Ketika "History" Sekadar "His Story"
Oleh Frans Anggal
Hari ini, Kamis 30 September 2010, G-30-S genap 45 tahun. Apa yang mengendap dalam ingatan kita? Boleh jadi, pembantaian tujuh jenderal. Dalam buku wajib versi Orde Baru, ini ditonjolkan. Publik seakan dipaksa hanya boleh mengingat kebiadaban PKI. Sedangkan kebiadaban negara membantai ribuan orang PKI tanpa proses peradilan seolah boleh dilupakan.
Atas cara ini, ‘sejarah’ (history) direkonstruksi menjadi sekadar ‘ceritanya dia’ (his story), ceritanya penguasa. Karena ini ‘sejarah‘, peristiwanya harus ada. Sejarah butuhkan peristiwa. Peristiwa butuhkan tokoh. Dan tokoh harus tampil hanya atas dua cara. Mengatasi peristiwa dan/atau tewas dalam peristiwa. Dengan demikian, sejarah dikenang, tokoh diingat.
Pengenangan dan pengingatan itu tak mungkin langgeng tanpa ritus. Maka, tiap tahun, pada titik waktu bernama ‘momen’, ritus dilangsungkan dalam aneka bentuk protokoler. Ada protokoler kenegaraan: upacara bendera dan pidato. Ada protokoler akademik: buku, seminar, dan diskusi. Ada protokoler agama: doa dan renungan. Ada pula protokoler budaya: film dan puisi.
Filosof Rocky Gerung dalam artikel “Ruang Sejarah” (Kompas Selasa 18 November 2008) menyebut gejala ini industri politik baru. Olehnya, “produk sejarah dan produk kebudayaan massa bercampur dalam pasar yang sama: demagogi!” Demagogi dibutuhkan agar sejarah dikenang dan tokoh diingat.
Pengenangan dan pengingatan itu akan melegitimasi kekuasaan. Dan demi legitimasi itu pula, sejarah dan tokoh diseting tidak terpisahkan dan ekslusif. Secara tak terpisahkan: mengenang sejarah berarti mengingat tokohnya. Mengingat tokoh berarti mengenang sejarahnya. Secara eksklusif: sejarah itu haruslah sejarah tokoh. Dan tokoh itu haruslah tokoh bersejarah.
Karena hanya berisi kedua hal itu, history (sejarah) cenderung tidak menjadi true story (kisah sesungguhnya) tapi sekadar menjadi his story (kisah sang penguasa). Ini kita alami selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Nasib sejarah G-30-S pun berada dalam logika seperti ini.
Orde Baru lakukan demagogi yang sukses. Pada masa itu, mengenang G-30-S berarti, pertama, mengingat tokoh Soeharto yang mengatasi peristiwa. Kedua, mengingat tokoh tujuh jenderal yang tewas dalam peristiwa. Ketiga, mengingat tokoh PKI yang menyebabkan peristiwa. Lewat aneka ritus protokoler, publik seakan dipaksa hanya boleh mengingat tiga tokoh itu, titik.
Hari ini, ketika G-30-S genap 45 tahun, masihkah hanya ketiga tokoh itu yang diingat? Tampaknya tidak. Endapan ingatan kita telah banyak berubah. Inilah nasib demagogi. Selalu melemah di senjakala kekuasaan. Setelah Orde Baru jatuh, demagogi itu pun musnah . Sejarah G-30-S pun direkonstruksi kembali. Masih banyak sisi gelapnya yang belum tersibak. History hendak diluruskan jadi true story, tidak lagi sekadar his story.
Sayang, rekonstruksi ini terbentur dinding kekuasaan usang yang menyebut dirinya reformis. Tahun 2007, buku Dalih Pembunuhan Massal karya John Rossa merupakan salah satu buku terbaik di tingkat dunia. Tapi, di Indonesia, tahun 2009, buku ini dilarang oleh Kejagung.
Lucunya, larangan selalu menjadi iklan gratis. Buku terlarang selalu laris dan selalu lebih dipercaya. Maka, jangan kaget kalau mengenang G-30-S saat ini dst berarti mengenang “pembunuhan massal”. Mengenang kebiadaban negara membantai rakyatnya sendiri, tanpa proses peradilan. Nah, salah siapa?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 30 September 2010
30 September 2010
29 September 2010
Tiga Desakan bagi Mabar
Kasus Tambang Emas Tebedo & Batu Gosok
Oleh Frans Anggal
Ketua Umum Geram Flores Lembata Florianus Surion mendesak pihak berwenang segera tutup lokasi tambang emas Tebedo dan Batu Gosok, Kabupaten Mabar. Masa laku izin eksplorasi sudah berakhir 9 Juli 2010. Konon alat berat masih ada di lokasi, tapi kegiatannya sudah tak tampak. “Meski begitu, kita tetap desak pihak berwenang segera tutup. Bila perlu umumkan resmi dan terbuka” (Flores Pos Selasa 28 September 2010).
Bagi bupati pemberi izin dan kuasa pertambangan penerima izin, berakhirnya ekplorasi belum tentu berakhirnya usaha. Eksplorasi hanyalah tahap awal setelah survei atau penyelidikan umum yang masih “dapat” dilanjutkan dengan eksploitasi, pengolahan, pemurnian, pengangkutan, dan penjualan.
Dalam praktiknya, “dapat” itu lazim menjadi “harus”. Sekali survei temukan deposit tambang memadai, eksploitasi dan seterusnya tinggal tungggu waktu. Terhalangnya ekploitasi dan seterusnya hanya mungkin oleh faktor luar biasa. Pada kasus Tebedo dan Batu Gosok, untungnya bagi tolak tambang tapi sialnya bagi dukung tambang, faktor luar biasa itu ada. Yakni, pelanggaran hukum.
Pada kasus Tebedo, eksplorasi merambah hutan lindung. Sebenarnya bisa, asal kantongi izin Menhut. Izin Menhut tidak ada. Cuma izin bupati, yang justru tak berwenang untuk itu. Nyata dan jelas, eksplorasi Tebedo itu tindak pidana. Pada kasus Batu Gosok, eksplorasi melanggar perda. Perda 30/2005 Pasal 23 tetapkan Batu Gosok sebagai lokasi wisata komersial. Nyata dan jelas pula, ini tindak pidana.
Tindak pidana inilah faktor luar biasa itu. Ini sudah cukup menjadi dasar kuat menutup usaha pertambangan. Terlepas dari izin eksplorasinya masih berlanjut atau sudah berakhir. Kalau “menutup” mungkin masih harus tunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka “menghentikan” kegiatan sudah seharusnya menjadi tindakan pro iustitia kepolisian. Kegiatan harus “terhenti” karena “dihentikan”, bukan karena “berhenti” sendiri.
Dalam konteks ini, alat berat di lokasi tambang harus dikeluarkan. Lokasi itu harus di-status quo-kan. Bukan hanya kegiatannya yang mesti ditiadakan, tapi juga segala fasilitas yang memungkinkan kegiatan itu. Di sisi lain, ini kasus pidana yang sudah masuk penyidikan. Alat berat itu barang bukti. Kenapa dibiarkan di sana? Semestinya disita dan/atau diparkir di mapolres.
Itu alat beratnya alias “barang bukti”-nya. Lalu, “barang siapa”-nya mana? Sudah setahun kasus Tebedo dan Batu Gosok dilaporkan Geram, tapi sampai sekarang tersangkanya belum ada. Masih calon. “Calon tersangkanya ada. Hanya, untuk sementara, namanya masih kita rahasiakan,” kata Kapolres Samsuri. Lho koq masih calon, padahal BAP-nya sudah P-19. Aneh: BAP tanpa tersangka. Ini “KUHAP Baru” dari Mabar.
Unsur “barang siapa” dalam kasus ini sangat jelas. Bupati yang beri izin serta kuasa pertambangan yang terima izin dan lakukan eksplorasi. Keduanya kena telak. Layak di-tersangka-kan. Tapi, yang layak menurut logika hukum pidana ini jadi tidak nyata di tangan polres. Ada apa?
Maka, bagi Geram dan semua elemen tolak tambang, desakan segera terhadap polres dalam proses hukum kasus Tebedo dan Batu Gosok ada tiga. Pertama, hentikan kegiatan usaha tambang. Kedua, keluarkan semua alat berat dari lokasi tambang. Ketiga, tetapkan tersangka kasus tambang.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 29 September 2010
Oleh Frans Anggal
Ketua Umum Geram Flores Lembata Florianus Surion mendesak pihak berwenang segera tutup lokasi tambang emas Tebedo dan Batu Gosok, Kabupaten Mabar. Masa laku izin eksplorasi sudah berakhir 9 Juli 2010. Konon alat berat masih ada di lokasi, tapi kegiatannya sudah tak tampak. “Meski begitu, kita tetap desak pihak berwenang segera tutup. Bila perlu umumkan resmi dan terbuka” (Flores Pos Selasa 28 September 2010).
Bagi bupati pemberi izin dan kuasa pertambangan penerima izin, berakhirnya ekplorasi belum tentu berakhirnya usaha. Eksplorasi hanyalah tahap awal setelah survei atau penyelidikan umum yang masih “dapat” dilanjutkan dengan eksploitasi, pengolahan, pemurnian, pengangkutan, dan penjualan.
Dalam praktiknya, “dapat” itu lazim menjadi “harus”. Sekali survei temukan deposit tambang memadai, eksploitasi dan seterusnya tinggal tungggu waktu. Terhalangnya ekploitasi dan seterusnya hanya mungkin oleh faktor luar biasa. Pada kasus Tebedo dan Batu Gosok, untungnya bagi tolak tambang tapi sialnya bagi dukung tambang, faktor luar biasa itu ada. Yakni, pelanggaran hukum.
Pada kasus Tebedo, eksplorasi merambah hutan lindung. Sebenarnya bisa, asal kantongi izin Menhut. Izin Menhut tidak ada. Cuma izin bupati, yang justru tak berwenang untuk itu. Nyata dan jelas, eksplorasi Tebedo itu tindak pidana. Pada kasus Batu Gosok, eksplorasi melanggar perda. Perda 30/2005 Pasal 23 tetapkan Batu Gosok sebagai lokasi wisata komersial. Nyata dan jelas pula, ini tindak pidana.
Tindak pidana inilah faktor luar biasa itu. Ini sudah cukup menjadi dasar kuat menutup usaha pertambangan. Terlepas dari izin eksplorasinya masih berlanjut atau sudah berakhir. Kalau “menutup” mungkin masih harus tunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka “menghentikan” kegiatan sudah seharusnya menjadi tindakan pro iustitia kepolisian. Kegiatan harus “terhenti” karena “dihentikan”, bukan karena “berhenti” sendiri.
Dalam konteks ini, alat berat di lokasi tambang harus dikeluarkan. Lokasi itu harus di-status quo-kan. Bukan hanya kegiatannya yang mesti ditiadakan, tapi juga segala fasilitas yang memungkinkan kegiatan itu. Di sisi lain, ini kasus pidana yang sudah masuk penyidikan. Alat berat itu barang bukti. Kenapa dibiarkan di sana? Semestinya disita dan/atau diparkir di mapolres.
Itu alat beratnya alias “barang bukti”-nya. Lalu, “barang siapa”-nya mana? Sudah setahun kasus Tebedo dan Batu Gosok dilaporkan Geram, tapi sampai sekarang tersangkanya belum ada. Masih calon. “Calon tersangkanya ada. Hanya, untuk sementara, namanya masih kita rahasiakan,” kata Kapolres Samsuri. Lho koq masih calon, padahal BAP-nya sudah P-19. Aneh: BAP tanpa tersangka. Ini “KUHAP Baru” dari Mabar.
Unsur “barang siapa” dalam kasus ini sangat jelas. Bupati yang beri izin serta kuasa pertambangan yang terima izin dan lakukan eksplorasi. Keduanya kena telak. Layak di-tersangka-kan. Tapi, yang layak menurut logika hukum pidana ini jadi tidak nyata di tangan polres. Ada apa?
Maka, bagi Geram dan semua elemen tolak tambang, desakan segera terhadap polres dalam proses hukum kasus Tebedo dan Batu Gosok ada tiga. Pertama, hentikan kegiatan usaha tambang. Kedua, keluarkan semua alat berat dari lokasi tambang. Ketiga, tetapkan tersangka kasus tambang.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 29 September 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus tebedo dan batu gosok,
manggarai barat,
pertambangan,
polres mabar
28 September 2010
TNI: Lembaga & Oknum
Tentara Aniaya Warga di Nagekeo
Oleh Frans Anggal
Di Sikka, menyongsong HUT ke-65 TNI 5 Oktober 2010, panitia gelar aksi donor darah. Darah 50 personel TNI, Polri, dan Pol PP disumbangkan ke RSUD TC Hillers Maumere untuk membantu para pasien. Aksi ini satu dari banyak kegiatan positif lainnya, seperti kerja bakti, anjangsana, dan olahraga (Flores Pos Sabtu 25 September 2010).
Berselang sehari, kebalikannya. Di Nagekeo, tentara Albertus Banggo menganiaya warga. “Saat kami sementara duduk minum (tuak di Pasar Danga), dia tiba-tiba pukul saya. Saya tidak kenal dia, tapi saya kenal dia punya muka. Dia pukul saya tiga kali, dan yang keempat saya tangkis,” tutur Frans Nebha (Flores Pos Senin 27 September 2010).
TNI dalam kontras dua warta. Warta pertama dari Sikka. Warta kedua dari Nagekeo. Warta pertama tentang kegiatan kelembagaan, warta kedua tentang tindakan perseorangan. Warta pertama tentang donor darah, warta kedua tentang ‘donor’ tinju. Warta pertama tentang hal terpuji, warta kedua tentang hal tercela. Warta pertama tentang bantu orang lain hidup, warta kedua tentang bikin orang lain semaput.
Kedua kejadian itu terpisah. Malai dari tempat (locus), waktu (tempus), tindakan (actus), cara (modus), hingga sebab (motivus) kejadian. Semuanya mudah dipilahkan dan gampang dibedakan. Untuk hal seperti ini, orang mudah sepakat. Kesulitan mulai timbul ketika dua peristiwa itu disimpulkan sebagaimana lazimnya selama ini, dan diterima publik seolah-olah benar.
Bahwa: peristiwa pertama itu insitusional (kelembagaan), peristiwa kedua itu personal (perseorangan). Dalam bahasa populernya: yang pertama itu tentang lembaga, yang kedua itu tentang oknum. Sebatas itu, penyimpulannya tidak apa-apa. Menjadi apa-apa kalau penyimpulan makin jauh, seperti lazim pada kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Misalnya begini. Selama personel bertindak disiplin dan berprestasi, ia bagian dari institusi. Tapi begitu menyeleweng dan lakukan pelanggaran, ia adalah orang-perorang. Kalau baik, ia anggota. Kalau buruk, ia oknum. Berpikir seperti ini, secara logis mengandung asimetri, secara etis mengandung ketidakadilan. Sekaligus tak ada tanggung jawab lembaga. Apa salahnya: dalam baik dan buruk, ia tetap anggota. Itu lebih gentleman, logis, dan adil.
Bayangkan kalau cara berpikir yang sama dianut lembaga keluarga. Kalau anak juara kelas, ia anak papa mama. Kalau anak juara buntut, ia entah anak siapa. Ketika anak berprestasi, orangtualah yang bertanggung jawab. Ketika anak terlibat narkoba, si anak sendirilah yang bertanggung jawab. Orangtua cuci tangan, dengan alasan: kami tidak didik dia seperti itu.
Pertanyaan kita: di mana tanggung jawab lembaga keluarga? Pertanyaan yang sama ditujukan kepada semua lembaga negara. Ini tidak hanya menyangkut logika organisasi, tapi juga etika kelembagaan. Tidak benar: kalau anak buah bertindak terpuji, mereka bagian dari lembaga. Kalau anak buah bertindak tercela, mereka seolah dilepas dari afiliasinya.
Ini juga menyangkut etika kepemimpinan. Dalam baik dan buruk, dalam untung dan malang, pemimpin bertanggung jawab terhadap bawahannya.
Dalam spirit inilah kita berharap Kodim 1625 Ngada menyikapi tindakan tercela Albertus Banggo yang pukul orang sampai berdarah-darah. Dia tentara, bukan sekadar oknum. Dia telah menganiaya warga dan merusak citra lembaganya. Hukuman yang pantas wajib diberikan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 28 September 2010
Oleh Frans Anggal
Di Sikka, menyongsong HUT ke-65 TNI 5 Oktober 2010, panitia gelar aksi donor darah. Darah 50 personel TNI, Polri, dan Pol PP disumbangkan ke RSUD TC Hillers Maumere untuk membantu para pasien. Aksi ini satu dari banyak kegiatan positif lainnya, seperti kerja bakti, anjangsana, dan olahraga (Flores Pos Sabtu 25 September 2010).
Berselang sehari, kebalikannya. Di Nagekeo, tentara Albertus Banggo menganiaya warga. “Saat kami sementara duduk minum (tuak di Pasar Danga), dia tiba-tiba pukul saya. Saya tidak kenal dia, tapi saya kenal dia punya muka. Dia pukul saya tiga kali, dan yang keempat saya tangkis,” tutur Frans Nebha (Flores Pos Senin 27 September 2010).
TNI dalam kontras dua warta. Warta pertama dari Sikka. Warta kedua dari Nagekeo. Warta pertama tentang kegiatan kelembagaan, warta kedua tentang tindakan perseorangan. Warta pertama tentang donor darah, warta kedua tentang ‘donor’ tinju. Warta pertama tentang hal terpuji, warta kedua tentang hal tercela. Warta pertama tentang bantu orang lain hidup, warta kedua tentang bikin orang lain semaput.
Kedua kejadian itu terpisah. Malai dari tempat (locus), waktu (tempus), tindakan (actus), cara (modus), hingga sebab (motivus) kejadian. Semuanya mudah dipilahkan dan gampang dibedakan. Untuk hal seperti ini, orang mudah sepakat. Kesulitan mulai timbul ketika dua peristiwa itu disimpulkan sebagaimana lazimnya selama ini, dan diterima publik seolah-olah benar.
Bahwa: peristiwa pertama itu insitusional (kelembagaan), peristiwa kedua itu personal (perseorangan). Dalam bahasa populernya: yang pertama itu tentang lembaga, yang kedua itu tentang oknum. Sebatas itu, penyimpulannya tidak apa-apa. Menjadi apa-apa kalau penyimpulan makin jauh, seperti lazim pada kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Misalnya begini. Selama personel bertindak disiplin dan berprestasi, ia bagian dari institusi. Tapi begitu menyeleweng dan lakukan pelanggaran, ia adalah orang-perorang. Kalau baik, ia anggota. Kalau buruk, ia oknum. Berpikir seperti ini, secara logis mengandung asimetri, secara etis mengandung ketidakadilan. Sekaligus tak ada tanggung jawab lembaga. Apa salahnya: dalam baik dan buruk, ia tetap anggota. Itu lebih gentleman, logis, dan adil.
Bayangkan kalau cara berpikir yang sama dianut lembaga keluarga. Kalau anak juara kelas, ia anak papa mama. Kalau anak juara buntut, ia entah anak siapa. Ketika anak berprestasi, orangtualah yang bertanggung jawab. Ketika anak terlibat narkoba, si anak sendirilah yang bertanggung jawab. Orangtua cuci tangan, dengan alasan: kami tidak didik dia seperti itu.
Pertanyaan kita: di mana tanggung jawab lembaga keluarga? Pertanyaan yang sama ditujukan kepada semua lembaga negara. Ini tidak hanya menyangkut logika organisasi, tapi juga etika kelembagaan. Tidak benar: kalau anak buah bertindak terpuji, mereka bagian dari lembaga. Kalau anak buah bertindak tercela, mereka seolah dilepas dari afiliasinya.
Ini juga menyangkut etika kepemimpinan. Dalam baik dan buruk, dalam untung dan malang, pemimpin bertanggung jawab terhadap bawahannya.
Dalam spirit inilah kita berharap Kodim 1625 Ngada menyikapi tindakan tercela Albertus Banggo yang pukul orang sampai berdarah-darah. Dia tentara, bukan sekadar oknum. Dia telah menganiaya warga dan merusak citra lembaganya. Hukuman yang pantas wajib diberikan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 28 September 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kepemimpinan,
militer,
nagekeo,
penganiayaan
26 September 2010
Wabup Manggarai Keliru
Tanggapi Desakan Tolak Tambang
Oleh Frans Anggal
Dalam unjuk rasa Hari Tani Nasional di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Jumat 24 September 2010, petani dan berbagai elemen masyarakat desak pemkab tolak tambang. Dasarnya, selain hancurkan lingkungan, tambang rusakkan budaya pertanian (Flores Pos Sabtu 25 September 2010).
Tanggapi desakan ini, Wabup Kamelus Deno kemukakan argumentasi yang perlihatkan tolak tambang itu bisa tapi sulit. Bisa, karena ada lembaga yang berwenang. Sulit, karena lembaga berwenang itu bukan pemkab.
Menurut dia, konteks pertambangan itu negara. Yang atur pertambangan itu hukum dan UU, bukan agama atau akal sehat. Tambang ada karena ada UU-nya. Selagi UU-nya ada, tambang tetap ada. Kalau mau hapus tambang, cabut dulu UU-nya. Desak ke DPR RI (bukan pemkab). DPR berwenang untuk itu.
Tambang punya banyak tahapan, katanya. Sepanjang semua tahapan ikut ketentuan, tidak ada masalah. Kalau ada, pemerintah harus bertindak. Contoh, dalam kasus kerusakan hutan lindung pada tambang mangan di Soga, Pemkab Manggarai bertindak konkret: cabut izin kuasa pertambangan PT Sumber Jaya Asia, meski karena itu pemkab digugat dan kalah.
Wabup Deno benar. Yang atur pertambangan adalah hukum dan UU, bukan agama atau akal sehat. Betul. Tapi tidak berarti hukum dan UU tak punya dasar moral (dari agama) dan dasar rasional (dari akal sehat). Hukum dan UU berdiri di atas prinsip moral dan rasional. Hanya, untuk prinsip moral, atribut partikular agama dicopot begitu ia diakomodasi dalam hukum publik.
Ini perlu diperhatikan pejuang tolak tambang. Dalam konteks negara, jangan gunakan argumentasi agama. Nilainya boleh, formulasinya jangan. Nilai moral bisa diterima jadi hukum publik hanya atas dasar kesepakatan rasional, bukan atas dasar norma agama. Contoh: merusak lingkungan itu rugikan kesejahteraan umum. Ini rasional dalam konteks negara, ketimbang formulasi: merusak lingkungan itu merusak keutuhan ciptaan, merusak citra Allah, dst.
Sayangnya, Wabup Deno mulai keliru ketika gambarkan tolak tambang itu bisa secara formal tapi sulit secara faktual. Ia salah tatkala mengacukan ke-bisa-an formal itu pada DPR RI. Padahal, ke-bisaan-an itu ada pada bupati.
Cermati desakan para pemangku kepentingan, termasuk Gereja Katolik Keuskupan Ruteng. Mereka desakkan “tolak tambang”. Bukan “cabut UU tambang”. Maka, tidak perlu ke DPR. Cukup ke bupati. Bupati punya kewenangan tolak tambang, dengan cara tidak beri izin, tidak perpanjang izin, dan cabut izin tambang. Bupati Manggarai sudah lakukan itu: cabut izin PT Sumber Jaya Asia. Sayangnya, hutan lindung rusak dulu baru cabut. Beda dengan bupati Ende (Paulinus Domi). Ia segera cabut izin eksplorasi tambang bijih besi begitu ada kontroversi.
UU Minerba sendiri tidak “wajibkan” daerah otonom hadirkan tambang. UU ini hanya mengatur, “kalau” ada dan inginkan tambang, ini lho ketentuannya. Kalau tambang tidak diwajibkan UU, maka tolak tambang tidak melanggar UU. Demikian pula, untuk menolak tambang, tidak perlu mencabut UU. Cukup dengan tidak beri izin, tidak perpanjang izin, dan cabut izinnya, tambang sudah bisa ditolak. Kewenangan itu ada pada bupati. Maka, tidak perlu ke DPR.
Singkatnya, secara formal, tolak tambang bisa: oleh bupati! Kalaupun secara faktual sulit, kesulitannya bukan pada UU atau DPR, tapi lagi-lagi: pada bupati! Yang jadi soal: bupati bisa tolak, tapi tidak mau tolak! Kenapa? Anda tahulah. Sudah rahasia umum koq. Maka, jangan heran kalau saat kampanye pemilukada, ada kandidat bupati yang nyatakan tolak tambang. Eh, diam-diam didanai investor tambang, dan menang. Dia oportunis sejati.
“Bentara” FLORES POS, Senin 27 September 2010
Oleh Frans Anggal
Dalam unjuk rasa Hari Tani Nasional di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Jumat 24 September 2010, petani dan berbagai elemen masyarakat desak pemkab tolak tambang. Dasarnya, selain hancurkan lingkungan, tambang rusakkan budaya pertanian (Flores Pos Sabtu 25 September 2010).
Tanggapi desakan ini, Wabup Kamelus Deno kemukakan argumentasi yang perlihatkan tolak tambang itu bisa tapi sulit. Bisa, karena ada lembaga yang berwenang. Sulit, karena lembaga berwenang itu bukan pemkab.
Menurut dia, konteks pertambangan itu negara. Yang atur pertambangan itu hukum dan UU, bukan agama atau akal sehat. Tambang ada karena ada UU-nya. Selagi UU-nya ada, tambang tetap ada. Kalau mau hapus tambang, cabut dulu UU-nya. Desak ke DPR RI (bukan pemkab). DPR berwenang untuk itu.
Tambang punya banyak tahapan, katanya. Sepanjang semua tahapan ikut ketentuan, tidak ada masalah. Kalau ada, pemerintah harus bertindak. Contoh, dalam kasus kerusakan hutan lindung pada tambang mangan di Soga, Pemkab Manggarai bertindak konkret: cabut izin kuasa pertambangan PT Sumber Jaya Asia, meski karena itu pemkab digugat dan kalah.
Wabup Deno benar. Yang atur pertambangan adalah hukum dan UU, bukan agama atau akal sehat. Betul. Tapi tidak berarti hukum dan UU tak punya dasar moral (dari agama) dan dasar rasional (dari akal sehat). Hukum dan UU berdiri di atas prinsip moral dan rasional. Hanya, untuk prinsip moral, atribut partikular agama dicopot begitu ia diakomodasi dalam hukum publik.
Ini perlu diperhatikan pejuang tolak tambang. Dalam konteks negara, jangan gunakan argumentasi agama. Nilainya boleh, formulasinya jangan. Nilai moral bisa diterima jadi hukum publik hanya atas dasar kesepakatan rasional, bukan atas dasar norma agama. Contoh: merusak lingkungan itu rugikan kesejahteraan umum. Ini rasional dalam konteks negara, ketimbang formulasi: merusak lingkungan itu merusak keutuhan ciptaan, merusak citra Allah, dst.
Sayangnya, Wabup Deno mulai keliru ketika gambarkan tolak tambang itu bisa secara formal tapi sulit secara faktual. Ia salah tatkala mengacukan ke-bisa-an formal itu pada DPR RI. Padahal, ke-bisaan-an itu ada pada bupati.
Cermati desakan para pemangku kepentingan, termasuk Gereja Katolik Keuskupan Ruteng. Mereka desakkan “tolak tambang”. Bukan “cabut UU tambang”. Maka, tidak perlu ke DPR. Cukup ke bupati. Bupati punya kewenangan tolak tambang, dengan cara tidak beri izin, tidak perpanjang izin, dan cabut izin tambang. Bupati Manggarai sudah lakukan itu: cabut izin PT Sumber Jaya Asia. Sayangnya, hutan lindung rusak dulu baru cabut. Beda dengan bupati Ende (Paulinus Domi). Ia segera cabut izin eksplorasi tambang bijih besi begitu ada kontroversi.
UU Minerba sendiri tidak “wajibkan” daerah otonom hadirkan tambang. UU ini hanya mengatur, “kalau” ada dan inginkan tambang, ini lho ketentuannya. Kalau tambang tidak diwajibkan UU, maka tolak tambang tidak melanggar UU. Demikian pula, untuk menolak tambang, tidak perlu mencabut UU. Cukup dengan tidak beri izin, tidak perpanjang izin, dan cabut izinnya, tambang sudah bisa ditolak. Kewenangan itu ada pada bupati. Maka, tidak perlu ke DPR.
Singkatnya, secara formal, tolak tambang bisa: oleh bupati! Kalaupun secara faktual sulit, kesulitannya bukan pada UU atau DPR, tapi lagi-lagi: pada bupati! Yang jadi soal: bupati bisa tolak, tapi tidak mau tolak! Kenapa? Anda tahulah. Sudah rahasia umum koq. Maka, jangan heran kalau saat kampanye pemilukada, ada kandidat bupati yang nyatakan tolak tambang. Eh, diam-diam didanai investor tambang, dan menang. Dia oportunis sejati.
“Bentara” FLORES POS, Senin 27 September 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
manggarai,
pertambangan,
tolak tambang,
wabup kamelus deno
24 September 2010
GUSTI Gali Kubur Sendiri?
Kasus Tambang di Manggarai Barat
Oleh Frans Anggal
Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng menagih janji GUSTI---akronim bagi bupati-wabup Mabar 2010-2015 Agus Ch Dula dan Maxi Gasa. Dalam khotbah misa syukur di Tentang-Kuwus, Senin 20 September 2010, uskup sampaikan pesan. Antara lain, tolak tambang dan amankan lingkungan hidup (Flores Pos Kamis 23 September 2010).
Isi pesan uskup sama dengan isi janji politik GUSTI. Pesan itu kembalikan memori masyarakat pada janji GUSTI. Maka, pesan itu dianggap sebagai tagih janji. Satu yang sukar terlupakan: tolak tambang. Kenyataannya?
Tak lama setelah semua kemeriahan syukuran pelantikan berlalu, masyarakat dihadapkan pada dua fakta. Pertama, forum Geram Flores-Lembata mulai bergerak lagi, mendesak penuntasan segera kasus ekplorasi tambang emas Tebedo dan Batu Gosok. Sudah setahun, kasus ini belum ada tersangkanya. Polres Mabar begitu tidak jelas dan aneh.
Kedua, sementara penyidikan kasus ini belum tuntas, muncul ‘calon’ kasus baru. Beredar kabar, alat berat sudah masuk Rewas dan Metang Waning di Kecamatan Kuwus. Sebentar lagi eksplorasi tambang mangan segera jalan. Ini terjadi pada saat GUSTI mulai berkarya. Di mana semua janji kampanyenya?
Tampak, gejala ini hendak ‘ingatkan’ masyarakat. Kampanye ya kampanye. Janji ya janji. Tolak tambang, cabut izin pertambangan, hanyalah strategi pemasaran politik. Marketing tidak terbats pada lembaga bisnis, kata pakar ilmu marketing dunia Philip Kotler (1969). Politik juga kenal itu. Bagaimana memasarkan kandidat kepada masyarakat.
Salah satu kiatnya: publisititas. Bagaimana populerkan kandidat. Ada empat cara. Pertama, pure publicity: populerkan diri lewat kegiatan masyarakat dengan seting sosial apa adanya. Kedua, free ride publicity: manfaatkan akses atau tunggangi pihak lain guna populerkan diri. Ketiga, paid publicity: beli rubrik atau program di media massa. Keempat, tie-in publicity: manfaatkan kejadian luar biasa. Saat bencana, kandidat citrakan diri punya kepedulian sosial sehingga dapat simpati masyarakat.
Rerkesan, GUSTI gunakan tie-in publicity dalam ‘kejadian luar biasa’ kontroversi pertambangan. Gereja Keuskupan Ruteng tegas menolak tambang ketika pemkab tergila-gila pada kemilau emas. Heboh terbesar dua tahun terakhir adalah ekplorasi tambang emas di Tebedo dan Batu Gosok. Izin ekplorasi diberikan Bupati Fidelis Pranda, yang pada pemilukada maju lagi sebagai cabup, bersaing ketat dengan Wabup Agus Ch Dula.
Dampak kasus ini---terutama karena tercitra ‘melawan’ sikap Gereja---Fidelis Pranda kehilangan simpati. Sebaliknya, Agus Ch Dula dengan GUSTI-nya. Ia renggut dukungan ketika dalam kampanye nyatakan sikap tolak tambang. Media publikasikan secara luas. Marketing politiknya sukses. Pemopuleran dirinya kena. Motonya pun pas: “GUSTI Hadir Membawa Perubahan”.
Semua itu masih segar dalam ingatan publik, eh alat berat eksplorasi tambang mangan mulai masuk Rewas dan Metang Waning. Apa arti janji kampanye GUSTI? Mungkin hanya marketing politik, minus moralitas. Semacam oportunisme moral. Mengail di air keruh. Bahkan, lebih buruk: memperkeruh air keruh agar semakin mudah mengail suara rakyat.
Mudah-mudahan tidak begitu. Tapi kita khawatir, jangan-jangan begitu. Semoga, isu GUSTI didanai investor tambang hanya sekadar manuver lawan politik. Tapi kalau benar, ini bencana. GUSTI sedang gali kuburnya sendiri.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 25 September 2010
Oleh Frans Anggal
Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng menagih janji GUSTI---akronim bagi bupati-wabup Mabar 2010-2015 Agus Ch Dula dan Maxi Gasa. Dalam khotbah misa syukur di Tentang-Kuwus, Senin 20 September 2010, uskup sampaikan pesan. Antara lain, tolak tambang dan amankan lingkungan hidup (Flores Pos Kamis 23 September 2010).
Isi pesan uskup sama dengan isi janji politik GUSTI. Pesan itu kembalikan memori masyarakat pada janji GUSTI. Maka, pesan itu dianggap sebagai tagih janji. Satu yang sukar terlupakan: tolak tambang. Kenyataannya?
Tak lama setelah semua kemeriahan syukuran pelantikan berlalu, masyarakat dihadapkan pada dua fakta. Pertama, forum Geram Flores-Lembata mulai bergerak lagi, mendesak penuntasan segera kasus ekplorasi tambang emas Tebedo dan Batu Gosok. Sudah setahun, kasus ini belum ada tersangkanya. Polres Mabar begitu tidak jelas dan aneh.
Kedua, sementara penyidikan kasus ini belum tuntas, muncul ‘calon’ kasus baru. Beredar kabar, alat berat sudah masuk Rewas dan Metang Waning di Kecamatan Kuwus. Sebentar lagi eksplorasi tambang mangan segera jalan. Ini terjadi pada saat GUSTI mulai berkarya. Di mana semua janji kampanyenya?
Tampak, gejala ini hendak ‘ingatkan’ masyarakat. Kampanye ya kampanye. Janji ya janji. Tolak tambang, cabut izin pertambangan, hanyalah strategi pemasaran politik. Marketing tidak terbats pada lembaga bisnis, kata pakar ilmu marketing dunia Philip Kotler (1969). Politik juga kenal itu. Bagaimana memasarkan kandidat kepada masyarakat.
Salah satu kiatnya: publisititas. Bagaimana populerkan kandidat. Ada empat cara. Pertama, pure publicity: populerkan diri lewat kegiatan masyarakat dengan seting sosial apa adanya. Kedua, free ride publicity: manfaatkan akses atau tunggangi pihak lain guna populerkan diri. Ketiga, paid publicity: beli rubrik atau program di media massa. Keempat, tie-in publicity: manfaatkan kejadian luar biasa. Saat bencana, kandidat citrakan diri punya kepedulian sosial sehingga dapat simpati masyarakat.
Rerkesan, GUSTI gunakan tie-in publicity dalam ‘kejadian luar biasa’ kontroversi pertambangan. Gereja Keuskupan Ruteng tegas menolak tambang ketika pemkab tergila-gila pada kemilau emas. Heboh terbesar dua tahun terakhir adalah ekplorasi tambang emas di Tebedo dan Batu Gosok. Izin ekplorasi diberikan Bupati Fidelis Pranda, yang pada pemilukada maju lagi sebagai cabup, bersaing ketat dengan Wabup Agus Ch Dula.
Dampak kasus ini---terutama karena tercitra ‘melawan’ sikap Gereja---Fidelis Pranda kehilangan simpati. Sebaliknya, Agus Ch Dula dengan GUSTI-nya. Ia renggut dukungan ketika dalam kampanye nyatakan sikap tolak tambang. Media publikasikan secara luas. Marketing politiknya sukses. Pemopuleran dirinya kena. Motonya pun pas: “GUSTI Hadir Membawa Perubahan”.
Semua itu masih segar dalam ingatan publik, eh alat berat eksplorasi tambang mangan mulai masuk Rewas dan Metang Waning. Apa arti janji kampanye GUSTI? Mungkin hanya marketing politik, minus moralitas. Semacam oportunisme moral. Mengail di air keruh. Bahkan, lebih buruk: memperkeruh air keruh agar semakin mudah mengail suara rakyat.
Mudah-mudahan tidak begitu. Tapi kita khawatir, jangan-jangan begitu. Semoga, isu GUSTI didanai investor tambang hanya sekadar manuver lawan politik. Tapi kalau benar, ini bencana. GUSTI sedang gali kuburnya sendiri.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 25 September 2010
Label:
bentara,
bupati-wabup mabar 2010-2015,
flores,
flores pos,
gusti,
janji kampanye,
lingkungan,
manggarai barat,
pertambangan,
politik
Lengko Lolok Sudah Tiada
Nasib Perkampungan Lingkar Tambang
Oleh Frans Anggal
Rombongan Pater Simon Suban Tukan SVD “tertahan” 5 jam di kompleks basecamp pertambangan mangan PT Arumbai di Satar Teu, Kabupaten Manggarai Timur, Minggu 19 September 2010. Mereka masuk kampung Lengko Lolok dalam kawasan lingkar tambang pukul 16.00, dan baru bisa keluar pkl 21.00 (Flores Pos Kamis 23 September 2010).
Kita pakai kata “tertahan”, guna menghindari kontroversi yang bukan fokus sorotan. Ada dua versi. Versi rombongan Pater Simon dan versi perusahaan tambang.
Versi rombongan: mereka ditahan. Di gerbang, saat hendak masuk kampung Lengko Lolok, mereka minta izin satpam. Diizinkan. Mereka pun masuk kampung. Dari warga mereka dapat info, kunjungan ke lokasi tambang sekitar kampung dilarang. Mereka pun pulang. Tapi tak bisa keluar. Gerbang telah digembok. Di situ mereka dicaci maki pekerja dan sekelompok warga. Lama setelah bicara dengan pihak perusahaan dan kapolsek di basecamp, barulah gerbang dibuka.
Versi kepala personlia perusahaan: rombongan tidak ditahan. Yang ditahan cuma mobilnya. “Mereka masuk lokasi pertambangan. Untuk masuk, mereka harus minta izin. Perusahaan tidak izinkan. Mereka sepertinya paksa mau masuk ke lokasi pertambangan di kampung Lengko Lolok. Maka mobilnya diamankan.” Kapolres Hambali juga bantah adanya penahanan.
Ditahan atau tidak, diizinkan atau tidak, bukanlah fokus kita. Meski, “insiden” itu lebih daripada penahanan. Simak adegan awal dan akhirnya. Rombongan diizinkan masuk oleh satpam (gerbang dibuka/terbuka), kemudian tidak izinkan keluar (gerbang digembok). Artinya apa? Rombongan dijebak, diperangkap, untuk kemudian dicaci maki dan ditahan.
Ada yang lebih menyedihkan. Nasib kampung Lengko Lolok. Secara kultural, dengan menjadi bagian kawasan pertambangan, Lengko Lolok bukan lagi ‘kampung’ (beo). Ia sudah tiada. Ia tinggal kenangan. “Insiden” itu menggambarkannya jelas. Untuk masuk Lengko Lolok, rombongan harus minta izin ke perusahaan, bukan (lagi) ke kepala kampung (tu’a golo atau tu’a beo).
Lengko Lolok kehilangan kepala (tu’a). Sudah dipenggal. Sudah digantikan kepala lain. Yang asing. Kepala ‘tamu mampir ngombe’ (meka liba salang). Otoritas kultural dan sosial kampung musnah oleh budaya mesin. Jelas, tambang itu monster. Tidak hanya bagi lingkungan, tapi juga bagi tatanan sosial dan budaya.
Orang Manggarai kenal mitos empo dehong atau gorak. Si pemenggal kepala. Kepala harus ditumbalkan demi kukuhnya bangunan. Tambang juga butuhkan itu. Maka, ia jadi empo dehong. Orang Lengko Lolok, yang dulu takut pada mitos penggal kepala, kini rela menyodorkan kepalanya dipenggal. Sebuah penghancuran yang nyata, tapi dianggap tidak apa-apa.
Bahkan, sebagian warga yang kepalanya terpenggal, kini pembela dan kaki tangan perusahaan. Mereka turut mencaci maki rombongan. Ini menunjukkan, tidak hanya terpenggal kepalanya, tubuh Lengko Lolok pun terbelah. Sehingga, yang tampak, bukan tambang vs masyarakat (konflik vertikal), tapi masyarakat vs masyarakat (konflik horizontal). Desain devide et impera yang sukses.
Pemkab Manggarai Timur tampak masa bodoh. Yang penting duit masuk kantong daerah dan saku pejabat. Demi politik kekuasaan lima tahunan, daerah dan masyarakat digadaikan. Wah, wah. Leader (pemimpin) telah menjadi dealer (pedagang). Leadership ditaklukkan dealership. Menyedihkan!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 24 September 2010
Oleh Frans Anggal
Rombongan Pater Simon Suban Tukan SVD “tertahan” 5 jam di kompleks basecamp pertambangan mangan PT Arumbai di Satar Teu, Kabupaten Manggarai Timur, Minggu 19 September 2010. Mereka masuk kampung Lengko Lolok dalam kawasan lingkar tambang pukul 16.00, dan baru bisa keluar pkl 21.00 (Flores Pos Kamis 23 September 2010).
Kita pakai kata “tertahan”, guna menghindari kontroversi yang bukan fokus sorotan. Ada dua versi. Versi rombongan Pater Simon dan versi perusahaan tambang.
Versi rombongan: mereka ditahan. Di gerbang, saat hendak masuk kampung Lengko Lolok, mereka minta izin satpam. Diizinkan. Mereka pun masuk kampung. Dari warga mereka dapat info, kunjungan ke lokasi tambang sekitar kampung dilarang. Mereka pun pulang. Tapi tak bisa keluar. Gerbang telah digembok. Di situ mereka dicaci maki pekerja dan sekelompok warga. Lama setelah bicara dengan pihak perusahaan dan kapolsek di basecamp, barulah gerbang dibuka.
Versi kepala personlia perusahaan: rombongan tidak ditahan. Yang ditahan cuma mobilnya. “Mereka masuk lokasi pertambangan. Untuk masuk, mereka harus minta izin. Perusahaan tidak izinkan. Mereka sepertinya paksa mau masuk ke lokasi pertambangan di kampung Lengko Lolok. Maka mobilnya diamankan.” Kapolres Hambali juga bantah adanya penahanan.
Ditahan atau tidak, diizinkan atau tidak, bukanlah fokus kita. Meski, “insiden” itu lebih daripada penahanan. Simak adegan awal dan akhirnya. Rombongan diizinkan masuk oleh satpam (gerbang dibuka/terbuka), kemudian tidak izinkan keluar (gerbang digembok). Artinya apa? Rombongan dijebak, diperangkap, untuk kemudian dicaci maki dan ditahan.
Ada yang lebih menyedihkan. Nasib kampung Lengko Lolok. Secara kultural, dengan menjadi bagian kawasan pertambangan, Lengko Lolok bukan lagi ‘kampung’ (beo). Ia sudah tiada. Ia tinggal kenangan. “Insiden” itu menggambarkannya jelas. Untuk masuk Lengko Lolok, rombongan harus minta izin ke perusahaan, bukan (lagi) ke kepala kampung (tu’a golo atau tu’a beo).
Lengko Lolok kehilangan kepala (tu’a). Sudah dipenggal. Sudah digantikan kepala lain. Yang asing. Kepala ‘tamu mampir ngombe’ (meka liba salang). Otoritas kultural dan sosial kampung musnah oleh budaya mesin. Jelas, tambang itu monster. Tidak hanya bagi lingkungan, tapi juga bagi tatanan sosial dan budaya.
Orang Manggarai kenal mitos empo dehong atau gorak. Si pemenggal kepala. Kepala harus ditumbalkan demi kukuhnya bangunan. Tambang juga butuhkan itu. Maka, ia jadi empo dehong. Orang Lengko Lolok, yang dulu takut pada mitos penggal kepala, kini rela menyodorkan kepalanya dipenggal. Sebuah penghancuran yang nyata, tapi dianggap tidak apa-apa.
Bahkan, sebagian warga yang kepalanya terpenggal, kini pembela dan kaki tangan perusahaan. Mereka turut mencaci maki rombongan. Ini menunjukkan, tidak hanya terpenggal kepalanya, tubuh Lengko Lolok pun terbelah. Sehingga, yang tampak, bukan tambang vs masyarakat (konflik vertikal), tapi masyarakat vs masyarakat (konflik horizontal). Desain devide et impera yang sukses.
Pemkab Manggarai Timur tampak masa bodoh. Yang penting duit masuk kantong daerah dan saku pejabat. Demi politik kekuasaan lima tahunan, daerah dan masyarakat digadaikan. Wah, wah. Leader (pemimpin) telah menjadi dealer (pedagang). Leadership ditaklukkan dealership. Menyedihkan!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 24 September 2010
Label:
budaya,
flores,
flores pos,
manggarai timur,
pertambangan mangan,
pt arumbai,
sosial
23 September 2010
DPRD Ende yang Diam
Enam Anggota Tak Pernah Bicara dalam Rapat
Oleh Frans Anggal
Setiap kali sidang, masih banyak anggota DPRD Ende 2009-2014 yang memilih diam. Hanya beberapa yang aktif bicara. Demikian pantauan Pusat Kajian dan Advokasi Masyarakat Indonesia (Pusam) Ende selama setahun (Flores Pos Rabu 22 September 2010).
Sekretaris Pusam Oscar Vigator memerinci. Dalam rapat, dari 27 anggota, 6 tidak pernah bicara, 9 jarang bicara, 12 sering bicara---meski perlu dinilai kualitasnya. Di jajaran pimpinan, ada yang belum pernah memimpin rapat.
Pusam sarankan solusi. Parpol perlu benah sistem perekrutan caleg agar bisa tampilkan yang mampu. Dewan perlu lakukan bimtek public speaking, tidak hanya bimtek perundang-undangan. Ketiga, pimpinan dewan perlu dorong anggota agar kemukakan pendapat pada rapat. Bila perlu bicara bergilir.
Kita hargai kerja Pusam. Ini baru untuk Ende. Sayang, Pusam belum transparan. Kenapa hanya sebutkan jumlah, tanpa sebutkan identitas anggota dan pimpinan dewan. Ini politica, bukan mathematica. Dewan itu wakil rakyat. Konstituen berhak untuk tahu: namanya, parpolnya, dapilnya, kinerjanya.
Yang dipantau Pusam itu sidang terbuka untuk umum (openbaar). Dalam artian tertentu, ini ‘rapat umum’ (public meeting). Apa yang terjadi selama rapat boleh menjadi ‘pengetahuan umum’ (public knowledge). Maka, boleh dipublikasikan. Analog dengan Piala Dunia. Identitas pemain disebutkan. Aksi mereka ditayangkan. Publik berhak untuk tahu semuanya.
Publikasi identitas akan efektif mendorong anggota dewan berbenah. Ini lebih efektif dan efisien ketimbang bimtek public speaking. Bimtek perundang-undangan saja publik protes, apalagi bimtek satu ini. DPRD bukan panti pendidikan. Bukan sekolah. Bukan tempat kursus.
DPRD itu lembaga politik: tempat politik diaktifkan. DPRD lembaga demokrasi: tempat demokrasi dirawat sekaligus diuji. Menurut sosiolog Ignas Kleden dalam kata pengantar Catatan Pinggir 2 (Goenawan Mohamad, 1994), demokrasi bertahan justru karena orang bersedia mengujinya. Yaitu, menguji semua konsekuensinya sampai pada batas yang paling ekstrem, seperti yang dialami Abraham Lincoln dengan perang saudara, Kennedy dengan krisis rasial, atau Nixon dengan krisis konstitusi.
Politik tidak mungkin diaktifkan dengan diam. Demokrasi tidak mungkin dirawat dengan bungkam. Oleh hakikat lembaganya sebagai tempat politik diaktifkan dan demokrasi dirawat, anggota DPRD tidak boleh diam dan bungkam. Harus bicara. DPRD bukan tempat samadi. Bukan tempat retret. Dalam konteks ini, silentium (diam) itu delictum (tindak kejahatan) sekaligus scandalum (perbuatan memalukan).
Di sisi lain, rajin bicara tapi ngawur juga jahat dan memalukan. Sebagaimana bicara tak boleh asal bicara, demikian pula diam tak boleh asal diam. Diam sebagai “metode”, perlu. Refleksi dan kontemplasi butuhkan diam. Kreasi dan inovasi pun begitu. Diam diperlukan selama konsientisasi (penyadaran), inkubasi (pematangan) , iluminasi (penerangan), hingga verifikasi (pengujian kebenaran). Sehingga, saatnya bicara, bicaranya berkualitas.
Sebaliknya, diam sebagai “sikap”, harus ditolak. Selama setahun, 6 anggota DPRD Ende tidak pernah bicara saat sidang. Ini jelas bukan “metode”. Ini “sikap”. Ini sudah delictum sekaligus scandalum. Semestinya Pusam sebutkan identitas mereka. Biar rakyat tidak tersesat lagi saat pemilu nanti.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 23 September 2010
Oleh Frans Anggal
Setiap kali sidang, masih banyak anggota DPRD Ende 2009-2014 yang memilih diam. Hanya beberapa yang aktif bicara. Demikian pantauan Pusat Kajian dan Advokasi Masyarakat Indonesia (Pusam) Ende selama setahun (Flores Pos Rabu 22 September 2010).
Sekretaris Pusam Oscar Vigator memerinci. Dalam rapat, dari 27 anggota, 6 tidak pernah bicara, 9 jarang bicara, 12 sering bicara---meski perlu dinilai kualitasnya. Di jajaran pimpinan, ada yang belum pernah memimpin rapat.
Pusam sarankan solusi. Parpol perlu benah sistem perekrutan caleg agar bisa tampilkan yang mampu. Dewan perlu lakukan bimtek public speaking, tidak hanya bimtek perundang-undangan. Ketiga, pimpinan dewan perlu dorong anggota agar kemukakan pendapat pada rapat. Bila perlu bicara bergilir.
Kita hargai kerja Pusam. Ini baru untuk Ende. Sayang, Pusam belum transparan. Kenapa hanya sebutkan jumlah, tanpa sebutkan identitas anggota dan pimpinan dewan. Ini politica, bukan mathematica. Dewan itu wakil rakyat. Konstituen berhak untuk tahu: namanya, parpolnya, dapilnya, kinerjanya.
Yang dipantau Pusam itu sidang terbuka untuk umum (openbaar). Dalam artian tertentu, ini ‘rapat umum’ (public meeting). Apa yang terjadi selama rapat boleh menjadi ‘pengetahuan umum’ (public knowledge). Maka, boleh dipublikasikan. Analog dengan Piala Dunia. Identitas pemain disebutkan. Aksi mereka ditayangkan. Publik berhak untuk tahu semuanya.
Publikasi identitas akan efektif mendorong anggota dewan berbenah. Ini lebih efektif dan efisien ketimbang bimtek public speaking. Bimtek perundang-undangan saja publik protes, apalagi bimtek satu ini. DPRD bukan panti pendidikan. Bukan sekolah. Bukan tempat kursus.
DPRD itu lembaga politik: tempat politik diaktifkan. DPRD lembaga demokrasi: tempat demokrasi dirawat sekaligus diuji. Menurut sosiolog Ignas Kleden dalam kata pengantar Catatan Pinggir 2 (Goenawan Mohamad, 1994), demokrasi bertahan justru karena orang bersedia mengujinya. Yaitu, menguji semua konsekuensinya sampai pada batas yang paling ekstrem, seperti yang dialami Abraham Lincoln dengan perang saudara, Kennedy dengan krisis rasial, atau Nixon dengan krisis konstitusi.
Politik tidak mungkin diaktifkan dengan diam. Demokrasi tidak mungkin dirawat dengan bungkam. Oleh hakikat lembaganya sebagai tempat politik diaktifkan dan demokrasi dirawat, anggota DPRD tidak boleh diam dan bungkam. Harus bicara. DPRD bukan tempat samadi. Bukan tempat retret. Dalam konteks ini, silentium (diam) itu delictum (tindak kejahatan) sekaligus scandalum (perbuatan memalukan).
Di sisi lain, rajin bicara tapi ngawur juga jahat dan memalukan. Sebagaimana bicara tak boleh asal bicara, demikian pula diam tak boleh asal diam. Diam sebagai “metode”, perlu. Refleksi dan kontemplasi butuhkan diam. Kreasi dan inovasi pun begitu. Diam diperlukan selama konsientisasi (penyadaran), inkubasi (pematangan) , iluminasi (penerangan), hingga verifikasi (pengujian kebenaran). Sehingga, saatnya bicara, bicaranya berkualitas.
Sebaliknya, diam sebagai “sikap”, harus ditolak. Selama setahun, 6 anggota DPRD Ende tidak pernah bicara saat sidang. Ini jelas bukan “metode”. Ini “sikap”. Ini sudah delictum sekaligus scandalum. Semestinya Pusam sebutkan identitas mereka. Biar rakyat tidak tersesat lagi saat pemilu nanti.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 23 September 2010
Label:
bentara,
dprd ende 2009-2014,
ende,
flores,
flores pos,
politik
22 September 2010
Kecerobohan di Ende
"Barter" Tanah dengan Status PNS
Oleh Frans Anggal
Pintu masuk Puskesmas Kelimutu, Kabupaten Ende, dipagari pemilik tanah, Selasa 14 September 2010, pukul 15.00. Alasan: pemkab (masa lalu) tidak tepat janji. Anaknya belum juga diangkat jadi PNS. Perjanjian “barter” tanah-PNS ini lisan. Puskesmas pun dibangun tanpa dokumen penyerahan tanah. Setelah didekati, pemilik tanah bersedia bongkar kembali pagar pukul 19.00.
Ini yang kedua. Tunggu saja, akan terjadi pemagaran ketiga dst kalau janji belum kunjung ditepati. Pemkab kewalahan. Regulasi formasi CPNSD tidak layakkan anak si pemilik tanah. Saat awal perjanjian, anaknya masih di SMA. Ketika ia tamat, formasi SMA tidak ada. Maka, kini disarankan, ia lanjut ke perguruan tinggi. Rupanya, begitu tamat nanti, otomatis PNS.
Apa yang tak beres di sini? Dokumen! Begitu pendapat anggota DPRD Yustinus Sani. Menurutnya, pemagaran ini bukti kecerobohan pemerintah. Pemilik tanah belum tanda tangani penyerahan tanah, pemerintah sudah bangun puskesmas. Ia anjurkan solusi yang pasti dan segera. “Bisa jual beli atau nego yang untungkan kedua belah pihak” (Flores Pos Sabtu 18 September 2010).
Kritik dan sarannya tepat. Tapi tidak cukup. Bidikannya hanya sebatas dokumen penyerahan tanah. Atas dasar ini ia menilai pemerintah ceroboh: membangun puskesmas di atas tanah yang belum diserahterimakan. Kalau konsisten dengan argumentasi ini, harus dikatakan pula: seandainya puskesmas dibangun setelah penandatanganan dokumen maka pemerintah tidak ceroboh.
Benarkah? Dalam hal itu, ya. Dalam hal lain, yang jauh lebih mendasar, justru tidak. Pemerintah sangat ceroboh. Status PNS koq begitu mudahnya “dibarter” dengan tanah. Regulasi formasi CPNS disepak buang. Testing, prajabatan dll sekadar formalitas. Meski tidak lulus, anak pemilik tanah wajib lolos. Selain tidak adil, ini hancurkan kualitas sumber daya aparatur.
Kecerobohan ini, patut dapat diduga, berakar pada kecerobohan lain. Benarkah pemerintah tidak punya anggaran membeli tanah sehingga harus “dibarter” dengan PNS? Jangan-jangan, dana ada, tapi dikorupsi pejabat, kemudian kemiskinan negara dijual kepada masyarakat seraya memohon pengertian agar sudi kiranya menerima “barter”, atas dasar suka sama suka, secara lisan.
Kecerobohan inilah yang semestinya disoroti DPRD. Jangan hanya berhenti pada cara pandang yang melulu teknis. Cara pandang: yang penting ada hitam di atas putih. Yang penting ada dokumen. Yang penting ada kuitansi. Yang penting “kertas” dan “huruf” hukum. “Roh” hukum, moralitas, diabaikan.
Itu yang tak dapat dibenarkan. Yang teknis mengalahkan yang etis. Modus korupsi justru gandrungi anutan seperti ini. Yang secara etis ceroboh,secara teknis cermat. Yang secara etis korupsi, secara teknis jual-beli. Ada contohnya, dari humor. “Contoh Pejabat Anti-Kurupsi” (http://ketawa.com).
Setelah proyek triliunan rupiah selesai, seorang pejabat (P) kedatangan kontraktor (K) pemenang tender. K: Pak, ada hadiah untuk Bapak. Mercy S 320. P: Anda mau menyuap saya? Tender dah kelar kok. Jangan gitu ya! K: Tolonglah Pak, diterima. P: Ah, saya gak sudi! K: Gini aja, Pak. Gimana kalau Bapak beli saja mobilnya. P: Mana saya ada uang beli mobil mahal gitu! K: Gampang, Pak. Bapak beli mobilnya Rp10 ribu saja. P: Bener ya? Ok, saya mau. Jadi, ini bukan suap. Pake kuitansi ya. K: Tentu, Pak. P serahkan selembar Rp50 ribu. K: Oh, terima kasih Pak. Ini kembaliannya Rp40 ribu. P: Gak usah pake kembalian segala. Tolong kirim lagi 4 mobil ke rumah saya!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 22 September 2010
Oleh Frans Anggal
Pintu masuk Puskesmas Kelimutu, Kabupaten Ende, dipagari pemilik tanah, Selasa 14 September 2010, pukul 15.00. Alasan: pemkab (masa lalu) tidak tepat janji. Anaknya belum juga diangkat jadi PNS. Perjanjian “barter” tanah-PNS ini lisan. Puskesmas pun dibangun tanpa dokumen penyerahan tanah. Setelah didekati, pemilik tanah bersedia bongkar kembali pagar pukul 19.00.
Ini yang kedua. Tunggu saja, akan terjadi pemagaran ketiga dst kalau janji belum kunjung ditepati. Pemkab kewalahan. Regulasi formasi CPNSD tidak layakkan anak si pemilik tanah. Saat awal perjanjian, anaknya masih di SMA. Ketika ia tamat, formasi SMA tidak ada. Maka, kini disarankan, ia lanjut ke perguruan tinggi. Rupanya, begitu tamat nanti, otomatis PNS.
Apa yang tak beres di sini? Dokumen! Begitu pendapat anggota DPRD Yustinus Sani. Menurutnya, pemagaran ini bukti kecerobohan pemerintah. Pemilik tanah belum tanda tangani penyerahan tanah, pemerintah sudah bangun puskesmas. Ia anjurkan solusi yang pasti dan segera. “Bisa jual beli atau nego yang untungkan kedua belah pihak” (Flores Pos Sabtu 18 September 2010).
Kritik dan sarannya tepat. Tapi tidak cukup. Bidikannya hanya sebatas dokumen penyerahan tanah. Atas dasar ini ia menilai pemerintah ceroboh: membangun puskesmas di atas tanah yang belum diserahterimakan. Kalau konsisten dengan argumentasi ini, harus dikatakan pula: seandainya puskesmas dibangun setelah penandatanganan dokumen maka pemerintah tidak ceroboh.
Benarkah? Dalam hal itu, ya. Dalam hal lain, yang jauh lebih mendasar, justru tidak. Pemerintah sangat ceroboh. Status PNS koq begitu mudahnya “dibarter” dengan tanah. Regulasi formasi CPNS disepak buang. Testing, prajabatan dll sekadar formalitas. Meski tidak lulus, anak pemilik tanah wajib lolos. Selain tidak adil, ini hancurkan kualitas sumber daya aparatur.
Kecerobohan ini, patut dapat diduga, berakar pada kecerobohan lain. Benarkah pemerintah tidak punya anggaran membeli tanah sehingga harus “dibarter” dengan PNS? Jangan-jangan, dana ada, tapi dikorupsi pejabat, kemudian kemiskinan negara dijual kepada masyarakat seraya memohon pengertian agar sudi kiranya menerima “barter”, atas dasar suka sama suka, secara lisan.
Kecerobohan inilah yang semestinya disoroti DPRD. Jangan hanya berhenti pada cara pandang yang melulu teknis. Cara pandang: yang penting ada hitam di atas putih. Yang penting ada dokumen. Yang penting ada kuitansi. Yang penting “kertas” dan “huruf” hukum. “Roh” hukum, moralitas, diabaikan.
Itu yang tak dapat dibenarkan. Yang teknis mengalahkan yang etis. Modus korupsi justru gandrungi anutan seperti ini. Yang secara etis ceroboh,secara teknis cermat. Yang secara etis korupsi, secara teknis jual-beli. Ada contohnya, dari humor. “Contoh Pejabat Anti-Kurupsi” (http://ketawa.com).
Setelah proyek triliunan rupiah selesai, seorang pejabat (P) kedatangan kontraktor (K) pemenang tender. K: Pak, ada hadiah untuk Bapak. Mercy S 320. P: Anda mau menyuap saya? Tender dah kelar kok. Jangan gitu ya! K: Tolonglah Pak, diterima. P: Ah, saya gak sudi! K: Gini aja, Pak. Gimana kalau Bapak beli saja mobilnya. P: Mana saya ada uang beli mobil mahal gitu! K: Gampang, Pak. Bapak beli mobilnya Rp10 ribu saja. P: Bener ya? Ok, saya mau. Jadi, ini bukan suap. Pake kuitansi ya. K: Tentu, Pak. P serahkan selembar Rp50 ribu. K: Oh, terima kasih Pak. Ini kembaliannya Rp40 ribu. P: Gak usah pake kembalian segala. Tolong kirim lagi 4 mobil ke rumah saya!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 22 September 2010
20 September 2010
Polres Mabar Aneh
Kasus Eksplorasi Tambang Emas
Oleh Frans Anggal
Selain tidak jelas, karena sudah setahun belum tetapkan tersangka dalam kasus ekplorasi tambang emas Tebedo dan Batu Gosok, Polres Mabar juga aneh. Ini tampak dari pernyataan Kapolres Samsuri, menanggapi desakan Ketua Umum Geram Flores-Lembata Florianus Surion.
Surion mengatakan, kasus Tebedo dan Batu Gosok dilaporkan Geram 4 September 2009. Sudah setahun yang lalu. Namun tersangkanya belum ada. Semestinya segera ditetapkan. “Ini demi rasa keadilan rakyat. Bahwa semua orang di mata hukum itu sama, tidak tebang pilih” (Flores Pos Sabtu 18 September 2010).
Jawaban kapolres? “Calon tersangkanya ada. Hanya, untuk sementara, namanya masih kita rahasiakan. Nantilah.” Katanya pula, BAP kasus Tebedo sudah dilimpahkan ke kejaksaan. Namun dikembalikan untuk dilengkapi. Sudah P-19. Selangkah lagi P-21 alias lengkap. Sedangkan kasus Batu Gosok belum.
Apa yang aneh? Tersangkanya belum ditetapkan (masih sebagai calon), tapi BAP-nya sudah dilimpahkan. Kalau benar begitu, ini namanya BAP prematur dan ngawur. Prematur, karena BAP dilimpahkan dalam keadaan jauh dari relatif lengkap. Ngawur, karena pelimpahan itu tidak didahului tata urutan logis.
Pelimpahan BAP mengandaikan pemeriksaan sudah dilakukan. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan tersangka (bukan calon tersangka!), pemeriksaan surat, pemeriksaan saksi, dan pemeriksaan di tempat kejadian (KUHAP Pasal 75 Ayat 1). Pemeriksaan tersangka mengandaikan tersangkanya ada, sudah ditetapkan. Pemeriksaan inilah yang di-berita-acara-kan. Dan berita acara inilah yang dilimpahkan ke jaksa.
Jadi, pelimpahan BAP mengharuskan adanya tersangka, meski sang tersangka tidak mesti segera diserahkan. Pada tahap pertama, hanya berkas perkaranya yang diserahkan. Baru pada tahap final, ketika penyidikan sudah dianggap selesai, tersangka dan barang bukti diserahkan (KUHAP Pasal 8 Ayat 3).
Kita sulit percaya, kapolres tidak pahami hal elementer beracara seperti ini. Ia pasti paham. Kalau begitu, kenapa bisa jadi kacau-balau? Sudah lamban tetapkan tersangka, prematur dan ngawur pula limpahkan BAP. BAP Tebedo sudah P-19, selangkah lagi P-21, tapi tersangkanya masih “calon”. Ini tidak masuk akal. Sudah begitu, dirahasiakan pula. Ini ada apa.
Patut dapat diduga, kapolres ‘terjepit’. Kasus Tebedo dan Batu Gosok muncul pada masa Bupati Fidelis Pranda. Dialah yang beri izin eksplorasi. Di Tebedo, izin dan tindakan ekplorasi itu melanggar UU (merambah hutan lindung). Di Batu Gosok, izin dan tindakan ekplorasi itu melanggar perda (tentang tata ruang).
Pelakunya jelas. Bupati si pemberi izin, dan kuasa pertambangan si penerima izin/pelaku eksplorasi. Saking jelasnya, keduanya terlalu layak dan patut jadi tersangka. Tapi aneh, untuk hal sejelas ini, Polres Mabar malah tidak jelas. Rupanya karena faktor bupatinya itu. Orang besar. Maka, tersangkanya disebut “calon tersangka”. Namanya pun dirahasiakan.
Ini menyedihkan. Demi perasaan tak tega dan santun, kejujuran dan transparansi dikorbankan. Yang psikologis mengalahkan yang etis. Etiket menaklukkan etika. Di sisi lain, kritik Geram tepat. Polres tebang pilih. Tidak perlakukan semua orang sama di depan hukum. Di hadapan orang besar: “Duli Tuanku.” Di depan orang kecil: “Bajingan lu!” Rasa keadilan masyarakat dilukai. Citra Polri dirusak. Hmmm.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 21 September 2010
Oleh Frans Anggal
Selain tidak jelas, karena sudah setahun belum tetapkan tersangka dalam kasus ekplorasi tambang emas Tebedo dan Batu Gosok, Polres Mabar juga aneh. Ini tampak dari pernyataan Kapolres Samsuri, menanggapi desakan Ketua Umum Geram Flores-Lembata Florianus Surion.
Surion mengatakan, kasus Tebedo dan Batu Gosok dilaporkan Geram 4 September 2009. Sudah setahun yang lalu. Namun tersangkanya belum ada. Semestinya segera ditetapkan. “Ini demi rasa keadilan rakyat. Bahwa semua orang di mata hukum itu sama, tidak tebang pilih” (Flores Pos Sabtu 18 September 2010).
Jawaban kapolres? “Calon tersangkanya ada. Hanya, untuk sementara, namanya masih kita rahasiakan. Nantilah.” Katanya pula, BAP kasus Tebedo sudah dilimpahkan ke kejaksaan. Namun dikembalikan untuk dilengkapi. Sudah P-19. Selangkah lagi P-21 alias lengkap. Sedangkan kasus Batu Gosok belum.
Apa yang aneh? Tersangkanya belum ditetapkan (masih sebagai calon), tapi BAP-nya sudah dilimpahkan. Kalau benar begitu, ini namanya BAP prematur dan ngawur. Prematur, karena BAP dilimpahkan dalam keadaan jauh dari relatif lengkap. Ngawur, karena pelimpahan itu tidak didahului tata urutan logis.
Pelimpahan BAP mengandaikan pemeriksaan sudah dilakukan. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan tersangka (bukan calon tersangka!), pemeriksaan surat, pemeriksaan saksi, dan pemeriksaan di tempat kejadian (KUHAP Pasal 75 Ayat 1). Pemeriksaan tersangka mengandaikan tersangkanya ada, sudah ditetapkan. Pemeriksaan inilah yang di-berita-acara-kan. Dan berita acara inilah yang dilimpahkan ke jaksa.
Jadi, pelimpahan BAP mengharuskan adanya tersangka, meski sang tersangka tidak mesti segera diserahkan. Pada tahap pertama, hanya berkas perkaranya yang diserahkan. Baru pada tahap final, ketika penyidikan sudah dianggap selesai, tersangka dan barang bukti diserahkan (KUHAP Pasal 8 Ayat 3).
Kita sulit percaya, kapolres tidak pahami hal elementer beracara seperti ini. Ia pasti paham. Kalau begitu, kenapa bisa jadi kacau-balau? Sudah lamban tetapkan tersangka, prematur dan ngawur pula limpahkan BAP. BAP Tebedo sudah P-19, selangkah lagi P-21, tapi tersangkanya masih “calon”. Ini tidak masuk akal. Sudah begitu, dirahasiakan pula. Ini ada apa.
Patut dapat diduga, kapolres ‘terjepit’. Kasus Tebedo dan Batu Gosok muncul pada masa Bupati Fidelis Pranda. Dialah yang beri izin eksplorasi. Di Tebedo, izin dan tindakan ekplorasi itu melanggar UU (merambah hutan lindung). Di Batu Gosok, izin dan tindakan ekplorasi itu melanggar perda (tentang tata ruang).
Pelakunya jelas. Bupati si pemberi izin, dan kuasa pertambangan si penerima izin/pelaku eksplorasi. Saking jelasnya, keduanya terlalu layak dan patut jadi tersangka. Tapi aneh, untuk hal sejelas ini, Polres Mabar malah tidak jelas. Rupanya karena faktor bupatinya itu. Orang besar. Maka, tersangkanya disebut “calon tersangka”. Namanya pun dirahasiakan.
Ini menyedihkan. Demi perasaan tak tega dan santun, kejujuran dan transparansi dikorbankan. Yang psikologis mengalahkan yang etis. Etiket menaklukkan etika. Di sisi lain, kritik Geram tepat. Polres tebang pilih. Tidak perlakukan semua orang sama di depan hukum. Di hadapan orang besar: “Duli Tuanku.” Di depan orang kecil: “Bajingan lu!” Rasa keadilan masyarakat dilukai. Citra Polri dirusak. Hmmm.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 21 September 2010
Label:
bentara,
eksplorasi,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus batu gosok,
kasus tebedo,
manggarai barat,
pertambangan,
polres mabar
Polres Mabar Tak Jelas
Kasus Ekplorasi Tambang Emas
Oleh Frans Anggal
Ketua Umum Geram Flores-Lembata Florianus Surion mendesak Polres Mabar segera tetapkan tersangka kasus ekplorasi tambang emas Tebedo dan Batu Gosok. Proses hukum sudah memakan waktu satu tahun.
“Kita laporkan kedua kasus tersebut pada 4 September 2009. Tetapi sampai sekarang belum tuntas juga. Tersangkanya belum ada. Bagaimana ini?” (Flores Pos Sabtu 18 September 2010).
“Calon tersangkanya ada,” jawab Kapolres Samsuri. “Hanya, untuk sementara, namanya masih kita rahasiakan. Nantilah.” BAP kasus Tebedo sudah dilimpahkan ke kejaksaan, namun dikembalikan untuk dilengkapi. Sudah P-19. Selangkah lagi P-21 alias lengkap. Sedangkan kasus Batu Gosok belum.
Jawaban kapolres benar. Karena, sesuai dengan kenyataan. Tersangka belum ada, karena belum ditetapkan, masih sebagai calon. Karena masih sebagai calon, namanya dirahasiakan. Ini penting demi hindari pencemaan nama baik. Calon tersangka belum tentu jadi tersangka. Jika cukup bukti yang tidak melayakkan peningkatan statusnya, ia bisa saja hanya jadi saksi.
Meski benar, jawaban itu tidak tepat. Karena, tidak menjawab apa yang ditanyakan. Sudah satu tahun kasus Tebedo dan Batu Gosok, koq polisi belum tetapkan tersangka. Kenapa? Itu tidak terjawab dalam jawaban kapolres. Terkesan, Geram dan kapolres tidak sedang berdialog. Cuma bermonolog secara bergilir. Tanyanya lain, jawabnya lain. Tidak nyambung.
Boleh jadi, itu disengajakan. Agar penanya bosan. Agar yang ditanyakan tidak ditanyakan lagi. Dengan demikian, luputlah penjawab dari keharusan menjawab jujur. Sebab, menjawab jujur bisa membebankan kalau harus berarti menyingkap kebobrokan. Jika tak ingin disingkap, kebobrokan harus didiamkan ketika tak ditanyakan, dan harus disembunyikan ketika ditanyakan.
Modus penyembunyian ada dua. Pertama, menjawab apa yang tak ditanyakan. Kedua, tak menjawab apa yang ditanyakan. Yang pertama itu, jawaban tidak tepat, Yang kedua itu, jawaban tidak jujur. Dalam praktik, kecuali penjawab, penanya sulit bedakan dua modus ini. Sering terjadi, penjawab berlagak menjawab tidak tepat dengan intensi tidak jujur. Berlagak bodoh demi bermaksud jahat.
Dalam kategori manakah jawaban kapolres? Kita sulit menjawab. Karena, seperti Geram, kita pun penanya, bukan penjawab. Maka, walahuallam. Cuma Tuhan dan kapolres yang tahu. Dialah empunya intensi ketika menjawab. Bagi penjawab, intensi itu “sang nyata”. Bagi penanya, intensi itu “sang antah”.
Berhadapan dengan kenyataan begini, Geram bisa kecewa. Wajar. Asal tidak berputus asa. Untuk itu, Geram mesti militan. Subjek militan adalah subjek yang berani “berjudi” dengan nasib. Berani meloncat ke dalam kegelapan. Berani tetap bertekad di bawah bayangan kegagalan. Berani tetap bertindak di bawah ancaman kekecewaan. Militansi selalu berarti komitmen.
Geram sudah tunjukkan itu. Tinggal saja, konsistensi. Hakulyakin, akan berbuah. Kasus Tebedo dan Batu Gosok itu terlalu jelas. Bentuk pelanggarannya sangat jelas: pelanggaran perda tata ruang dan perambahan hutan lindung. Pelanggarnya sangat jelas: bupati pemberi izin dan kuasa pertambangan penerima izin. Bukti, saksi, semuanya sangat jelas. Yang tak jelas cuma Polres Mabar. Satu tahun koq tak ada tersangka. Semakin tidak jelas: ditanya lain, dijawab lain. Ada apa?
“Bentara” FLORES POS, Senin 20 September 2010
Oleh Frans Anggal
Ketua Umum Geram Flores-Lembata Florianus Surion mendesak Polres Mabar segera tetapkan tersangka kasus ekplorasi tambang emas Tebedo dan Batu Gosok. Proses hukum sudah memakan waktu satu tahun.
“Kita laporkan kedua kasus tersebut pada 4 September 2009. Tetapi sampai sekarang belum tuntas juga. Tersangkanya belum ada. Bagaimana ini?” (Flores Pos Sabtu 18 September 2010).
“Calon tersangkanya ada,” jawab Kapolres Samsuri. “Hanya, untuk sementara, namanya masih kita rahasiakan. Nantilah.” BAP kasus Tebedo sudah dilimpahkan ke kejaksaan, namun dikembalikan untuk dilengkapi. Sudah P-19. Selangkah lagi P-21 alias lengkap. Sedangkan kasus Batu Gosok belum.
Jawaban kapolres benar. Karena, sesuai dengan kenyataan. Tersangka belum ada, karena belum ditetapkan, masih sebagai calon. Karena masih sebagai calon, namanya dirahasiakan. Ini penting demi hindari pencemaan nama baik. Calon tersangka belum tentu jadi tersangka. Jika cukup bukti yang tidak melayakkan peningkatan statusnya, ia bisa saja hanya jadi saksi.
Meski benar, jawaban itu tidak tepat. Karena, tidak menjawab apa yang ditanyakan. Sudah satu tahun kasus Tebedo dan Batu Gosok, koq polisi belum tetapkan tersangka. Kenapa? Itu tidak terjawab dalam jawaban kapolres. Terkesan, Geram dan kapolres tidak sedang berdialog. Cuma bermonolog secara bergilir. Tanyanya lain, jawabnya lain. Tidak nyambung.
Boleh jadi, itu disengajakan. Agar penanya bosan. Agar yang ditanyakan tidak ditanyakan lagi. Dengan demikian, luputlah penjawab dari keharusan menjawab jujur. Sebab, menjawab jujur bisa membebankan kalau harus berarti menyingkap kebobrokan. Jika tak ingin disingkap, kebobrokan harus didiamkan ketika tak ditanyakan, dan harus disembunyikan ketika ditanyakan.
Modus penyembunyian ada dua. Pertama, menjawab apa yang tak ditanyakan. Kedua, tak menjawab apa yang ditanyakan. Yang pertama itu, jawaban tidak tepat, Yang kedua itu, jawaban tidak jujur. Dalam praktik, kecuali penjawab, penanya sulit bedakan dua modus ini. Sering terjadi, penjawab berlagak menjawab tidak tepat dengan intensi tidak jujur. Berlagak bodoh demi bermaksud jahat.
Dalam kategori manakah jawaban kapolres? Kita sulit menjawab. Karena, seperti Geram, kita pun penanya, bukan penjawab. Maka, walahuallam. Cuma Tuhan dan kapolres yang tahu. Dialah empunya intensi ketika menjawab. Bagi penjawab, intensi itu “sang nyata”. Bagi penanya, intensi itu “sang antah”.
Berhadapan dengan kenyataan begini, Geram bisa kecewa. Wajar. Asal tidak berputus asa. Untuk itu, Geram mesti militan. Subjek militan adalah subjek yang berani “berjudi” dengan nasib. Berani meloncat ke dalam kegelapan. Berani tetap bertekad di bawah bayangan kegagalan. Berani tetap bertindak di bawah ancaman kekecewaan. Militansi selalu berarti komitmen.
Geram sudah tunjukkan itu. Tinggal saja, konsistensi. Hakulyakin, akan berbuah. Kasus Tebedo dan Batu Gosok itu terlalu jelas. Bentuk pelanggarannya sangat jelas: pelanggaran perda tata ruang dan perambahan hutan lindung. Pelanggarnya sangat jelas: bupati pemberi izin dan kuasa pertambangan penerima izin. Bukti, saksi, semuanya sangat jelas. Yang tak jelas cuma Polres Mabar. Satu tahun koq tak ada tersangka. Semakin tidak jelas: ditanya lain, dijawab lain. Ada apa?
“Bentara” FLORES POS, Senin 20 September 2010
Label:
bentara,
eksplorasi,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus batu gosok,
kasus tebedo,
manggarai barat,
pertambangan,
polres mabar
13 September 2010
Telanjang di Nagekeo
Gesekan Bupati vs DPRD
Oleh Frans Anggal
Bupati Nagekeo Johanes Samping Aoh kecewa dengan DPRD. Dewan dinilainya menelanjangi eksekutif di depan rakyat. Maka, ia larang pimpinan SKPD hadir di gedung dewan jika ada warga yang datang mengadu.
“Sedikit-sedikit warga larinya ke dewan. Kalau rakyat ke sana, tak perlu hadirkan eksekutif … dipanggil ke dewan dan ditelanjangi. Itu bukan kemitraan yang baik,” katanya dalam wejangan kepada pimpinan SKPD dan para pegawai, Senin 6 September 2010 (Flores Pos Senin 13 September 2010).
Tanggapan DPRD? Tak ada niat telanjangi eksekutif. Selama ini DPRD panggil eksekutif hanya untuk minta klarifikasi tentang masalah tanah yang sudah bertahun-tahun direkomendasikan dewan tapi belum diselesaikan eksekutif. “Dewan tetap bergandengan tangan dengan pemerintah untuk mencari solusi masalah tanah yang sudah lama,” kata Wakil Ketua Thomas Tiba Owa.
Tidak tergambarkan bagaimana persisnya penelanjangan itu. Secara leksikal, “menelanjangi” bermakna kiasan membuka kedok orang hingga rahasianya (kejahatan dsb) ketahuan. Bisa juga, mengkritik habis-habisan. Dalam pengawasan, itu perlu. Dalam masalah publik, itu berguna.
Bupati Nani Aoh sesungguhnya tidak sedang persoalkan perlu dan bergunanya penelanjangan. Yang ia permasalahkan, caranya. Kenapa harus pada saat rakyat datangi dewan. Ini menelanjangi eksekutif di depan rakyat. Kenapa tidak tunggu momen lain yang diagendakan khusus untuk itu. Saat hearing atau dengar pendapat misalnya.
Dewan punya pikiran lain. Yakni asas pelayanan publik: cepat, mudah, murah. Kalau bisa dipercepat, kenapa diperlambat. Kalau bisa dipermudah, kenapa dipersulit. Kalau bisa dibikin murah, kenapa harus dibuat mahal. Kalau minta klarifikasi eksekutif saat warga datang mengadu bisa mempercepat, mempermudah, dan mempermurah penyelesaian masalah, kenapa harus tunggu dengar pendapat.
Di mata bupati, yang dilakukan DPRD itu bukan kemitraan yang baik. Di mata DPRD, apa artinya ‘baik’ kalau rekomedasinya lamban disikapi eksekutif. Kemitraan mengandung makna hubungan kerja saling mendukung. Kontrol dan kritik itu bentuk dukungan juga. Karena itu, kemitraan tidak hanya bertandang, tapi juga bertanding. Dalam batas tertentu, mitra adalah ‘lawan’ (opposite) tapi bukan ‘musuh’ (enemy). Lawan itu meneguhkan. Musuh itu meniadakan.
Kemitraan oposisional jauh lebih bermartabat dan berguna bagi rakyat ketimbang kemitraan salah kaprah. Ada dua macam. Pertama, kemitraan kolusif. Situ bikin apa, sini pasti oke. Kalau legislatif setujui saja kebijakan eksekutif, itu mitra yang baik. Kalau mulai kritik, minta klarifikasi, bikin pansus, itu mitra yang buruk.
Kedua, kemitraan ‘sejajar’ namun tidak dalam pengertian tidak saling membawahi, tapi hanya sebatas ‘sama rata sama rasa’. Rezeki dan fasilitas yang dinikmati eksekutif harus dinikmati juga oleh legislatif. Kalau gubernur pakai mobil mewah, kenapa anggota DPRD provinsi tidak. Sama-sama pejabat negara koq. Maka, atas nama kemitraan yang baik, dana APBD dipinjamkan ke anggota dewan untuk beli mobil pribadi. Rakyat busung lapar, wakilnya busung dada.
Nagekeo patut berbangga. DPRD-nya tidak sedang dalam atau menuju kemitraan salah kaprah. Mereka ‘teguh dalam prinsip’ (fortiter in re). Hanya saja, belum ‘lembut dalam cara’ (suaviter in modo). Yang gerahkan bupati bukan prinsip (res), tapi cara (modus). Telanjangi, silakan. Asal lihat momennya dong.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 14 September 2010
Oleh Frans Anggal
Bupati Nagekeo Johanes Samping Aoh kecewa dengan DPRD. Dewan dinilainya menelanjangi eksekutif di depan rakyat. Maka, ia larang pimpinan SKPD hadir di gedung dewan jika ada warga yang datang mengadu.
“Sedikit-sedikit warga larinya ke dewan. Kalau rakyat ke sana, tak perlu hadirkan eksekutif … dipanggil ke dewan dan ditelanjangi. Itu bukan kemitraan yang baik,” katanya dalam wejangan kepada pimpinan SKPD dan para pegawai, Senin 6 September 2010 (Flores Pos Senin 13 September 2010).
Tanggapan DPRD? Tak ada niat telanjangi eksekutif. Selama ini DPRD panggil eksekutif hanya untuk minta klarifikasi tentang masalah tanah yang sudah bertahun-tahun direkomendasikan dewan tapi belum diselesaikan eksekutif. “Dewan tetap bergandengan tangan dengan pemerintah untuk mencari solusi masalah tanah yang sudah lama,” kata Wakil Ketua Thomas Tiba Owa.
Tidak tergambarkan bagaimana persisnya penelanjangan itu. Secara leksikal, “menelanjangi” bermakna kiasan membuka kedok orang hingga rahasianya (kejahatan dsb) ketahuan. Bisa juga, mengkritik habis-habisan. Dalam pengawasan, itu perlu. Dalam masalah publik, itu berguna.
Bupati Nani Aoh sesungguhnya tidak sedang persoalkan perlu dan bergunanya penelanjangan. Yang ia permasalahkan, caranya. Kenapa harus pada saat rakyat datangi dewan. Ini menelanjangi eksekutif di depan rakyat. Kenapa tidak tunggu momen lain yang diagendakan khusus untuk itu. Saat hearing atau dengar pendapat misalnya.
Dewan punya pikiran lain. Yakni asas pelayanan publik: cepat, mudah, murah. Kalau bisa dipercepat, kenapa diperlambat. Kalau bisa dipermudah, kenapa dipersulit. Kalau bisa dibikin murah, kenapa harus dibuat mahal. Kalau minta klarifikasi eksekutif saat warga datang mengadu bisa mempercepat, mempermudah, dan mempermurah penyelesaian masalah, kenapa harus tunggu dengar pendapat.
Di mata bupati, yang dilakukan DPRD itu bukan kemitraan yang baik. Di mata DPRD, apa artinya ‘baik’ kalau rekomedasinya lamban disikapi eksekutif. Kemitraan mengandung makna hubungan kerja saling mendukung. Kontrol dan kritik itu bentuk dukungan juga. Karena itu, kemitraan tidak hanya bertandang, tapi juga bertanding. Dalam batas tertentu, mitra adalah ‘lawan’ (opposite) tapi bukan ‘musuh’ (enemy). Lawan itu meneguhkan. Musuh itu meniadakan.
Kemitraan oposisional jauh lebih bermartabat dan berguna bagi rakyat ketimbang kemitraan salah kaprah. Ada dua macam. Pertama, kemitraan kolusif. Situ bikin apa, sini pasti oke. Kalau legislatif setujui saja kebijakan eksekutif, itu mitra yang baik. Kalau mulai kritik, minta klarifikasi, bikin pansus, itu mitra yang buruk.
Kedua, kemitraan ‘sejajar’ namun tidak dalam pengertian tidak saling membawahi, tapi hanya sebatas ‘sama rata sama rasa’. Rezeki dan fasilitas yang dinikmati eksekutif harus dinikmati juga oleh legislatif. Kalau gubernur pakai mobil mewah, kenapa anggota DPRD provinsi tidak. Sama-sama pejabat negara koq. Maka, atas nama kemitraan yang baik, dana APBD dipinjamkan ke anggota dewan untuk beli mobil pribadi. Rakyat busung lapar, wakilnya busung dada.
Nagekeo patut berbangga. DPRD-nya tidak sedang dalam atau menuju kemitraan salah kaprah. Mereka ‘teguh dalam prinsip’ (fortiter in re). Hanya saja, belum ‘lembut dalam cara’ (suaviter in modo). Yang gerahkan bupati bukan prinsip (res), tapi cara (modus). Telanjangi, silakan. Asal lihat momennya dong.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 14 September 2010
Label:
bentara,
buapti yohanes samping aoh,
dprd nagekeo,
flores,
flores pos,
nagekeo,
politik
Percaya pada Kasasi
Kasus Kematian Romo Faustin Sega Pr
Oleh Frans Anggal
Di tengah kontroversi putusan tingkat banding PT Kupang yang bebaskan Anus Waja dan Theresia Tawa, pakar forensik Mun’im Idris lagi-lagi angkat bicara. Isinya sama dengan pernyataannya ketika pertama kali menyimpulkan hasil autopsi. Romo Faustin Sega Pr meninggal bukan karena sakit jantung, tapi karena kekerasan tumpul.
“Saya sudah merekam semua hasil wawancara dengan Profesor Mun’im. Beliau tegaskan bahwa Romo Faustin meninggal karena benturan benda keras sehingga menimbulkan pendarahan di otak besar,” kata penyidik Polda NTT Buang Sine. Ia wawancarai Mun’im Idris di Jakarta, Kamis 2 September 2010 (Flores Pos Selasa 7 September 2010).
Hasil autopsi tidak menyebutkan Romo Faustin meninggal karena “dibunuh”. Yang disebutkan hanyalah: korban meninggal karena pendarahan di otak besar, akibat benturan keras benda tumpul. Oleh penyidik dan penuntut, fakta ini disinkronkan dengan petunjuk, kesaksian, dan barang bukti. Lahirlah simpulan, korban “dibunuh”, secara “terencana”, oleh Anus Waja dan Theresia Tawa.
Dakwaan “pembunuhan berencana” dikukukuhkan selama persidangan dan menjadi fakta persidangan. Atas dasar ini dan oleh keyakinan yang timbul daripadanya, hakim PN Bajawa memvonis Waja-Tawa penjara seumur hidup.
Menurut kuasa hukum keluarga korban, Petrus Salestinus, dilihat dari pertimbangannya, ada kecenderungan hakim jatuhkan hukuman mati. Namun, karena Gereja Katolik menolak hukuman mati, penjara seumur hiduplah yang dinilai tepat.
Dengan kata lain, PN Bajawa mengalahkan yang ’layak’ (fit) demi yang ’patut’ (proper) bagi Waja-Tawa. Berbeda dengan KBBI yang sinonimkan begitu saja ’layak dan patut’, kamus Inggris membedakan betul fit and proper. Padanan yang tepat bagi fit bukan ’layak’, tapi ’pas’. ’Setelan yang pas’ disebut fit suit. Pas (fit) belum tentu patut (proper). Setelan dinas bupati bisa ’layak’ (baca: ’pas’) pada tubuh kades, tapi tentu tidak ’patut’ jika dikenakan kades. Kata ’layak’ mengarah pada yang teknis. Kata ’patut’ mengarah pada yang etis. Kata ’layak’ menunjuk muatan formal. Kata ’patut’ menunjuk muatan moral.
Secara teknis dan formal, berdasarkan pertimbangan hukum majelis hakim PN Bajawa, Waja-Tawa ’layak’ dihukum mati. Namun, secara etis dan moral, berdasarkan pertimbangan rasa keadilan Gereja Katolik, hukuman mati itu tidak ’patut’. PN Bajawa pun mengalahkan yang ’layak’ itu demi yang ’patut’. Waja-Tawa cukup divonis penjara seumur hidup.
Tidak berlebihkan kalau dikatakan, vonis ini tidak hanya adil, tapi juga berbelas kasih. Ini bangunan maksimal dan optimal antara yang teknis dan yang etis, antara yang formal dan yang moral.
Betapa kita terkejut ketika bangunan ini dihancurkan oleh PT Kupang. Waja-Tawa divonis bebas. Vonis bebas tidak saja tidak ’layak’, tapi juga tidak ’patut’. Ini penghancuran total hukum dan moral. Yang teknis dan yang etis dirubuhkan sekaligus. Penyidik dan penuntut seakan dipaksa mulai dari nol. Maka, Mun’im Idris diwawancarai lagi, meski isinya tetap sama dengan hasil autopsinya beberapa bulan lalu.
Kita berharap, penghancuran total hukum dan moral ini hanya terjadi di PT Kupang. Di MA mudah-mudahan tidak. Kita percaya, kasasi akan membangun kembali apa yang telah dihancurkan PT Kupang.
“Bentara” FLORES POS, Senin 13 September 2010
Oleh Frans Anggal
Di tengah kontroversi putusan tingkat banding PT Kupang yang bebaskan Anus Waja dan Theresia Tawa, pakar forensik Mun’im Idris lagi-lagi angkat bicara. Isinya sama dengan pernyataannya ketika pertama kali menyimpulkan hasil autopsi. Romo Faustin Sega Pr meninggal bukan karena sakit jantung, tapi karena kekerasan tumpul.
“Saya sudah merekam semua hasil wawancara dengan Profesor Mun’im. Beliau tegaskan bahwa Romo Faustin meninggal karena benturan benda keras sehingga menimbulkan pendarahan di otak besar,” kata penyidik Polda NTT Buang Sine. Ia wawancarai Mun’im Idris di Jakarta, Kamis 2 September 2010 (Flores Pos Selasa 7 September 2010).
Hasil autopsi tidak menyebutkan Romo Faustin meninggal karena “dibunuh”. Yang disebutkan hanyalah: korban meninggal karena pendarahan di otak besar, akibat benturan keras benda tumpul. Oleh penyidik dan penuntut, fakta ini disinkronkan dengan petunjuk, kesaksian, dan barang bukti. Lahirlah simpulan, korban “dibunuh”, secara “terencana”, oleh Anus Waja dan Theresia Tawa.
Dakwaan “pembunuhan berencana” dikukukuhkan selama persidangan dan menjadi fakta persidangan. Atas dasar ini dan oleh keyakinan yang timbul daripadanya, hakim PN Bajawa memvonis Waja-Tawa penjara seumur hidup.
Menurut kuasa hukum keluarga korban, Petrus Salestinus, dilihat dari pertimbangannya, ada kecenderungan hakim jatuhkan hukuman mati. Namun, karena Gereja Katolik menolak hukuman mati, penjara seumur hiduplah yang dinilai tepat.
Dengan kata lain, PN Bajawa mengalahkan yang ’layak’ (fit) demi yang ’patut’ (proper) bagi Waja-Tawa. Berbeda dengan KBBI yang sinonimkan begitu saja ’layak dan patut’, kamus Inggris membedakan betul fit and proper. Padanan yang tepat bagi fit bukan ’layak’, tapi ’pas’. ’Setelan yang pas’ disebut fit suit. Pas (fit) belum tentu patut (proper). Setelan dinas bupati bisa ’layak’ (baca: ’pas’) pada tubuh kades, tapi tentu tidak ’patut’ jika dikenakan kades. Kata ’layak’ mengarah pada yang teknis. Kata ’patut’ mengarah pada yang etis. Kata ’layak’ menunjuk muatan formal. Kata ’patut’ menunjuk muatan moral.
Secara teknis dan formal, berdasarkan pertimbangan hukum majelis hakim PN Bajawa, Waja-Tawa ’layak’ dihukum mati. Namun, secara etis dan moral, berdasarkan pertimbangan rasa keadilan Gereja Katolik, hukuman mati itu tidak ’patut’. PN Bajawa pun mengalahkan yang ’layak’ itu demi yang ’patut’. Waja-Tawa cukup divonis penjara seumur hidup.
Tidak berlebihkan kalau dikatakan, vonis ini tidak hanya adil, tapi juga berbelas kasih. Ini bangunan maksimal dan optimal antara yang teknis dan yang etis, antara yang formal dan yang moral.
Betapa kita terkejut ketika bangunan ini dihancurkan oleh PT Kupang. Waja-Tawa divonis bebas. Vonis bebas tidak saja tidak ’layak’, tapi juga tidak ’patut’. Ini penghancuran total hukum dan moral. Yang teknis dan yang etis dirubuhkan sekaligus. Penyidik dan penuntut seakan dipaksa mulai dari nol. Maka, Mun’im Idris diwawancarai lagi, meski isinya tetap sama dengan hasil autopsinya beberapa bulan lalu.
Kita berharap, penghancuran total hukum dan moral ini hanya terjadi di PT Kupang. Di MA mudah-mudahan tidak. Kita percaya, kasasi akan membangun kembali apa yang telah dihancurkan PT Kupang.
“Bentara” FLORES POS, Senin 13 September 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kasasi,
kasus kematian romo faustin sega pr,
pn bajawa,
pt kupang
08 September 2010
Personifikasi, Bukan Personalisasi
Polisi Aniaya Warga di Sikka
Oleh Frans Anggal
Tiga personel polisi di Kabupaten Sikka menganiaya seorang warga Kabor saat berlangsung pesta nikah, Minggu dini hari 5 September 2010. Korban sudah lama dincar. Ia masuk daftar pencarian orang (DPO) dalam sebuah kasus pidana. Saat pesta itulah penangkapan dilakukan. Korban pun dianiaya (Flores Pos Selasa 7 September 2010).
“Korban dipukul di bagian wajah, ditendang di rusuk kanan, ditelanjangi, dan dibuang ke dalam mobil patrol polisi.” Demikian keterangan keluarga kepada Kapolres Agus Suryatno. “Akibat perbuatan tiga oknum polisi itu, korban mengalami luka dan tidak bisa beraktivitas.”
Keluarga minta kapolres memproses hukum ketiga polisi. Kapolres sanggupi. “Nama-nama anggota yang melakukan penganiayaan itu sedang dalam pelacakan. Yang pasti, kita serius proses kasus penganiayaan ini sesuai prosedur hukum yang berlaku.”
Ada dua hal dalam kasus ini. Penangkapan dan penganiayaan. Meski berhubungan, keduanya berbeda, dan harus dibedakan. Untuk penangkapan, ketiga polisi patut dipuji. Mereka berhasil tunaikan tugas kenegaraan: meringkus tersangka tindak pidana yang masuk daftar DPO. Mereka gunakan momen yang tepat, saat pesta, saat tersangka lengah.
Tidak demikian untuk penganiayaan. Ketiga polisi patut dipersalahkan. Kalau bisa tangkap tanpa aniaya, kenapa mesti dipersyaratkan sebaliknya: aniaya agar bisa tangkap? Atau, kenapa mesti disejalankan: tangkap sambil aniaya, atau aniaya sambil tangkap? Tidak bisakah menangkap tanpa memukul, menendang, menelanjangi, dan membuang korban ke mobil?
Kita paham, hukum benarkan polisi gunakan kekerasan. Asalkan atas alasan rasional dan tingkat penggunaan proporsional. Kalau tersangka tak berupaya melawan atau melarikan diri, polisi tidak perlu melumpuhkannya. Kalau pelumpuhan terpaksa, dengan dasar dan tujuan tepat, langkah dan caranya sudah diatur dalam prosedur tetap (protap). Dan protap tak menyuruh wajah harus ditinju, rusuk harus ditendang, tubuh harus ditelanjangi.
Cukup kentara, ketiga polisi tidak mengikuti protap. Mereka hanya mengikut prodi (prosedur pribadi). Boleh jadi mereka katakan semua itu spontanitas belaka. Spontanitas bukan pembenaran. Atas nama spontanitas sekalipun, di luar protap, penggunaan kekerasan tetaplah melanggar hukum dan HAM.
Ada dimensi lain yang perlu disadari. Dengan mengikuti protap, polisi adalah “personifikasi negara”. Negara direpresentasi. Karena atas nama negara, tindak kekerasan polisi legal meski masih bisa dipertanyakan secara moral. Sebaliknya dengan mengikut prodi. Polisi bukan lagi personifikasi negara, tapi “personalisasi negara”. Negara dimanipulasi untuk kepentingan pribadi. Karena atas nama pribadi, tindak kekerasan polisi tidak hanya ilegal tapi juga amoral.
Personalisasi tak hanya tulari polisi. Politisi, birokrat, hakim, jaksa, hingga kalangan swasta juga. Ciri utamanya, sifat arbitrer atau ‘ke-semau-gue-an’. Negara-saya-wakili menjadi negara-adalah-saya. Perusahaan-saya-wakili menjadi perusahaan-adalah-saya. Pengelola (manager) di-sama-sebangun-kan dengan pemilik (owner). Suka-sukanya saya. Protap dikalahkan oleh prodi. Struktur, sistem, mekanisme, dan budaya dikangkangi. Personifikasi jadi personalisasi.
Kembali ke kasus penganiayaan. Ketiga polisi tidak cukup hanya dihukum. Mereka perlu disadarkan. Bahwa: polisi itu personifikasi, bukan personalisasi negara. Negara itu direpresentasi, bukan dimanipulasi. Maka, ikuti protap, bukan prodi.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 9 September 2010
Oleh Frans Anggal
Tiga personel polisi di Kabupaten Sikka menganiaya seorang warga Kabor saat berlangsung pesta nikah, Minggu dini hari 5 September 2010. Korban sudah lama dincar. Ia masuk daftar pencarian orang (DPO) dalam sebuah kasus pidana. Saat pesta itulah penangkapan dilakukan. Korban pun dianiaya (Flores Pos Selasa 7 September 2010).
“Korban dipukul di bagian wajah, ditendang di rusuk kanan, ditelanjangi, dan dibuang ke dalam mobil patrol polisi.” Demikian keterangan keluarga kepada Kapolres Agus Suryatno. “Akibat perbuatan tiga oknum polisi itu, korban mengalami luka dan tidak bisa beraktivitas.”
Keluarga minta kapolres memproses hukum ketiga polisi. Kapolres sanggupi. “Nama-nama anggota yang melakukan penganiayaan itu sedang dalam pelacakan. Yang pasti, kita serius proses kasus penganiayaan ini sesuai prosedur hukum yang berlaku.”
Ada dua hal dalam kasus ini. Penangkapan dan penganiayaan. Meski berhubungan, keduanya berbeda, dan harus dibedakan. Untuk penangkapan, ketiga polisi patut dipuji. Mereka berhasil tunaikan tugas kenegaraan: meringkus tersangka tindak pidana yang masuk daftar DPO. Mereka gunakan momen yang tepat, saat pesta, saat tersangka lengah.
Tidak demikian untuk penganiayaan. Ketiga polisi patut dipersalahkan. Kalau bisa tangkap tanpa aniaya, kenapa mesti dipersyaratkan sebaliknya: aniaya agar bisa tangkap? Atau, kenapa mesti disejalankan: tangkap sambil aniaya, atau aniaya sambil tangkap? Tidak bisakah menangkap tanpa memukul, menendang, menelanjangi, dan membuang korban ke mobil?
Kita paham, hukum benarkan polisi gunakan kekerasan. Asalkan atas alasan rasional dan tingkat penggunaan proporsional. Kalau tersangka tak berupaya melawan atau melarikan diri, polisi tidak perlu melumpuhkannya. Kalau pelumpuhan terpaksa, dengan dasar dan tujuan tepat, langkah dan caranya sudah diatur dalam prosedur tetap (protap). Dan protap tak menyuruh wajah harus ditinju, rusuk harus ditendang, tubuh harus ditelanjangi.
Cukup kentara, ketiga polisi tidak mengikuti protap. Mereka hanya mengikut prodi (prosedur pribadi). Boleh jadi mereka katakan semua itu spontanitas belaka. Spontanitas bukan pembenaran. Atas nama spontanitas sekalipun, di luar protap, penggunaan kekerasan tetaplah melanggar hukum dan HAM.
Ada dimensi lain yang perlu disadari. Dengan mengikuti protap, polisi adalah “personifikasi negara”. Negara direpresentasi. Karena atas nama negara, tindak kekerasan polisi legal meski masih bisa dipertanyakan secara moral. Sebaliknya dengan mengikut prodi. Polisi bukan lagi personifikasi negara, tapi “personalisasi negara”. Negara dimanipulasi untuk kepentingan pribadi. Karena atas nama pribadi, tindak kekerasan polisi tidak hanya ilegal tapi juga amoral.
Personalisasi tak hanya tulari polisi. Politisi, birokrat, hakim, jaksa, hingga kalangan swasta juga. Ciri utamanya, sifat arbitrer atau ‘ke-semau-gue-an’. Negara-saya-wakili menjadi negara-adalah-saya. Perusahaan-saya-wakili menjadi perusahaan-adalah-saya. Pengelola (manager) di-sama-sebangun-kan dengan pemilik (owner). Suka-sukanya saya. Protap dikalahkan oleh prodi. Struktur, sistem, mekanisme, dan budaya dikangkangi. Personifikasi jadi personalisasi.
Kembali ke kasus penganiayaan. Ketiga polisi tidak cukup hanya dihukum. Mereka perlu disadarkan. Bahwa: polisi itu personifikasi, bukan personalisasi negara. Negara itu direpresentasi, bukan dimanipulasi. Maka, ikuti protap, bukan prodi.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 9 September 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
penganiayaan warga,
polres sikka,
sikka
07 September 2010
Adil dan Menjerakan
Kasus 'Dugaan' Pencemaran Hosti di Sikka
Oleh Frans Anggal
Minggu 5 September 2010, massa mengamuk di Maumere, Kabupaten Sikka. Mereka desak ingin lihat dari dekat terduga pelaku pencemaran hosti di Kapela Wailiti. Amuk massa reda setelah Uskup Maumere Mgr Kherubim Parera SVD turun tangan tenangkan umat (Flores Pos Senin 6 September 2010).
“Saya minta umat tetap tenang,” kata uskup. “Kasus yang terjadi di Kapela Wailiti itu bukan termasuk kasus pencemaran (hosti). Kita percayakan penanganan kasus ini kepada aparat berwenang.”
Pelaku, dari Soe ke Maumere, cari kerja. Tiba 31 Agustus 2010. Tinggal di Wailiti. Sabtu 4 September, ia cek lokasi gereja. Warga tunjuk Kapela Wailiti. Minggu pagi ia ke gereja bersama seorang umat. Saat terima komuni, ia ikut maju. Dikiranya antar persembahan, ternyata bukan. Mau mundur, takut. Ia terima hosti, tapi tak langsung dimakan. Ia bawa ke tempat duduk, tunggu diberi petunjuk sebagaimana kebiasan di gerejanya. Tak ada petunjuk. Maka, hosti ia masukkan ke saku baju. Usai misa, ia serahkan ke imam pemimpin misa.
Ini bukan pencemaran hosti, ya. Baik karena motifnya maupun karena modusnya. Motifnya, ketidaktahuan. Modusnya, perlakuan terhadap hosti: relatif baik. Ia terima, simpan, kembalikan. Ia tidak remukkan atau injak.
Meski demikian, bukan pencemaran tidak berarti bukan masalah. Dari dampaknya, ini delik. Terluka atau minimal terganggunya perasaan keagamaan umat. Karena itu, desakan Sekjen Keuskupan Maumere Rm Richard Muga Buku Pr tepat. Proses hukum.
Uskup percayakan penanganan kasus ini kepada aparat berwenang. Artinya, aparat berwenang dipercaya dapat menangani kasus ini. Kata “percaya” punya beberapa makna (KBBI). Antara lain: menganggap atau yakin seseorang itu jujur. Juga, yakin akan kemampuan seseorang memenuhi apa yang diharapkan.
Yang diharapkan tak banyak. Keadilan dan efek jera. Jadi, jauh dari vonis bebas, yang secara logis salah, secara yuridis curang, secara sosiologis berbahaya. Meski motif dan modusnya bukan pencemaran hosti atau penghinaan agama, pelaku tetap bersalah. Ia lalai mencari tahu. Ia tidak hati-hati bertindak. Akibatnya, perasaan keagamaan umat terluka atau minimal terganggu.
Analog dengan kasus sopir yang tabrak mati orang. Sopir tetap dihukum, meski ia tak punya motif membunuh dan telah menyetir mobil atas cara atau modus yang tepat. Akibatnyalah yang dilihat: orang tewas. Korban mungkin salah, seberangi jalan tiba-tiba saat mobil mendekat. Kendati demikian, sopir tidak lantas (di)benar(kan). Ia (ber)salah juga. Kelalaian atau ketidakcermatan atau ketidaktahuannya telah menyebabkan orang lain mati.
Umat Katolik di Flores baru saja dilukai oleh putusan PT Kupang yang memvonis bebas Anus Waja dan Theresia Tawa, terdakwa yang oleh PN Bajawa telah divonis penjara seumur hidup dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Romo Faustin Sega Pr. Ini contoh vonis yang secara logis salah, secara yuridis curang, secara sosiologis berbahaya. Untung, umat Katolik di Flores masih dengarkan imbauan pemimpin agamanya. Meski hati panas, kepala tetap dingin.
Kita berharap penegak hukum di Sikka tidak mengangakan luka itu. Jangan menguji kesabaran umat. Tegakkan keadilan, yang tidak hanya sesuai dengan hukum tapi juga sepadan dengan rasa keadilan masyarakat. Kita tak inginkan hukuman lampaui batas. Karena, selain tak adil, itu keji. Tapi kita juga tak kehendaki vonis bebas, seakan tak ada delik, sehingga besok lusa peristiwa serupa boleh terulang. Yang kita harapkan hanya ini. Hukuman itu adil dan menjerakan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 7 September 2010
Oleh Frans Anggal
Minggu 5 September 2010, massa mengamuk di Maumere, Kabupaten Sikka. Mereka desak ingin lihat dari dekat terduga pelaku pencemaran hosti di Kapela Wailiti. Amuk massa reda setelah Uskup Maumere Mgr Kherubim Parera SVD turun tangan tenangkan umat (Flores Pos Senin 6 September 2010).
“Saya minta umat tetap tenang,” kata uskup. “Kasus yang terjadi di Kapela Wailiti itu bukan termasuk kasus pencemaran (hosti). Kita percayakan penanganan kasus ini kepada aparat berwenang.”
Pelaku, dari Soe ke Maumere, cari kerja. Tiba 31 Agustus 2010. Tinggal di Wailiti. Sabtu 4 September, ia cek lokasi gereja. Warga tunjuk Kapela Wailiti. Minggu pagi ia ke gereja bersama seorang umat. Saat terima komuni, ia ikut maju. Dikiranya antar persembahan, ternyata bukan. Mau mundur, takut. Ia terima hosti, tapi tak langsung dimakan. Ia bawa ke tempat duduk, tunggu diberi petunjuk sebagaimana kebiasan di gerejanya. Tak ada petunjuk. Maka, hosti ia masukkan ke saku baju. Usai misa, ia serahkan ke imam pemimpin misa.
Ini bukan pencemaran hosti, ya. Baik karena motifnya maupun karena modusnya. Motifnya, ketidaktahuan. Modusnya, perlakuan terhadap hosti: relatif baik. Ia terima, simpan, kembalikan. Ia tidak remukkan atau injak.
Meski demikian, bukan pencemaran tidak berarti bukan masalah. Dari dampaknya, ini delik. Terluka atau minimal terganggunya perasaan keagamaan umat. Karena itu, desakan Sekjen Keuskupan Maumere Rm Richard Muga Buku Pr tepat. Proses hukum.
Uskup percayakan penanganan kasus ini kepada aparat berwenang. Artinya, aparat berwenang dipercaya dapat menangani kasus ini. Kata “percaya” punya beberapa makna (KBBI). Antara lain: menganggap atau yakin seseorang itu jujur. Juga, yakin akan kemampuan seseorang memenuhi apa yang diharapkan.
Yang diharapkan tak banyak. Keadilan dan efek jera. Jadi, jauh dari vonis bebas, yang secara logis salah, secara yuridis curang, secara sosiologis berbahaya. Meski motif dan modusnya bukan pencemaran hosti atau penghinaan agama, pelaku tetap bersalah. Ia lalai mencari tahu. Ia tidak hati-hati bertindak. Akibatnya, perasaan keagamaan umat terluka atau minimal terganggu.
Analog dengan kasus sopir yang tabrak mati orang. Sopir tetap dihukum, meski ia tak punya motif membunuh dan telah menyetir mobil atas cara atau modus yang tepat. Akibatnyalah yang dilihat: orang tewas. Korban mungkin salah, seberangi jalan tiba-tiba saat mobil mendekat. Kendati demikian, sopir tidak lantas (di)benar(kan). Ia (ber)salah juga. Kelalaian atau ketidakcermatan atau ketidaktahuannya telah menyebabkan orang lain mati.
Umat Katolik di Flores baru saja dilukai oleh putusan PT Kupang yang memvonis bebas Anus Waja dan Theresia Tawa, terdakwa yang oleh PN Bajawa telah divonis penjara seumur hidup dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Romo Faustin Sega Pr. Ini contoh vonis yang secara logis salah, secara yuridis curang, secara sosiologis berbahaya. Untung, umat Katolik di Flores masih dengarkan imbauan pemimpin agamanya. Meski hati panas, kepala tetap dingin.
Kita berharap penegak hukum di Sikka tidak mengangakan luka itu. Jangan menguji kesabaran umat. Tegakkan keadilan, yang tidak hanya sesuai dengan hukum tapi juga sepadan dengan rasa keadilan masyarakat. Kita tak inginkan hukuman lampaui batas. Karena, selain tak adil, itu keji. Tapi kita juga tak kehendaki vonis bebas, seakan tak ada delik, sehingga besok lusa peristiwa serupa boleh terulang. Yang kita harapkan hanya ini. Hukuman itu adil dan menjerakan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 7 September 2010
Label:
agama,
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
pencemaran hosti,
sikka
Vonis Seakan Tip Korupsi
Kasus Suap di Ende
Oleh Frans Anggal
Mantan Asisten I Setda Ende, Hendrik Seni, divonis satu tahun penjara dan denda Rp60 juta subsidier satu bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Ende pada sidang Jumat 3 September 2010. Terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan penyuapan, yang merugiknan keungan negara (APBD) senilai Rp150 juta (Flores Pos Sabtu 4 September 2010).
Hendrik Seni merasa diperlakukan tidak adil. Tidak hanya karena vonis itu, tapi juga karena hanya dialah yang diproses hukum. Menurut fakta persidangan, yang terlibat langsung dalam proses pencairan Rp150 juta itu banyak orang.
Secara logis, kalau ada yang menyuap, tentu ada yang disuap. Ini yang dipersoalkan oleh penasihat hukum Titus M Tibo. Majelis hakim nyatakan terdakwa terbukti lakukan penyuapan, sedangkan penerima suapnya tidak. Seolah-olah, penyuapan dilakukan di tempat gelap sehingga penerima suap tidak dapat dikenali.
Dari pemberitaan, juga dari fakta persidangan, uang itu diberikan Hendrik Seni kepada Irianto dari BPK NTT. “Pemberi suap terbukti, tetapi yang menerima suap tidak. Ini suap ‘sempurna’,” sindir Titus Tibo. “Saya menggugat keadilan agar motifnya jelas.”
Sindiran Tibo tepat: ini suap ‘sempurna’. Dalam tanda kutip, berarti tidak adil dan tidak rasional. Pemberi suap dihukum, penerimanya tidak: jelas tidak adil. Pemberi suap terbukti, penerimanya tidak: jelas tidak rasional.
Kalau penerima suap tidak terbukti dan karena itu tidak dihukum, maka tindakan memberi suap kehilangan konfirmasi (peneguhan). Secara demikian, yang dilakukan Hendrik Seni lebih tepat disebut “membuang uang”, bukan “memberi suap”. Tindakan “membuang” tidak membutuhkan “penerima”. Tidak demikian dengan tindakan “memberi”.
Kalau tindakan Hendrik Seni tetap divonis sebagai “memberi suap” tanpa terbukti dan terhukumnya “penerima suap”, akal lurus kita terpaksa harus dimiringkan sekian derajat agar dapat menerima sebuah irasionalitas. Bahwa: si terdakwa terbukti memberi suap kepada tuyul. Kenapa tuyul? Tuyul dipercaya ada namun tidak terindrai, tidak empirik. Semua yang tidak empirik tidak bisa dijadikan subjek hukum dan karena itu tidak bisa dihukum.
Vonis ini seakan memberi tip korupsi. Bagaimana kiat luput sebagai penerima suap. Pertama, kalau ingin luputkan diri, berlagak tuyul-lah. Kedua, kalau ingin luputkan orang lain, tuyul-kan dia. Hebat. Kita bisa dirikan perguruan tinggi koruptor, program studi teknik korupsi, strata satu (S1). Yang lulus---lebih tepat lolos dari hukuman---mendapat gelar S.Korp (Sarjana Korupsi).
Mata kuliah keahlian yang bisa diajarkan, antara lain, Korupsi Dasar (8 SKS), Matematika Korupsi (4 SKS), Aplikasi Korupsi (8 SKS), Kapita Selekta Pengantar Bertahan Hidup di Bui (4 SKS). Hidup di bui itu berat, dan harus dihindari, maka diperlukan satu mata kuliah penting: Metodologi Lipat Tapi Luput (4 SKS). Salah satu babnya: kiat men-tuyul-kan diri dan orang lain agar tidak terbukti dan karena itu tidak dihukum meski sudah menerima suap!
Kalau perguruan tinggi itu benar ada, perkara Hendrik Seni layak dijadikan studi kasus bagi para calon sarjana. Ini sebuah contoh sukses kiat men-tuyul-kan diri atau orang lain itu, sedemikian sehingga pemberi suapnya terbukti dan dihukum, sedangkan penerima suapnya tidak. Hmmm.
“Bentara” FLORES POS, Senin 6 September 2010
Oleh Frans Anggal
Mantan Asisten I Setda Ende, Hendrik Seni, divonis satu tahun penjara dan denda Rp60 juta subsidier satu bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Ende pada sidang Jumat 3 September 2010. Terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan penyuapan, yang merugiknan keungan negara (APBD) senilai Rp150 juta (Flores Pos Sabtu 4 September 2010).
Hendrik Seni merasa diperlakukan tidak adil. Tidak hanya karena vonis itu, tapi juga karena hanya dialah yang diproses hukum. Menurut fakta persidangan, yang terlibat langsung dalam proses pencairan Rp150 juta itu banyak orang.
Secara logis, kalau ada yang menyuap, tentu ada yang disuap. Ini yang dipersoalkan oleh penasihat hukum Titus M Tibo. Majelis hakim nyatakan terdakwa terbukti lakukan penyuapan, sedangkan penerima suapnya tidak. Seolah-olah, penyuapan dilakukan di tempat gelap sehingga penerima suap tidak dapat dikenali.
Dari pemberitaan, juga dari fakta persidangan, uang itu diberikan Hendrik Seni kepada Irianto dari BPK NTT. “Pemberi suap terbukti, tetapi yang menerima suap tidak. Ini suap ‘sempurna’,” sindir Titus Tibo. “Saya menggugat keadilan agar motifnya jelas.”
Sindiran Tibo tepat: ini suap ‘sempurna’. Dalam tanda kutip, berarti tidak adil dan tidak rasional. Pemberi suap dihukum, penerimanya tidak: jelas tidak adil. Pemberi suap terbukti, penerimanya tidak: jelas tidak rasional.
Kalau penerima suap tidak terbukti dan karena itu tidak dihukum, maka tindakan memberi suap kehilangan konfirmasi (peneguhan). Secara demikian, yang dilakukan Hendrik Seni lebih tepat disebut “membuang uang”, bukan “memberi suap”. Tindakan “membuang” tidak membutuhkan “penerima”. Tidak demikian dengan tindakan “memberi”.
Kalau tindakan Hendrik Seni tetap divonis sebagai “memberi suap” tanpa terbukti dan terhukumnya “penerima suap”, akal lurus kita terpaksa harus dimiringkan sekian derajat agar dapat menerima sebuah irasionalitas. Bahwa: si terdakwa terbukti memberi suap kepada tuyul. Kenapa tuyul? Tuyul dipercaya ada namun tidak terindrai, tidak empirik. Semua yang tidak empirik tidak bisa dijadikan subjek hukum dan karena itu tidak bisa dihukum.
Vonis ini seakan memberi tip korupsi. Bagaimana kiat luput sebagai penerima suap. Pertama, kalau ingin luputkan diri, berlagak tuyul-lah. Kedua, kalau ingin luputkan orang lain, tuyul-kan dia. Hebat. Kita bisa dirikan perguruan tinggi koruptor, program studi teknik korupsi, strata satu (S1). Yang lulus---lebih tepat lolos dari hukuman---mendapat gelar S.Korp (Sarjana Korupsi).
Mata kuliah keahlian yang bisa diajarkan, antara lain, Korupsi Dasar (8 SKS), Matematika Korupsi (4 SKS), Aplikasi Korupsi (8 SKS), Kapita Selekta Pengantar Bertahan Hidup di Bui (4 SKS). Hidup di bui itu berat, dan harus dihindari, maka diperlukan satu mata kuliah penting: Metodologi Lipat Tapi Luput (4 SKS). Salah satu babnya: kiat men-tuyul-kan diri dan orang lain agar tidak terbukti dan karena itu tidak dihukum meski sudah menerima suap!
Kalau perguruan tinggi itu benar ada, perkara Hendrik Seni layak dijadikan studi kasus bagi para calon sarjana. Ini sebuah contoh sukses kiat men-tuyul-kan diri atau orang lain itu, sedemikian sehingga pemberi suapnya terbukti dan dihukum, sedangkan penerima suapnya tidak. Hmmm.
“Bentara” FLORES POS, Senin 6 September 2010
05 September 2010
Toleransi Hidup Bermajemuk
Pemuda Kotlik Amankan Sholat Ied
Oleh Frans Anggal
Polres Sikka menggelar pasukan Operasi Ketupat Turangga, Kamis 2 September 2010. Tujuannya, mengamankan Idul Fitri 2010. Selain libatkan personel Pol PP, polres gandeng Pemuda Katolik dan pemuda agama lain. Para pemuda akan ikut amankan Sholat Ied (Flores Pos Jumat 3 September 2010).
Pemuda Katolik amankan Sholat Ied. Remaja Masjid amankan Misa Natal. Itu di Flores. Beberapa tahun lalu, fotografer Agus Ranu dari Majalah HIDUP terkagum-kagum pada sebuah panorama di kota Ende. Hari itu, saat fajar menyingsing, ia sudah siaga di Lapangan Perse. Ia ingin abadikan Sholat Ied. Sholat belum dimulai, ia sudah terpana.
Di ruas jalan menurun, di sisi selatan Katedral, kaum wanita berbalut busana dan jilbab serba-putih berlangkah menuju lokasi sholat. Mata Agus menangkap paduan indah. Katedral yang tegak diam dan masif, seakan mengawal langkah para muslimat. Tangan patung Kristus Raja yang membentang, seolah mempersilakan mereka menuju tempat Allah disembah. Klik!
Foto ini merupakan salah satu kenangan terindah Agus tentang Ende. Di dalamnya, Ende dibisukan dan dibekukan. Namun, justru karena pembisuan dan pembekuan itu, imajinasi orang akan sangat hidup. Sebab, tidak hanya mengikutsertakan, fotografi menuntut pembacanya terlibat. Momen yang cuma sepenggal itu hanya bisa lengkap melalui keterlibatan pembaca.
Seandainya Agus ke Flores lagi pada Idul Fitri kali ini, mungkin ia memilih Maumere. Ia ingin kagumi keindahan lain. Yang lebih dari sekadar simbolik. Kali ini, yang mengawal langkah para muslimin-muslimat bukan lagi bangunan yang tegak diam dan masif, tapi para pemuda lintas agama. Yang membentang dan mempersilakan hamba Allah menuju sejadah bukan lagi tangan sebuah patung, tapi tangan para generasi masa depan.
Ini pantas diabadikan. Tidak hanya dalam fotografi, tapi juga dan terutama dalam sanubari. Inilah contoh keindahan toleransi dalam maknanya lebih tinggi. Tidak hanya ‘membiarkan’, tapi ‘menghormati’ orang beragama dan berkeyakinan lain beribadah. Kalau toleransi hanya ‘membiarkan’, untuk apa para pemuda ikut menjaga keamanan? Itu tugas polisi. Mereka ikut, itu pertanda mereka mengakui, menghargai, dan memelihara kemajemukan.
Itu sebuah masa depan, yang sebenarnya telah berakar lama di masa lampau. Ketika kita dirikan Indonesia, kesepakatan rasional pertama kita bagi kehidupan sosial adalah menerima kemajemukan. Fakta kemajemukan inilah yang melahirkan Sumpah Pemuda, Pancasila, dan UUD 1945.
Atas dasar itu, segala upaya meniadakan perbedaan, apa pun alasannya, salah secara logis dan berbahaya secara sosiologis. Perbedaan merupakan alasan fundamental ke-Indonesia-an. Di satu sisi, kita berbeda-beda, tapi satu. Di sisi lain---ini yang makin ‘dilupakan’---kita satu, tapi berbeda-beda. Perbedaan harus tetap diingatkan.
Kita bangga, para pemuda lintas agama turut “mengamankan” Sholat Ied. Momen ini pantas diabadikan. Tidak cukup dalam fotografi. Perlu juga dan terutama dalam sanubari. Bahwa: toleransi merupakan keindahan, sekaligus keutamaan tertinggi hidup bermajemuk.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 4 September 2010
Oleh Frans Anggal
Polres Sikka menggelar pasukan Operasi Ketupat Turangga, Kamis 2 September 2010. Tujuannya, mengamankan Idul Fitri 2010. Selain libatkan personel Pol PP, polres gandeng Pemuda Katolik dan pemuda agama lain. Para pemuda akan ikut amankan Sholat Ied (Flores Pos Jumat 3 September 2010).
Pemuda Katolik amankan Sholat Ied. Remaja Masjid amankan Misa Natal. Itu di Flores. Beberapa tahun lalu, fotografer Agus Ranu dari Majalah HIDUP terkagum-kagum pada sebuah panorama di kota Ende. Hari itu, saat fajar menyingsing, ia sudah siaga di Lapangan Perse. Ia ingin abadikan Sholat Ied. Sholat belum dimulai, ia sudah terpana.
Di ruas jalan menurun, di sisi selatan Katedral, kaum wanita berbalut busana dan jilbab serba-putih berlangkah menuju lokasi sholat. Mata Agus menangkap paduan indah. Katedral yang tegak diam dan masif, seakan mengawal langkah para muslimat. Tangan patung Kristus Raja yang membentang, seolah mempersilakan mereka menuju tempat Allah disembah. Klik!
Foto ini merupakan salah satu kenangan terindah Agus tentang Ende. Di dalamnya, Ende dibisukan dan dibekukan. Namun, justru karena pembisuan dan pembekuan itu, imajinasi orang akan sangat hidup. Sebab, tidak hanya mengikutsertakan, fotografi menuntut pembacanya terlibat. Momen yang cuma sepenggal itu hanya bisa lengkap melalui keterlibatan pembaca.
Seandainya Agus ke Flores lagi pada Idul Fitri kali ini, mungkin ia memilih Maumere. Ia ingin kagumi keindahan lain. Yang lebih dari sekadar simbolik. Kali ini, yang mengawal langkah para muslimin-muslimat bukan lagi bangunan yang tegak diam dan masif, tapi para pemuda lintas agama. Yang membentang dan mempersilakan hamba Allah menuju sejadah bukan lagi tangan sebuah patung, tapi tangan para generasi masa depan.
Ini pantas diabadikan. Tidak hanya dalam fotografi, tapi juga dan terutama dalam sanubari. Inilah contoh keindahan toleransi dalam maknanya lebih tinggi. Tidak hanya ‘membiarkan’, tapi ‘menghormati’ orang beragama dan berkeyakinan lain beribadah. Kalau toleransi hanya ‘membiarkan’, untuk apa para pemuda ikut menjaga keamanan? Itu tugas polisi. Mereka ikut, itu pertanda mereka mengakui, menghargai, dan memelihara kemajemukan.
Itu sebuah masa depan, yang sebenarnya telah berakar lama di masa lampau. Ketika kita dirikan Indonesia, kesepakatan rasional pertama kita bagi kehidupan sosial adalah menerima kemajemukan. Fakta kemajemukan inilah yang melahirkan Sumpah Pemuda, Pancasila, dan UUD 1945.
Atas dasar itu, segala upaya meniadakan perbedaan, apa pun alasannya, salah secara logis dan berbahaya secara sosiologis. Perbedaan merupakan alasan fundamental ke-Indonesia-an. Di satu sisi, kita berbeda-beda, tapi satu. Di sisi lain---ini yang makin ‘dilupakan’---kita satu, tapi berbeda-beda. Perbedaan harus tetap diingatkan.
Kita bangga, para pemuda lintas agama turut “mengamankan” Sholat Ied. Momen ini pantas diabadikan. Tidak cukup dalam fotografi. Perlu juga dan terutama dalam sanubari. Bahwa: toleransi merupakan keindahan, sekaligus keutamaan tertinggi hidup bermajemuk.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 4 September 2010
Label:
agama,
bentara,
flores,
flores pos,
idul fitri,
pemuda katolik,
pemuda lintas agama,
sholat ied,
sikka,
toleransi
Revitalisasi, Bukan Relokasi
Pasar Tradisonal di Mauemre
Oleh Frans Anggal
Ratusan pedagang Pasar Kota Baru di Maumere dan berbagai asosisi dalam Front Pedagang Pasar Kabupaten Sikka (FPPKS) berdemo ke DPRD, Rabu 1 September 2010. Mereka tolak rencana pemkab pindahkan kegiatan dagang mereka ke Pasar Alok (Flores Pos Kamis 2 September 2010).
Selain tolak rencana relokasi, FPPKS desak tata ulang Pasar Kota Baru. Terbitkan perda yang lindungi pedagangan pasar tradisional. Libatkan pedagang dalam perencanaan, peremajaan, dan pengelolaan pasar. Berikan jaminan sertifikat HGU dan HGB bagi pedagang pasar. Kelola pasar secara profesional. Batalkan rencana pembangunan supermarket di lokasi pasar tradisional.
Kalau dipadatkan, desakan FPPKS adalah revitalisasi, melawan relokasi pasar tradisional. Pasar Kota Baru itu pasar tradisional. Seperti umumnya pasar tradisional, transaksinya langsung penjual-pembeli. Ada tawar-menawar. Letaknya mudah dicapai penduduk.
Pemkab Sikka berencana jadikan lokasi pasar ini tempat supermarket. Pasar modern. Di sana, penjual-pembeli tidak bertransakasi langsung. Tak ada tawar-menawar. Pembeli tinggal lihat label harga. Bersih, sehat, aman, nyaman. Tidak kumuh seperti umumnya pasar tradisional di Indonesia.
Rupanya karena kumuh itu, pasar tradisional cenderung disingkirkan. Di Lembata, semula dalam kota, disingkirkan ke luar kota. Ditolak pedagang. Tapi kemudian, pedagang terpaksa mengalah. Pasar itu ‘terbakar’. Ditengarai, sengaja dibakar. Laporan ‘resmi’: karena hubungan arus pendek.
Sekarang di Sikka. Pasar tradisional mau disingkirkan. Bahasa resminya: direlokasi. Diganti dengan pasar modern. Selain bersih, sehat, aman, nyaman---sehingga Maumere akan tetap laik Adipura---pasar modern untungkan kantong pemkab. Juga kantong investor. Pedagang yang tersingkir kebagian buntung.
Ini ditolak FPPKS. Semoga saja pasarnya tidak ‘terbakar’ seperti Pasar Lewoleba di Lembata, atau Pasar Tanah Abang di Jakarta (2003) yang beritanya oleh Tempo lahirkan gugatan pencemaran nama baik pengusaha Tomy Winata.
Kita berharap Pemkab Sikka tak cari gampang. Jalan tepat bukan relokasi, tapi revitalisasi. Banyak contoh, berkat revitalisasi, pasar tradisional membanggakan. Di Indonesia, yang “legendaris” antara lain Pasar Beringharjo di Yogyakarta. Pasar tua, dalam kota, citra merek Yogya. Pasar ini bertahan, berkembang, untungkan pedagang kecil karena direvitalisasi, bukan direlokasi. Atau di luar negeri, Victoria Market di Melbourne, Australia. Berusai 150 tahun. Tetap sebagai pasar tradisional: ada tawar-menawar. Kelebihannya: bersih, sehat, aman, nyaman. Anda dianggap belum ke Melbourne kalau belum ke Victoria Market.
Bagi Sikka, di bawah SODA, revitalisasi pasar tradisioanal lebih tepat ketimbang relokasi. SODA punya moto “Mulai dari Desa”. Desa, tak cukup hanya bermakna lugas dan lokal, tapi juga harus bermakna kiasan dan kategorial. “Desa” tak hanya menunjukkan tempat, tapi juga mengiaskan dan mencakup semua yang tradisional, yang masih lemah, miskin, bodoh, tertinggal.
“Mulai dari Desa” harus berarti pula mendahulukan yang terkemudian. Mengedepankan yang terkebelakang. Preferential option for the poor. Pasar Kota Baru itu masuk kategeri “poor”. Kalau SODA murni dan konsisten dengan motonya, pasar tradisional ini mesti direvitalisasi. Bukan direlokasi alias disingkirkan. Lain halnya kalau SODA sedang mengkhianati motonya sendiri.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 3 September 2010
Oleh Frans Anggal
Ratusan pedagang Pasar Kota Baru di Maumere dan berbagai asosisi dalam Front Pedagang Pasar Kabupaten Sikka (FPPKS) berdemo ke DPRD, Rabu 1 September 2010. Mereka tolak rencana pemkab pindahkan kegiatan dagang mereka ke Pasar Alok (Flores Pos Kamis 2 September 2010).
Selain tolak rencana relokasi, FPPKS desak tata ulang Pasar Kota Baru. Terbitkan perda yang lindungi pedagangan pasar tradisional. Libatkan pedagang dalam perencanaan, peremajaan, dan pengelolaan pasar. Berikan jaminan sertifikat HGU dan HGB bagi pedagang pasar. Kelola pasar secara profesional. Batalkan rencana pembangunan supermarket di lokasi pasar tradisional.
Kalau dipadatkan, desakan FPPKS adalah revitalisasi, melawan relokasi pasar tradisional. Pasar Kota Baru itu pasar tradisional. Seperti umumnya pasar tradisional, transaksinya langsung penjual-pembeli. Ada tawar-menawar. Letaknya mudah dicapai penduduk.
Pemkab Sikka berencana jadikan lokasi pasar ini tempat supermarket. Pasar modern. Di sana, penjual-pembeli tidak bertransakasi langsung. Tak ada tawar-menawar. Pembeli tinggal lihat label harga. Bersih, sehat, aman, nyaman. Tidak kumuh seperti umumnya pasar tradisional di Indonesia.
Rupanya karena kumuh itu, pasar tradisional cenderung disingkirkan. Di Lembata, semula dalam kota, disingkirkan ke luar kota. Ditolak pedagang. Tapi kemudian, pedagang terpaksa mengalah. Pasar itu ‘terbakar’. Ditengarai, sengaja dibakar. Laporan ‘resmi’: karena hubungan arus pendek.
Sekarang di Sikka. Pasar tradisional mau disingkirkan. Bahasa resminya: direlokasi. Diganti dengan pasar modern. Selain bersih, sehat, aman, nyaman---sehingga Maumere akan tetap laik Adipura---pasar modern untungkan kantong pemkab. Juga kantong investor. Pedagang yang tersingkir kebagian buntung.
Ini ditolak FPPKS. Semoga saja pasarnya tidak ‘terbakar’ seperti Pasar Lewoleba di Lembata, atau Pasar Tanah Abang di Jakarta (2003) yang beritanya oleh Tempo lahirkan gugatan pencemaran nama baik pengusaha Tomy Winata.
Kita berharap Pemkab Sikka tak cari gampang. Jalan tepat bukan relokasi, tapi revitalisasi. Banyak contoh, berkat revitalisasi, pasar tradisional membanggakan. Di Indonesia, yang “legendaris” antara lain Pasar Beringharjo di Yogyakarta. Pasar tua, dalam kota, citra merek Yogya. Pasar ini bertahan, berkembang, untungkan pedagang kecil karena direvitalisasi, bukan direlokasi. Atau di luar negeri, Victoria Market di Melbourne, Australia. Berusai 150 tahun. Tetap sebagai pasar tradisional: ada tawar-menawar. Kelebihannya: bersih, sehat, aman, nyaman. Anda dianggap belum ke Melbourne kalau belum ke Victoria Market.
Bagi Sikka, di bawah SODA, revitalisasi pasar tradisioanal lebih tepat ketimbang relokasi. SODA punya moto “Mulai dari Desa”. Desa, tak cukup hanya bermakna lugas dan lokal, tapi juga harus bermakna kiasan dan kategorial. “Desa” tak hanya menunjukkan tempat, tapi juga mengiaskan dan mencakup semua yang tradisional, yang masih lemah, miskin, bodoh, tertinggal.
“Mulai dari Desa” harus berarti pula mendahulukan yang terkemudian. Mengedepankan yang terkebelakang. Preferential option for the poor. Pasar Kota Baru itu masuk kategeri “poor”. Kalau SODA murni dan konsisten dengan motonya, pasar tradisional ini mesti direvitalisasi. Bukan direlokasi alias disingkirkan. Lain halnya kalau SODA sedang mengkhianati motonya sendiri.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 3 September 2010
Label:
bentara,
ekonomi,
flores,
flores pos,
pasar baru,
pasar tradisional,
revitalisasi pasar tradisional,
sikka
02 September 2010
Negara Beri Contoh Buruk
Kisah Pria Aceh di Flores
Oleh Frans Anggal
Seorang pria asal Aceh diamankan polisi di Borong, Manggarai Timur. Warga curiga ia anggota GAM dan teroris. Dari polsek, si tercuriga dibawa ke polres di Ruteng. Hasil pemeriksaan: tak ada indikasi orang ini hendak lakukan tindak pidana. Ia dipulangkan ke Aceh (Flores Pos Rabu 1 September 2010).
Dari cerita tentang motif kedatangannya, kasus ini termasuk “humor”. Si pria ke Flores untuk temui ‘gadis’ yang dikenalnya via HP. Si ‘gadis’ menjemput di Ende, lalu bersama ke Borong. Di rumah si ‘gadis’ baru si pria sadar: HP itu dunia maya, rumah itu dunia nyata. Di HP itu realitas kamera, di rumah itu realitas empirik. Si ‘gadis’ ternyata janda beranak satu. Ia kecewa. Ingin cepat pulang.
Pulang ke Aceh, tidak mudah. Dari “humor”, kini “horor”. Kalau sebelumnya dialah yang yakin pujaan hatinya itu gadis, kini wargalah yang yakin si pemuja ini teroris. Dari Aceh: pasti ia GAM juga. Rugi dobel dia. Maksud hati boyong nona Borong, apa daya nyatanya mimpi siang bolong. Yang gadis tak ia jumpa, yang sadis ia sua. Diberondong interogasi, hasilnya kosong. Tapi ia merasa sudah ditodong.
Teroris? Tak ada petunjuknya, kata Kapolres Hambali. GAM? Lho, GAM sudah bubar, kata Wakapolres Muhamad Nur. Bahwa di HP-nya ada foto bendera, logo, dan pasukan GAM, itu bukan bukti. Banyak yang simpan foto Hitler tanpa harus jadi Nazi. Lebih mendasar: sebagai subjek hukum, GAM sudah tiada. Bagaimana bisa, menjadi anggota dari sesuatu yang antah.
Boleh jadi, warga di Borong belum tahu GAM bubar. Kalaupun tahu, mungkin mereka belum paham implikasi hukumnya. Bahwa, yang bukan (lagi) subjek hukum tidak dapat dihukum. Tuyul, meski jago nyolong duit, tak bisa disangkakan sebagai koruptor. Tuyul tidak empirik, maka ia bukan subjek hukum. Anjing, meski empirik mengggigit mati seseorang, tidak bisa dinyatakan “terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah”. Hewan tak punya akal budi dan kebebasan, maka tak dapat dimintai pertanggungjawaban. Hewan bukanlah subjek hukum.
Boleh jadi, warga di Borong keliru. Maklum, mereka orang sederhana. Yang mencengangkan, negara pun lakukan hal serupa. Yang bukan subjek hukum koq dihukum. Larang PKI, itu rasional. PKI itu organisasi, lembaga, badan: subjek hukum. Tapi larang komunisme? Semua “isme” adalah ideologi, paham, cita-cita, bahkan mimpi. Koq larang orang berpaham, berpikir, bermimpi. Selain gila, itu sia-sia. Tapi justru itulah yang dilakukan Tap MPRS. Ketika Gus Dur usulkan tap ini dicabut, ia dikecam. Kita pun bekanjang dalam irasionalitas.
Kalau negara ngawur, bagaimana mungkin warganya tidak. Juni 2010, sosialisasi pengobatan gratis oleh anggota DPR F-PDIP di Bayuwangi dibubarpaksakan oleh FPI. Alasannya, sebagian peserta ‘berbau’ PKI. Sebagai subjek hukum, PKI sudah tiada. Bagaimana bisa, ‘bau’ dari sesuatu yang antah masih juga dihukum, lagipula oleh yang tidak berwenang untuk itu.
Laku menghukum ‘bau’, jelas salah, tapi bagaimana bisa dihilangkan kalau Tap MPRS yang menggantang ‘asap’ tetap dipertahankan. Kalau ideologi, paham, cita-cita, bahkan mimpi bisa dilarang negara, maka ‘bau’ dari subjek hukum yang sudah tiada pun dianggap dapat disewenang-wenangi warga. Negara telah memberikan contoh buruk!
FPI lakukan itu, karena ‘membaui’ PKI. Warga di Borong lakukan itu, karena ‘membaui’ GAM. Oleh kelalaian negara, warga saling ‘membaui’. Yang dirasa ‘berbau’ disingkirkan. Indonesia bukan (lagi) rumah bersama, tempat si anak hilang dapat kembali tanpa merasa takut diusir.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 2 September 2010
Oleh Frans Anggal
Seorang pria asal Aceh diamankan polisi di Borong, Manggarai Timur. Warga curiga ia anggota GAM dan teroris. Dari polsek, si tercuriga dibawa ke polres di Ruteng. Hasil pemeriksaan: tak ada indikasi orang ini hendak lakukan tindak pidana. Ia dipulangkan ke Aceh (Flores Pos Rabu 1 September 2010).
Dari cerita tentang motif kedatangannya, kasus ini termasuk “humor”. Si pria ke Flores untuk temui ‘gadis’ yang dikenalnya via HP. Si ‘gadis’ menjemput di Ende, lalu bersama ke Borong. Di rumah si ‘gadis’ baru si pria sadar: HP itu dunia maya, rumah itu dunia nyata. Di HP itu realitas kamera, di rumah itu realitas empirik. Si ‘gadis’ ternyata janda beranak satu. Ia kecewa. Ingin cepat pulang.
Pulang ke Aceh, tidak mudah. Dari “humor”, kini “horor”. Kalau sebelumnya dialah yang yakin pujaan hatinya itu gadis, kini wargalah yang yakin si pemuja ini teroris. Dari Aceh: pasti ia GAM juga. Rugi dobel dia. Maksud hati boyong nona Borong, apa daya nyatanya mimpi siang bolong. Yang gadis tak ia jumpa, yang sadis ia sua. Diberondong interogasi, hasilnya kosong. Tapi ia merasa sudah ditodong.
Teroris? Tak ada petunjuknya, kata Kapolres Hambali. GAM? Lho, GAM sudah bubar, kata Wakapolres Muhamad Nur. Bahwa di HP-nya ada foto bendera, logo, dan pasukan GAM, itu bukan bukti. Banyak yang simpan foto Hitler tanpa harus jadi Nazi. Lebih mendasar: sebagai subjek hukum, GAM sudah tiada. Bagaimana bisa, menjadi anggota dari sesuatu yang antah.
Boleh jadi, warga di Borong belum tahu GAM bubar. Kalaupun tahu, mungkin mereka belum paham implikasi hukumnya. Bahwa, yang bukan (lagi) subjek hukum tidak dapat dihukum. Tuyul, meski jago nyolong duit, tak bisa disangkakan sebagai koruptor. Tuyul tidak empirik, maka ia bukan subjek hukum. Anjing, meski empirik mengggigit mati seseorang, tidak bisa dinyatakan “terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah”. Hewan tak punya akal budi dan kebebasan, maka tak dapat dimintai pertanggungjawaban. Hewan bukanlah subjek hukum.
Boleh jadi, warga di Borong keliru. Maklum, mereka orang sederhana. Yang mencengangkan, negara pun lakukan hal serupa. Yang bukan subjek hukum koq dihukum. Larang PKI, itu rasional. PKI itu organisasi, lembaga, badan: subjek hukum. Tapi larang komunisme? Semua “isme” adalah ideologi, paham, cita-cita, bahkan mimpi. Koq larang orang berpaham, berpikir, bermimpi. Selain gila, itu sia-sia. Tapi justru itulah yang dilakukan Tap MPRS. Ketika Gus Dur usulkan tap ini dicabut, ia dikecam. Kita pun bekanjang dalam irasionalitas.
Kalau negara ngawur, bagaimana mungkin warganya tidak. Juni 2010, sosialisasi pengobatan gratis oleh anggota DPR F-PDIP di Bayuwangi dibubarpaksakan oleh FPI. Alasannya, sebagian peserta ‘berbau’ PKI. Sebagai subjek hukum, PKI sudah tiada. Bagaimana bisa, ‘bau’ dari sesuatu yang antah masih juga dihukum, lagipula oleh yang tidak berwenang untuk itu.
Laku menghukum ‘bau’, jelas salah, tapi bagaimana bisa dihilangkan kalau Tap MPRS yang menggantang ‘asap’ tetap dipertahankan. Kalau ideologi, paham, cita-cita, bahkan mimpi bisa dilarang negara, maka ‘bau’ dari subjek hukum yang sudah tiada pun dianggap dapat disewenang-wenangi warga. Negara telah memberikan contoh buruk!
FPI lakukan itu, karena ‘membaui’ PKI. Warga di Borong lakukan itu, karena ‘membaui’ GAM. Oleh kelalaian negara, warga saling ‘membaui’. Yang dirasa ‘berbau’ disingkirkan. Indonesia bukan (lagi) rumah bersama, tempat si anak hilang dapat kembali tanpa merasa takut diusir.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 2 September 2010
Label:
bentara,
borong,
flores,
flores pos,
gam,
manggarai,
manggarai timur,
pki,
politik,
ruteng
Mengebor Manggarai Barat
Untuk Bupati-Wabup Terlantik
Oleh Frans Anggal
Gubernur NTT Frans Lebu Raya menyampaikan pesan sederhana kepada bupati dan wabup Manggarai Barat terlantik, Agustinus Ch Dula dan Maximus Gasa alias GUSTI. Ia meminta GUSTI memenuhi semua janji politik yang telah mereka sampaikan pada saat kampanye pemilukada. Sebab, keduanya telah mendapat kepercayaan dari rakyat Manggarai Barat (Flores Pos Selasa 31 Agustus 2010).
Kata “janji” minimal punyai dua makna (KBBI). Bisa bermakna pernyataan kesediaan dan kesanggupan berbuat sesuatu. Bisa juga persetujuan antara dua pihak. Pada yang pertama, janji itu satu arah. Pada yang kedua, dua arah. Timbal balik. Karena itu, per-janji-an disinonimkan dengan ke-sepakat-an.
Pesan gubernur lebih mengarah ke makna pertama. Ini realistis. Janji dalam kampanye pemilukada biasanya satu arah. Dari cabup-cawabup kepada konstituen. Jarang dua arah. Karena itu pula, jarang terjadi kontrak politik. Janji kampanye jarang menjadi perjanjian atau kesepakatan.
Oleh sifat satu arah, persyaratan pemenuhan janji sangat sepihak. Bergantung pada komitmen pemberi janji. Dari penerima janji cukup diminta kepercayaan. Dalam konteks ini, dasar yang digunakan gubernur tepat. Ia minta GUSTI penuhi janji politik karena keduanya telah dapat kepercayaan dari rakyat.
GUSTI punya moto yang, selain sebagai janji, juga merupakan penyimpulan dari semua hal baik yang dijanjikan. “GUSTI Hadir Membawa Perubahan”. Dalam pengertian positif berarti pembaruan. Mencakup serempak baik perbaikan maupun peningkatan dan pemajuan.
Mungkinkah janji politik itu terwujud? Ya. Namun tidak mudah. Politik itu ruwet selain sulit. Max Weber, sosiolog Jerman awal abad 20, menggunakan metafor pengeboran. "Politik adalah pengeboran kayu keras yang sulit dan lama," katanya. “Politics is a strong and slow boring of hard boards.”
Kayu politik itu keras. Pengeborannya sulit dan lama. Karena, politik bukan semata perkara perseorangan. Bukan hanya kemauan baik GUSTI. Politik itu sistem, struktur, mekanisme, prosedur, dan budaya juga. Jadi, teras kayunya tebal berlapis-lapis. Tidak jarang, sebelum kayu ditembusi, banyak anak bor patah. Anak bor yang tembus adalah anak bor terakhir.
Untuk Manggarai Barat 2010-2015, GUSTI bukan satu-satunya anak bor. Masih ada DPRD dan lembaga lain di atas dan di bawahnya. Bagaimana mengebor bersama dan bergantian pada satu titik, tidaklah mudah. Ada kencederungan, tiap anak bor memilih titiknya sendiri, mendesing lalu patah, sementara kayunya tak jua tertembus. Dibutuhkan kemampuan piawai seorang konduktor yang tak hanya menguasai orkestrasi tapi juga ulet dan sabar memperbaiki, menuntun, dan melatih. Pengeboran yang sukses membutuhkan kerja sama dan waktu panjang.
Contoh tipikal diperlihatkan Abraham Lincoln ketika mengebor kayu keras perbudakan di AS. Sebagai presiden, ia terus-menerus mencari akal. Pendekatannya dijelaskan dengan baik oleh Garry Wills, kata R. William Liddle dalam kumpulan artikel Goenawan Mohamad dkk, Demokrasi dan Kekecewaan (2009). "Dengan tindakan-tindakan politik yang sangat hati-hati dan terjaga, Lincoln sedikit demi sedikit memaksa rakyatnya untuk mengambil langkah-langkah kecil untuk mengatasi masalah yang sebenarnya."
Mengambil langkah-langkah kecil untuk atasi masalah sebenarnya. Mengebor dengan sangat hati-hati dan terjaga. Itulah antara lain yang kita titipkan kepada GUSTI dalam memenuhi semua janji politiknya. Selamat mengebor Manggarai Barat!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 1 September 2010
Oleh Frans Anggal
Gubernur NTT Frans Lebu Raya menyampaikan pesan sederhana kepada bupati dan wabup Manggarai Barat terlantik, Agustinus Ch Dula dan Maximus Gasa alias GUSTI. Ia meminta GUSTI memenuhi semua janji politik yang telah mereka sampaikan pada saat kampanye pemilukada. Sebab, keduanya telah mendapat kepercayaan dari rakyat Manggarai Barat (Flores Pos Selasa 31 Agustus 2010).
Kata “janji” minimal punyai dua makna (KBBI). Bisa bermakna pernyataan kesediaan dan kesanggupan berbuat sesuatu. Bisa juga persetujuan antara dua pihak. Pada yang pertama, janji itu satu arah. Pada yang kedua, dua arah. Timbal balik. Karena itu, per-janji-an disinonimkan dengan ke-sepakat-an.
Pesan gubernur lebih mengarah ke makna pertama. Ini realistis. Janji dalam kampanye pemilukada biasanya satu arah. Dari cabup-cawabup kepada konstituen. Jarang dua arah. Karena itu pula, jarang terjadi kontrak politik. Janji kampanye jarang menjadi perjanjian atau kesepakatan.
Oleh sifat satu arah, persyaratan pemenuhan janji sangat sepihak. Bergantung pada komitmen pemberi janji. Dari penerima janji cukup diminta kepercayaan. Dalam konteks ini, dasar yang digunakan gubernur tepat. Ia minta GUSTI penuhi janji politik karena keduanya telah dapat kepercayaan dari rakyat.
GUSTI punya moto yang, selain sebagai janji, juga merupakan penyimpulan dari semua hal baik yang dijanjikan. “GUSTI Hadir Membawa Perubahan”. Dalam pengertian positif berarti pembaruan. Mencakup serempak baik perbaikan maupun peningkatan dan pemajuan.
Mungkinkah janji politik itu terwujud? Ya. Namun tidak mudah. Politik itu ruwet selain sulit. Max Weber, sosiolog Jerman awal abad 20, menggunakan metafor pengeboran. "Politik adalah pengeboran kayu keras yang sulit dan lama," katanya. “Politics is a strong and slow boring of hard boards.”
Kayu politik itu keras. Pengeborannya sulit dan lama. Karena, politik bukan semata perkara perseorangan. Bukan hanya kemauan baik GUSTI. Politik itu sistem, struktur, mekanisme, prosedur, dan budaya juga. Jadi, teras kayunya tebal berlapis-lapis. Tidak jarang, sebelum kayu ditembusi, banyak anak bor patah. Anak bor yang tembus adalah anak bor terakhir.
Untuk Manggarai Barat 2010-2015, GUSTI bukan satu-satunya anak bor. Masih ada DPRD dan lembaga lain di atas dan di bawahnya. Bagaimana mengebor bersama dan bergantian pada satu titik, tidaklah mudah. Ada kencederungan, tiap anak bor memilih titiknya sendiri, mendesing lalu patah, sementara kayunya tak jua tertembus. Dibutuhkan kemampuan piawai seorang konduktor yang tak hanya menguasai orkestrasi tapi juga ulet dan sabar memperbaiki, menuntun, dan melatih. Pengeboran yang sukses membutuhkan kerja sama dan waktu panjang.
Contoh tipikal diperlihatkan Abraham Lincoln ketika mengebor kayu keras perbudakan di AS. Sebagai presiden, ia terus-menerus mencari akal. Pendekatannya dijelaskan dengan baik oleh Garry Wills, kata R. William Liddle dalam kumpulan artikel Goenawan Mohamad dkk, Demokrasi dan Kekecewaan (2009). "Dengan tindakan-tindakan politik yang sangat hati-hati dan terjaga, Lincoln sedikit demi sedikit memaksa rakyatnya untuk mengambil langkah-langkah kecil untuk mengatasi masalah yang sebenarnya."
Mengambil langkah-langkah kecil untuk atasi masalah sebenarnya. Mengebor dengan sangat hati-hati dan terjaga. Itulah antara lain yang kita titipkan kepada GUSTI dalam memenuhi semua janji politiknya. Selamat mengebor Manggarai Barat!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 1 September 2010
Langganan:
Postingan (Atom)