Bukan Provinsi Kepulauan!
Oleh Frans Anggal
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal NTT Abraham Paul Liyanto menyatakan mendukung NTT menjadi provinsi kepulauan. Perjuangan provinsi kepulauan tidak hanya bertujuan meningkatkan dana alokasi umum (DAU), katanya. Dengan menjadi provinsi kepulauan, NTT akan mendapat perhatian khusus dan memiliki wewenang lebih luas dalam pengaturan laut (Flores Pos Jumat 15 April 2011)
Sebagai provinsi yang terdiri dari dua per tiga lautan dan hanya sepertiga daratan, NTT harus diperjuangkan menjadi provinsi kepulauan, kata Liyanto. Dalam proyeksi lebih jauh ke depan, perwujudan Provinsi Kepulauan NTT akan mendorong pengakuan konstitusional atas Indonesia sebagai negara kepulauan. Liyanto dan kawan-kawan anggota DPD akan terus berjuang agar impian itu terwujud.
Kita menghadapi dua hal dalam pernyataan Liyanto. Pertama, pernyataannya sebagai wacana. Wacana provinsi kepulauan dan wacana negara kepulauan. Kedua, pernyataannya sebagai rencana. Rencana memperjuangkan NTT menjadi provinsi kepulauan dan Indonesia negara kepulauan.
Sebagai wacana, provinsi kepulauan dan negara kepulauan itu tepat dari segi alasan, tapi salah dari segi penamaan. Benar, wilayah terluas NTT adalah laut, bukan darat. Benar pula, wilayah terluas Indonesia adalah perairan, bukan daratan. Luasya 5,8 juta kilometer persegi. Garis pantainya 81 kali panjang Pulau Jawa. Terluas dan potensial, namun wilayah ini justru terlantar. Kurang diberdayakan. Kurang dimanfaatkan.
Kalau wilayah terluasnya perairan, tepatkah NTT diperjuangan menjadi provinsi kepulauan? Dan Indonesia menjadi negara kepulaun? Apakah itu tidak salah dari segi penamaan? Kalau "negara kepulauan" mengacu pada istilah asing archipelago, bukankah itu terjemahan yang salah dari segi makna kata?
Merujuk The Lexicon Webster Dictionary (Volume I, The English-Language Institute of America, Inc., 1977), istilah archipelago berasal dari kata Yunani, arch(i)- (utama) dan pelagos (laut). Jadi, terjemahan yang tepat untuk archipelago adalah "wilayah laut utama" atau "wilayah kelautan", bukan "wilayah kepulauan".
Ini bukan hanya soal istilah yang pas. Ini juga soal cara wawas yang tepat. Wilayah negeri kita, sesungguhnya, bukanlah kumpulan nusa yang di-antara-i laut (nusantara). Tapi, hamparan laut yang ditaburi pulau. Pada yang pertama, laut itu memisahkan. Pada yang kedua, laut itu menyatukan. Yang kedua inilah filosofi sekaligus spirit sesungguhnya dari archipelago.
Inilah yang hendak kita pesankan kepada Abraham Paul Liyanto dkk di DPD. Pejuangkanlah NTT menjadi "provinsi kelautan", bukan "provinsi kepulauan". Perjuangkanlah juga Indonesia menjadi "negara kelautan", bukan "negara kepulauan".
Akankan Liyanto dkk akan sungguh-sungguh memperjuangkannya? Ini yang tidak bisa kita pastikan. Pada titik inilah pernyataannya kita hadapi sebagai rencana, sebagai janji. Dan tentang janji, Liyanto pernah mengecewakan konstituennya di Flores, khususnya warga lingkar tambang di Manggarai Raya.
Dalam kunjungan kerjanya ke Manggarai Raya beberapa waktu lalu, dia hanya bertatap muka dengan elite kabupaten. Tidak penuhi janji kunjungi masyarakat lingkar tambang. "Saya jadi tanda tanya …. Dia yang janji mau datangi lokasi-lokasi tambang pada tiga kabupaten saat saya mendatangi kantornya di Jakarta 14 Oktober 2010 lalu. Saya amat kecewa …," kata aktivis tolak tambang Abdul Latif (Flores Pos Senin 17 Januari 2011). Apakah ini juga preseden buruk bagi janjinya memperjuangkan NTT provinsi kelautan? Wallahualam.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 16 April 2011
2 komentar:
Benar Bapa, kita sering mengumbar kata-kata tanpa memahami makna, mengumbar wacana tanpa rencana
Terima kasih. Itu namanya asbun (asal bunyi) atau astaga (asal statement gagah). Salam.
Posting Komentar