuhnya Korban Pembangunan
Oleh Frans Anggal
George Junus Aditjondro punya usulan dalam pertemuan Tahun Peduli Kemiskinan Keuskupan Ruteng. Menghadapi dampak industri pertambangan dan pembalakan yang hancurkan lingkungan dan rugikan rakyat kecil, ia anjurkan Gereja kembangkan “diakonia palang pintu”. Bukan sekadar “diakonia palang merah”. Kalau “diakonia palang merah” hanya mengobati luka-luka pembangunan, “diakonia palang pintu” mencegah jatuhnya korban.
Usulan Aditjondro bukan hal baru. Ia hanya mengingatkan tugas Gereja. Diakonia atau pelayanan merupakan tugas Gereja secara menyeluruh selaku tubuh Kristus. Pelayanan tidak hanya kepada sesama umat, tetapi juga kepada umat lain, bahkan kepada seluruh ciptaan. Diakonia mencakup usaha menegakkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. “Diakonia palang pintu” hanyalah penamaan baru atas satu dari tiga jenis diakonia Gereja.
Ada diakonia karitatif alias diakonia belas kasihan. Pelayanan cuma-cuma kepada yang tak mampu.Tidak untuk membawanya menuju perubahan, tetapi sekadar meringankan deritanya. Analoginya: memberi ikan kepada orang lapar. Ikan habis, lapar lagi, dan harus dikasih lagi. Sampai kapan? Jika karitatif melulu, diakonia hanya melahirkan ketergantungan.
Yang dilayani harus berubah. Ia harus dimampukan dan diberdayakan. Misalnya melalui penyuluhan atau bantuan modal kerja. Analoginya: memberi kail dan keterampilan mengail, bukan lagi memberi ikan. Ini diakonia reformatif.
Dalam kenyataan, beri ikan dan kail saja tidak lagi cukup. Peningkatan modal dan teknologi sering belum mampu menjawab masalah yang dihadapi. Analoginya: ada kail dan mau pergi mengail, tapi sungainya sudah dikuasai orang lain. Pengail diusir. Ke sungai lain, sama juga. Semua ikan mati tercemar oleh limbah pabrik yang dibangun di atas sungai. Bagaimana mencegah atau mengusir si penyerobot demi tetap hidupnya si pengail dan tetap lestarinya sungai, itulah diakonia transformatif.
Dalam diakonia transformatif, Aditjondro menekankan perlunya mencegah dampak buruk pembangunan. Gereja harus berjuang juga di aras ini. Jangan tunggu korban jatuh baru tolong. “Diakonia palang merah” atau diakonia karitatif tidaklah cukup. Perlu dan sudah saatnya “diakonia palang pintu”.
Perjuangan JPIC OFM dan JPIC SVD mendampingi masyarakat tolak tambang emas di Lembata adalah contoh yang tepat. Tepat tindakannya dan tepat waktunya. Mencegah. Sedangkan dalam tolak tambang mangan di Manggarai, tepat tindakan tapi tidak tepat waktu. Terlambat. Tak mengapa, daripada tidak sama sekali. Kita bangga, Gereja seperti ini.
Yang mengecewakan, jika hierarki Gereja mengabaikan “diakonia palang pintu” karena keenakan dengan “diakonia palang sejajar”. Sejajar dengan penguasa, sejajar dengan pengusaha, merugikan rakyat.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 25 April 2009
Oleh Frans Anggal
George Junus Aditjondro punya usulan dalam pertemuan Tahun Peduli Kemiskinan Keuskupan Ruteng. Menghadapi dampak industri pertambangan dan pembalakan yang hancurkan lingkungan dan rugikan rakyat kecil, ia anjurkan Gereja kembangkan “diakonia palang pintu”. Bukan sekadar “diakonia palang merah”. Kalau “diakonia palang merah” hanya mengobati luka-luka pembangunan, “diakonia palang pintu” mencegah jatuhnya korban.
Usulan Aditjondro bukan hal baru. Ia hanya mengingatkan tugas Gereja. Diakonia atau pelayanan merupakan tugas Gereja secara menyeluruh selaku tubuh Kristus. Pelayanan tidak hanya kepada sesama umat, tetapi juga kepada umat lain, bahkan kepada seluruh ciptaan. Diakonia mencakup usaha menegakkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. “Diakonia palang pintu” hanyalah penamaan baru atas satu dari tiga jenis diakonia Gereja.
Ada diakonia karitatif alias diakonia belas kasihan. Pelayanan cuma-cuma kepada yang tak mampu.Tidak untuk membawanya menuju perubahan, tetapi sekadar meringankan deritanya. Analoginya: memberi ikan kepada orang lapar. Ikan habis, lapar lagi, dan harus dikasih lagi. Sampai kapan? Jika karitatif melulu, diakonia hanya melahirkan ketergantungan.
Yang dilayani harus berubah. Ia harus dimampukan dan diberdayakan. Misalnya melalui penyuluhan atau bantuan modal kerja. Analoginya: memberi kail dan keterampilan mengail, bukan lagi memberi ikan. Ini diakonia reformatif.
Dalam kenyataan, beri ikan dan kail saja tidak lagi cukup. Peningkatan modal dan teknologi sering belum mampu menjawab masalah yang dihadapi. Analoginya: ada kail dan mau pergi mengail, tapi sungainya sudah dikuasai orang lain. Pengail diusir. Ke sungai lain, sama juga. Semua ikan mati tercemar oleh limbah pabrik yang dibangun di atas sungai. Bagaimana mencegah atau mengusir si penyerobot demi tetap hidupnya si pengail dan tetap lestarinya sungai, itulah diakonia transformatif.
Dalam diakonia transformatif, Aditjondro menekankan perlunya mencegah dampak buruk pembangunan. Gereja harus berjuang juga di aras ini. Jangan tunggu korban jatuh baru tolong. “Diakonia palang merah” atau diakonia karitatif tidaklah cukup. Perlu dan sudah saatnya “diakonia palang pintu”.
Perjuangan JPIC OFM dan JPIC SVD mendampingi masyarakat tolak tambang emas di Lembata adalah contoh yang tepat. Tepat tindakannya dan tepat waktunya. Mencegah. Sedangkan dalam tolak tambang mangan di Manggarai, tepat tindakan tapi tidak tepat waktu. Terlambat. Tak mengapa, daripada tidak sama sekali. Kita bangga, Gereja seperti ini.
Yang mengecewakan, jika hierarki Gereja mengabaikan “diakonia palang pintu” karena keenakan dengan “diakonia palang sejajar”. Sejajar dengan penguasa, sejajar dengan pengusaha, merugikan rakyat.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 25 April 2009
Label:
agama,
bentara,
diakonia,
flores,
flores pos,
gereja,
kasus pertambangan,
keuskupan ruteng,
manggarai
23 April 2009
Alma-Mater, Bapa-Angker
Tepatkah Siswi Hamil Dilarang Ikut UN?
Oleh Frans Anggal
Beda sekolah, beda kebijakan. Di Sumba Timur dan Rote Ndao, 13 siswi dilarang ikut ujian nasional (UN) karena hamil. Di Manggarai, sebaliknya. SMK Karya Ruteng tetap mengizinkan siswi hamil dan melahirkan ikut UN. Dua peristiwa ini masing-masing diberitakan Pos Kupang dan Flores Pos. Dua-duanya di halaman depan. Dinilai penting dan menarik.
Begitu seringnya siswi hamil jelang UN. Begitu seringnya pula mereka dilarang ikut UN karena hamil. Saking seringnya, baik kasus maupun sikap sekolah terhadapnya dianggap biasa pula. Banyak sekolah pakai aturan yang sama. Jangan coba-coba hamil sebelum UN. Berani hamil, batal UN. Bahkan dikeluarkan. Sekolah negeri, sekolah swasta, sama saja.
Karena yang hamil hanya perempuan maka selalu siswilah yang jadi korban. Siswa, karena tidak hamil, berpeluang luput. Karena hamilnya yang dilihat maka, sejauh tidak hamil, siswi yang berhubungan seks pun bisa luput. Siswanya apalagi. Dari sisi dampak seperti ini, adilkah sekolah?
Tak ada siswi yang mau hamil. Mereka tahu akibatnya. Bukan hanya tidak bisa ikut UN, tetapi lebih daripada itu. Mereka menanggung derita batin karena malu dan rasa bersalah. Menanggung aneka cap masyarakat dan penolakan keluarga. Hamil menjadi pengalaman traumatis.
Sudah begitu, yang bersangkutan masih harus menerima hukuman lagi dari sekolah. Dilarang ikut UN. Ada yang sampai dikeluarkan. Sekolah, yang selalu dijuluki alma-mater, ‘ibunda yang penuh kasih’, ternyata lebih bercitra ayah yang gemar menghukum ketimbang ibunda yang rahim merangkul. Justru ketika sang anak sangat membutuhkannya, bukan dekapan kasih ibu yang diterima, tetapi kepalan tinju ayah. Sekolah bukan lagi alma-mater, tetapi bapa-angker. Nanti, saat butuh dana dari alumni, barulah bermanis diri: “Mohon sumbangan untuk alma-mater”.
Pelajar kelas III SLA rata-rata berusia di bawah 18 tahun. Anggapan dasar ini jugalah yang digunakan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ketika membatasi usia anak di bawah umur. Usia di bawah umur adalah usia di bawah 18 tahun. Karena asumsinya begitu maka pelajar kelas III SLA masih harus digolongkan sebagai anak di bawah umur.
Menurut UU Perlindungan Anak, yang merupakan ratifikasi atas Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak, orang di bawah umur harus dianggap tidak mampu memberi penilaian dan memahami akibat dari pilihan dan persetujuannya sendiri, terutama mengenai tindakan-tindakan seksual. Karena itu, bila hamil, ia harus dianggap sebagai korban. Korban harus ditolong, bukan dihukum.
Dalam cara pandang ini, kebijakan SMK Karya Ruteng tetap mengizinkan siswi hamil dan melahirkan ikut UN sangatlah tepat. Kasek Nobertus Janu memakai alasan kemanusiaan. Benar. Lebih daripada itu, ini hak anak atas pendidikan.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 24 April 2009
Oleh Frans Anggal
Beda sekolah, beda kebijakan. Di Sumba Timur dan Rote Ndao, 13 siswi dilarang ikut ujian nasional (UN) karena hamil. Di Manggarai, sebaliknya. SMK Karya Ruteng tetap mengizinkan siswi hamil dan melahirkan ikut UN. Dua peristiwa ini masing-masing diberitakan Pos Kupang dan Flores Pos. Dua-duanya di halaman depan. Dinilai penting dan menarik.
Begitu seringnya siswi hamil jelang UN. Begitu seringnya pula mereka dilarang ikut UN karena hamil. Saking seringnya, baik kasus maupun sikap sekolah terhadapnya dianggap biasa pula. Banyak sekolah pakai aturan yang sama. Jangan coba-coba hamil sebelum UN. Berani hamil, batal UN. Bahkan dikeluarkan. Sekolah negeri, sekolah swasta, sama saja.
Karena yang hamil hanya perempuan maka selalu siswilah yang jadi korban. Siswa, karena tidak hamil, berpeluang luput. Karena hamilnya yang dilihat maka, sejauh tidak hamil, siswi yang berhubungan seks pun bisa luput. Siswanya apalagi. Dari sisi dampak seperti ini, adilkah sekolah?
Tak ada siswi yang mau hamil. Mereka tahu akibatnya. Bukan hanya tidak bisa ikut UN, tetapi lebih daripada itu. Mereka menanggung derita batin karena malu dan rasa bersalah. Menanggung aneka cap masyarakat dan penolakan keluarga. Hamil menjadi pengalaman traumatis.
Sudah begitu, yang bersangkutan masih harus menerima hukuman lagi dari sekolah. Dilarang ikut UN. Ada yang sampai dikeluarkan. Sekolah, yang selalu dijuluki alma-mater, ‘ibunda yang penuh kasih’, ternyata lebih bercitra ayah yang gemar menghukum ketimbang ibunda yang rahim merangkul. Justru ketika sang anak sangat membutuhkannya, bukan dekapan kasih ibu yang diterima, tetapi kepalan tinju ayah. Sekolah bukan lagi alma-mater, tetapi bapa-angker. Nanti, saat butuh dana dari alumni, barulah bermanis diri: “Mohon sumbangan untuk alma-mater”.
Pelajar kelas III SLA rata-rata berusia di bawah 18 tahun. Anggapan dasar ini jugalah yang digunakan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ketika membatasi usia anak di bawah umur. Usia di bawah umur adalah usia di bawah 18 tahun. Karena asumsinya begitu maka pelajar kelas III SLA masih harus digolongkan sebagai anak di bawah umur.
Menurut UU Perlindungan Anak, yang merupakan ratifikasi atas Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak, orang di bawah umur harus dianggap tidak mampu memberi penilaian dan memahami akibat dari pilihan dan persetujuannya sendiri, terutama mengenai tindakan-tindakan seksual. Karena itu, bila hamil, ia harus dianggap sebagai korban. Korban harus ditolong, bukan dihukum.
Dalam cara pandang ini, kebijakan SMK Karya Ruteng tetap mengizinkan siswi hamil dan melahirkan ikut UN sangatlah tepat. Kasek Nobertus Janu memakai alasan kemanusiaan. Benar. Lebih daripada itu, ini hak anak atas pendidikan.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 24 April 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
kasus siswi hamil,
ntt,
pendidikan,
ujian nasional
Dari "Pati Ka" ke Patiha
Pemkab Ende Kembali ke Enam Hari Kerja
Oleh Frans Anggal
Mulai 1 Mei 2009 Pemkab Ende kembali memberlakukan enam hari kerja, Senin-Sabtu, setelah satu setengah tahun berjalan dengan lima hari kerja, Senin-Jumat. Dengan enam hari kerja maka uang lauk-pauk PNS ditiadakan. Itu berarti menghemat Rp17,9 miliar setahun. Khusus untuk tahun berjalan, dana yang bisa dihemat melalui kebijakan baru ini separo dari angka itu. Dananya akan dialokasikan untuk masyarakat miskin.
Pemberlakuan kembali enam hari kerja merupakan bagian dari usaha Bupati Don Bosco M Wangge dan Wabup Achmad Mochdar berhemat besar-besaran di birokrasi. Birokrasi di Ende boros. Banyak yang dimakan, banyak pula yang ikut makan, karena makanannya banyak. Lihat struktur anggarannya. Berlimpah untuk birokrasi. Anggaran belanja aparatur 81,26 persen. Sedangkan untuk publik hanya 18,74 pesen. Itu pun kalau tidak ikut dimakan.
Pola boros untuk birokrasi tapi kikir untuk publik inilah yang hendak diubah. Porsi birokrasi dikurangi agar porsi publik bisa ditambah. Salah satu jalan, kembali ke enam hari kerja. Karena dengan itu, uang lauk-pauk sebagai dampak lima hari kerja dihapus. Dananya dialihkan untuk memperbesar anggaran belanja publik.
Lebih jauh, kembali ke enam hari kerja tidak cukup hanya sebatas itu. Kembali ke enam hari kerja haruslah juga menjadi gerakan kembalinya birokrasi menjadi abdi masyarakat. Kali lalu, dalam kajian pemkab ketika hendak membelakukan lima hari kerja, sisi inilah yang kurang diperhatikan.
Kelender kerja masyarakat masih kalender lama. Kerja enam hari. Istirahat satu hari. Ende masih Ende yang dulu, belum menjadi New York. Siklus kerja masyarakat seperti ini semestinya terefleksi dalam kalender birokrasi selaku pelayan. Mengurangi hari kerja, meski tidak mengurangi jam kerja, sama artinya dengan mengurangi akses masyarakat mendapatkan pelayanan.
Birokrasi tahu itu. Lalu, kenapa mesti lima hari kerja? Apakah karena lebih efektif, efisien, ekonomis? Tidak juga. Ketika Bupati Don Wangge sidak ke lima unit kerja yang beban kerjanya paling tinggi, apa yang ditemukan? Pukul 14.00 banyak pegawai tidak bekerja lagi. Kalau begitu, kenapa lima hari kerja? Jawabannya ini: karena ada uangnya! Uang lauk-pauk. Dulu-dulu, ketika uangnya belum nongol, mana ada lima hari kerja. Begitu duit datang, Ende langsung menjadi New York.
Hasilnya? Seperti temuan Bupati Don itu. Pukul 14.00, kabur atau nganggur. Birokrat kita berkalender New York, tetapi masih berkebiasaan Flores. Orang Flores terbiasa tidur siang. Tak heran, setelah makan siang dengan uang lauk-pauk tadi, banyak pegawai terbuai rayuan pulau kapuk. Ngantuk. Untuk hal seperti inikah Rp17,9 miliar dihabiskan dalam setahun?
Kembali ke enam hari kerja, tepat. Pertimbangannya memenuhi asas patut, teliti, hati-hati. Disingkat, patiha. Bukan sekadar pati ka (kasih makan).
"Bentara" FLORES POS, Kamis 23 April 2009
Oleh Frans Anggal
Mulai 1 Mei 2009 Pemkab Ende kembali memberlakukan enam hari kerja, Senin-Sabtu, setelah satu setengah tahun berjalan dengan lima hari kerja, Senin-Jumat. Dengan enam hari kerja maka uang lauk-pauk PNS ditiadakan. Itu berarti menghemat Rp17,9 miliar setahun. Khusus untuk tahun berjalan, dana yang bisa dihemat melalui kebijakan baru ini separo dari angka itu. Dananya akan dialokasikan untuk masyarakat miskin.
Pemberlakuan kembali enam hari kerja merupakan bagian dari usaha Bupati Don Bosco M Wangge dan Wabup Achmad Mochdar berhemat besar-besaran di birokrasi. Birokrasi di Ende boros. Banyak yang dimakan, banyak pula yang ikut makan, karena makanannya banyak. Lihat struktur anggarannya. Berlimpah untuk birokrasi. Anggaran belanja aparatur 81,26 persen. Sedangkan untuk publik hanya 18,74 pesen. Itu pun kalau tidak ikut dimakan.
Pola boros untuk birokrasi tapi kikir untuk publik inilah yang hendak diubah. Porsi birokrasi dikurangi agar porsi publik bisa ditambah. Salah satu jalan, kembali ke enam hari kerja. Karena dengan itu, uang lauk-pauk sebagai dampak lima hari kerja dihapus. Dananya dialihkan untuk memperbesar anggaran belanja publik.
Lebih jauh, kembali ke enam hari kerja tidak cukup hanya sebatas itu. Kembali ke enam hari kerja haruslah juga menjadi gerakan kembalinya birokrasi menjadi abdi masyarakat. Kali lalu, dalam kajian pemkab ketika hendak membelakukan lima hari kerja, sisi inilah yang kurang diperhatikan.
Kelender kerja masyarakat masih kalender lama. Kerja enam hari. Istirahat satu hari. Ende masih Ende yang dulu, belum menjadi New York. Siklus kerja masyarakat seperti ini semestinya terefleksi dalam kalender birokrasi selaku pelayan. Mengurangi hari kerja, meski tidak mengurangi jam kerja, sama artinya dengan mengurangi akses masyarakat mendapatkan pelayanan.
Birokrasi tahu itu. Lalu, kenapa mesti lima hari kerja? Apakah karena lebih efektif, efisien, ekonomis? Tidak juga. Ketika Bupati Don Wangge sidak ke lima unit kerja yang beban kerjanya paling tinggi, apa yang ditemukan? Pukul 14.00 banyak pegawai tidak bekerja lagi. Kalau begitu, kenapa lima hari kerja? Jawabannya ini: karena ada uangnya! Uang lauk-pauk. Dulu-dulu, ketika uangnya belum nongol, mana ada lima hari kerja. Begitu duit datang, Ende langsung menjadi New York.
Hasilnya? Seperti temuan Bupati Don itu. Pukul 14.00, kabur atau nganggur. Birokrat kita berkalender New York, tetapi masih berkebiasaan Flores. Orang Flores terbiasa tidur siang. Tak heran, setelah makan siang dengan uang lauk-pauk tadi, banyak pegawai terbuai rayuan pulau kapuk. Ngantuk. Untuk hal seperti inikah Rp17,9 miliar dihabiskan dalam setahun?
Kembali ke enam hari kerja, tepat. Pertimbangannya memenuhi asas patut, teliti, hati-hati. Disingkat, patiha. Bukan sekadar pati ka (kasih makan).
"Bentara" FLORES POS, Kamis 23 April 2009
Label:
bentara,
birokrasi,
ende,
flores,
flores pos,
jumlah hari kerja
Sembrononya Polres Ngada
Mempersoalkan Surat Jaminan Kasus Buron
Oleh Frans Anggal
Di Ngada, seorang tersangka kasus pencurian melarikan diri dari sel mapolres. Polisi cari, tidak ketemu. Polisi dapat akal. Tengah malam, ayah dan ibu si buronan diangkut ke mapolres. Mereka dipaksa menandatangani surat jaminan. Isinya: jika anak mereka tidak ditemukan atau tidak menyerahkan diri maka mereka sebagai orangtua akan masuk sel.
Jangankan pakai ilmu hukum, pakai akal sehat saja sudah jelas, betapa sembrononya Polres Ngada. Tersangka disel oleh polisi. Dijaga oleh polisi. Ia berada penuh di bawah tanggung jawab polisi. Kalau ia lari, siapa yang salah? Polisi! Si petugas jaga. Bukan orangtua tersangka. Pihak yang bersalah itulah yang bertanggung jawab. Kalau wujud tanggung jawabnya mesti berupa masuk sel, si petugaslah yang masuk, bukan orangtua tersangka.
Secara hukum, jaminan selalu dalam pengertian sejenis harta yang dipercayakan kepada pengadilan untuk membujuk pembebasan seorang tersangka dari penjara, dengan pemahaman bahwa sang tersangka akan kembali ke persidangan atau membiarkan jaminannya hangus. Biasanya jaminan berupa uang akan dikembalikan pada akhir persidangan jika tersangka hadir dalam setiap persidangan.
Ada yang namanya sita jaminan. Jaminan berupa uang atau barang yang dimintakan oleh penggugat kepada pengadilan untuk memastikan agar tuntutan penggugat terhadap tergugat dapat dilaksanakan/dieksekusi kalau pengadilan mengabulkan tuntutan. Sitaan tidak untuk dilelang atau dijual, tapi hanya disimpan oleh pengadilan. Dengan penyitaan, tergugat kehilangan kewenangan menguasai barang, sehingga seluruh tindakan tergugat untuk mengasingkan atau mengalihkan barang itu tidak sah dan merupakan tindak pidana.
Yang terjadi di Ngada, tahapannya belum sampai di pengadilan, jaminan sudah dikarang-karang. Jaminan itu pun dipaksakan oleh polisi, bukan atas kehendak bebas orangtua tersangka. Yang dijaminkan pun bukan uang atau barang, tapi manusia, orangtua tersangka. Mengerikan! Manusia disamaderajatkan dengan barang atau benda sebagai jaminan. ‘Penyakit’ khas Indonesia.
Di Indonesia, keluarga sering menjadikan diri jaminan untuk menyertai pengajuan penangguhan penahanan oleh kuasa hukum. Ini salah kaprah. Dasar yuridisnya tidak ada. Tak ada peraturan soal sanksi atas jaminan itu. Hal ini pernah terjadi dalam kasus Tommy Soeharto. Istri Tommy menjamin suaminya tidak akan melarikan diri. Jaminan berupa surat itu ternyata tidak ada sanksinya ketika Tommy benar-benar melarikan diri.
Atas dasar yang sama, dalam kasus di Ngada, orangtua tersangka pun tidak dapat diberi sanksi meski sudah menandatangani surat jaminan. Menyel mereka sama artinya dengan merampas kemerdakaan. Ini sudah termasuk delik, bukan lagi upaya paksa hukum. Jadi, Polres Ngada, jangan sembrono!
"Bentara" FLORES POS, Rabu 22 April 2009
Oleh Frans Anggal
Di Ngada, seorang tersangka kasus pencurian melarikan diri dari sel mapolres. Polisi cari, tidak ketemu. Polisi dapat akal. Tengah malam, ayah dan ibu si buronan diangkut ke mapolres. Mereka dipaksa menandatangani surat jaminan. Isinya: jika anak mereka tidak ditemukan atau tidak menyerahkan diri maka mereka sebagai orangtua akan masuk sel.
Jangankan pakai ilmu hukum, pakai akal sehat saja sudah jelas, betapa sembrononya Polres Ngada. Tersangka disel oleh polisi. Dijaga oleh polisi. Ia berada penuh di bawah tanggung jawab polisi. Kalau ia lari, siapa yang salah? Polisi! Si petugas jaga. Bukan orangtua tersangka. Pihak yang bersalah itulah yang bertanggung jawab. Kalau wujud tanggung jawabnya mesti berupa masuk sel, si petugaslah yang masuk, bukan orangtua tersangka.
Secara hukum, jaminan selalu dalam pengertian sejenis harta yang dipercayakan kepada pengadilan untuk membujuk pembebasan seorang tersangka dari penjara, dengan pemahaman bahwa sang tersangka akan kembali ke persidangan atau membiarkan jaminannya hangus. Biasanya jaminan berupa uang akan dikembalikan pada akhir persidangan jika tersangka hadir dalam setiap persidangan.
Ada yang namanya sita jaminan. Jaminan berupa uang atau barang yang dimintakan oleh penggugat kepada pengadilan untuk memastikan agar tuntutan penggugat terhadap tergugat dapat dilaksanakan/dieksekusi kalau pengadilan mengabulkan tuntutan. Sitaan tidak untuk dilelang atau dijual, tapi hanya disimpan oleh pengadilan. Dengan penyitaan, tergugat kehilangan kewenangan menguasai barang, sehingga seluruh tindakan tergugat untuk mengasingkan atau mengalihkan barang itu tidak sah dan merupakan tindak pidana.
Yang terjadi di Ngada, tahapannya belum sampai di pengadilan, jaminan sudah dikarang-karang. Jaminan itu pun dipaksakan oleh polisi, bukan atas kehendak bebas orangtua tersangka. Yang dijaminkan pun bukan uang atau barang, tapi manusia, orangtua tersangka. Mengerikan! Manusia disamaderajatkan dengan barang atau benda sebagai jaminan. ‘Penyakit’ khas Indonesia.
Di Indonesia, keluarga sering menjadikan diri jaminan untuk menyertai pengajuan penangguhan penahanan oleh kuasa hukum. Ini salah kaprah. Dasar yuridisnya tidak ada. Tak ada peraturan soal sanksi atas jaminan itu. Hal ini pernah terjadi dalam kasus Tommy Soeharto. Istri Tommy menjamin suaminya tidak akan melarikan diri. Jaminan berupa surat itu ternyata tidak ada sanksinya ketika Tommy benar-benar melarikan diri.
Atas dasar yang sama, dalam kasus di Ngada, orangtua tersangka pun tidak dapat diberi sanksi meski sudah menandatangani surat jaminan. Menyel mereka sama artinya dengan merampas kemerdakaan. Ini sudah termasuk delik, bukan lagi upaya paksa hukum. Jadi, Polres Ngada, jangan sembrono!
"Bentara" FLORES POS, Rabu 22 April 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus buron,
ngada,
polres ngada
21 April 2009
Untuk Kadiskes Manggarai
Kasus Honor Tenaga Harian Lepas
Oleh Frans Anggal
Di Manggarai, sudah empat bulan tenaga harian lepas bidang kesehatan belum menerima honor. Januari hingga April 2009. Jumlah mereka ratusan, umumnya perawat, tersebar di seluruh Manggarai. Jam kerja mereka sama seperti jam kerja PNS. Kalau akhir bulan PNS muka cerah terima gaji, para tenaga lepas ini hanya lonto acu, menunggu dalam ketidakpastian. Kini mereka sudah tidak tahan. Mereka mengeluh sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Apakah karena tidak ada anggaran? Anggaran ada, kata Wakil Ketua DPRD Jack Mut Naur. Anggaran untuk tenaga harian lepas pada sejumlah instansi sudah dialokasikan dalam APBD. Kalau begitu, kandas di mana?
Kandas di Dinas Kesehatan. Tapi Kadiskes Yulianus Weng punya alasan. Bukan tidak bayar, tapi belum, karena masih diproses. Pihaknya sudah mengajukan permohonan SK kepada bupati agar para tenaga lepas punya kekuatan untuk mendapatkan haknya. Prosesnya masih di dinas pendapatan dan keuangan. Yang ia khawatirkan, kalau tenaga harian tidak ada dalam DPA Diskes Manggarai maka mereka tidak akan menerima honor.
Ini mengerikan. Para tenaga lepas itu direkrut. Dipekerjakan. Tapi kerja tanpa SK. Lalu, karena tidak ada SK, honor tidak diberikan. Kadiskes gampang saja bermaian bahasa. Kata “tidak” diganti dengan “belum”. Bukan tidak bayar, tapi belum bayar. Bukan tidak ada SK, tapi belum ada SK.
Dalam banyak kasus, para pejabat suka berulah seperti ini. Memakai language game atau ‘permainan bahasa’ untuk menyembunyikan kenyataan sebenarnya dan ketidakbecusannya sendiri. Lapar dibilang rawan pangan. Rawan pangan dibilang rawan daya beli. Harga naik dibilang harga disesuaikan. Rakyat makan ubi hutan karena kelaparan dibilang ubi hutan itu pangan alternatif’ warisan nenek moyang.
Pujangga Inggris William Shakespeare sangat tepat ketika menggoreskan seuntai bait yang menyentil soal bahasa dan penamaan. What is in a name? Apa arti sebuah nama? Mawar, dengan nama apa pun yang kita berikan padanya, ia tetap semerbak mewangi.
Dalam kasus honor tenaga harian Diskes Manggarai, istilah apa pun yang digunakan, ia tetap kasus. Tidak bayar honor atau belum bayar honor, sama saja. Dua-duanya tetap menceritakan ketidakbecusan manajemen. Dari sisi dampaknya juga sama saja. Para tenaga lepas mengeluh. Mereka sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Honor itu hak para tenaga harian lepas. Mereka sudah direkrut, sudah dipekerjakan, dan sudah bekerja. Soal hak, tidak ada diskusi. Hak hanya mengenal satu kata: penuhi! Ada SK atau tidak, anggarannya masuk APBD atau tidak, diperhitungkan dalam DPA diskes atau tidak, itu bukan tanggung jawab mereka. Itu urusan DPRD, bupati, kadiskes, dan kadis terkait.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 21 April 2009
Oleh Frans Anggal
Di Manggarai, sudah empat bulan tenaga harian lepas bidang kesehatan belum menerima honor. Januari hingga April 2009. Jumlah mereka ratusan, umumnya perawat, tersebar di seluruh Manggarai. Jam kerja mereka sama seperti jam kerja PNS. Kalau akhir bulan PNS muka cerah terima gaji, para tenaga lepas ini hanya lonto acu, menunggu dalam ketidakpastian. Kini mereka sudah tidak tahan. Mereka mengeluh sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Apakah karena tidak ada anggaran? Anggaran ada, kata Wakil Ketua DPRD Jack Mut Naur. Anggaran untuk tenaga harian lepas pada sejumlah instansi sudah dialokasikan dalam APBD. Kalau begitu, kandas di mana?
Kandas di Dinas Kesehatan. Tapi Kadiskes Yulianus Weng punya alasan. Bukan tidak bayar, tapi belum, karena masih diproses. Pihaknya sudah mengajukan permohonan SK kepada bupati agar para tenaga lepas punya kekuatan untuk mendapatkan haknya. Prosesnya masih di dinas pendapatan dan keuangan. Yang ia khawatirkan, kalau tenaga harian tidak ada dalam DPA Diskes Manggarai maka mereka tidak akan menerima honor.
Ini mengerikan. Para tenaga lepas itu direkrut. Dipekerjakan. Tapi kerja tanpa SK. Lalu, karena tidak ada SK, honor tidak diberikan. Kadiskes gampang saja bermaian bahasa. Kata “tidak” diganti dengan “belum”. Bukan tidak bayar, tapi belum bayar. Bukan tidak ada SK, tapi belum ada SK.
Dalam banyak kasus, para pejabat suka berulah seperti ini. Memakai language game atau ‘permainan bahasa’ untuk menyembunyikan kenyataan sebenarnya dan ketidakbecusannya sendiri. Lapar dibilang rawan pangan. Rawan pangan dibilang rawan daya beli. Harga naik dibilang harga disesuaikan. Rakyat makan ubi hutan karena kelaparan dibilang ubi hutan itu pangan alternatif’ warisan nenek moyang.
Pujangga Inggris William Shakespeare sangat tepat ketika menggoreskan seuntai bait yang menyentil soal bahasa dan penamaan. What is in a name? Apa arti sebuah nama? Mawar, dengan nama apa pun yang kita berikan padanya, ia tetap semerbak mewangi.
Dalam kasus honor tenaga harian Diskes Manggarai, istilah apa pun yang digunakan, ia tetap kasus. Tidak bayar honor atau belum bayar honor, sama saja. Dua-duanya tetap menceritakan ketidakbecusan manajemen. Dari sisi dampaknya juga sama saja. Para tenaga lepas mengeluh. Mereka sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Honor itu hak para tenaga harian lepas. Mereka sudah direkrut, sudah dipekerjakan, dan sudah bekerja. Soal hak, tidak ada diskusi. Hak hanya mengenal satu kata: penuhi! Ada SK atau tidak, anggarannya masuk APBD atau tidak, diperhitungkan dalam DPA diskes atau tidak, itu bukan tanggung jawab mereka. Itu urusan DPRD, bupati, kadiskes, dan kadis terkait.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 21 April 2009
Bupati dan “Land Cruiser”
Mempetimbangkan Etika Kepatutan
Oleh Frans Anggal
Sejak dilantik 7 April 2009, Bupati Ende Don Bosco M Wangge belum mau menggunakan mobil dinas Toyota Land Cruiser. Ia khawatir, mobil itu akan disita sebagai barang bukti kasus dugaan korupsi. Namun, setelah berkonsultasi dengan kejaksaan, ia akhirnya menggunakannya juga. Kata jaksa, tidak apa-apa, pakai saja. Nanti, bila proses hukumnya dibuka kembali dan harus disita sebagai barang bukti, barulah mobil itu tidak digunakan.
Kita perlu menguji dasar pertimbangan Bupati Don Wangge. Ia mendasarkan sikapnya pada hukum formal yang direkomendasikan jaksa. Selagi mobil belum dijadikan barang bukti, penggunaannya tidak apa-apa. Pakai dulu sebelum disita.
Sebatas pertimbangan yuridis formal, sikapnya dapat dimengerti. Namun, apakah kasus Land Cruiser semata-mata persoalan yuridis formal? Tidak! Ini persoalan etika juga. Etika kepatutan.
Yang disorot publik selama ini bukan hanya dugaan korupsi pembelian mobil itu, tetapi juga dan terutama ini: patutkah bupati sebuah daerah miskin memakai mobil mewah miliaran rupiah? Publik menilai, pemkab tak punya sense of crisis.
Kala itu, pemerintahan Bupati Paulinus Domi punya alasan. Medan di Ende berat. Jalan buruk. Hanya Land Cruiser yang bisa terobos. Benar. Toyota Land Cruiser adalah mobil serbaguna. Land Cruiser terkenal dengan ketangguhannya di medan berat.
Yang dipersoalkan: kalau jalan buruk yang jadi masalah, mengapa bukan jalannya yang diperbaiki? Kalau jalan diperbaiki, bukan hanya bupati yang mudah ke pelosok, tapi semua orang, dengan semua jenis kendaraan. Rakyat dari kampung pun gampang memasarkan hasil mereka. Dari sisi kepentingan umum, Land Cruiser bukan jawaban tepat. Ia hanya menjawabi kepentingan bupati. Kalau hanya untuk itu, mendingan beli helikopter sekalian karena heli tak membutuhkan jalan raya. Pemkab tak punya sense of urgency.
Andaikata Bupati Don Wangge mendasarkan sikapnya pada etika kepatutan, mungkin ia tidak akan menggunakan Land Cruiser. Mungkin mobil itu cukup untuk antar jemput tamu penting. Atau, kalau dibolehkan aturan, dijual. Uangnya untuk perbaiki jalan di desa. Bisa juga buat beli ratusan sepeda motor untuk begitu banyak pekerja lapangan yang selama ini berjalan kaki.
Di sini, sikap tidak menggunakan Land Cruiser menjadi simbol keberpihakan pada kepentingan umum. Patih Gajah Mada pernah bersumpah tidak akan makan palapa sebelum Nusantara dipersatukan. Sumpahnya merupakan ekspresi simbolis sebuah komitmen. Ia menolak kenikmatan di tengah keprihatinan Nusantara yang tercerai-berai.
Bupati Don juga bisa bersumpah seperti itu. Misalnya, tidak akan menggunakan Land Cruiser sebelum semua jalan raya di Kabupaten Ende layak dan bermutu.
“Bentara” FLORES POS, Senin 20 April 2009
Oleh Frans Anggal
Sejak dilantik 7 April 2009, Bupati Ende Don Bosco M Wangge belum mau menggunakan mobil dinas Toyota Land Cruiser. Ia khawatir, mobil itu akan disita sebagai barang bukti kasus dugaan korupsi. Namun, setelah berkonsultasi dengan kejaksaan, ia akhirnya menggunakannya juga. Kata jaksa, tidak apa-apa, pakai saja. Nanti, bila proses hukumnya dibuka kembali dan harus disita sebagai barang bukti, barulah mobil itu tidak digunakan.
Kita perlu menguji dasar pertimbangan Bupati Don Wangge. Ia mendasarkan sikapnya pada hukum formal yang direkomendasikan jaksa. Selagi mobil belum dijadikan barang bukti, penggunaannya tidak apa-apa. Pakai dulu sebelum disita.
Sebatas pertimbangan yuridis formal, sikapnya dapat dimengerti. Namun, apakah kasus Land Cruiser semata-mata persoalan yuridis formal? Tidak! Ini persoalan etika juga. Etika kepatutan.
Yang disorot publik selama ini bukan hanya dugaan korupsi pembelian mobil itu, tetapi juga dan terutama ini: patutkah bupati sebuah daerah miskin memakai mobil mewah miliaran rupiah? Publik menilai, pemkab tak punya sense of crisis.
Kala itu, pemerintahan Bupati Paulinus Domi punya alasan. Medan di Ende berat. Jalan buruk. Hanya Land Cruiser yang bisa terobos. Benar. Toyota Land Cruiser adalah mobil serbaguna. Land Cruiser terkenal dengan ketangguhannya di medan berat.
Yang dipersoalkan: kalau jalan buruk yang jadi masalah, mengapa bukan jalannya yang diperbaiki? Kalau jalan diperbaiki, bukan hanya bupati yang mudah ke pelosok, tapi semua orang, dengan semua jenis kendaraan. Rakyat dari kampung pun gampang memasarkan hasil mereka. Dari sisi kepentingan umum, Land Cruiser bukan jawaban tepat. Ia hanya menjawabi kepentingan bupati. Kalau hanya untuk itu, mendingan beli helikopter sekalian karena heli tak membutuhkan jalan raya. Pemkab tak punya sense of urgency.
Andaikata Bupati Don Wangge mendasarkan sikapnya pada etika kepatutan, mungkin ia tidak akan menggunakan Land Cruiser. Mungkin mobil itu cukup untuk antar jemput tamu penting. Atau, kalau dibolehkan aturan, dijual. Uangnya untuk perbaiki jalan di desa. Bisa juga buat beli ratusan sepeda motor untuk begitu banyak pekerja lapangan yang selama ini berjalan kaki.
Di sini, sikap tidak menggunakan Land Cruiser menjadi simbol keberpihakan pada kepentingan umum. Patih Gajah Mada pernah bersumpah tidak akan makan palapa sebelum Nusantara dipersatukan. Sumpahnya merupakan ekspresi simbolis sebuah komitmen. Ia menolak kenikmatan di tengah keprihatinan Nusantara yang tercerai-berai.
Bupati Don juga bisa bersumpah seperti itu. Misalnya, tidak akan menggunakan Land Cruiser sebelum semua jalan raya di Kabupaten Ende layak dan bermutu.
“Bentara” FLORES POS, Senin 20 April 2009
Label:
bentara,
ende,
etika kepatutan,
flores,
flores pos,
mobil mewah bupati
18 April 2009
Ende dan “Pesta Makan”
Rencana Penghematan Besar-besaran di Birokrasi
Oleh Frans Anggal
Bupati dan Wabup Ende yang baru Don Bosco M Wangge dan Achmad Mochdar akan melakukan penghematan besar-besaran di birokrasi. Sejalan dengan itu, akan dilakukan pula promosi dan mutasi pejabat.
Hemat besar-besaran, kenapa? Karena sudah lama boros besar-besaran. Boros besar-besaran, kenapa? Karena terlalu banyak yang dimakan dan begitu banyak yang ikut makan. Urus uang, makan uang. Urus proyek, makan proyek. Ada yang makan APBD. Makan perjalanan dinas. Makan perkara.
Benar-benar pesta makan, bukan korupsi. Kalau korupsi, mana koruptornya? Tak satu pun pejabat masuk penjara. Kasus korupsi seperti kencing manis saja. Putus-putus dan akhirnya stop dengan ramuan SP3, surat penghentian penyidikan perkara.
Ende tidak seperti Manggarai, daerahnya Bupati Rotok dan Wabup Deno. Di sana, petinggi DPRD, kepala dinas, dan lain-lain jadi penghuni rutan. Begitu burukkah Manggarai dibanding Ende? Tidak juga. Persoalannya mungkin ini: di Manggarai korupsi dibasmi, di Ende dipelihara.
Manggarai bisa begitu, apakah karena Rotok-Deno hebat? Tidak juga. Ini semata-mata karena kegigihan kejaksaan terutama kepalanya, Timbul Tamba. Seperti namanya itu: Timbul pekara, Tamba(h) tersangka. Jadilah Manggarai seolah-olah dipimpin para tersangka.
Sekarang Wangge-Mochdar menakhodai Ende. Duet ini mau berhemat besar-besaran di birokrasi. Bagus, tapi tidak cukup. Penghematan mesti disertai pembersihan. Wangge-Mochdar sudah menekadkan good governance. Klop. Birokrasi mesti mampu membersihkan diri sendiri. Karena itu, mutasi dan promosi pejabat harus turut diletakkan dalam konteks ini. Kalau yang dipromosikan maling juga, sama we’e.
Selanjutnya, hemat dan bersih saja tidak cukup. Birokrasi mesti ramping. Wangge-Mochdar sudah tekadkan perampingan. Cocok. Sebab, makin gemuk, makin rakus, tapi makin lamban. Bupati Simon Hayon di Flotim sudah membuktikan efektif, efisien, dan ekonomisnya perampingan birokrasi. Berkat perampingan, Flotim menghemat Rp6 miliar setahun. Dana ini digelontorkan ke desa untuk membangun infrastruktur vital seperti jalan raya dan air bersih.
Wangge-Mochdar sudah dalam paradigma seperti itu. Duet ini sudah tahu masalah pokok kabupatennya. Meningkatnya kemiskinan, rendahnya mutu pendidikan, dan buruknya derajat kesehatan masyarakat. Ketiga masalah ini menyentuh langsung hajat hidup orang banyak. Karena itu, hemat, bersih, dan ramping harus juga langsung bisa mengatasi ketiga masalah ini. Kalau tidak, sama we’e. Cuma memindahkan tempat pesta. Bukan mengakhiri pesta. Yang makan, orang yang sama. Rakyat tetap hanya kebagian remah-remah.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 18 April 2009
Oleh Frans Anggal
Bupati dan Wabup Ende yang baru Don Bosco M Wangge dan Achmad Mochdar akan melakukan penghematan besar-besaran di birokrasi. Sejalan dengan itu, akan dilakukan pula promosi dan mutasi pejabat.
Hemat besar-besaran, kenapa? Karena sudah lama boros besar-besaran. Boros besar-besaran, kenapa? Karena terlalu banyak yang dimakan dan begitu banyak yang ikut makan. Urus uang, makan uang. Urus proyek, makan proyek. Ada yang makan APBD. Makan perjalanan dinas. Makan perkara.
Benar-benar pesta makan, bukan korupsi. Kalau korupsi, mana koruptornya? Tak satu pun pejabat masuk penjara. Kasus korupsi seperti kencing manis saja. Putus-putus dan akhirnya stop dengan ramuan SP3, surat penghentian penyidikan perkara.
Ende tidak seperti Manggarai, daerahnya Bupati Rotok dan Wabup Deno. Di sana, petinggi DPRD, kepala dinas, dan lain-lain jadi penghuni rutan. Begitu burukkah Manggarai dibanding Ende? Tidak juga. Persoalannya mungkin ini: di Manggarai korupsi dibasmi, di Ende dipelihara.
Manggarai bisa begitu, apakah karena Rotok-Deno hebat? Tidak juga. Ini semata-mata karena kegigihan kejaksaan terutama kepalanya, Timbul Tamba. Seperti namanya itu: Timbul pekara, Tamba(h) tersangka. Jadilah Manggarai seolah-olah dipimpin para tersangka.
Sekarang Wangge-Mochdar menakhodai Ende. Duet ini mau berhemat besar-besaran di birokrasi. Bagus, tapi tidak cukup. Penghematan mesti disertai pembersihan. Wangge-Mochdar sudah menekadkan good governance. Klop. Birokrasi mesti mampu membersihkan diri sendiri. Karena itu, mutasi dan promosi pejabat harus turut diletakkan dalam konteks ini. Kalau yang dipromosikan maling juga, sama we’e.
Selanjutnya, hemat dan bersih saja tidak cukup. Birokrasi mesti ramping. Wangge-Mochdar sudah tekadkan perampingan. Cocok. Sebab, makin gemuk, makin rakus, tapi makin lamban. Bupati Simon Hayon di Flotim sudah membuktikan efektif, efisien, dan ekonomisnya perampingan birokrasi. Berkat perampingan, Flotim menghemat Rp6 miliar setahun. Dana ini digelontorkan ke desa untuk membangun infrastruktur vital seperti jalan raya dan air bersih.
Wangge-Mochdar sudah dalam paradigma seperti itu. Duet ini sudah tahu masalah pokok kabupatennya. Meningkatnya kemiskinan, rendahnya mutu pendidikan, dan buruknya derajat kesehatan masyarakat. Ketiga masalah ini menyentuh langsung hajat hidup orang banyak. Karena itu, hemat, bersih, dan ramping harus juga langsung bisa mengatasi ketiga masalah ini. Kalau tidak, sama we’e. Cuma memindahkan tempat pesta. Bukan mengakhiri pesta. Yang makan, orang yang sama. Rakyat tetap hanya kebagian remah-remah.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 18 April 2009
Label:
bentara,
birokrasi,
ende,
flores,
flores pos,
gerakan penghematan di birokrasi
Dextro, Lalu Narkoba
Dugaan Peredaran Narkoba di Ende
Oleh Frans Anggal
Tiga pemuda asal Maurole diamankan masyarakat Dusun Pena, Desa Ndondo, Kecamatan Kota Baru, Kabupaten Ende. Mereka diduga mengedarkan pil ekstasi. Sehari sebelumnya, seorang siswi SMA tidak sadarkan diri setelah menelan pil yang diedarkan ketiga pemuda. Para murid SD juga ditawari, namun mereka menolak. Konon agar ‘manjur’, pil mesti dikonsumsi banyak-banyak, tidak hanya sebutir dua. Harga sebutir Rp20 ribu.
Benarkah itu ekstasi? Pemeriksaan laboratorium akan memastikannya. Menurut penuturan pelaku, pil itu mereka curi dari Puskesmas Maurole. Dalam kontak telepon antara Kapolres Ende dan Polsek Maurole sempat tersebut jenisnya. Dextromethorpan alias Dextro.
Kalau benar Dextro, sudah pasti ini bukan ekstasi. Dextro ‘hanyalah’ obat batuk biasa. Tergolong obat bebas, sama seperti Parasetamol. Bisa dibeli di mana saja tanpa resep dokter. Cukup aman pula, dengan syarat: ikut aturan pakai dan dosis yang tercantum dalam kemasan. Persyaratan penting ini justru sering tidak diperhatikan konsumen.
Kurangnya pendidikan dan terbatasnya kemampuan ekonomi menyebabkan banyak masyarakat kita tidak perhatikan hal-hal penting sebelum membeli obat. Asal murah. Masa lakunya tak diperiksa. Juga kemasan dan segelnya. Obralan penjual tentang khasiat obat mudah dipercaya. Padahal, terkadang penjual tak pedulikan khasiat. Yang penting laku dan untung.
Khusus bagi produsen dan pengedar narkoba, kondisi masyarakat seperti ini merupakan lahan subur. Dan, bagian yang paling subur dari lahan ini adalah remaja. Di kota-kota besar sudah terbukti. Pengguna terbanyak narkoba adalah remaja, terutama pelajar. Kalau kotanya bisa, kenapa desanya tidak. Di mana-mana remaja itu sama, rentan secara psikologis. Mudah dipengaruhi, suka ikut tren yang katanya ‘gaul’, agar tidak dicap ‘cemen’. Mereka pasar potensial yang sekaligus melanggengkan bisnis ini. Kalau sudah kecanduan semasih sekolah, sampai kuliah pun bahkan hingga dewasa mereka akan tetap menjadi pemakai.
Patut dapat diduga, dalam skenario seperti inilah tiga pemuda asal Maurole mengedarkan Dextro. Meski bukan narkoba, dalam dosis tertentu Dextro membawa efek seperi opium ringan memabukkan. Bila overdosis bisa menyebabkan kematian. Sudah terjadi di Bandung bulan lalu. Tiga tewas, 13 lainnya diselamatkan. Semuanya remaja. Dalam dua bulan terakhir, kasus Dextro marak di Jawa Barat.
Sekarang muncul di Ende. Apakah itu bukan kerjanya jaringan untuk menciptakan dan memperluas pasar? Ketika diamankan warga, salah seorang dari tiga pemuda Maurole itu langsung menelepon seseorang yang disebutnya Pak Ishak. “Pak, kami sudah ditangkap oleh masyarakat.” Mula-mula Dextro yang murah dulu. Setelah ketagihan, narkoba yang mahal akan gampang masuk. Remaja Flores terancam. Kita tetap terlelap?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 17 April 2009
Oleh Frans Anggal
Tiga pemuda asal Maurole diamankan masyarakat Dusun Pena, Desa Ndondo, Kecamatan Kota Baru, Kabupaten Ende. Mereka diduga mengedarkan pil ekstasi. Sehari sebelumnya, seorang siswi SMA tidak sadarkan diri setelah menelan pil yang diedarkan ketiga pemuda. Para murid SD juga ditawari, namun mereka menolak. Konon agar ‘manjur’, pil mesti dikonsumsi banyak-banyak, tidak hanya sebutir dua. Harga sebutir Rp20 ribu.
Benarkah itu ekstasi? Pemeriksaan laboratorium akan memastikannya. Menurut penuturan pelaku, pil itu mereka curi dari Puskesmas Maurole. Dalam kontak telepon antara Kapolres Ende dan Polsek Maurole sempat tersebut jenisnya. Dextromethorpan alias Dextro.
Kalau benar Dextro, sudah pasti ini bukan ekstasi. Dextro ‘hanyalah’ obat batuk biasa. Tergolong obat bebas, sama seperti Parasetamol. Bisa dibeli di mana saja tanpa resep dokter. Cukup aman pula, dengan syarat: ikut aturan pakai dan dosis yang tercantum dalam kemasan. Persyaratan penting ini justru sering tidak diperhatikan konsumen.
Kurangnya pendidikan dan terbatasnya kemampuan ekonomi menyebabkan banyak masyarakat kita tidak perhatikan hal-hal penting sebelum membeli obat. Asal murah. Masa lakunya tak diperiksa. Juga kemasan dan segelnya. Obralan penjual tentang khasiat obat mudah dipercaya. Padahal, terkadang penjual tak pedulikan khasiat. Yang penting laku dan untung.
Khusus bagi produsen dan pengedar narkoba, kondisi masyarakat seperti ini merupakan lahan subur. Dan, bagian yang paling subur dari lahan ini adalah remaja. Di kota-kota besar sudah terbukti. Pengguna terbanyak narkoba adalah remaja, terutama pelajar. Kalau kotanya bisa, kenapa desanya tidak. Di mana-mana remaja itu sama, rentan secara psikologis. Mudah dipengaruhi, suka ikut tren yang katanya ‘gaul’, agar tidak dicap ‘cemen’. Mereka pasar potensial yang sekaligus melanggengkan bisnis ini. Kalau sudah kecanduan semasih sekolah, sampai kuliah pun bahkan hingga dewasa mereka akan tetap menjadi pemakai.
Patut dapat diduga, dalam skenario seperti inilah tiga pemuda asal Maurole mengedarkan Dextro. Meski bukan narkoba, dalam dosis tertentu Dextro membawa efek seperi opium ringan memabukkan. Bila overdosis bisa menyebabkan kematian. Sudah terjadi di Bandung bulan lalu. Tiga tewas, 13 lainnya diselamatkan. Semuanya remaja. Dalam dua bulan terakhir, kasus Dextro marak di Jawa Barat.
Sekarang muncul di Ende. Apakah itu bukan kerjanya jaringan untuk menciptakan dan memperluas pasar? Ketika diamankan warga, salah seorang dari tiga pemuda Maurole itu langsung menelepon seseorang yang disebutnya Pak Ishak. “Pak, kami sudah ditangkap oleh masyarakat.” Mula-mula Dextro yang murah dulu. Setelah ketagihan, narkoba yang mahal akan gampang masuk. Remaja Flores terancam. Kita tetap terlelap?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 17 April 2009
Label:
bentara,
dugaan peredaran narkoba,
ende,
flores,
flores pos,
hukum
Permainan Harus Berakhir
Kasus Kematian Rm Faustin Sega Pr
Oleh Frans Anggal
Ada kemajuan dalam proses hukum kasus kematian Romo Faustin Sega Pr. Polda NTT yang sebelumnya hanya mem-back-up Polres Ngada, akhirnya mengambil alih penanganan kasus. Tersangka Theresia Tawa dan Rogasianus Waja dibawa ke Kupang. Ditahan. Setelah menemukan bukti baru, tim polda memutuskan: mengambil alih penyelidikan dan penyidikan dua tersangka.
Tak terbayangkan, jadinya seperti ini. Kasus Romo Faustin harus menyeberangi Laut Sawu. Locus delicti atau tempat kejadian perkaranya di Flores. Penahanan tersangkanya di Timor. Awal penyelidikan dan penyidikannya oleh Polres Ngada. Lanjutannya oleh Polda NTT.
Diwawas dengan Quick Wins, program barunya Polri, penanganan perkara seperti ini merupakan contoh terbaik tentang pelayanan terburuk. Polri mengidealkan pelayanan yang semakin cepat (quicker), semakin murah (cheaper), dan makin mudah (easier). Yang dilakukan Polres Ngada, jauh panggang dari api. Polri mengimpikan zero complain, berkurang dan kalau bisa kosongnya keluhan masyarakat. Yang dipanen Polres Ngada serba-terbalik. Berlimpah ruah keluhan, kekecewaan, protes, kecaman, hingga demo dari berbagai lapisan dan golongan masyarakat.
Buruknya kinerja Polres Ngada tidak sebatas persoalan ‘cepat’, ‘mudah’, dan ‘murah’ yang teknis itu. Ada yang jauh lebih hakiki dan mengerikan. Tergilasnya etika profesi oleh oknum, baik sebagai aparat penegak hukum maupun sebagai pejabat publik dan bawahan dari atasan dalam hierarki kepolisian.
Rubrik “Bentara” edisi Senin 23 Maret 2009 mengidentifikasikan penggilasan etika profesi ini sebagai “pembohongan”, sejalan dengan gema opini publik. Pertama, kematian Romo Faustin dikaitkan dengan kasus amoral, dengan sasaran kasus didiamkan karena akan menjadi aib bila diekspose melalui proses hukum. Kedua, hasil visum et repertum dokter RSUD Bajawa dimanipulasi. Konon korban meninggal karena serangan jantung dan hipertensi. Padahal pembuat visum tidak bersimpulan seperti itu, karena yang dilakukannya hanya pemeriksaan luar, bukan pemeriksaan dalam. Ketiga, hasil autopsi jenazah pun dimanipulasi. Pembohongan ini langsung ditujukan kepada kapolda.
Kepada Kapolda Antonius Bambang Suedi, Kapolres Edy Swahariyadi melaporkan, berdasarkan hasil autopsi, Romo Faustin meninggal secara wajar. Karena itu, sejumlah tersangka dibebaskan. Tinggal Theresia Tawa yang bersalah karena meninggalkan korban saat meninggal dan tidak melaporkan kejadian. Pembohongan ini baru diketahui kapolda saat ia bertemu Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota. Uskup menunjukkan surat hasil autopsi. Isinya mengejutkan. Korban meninggal karena kekerasan tumpul. Dari sinilah penanganan kasus diambil alih polda.
Kini harapan ditumpukan pada tim polda. Mengerikan kalau hal yang sama masih terulang. Permainan harus berakhir. Saatnya bekerja. Profesional.
“Bentara” FLORES POS, Kami 16 April 2009
Oleh Frans Anggal
Ada kemajuan dalam proses hukum kasus kematian Romo Faustin Sega Pr. Polda NTT yang sebelumnya hanya mem-back-up Polres Ngada, akhirnya mengambil alih penanganan kasus. Tersangka Theresia Tawa dan Rogasianus Waja dibawa ke Kupang. Ditahan. Setelah menemukan bukti baru, tim polda memutuskan: mengambil alih penyelidikan dan penyidikan dua tersangka.
Tak terbayangkan, jadinya seperti ini. Kasus Romo Faustin harus menyeberangi Laut Sawu. Locus delicti atau tempat kejadian perkaranya di Flores. Penahanan tersangkanya di Timor. Awal penyelidikan dan penyidikannya oleh Polres Ngada. Lanjutannya oleh Polda NTT.
Diwawas dengan Quick Wins, program barunya Polri, penanganan perkara seperti ini merupakan contoh terbaik tentang pelayanan terburuk. Polri mengidealkan pelayanan yang semakin cepat (quicker), semakin murah (cheaper), dan makin mudah (easier). Yang dilakukan Polres Ngada, jauh panggang dari api. Polri mengimpikan zero complain, berkurang dan kalau bisa kosongnya keluhan masyarakat. Yang dipanen Polres Ngada serba-terbalik. Berlimpah ruah keluhan, kekecewaan, protes, kecaman, hingga demo dari berbagai lapisan dan golongan masyarakat.
Buruknya kinerja Polres Ngada tidak sebatas persoalan ‘cepat’, ‘mudah’, dan ‘murah’ yang teknis itu. Ada yang jauh lebih hakiki dan mengerikan. Tergilasnya etika profesi oleh oknum, baik sebagai aparat penegak hukum maupun sebagai pejabat publik dan bawahan dari atasan dalam hierarki kepolisian.
Rubrik “Bentara” edisi Senin 23 Maret 2009 mengidentifikasikan penggilasan etika profesi ini sebagai “pembohongan”, sejalan dengan gema opini publik. Pertama, kematian Romo Faustin dikaitkan dengan kasus amoral, dengan sasaran kasus didiamkan karena akan menjadi aib bila diekspose melalui proses hukum. Kedua, hasil visum et repertum dokter RSUD Bajawa dimanipulasi. Konon korban meninggal karena serangan jantung dan hipertensi. Padahal pembuat visum tidak bersimpulan seperti itu, karena yang dilakukannya hanya pemeriksaan luar, bukan pemeriksaan dalam. Ketiga, hasil autopsi jenazah pun dimanipulasi. Pembohongan ini langsung ditujukan kepada kapolda.
Kepada Kapolda Antonius Bambang Suedi, Kapolres Edy Swahariyadi melaporkan, berdasarkan hasil autopsi, Romo Faustin meninggal secara wajar. Karena itu, sejumlah tersangka dibebaskan. Tinggal Theresia Tawa yang bersalah karena meninggalkan korban saat meninggal dan tidak melaporkan kejadian. Pembohongan ini baru diketahui kapolda saat ia bertemu Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota. Uskup menunjukkan surat hasil autopsi. Isinya mengejutkan. Korban meninggal karena kekerasan tumpul. Dari sinilah penanganan kasus diambil alih polda.
Kini harapan ditumpukan pada tim polda. Mengerikan kalau hal yang sama masih terulang. Permainan harus berakhir. Saatnya bekerja. Profesional.
“Bentara” FLORES POS, Kami 16 April 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus kematian rm faustin sega pr,
ngada
16 April 2009
Damai di Atas Keadilan
Kasus Kepala Telkom Lewoleba
Oleh Frans Anggal
Kasus Kepala Telkom Lewoleba, Jefta Loak, berakhir. Pelaku ‘perbuatan tidak menyenangkan’ terhadap wartawan Flores Pos Maxi Gantung ini divonis 20 hari penjara. Praktis ia langsung menghirup udara bebas begitu vonis dijatuhkan. Masa hukumannya habis dipotong masa tahanan.
Puaskah Maxi Gantung? Puas untuk satu hal, tidak puas untuk hal lain. Ia tidak puas dengan Polres Lembata. Bayangkan. Pelaku meramas krah baju korban. Korban merasa dipermalukan dan diinjak-injak harga dirinya. Pelaku juga melarang korban menggunakan jasa internet Telkom yang adalah fasilitas umum. Untuk kasus ini, polisi menggunakan pasal tindak pidana ringan (tipiring). Ini namanya menjerat nyamuk pakai tali kerbau. Menjerat untuk meloloskan. Maxi menolak menandatangani BAP. Akhirnya polisi mengganti pasal.
Kalau polisinya main kotor, tidak demikian jaksa dan hakim. Maxi puas, Jefta Loak akhirnya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum. Ia pun dihukum karena perbuatannya itu.
Bahwa putusan hakim lebih rendah daripada tuntutan jaksa, tidak soal. Jaksa menuntut satu bulan, hakim memvonis 20 hari. Korting 10 hari, tidak apa-apa. Begitu juga ketika 20 hari penjara langsung habis dipotong masa tahanan. Artinya, Jefta divonis penjara tetapi secara fisik tidak meringkuk di balik terali besi. Semua itu tidak apa-apa.
Tujuan Maxi memproses hukum kasus ini bukan untuk itu. Bukan untuk menjebloskan Jefta ke penjara. Masuk penjara hanya akibat, sejauh yang bersangkutan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum. Akhirnya memang terbukti. Perbuatan Jefta tidak dapat dibenarkan. Maxi puas.
Secara pribadi, di luar persidangan, Jefta mengakui kesalahannya. Ia mendatangi rumah Maxi untuk minta maaf. Maxi memaafkan. Keduanya berdamai. Hal ini kemudian turut menjadi unsur yang meringankan vonis bagi Jefta. Kendati demikian, Maxi tidak mencabut gugatan. Damai, ya. Proses hukum, jalan terus.
Dengan pilihan itu, Maxi memperhadapkan perasaan kasihan dan perasaan tega di satu pihak (sebagai sifat psikologis) dan perasaan adil dan tidak adil (sebagai sifat moral) di pihak lain. Pilihan yang ia jatuhkan adalah pilihan (sebagai warga) negara hukum. Mendasarkan sikap dan perlakukan pada pertimbangan moral melalui hukum dan pengadilan, bukan pada perasaan yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Ia memenangkan sifat-sifat moral di atas sifat-sifat yang semata-mata psikologis.
Sikap Maxi sebagai pribadi sejalan dengan sikap Flores Pos sebagai lembaganya. Dalam artian tertentu, Maxi itu personifikasi Flores Pos juga, yang menolak kesewenang-wenangan dan segala bentuk premanisme. Kita cinta damai. Tapi damai itu harus dibangun di atas keadilan.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 15 April 2009
Oleh Frans Anggal
Kasus Kepala Telkom Lewoleba, Jefta Loak, berakhir. Pelaku ‘perbuatan tidak menyenangkan’ terhadap wartawan Flores Pos Maxi Gantung ini divonis 20 hari penjara. Praktis ia langsung menghirup udara bebas begitu vonis dijatuhkan. Masa hukumannya habis dipotong masa tahanan.
Puaskah Maxi Gantung? Puas untuk satu hal, tidak puas untuk hal lain. Ia tidak puas dengan Polres Lembata. Bayangkan. Pelaku meramas krah baju korban. Korban merasa dipermalukan dan diinjak-injak harga dirinya. Pelaku juga melarang korban menggunakan jasa internet Telkom yang adalah fasilitas umum. Untuk kasus ini, polisi menggunakan pasal tindak pidana ringan (tipiring). Ini namanya menjerat nyamuk pakai tali kerbau. Menjerat untuk meloloskan. Maxi menolak menandatangani BAP. Akhirnya polisi mengganti pasal.
Kalau polisinya main kotor, tidak demikian jaksa dan hakim. Maxi puas, Jefta Loak akhirnya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum. Ia pun dihukum karena perbuatannya itu.
Bahwa putusan hakim lebih rendah daripada tuntutan jaksa, tidak soal. Jaksa menuntut satu bulan, hakim memvonis 20 hari. Korting 10 hari, tidak apa-apa. Begitu juga ketika 20 hari penjara langsung habis dipotong masa tahanan. Artinya, Jefta divonis penjara tetapi secara fisik tidak meringkuk di balik terali besi. Semua itu tidak apa-apa.
Tujuan Maxi memproses hukum kasus ini bukan untuk itu. Bukan untuk menjebloskan Jefta ke penjara. Masuk penjara hanya akibat, sejauh yang bersangkutan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum. Akhirnya memang terbukti. Perbuatan Jefta tidak dapat dibenarkan. Maxi puas.
Secara pribadi, di luar persidangan, Jefta mengakui kesalahannya. Ia mendatangi rumah Maxi untuk minta maaf. Maxi memaafkan. Keduanya berdamai. Hal ini kemudian turut menjadi unsur yang meringankan vonis bagi Jefta. Kendati demikian, Maxi tidak mencabut gugatan. Damai, ya. Proses hukum, jalan terus.
Dengan pilihan itu, Maxi memperhadapkan perasaan kasihan dan perasaan tega di satu pihak (sebagai sifat psikologis) dan perasaan adil dan tidak adil (sebagai sifat moral) di pihak lain. Pilihan yang ia jatuhkan adalah pilihan (sebagai warga) negara hukum. Mendasarkan sikap dan perlakukan pada pertimbangan moral melalui hukum dan pengadilan, bukan pada perasaan yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Ia memenangkan sifat-sifat moral di atas sifat-sifat yang semata-mata psikologis.
Sikap Maxi sebagai pribadi sejalan dengan sikap Flores Pos sebagai lembaganya. Dalam artian tertentu, Maxi itu personifikasi Flores Pos juga, yang menolak kesewenang-wenangan dan segala bentuk premanisme. Kita cinta damai. Tapi damai itu harus dibangun di atas keadilan.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 15 April 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kepala telkom lewoleba,
lembata
Contrengan Paska
Pemilu: Pilih Kucing, Pilih Karung
Oleh Frans Anggal
“Karya-Nya tidak seperti Golkar. Perjuangan-Nya tidak seperti PDIP. Damainya tidak seperti PDS. Hati nurani-Nya tidak seperti Hanura. Kebangkitan-Nya melebihi PKB. Contreng Yesus! Selamat Paska.”
SMS ini beredar Sabtu Besar 11 April dan Minggu Paska 12 April 2009. Paska dikaitkan dengan pemilu tiga hari sebelumnya. Yang dikampanyekan bukan parpol, tapi Allah dan karya-Nya. Yang dicontreng bukan caleg, tapi seorang pribadi, yang karena kasih-Nya kepada manusia dan ketaatan-Nya kepada Allah, rela mati di salib demi keselamatan umat manusia dan segenap alam ciptaan.
Membandingkan Allah dengan parpol, caleg dengan Yesus, tidaklah tepat. Namun ada yang penting di balik perbandingan yang tidak proporsional ini. Sebuah keprihatinan.
Pemilu semakin menjadi pertarungan partai nasionalis dan partai agama. Pertarungan dua jenis karung untuk memperebutkan kucing. Sayang, banyak pemilih hanya melihat kucing, lupa melihat karung. Yang penting kucing masuk karung. Karung nasionalis atau karung agama, tidak dipedulikan. Ideologi partai tidak dihiraukan.
Ada yang tidak paham. Dalam karung yang tepat, kucing sehat akan tetap hidup, berani mengeong, dan siap menerkam tikus. Sebaliknya, dalam karung yang salah, kucing sehat sekalipun, apalagi yang sakit-sakitan, gampang lemas karena terinjak, bahkan mati bodoh dimangsa kucing lain.
Apa pun hasil pemilu, itulah hasil pilihan kita. Pilih kucing untuk karung dan pilih karung untuk kucing. Selanjutnya, ke mana karung akan dibawa? Ke NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia? Ataukah menuju NSRI, Negara Syariah Republik Indonesia?
Fakta. Dalam Pembukaan UUD 1945, Piagam Jakarta dicoret. Namun ia muncul dalam bentuk lain melalui banyak peraturan, dari perda hingga UU. Perda syariah semakin banyak. UU juga begitu, bahkan sejak 1974, melalui UU Perkawinan; 1989 melalui UU Peradilan Agama;1999 melalui UU Haji. 2000 ke atas melalui UU Sisdiknas dan UU Pornografi, yang tidak eksplisit namun bernuansa syariah. Belum lagi RUU Pengelolaan Zakat dan Jaminan Produk Halal, yang sebenarnya merupakan salinan hukum agama ke dalam kerangka hukum negara.
Fakta. Ketika RUU Pengelolaan Zakat dan Jaminan Produk Halal dibahas di DPR, hanya satu fraksi yang protes. Partai lain, termasuk yang nasionalis, belum jelas mengajukan keberatan. Ini tanda apa? Karung nasionalis pun sudah berisi banyak kucing agamais.
Salah siapa? Salah yang pilih. Kita-kita juga. Salah pilih kucing, salah pilih karung. Namun tak perlu mengutuk diri. Kita harus bangkit. Terus berjuang menjaga NKRI, rumah bersama milik kita semua. Kita bukan penghuni indekos di negeri ini. Itulah hikmah Paska dan makna contrengannya.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 14 April 2009
Oleh Frans Anggal
“Karya-Nya tidak seperti Golkar. Perjuangan-Nya tidak seperti PDIP. Damainya tidak seperti PDS. Hati nurani-Nya tidak seperti Hanura. Kebangkitan-Nya melebihi PKB. Contreng Yesus! Selamat Paska.”
SMS ini beredar Sabtu Besar 11 April dan Minggu Paska 12 April 2009. Paska dikaitkan dengan pemilu tiga hari sebelumnya. Yang dikampanyekan bukan parpol, tapi Allah dan karya-Nya. Yang dicontreng bukan caleg, tapi seorang pribadi, yang karena kasih-Nya kepada manusia dan ketaatan-Nya kepada Allah, rela mati di salib demi keselamatan umat manusia dan segenap alam ciptaan.
Membandingkan Allah dengan parpol, caleg dengan Yesus, tidaklah tepat. Namun ada yang penting di balik perbandingan yang tidak proporsional ini. Sebuah keprihatinan.
Pemilu semakin menjadi pertarungan partai nasionalis dan partai agama. Pertarungan dua jenis karung untuk memperebutkan kucing. Sayang, banyak pemilih hanya melihat kucing, lupa melihat karung. Yang penting kucing masuk karung. Karung nasionalis atau karung agama, tidak dipedulikan. Ideologi partai tidak dihiraukan.
Ada yang tidak paham. Dalam karung yang tepat, kucing sehat akan tetap hidup, berani mengeong, dan siap menerkam tikus. Sebaliknya, dalam karung yang salah, kucing sehat sekalipun, apalagi yang sakit-sakitan, gampang lemas karena terinjak, bahkan mati bodoh dimangsa kucing lain.
Apa pun hasil pemilu, itulah hasil pilihan kita. Pilih kucing untuk karung dan pilih karung untuk kucing. Selanjutnya, ke mana karung akan dibawa? Ke NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia? Ataukah menuju NSRI, Negara Syariah Republik Indonesia?
Fakta. Dalam Pembukaan UUD 1945, Piagam Jakarta dicoret. Namun ia muncul dalam bentuk lain melalui banyak peraturan, dari perda hingga UU. Perda syariah semakin banyak. UU juga begitu, bahkan sejak 1974, melalui UU Perkawinan; 1989 melalui UU Peradilan Agama;1999 melalui UU Haji. 2000 ke atas melalui UU Sisdiknas dan UU Pornografi, yang tidak eksplisit namun bernuansa syariah. Belum lagi RUU Pengelolaan Zakat dan Jaminan Produk Halal, yang sebenarnya merupakan salinan hukum agama ke dalam kerangka hukum negara.
Fakta. Ketika RUU Pengelolaan Zakat dan Jaminan Produk Halal dibahas di DPR, hanya satu fraksi yang protes. Partai lain, termasuk yang nasionalis, belum jelas mengajukan keberatan. Ini tanda apa? Karung nasionalis pun sudah berisi banyak kucing agamais.
Salah siapa? Salah yang pilih. Kita-kita juga. Salah pilih kucing, salah pilih karung. Namun tak perlu mengutuk diri. Kita harus bangkit. Terus berjuang menjaga NKRI, rumah bersama milik kita semua. Kita bukan penghuni indekos di negeri ini. Itulah hikmah Paska dan makna contrengannya.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 14 April 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
pemilu 2009,
politik
09 April 2009
Kado Paskanya Flores Pos
Kebijakan Baru Redaksional Flores Pos
Oleh Frans Anggal
Dua tahun lebih Flores Pos berjalan di atas kebijakan redaksional yang menekankan transparansi dan akuntabilitas wartawan. Hal ini ditandai penulisan berita byline. Nama wartawan ditulis lengkap, langsung di bawah judul berita, disertai nomor telepon.
“Bentara” Flores Pos edisi Sabtu 9 September 2006 menjelaskan begini. Di Indonesia, kebanyakan suratkabar tak memakai byline. Dampaknya, akuntabilitas wartawan disembunyikan di balik tanggung jawab institusi. Padahal dua hal ini bisa dibedakan. Kalau seorang wartawan diberi byline, ia akan lebih bertanggung jawab terhadap isi laporannya karena publik akan tahu siapa wartawan yang bekerja konsisten menghasilkan berita-berita bermutu. Juga sebaliknya, publik akan tahu wartawan mana yang pernah bikin salah.
Dua tahun berlalu, byline dirasakan sangat bermanfaat. Ini menjadi dasar bagi Flores Pos maju selangkah lagi. Tidak cukup hanya mencantumkan nama lengkap wartawan atau reporter yang meliput dan menulis berita. Berita yang tercetak di koran adalah berita reporter yang telah disunting atau diedit oleh redaktur atau editor.
Dalam mengedit berita reporter, editor berkewajiban melengkapi, memperbaiki, dan menyempurnakan berita. Selain memiliki kewajiban, editor memiliki wewenang. Dia menentukan boleh tidaknya berita diturunkan. Karena kewenangannya itulah, dalam tradisi jurnalisme yang benar, editorlah yang bertanggung jawab atas berita yang diterbitkan. Secara berjenjang, tanggung jawab ini juga ada pada managing editor (redaktur pelaksana) dan chief editor (pemimpin redaksi).
Nah. Kalau demi transparansi dan akuntabilitas, nama lengkap reporter dicantumkan, mengapa editornya ‘disembunyikan’? Inilah yang menjadi dasar sehingga mulai penerbitan Selasa 14 April 2009 nanti, khusus untuk berita hasil liputan reporter dan kontributor Flores Pos, nama lengkap editor dicantumkan pada akhir berita (tag line).
Demi transparansi dan akuntabilitas yang sama, kolom “Bentara” pun akan ditulis secara byline. Mempertimbangkan “Bentara” sebagai sikap resmi institusi Flores Pos terhadap sebuah isu maka atribut penulis dicantumkan, langsung di bawah nama penulis. Sedangkan nomor HP, email, blog (sejauh ada) dicantumkan pada akhir tulisan.
Sebagai upaya memperkaya dan menganekaragamkan isi, Flores Pos akan menghadirkan pula kolom “Asal Omong” dan/atau “Sekenanya Saja”, kolom khas dari SKM Dian yang sudah ‘almarhum’. Kolom ini akan diisi oleh para redaktur Flores Pos, ditulis secara byline, disertai atribut dan pasfoto. Nomor HP, email, blog (sejauh ada) akan dicantumkan pada akhir tulisan.
Itulah tiga hal baru persembahan Flores Pos. Kami menjadikannya kado Paska buat Anda. Tujuan kami hanya satu: Flores Pos semakin berkualitas. Media berkualitas, masyarakat cerdas.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 8 April 2009
Oleh Frans Anggal
Dua tahun lebih Flores Pos berjalan di atas kebijakan redaksional yang menekankan transparansi dan akuntabilitas wartawan. Hal ini ditandai penulisan berita byline. Nama wartawan ditulis lengkap, langsung di bawah judul berita, disertai nomor telepon.
“Bentara” Flores Pos edisi Sabtu 9 September 2006 menjelaskan begini. Di Indonesia, kebanyakan suratkabar tak memakai byline. Dampaknya, akuntabilitas wartawan disembunyikan di balik tanggung jawab institusi. Padahal dua hal ini bisa dibedakan. Kalau seorang wartawan diberi byline, ia akan lebih bertanggung jawab terhadap isi laporannya karena publik akan tahu siapa wartawan yang bekerja konsisten menghasilkan berita-berita bermutu. Juga sebaliknya, publik akan tahu wartawan mana yang pernah bikin salah.
Dua tahun berlalu, byline dirasakan sangat bermanfaat. Ini menjadi dasar bagi Flores Pos maju selangkah lagi. Tidak cukup hanya mencantumkan nama lengkap wartawan atau reporter yang meliput dan menulis berita. Berita yang tercetak di koran adalah berita reporter yang telah disunting atau diedit oleh redaktur atau editor.
Dalam mengedit berita reporter, editor berkewajiban melengkapi, memperbaiki, dan menyempurnakan berita. Selain memiliki kewajiban, editor memiliki wewenang. Dia menentukan boleh tidaknya berita diturunkan. Karena kewenangannya itulah, dalam tradisi jurnalisme yang benar, editorlah yang bertanggung jawab atas berita yang diterbitkan. Secara berjenjang, tanggung jawab ini juga ada pada managing editor (redaktur pelaksana) dan chief editor (pemimpin redaksi).
Nah. Kalau demi transparansi dan akuntabilitas, nama lengkap reporter dicantumkan, mengapa editornya ‘disembunyikan’? Inilah yang menjadi dasar sehingga mulai penerbitan Selasa 14 April 2009 nanti, khusus untuk berita hasil liputan reporter dan kontributor Flores Pos, nama lengkap editor dicantumkan pada akhir berita (tag line).
Demi transparansi dan akuntabilitas yang sama, kolom “Bentara” pun akan ditulis secara byline. Mempertimbangkan “Bentara” sebagai sikap resmi institusi Flores Pos terhadap sebuah isu maka atribut penulis dicantumkan, langsung di bawah nama penulis. Sedangkan nomor HP, email, blog (sejauh ada) dicantumkan pada akhir tulisan.
Sebagai upaya memperkaya dan menganekaragamkan isi, Flores Pos akan menghadirkan pula kolom “Asal Omong” dan/atau “Sekenanya Saja”, kolom khas dari SKM Dian yang sudah ‘almarhum’. Kolom ini akan diisi oleh para redaktur Flores Pos, ditulis secara byline, disertai atribut dan pasfoto. Nomor HP, email, blog (sejauh ada) akan dicantumkan pada akhir tulisan.
Itulah tiga hal baru persembahan Flores Pos. Kami menjadikannya kado Paska buat Anda. Tujuan kami hanya satu: Flores Pos semakin berkualitas. Media berkualitas, masyarakat cerdas.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 8 April 2009
07 April 2009
Profisiat Wangge-Mochdar
Pelantikan Bupati dan Wabup Ende 2009-2014
Oleh Frans Anggal
Mulai hari ini, Selasa 7 April 2009, Kabupaten Ende dipimpin nakhoda baru. Era Paulinus Domi dan Bernadus Gadobani telah berlalu. Kini giliran Don Bosco M Wangge dan Achmad Mochdar.
Wangge-Mochdar adalah duet pertama hasil pilkada langsung yang menang secara sangat meyakinkan. Sangat meyakinkan, karena mereka mengalahkan enam kandidat lainnya hanya dalam satu putaran dengan perolehan suara signifikan, 40-an persen.
Perolehan suara ini menunjukkan besarnya kepercayaan masyarakat. Besarnya harapan masyarakat. Yang berarti pula besarnya ‘beban’ yang harus dipikul. Apa persisnya ‘beban’ itu?
Dalam sambutannya yang diturunkan Flores Pos sehari sebelum pelantikan, Bupati Don Wangge menamakan ‘beban’ itu ‘masalah pokok’. Ada tiga masalah pokok yang dihadapi Kabupaten Ende. Yaitu, kemiskinan yang meningkat dari tahun ke tahun, rendahnya mutu pendidikan, dan rendahnya derajat kesehatan masyarakat.
Penyebab utama tiga masalah pokok ini adalah salah urus yang dilakukan birokrasi. Karena itu, duet ini akan menempuh dua jalur jalan keluar. Jalur fungsional dan jalur kultural.
Yang dilakukan pada jalur fungsional adalah menata pemerintahan yang baik (good governance), memberantas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan mendorong partispasi masyarakat dalam pembangunan.
Untuk menata pemerintahan, Wangge-Mochdar akan mereformasi birokrasi melalui perampingan organisasi agar lebih efisien serta meninjau kembali mutasi dan promosi jabatan aparatur. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, duet ini akan membentuk unit pelayanan satu atap.
Pada jalur kultural, Wangge-Mochdar akan mengembangkan budaya pemerintahan saate atau sehati yang juga merupakan akronim dari selaras (dengan Tuhan, alam, sesama), akal budi luhur dan percaya diri, serta teladan dan keteladanan.
Sasarkan dari semua ini adalah perubahan etos birokrasi dari birokrasi yang dilayani menjadi birokrasi yang melayani dan mempunyai kinerja yang baik. Karena itulah, Bupati Wangge memberi judul sambutannya, “Kepuasan Masyarkat adalah Kunci Keberhasilan Birokrasi”.
Dalam spirit saate, Wangge-Mochdar memohon dari semua pihak yang berkehendak baik, dukungan doa dan kerja sama. Kita dukung. Dukung lewat doa dan kerja sama.
Kerja sama, demi keluhuran maknanya, tidak boleh menjadi persekongkolan. Yang baik kita puji. Yang buruk kita kritik. Ini salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yang adalah juga salah satu program inti Wangge-Mochdar. Profisiat!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 7 April 2009
Oleh Frans Anggal
Mulai hari ini, Selasa 7 April 2009, Kabupaten Ende dipimpin nakhoda baru. Era Paulinus Domi dan Bernadus Gadobani telah berlalu. Kini giliran Don Bosco M Wangge dan Achmad Mochdar.
Wangge-Mochdar adalah duet pertama hasil pilkada langsung yang menang secara sangat meyakinkan. Sangat meyakinkan, karena mereka mengalahkan enam kandidat lainnya hanya dalam satu putaran dengan perolehan suara signifikan, 40-an persen.
Perolehan suara ini menunjukkan besarnya kepercayaan masyarakat. Besarnya harapan masyarakat. Yang berarti pula besarnya ‘beban’ yang harus dipikul. Apa persisnya ‘beban’ itu?
Dalam sambutannya yang diturunkan Flores Pos sehari sebelum pelantikan, Bupati Don Wangge menamakan ‘beban’ itu ‘masalah pokok’. Ada tiga masalah pokok yang dihadapi Kabupaten Ende. Yaitu, kemiskinan yang meningkat dari tahun ke tahun, rendahnya mutu pendidikan, dan rendahnya derajat kesehatan masyarakat.
Penyebab utama tiga masalah pokok ini adalah salah urus yang dilakukan birokrasi. Karena itu, duet ini akan menempuh dua jalur jalan keluar. Jalur fungsional dan jalur kultural.
Yang dilakukan pada jalur fungsional adalah menata pemerintahan yang baik (good governance), memberantas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan mendorong partispasi masyarakat dalam pembangunan.
Untuk menata pemerintahan, Wangge-Mochdar akan mereformasi birokrasi melalui perampingan organisasi agar lebih efisien serta meninjau kembali mutasi dan promosi jabatan aparatur. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, duet ini akan membentuk unit pelayanan satu atap.
Pada jalur kultural, Wangge-Mochdar akan mengembangkan budaya pemerintahan saate atau sehati yang juga merupakan akronim dari selaras (dengan Tuhan, alam, sesama), akal budi luhur dan percaya diri, serta teladan dan keteladanan.
Sasarkan dari semua ini adalah perubahan etos birokrasi dari birokrasi yang dilayani menjadi birokrasi yang melayani dan mempunyai kinerja yang baik. Karena itulah, Bupati Wangge memberi judul sambutannya, “Kepuasan Masyarkat adalah Kunci Keberhasilan Birokrasi”.
Dalam spirit saate, Wangge-Mochdar memohon dari semua pihak yang berkehendak baik, dukungan doa dan kerja sama. Kita dukung. Dukung lewat doa dan kerja sama.
Kerja sama, demi keluhuran maknanya, tidak boleh menjadi persekongkolan. Yang baik kita puji. Yang buruk kita kritik. Ini salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yang adalah juga salah satu program inti Wangge-Mochdar. Profisiat!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 7 April 2009
Label:
bentara,
bupati don wangge,
ende,
flores,
flores pos,
politik
05 April 2009
Ketika Longginus Berjoget
Saling Tuding PN dan Kejari Maumere
Oleh Frans Anggal
Pengadilan Negeri Maumere menyesalkan sikap mantan Bupati Sikka Alexander Longginus yang bernyanyi dan berjoget saat kampanye terbuka PDIP di Lapangan Kota Baru, Maumere, Jumat 23 Maret 2009. Longginus yang juga Ketua DPC PDIP Kabupaten Sikka adalah tersangka kasus korupsi dana purnabakti DPRD Sikka periode 1999-2004 yang masih berstatus tahanan kota.
Sebelumnya, ia menjadi tahanan jaksa. Kemudian oleh pihak pengadilan statusnya dialihkan menjadi tahanan kota dengan alasan sakit berdasarkan rekaman medis RSUD Maumere. Yang disesalkan pengadilan, Longginus melakukan kegiatan layaknya tidak sebagai orang sakit. Padahal, statusnya dialihkan justru karena dia sakit.
Belum jelas benar apa sesungguhnya yang dipersoalkan pengadilan atas diri Longginus. Apakah status tahanan kotanya ataukah status sakitnya? Kalau tahanan kotanya yang jadi soal, pertanyaan: apakah tahanan kota dilarang berkegiatan dalam kota, naik panggung kampanye, bernyanyi dan berjoget? Kalau sakitnya yang jadi soal: apakah orang sakit tidak boleh bernyanyi dan berjoget?
Sejauh tidak ada larangan yuridis formal, semua ini tidak perlu dipersoalkan. Dari sisi kepatutan pun tidak. Nyanyi dan joget bisa menjadi semacam katarsis untuk melepaskan stres. Bisa juga menjadi terapi bagi si sakit agar cepat sembuh sehingga siap menjalani proses hukum selanjutnya.
Yang patut dipersoalkan justru reaksi atas peristiwa ini. Kejaksaan dan pengadilan baku tolak tanggung jawab dan mulai saling mempersalahkan. Kata kejaksaan, Longginus sudah menjadi tahanan pengadilan. Pengadilanlah yang bertanggung jawab atas pengawasan. Pengadilan ‘membalas pantun’: meski Longginus tahanan pengadilan, kejaksaan harus ikut mengawasi. Sebab, kejaksaanlah yang menuntut terdakwa. Kejaksaan pula yang menghadirkannya dalam persidangan.
Siapa salah, siapa benar, tidak penting. Yang penting justru ini: kejaksaan dan pengadilan sedang mempertontonkan sebuah pentas yang jauh lebih ‘menarik’ ketimbang aksi Longginus di atas panggung.
Dua instansi penegak hukum ini memperlihatkan kegagalan mereka sendiri melaksanakan apa yang disebut “sistem peradilan pidana terpadu’ (integrated criminal justice system). Dengan baku tolak tanggung jawab dan saling menuding, yang mereka rajut bukan lagi sistem “terpadu” tapi sistem “teradu”. Mereka menggantikan “berpadu” dengan “beradu”.
Lakon mereka telah mempertaruhkan citra profesionalitas mereka sendiri. Sepertinya mereka tidak tahu apa itu kewajiban, tanggung jawab, hak, hukuman, bahkan konsep tentang hukum itu sendiri.
“Bentara” FLORES POS, Senin 6 April 2009
Oleh Frans Anggal
Pengadilan Negeri Maumere menyesalkan sikap mantan Bupati Sikka Alexander Longginus yang bernyanyi dan berjoget saat kampanye terbuka PDIP di Lapangan Kota Baru, Maumere, Jumat 23 Maret 2009. Longginus yang juga Ketua DPC PDIP Kabupaten Sikka adalah tersangka kasus korupsi dana purnabakti DPRD Sikka periode 1999-2004 yang masih berstatus tahanan kota.
Sebelumnya, ia menjadi tahanan jaksa. Kemudian oleh pihak pengadilan statusnya dialihkan menjadi tahanan kota dengan alasan sakit berdasarkan rekaman medis RSUD Maumere. Yang disesalkan pengadilan, Longginus melakukan kegiatan layaknya tidak sebagai orang sakit. Padahal, statusnya dialihkan justru karena dia sakit.
Belum jelas benar apa sesungguhnya yang dipersoalkan pengadilan atas diri Longginus. Apakah status tahanan kotanya ataukah status sakitnya? Kalau tahanan kotanya yang jadi soal, pertanyaan: apakah tahanan kota dilarang berkegiatan dalam kota, naik panggung kampanye, bernyanyi dan berjoget? Kalau sakitnya yang jadi soal: apakah orang sakit tidak boleh bernyanyi dan berjoget?
Sejauh tidak ada larangan yuridis formal, semua ini tidak perlu dipersoalkan. Dari sisi kepatutan pun tidak. Nyanyi dan joget bisa menjadi semacam katarsis untuk melepaskan stres. Bisa juga menjadi terapi bagi si sakit agar cepat sembuh sehingga siap menjalani proses hukum selanjutnya.
Yang patut dipersoalkan justru reaksi atas peristiwa ini. Kejaksaan dan pengadilan baku tolak tanggung jawab dan mulai saling mempersalahkan. Kata kejaksaan, Longginus sudah menjadi tahanan pengadilan. Pengadilanlah yang bertanggung jawab atas pengawasan. Pengadilan ‘membalas pantun’: meski Longginus tahanan pengadilan, kejaksaan harus ikut mengawasi. Sebab, kejaksaanlah yang menuntut terdakwa. Kejaksaan pula yang menghadirkannya dalam persidangan.
Siapa salah, siapa benar, tidak penting. Yang penting justru ini: kejaksaan dan pengadilan sedang mempertontonkan sebuah pentas yang jauh lebih ‘menarik’ ketimbang aksi Longginus di atas panggung.
Dua instansi penegak hukum ini memperlihatkan kegagalan mereka sendiri melaksanakan apa yang disebut “sistem peradilan pidana terpadu’ (integrated criminal justice system). Dengan baku tolak tanggung jawab dan saling menuding, yang mereka rajut bukan lagi sistem “terpadu” tapi sistem “teradu”. Mereka menggantikan “berpadu” dengan “beradu”.
Lakon mereka telah mempertaruhkan citra profesionalitas mereka sendiri. Sepertinya mereka tidak tahu apa itu kewajiban, tanggung jawab, hak, hukuman, bahkan konsep tentang hukum itu sendiri.
“Bentara” FLORES POS, Senin 6 April 2009
03 April 2009
Gonggong Lalu Gigit
Kasus Tambang Mangan di Hutan Lindung Manggarai
Oleh Frans Anggal
Dalam sepekan, Flores Pos menurunkan berurut-turut tiga berita tentang tambang mangan di Kedindi, Manggarai, yang dilakukan PT Sumber Jaya Asia (SJA). Berita pertama, Bupati Manggarai Christian Rotok mencabut izin operasi kuasa pertambangan itu karena eksploitasi dilakukan dalam kawasan hutan lindung. Berita kedua, PT SJA tidak mengantongi surat izin pinjam pakai kawasan hutan dari menteri kehutanan. Demikian isi surat menteri kehutanan kepada gubernur NTT. Berita ketiga, PT SJA tetap melakukan eksploitasi meski izin operasinya sudah dicabut.
Orang di Manggarai mengenal istilah “menang di atas kertas”. Istilah ini lahir 1990-an ketika perang tanding berebut tanah komunal (lingko) sedang marak. “Menang di atas kertas” dimaknakan sebagai ‘menang semu’ di pengadilan, karena de facto pihak yang “kalah di atas kertas” tetap menguasai objek sengketa. Eksekusi sulit karena yang “kalah di atas kertas” bertahan di tempat, mempertaruhkan nyawa. Yang datang mengganggu dianggap sebagai “hama” yang harus “dibasmi”. Tindakan main hakim sendiri ini dikenal dengan sebutan “vonis di tempat”, sebagai lawan dari “vonis di pendadilan”.
Boleh jadi, PT SJA bersikap seperti itu. Memandang keputusan Bupati Rotok sebagai lembaran kertas belaka. Vonis pencabutan izin operasi yang dijatuhkan Bupati Rotok cuma vonis di atas kertas. Bupati Rotok hanya menang di atas kertas. Bukan di atas lokasi tambang. Maka, eksploitasi jalan terus. Anjing menggonggong, kafilah berlalu.
Pertanyaan kita: mengapa kafilah tetap berlalu meski ada anjing menggonggong? Mungkin, dari pengalaman dan kebiasaan, kafilah sudah mengenal sifat anjing. Menggonggong pertanda tak akan menggigit. Bisa juga, menggonggong pertanda takut menggigit. Atau, kafilah tahu kelemahan anjing. Lemparkan sebatang tulang maka anjing akan diam dan asyik mengunyah. Kalau anjingnya banyak, tidak soal. Anjing-anjing itu akan saling mencabik berebut tulang. Kafilah pun senantiasa aman berlalu.
Untuk menghentikan kafilah berlalu, menggonggong saja tidak cukup. Salah-salah, menggonggong dianggap sebagai isyarat meminta tulang. Menggonggong mesti diikuti dengan menggigit. Surat pencabutan izin operasi kuasa pertambangan PT SJA harus ditindaklanjuti dengan eksekusi lapangan. Dasarnya sangat kuat.
Dengan dicabutnya izin operasi oleh bupati maka PT Sumber Jaya Asia kehilangan salah satu prasyarat vital eksploitasi. Pencabutan izin operasi ini memperkuat ketidakabsahan eksploitasi. Sebab, sebelumnya kuasa pertambangan ini juga tidak mengantongi surat izin pinjam pakai kawasan hutan dari menteri kehutanan.
Kita berharap, setelah menggonggong, Bupati Rotok berani menggiggit. Dengan cara yang dibenarkan hukum dan moral.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 4 April 2009
Oleh Frans Anggal
Dalam sepekan, Flores Pos menurunkan berurut-turut tiga berita tentang tambang mangan di Kedindi, Manggarai, yang dilakukan PT Sumber Jaya Asia (SJA). Berita pertama, Bupati Manggarai Christian Rotok mencabut izin operasi kuasa pertambangan itu karena eksploitasi dilakukan dalam kawasan hutan lindung. Berita kedua, PT SJA tidak mengantongi surat izin pinjam pakai kawasan hutan dari menteri kehutanan. Demikian isi surat menteri kehutanan kepada gubernur NTT. Berita ketiga, PT SJA tetap melakukan eksploitasi meski izin operasinya sudah dicabut.
Orang di Manggarai mengenal istilah “menang di atas kertas”. Istilah ini lahir 1990-an ketika perang tanding berebut tanah komunal (lingko) sedang marak. “Menang di atas kertas” dimaknakan sebagai ‘menang semu’ di pengadilan, karena de facto pihak yang “kalah di atas kertas” tetap menguasai objek sengketa. Eksekusi sulit karena yang “kalah di atas kertas” bertahan di tempat, mempertaruhkan nyawa. Yang datang mengganggu dianggap sebagai “hama” yang harus “dibasmi”. Tindakan main hakim sendiri ini dikenal dengan sebutan “vonis di tempat”, sebagai lawan dari “vonis di pendadilan”.
Boleh jadi, PT SJA bersikap seperti itu. Memandang keputusan Bupati Rotok sebagai lembaran kertas belaka. Vonis pencabutan izin operasi yang dijatuhkan Bupati Rotok cuma vonis di atas kertas. Bupati Rotok hanya menang di atas kertas. Bukan di atas lokasi tambang. Maka, eksploitasi jalan terus. Anjing menggonggong, kafilah berlalu.
Pertanyaan kita: mengapa kafilah tetap berlalu meski ada anjing menggonggong? Mungkin, dari pengalaman dan kebiasaan, kafilah sudah mengenal sifat anjing. Menggonggong pertanda tak akan menggigit. Bisa juga, menggonggong pertanda takut menggigit. Atau, kafilah tahu kelemahan anjing. Lemparkan sebatang tulang maka anjing akan diam dan asyik mengunyah. Kalau anjingnya banyak, tidak soal. Anjing-anjing itu akan saling mencabik berebut tulang. Kafilah pun senantiasa aman berlalu.
Untuk menghentikan kafilah berlalu, menggonggong saja tidak cukup. Salah-salah, menggonggong dianggap sebagai isyarat meminta tulang. Menggonggong mesti diikuti dengan menggigit. Surat pencabutan izin operasi kuasa pertambangan PT SJA harus ditindaklanjuti dengan eksekusi lapangan. Dasarnya sangat kuat.
Dengan dicabutnya izin operasi oleh bupati maka PT Sumber Jaya Asia kehilangan salah satu prasyarat vital eksploitasi. Pencabutan izin operasi ini memperkuat ketidakabsahan eksploitasi. Sebab, sebelumnya kuasa pertambangan ini juga tidak mengantongi surat izin pinjam pakai kawasan hutan dari menteri kehutanan.
Kita berharap, setelah menggonggong, Bupati Rotok berani menggiggit. Dengan cara yang dibenarkan hukum dan moral.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 4 April 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
manggarai,
pertambangan,
tambang mangan dalam hutan lindung manggarai
02 April 2009
Bangun Sambil Bersihkan
Untuk Bupati-Wabup Ende Wangge-Mochdar
Oleh Frans Anggal
Empat hari lagi, 7 April 2009, bupati dan wabup terpilih Kabupaten Ende dilantik. Don Bosco M Wangge dan Achmad Mochdar. Mereka dilantik di tengah keadaan birokrasi Ende yang tersangkut banyak korupsi namun tanpa koruptor.
Dua kasus terakhir adalah pembelian alat uji kendaraan di Dishub dan pembelian mesin pompa air di PDAM. Kasus pertama sudah dihentikan penyidikannya oleh polisi dengan alasan tidak ditemukannya kerugian negara. Sedangkan kasus kedua sedang ‘dipingpong’. BAP-nya masih bolak-balik antara polisi dan jaksa.
Proses hukum kasus korupsi merupakan kewenangan aparat penegak hukum. Mulai dari penyelidikan dan penyidikan sampai persidangan dan penjatuhan vonis, polisi, jaksa, dan hakimlah yang sibuk. Sedangkan bupati dan wabup sibuk dalam tugas dan tangggung jawab yang lain.
Tugas dan tanggung jawab bupati dan wabup adalah membersihkan birokrasi dan menjaganya tetap bersih. Tentu harus bersih diri dulu. Kalau tidak, maka terjadilah dua sandiwara ini. Sandiwara pertama, maling melindungi maling. Yang melindungi, maling besar. Yang dilindungi, maling kecil. Kalau tidak dilindungi, maling kecil akan membuka kedok maling besar. Di dunia bandit benaran, pilihan cuma dua. Kalau tidak bisa dilindungi, ya dibunuh.
Di dunia bandit birokrasi, masih ada pilihan lain, sandiwara kedua. Kalau maling kecil tidak bisa dilindungi karena kasusnya sudah mulai diproses hukum maka maling besar berusaha meluputkan diri. Caranya, antara lain, seperti laku maling benaran: maling teriak maling. Kalau sudah begini, yang selalu jadi korban adalah maling kecil. Sedangkan maling besar luput atau diluputkan atas titah keuangan yang mahakuasa. Dalam banyak kasus korupsi, pelaksana teknislah yang langganan masuk bui. Sedangkan penentu kebijakan aman tenteram.
Wangge-Mochdar dilantik di tengah keadaan birokrasi Ende yang mungkin punya hikayat seperti ini. Maling pelihara maling. Maling luputkan maling. Maling teriak maling. Bila sudah di tangan maling, birokrasi pemkab akan ambruk. Sebanyak apa pun investasi, semua itu akan semu. Investasi memang meningkat, akan tetapi karena sejalan dengan korupsi maka produktivitasnya rendah. Tak diikuti pemeliharaan memadai. Mutu infrastruktur yang dihasilkan proyek investasi itu pun buruk. Kasus alat uji kendaraan dan kasus PDAM sudah cukup bercerita tentangnya.
Kita berharap, era Wangge-Mochdar menjadi era baru. Membangun sambil membersihkan. Bukan membangun sambil merampok. Karena itu, ‘kabinet’ harus bersih. Sebab, yang memelihara maling bakal kemalingan. Bisa-bisa ikut disangka maling. Dan, yang lebih buruk, bisa-bisa ikut-ikutan jadi maling.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 3 April 2009
Oleh Frans Anggal
Empat hari lagi, 7 April 2009, bupati dan wabup terpilih Kabupaten Ende dilantik. Don Bosco M Wangge dan Achmad Mochdar. Mereka dilantik di tengah keadaan birokrasi Ende yang tersangkut banyak korupsi namun tanpa koruptor.
Dua kasus terakhir adalah pembelian alat uji kendaraan di Dishub dan pembelian mesin pompa air di PDAM. Kasus pertama sudah dihentikan penyidikannya oleh polisi dengan alasan tidak ditemukannya kerugian negara. Sedangkan kasus kedua sedang ‘dipingpong’. BAP-nya masih bolak-balik antara polisi dan jaksa.
Proses hukum kasus korupsi merupakan kewenangan aparat penegak hukum. Mulai dari penyelidikan dan penyidikan sampai persidangan dan penjatuhan vonis, polisi, jaksa, dan hakimlah yang sibuk. Sedangkan bupati dan wabup sibuk dalam tugas dan tangggung jawab yang lain.
Tugas dan tanggung jawab bupati dan wabup adalah membersihkan birokrasi dan menjaganya tetap bersih. Tentu harus bersih diri dulu. Kalau tidak, maka terjadilah dua sandiwara ini. Sandiwara pertama, maling melindungi maling. Yang melindungi, maling besar. Yang dilindungi, maling kecil. Kalau tidak dilindungi, maling kecil akan membuka kedok maling besar. Di dunia bandit benaran, pilihan cuma dua. Kalau tidak bisa dilindungi, ya dibunuh.
Di dunia bandit birokrasi, masih ada pilihan lain, sandiwara kedua. Kalau maling kecil tidak bisa dilindungi karena kasusnya sudah mulai diproses hukum maka maling besar berusaha meluputkan diri. Caranya, antara lain, seperti laku maling benaran: maling teriak maling. Kalau sudah begini, yang selalu jadi korban adalah maling kecil. Sedangkan maling besar luput atau diluputkan atas titah keuangan yang mahakuasa. Dalam banyak kasus korupsi, pelaksana teknislah yang langganan masuk bui. Sedangkan penentu kebijakan aman tenteram.
Wangge-Mochdar dilantik di tengah keadaan birokrasi Ende yang mungkin punya hikayat seperti ini. Maling pelihara maling. Maling luputkan maling. Maling teriak maling. Bila sudah di tangan maling, birokrasi pemkab akan ambruk. Sebanyak apa pun investasi, semua itu akan semu. Investasi memang meningkat, akan tetapi karena sejalan dengan korupsi maka produktivitasnya rendah. Tak diikuti pemeliharaan memadai. Mutu infrastruktur yang dihasilkan proyek investasi itu pun buruk. Kasus alat uji kendaraan dan kasus PDAM sudah cukup bercerita tentangnya.
Kita berharap, era Wangge-Mochdar menjadi era baru. Membangun sambil membersihkan. Bukan membangun sambil merampok. Karena itu, ‘kabinet’ harus bersih. Sebab, yang memelihara maling bakal kemalingan. Bisa-bisa ikut disangka maling. Dan, yang lebih buruk, bisa-bisa ikut-ikutan jadi maling.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 3 April 2009
Label:
bentara,
birokrasi bersih,
ende,
flores,
flores pos,
wangge-mochdar
01 April 2009
“Test Case” Awal Wangge-Mochdar
Kasus Tanah Eks Sekolah Cina di Ende
Oleh Frans Anggal
Bupati terpilih Kabupaten Ende Don Bosco M Wangge berjanji mendata kembali aset pemkab, baik tanah, rumah, maupun kendaraan. Khusus tentang tanah eks sekolah Cina yang de iure dimiliki para ahli waris tapi de facto dikuasai pemkab, ia akan melakukan klarifikasi secara baik. “Kalau tanah itu milik orang, kita akan kembalikan,” katanya. “Berikan kepada raja apa yang menjadi hak raja dan kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar.”
Mengakui hak orang. Menghargai hak orang. Memberi kepada orang apa yang menjadi haknya. Itulah keadilan. Sebaliknya, tidak adil: mengambil dan menguasai apa yang bukan hak. Kata paling tepat untuk ini adalah mencuri. Bisa oleh perseorangan, bisa pula oleh lembaga negara atau birokrasi pemerintah. Birokrasi yang suka mencuri disebut kleptokrasi. Sedangkan orangnya, kleptokrat.
Istilah ini diperkenalkan oleh Andreski, 1968. Kleptokrat adalah penguasa atau pejabat tinggi negara yang selalu berusaha memperkaya diri sendiri. Kleptokrat akan selalu memanfaatkan kekuasaannya untuk mencapai tujuan itu.
Yang ditekankan di sini adalah perilaku pejabatnya, bukan sistem administrasi publiknya. Dengan demikian, yang dilihat sebagai akar korupsi bukanlah sistem administrasi publik yang buruk, tetapi perilaku pejabat yang suka cari untung dengan memanfaatkan jabatannya.
Teori negara kleptokratik meyakini, sebagus apa pun administrasi publik tidak akan mencegah korupsi kalau para pejabatnya gemar mencuri. Sama juga, sesempurna apa pun undang-undang tidak bakal menciptakan keadilan kalau aparat penegak hukumnya gampang ditempeleng pakai uang.
Kasus tanah eks sekolah Cina di Ende dapat juga ditilik menggunakan teori ini. Penyelesaian kasus ini tertunda-tunda, sejak 2006. Boleh jadi, biang keroknya bukan sistem administrasi publik Pemkab Ende yang buruk, tetapi perilaku pejabatnya yang suka mencari untung melalui penguasaan tidak sah dan pemanfaatan sewenang-wenang atas tanah yang bukan merupakan haknya.
Kita mendukung sikap Don Bosco M Wangge, bupati terpilih yang seminggu lagi akan dilantik. Ia berjanji melakukan klarifikasi. Ia akan mendasarkan keputusannya pada prinsip hakiki keadilan. “Berikan kepada raja apa yang menjadi hak raja dan kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar.” Kutipan beraroma biblis ini telak-telak melawan perilaku bandit para kleptokrat.
Mudah-mudahan, di bawah Bupati Don Wangge dan Wabup Achmad Mochdar, kasus tanah eks sekolah Cina segera terselesaikan. Ini test case awal bagi Wangge-Mochdar. Kalau nanti tertunda-tunda, apa bedanya mereka dengan para pendahulu?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 2 April 2009
Oleh Frans Anggal
Bupati terpilih Kabupaten Ende Don Bosco M Wangge berjanji mendata kembali aset pemkab, baik tanah, rumah, maupun kendaraan. Khusus tentang tanah eks sekolah Cina yang de iure dimiliki para ahli waris tapi de facto dikuasai pemkab, ia akan melakukan klarifikasi secara baik. “Kalau tanah itu milik orang, kita akan kembalikan,” katanya. “Berikan kepada raja apa yang menjadi hak raja dan kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar.”
Mengakui hak orang. Menghargai hak orang. Memberi kepada orang apa yang menjadi haknya. Itulah keadilan. Sebaliknya, tidak adil: mengambil dan menguasai apa yang bukan hak. Kata paling tepat untuk ini adalah mencuri. Bisa oleh perseorangan, bisa pula oleh lembaga negara atau birokrasi pemerintah. Birokrasi yang suka mencuri disebut kleptokrasi. Sedangkan orangnya, kleptokrat.
Istilah ini diperkenalkan oleh Andreski, 1968. Kleptokrat adalah penguasa atau pejabat tinggi negara yang selalu berusaha memperkaya diri sendiri. Kleptokrat akan selalu memanfaatkan kekuasaannya untuk mencapai tujuan itu.
Yang ditekankan di sini adalah perilaku pejabatnya, bukan sistem administrasi publiknya. Dengan demikian, yang dilihat sebagai akar korupsi bukanlah sistem administrasi publik yang buruk, tetapi perilaku pejabat yang suka cari untung dengan memanfaatkan jabatannya.
Teori negara kleptokratik meyakini, sebagus apa pun administrasi publik tidak akan mencegah korupsi kalau para pejabatnya gemar mencuri. Sama juga, sesempurna apa pun undang-undang tidak bakal menciptakan keadilan kalau aparat penegak hukumnya gampang ditempeleng pakai uang.
Kasus tanah eks sekolah Cina di Ende dapat juga ditilik menggunakan teori ini. Penyelesaian kasus ini tertunda-tunda, sejak 2006. Boleh jadi, biang keroknya bukan sistem administrasi publik Pemkab Ende yang buruk, tetapi perilaku pejabatnya yang suka mencari untung melalui penguasaan tidak sah dan pemanfaatan sewenang-wenang atas tanah yang bukan merupakan haknya.
Kita mendukung sikap Don Bosco M Wangge, bupati terpilih yang seminggu lagi akan dilantik. Ia berjanji melakukan klarifikasi. Ia akan mendasarkan keputusannya pada prinsip hakiki keadilan. “Berikan kepada raja apa yang menjadi hak raja dan kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar.” Kutipan beraroma biblis ini telak-telak melawan perilaku bandit para kleptokrat.
Mudah-mudahan, di bawah Bupati Don Wangge dan Wabup Achmad Mochdar, kasus tanah eks sekolah Cina segera terselesaikan. Ini test case awal bagi Wangge-Mochdar. Kalau nanti tertunda-tunda, apa bedanya mereka dengan para pendahulu?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 2 April 2009
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus tanah eks sekolah cina
Pemkab Ende Masih di Masa Orde Baru?
Kasus Tanah Eks Sekolah Cina
Oleh Frans Anggal
Para ahli waris tanah eks sekolah Cina (Hua Chiao) mendatangi DPRD Ende. Mereka meminta kepastian dan kejelasan hasil klarifikasi dewan terhadap berbagai pihak tentang pengembalian tanah eks sekolah Cina itu kepada para ahli waris.
Tiga tahun lalu, 6 Mei 2006, mereka datang ke DPRD dengan tujuan yang sama. DPRD beri janji melakukan klarifikisi dengan para pihak terkait. Hasilnya, tak ada tindak lanjut. Habis janji, habis. Sekarang para ahli waris datang lagi. Mereka tagih janji. Tagih kepada para wakil rakyat yang saat kampanye selalu berkoar-koar dengan slogan "Bukan janji, tapi bukti".
Didatangi lagi, DPRD kasih janji lagi. Isinya sama: akan memanggil semua pihak untuk dimintai klarifikasi. Kalau buktinya cukup kuat, begitu kata DPRD, maka tanah tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya tanpa syarat. Tapi, lagi-lagi, ini baru janji. Boleh jadi akan jadi janji bohong jilid dua.
Mengklarifikasi, apalagi menyelesaikan kasus ini tidak segampang mengumbar janji. Ada tembok besar di sana. Tembok Pemkab Ende. Pemkablah yang paling bertanggung jawab, selaku pihak yang "de facto" menguasai tanah itu sampai saat ini.
Pasca-tragedi G-30-S, intensitas kerusuha anti-Tionghoa meningkat. Bersamaan dengan tindakan represif militer, terjadilah penjarahan, perusakan, dan pembakaran rumah, toko, sekolah, dan mobil milik etnis Tionghoa. April 1966, semua sekolah Tionghoa ditutup oleh pemerintah Orde Baru.
Di Ende, sekolah Hua Chiao yang terletak di Jalan Pasar itu diambil alih oleh kodim. Selanjutnya digunakan oleh pemkab. Di bawah Dinas P dan K, tanah ini pernah dijadikan lokasi SMEA negeri dan STM negeri. Terakhir, sampai saat ini, disewapakaikan kepada swasta untuk usaha pertokoan.
Yang mengejutkan, tanah ini telah disertifikasi menjadi milik pemkab. Sertifikasi siluman, seperti kerja pencuri di malam hari. Namanya juga kerja diam-diam, maka jangankan membeli, memberi kompensasi saja tidak. Ini perampasan berkedok aturan.
Sampai saat ini Pemkab Ende aman-aman saja.Seolah-olah masih di awal Orde Baru. Padahal, Indonesia sudah berubah. Thn 1998, Presiden Habibie menghapus istilah "pribumi" dan "non-pribumi’. Thn 2000, Presiden Gus Dur menghapus larangan terhadap agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Thn 2001, menteri agama tetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, juga mencabut larangan penggunaan bahasa Tionghoa. Thn 2002, Presiden Megawati mengumumkan mulai 2003 Imlek menjadi hari nasional. Maka, Imlek pun menjadi hari libur nasional, tidak sekadar hari libur fakultatif.
Sudah berubah! Masa, Pemkab Ende masih di masa Orde Baru?
"Bentara" FLORES POS, Rabu 1 April 2009
Oleh Frans Anggal
Para ahli waris tanah eks sekolah Cina (Hua Chiao) mendatangi DPRD Ende. Mereka meminta kepastian dan kejelasan hasil klarifikasi dewan terhadap berbagai pihak tentang pengembalian tanah eks sekolah Cina itu kepada para ahli waris.
Tiga tahun lalu, 6 Mei 2006, mereka datang ke DPRD dengan tujuan yang sama. DPRD beri janji melakukan klarifikisi dengan para pihak terkait. Hasilnya, tak ada tindak lanjut. Habis janji, habis. Sekarang para ahli waris datang lagi. Mereka tagih janji. Tagih kepada para wakil rakyat yang saat kampanye selalu berkoar-koar dengan slogan "Bukan janji, tapi bukti".
Didatangi lagi, DPRD kasih janji lagi. Isinya sama: akan memanggil semua pihak untuk dimintai klarifikasi. Kalau buktinya cukup kuat, begitu kata DPRD, maka tanah tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya tanpa syarat. Tapi, lagi-lagi, ini baru janji. Boleh jadi akan jadi janji bohong jilid dua.
Mengklarifikasi, apalagi menyelesaikan kasus ini tidak segampang mengumbar janji. Ada tembok besar di sana. Tembok Pemkab Ende. Pemkablah yang paling bertanggung jawab, selaku pihak yang "de facto" menguasai tanah itu sampai saat ini.
Pasca-tragedi G-30-S, intensitas kerusuha anti-Tionghoa meningkat. Bersamaan dengan tindakan represif militer, terjadilah penjarahan, perusakan, dan pembakaran rumah, toko, sekolah, dan mobil milik etnis Tionghoa. April 1966, semua sekolah Tionghoa ditutup oleh pemerintah Orde Baru.
Di Ende, sekolah Hua Chiao yang terletak di Jalan Pasar itu diambil alih oleh kodim. Selanjutnya digunakan oleh pemkab. Di bawah Dinas P dan K, tanah ini pernah dijadikan lokasi SMEA negeri dan STM negeri. Terakhir, sampai saat ini, disewapakaikan kepada swasta untuk usaha pertokoan.
Yang mengejutkan, tanah ini telah disertifikasi menjadi milik pemkab. Sertifikasi siluman, seperti kerja pencuri di malam hari. Namanya juga kerja diam-diam, maka jangankan membeli, memberi kompensasi saja tidak. Ini perampasan berkedok aturan.
Sampai saat ini Pemkab Ende aman-aman saja.Seolah-olah masih di awal Orde Baru. Padahal, Indonesia sudah berubah. Thn 1998, Presiden Habibie menghapus istilah "pribumi" dan "non-pribumi’. Thn 2000, Presiden Gus Dur menghapus larangan terhadap agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Thn 2001, menteri agama tetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, juga mencabut larangan penggunaan bahasa Tionghoa. Thn 2002, Presiden Megawati mengumumkan mulai 2003 Imlek menjadi hari nasional. Maka, Imlek pun menjadi hari libur nasional, tidak sekadar hari libur fakultatif.
Sudah berubah! Masa, Pemkab Ende masih di masa Orde Baru?
"Bentara" FLORES POS, Rabu 1 April 2009
Label:
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
tanah eks sekolah Cina
Langganan:
Postingan (Atom)