Kasek Dilarang Jadi Pimpro
Oleh Frans Anggal
Bupati Sikka Sosimus Mitang bikin kebijakan baru. Pada 2010 para kepala sekoah (kasek) dilarang kelola proyek fisik sekolah. Pengelolaan diberikan kepada kontraktor melalui mekanisme biasa (Flores Pos Sabtu 19 Juni 2010).
Ada dasarnya. Dari evaluasi dan temuan diketahui, gara-gara kelola proyek, kasek terlantarkan tupoksinya. Ini salah satu faktor rendahnya persentase kelulusan ujian nasional (UN). “Di saat kasek tidak ada di tempat, para guru cepat pulang atau tidak serius menyelanggarakan KBM. Anak-anak sendiri tidak diperhatikan, sehingga prestasi belajar pun menurun drastis.”
Titik tolak kebijakan ini, anjloknya persetase kelulusan UN. Seandainya persentasenya bagus, kebijakan ini tidak bakal muncul. Karena titik tolaknya menurun drastisnya persentase kelulusan, maka titik tujunya tentu saja meningkatnya persentase itu. Kalau peningkatannya signifikan, pelarangan tadi pasti dicabut. Kasek boleh kembali mengelola proyek.
Titik tolak dan titik tuju seperti ini perlu dicermati. Kasek mana yang tidak suka kelola proyek pemerintah? Duitnya banyak. Peluang memperkaya diri terbuka lebar. Caranya bisa macam-macam. Tinggal saja pintar-pintar, agar tidak terbongkar. Kalau sampai terbongkar, itu sial namanya. Dari pengalaman, banyak yang aman. Alias, rezeki. Kasek mana yang tidak suka rezeki ini?
Demi kembalinya rezeki itulah, yang selama ini diperoleh melalui proyek, para kasek akan tikam kepala menaikkan persentase kelulusan UN. Bagaimana caranya nanti, itu soal teknis, soal pintar-pintar itu tadi. Jujur atau curang, murni atau kotor, tidak penting. Yang penting, persentase naik. Sebab, hanya dengan demikian, kasek bisa kembali mengelola proyek.
Inikah yang diinginkan Bupati Sosi? Tentu tidak. Namun, itulah yang rasional bisa terjadi kalau titik tolak dan titik tuju kebijakannya hanya sebatas persentase kelulusan UN. K ebijakan melarang kasek mengelola proyek itu tepat. Namun, janganlah hanya karena dan demi UN. Non scholae, sed vitae discimus, kata Seneca, filosof dan pujangga Romawi (4 SM - 65 M). Kita belajar bukan untuk sekolah, bukan untuk ujian, tapi untuk hidup.
Kasek profesional dan jujur pasti tidak akan mengatakan tupoksi dan kompetensinya enteng. Ia mengemban sedertan tugas sebagai pendidik, pemimpin, pengelola (manajer), administrator, penyelia (supervisior), wirausahawan, dan pencipta iklim kerja. Berkenaan dengan tupoksi itu, daripadanya dituntut sedertan kompetensi yang sepadan. Kalau dijalankan dengan sungguh-sungguh, semuanya itu sudah bisa bikin kepalanya mau pecah.
Maka, tidak masuk akal kalau dia masih berminat mengemban tupoksi tambahan sebagai “kasek sak semen”: menjadi pimpro atau pengelola proyek fisik sekolah dan sarana lain yang didanai keuangan negara. Kalau sampai ada kasek yang berminat ke sana dengan semangat berapi-api, itu pertanda dia sudah melihat ada udang di balik batu. Ada uang di balik proyek.
Sudah terlalu banyak kasus korupsi yang menyeret kasek menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana. Gara-gara kelola proyek. Tak terbilang pula keluhan bahwa kasek abaikan tupoksi dan kompetensinya hanya karena sibuk urus proyek. Kasus di Sikka itu satu contoh. Saat kasek tidak ada di tempat karena sibuk dengan proyek, para guru cepat pulang atau tidak serius selanggarakan KBM. Anak-anak jugalah yang akhirnya dikorbankan.
Pilihan terbaik: kasek ya kasek. Tanpa “sak semen”. Selain buruk dampaknya, “sak semen” bukanlah tupoksi dan kompetensi kasek. Itu kompetensi kontraktor. The right man on the right place. Orang yang tepat pada tempat yang tepat. Jangan dicampur aduk. Jangan pula dipertukarkan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 22 Juni 2010
23 Juni 2010
21 Juni 2010
Muspas Tolak Tambang
Konsistensi Gereja Keuskupan Ruteng
Oleh Frans Anggal
Musyawarah pastoral (muspas) Kevikepan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, bersepakat menolak tambang terbuka. Pernyataan sikap dibacakan pada misa yang dipimpin Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng,. Ditujukan kepada bupati Manggarai Timur. Pertama, hentikan pemberian segala izin pertambangan, baik eksplorasi maupun eskploitasi. Kedua, cabut kembali semua izin yang telah diberikan (Flores Pos Sabtu 19 Juni 2010).
Sikap Uskup Hubert jelas tegas. “Pernyataan sikap ini harus segera ditindaklanjuti,” tandasnya. Ia konsisten dengan sikapnya sendiri. Moto tahbisannya mengukuhkan komitmennya menegakkan keutuhan ciptaan, khususnya pelestarian lingkungan hidup.
Omnes vos fratres estis. Kamu semua adalah saudara. “Bersaudara tidak khusus pada manusia, tapi juga pada seluruh ciptaan,” katanya pada audiensi dengan Pemred Flores Pos di Ruteng, Sabtu 17 April 2010. Rusaknya persaudaraan, baik antar-sesama maupun dengan lingkungan hidup, merupakan keprihatinannya. Terlebih kalau itu diakibatkan oleh politik kekuasaan. Karena itu, ia tegaskan: ”Saya tidak akan mundur. Saya akan terus menyuarakannya.”
Seperti sang uskup, muspas Kevikepan Borong juga konsisten. Tidak hanya karena sejalan dengan sikap uskup, tapi juga karena sikapnya sesuai dengan sikap sidang pastoral tingkat Keuskupan Ruteng pada Paska 2009, setahun sebelum Uskup Hubert ditahbiskan.
Tapi, tetap ada pertanyaan mengganjal. Kenapa hal yang sudah disikapi jelas tegas oleh sidang pastoral di tingkat keuskupan 2009 mesti disikap-ulangi oleh muspas tingkat kevikepan 2010? Jangan-jangan karena selama setahun ini amanat sidang pastoral belum sungguh-sungguh ditaati.
Tampaknya, Romo Edy Manori Pr ‘mencium’ gejala ini sehingga bersuara keras via SMS 8 Mei 2010. Menurutnya, secara organisasi, keputusan sidang pastoral itu keputusan tertinggi. Keputusan ini mengikat seluruh warga gereja. Keputusan sidang pastoral Paska 2009 dengan tegas menolak tambang di wilayah Keuskupan Ruteng (Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur). Keputusan ini menjadi dasar hukum bagi para imam, dewan paroki, dan umat dalam mensosialisasikan tolak tambang.
Termasuk di dalamnya, tidak mendukung pemerintah yang semena-mena hadirkan tambang. Siapa pun pengambil kebijakan yang mendukung hadirnya tambang harus ditolak dan dilawan. Karena itu, para imam dan dewan paroki tidak perlu ragu mensosialisasikan sikap gereja ini dari mimbar gereja demi menyelamatkan lingkungan hidup dan pertanian di wilayah Keuskupan Ruteng.
Khusus untuk para imam, Romo Edy bersuara lebih keras. “Para imam yang diam dan tidak mematuhi keputusan sidang pastoral dan malah sebaliknya mendukung tambang adalah pengkhianat. Mereka itu ibarat Yudas dalam komunitas para murid perdana, yang demi 30 keping perak rela menjual Yesus.”
Gejala yang ‘dicium’ Romo Edy rupanya benar. Pada muspas Kevikepan Borong, kesepakatan dan pernyataan sikap tolak tambang ternyata harus melewati proses panjang, pro kontra, dan tarik ulur. Artinya apa? Keputusan sidang pastoral yang merupakan keputusan tertinggi dan semestinya mengikat, terbukti belum sungguh-sungguh mengikat.seluruh warga gereja.
Untuk Keuskupan Ruteng, tolak tambang sudah final. Karena itu, muspas kevikepan tidak perlu lagi bikin keputusan yang sama atau yang baru. Saatnya kini adalah aksi nyata di lapangan. Karena itu, tanggapan Uskup Hubert sangat tepat mengena sasaran: segera tindak lanjuti!
“Bentara” FLORES POS, Senin 21 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
Musyawarah pastoral (muspas) Kevikepan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, bersepakat menolak tambang terbuka. Pernyataan sikap dibacakan pada misa yang dipimpin Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng,. Ditujukan kepada bupati Manggarai Timur. Pertama, hentikan pemberian segala izin pertambangan, baik eksplorasi maupun eskploitasi. Kedua, cabut kembali semua izin yang telah diberikan (Flores Pos Sabtu 19 Juni 2010).
Sikap Uskup Hubert jelas tegas. “Pernyataan sikap ini harus segera ditindaklanjuti,” tandasnya. Ia konsisten dengan sikapnya sendiri. Moto tahbisannya mengukuhkan komitmennya menegakkan keutuhan ciptaan, khususnya pelestarian lingkungan hidup.
Omnes vos fratres estis. Kamu semua adalah saudara. “Bersaudara tidak khusus pada manusia, tapi juga pada seluruh ciptaan,” katanya pada audiensi dengan Pemred Flores Pos di Ruteng, Sabtu 17 April 2010. Rusaknya persaudaraan, baik antar-sesama maupun dengan lingkungan hidup, merupakan keprihatinannya. Terlebih kalau itu diakibatkan oleh politik kekuasaan. Karena itu, ia tegaskan: ”Saya tidak akan mundur. Saya akan terus menyuarakannya.”
Seperti sang uskup, muspas Kevikepan Borong juga konsisten. Tidak hanya karena sejalan dengan sikap uskup, tapi juga karena sikapnya sesuai dengan sikap sidang pastoral tingkat Keuskupan Ruteng pada Paska 2009, setahun sebelum Uskup Hubert ditahbiskan.
Tapi, tetap ada pertanyaan mengganjal. Kenapa hal yang sudah disikapi jelas tegas oleh sidang pastoral di tingkat keuskupan 2009 mesti disikap-ulangi oleh muspas tingkat kevikepan 2010? Jangan-jangan karena selama setahun ini amanat sidang pastoral belum sungguh-sungguh ditaati.
Tampaknya, Romo Edy Manori Pr ‘mencium’ gejala ini sehingga bersuara keras via SMS 8 Mei 2010. Menurutnya, secara organisasi, keputusan sidang pastoral itu keputusan tertinggi. Keputusan ini mengikat seluruh warga gereja. Keputusan sidang pastoral Paska 2009 dengan tegas menolak tambang di wilayah Keuskupan Ruteng (Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur). Keputusan ini menjadi dasar hukum bagi para imam, dewan paroki, dan umat dalam mensosialisasikan tolak tambang.
Termasuk di dalamnya, tidak mendukung pemerintah yang semena-mena hadirkan tambang. Siapa pun pengambil kebijakan yang mendukung hadirnya tambang harus ditolak dan dilawan. Karena itu, para imam dan dewan paroki tidak perlu ragu mensosialisasikan sikap gereja ini dari mimbar gereja demi menyelamatkan lingkungan hidup dan pertanian di wilayah Keuskupan Ruteng.
Khusus untuk para imam, Romo Edy bersuara lebih keras. “Para imam yang diam dan tidak mematuhi keputusan sidang pastoral dan malah sebaliknya mendukung tambang adalah pengkhianat. Mereka itu ibarat Yudas dalam komunitas para murid perdana, yang demi 30 keping perak rela menjual Yesus.”
Gejala yang ‘dicium’ Romo Edy rupanya benar. Pada muspas Kevikepan Borong, kesepakatan dan pernyataan sikap tolak tambang ternyata harus melewati proses panjang, pro kontra, dan tarik ulur. Artinya apa? Keputusan sidang pastoral yang merupakan keputusan tertinggi dan semestinya mengikat, terbukti belum sungguh-sungguh mengikat.seluruh warga gereja.
Untuk Keuskupan Ruteng, tolak tambang sudah final. Karena itu, muspas kevikepan tidak perlu lagi bikin keputusan yang sama atau yang baru. Saatnya kini adalah aksi nyata di lapangan. Karena itu, tanggapan Uskup Hubert sangat tepat mengena sasaran: segera tindak lanjuti!
“Bentara” FLORES POS, Senin 21 Juni 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
keuskupan ruteng,
mgr hubertus leteng,
muspas kevikepan borong 2010,
sidang pastoral keuskupan ruteng 2009,
tolak tambang
Sembrononya Polisi di Ruteng
Razia Ponsel Pelajar di Sekolah
Oleh Frans Anggal
Polisi merazia ponsel para pelajar di kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Kamis 17 Juni 2010. Mereka datangi tiga SMA. Bersama kepala sekolah, mereka periksa dari kelas ke kelas. Hasilnya: 3 ponsel terindikasi berisi gambar dan video porno. Langsung disita. Siswa dan orangtua akan dipanggil ke mapolres. Dibina di sana (Flores Pos Jumat 18 Juni 2010).
Razia dilakukan menyusul beredarnya video porno di internet dengan pemeran mirip artis Ariel Peterpan, Luna Maya, dan Cut Tari. Tujuan razia: mencegah dan menghentikan peredaran pornografi di kalangan pelajar. Tujuan luhur agung nan mulia. Namun, perlukah caranya sejauh itu?
Polisi razia di sekolah. Dari kelas ke kelas. Pada jam belajar anak. Ini mengganggu kenyamanan belajar anak. Ini sudah melanggar hak anak. Justru karena mereka anak, para pelajar ini sesungguhnya korban pornografi. Perkembangan kepribadian mereka terganggu.
Sebagai korban, kenapa mereka diperlakukan seakan-akan penjahat kelas berat? Cara polisi di Ruteng itu menyalahi prinsip edukasi, pedagogi, dan HAM. Hanya menimbulkan trauma pada diri anak. Semestinya dinas PPO, yayasan, dan sekolah memprotesnya. Eh, tidak. Kepala sekolah dan guru malah bersemangat mengantar polisi dari kelas ke kelas.
Pertanyaan kita: apa gunanya kepala sekolah, wali kelas, dan guru kalau untuk tertibkan ponsel siswa saja mesti pakai polisi? Sudah dibuang ke mana otonomi pendidikan dan otonomi sekolah? Kini, di Ruteng, yang bina siswa itu polisi, bukan lagi guru. Sebab, guru cuma pengajar, bukan pendidik. Tempat pembinaannya mapolres, bukan lagi sekolah. Sebab, sekolah cuma lembaga pengajaran, bukan panti pendidikan.
Lembaga formal dan otonom ini sudah diubrak-abrik. Bagaimana pula dengan keluarga dan masyarakat luas sebagai lembaga informal? Warga Ruteng harus waspada. Atas nama misi ‘suci’ mencegah dan menghentikan pornografi, polisi bisa saja memeriksa ponsel di jalan raya, di pasar, di toko, bahkan di rumah kediaman. Atas nama misi itu, mereka bisa masuk hingga kamar tidur.
Kalau benar akan seperti itu, yang jadi sasaran tetap saja orang kecil. Orang besar aman. Ponsel mereka dianggap hanya berisi gambar kudus dan video suci. Ya, mau tidak mau, dianggap begitu. Karena, mana berani polisi periksa ponselnya bupati, wabup, sekda, ketua DPRD, jaksa, hakim, dandim, kadis, dan pengusaha, hanya atas dasar “siapa tahu ada gambar dan video porno”, sebagaimana dalilnya saat memeriksa ponsel para pelajar.
Polisi sudah tidak tahu diri. Sembrono. Dinas PPO, yayasan, dan sekolah juga begitu, kalau tidak memprotes kesembronoan polisi. Sembrono di sini tidak dalam pengertian melanggar hukum. Polisi justru sedang hendak menegakkan hukum. Namun caranya berlebihan. Melampaui ukuran yang perlu, sehingga kontraproduktif. Yang dilanggar bukan asal legalitas, tapi asas proporsionalitas.
Asas ini jugalah yang dikangkangi polisi dalam proses hukum trio artis Ariel-Luna-Cut. Bayangkan, polisi akan lakukan uji fisik trio artis itu untuk membuktikan keaslian video porno. Salah satu ciri fisik perempuan mirip Luna dalam video itu adalah tato di kiri pinggul (Kompas.com, Selasa, 15 Juni 2010).
Menanggapi berita ini, pembaca bernama Bambang Irawan berkomentar ‘berlebihan’ tapi kena. “Uji fisik ini maksudnya, lihat kondisi tubuh seutuhnya sampai ke lekok-lekoknya dalam keadaan telanjang bulat, dan dibandingkan dengan yang di video, termasuk bagaimana mengulang kejadiannya di muka bapak-bapak polisi. Kalau begini, saya juga mau daftar jadi polisi!”
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 19 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
Polisi merazia ponsel para pelajar di kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Kamis 17 Juni 2010. Mereka datangi tiga SMA. Bersama kepala sekolah, mereka periksa dari kelas ke kelas. Hasilnya: 3 ponsel terindikasi berisi gambar dan video porno. Langsung disita. Siswa dan orangtua akan dipanggil ke mapolres. Dibina di sana (Flores Pos Jumat 18 Juni 2010).
Razia dilakukan menyusul beredarnya video porno di internet dengan pemeran mirip artis Ariel Peterpan, Luna Maya, dan Cut Tari. Tujuan razia: mencegah dan menghentikan peredaran pornografi di kalangan pelajar. Tujuan luhur agung nan mulia. Namun, perlukah caranya sejauh itu?
Polisi razia di sekolah. Dari kelas ke kelas. Pada jam belajar anak. Ini mengganggu kenyamanan belajar anak. Ini sudah melanggar hak anak. Justru karena mereka anak, para pelajar ini sesungguhnya korban pornografi. Perkembangan kepribadian mereka terganggu.
Sebagai korban, kenapa mereka diperlakukan seakan-akan penjahat kelas berat? Cara polisi di Ruteng itu menyalahi prinsip edukasi, pedagogi, dan HAM. Hanya menimbulkan trauma pada diri anak. Semestinya dinas PPO, yayasan, dan sekolah memprotesnya. Eh, tidak. Kepala sekolah dan guru malah bersemangat mengantar polisi dari kelas ke kelas.
Pertanyaan kita: apa gunanya kepala sekolah, wali kelas, dan guru kalau untuk tertibkan ponsel siswa saja mesti pakai polisi? Sudah dibuang ke mana otonomi pendidikan dan otonomi sekolah? Kini, di Ruteng, yang bina siswa itu polisi, bukan lagi guru. Sebab, guru cuma pengajar, bukan pendidik. Tempat pembinaannya mapolres, bukan lagi sekolah. Sebab, sekolah cuma lembaga pengajaran, bukan panti pendidikan.
Lembaga formal dan otonom ini sudah diubrak-abrik. Bagaimana pula dengan keluarga dan masyarakat luas sebagai lembaga informal? Warga Ruteng harus waspada. Atas nama misi ‘suci’ mencegah dan menghentikan pornografi, polisi bisa saja memeriksa ponsel di jalan raya, di pasar, di toko, bahkan di rumah kediaman. Atas nama misi itu, mereka bisa masuk hingga kamar tidur.
Kalau benar akan seperti itu, yang jadi sasaran tetap saja orang kecil. Orang besar aman. Ponsel mereka dianggap hanya berisi gambar kudus dan video suci. Ya, mau tidak mau, dianggap begitu. Karena, mana berani polisi periksa ponselnya bupati, wabup, sekda, ketua DPRD, jaksa, hakim, dandim, kadis, dan pengusaha, hanya atas dasar “siapa tahu ada gambar dan video porno”, sebagaimana dalilnya saat memeriksa ponsel para pelajar.
Polisi sudah tidak tahu diri. Sembrono. Dinas PPO, yayasan, dan sekolah juga begitu, kalau tidak memprotes kesembronoan polisi. Sembrono di sini tidak dalam pengertian melanggar hukum. Polisi justru sedang hendak menegakkan hukum. Namun caranya berlebihan. Melampaui ukuran yang perlu, sehingga kontraproduktif. Yang dilanggar bukan asal legalitas, tapi asas proporsionalitas.
Asas ini jugalah yang dikangkangi polisi dalam proses hukum trio artis Ariel-Luna-Cut. Bayangkan, polisi akan lakukan uji fisik trio artis itu untuk membuktikan keaslian video porno. Salah satu ciri fisik perempuan mirip Luna dalam video itu adalah tato di kiri pinggul (Kompas.com, Selasa, 15 Juni 2010).
Menanggapi berita ini, pembaca bernama Bambang Irawan berkomentar ‘berlebihan’ tapi kena. “Uji fisik ini maksudnya, lihat kondisi tubuh seutuhnya sampai ke lekok-lekoknya dalam keadaan telanjang bulat, dan dibandingkan dengan yang di video, termasuk bagaimana mengulang kejadiannya di muka bapak-bapak polisi. Kalau begini, saya juga mau daftar jadi polisi!”
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 19 Juni 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
manggarai,
polisi di ruteng,
pornografi,
razia ponsel pelajar,
ruteng
Berebut Air dengan Kerbau
Masalah Air Bersih di Ngada
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 3.583 warga di Desa Beiwale dan Wawowae, Kabupaten Ngada, kesulitan air bersih. Mereka konsumsi air kali di Wawowae. Kerap mereka harus berebut dengan kerbau dan sapi. Sebab, kali ini juga jadi kubangan kerbau dan sapi (Flores Pos Kamis 17 Juni 2010).
Air di Wawowae sesungguhnya bersih. Namun, yang bersih sudah disalurkan ke Bajawa, Watujaji, dan Langa. Ditarik langsung dari mata airnya. Untuk warga Beiwale dan Wawowae, tinggal sisanya. Tentu sedikit. Karena sedikit maka diperebutan. Karena diperebutkan maka kotor. Mana tidak kotor, berebut dengan kerbau dan sapi.
Berkali-kali warga minta pemerintah membangun sarana air bersih. “Hingga saat ini keluhan belum mendapat tanggapan dari pemerintah. Kami ini hanya berjarak tiga kilometer dari pusat kota (Bajawa), namun selama ini terus diterlantarkan pemerintah,” kata mantan Kades Wawowae Bernadus Wea.
Bukan hanya soal jarak. Mata air itu ada dalam wilayah mereka. Mereka yang empunya air, mereka juga yang kesulitan air. Air dari mereka, tapi bukan untuk mereka. “Kami sendiri kekeringan, sementara air dari daerah ini diekesploitasi,” kata tokoh masyarakat Aurelius Doy.
Menyedihkan. Dalam keberkelimpahan air, mereka malah berkekurangan. Dalam kekayaan, mereka dimiskinkan. Dalam kepenuhan, mereka digembos. Mereka ini dikorbankan demi mereka yang lain. Ini proses penumbalan dalam pembangunan. Tidak dapat dibenarkan.
Kalau mereka diam saja, itu bodoh. Kalau mereka kecewa dan marah, itu wajar. Kalau mereka menuntut dengan ancaman, itu bisa dimengerti, meski tidak dapat dibenarkan. Mereka akan boikot suplai air ke Bajawa, Watujaji, dan Langa kalau pemerintah tidak segera bangun sarana air besih. Koq pakai ancaman? “Sudah tidak ada cara lain lagi yang lebih santun,” kata tokoh masyarakat Niko Mbue.
Menghadapi ketegangan ini, DPRD dan pemkab tidak perlu digurui. Mereka orang pilihan, dianggap cerdas, aspiratif, sehingga nama mereka selalu diembel-embeli “yang terhormat”. Yang mungkin perlu diingatkan hanyalah satu ini. Sikap dasar mengakui kesalahan. Ini penting. Harapan akan selesainya masalah tidak mungkin final kalau mereka tidak lugas mengakui mereka gagal.
Kasus ini ada hikmahnya juga. Ini contoh yang baik tentang hal buruk. Perusahaan milik daerah atau negara tidak punya tanggung jawab sosial, budaya, dan ekonomi terhadap komunitas tempatnya beroperasi dan terhadap hak-hak warga di komunitas itu. Dimensi akuntabilitasnya kosong melompong.
Pemerintah, melalui perusahaannya, sudah demikian masa bodoh terhadap nasib warganya sendiri. Bagaimana ia bisa diharapkan mampu dan berani menuntut tanggung jawab perusahaan non-pemerintah, katakanlah dalam pertambangan terbuka emas dan mangan misalnya? Ia akan mudah bersekongkol dengan atau dikibuli oleh investor.
Di hadapan pemerintah macam ini, investor tambang menjadi free rider. Penumpang yang tidak membayar. Kalaupun membayar, bayarannya tidak ada apa-apanya dibanding dengan keuntungan yang ia bawa dan kerugian yang ia tinggalkan. Free rider merasa tidak punya urusan dengan kehancuran masyarakat, lingkungan, dll.
Wala, mirip dengan sikap pemkab dalam kasus air itu. Air bersihmu kualirkan ke tempat lain. Kamu dapat kotornya. Silakan berebut dengan kerbau dan sapi!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 18 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 3.583 warga di Desa Beiwale dan Wawowae, Kabupaten Ngada, kesulitan air bersih. Mereka konsumsi air kali di Wawowae. Kerap mereka harus berebut dengan kerbau dan sapi. Sebab, kali ini juga jadi kubangan kerbau dan sapi (Flores Pos Kamis 17 Juni 2010).
Air di Wawowae sesungguhnya bersih. Namun, yang bersih sudah disalurkan ke Bajawa, Watujaji, dan Langa. Ditarik langsung dari mata airnya. Untuk warga Beiwale dan Wawowae, tinggal sisanya. Tentu sedikit. Karena sedikit maka diperebutan. Karena diperebutkan maka kotor. Mana tidak kotor, berebut dengan kerbau dan sapi.
Berkali-kali warga minta pemerintah membangun sarana air bersih. “Hingga saat ini keluhan belum mendapat tanggapan dari pemerintah. Kami ini hanya berjarak tiga kilometer dari pusat kota (Bajawa), namun selama ini terus diterlantarkan pemerintah,” kata mantan Kades Wawowae Bernadus Wea.
Bukan hanya soal jarak. Mata air itu ada dalam wilayah mereka. Mereka yang empunya air, mereka juga yang kesulitan air. Air dari mereka, tapi bukan untuk mereka. “Kami sendiri kekeringan, sementara air dari daerah ini diekesploitasi,” kata tokoh masyarakat Aurelius Doy.
Menyedihkan. Dalam keberkelimpahan air, mereka malah berkekurangan. Dalam kekayaan, mereka dimiskinkan. Dalam kepenuhan, mereka digembos. Mereka ini dikorbankan demi mereka yang lain. Ini proses penumbalan dalam pembangunan. Tidak dapat dibenarkan.
Kalau mereka diam saja, itu bodoh. Kalau mereka kecewa dan marah, itu wajar. Kalau mereka menuntut dengan ancaman, itu bisa dimengerti, meski tidak dapat dibenarkan. Mereka akan boikot suplai air ke Bajawa, Watujaji, dan Langa kalau pemerintah tidak segera bangun sarana air besih. Koq pakai ancaman? “Sudah tidak ada cara lain lagi yang lebih santun,” kata tokoh masyarakat Niko Mbue.
Menghadapi ketegangan ini, DPRD dan pemkab tidak perlu digurui. Mereka orang pilihan, dianggap cerdas, aspiratif, sehingga nama mereka selalu diembel-embeli “yang terhormat”. Yang mungkin perlu diingatkan hanyalah satu ini. Sikap dasar mengakui kesalahan. Ini penting. Harapan akan selesainya masalah tidak mungkin final kalau mereka tidak lugas mengakui mereka gagal.
Kasus ini ada hikmahnya juga. Ini contoh yang baik tentang hal buruk. Perusahaan milik daerah atau negara tidak punya tanggung jawab sosial, budaya, dan ekonomi terhadap komunitas tempatnya beroperasi dan terhadap hak-hak warga di komunitas itu. Dimensi akuntabilitasnya kosong melompong.
Pemerintah, melalui perusahaannya, sudah demikian masa bodoh terhadap nasib warganya sendiri. Bagaimana ia bisa diharapkan mampu dan berani menuntut tanggung jawab perusahaan non-pemerintah, katakanlah dalam pertambangan terbuka emas dan mangan misalnya? Ia akan mudah bersekongkol dengan atau dikibuli oleh investor.
Di hadapan pemerintah macam ini, investor tambang menjadi free rider. Penumpang yang tidak membayar. Kalaupun membayar, bayarannya tidak ada apa-apanya dibanding dengan keuntungan yang ia bawa dan kerugian yang ia tinggalkan. Free rider merasa tidak punya urusan dengan kehancuran masyarakat, lingkungan, dll.
Wala, mirip dengan sikap pemkab dalam kasus air itu. Air bersihmu kualirkan ke tempat lain. Kamu dapat kotornya. Silakan berebut dengan kerbau dan sapi!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 18 Juni 2010
Label:
air bersih,
bentara,
desa beiwale dan wawowae,
flores,
flores pos,
kesra,
ngada
17 Juni 2010
Quo Vadis, Indonesia?
Negara Mau Atur Semua Hal
Oleh Frans Anggal
Wakil Ketua MPR Ahmad Fahran Hamid mengatakan, empat pilar kehidupan bernegara perlu ditegakkan. Yaitu, Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Ia mengatakan itu pada Rakernas V PMKRI, di Ende, Senin 14 Juni 2010. Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur hanya akan terwujud kalau keempat pilar benar-benar dijadikan tonggak pedoman arah.
Itu ortodoksi, ajaran yang benar. Materinya sejak sekolah dasar. Tak ada soal. Yang jadi soal, ortopraksi, praktik yang benar. Jauh panggang dari api. Tidak ketemu ruas dengan buku. Keempat pilar tidak hanya tidak dijadikan pedoman, tapi mau dirubuhkan dan diganti dengan pilar lain.
Yang memprihatinkan, ketika semua itu berlangsung, negara menjadi penonton. Kalaupun turun tangan, negara ikut terseret menjauhi pilar yang semestinya menjadi penyangga rumah milik bersama bernama Indonesia.
Contoh, dalam hal yang paling peka: kehidupan beragama. Pasal 28E UUD 1945 secara tegas menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama, beribadat menurut agamanya, dan meyakini kepercayaannya. Dengan demikian, negara tidak boleh ikut campur dalam soal “isi ajaran”. Tugas negara hanyalah menjamin “hak meyakini” suatu agama/kepercayaan.
Negara tidak berhak tentukan ini agama resmi, ini agama tidak resmi. Ini ajaran tepat, ini ajaran sesat. Masuk surga atau neraka, bukan urusan negara. Negara baru boleh turun tangan kalau isi ajaran suatu agama menimbulkan gangguan ketertiban umum. Itu pun sebatas mengadili tindak pidananya, bukan memvonis isi ajarannya. Jika seseorang menghina agama lain, ia diadili melalui pengadilan atas dasar penghinaan itu, bukan atas dasar fatwa suatu lembaga.
Contoh lain, dalam hal paling remeh temeh: ratu kecantikan. Beauty is but skin deep, kata pepatah. Cantik itu hanya setipis kulit. Koq negara ikut campur juga. Negara mau atur semuanya, sampai ke tubuh, kulit, dan (maaf) kelamin warganegara. Itu boleh, tapi sejauh berhubungan dengan tindak pidana. Bukan dengan moralitas. Penilain dan sanksi moral, itu urusan masyarakat. Bukan urusan negara. Karena itu, tidak ada kecantikan pancasilais, kemolekan separatis, keayuan konstitusional, atau ganteng secara sah dan meyakinkan.
Setali tiga uang dalam kasus paling ‘hot’ saat ini: video porno Ariel Peterpan dan Luna Maya. Titik bidik negara semestinya di mana? Pada hubungan seks yang divideokan itu ataukah pada penyebaran video hubungan seks itu? Kalau titik bidiknya hubungan seks, maka negara mengatur-atur hubungan antara tubuh, pikiran, perasaan, dan moralitas. Ini bukan wilayah negara. Ini wilayah masyarakat. Biarkan masyarat yang menjatuhkan sanksi moral.
Tugas negara, membidik si pelanggar ketertiban umum. Si penyebar video. Video itu (privat) menjadi pornografi (publik) karena disebarkan. Kebetulan Ariel dan Luna bukan suami istri. Sendainya mereka suami istri, soalnya sama juga. Apakah mereka harus dihukum oleh negara karena video mereka disebarkan orang lain tanpa sepengetahuan atau sepersetujuan atau atas perintah mereka?
Negara yang mau mengatur semua hal, dari isi ajaran agama sampai urusan kecantikan dan perkelaminan warganegara adalah negara totaliter. Hitler dengan Nazi-nya buat seperti itu. Hanya ada kedaulatan negara. Tak ada kedaulatan rakyat. Ini merubuhkan pilar UUD 1945, bukan? Quo vadis, Indonesia? Engkau sedang melangkah ke mana?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 17 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
Wakil Ketua MPR Ahmad Fahran Hamid mengatakan, empat pilar kehidupan bernegara perlu ditegakkan. Yaitu, Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Ia mengatakan itu pada Rakernas V PMKRI, di Ende, Senin 14 Juni 2010. Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur hanya akan terwujud kalau keempat pilar benar-benar dijadikan tonggak pedoman arah.
Itu ortodoksi, ajaran yang benar. Materinya sejak sekolah dasar. Tak ada soal. Yang jadi soal, ortopraksi, praktik yang benar. Jauh panggang dari api. Tidak ketemu ruas dengan buku. Keempat pilar tidak hanya tidak dijadikan pedoman, tapi mau dirubuhkan dan diganti dengan pilar lain.
Yang memprihatinkan, ketika semua itu berlangsung, negara menjadi penonton. Kalaupun turun tangan, negara ikut terseret menjauhi pilar yang semestinya menjadi penyangga rumah milik bersama bernama Indonesia.
Contoh, dalam hal yang paling peka: kehidupan beragama. Pasal 28E UUD 1945 secara tegas menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama, beribadat menurut agamanya, dan meyakini kepercayaannya. Dengan demikian, negara tidak boleh ikut campur dalam soal “isi ajaran”. Tugas negara hanyalah menjamin “hak meyakini” suatu agama/kepercayaan.
Negara tidak berhak tentukan ini agama resmi, ini agama tidak resmi. Ini ajaran tepat, ini ajaran sesat. Masuk surga atau neraka, bukan urusan negara. Negara baru boleh turun tangan kalau isi ajaran suatu agama menimbulkan gangguan ketertiban umum. Itu pun sebatas mengadili tindak pidananya, bukan memvonis isi ajarannya. Jika seseorang menghina agama lain, ia diadili melalui pengadilan atas dasar penghinaan itu, bukan atas dasar fatwa suatu lembaga.
Contoh lain, dalam hal paling remeh temeh: ratu kecantikan. Beauty is but skin deep, kata pepatah. Cantik itu hanya setipis kulit. Koq negara ikut campur juga. Negara mau atur semuanya, sampai ke tubuh, kulit, dan (maaf) kelamin warganegara. Itu boleh, tapi sejauh berhubungan dengan tindak pidana. Bukan dengan moralitas. Penilain dan sanksi moral, itu urusan masyarakat. Bukan urusan negara. Karena itu, tidak ada kecantikan pancasilais, kemolekan separatis, keayuan konstitusional, atau ganteng secara sah dan meyakinkan.
Setali tiga uang dalam kasus paling ‘hot’ saat ini: video porno Ariel Peterpan dan Luna Maya. Titik bidik negara semestinya di mana? Pada hubungan seks yang divideokan itu ataukah pada penyebaran video hubungan seks itu? Kalau titik bidiknya hubungan seks, maka negara mengatur-atur hubungan antara tubuh, pikiran, perasaan, dan moralitas. Ini bukan wilayah negara. Ini wilayah masyarakat. Biarkan masyarat yang menjatuhkan sanksi moral.
Tugas negara, membidik si pelanggar ketertiban umum. Si penyebar video. Video itu (privat) menjadi pornografi (publik) karena disebarkan. Kebetulan Ariel dan Luna bukan suami istri. Sendainya mereka suami istri, soalnya sama juga. Apakah mereka harus dihukum oleh negara karena video mereka disebarkan orang lain tanpa sepengetahuan atau sepersetujuan atau atas perintah mereka?
Negara yang mau mengatur semua hal, dari isi ajaran agama sampai urusan kecantikan dan perkelaminan warganegara adalah negara totaliter. Hitler dengan Nazi-nya buat seperti itu. Hanya ada kedaulatan negara. Tak ada kedaulatan rakyat. Ini merubuhkan pilar UUD 1945, bukan? Quo vadis, Indonesia? Engkau sedang melangkah ke mana?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 17 Juni 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
keagamaan,
nasional,
negara,
pmkri cabang ende,
seks,
uud 1045,
wakil ketua MPR ahmad fahran hamid
Belajar dari Syuradikara
Raih Trofi Sekolah Adywiyata Nasional 2010
Oleh Frans Anggal
SMAK Syuradikara Ende raih trofi Sekolah Adywiyata Nasional. Ia satu dari 67 sekolah se-Indonesia, dan satu-satunya dari NTT. Trofi diterima kepala sekolah Pater Kanis Bhila SVD di Jakarta 7-8 Juni 2010 dari Menteri Lingkungan Hidup. Setiba di bandara Ende, trofi disambut pemkab, sebelum diarak keliling kota menuju sekolah (Flores Pos Selasa 15 Juni 2010).
Ini peningkatan prestasi. Tahun lalu, piagam. Tahun ini, trofi. Selangkah lagi, sekolah milik SVD ini jadi Sekolah Adywiyata Mandiri. Trofi emas. Diterima langsung dari presiden. Mimpi?
Bagi Syuradikara, ini bukan mimpi, tapi impian. Tidak mustahil diraih. Pertama, SVD sebagai pemilik punya komitmen menegakkan keutuhan ciptaan. Kedua, cinta lingkungan sudah mentradisi di Syuradikara. Ketiga, kepala sekolah saat ini Pater Kanis Bila SVD ‘pejuang’ lingkungan hidup. Keempat, di bawah kepemimpinannya, adywiyata diintegrasikan dalam kurikulum sekolah.
Jadi, Syuradikara sudah punya visi, misi, program, dan strategi jelas yang terwujud dalam portofolio. Adywiyata bukan sekadar improvisasi, apalagi keisengan kepala sekolah. Dengan portofolio, adywiyata tidak hanya mengubah lingkungan fisik-biologis sekolah, tapi membentuk mental-spiritual peserta didik.
Ini yang membedakan Syuradikara dari sekolah lain di NTT. Ini pula yang menyebabkan, dari NTT hanya Syuradikara yang meraih trofi. Pada banyak sekolah lain, urusan begini identik dengan minat kepala sekolah. Kalau dia pencinta lingkungan hidup, sekolah rindang-hijau. Begitu dia pergi, rindang-hijau ikut pergi. Betul-betul improvisasi.
Di Syuradikara tidak begitu. Adywiyata sudah di-portofolio-kan. Visi, misi, program, dan strateginya telah diintegrasikan dalam kurikulum sekolah. Maka, siapa pun kepala sekolah, adywiyata akan tetap dikembangkan. Adapun kepala sekolah saat ini ‘hanyalah’ penggebrak, perintis, pioner.
Apa yang dilakukan Syuradikara patut dijadikan model bagi sekolah lain. Kalau sekolah lain kurang tanggap, tugas pemerintahlah, dalam hal ini dinas pendidikan, memberi dorongan. Kenapa tidak, Syuradikara dijadikan model di Kabupaten Ende. Perlu didukung nyata dengan dana, dll. Setelah Gerakan Seribu Bunga, Syuradikara canangkan Tahun Sejuta Pohon. Melalui dinas kehutanan, pemkab bisa sumbangkan anakan pohon. Kenapa tidak.
Tidak hanya bagi sekolah lain. Bagi pemkab sedniri, Syuradikara bisa jadi model. Terutama kalau mau kota Ende dapat Adipura. Belajar dari Syuradikara jauh lebih mudah, murah, dan cepat ketimbang stuba ke kota lain yang banyak pura-puranya. Tim penilai datang, kota bersih. Tim penilai pulang, bersih hilang. Seperti di Maumere. Adipura diberikan ketika kota itu masih identik dengan sampah, babi keluar masuk toko, dll (Flores Pos Senin 14 Juni 2010).
Yang terjadi di Maumere dalam meraih piala Adipura berbeda dengan yang terjadi di Syuradikara dalam mendapat trofi Sekolah Adywiyata Nasional. Di Maumere, tim penilai pulang, kota kembali berserakan sampah. Di Syuradikara, tim penilai pulang, sekolah tetap ramah lingkungan. Ini menunjukkan apa?
Di Maumere, piala Adipura itu prestise. Di Syuradikara, trofi Sekolah Wiyata Nasional itu prestasi. Di Maumere, peduli lingkungan itu improvisasi. Di Syuradikara, peduli lingkungan itu konsistensi. Karena, visi, misi, program, dan strateginya telah jadi bagian integral kurikulum sekolah.
Tantangan bagi Pemkab Ende: bagaimana mengadopsi dan memodifikasi kurikulum sekolah Syuradikara menjadi kurikulum hidup masyarakat Ende, sehingga kota mereka laik Adipura. Sebagai prestasi! Bukan prestise!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 16 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
SMAK Syuradikara Ende raih trofi Sekolah Adywiyata Nasional. Ia satu dari 67 sekolah se-Indonesia, dan satu-satunya dari NTT. Trofi diterima kepala sekolah Pater Kanis Bhila SVD di Jakarta 7-8 Juni 2010 dari Menteri Lingkungan Hidup. Setiba di bandara Ende, trofi disambut pemkab, sebelum diarak keliling kota menuju sekolah (Flores Pos Selasa 15 Juni 2010).
Ini peningkatan prestasi. Tahun lalu, piagam. Tahun ini, trofi. Selangkah lagi, sekolah milik SVD ini jadi Sekolah Adywiyata Mandiri. Trofi emas. Diterima langsung dari presiden. Mimpi?
Bagi Syuradikara, ini bukan mimpi, tapi impian. Tidak mustahil diraih. Pertama, SVD sebagai pemilik punya komitmen menegakkan keutuhan ciptaan. Kedua, cinta lingkungan sudah mentradisi di Syuradikara. Ketiga, kepala sekolah saat ini Pater Kanis Bila SVD ‘pejuang’ lingkungan hidup. Keempat, di bawah kepemimpinannya, adywiyata diintegrasikan dalam kurikulum sekolah.
Jadi, Syuradikara sudah punya visi, misi, program, dan strategi jelas yang terwujud dalam portofolio. Adywiyata bukan sekadar improvisasi, apalagi keisengan kepala sekolah. Dengan portofolio, adywiyata tidak hanya mengubah lingkungan fisik-biologis sekolah, tapi membentuk mental-spiritual peserta didik.
Ini yang membedakan Syuradikara dari sekolah lain di NTT. Ini pula yang menyebabkan, dari NTT hanya Syuradikara yang meraih trofi. Pada banyak sekolah lain, urusan begini identik dengan minat kepala sekolah. Kalau dia pencinta lingkungan hidup, sekolah rindang-hijau. Begitu dia pergi, rindang-hijau ikut pergi. Betul-betul improvisasi.
Di Syuradikara tidak begitu. Adywiyata sudah di-portofolio-kan. Visi, misi, program, dan strateginya telah diintegrasikan dalam kurikulum sekolah. Maka, siapa pun kepala sekolah, adywiyata akan tetap dikembangkan. Adapun kepala sekolah saat ini ‘hanyalah’ penggebrak, perintis, pioner.
Apa yang dilakukan Syuradikara patut dijadikan model bagi sekolah lain. Kalau sekolah lain kurang tanggap, tugas pemerintahlah, dalam hal ini dinas pendidikan, memberi dorongan. Kenapa tidak, Syuradikara dijadikan model di Kabupaten Ende. Perlu didukung nyata dengan dana, dll. Setelah Gerakan Seribu Bunga, Syuradikara canangkan Tahun Sejuta Pohon. Melalui dinas kehutanan, pemkab bisa sumbangkan anakan pohon. Kenapa tidak.
Tidak hanya bagi sekolah lain. Bagi pemkab sedniri, Syuradikara bisa jadi model. Terutama kalau mau kota Ende dapat Adipura. Belajar dari Syuradikara jauh lebih mudah, murah, dan cepat ketimbang stuba ke kota lain yang banyak pura-puranya. Tim penilai datang, kota bersih. Tim penilai pulang, bersih hilang. Seperti di Maumere. Adipura diberikan ketika kota itu masih identik dengan sampah, babi keluar masuk toko, dll (Flores Pos Senin 14 Juni 2010).
Yang terjadi di Maumere dalam meraih piala Adipura berbeda dengan yang terjadi di Syuradikara dalam mendapat trofi Sekolah Adywiyata Nasional. Di Maumere, tim penilai pulang, kota kembali berserakan sampah. Di Syuradikara, tim penilai pulang, sekolah tetap ramah lingkungan. Ini menunjukkan apa?
Di Maumere, piala Adipura itu prestise. Di Syuradikara, trofi Sekolah Wiyata Nasional itu prestasi. Di Maumere, peduli lingkungan itu improvisasi. Di Syuradikara, peduli lingkungan itu konsistensi. Karena, visi, misi, program, dan strateginya telah jadi bagian integral kurikulum sekolah.
Tantangan bagi Pemkab Ende: bagaimana mengadopsi dan memodifikasi kurikulum sekolah Syuradikara menjadi kurikulum hidup masyarakat Ende, sehingga kota mereka laik Adipura. Sebagai prestasi! Bukan prestise!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 16 Juni 2010
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
pendidikan,
smak syradikara,
trofi sekolah adywiyata nasional
15 Juni 2010
Maumere, Kota Adipura-pura
Sekadar Prestise, Bukan Prestasi
Oleh Frans Anggal
Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, raih Adipura 2010. Trofi diserahkan langsung Presiden SBY kepada Bupati Sosimus Mitang di Jakarta 8 Juni. Kota lain di NTT: Kalabahi, Belu, dan Kota Kupang (Flores Pos Senin 14 Juni 2010).
Bagi kebanyakan bupati, ini kebanggan. Malah prestise. Bagi Bupati Sosi, lain. Ini kejutan. Ia kaget. Trofi ini diberikan ketika Maumere, beberapa tahun terakhir, identik dengan sampah, demam berdarah, dan aneka ‘penyakit kebersihan’.
“Saya bingung, kita dapat piala Adipura. Padahal, selama ini, terlihat babi keluar masuk toko. Sampah berserakan di mana-mana. Jangan tanya kepada saya kenapa Maumere dapat piala Adipura. Tanyakan ke pihak yang memberikan penghargaan ini,” katanya.
Kita juga kaget. Tidak hanya karena Maumere dapat Adipura, tapi juga karena bupatinya kaget. Lazimnya dan umumnya, bupati dan walikota pura-pura tidak kaget. Kepada publik, mereka pasti katakan kotanya pantas raih Adipura, berkat kerja keras kita semua (maksudnya: di bawah kepemimpinan saya).
Bupati dan walikota jenis ini memandang Adipura sekadar pristise. Gejalanya tampak dari yang dilakukan menjelang dan setelah proses penilaian. Mereka sibuk benah kota ketika proses penilaian berlangsung. Begitu proses itu lewat, kota kembali ke keadaan semula. Tim penilai terkecoh. Adipura pun datang.
Adipura jadi sekadar prestise, bukan prestasi. Maka, segala cara dihalalkan. Di kota Semarang, misalnya, pedagang kaki lima pada beberapa kawasan diminta tidak berjualan selama empat hari atau selama penilaian berlangsung, 31 Maret hingga 2 April 2010 (Kompas Senin 5 April 2010). Begitu masa penilaian berlalu, para pedagang “dipersilakan” berjualan lagi.
Di Maumere? Setali tiga uang, tentu. Pada hari-hari penilaian, kota rapi, bersih. Begitu masa penilaian habis, rapi dan bersih pun habis. Yang pura-pura berlalu, yang asli muncul. Babi keluar masuk toko. Sampah berserakan. Dalam kondisi asli inilah Adipura datang. Seandainya manusia, Adipura pasti sudah lari pulang ke Jakarta. Ia merasa dibohongi. Dijadikan Adipura-pura.
Kepura-puraan di Maumere, untungnya, diimbangi kejujuran Bupati Sosi. Ia tidak menutup kepura-puraan lama dengan kepura-puraan baru. Ia berterus terang. Adipura diberikan ketika Maumere masih identik dengan sampah, babi keluar masuk toko, demam berdarah, dll. Ini ‘kecelakaan’. Masuk akal kalau ia bilang, “Jangan tanya kepada saya kenapa Maumere dapat piala Adipura. Tanyakan ke pihak yang memberikan penghargaan ini.”
Selain jujur, Bupati Sosi cerdas. Dalam ‘kecelakaan’ ini, ia beri makna baru pada Adipura. Penghargaan ini harus jadi motivasi bagi warga kota. Dengan kata lain, Maumere dapat Adipura bukan ”karena” bersih dan teduh, tapi “supaya” bersih dan teduh. Jadi, tahun ini Maumere sabet Adipura-pura, agar tahun depan dan seterusnya raih Adipura.
‘Kecelakaan’ ini bisa terjadi pula di ibu kota kabupaten lain di Flores. Untuk mencegahnya, kejujuran Bupati Sosi perlu disampaikan kepada tim penilai yang terkecoh itu. Disertai pertanyaan kepada tim itu: metode penilaian macam apa yang Anda gunakan sehingga begitu mudahnya Anda dikibuli?
Setahu kita, program Adipura dimulai sejak 1986. Jadi, usianya sudah 24 tahun. Metodenya pasti sudah oke. Kalau metodenya sudah oke maka yang tidak oke tentu personel tim penilainya. Kita yakin, mereka tahu mereka dikibuli, tapi pura-pura tidak tahu. Maka, pertanyaan selanjutnya untuk mereka: berapa rupiah Anda dibayar untuk semua kepura-puraan ini?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 15 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, raih Adipura 2010. Trofi diserahkan langsung Presiden SBY kepada Bupati Sosimus Mitang di Jakarta 8 Juni. Kota lain di NTT: Kalabahi, Belu, dan Kota Kupang (Flores Pos Senin 14 Juni 2010).
Bagi kebanyakan bupati, ini kebanggan. Malah prestise. Bagi Bupati Sosi, lain. Ini kejutan. Ia kaget. Trofi ini diberikan ketika Maumere, beberapa tahun terakhir, identik dengan sampah, demam berdarah, dan aneka ‘penyakit kebersihan’.
“Saya bingung, kita dapat piala Adipura. Padahal, selama ini, terlihat babi keluar masuk toko. Sampah berserakan di mana-mana. Jangan tanya kepada saya kenapa Maumere dapat piala Adipura. Tanyakan ke pihak yang memberikan penghargaan ini,” katanya.
Kita juga kaget. Tidak hanya karena Maumere dapat Adipura, tapi juga karena bupatinya kaget. Lazimnya dan umumnya, bupati dan walikota pura-pura tidak kaget. Kepada publik, mereka pasti katakan kotanya pantas raih Adipura, berkat kerja keras kita semua (maksudnya: di bawah kepemimpinan saya).
Bupati dan walikota jenis ini memandang Adipura sekadar pristise. Gejalanya tampak dari yang dilakukan menjelang dan setelah proses penilaian. Mereka sibuk benah kota ketika proses penilaian berlangsung. Begitu proses itu lewat, kota kembali ke keadaan semula. Tim penilai terkecoh. Adipura pun datang.
Adipura jadi sekadar prestise, bukan prestasi. Maka, segala cara dihalalkan. Di kota Semarang, misalnya, pedagang kaki lima pada beberapa kawasan diminta tidak berjualan selama empat hari atau selama penilaian berlangsung, 31 Maret hingga 2 April 2010 (Kompas Senin 5 April 2010). Begitu masa penilaian berlalu, para pedagang “dipersilakan” berjualan lagi.
Di Maumere? Setali tiga uang, tentu. Pada hari-hari penilaian, kota rapi, bersih. Begitu masa penilaian habis, rapi dan bersih pun habis. Yang pura-pura berlalu, yang asli muncul. Babi keluar masuk toko. Sampah berserakan. Dalam kondisi asli inilah Adipura datang. Seandainya manusia, Adipura pasti sudah lari pulang ke Jakarta. Ia merasa dibohongi. Dijadikan Adipura-pura.
Kepura-puraan di Maumere, untungnya, diimbangi kejujuran Bupati Sosi. Ia tidak menutup kepura-puraan lama dengan kepura-puraan baru. Ia berterus terang. Adipura diberikan ketika Maumere masih identik dengan sampah, babi keluar masuk toko, demam berdarah, dll. Ini ‘kecelakaan’. Masuk akal kalau ia bilang, “Jangan tanya kepada saya kenapa Maumere dapat piala Adipura. Tanyakan ke pihak yang memberikan penghargaan ini.”
Selain jujur, Bupati Sosi cerdas. Dalam ‘kecelakaan’ ini, ia beri makna baru pada Adipura. Penghargaan ini harus jadi motivasi bagi warga kota. Dengan kata lain, Maumere dapat Adipura bukan ”karena” bersih dan teduh, tapi “supaya” bersih dan teduh. Jadi, tahun ini Maumere sabet Adipura-pura, agar tahun depan dan seterusnya raih Adipura.
‘Kecelakaan’ ini bisa terjadi pula di ibu kota kabupaten lain di Flores. Untuk mencegahnya, kejujuran Bupati Sosi perlu disampaikan kepada tim penilai yang terkecoh itu. Disertai pertanyaan kepada tim itu: metode penilaian macam apa yang Anda gunakan sehingga begitu mudahnya Anda dikibuli?
Setahu kita, program Adipura dimulai sejak 1986. Jadi, usianya sudah 24 tahun. Metodenya pasti sudah oke. Kalau metodenya sudah oke maka yang tidak oke tentu personel tim penilainya. Kita yakin, mereka tahu mereka dikibuli, tapi pura-pura tidak tahu. Maka, pertanyaan selanjutnya untuk mereka: berapa rupiah Anda dibayar untuk semua kepura-puraan ini?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 15 Juni 2010
14 Juni 2010
Memilih Paket NO BODY
Pemilukada dan Fenomena Golput
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 14 ribu lebih tidak ikut memilih pada pemilukada Mabar 3 Juni 2010. Total hak pilih 127.384. Yang gunakan hak 112.842 atau 88,60 persen. Yang tidak gunakan hak 14.542 atau 11,40 persen. Mereka tidak menggunakan hak pilih dengan berbagai alasan (Flores Pos Sabtu 12 Juni 2010).
Secara nominal, jumlah itu kecil. Cuma 11,40 persen. Tapi, coba sandingkan dengan persentase perolehan suara kedelapan paket kontestan. Taruhlah, yang tidak ikut memilih itu dianggap sebagai ‘kontestan’ juga---kita namakan saja paket NO BODY---maka ia termasuk lima besar! Di urutan keempat, setelah GUSTI, FIVA, DAMAI, dan jauh di atas MASHUR, YES, PALMA, PANJI, SAR.
Dengan kelipatan tiga, perolehan suara NO BODY sudah bisa mengalahkan GUSTI. Artinya, yang keluar sebagai ‘pemenang’ pemilukada adalah NO BODY, alias golput. Dengan demikian, pemenang versi KPU tidak benar-benar menang, karena dipilih oleh sedikit suara. Bayangkan, pemimpin yang dipilih minoritas itu harus memimpin mayoritas. Legalitasnya kukuh. Namun kegitimasinya goyah.
Legitimasi itu semakin goyah manakala konstituen ‘memilih’ NO BODY karena merosotnya penghargaan dan kepercayaan terhadap pemilukada. Sayang, tentang motif tidak memilih, berita tadi kurang informatif dan hanya mengabur: “Mereka tidak menggunakan hak pilih dengan berbagai alasan.”
Apa persisnya “berbagai alasan” itu? Kalau itu hanya alasan teknis, kita tak perlu terlalu khawatir. Masalah teknis, diselesaikan secara teknis, titik. Mengatasinya mudah, minimal untuk pemilukada berikut. Tidak demikian kalau alasannya non-teknis. Terutama jika alasannya: orang tidak berminat lagi pada pemilukada. Terlebih lagi kalau itu disebabkan oleh hilangnya penghargaan dan kepercayaan terhadap pemilukada.
Ini mengkhawatirkan. Sebab, itu sama dengan tidak menghargai dan tidak mempercayai demokrasi yang sedang dibangun. Secara praktis, ini bisa dimengerti. Dari endapan pangalaman, masyarakat tiba pada simpulan: siapa pun pemimpin terpilih, ujungnya sama saja. KKN jalan terus. Cuma wajahnya yang baru. Mentalitasnya tetap yang lama. Maka, buat apa ikut memilih?
Secara teoritis, juga bisa dimengerti, sebagaimana anutan “politik kiri”. Bahwa, demokrasi mengandung “ketakcukupan” sebagai sarana bagi perubahan radikal. Malah sebaliknya. Mengandung tendensi oligarki. Sebab, prosedur teknis elektoral (koalisi, electoral treshold) memungkinkan transaksi politik status quo. Demokrasi seakan hanya kedaulatan partai, bukan kedaulatan rakyat.
Tantangan kita: memulihkan penghargaan dan kepercayaan terhadap demokrasi, termasuk terhadap pemilukada. Secara teoritis, tidak sulit. Argumentasi “politik kiri” bisa dipatahkan, sebagaimana tanggapan filosof Rocky Gerung atas pidato ilmiah Goenawan Mohamad, Demokrasi dan Disilusi, dalam Nurcholish Madjid Memorial Lecture II, Jakarta 23 Oktober 2008.
Menurutnya, demokrasi memang bukan ideal "terbaik" pengaturan politik, tetapi yang "termungkin" untuk menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warganegara. Dengan jaminan itu, terbuka peluang bagi sirkulasi elite dan perubahan susunan politik. Artinya, kendati bertendensi oligarki, hanya demokrasilah yang memungkinkan koreksi politik secara sistemik.
Kalau teoritis itu tidak sulit, tidak demikian secara praktis. Masyarakat luas hanya melihat sejauh mana teori atau ajaran yang benar (ortodoksi) menyata dalam praktik yang benar (ortopraksi). Semakin jauh praktik dari teori, semakin hilang penghargaan dan kepercayaan terhadap demokrasi. Pemilukada pun tidak diminati. Orang lebih suka ‘memilih’ paket NO BODY. Golput.
“Bentara” FLORES POS, Senin 14 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 14 ribu lebih tidak ikut memilih pada pemilukada Mabar 3 Juni 2010. Total hak pilih 127.384. Yang gunakan hak 112.842 atau 88,60 persen. Yang tidak gunakan hak 14.542 atau 11,40 persen. Mereka tidak menggunakan hak pilih dengan berbagai alasan (Flores Pos Sabtu 12 Juni 2010).
Secara nominal, jumlah itu kecil. Cuma 11,40 persen. Tapi, coba sandingkan dengan persentase perolehan suara kedelapan paket kontestan. Taruhlah, yang tidak ikut memilih itu dianggap sebagai ‘kontestan’ juga---kita namakan saja paket NO BODY---maka ia termasuk lima besar! Di urutan keempat, setelah GUSTI, FIVA, DAMAI, dan jauh di atas MASHUR, YES, PALMA, PANJI, SAR.
Dengan kelipatan tiga, perolehan suara NO BODY sudah bisa mengalahkan GUSTI. Artinya, yang keluar sebagai ‘pemenang’ pemilukada adalah NO BODY, alias golput. Dengan demikian, pemenang versi KPU tidak benar-benar menang, karena dipilih oleh sedikit suara. Bayangkan, pemimpin yang dipilih minoritas itu harus memimpin mayoritas. Legalitasnya kukuh. Namun kegitimasinya goyah.
Legitimasi itu semakin goyah manakala konstituen ‘memilih’ NO BODY karena merosotnya penghargaan dan kepercayaan terhadap pemilukada. Sayang, tentang motif tidak memilih, berita tadi kurang informatif dan hanya mengabur: “Mereka tidak menggunakan hak pilih dengan berbagai alasan.”
Apa persisnya “berbagai alasan” itu? Kalau itu hanya alasan teknis, kita tak perlu terlalu khawatir. Masalah teknis, diselesaikan secara teknis, titik. Mengatasinya mudah, minimal untuk pemilukada berikut. Tidak demikian kalau alasannya non-teknis. Terutama jika alasannya: orang tidak berminat lagi pada pemilukada. Terlebih lagi kalau itu disebabkan oleh hilangnya penghargaan dan kepercayaan terhadap pemilukada.
Ini mengkhawatirkan. Sebab, itu sama dengan tidak menghargai dan tidak mempercayai demokrasi yang sedang dibangun. Secara praktis, ini bisa dimengerti. Dari endapan pangalaman, masyarakat tiba pada simpulan: siapa pun pemimpin terpilih, ujungnya sama saja. KKN jalan terus. Cuma wajahnya yang baru. Mentalitasnya tetap yang lama. Maka, buat apa ikut memilih?
Secara teoritis, juga bisa dimengerti, sebagaimana anutan “politik kiri”. Bahwa, demokrasi mengandung “ketakcukupan” sebagai sarana bagi perubahan radikal. Malah sebaliknya. Mengandung tendensi oligarki. Sebab, prosedur teknis elektoral (koalisi, electoral treshold) memungkinkan transaksi politik status quo. Demokrasi seakan hanya kedaulatan partai, bukan kedaulatan rakyat.
Tantangan kita: memulihkan penghargaan dan kepercayaan terhadap demokrasi, termasuk terhadap pemilukada. Secara teoritis, tidak sulit. Argumentasi “politik kiri” bisa dipatahkan, sebagaimana tanggapan filosof Rocky Gerung atas pidato ilmiah Goenawan Mohamad, Demokrasi dan Disilusi, dalam Nurcholish Madjid Memorial Lecture II, Jakarta 23 Oktober 2008.
Menurutnya, demokrasi memang bukan ideal "terbaik" pengaturan politik, tetapi yang "termungkin" untuk menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warganegara. Dengan jaminan itu, terbuka peluang bagi sirkulasi elite dan perubahan susunan politik. Artinya, kendati bertendensi oligarki, hanya demokrasilah yang memungkinkan koreksi politik secara sistemik.
Kalau teoritis itu tidak sulit, tidak demikian secara praktis. Masyarakat luas hanya melihat sejauh mana teori atau ajaran yang benar (ortodoksi) menyata dalam praktik yang benar (ortopraksi). Semakin jauh praktik dari teori, semakin hilang penghargaan dan kepercayaan terhadap demokrasi. Pemilukada pun tidak diminati. Orang lebih suka ‘memilih’ paket NO BODY. Golput.
“Bentara” FLORES POS, Senin 14 Juni 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
golput,
manggarai barat,
pemilukada mabar 2010,
politik
11 Juni 2010
Pemilukada Ngada: Hebat!
Jujur, Adil, Transparan, Aman, Lancar
Oleh Frans Anggal
Seandainya ada piagam atau trofi pemilukada 2010, Ngada pantas menerimanya. Pemilukada di kabupaten ini relatif jujur, adil, transparan, aman, lancar, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral. Bahwa tetap ada kerikil di sana sini, ya, tak ada gading yang tak retak. Retakannya pun tidak menganga dan tidak menyeluruh. Tidak menyirnakan pesona gading.
Ini keberhasilan, kata Ketua KPU Arnold Keli Nani. Keberhasilan seluruh masyarakat Ngada. Bukan keberhasilan penyelenggara saja. Karena itu, ia berterima kasih kepada semua pihak yang telah mengambil bagian dalam keberhasilan hajatan lima tahunan ini (Flores Pos Jumat 11 Juni 2010).
Dibandingkan dengan pemilukada Flotim, Mabar, dan Manggarai, pemilukada Ngada paling lancar dan paling aman. Pemilukada Flotim mentok pada penetapan nomor urut paket. KPU-nya sedang diproses secara hukum dan kode etik. Pemilukada Mabar diwarnai pleno kisruh dan desingan peluru karet. Pemilukada Manggarai ditandai bom molotov di KPU dan demo berhari-hari mendesak penghitungan suara dihentikan.
Kecuali di Flotim, pemilukada di Ngada, Mabar, dan Manggarai punya kesamaan. Sama-sama hanya satu putaran. Dampak finansialnya: sama-sama menghemat anggaran. Kualifikasi kemenangannya: sama-sama meyakinkan. Betapa tidak, yang bertarung itu 8-9 paket.
Namun, ada bedanya juga. Dalam persentase perolehan suara, paket MULUS di Ngada tetap yang teratas. Kalahkan 7 paket, ia sabet 43,83 persen suara. CREDO di Manggarai beberapa digit di bawah itu: menang dengan 35,54 persen atas 8 paket. GUSTI di Mabar di bawah itu lagi: unggul dengan 31,15 persen atas 7 paket.
Satu keistimewaan. Bupati pemenang pilkada di Ngada bukan incumbent. Bukan pula birokrat. Marianus Sae, yang berpasangan dengan Paulus Soliwoa (MULUS) itu, adalah pengusaha. Sedangkan di Mabar, pemenangnya wabup saat ini, Agustinus Ch Dula, berpasangan dengan Maximus Gasa (GUSTI). Di Manggarai, pemenangnya bupati-wabup yang sedang berkuasa, Christian Rotok dan Kamilus Deno (CREDO).
Dalam hal keistimewaan lain, hanya CREDO di Manggarai yang ’menyaingi’ MULUS di Ngada. CREDO itu kompak. Setelah menakhodai Manggarai periode pertama, CREDO kembali maju untuk periode kedua, dan menang. Sedangkan di kabupaten lain, incumbent pecah kongsi. Di Ngada, Bupati Piet Nuwa Wea maju, Wabup Niko Dopo tidak, dan kalah. Di Mabar, Bupati Fidelis Pranda dan Wabup Agus Dula maju tapi sendiri-sendiri. Wabupnya menang, bupatinya kalah. Di Flotim, sama dengan di Mabar. Bupati Simon Hayon dan Wabup Yoseph Lagadoni Herin maju sendiri-sendiri. Hasilnya belum, karena pemilukadanya kandas.
Meski sama istimewanya dengan CREDO dalam hal yang berbeda, MULUS tetap di atas. MULUS bermain bagus. Padahal ia klub baru. Tapi mainnya sudah seperti PSN Ngada. Ulet, agresif, taktis, dan sportif. Didukung wasit yang tidak mudah disogok, pertandingan pun jadi indah. Yang menang, menang tanpa menjegal. Yang kalah, kalah secara terhormat. Pemilukada Ngada memang hebat!
Kualifikasi ini tidak dimiliki CREDO di Manggarai. Dukungan suporternya besar, sayang permainannya buruk. Koalisi 8 paket demo berhari-hari mendesak penghitungan suara dihentikan. Pemilukada penuh pelanggaran. Semuanya mengarah ke CREDO dan KPU, sang wasit yang dinilai berat sebelah.
Ini yang kita sayangkan. Seandainya pemilukada di Manggarai itu fair, CREDO pasti tetap menang meyakinkan. Dengan demikian, ia dicatat dengan tinta emas, seperti MULUS di Ngada dan pemilukadanya yang hebat.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 12 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
Seandainya ada piagam atau trofi pemilukada 2010, Ngada pantas menerimanya. Pemilukada di kabupaten ini relatif jujur, adil, transparan, aman, lancar, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral. Bahwa tetap ada kerikil di sana sini, ya, tak ada gading yang tak retak. Retakannya pun tidak menganga dan tidak menyeluruh. Tidak menyirnakan pesona gading.
Ini keberhasilan, kata Ketua KPU Arnold Keli Nani. Keberhasilan seluruh masyarakat Ngada. Bukan keberhasilan penyelenggara saja. Karena itu, ia berterima kasih kepada semua pihak yang telah mengambil bagian dalam keberhasilan hajatan lima tahunan ini (Flores Pos Jumat 11 Juni 2010).
Dibandingkan dengan pemilukada Flotim, Mabar, dan Manggarai, pemilukada Ngada paling lancar dan paling aman. Pemilukada Flotim mentok pada penetapan nomor urut paket. KPU-nya sedang diproses secara hukum dan kode etik. Pemilukada Mabar diwarnai pleno kisruh dan desingan peluru karet. Pemilukada Manggarai ditandai bom molotov di KPU dan demo berhari-hari mendesak penghitungan suara dihentikan.
Kecuali di Flotim, pemilukada di Ngada, Mabar, dan Manggarai punya kesamaan. Sama-sama hanya satu putaran. Dampak finansialnya: sama-sama menghemat anggaran. Kualifikasi kemenangannya: sama-sama meyakinkan. Betapa tidak, yang bertarung itu 8-9 paket.
Namun, ada bedanya juga. Dalam persentase perolehan suara, paket MULUS di Ngada tetap yang teratas. Kalahkan 7 paket, ia sabet 43,83 persen suara. CREDO di Manggarai beberapa digit di bawah itu: menang dengan 35,54 persen atas 8 paket. GUSTI di Mabar di bawah itu lagi: unggul dengan 31,15 persen atas 7 paket.
Satu keistimewaan. Bupati pemenang pilkada di Ngada bukan incumbent. Bukan pula birokrat. Marianus Sae, yang berpasangan dengan Paulus Soliwoa (MULUS) itu, adalah pengusaha. Sedangkan di Mabar, pemenangnya wabup saat ini, Agustinus Ch Dula, berpasangan dengan Maximus Gasa (GUSTI). Di Manggarai, pemenangnya bupati-wabup yang sedang berkuasa, Christian Rotok dan Kamilus Deno (CREDO).
Dalam hal keistimewaan lain, hanya CREDO di Manggarai yang ’menyaingi’ MULUS di Ngada. CREDO itu kompak. Setelah menakhodai Manggarai periode pertama, CREDO kembali maju untuk periode kedua, dan menang. Sedangkan di kabupaten lain, incumbent pecah kongsi. Di Ngada, Bupati Piet Nuwa Wea maju, Wabup Niko Dopo tidak, dan kalah. Di Mabar, Bupati Fidelis Pranda dan Wabup Agus Dula maju tapi sendiri-sendiri. Wabupnya menang, bupatinya kalah. Di Flotim, sama dengan di Mabar. Bupati Simon Hayon dan Wabup Yoseph Lagadoni Herin maju sendiri-sendiri. Hasilnya belum, karena pemilukadanya kandas.
Meski sama istimewanya dengan CREDO dalam hal yang berbeda, MULUS tetap di atas. MULUS bermain bagus. Padahal ia klub baru. Tapi mainnya sudah seperti PSN Ngada. Ulet, agresif, taktis, dan sportif. Didukung wasit yang tidak mudah disogok, pertandingan pun jadi indah. Yang menang, menang tanpa menjegal. Yang kalah, kalah secara terhormat. Pemilukada Ngada memang hebat!
Kualifikasi ini tidak dimiliki CREDO di Manggarai. Dukungan suporternya besar, sayang permainannya buruk. Koalisi 8 paket demo berhari-hari mendesak penghitungan suara dihentikan. Pemilukada penuh pelanggaran. Semuanya mengarah ke CREDO dan KPU, sang wasit yang dinilai berat sebelah.
Ini yang kita sayangkan. Seandainya pemilukada di Manggarai itu fair, CREDO pasti tetap menang meyakinkan. Dengan demikian, ia dicatat dengan tinta emas, seperti MULUS di Ngada dan pemilukadanya yang hebat.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 12 Juni 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
flotim,
mabar,
manggarai,
marianus sae,
ngada,
pemilukada 2010,
politik
Reformasi Birokrasi Ende?
Wajah Baru, Mentalitas Lama
Oleh Frans Anggal
Jangan kira hanya di Nagekeo ada bupati kecil. Di Ende juga ada. Fenomenanya terekam, antara lain, lewat respon publik via SMS terhadap ”Bentara” Flores Pos. Pertama, respon terhadap ”Kadis PPO Ende Keliru” (Bentara Flores Pos Rabu 9 Juni 2010). Kedua, respon terhadap ”Bupati Kecil di Nagekeo” (Bentara Flores Pos Kamis 10 Juni 2010).
Dari seorang guru: ”Kalo boleh senggol lagi (tentang) sertifikasi guru yang tidak ada ujungnya (soal) pembayaran tunjangan. Kabupaten lain 3 bulan (sudah dibayar), sedangkan Ende alasan apa sampe setahun baru (di)bayar? Itu pun belum pasti. Ke mana uang segitu banyak?”
Dari seorang pegawai pemkab. Tentang gaji tenaga honorer yang sudah lulus CPNSD Januari dan SK-nya diterima April. ”Gaji honorer mereka sudah tidak dibayar sejak Januari. Ke mana gaji mereka 3 bulan itu? Mereka tetap kerja tanpa dibayar oleh pemda? Begitu pula dengan guru-guru kontrak. Tiga bulan tanpa gaji, banyak keluhan, tapi dicuekin sama dinas terkait dan BKD.”
Ini ketidakberesan birokrasi. Dalam pemerintahan Bupati Don Wangge dan Wabup Achmad Mochdar, kasus seperti ini harus dipandang sebagai kejutan besar. Kenapa? Karena, ternyata, jauh panggang dari api. Jauh kenyataan dari harapan. Apa harapan itu? Reformasi birokrasi.
Harapan itu tidak lahir tiba-tiba. Tidak pula hanya karena dibutuhkan oleh masyarakat. Tapi juga dan terutama karena dijanjikan oleh Wangge-Mochdar, baik pada masa kampanye pilkada maupun saat keduanya dilantik jadi bupati-wabup. Pemenuhan janji itu? Jangan tanya pada pemberi janji. Tanyakan pada penerima. Masyarakat dan pegawai-pegawai kecil. Kenapa?
Sebab, Wangge-Mochdar sudah patok tolok ukur. Kepuasan masyarakat, kunci keberhasilan birokrasi. Masyarakat puas, birokrasi sukses. Sebaliknya, masyarakat kecewa, birokrasi gagal. Dalam kasus di atas, guru dan pegawai kecil pemkab itu justru kecewa. Kecewa dengan pelayanan birokrasi.
Kunci pelayanan publik ada tiga. Cepat, mudah, murah. Yang terjadi? Sebaliknya. Dari dulu sampai sekarang. Kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat. Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah. Kalau bisa dibikin mahal, kenapa harus dibuat murah. Inilah yang menimpa orang-orang kecil.
Selain tidak cepat, tidak mudah, dan tidak murah, pelayanan itu pun tidak pasti. Soal sertifikasi, pembayaran tunjangan, dan honor, para guru meraba dalam kegelapan. Soal gaji tiga bulan tidak terbayar, para pegawai kecil pemkab hampir putus asa, karena keluhannya dicuekin atasan. Ini birokrasi macam apa?
Salah satu asumsi umum tentang birokrasi adalah sifat-dapat-diramalkan. Orang menganggap birokasi akan berjalan dengan tata langkah tetap tertentu. Tata langkah itu diketahui dan dengan demikian dapat diramalkan. Yang terjadi di atas, sebaliknya. Tidak dapat diramalkan. Tidak jelas juntrungannya. Ini menunjukkan apa? Sifat ’kesemauan’ (arbitrer) pada petinggi birokrasi masih dominan. Suka-sukanya mereka. Mereka adalah bupati-bupati kecil.
Banyaknya bupati kecil itu menunjukkan, birokrasi Pemkab Ende belum berubah signifikan. Reformasinya masih sekadar harapan masyarakat. Masih sekadar janji Wangge-Mochdar. Cuma wajahnya yang berubah, mentalitasnya tetap sama. Masih seperti dulu. Mungkin juga ingin kembali ke yang dulu, yang usang. Maka, itu bukan lagi reformasi birokrasi. Tapi, restorasi birokrasi.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 11 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
Jangan kira hanya di Nagekeo ada bupati kecil. Di Ende juga ada. Fenomenanya terekam, antara lain, lewat respon publik via SMS terhadap ”Bentara” Flores Pos. Pertama, respon terhadap ”Kadis PPO Ende Keliru” (Bentara Flores Pos Rabu 9 Juni 2010). Kedua, respon terhadap ”Bupati Kecil di Nagekeo” (Bentara Flores Pos Kamis 10 Juni 2010).
Dari seorang guru: ”Kalo boleh senggol lagi (tentang) sertifikasi guru yang tidak ada ujungnya (soal) pembayaran tunjangan. Kabupaten lain 3 bulan (sudah dibayar), sedangkan Ende alasan apa sampe setahun baru (di)bayar? Itu pun belum pasti. Ke mana uang segitu banyak?”
Dari seorang pegawai pemkab. Tentang gaji tenaga honorer yang sudah lulus CPNSD Januari dan SK-nya diterima April. ”Gaji honorer mereka sudah tidak dibayar sejak Januari. Ke mana gaji mereka 3 bulan itu? Mereka tetap kerja tanpa dibayar oleh pemda? Begitu pula dengan guru-guru kontrak. Tiga bulan tanpa gaji, banyak keluhan, tapi dicuekin sama dinas terkait dan BKD.”
Ini ketidakberesan birokrasi. Dalam pemerintahan Bupati Don Wangge dan Wabup Achmad Mochdar, kasus seperti ini harus dipandang sebagai kejutan besar. Kenapa? Karena, ternyata, jauh panggang dari api. Jauh kenyataan dari harapan. Apa harapan itu? Reformasi birokrasi.
Harapan itu tidak lahir tiba-tiba. Tidak pula hanya karena dibutuhkan oleh masyarakat. Tapi juga dan terutama karena dijanjikan oleh Wangge-Mochdar, baik pada masa kampanye pilkada maupun saat keduanya dilantik jadi bupati-wabup. Pemenuhan janji itu? Jangan tanya pada pemberi janji. Tanyakan pada penerima. Masyarakat dan pegawai-pegawai kecil. Kenapa?
Sebab, Wangge-Mochdar sudah patok tolok ukur. Kepuasan masyarakat, kunci keberhasilan birokrasi. Masyarakat puas, birokrasi sukses. Sebaliknya, masyarakat kecewa, birokrasi gagal. Dalam kasus di atas, guru dan pegawai kecil pemkab itu justru kecewa. Kecewa dengan pelayanan birokrasi.
Kunci pelayanan publik ada tiga. Cepat, mudah, murah. Yang terjadi? Sebaliknya. Dari dulu sampai sekarang. Kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat. Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah. Kalau bisa dibikin mahal, kenapa harus dibuat murah. Inilah yang menimpa orang-orang kecil.
Selain tidak cepat, tidak mudah, dan tidak murah, pelayanan itu pun tidak pasti. Soal sertifikasi, pembayaran tunjangan, dan honor, para guru meraba dalam kegelapan. Soal gaji tiga bulan tidak terbayar, para pegawai kecil pemkab hampir putus asa, karena keluhannya dicuekin atasan. Ini birokrasi macam apa?
Salah satu asumsi umum tentang birokrasi adalah sifat-dapat-diramalkan. Orang menganggap birokasi akan berjalan dengan tata langkah tetap tertentu. Tata langkah itu diketahui dan dengan demikian dapat diramalkan. Yang terjadi di atas, sebaliknya. Tidak dapat diramalkan. Tidak jelas juntrungannya. Ini menunjukkan apa? Sifat ’kesemauan’ (arbitrer) pada petinggi birokrasi masih dominan. Suka-sukanya mereka. Mereka adalah bupati-bupati kecil.
Banyaknya bupati kecil itu menunjukkan, birokrasi Pemkab Ende belum berubah signifikan. Reformasinya masih sekadar harapan masyarakat. Masih sekadar janji Wangge-Mochdar. Cuma wajahnya yang berubah, mentalitasnya tetap sama. Masih seperti dulu. Mungkin juga ingin kembali ke yang dulu, yang usang. Maka, itu bukan lagi reformasi birokrasi. Tapi, restorasi birokrasi.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 11 Juni 2010
Label:
bentara,
birokrasi,
bupati don wangge,
ende,
flores,
flores pos,
kasus sertifikasi guru,
kasus tenaga honorer,
pelayanan birokrasi,
politik,
wabup achmad mochdar
Bupati Kecil di Nagekeo
Kasus Tenaga Harian Lepas
Oleh Frans Anggal
Di Kabupaten Nagekeo. Diam-diam, para kepala dinas merekrut tenaga harian lepas. Tanpa sepengetahuan bupati. Padahal, bupati itu kepala pemerintahan. Tanpa sepengetahuan badan kepegawaian daerah (BKD). Padahal, BKD itu penganggar gaji. Bupati Nani Aoh begitu kesal. ”Pengangkatan THL itu jangan semaumu, tapi harus sepengetahuan BKD,” katanya kepada para kadis pada apel kesadaran Senin 7 Juni 2010. ”Kalau DPRD tanya nanti, kamu sendiri yang jawab” (Flores Pos Rabu 9 Juni 2010).
Kekesalan Bupati Aoh tidak hanya karena itu. Selain seenak perut mengangkat THL, para kadis juga seenak perut memberhentikan THL yang sudah lulus CPNSD. ”Memberhentikan THL yang lulus testing CPNSD itu salah, karena terkait erat dengan APBD,” kata bupati.
Maksud bupati: pemberhentian THL yang lulus CPNSD baru dibolehkan kalau yang bersangkutan sudah mendapat SK pengangkatan dan SK penempatan dari bupati. Selagi SK itu belum ada, THL tetap THL dan digaji sebagai THL, karena nama mereka masih ada dalam dokumen perencanaan anggaran (DPA).
Nagekeo. Daerah otonom baru. Mekaran dari kabupaten induk Ngada. Kelahirannya dipersiapkan lama. Bahkan matang. Tidak tanggung-tanggung, pakai seminar, menghadirkan 20-an pakar berbagai bidang, hingga menghasilkan buku Rancang Bangun Nagekeo. Yang begini tidak ada di daerah otonom baru lain di Flores, bahkan di NTT, mungkin juga jarang di Indonesia.
Ke mana larinya semua visi, misi, strategi, konsep, gagasan, kritik, dan saran dalam Rancang Bangun Nagekeo? Jawabannya: tidak ke mana-mana. Tetap dalam buku itu. Dan berhenti dalam buku itu. Alurnya ringkas: habis seminar, terbitlah buku. Habis terbit, habislah semuanya. Kenapa? Ini yang tidak kita tahu.
Boleh jadi, buku itu yang salah. Mungkin cuma omong yang besar-besar. Lupa akan detail. Lupa, misalnya, memberikan pedoman bagaimana mengangkat dan memberhentikan THL. Tapi, perlukah buku grand design alias GBHN-nya Nagekeo itu memuat tetek bengek kebirokrasian yang baku dan umum? Tentu tidak. Kalau begitu, buku itu tidak salah.
Lalu, siapa yang salah? Para kadis. Seenak perut mengangkat dan memberhentikan THL. Tanpa sepengetahuan bupati dan BKD. Seolah-olah pemerintah Negekeo tidak punya struktur, sistem, mekanisme, dan budaya birokrasi, yang lazimnya tersketsa pada organigram, yang hubungan antar-komponennya ditandai garis komando, garis konsultasi, dan garis koordinasi. Ini elementer pada semua organisasi. Menafikan garis itu pelanggaran organisatoris serius, bukan sekadar kesalahan teknis.
Sebagai pejabat eselon dua dan orang pilihan bupati-wabup, para kadis tahu seluk-beluk itu. Sudah jadi ’makan minum’ tiap hari. Lagipula, salah satu pengertian umum tentang birokrasi adalah pengertian tentang tata langkah atau prosedur yang layak. Birokrasi dianggap berjalan menurut aturan dan tata urut rasional. Ini semua diketahui atau pada prinsipnya dapat diketahui.
Jadi, tidak mungkin para kadis tidak tahu. Yang terjadi: mereka tau, tapi tidak mau tau. Ini gejala apa? Gejala permen karet (bubble gum phenomenon). Gejala penggelembungan diri. Merasa, menganggap, menempatkan, dan memperlakukan diri besar, sedemikian hingga sejajar dengan bupati dan, karena itu, lebih tinggi dari kepala BKD. Istilah populernya: fenomena bupati kecil.
Kalau sampai banyak bupati kecil di bawah bupati besar, ini salah siapa? Salah bupati besar dan wabupnya. Salah pilih dan salah asuh para kadis. Mungkin juga karena bupati-wabup terlalu ’baik’. Terlalu ’baik’ itu kan tidak baik lagi, bukan?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 10 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
Di Kabupaten Nagekeo. Diam-diam, para kepala dinas merekrut tenaga harian lepas. Tanpa sepengetahuan bupati. Padahal, bupati itu kepala pemerintahan. Tanpa sepengetahuan badan kepegawaian daerah (BKD). Padahal, BKD itu penganggar gaji. Bupati Nani Aoh begitu kesal. ”Pengangkatan THL itu jangan semaumu, tapi harus sepengetahuan BKD,” katanya kepada para kadis pada apel kesadaran Senin 7 Juni 2010. ”Kalau DPRD tanya nanti, kamu sendiri yang jawab” (Flores Pos Rabu 9 Juni 2010).
Kekesalan Bupati Aoh tidak hanya karena itu. Selain seenak perut mengangkat THL, para kadis juga seenak perut memberhentikan THL yang sudah lulus CPNSD. ”Memberhentikan THL yang lulus testing CPNSD itu salah, karena terkait erat dengan APBD,” kata bupati.
Maksud bupati: pemberhentian THL yang lulus CPNSD baru dibolehkan kalau yang bersangkutan sudah mendapat SK pengangkatan dan SK penempatan dari bupati. Selagi SK itu belum ada, THL tetap THL dan digaji sebagai THL, karena nama mereka masih ada dalam dokumen perencanaan anggaran (DPA).
Nagekeo. Daerah otonom baru. Mekaran dari kabupaten induk Ngada. Kelahirannya dipersiapkan lama. Bahkan matang. Tidak tanggung-tanggung, pakai seminar, menghadirkan 20-an pakar berbagai bidang, hingga menghasilkan buku Rancang Bangun Nagekeo. Yang begini tidak ada di daerah otonom baru lain di Flores, bahkan di NTT, mungkin juga jarang di Indonesia.
Ke mana larinya semua visi, misi, strategi, konsep, gagasan, kritik, dan saran dalam Rancang Bangun Nagekeo? Jawabannya: tidak ke mana-mana. Tetap dalam buku itu. Dan berhenti dalam buku itu. Alurnya ringkas: habis seminar, terbitlah buku. Habis terbit, habislah semuanya. Kenapa? Ini yang tidak kita tahu.
Boleh jadi, buku itu yang salah. Mungkin cuma omong yang besar-besar. Lupa akan detail. Lupa, misalnya, memberikan pedoman bagaimana mengangkat dan memberhentikan THL. Tapi, perlukah buku grand design alias GBHN-nya Nagekeo itu memuat tetek bengek kebirokrasian yang baku dan umum? Tentu tidak. Kalau begitu, buku itu tidak salah.
Lalu, siapa yang salah? Para kadis. Seenak perut mengangkat dan memberhentikan THL. Tanpa sepengetahuan bupati dan BKD. Seolah-olah pemerintah Negekeo tidak punya struktur, sistem, mekanisme, dan budaya birokrasi, yang lazimnya tersketsa pada organigram, yang hubungan antar-komponennya ditandai garis komando, garis konsultasi, dan garis koordinasi. Ini elementer pada semua organisasi. Menafikan garis itu pelanggaran organisatoris serius, bukan sekadar kesalahan teknis.
Sebagai pejabat eselon dua dan orang pilihan bupati-wabup, para kadis tahu seluk-beluk itu. Sudah jadi ’makan minum’ tiap hari. Lagipula, salah satu pengertian umum tentang birokrasi adalah pengertian tentang tata langkah atau prosedur yang layak. Birokrasi dianggap berjalan menurut aturan dan tata urut rasional. Ini semua diketahui atau pada prinsipnya dapat diketahui.
Jadi, tidak mungkin para kadis tidak tahu. Yang terjadi: mereka tau, tapi tidak mau tau. Ini gejala apa? Gejala permen karet (bubble gum phenomenon). Gejala penggelembungan diri. Merasa, menganggap, menempatkan, dan memperlakukan diri besar, sedemikian hingga sejajar dengan bupati dan, karena itu, lebih tinggi dari kepala BKD. Istilah populernya: fenomena bupati kecil.
Kalau sampai banyak bupati kecil di bawah bupati besar, ini salah siapa? Salah bupati besar dan wabupnya. Salah pilih dan salah asuh para kadis. Mungkin juga karena bupati-wabup terlalu ’baik’. Terlalu ’baik’ itu kan tidak baik lagi, bukan?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 10 Juni 2010
Label:
bentara,
birokrasi,
bubble gum phenomenon,
bupati nani aoh,
flores,
flores pos,
kasus tenaga harian lepas nagekeo,
negekeo,
politik,
wabup paulus kaju
09 Juni 2010
Kadis PPO Ende Keliru
Kasus Anjloknya Kelulusan UN 2010
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 669 dari 1.875 siswa SMA/MA di Kabupaten Ende tidak lulus UN susulan. Yang lulus 64,32 persen, tidak lulus 35,68 persen. Lembata, di atas Ende. Peserta 604, lulus 82,95 persen, tidak lulus 17,05 persen. Manggarai, lebih di atas lagi. Peserta 2.045, lulus 96,57 persen, tidak lulus 3,43 persen (Flores Pos Selasa 8 Juni 2010).
Untuk sementara, Ende nomor buntut. Rupanya karena inilah Kadis PPO Ende Fransiskus Hapri angkat bicara. Dia bilang, ketidaklulusan itu bukan kegagalan siswa, tapi kegagalan guru dan pengawas. Tersirat, ini juga bukan kegagalan pemerintah.
Kenapa guru? ”Pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan memberikan tunjangan kesejahteraan bagi guru, membangun infrastruktur sekolah, dan melengkapi fasilitas yang dibutuhkan sekolah.” Kenapa pengawas? ”Pengawas mendapat SPPD. Jadi, sejauh apa pun lokasi sekolah, harus bisa dijangkau.”
Dengan pernyataannya itu, seolah-olah Kadis Hapri sudah lakukan penelitian ilmiah, dengan teori benar, variabel lengkap, simpulan tepat. Tapi, sejauh dipublikasikan, penelitian itu tidak ada. Kalaupun ada, koq begitu ya?
Asumsi teoritisnya bermasalah. Yakni, mencari akar persoalan, dengan anggapan: begitu akarnya dicabut, bereslah semuanya. Sang kadis menyebut akar kembar, guru dan pengawas, biang kerok anjloknya kelulusan UN. Sedangkan siswanya beres. Pemerintahnya beres.
Ini khas pemikiran biologis. Penyakit didiagnosis, resep diberikan, obat diminum, sembuhlah si pasien. Pemikiran biologis tidak cocok untuk masalah sosial. Hubungan sebab-akibat dalam bidang sosial sangat longgar. Sebuah sebab dapat timbulkan banyak akibat berbeda. Demikian pula, sebuah akibat dapat muncul dari banyak sebab berbeda dan bahkan bertentangan.
Sang kadis terperangkap dalam apa yang oleh sosiolog Ignas Kleden disebut sebagai jebakan fungsionalisme yang berasal dari pemikiran biologis (Tempo 14-20 Agustus 2000). Yaitu, usaha politis dan intelektual menemukan akar (radix) persoalan. Dalam praktik, radikalisme ini mudah mendapat penganut, karena muncul harapan: banyak soal akan beres kalau akar itu dibereskan. Masalahnya, akar itu mungkin tidak ada karena segala soal telah jalin-menjalin. Di sisi lain, radikalisme ini berbahaya: dapat lahirkan sikap totaliter. Karena akar dianggap sudah ditemukan, muncul godaan memaksa orang lain membereskan akar itu.
Godaan ini ada pada sang kadis. Simak pernyataannya. Karena pengawaslah akar anjloknya kelulusan UN, maka ia akan minta hasil supervisi yang sudah dilakukan pengawas selama ini. Guru? Tentu, tinggal dilecut oleh pengawas. Apalagi, guru sudah dapat tunjangan kesejahteraan, 800 lebih sudah disertifikasi. Ini berkat kerja pemerintah yang serba-beres. Bernakah?
Beres apanya! Sebagian (besar) guru belum dapat tunjangan. Sertifikasi pun bermasalah. Ada 200 yang belum terima SK meski sudah disertifikasi sejak Oktober 2009. Padahal, mereka sudah setor Rp50 ribu per orang untuk biaya petugas ke Kupang. Hasilnya? Hingga Mei 2010, Jakarta masih tunggu data dari LPMP Kupang. Jangan-jangan LPMP masih tunggu data dari Ende!
Ini hanya salah satu contoh, dari sekian banyak masalah yang berjalin berkelindan, yang mengharuskan kita tidak mengakarkan anjloknya kelulusan UN hanya pada guru dan pengawas. Faktor penyebabnya banyak. Termasuk di dalamnya, dan malah terutama, pemerintah! Menudingkannya hanya pada guru dan pengawas itu keliru. Itu namanya cuci tangan dan cari kambing hitam.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 9 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 669 dari 1.875 siswa SMA/MA di Kabupaten Ende tidak lulus UN susulan. Yang lulus 64,32 persen, tidak lulus 35,68 persen. Lembata, di atas Ende. Peserta 604, lulus 82,95 persen, tidak lulus 17,05 persen. Manggarai, lebih di atas lagi. Peserta 2.045, lulus 96,57 persen, tidak lulus 3,43 persen (Flores Pos Selasa 8 Juni 2010).
Untuk sementara, Ende nomor buntut. Rupanya karena inilah Kadis PPO Ende Fransiskus Hapri angkat bicara. Dia bilang, ketidaklulusan itu bukan kegagalan siswa, tapi kegagalan guru dan pengawas. Tersirat, ini juga bukan kegagalan pemerintah.
Kenapa guru? ”Pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan memberikan tunjangan kesejahteraan bagi guru, membangun infrastruktur sekolah, dan melengkapi fasilitas yang dibutuhkan sekolah.” Kenapa pengawas? ”Pengawas mendapat SPPD. Jadi, sejauh apa pun lokasi sekolah, harus bisa dijangkau.”
Dengan pernyataannya itu, seolah-olah Kadis Hapri sudah lakukan penelitian ilmiah, dengan teori benar, variabel lengkap, simpulan tepat. Tapi, sejauh dipublikasikan, penelitian itu tidak ada. Kalaupun ada, koq begitu ya?
Asumsi teoritisnya bermasalah. Yakni, mencari akar persoalan, dengan anggapan: begitu akarnya dicabut, bereslah semuanya. Sang kadis menyebut akar kembar, guru dan pengawas, biang kerok anjloknya kelulusan UN. Sedangkan siswanya beres. Pemerintahnya beres.
Ini khas pemikiran biologis. Penyakit didiagnosis, resep diberikan, obat diminum, sembuhlah si pasien. Pemikiran biologis tidak cocok untuk masalah sosial. Hubungan sebab-akibat dalam bidang sosial sangat longgar. Sebuah sebab dapat timbulkan banyak akibat berbeda. Demikian pula, sebuah akibat dapat muncul dari banyak sebab berbeda dan bahkan bertentangan.
Sang kadis terperangkap dalam apa yang oleh sosiolog Ignas Kleden disebut sebagai jebakan fungsionalisme yang berasal dari pemikiran biologis (Tempo 14-20 Agustus 2000). Yaitu, usaha politis dan intelektual menemukan akar (radix) persoalan. Dalam praktik, radikalisme ini mudah mendapat penganut, karena muncul harapan: banyak soal akan beres kalau akar itu dibereskan. Masalahnya, akar itu mungkin tidak ada karena segala soal telah jalin-menjalin. Di sisi lain, radikalisme ini berbahaya: dapat lahirkan sikap totaliter. Karena akar dianggap sudah ditemukan, muncul godaan memaksa orang lain membereskan akar itu.
Godaan ini ada pada sang kadis. Simak pernyataannya. Karena pengawaslah akar anjloknya kelulusan UN, maka ia akan minta hasil supervisi yang sudah dilakukan pengawas selama ini. Guru? Tentu, tinggal dilecut oleh pengawas. Apalagi, guru sudah dapat tunjangan kesejahteraan, 800 lebih sudah disertifikasi. Ini berkat kerja pemerintah yang serba-beres. Bernakah?
Beres apanya! Sebagian (besar) guru belum dapat tunjangan. Sertifikasi pun bermasalah. Ada 200 yang belum terima SK meski sudah disertifikasi sejak Oktober 2009. Padahal, mereka sudah setor Rp50 ribu per orang untuk biaya petugas ke Kupang. Hasilnya? Hingga Mei 2010, Jakarta masih tunggu data dari LPMP Kupang. Jangan-jangan LPMP masih tunggu data dari Ende!
Ini hanya salah satu contoh, dari sekian banyak masalah yang berjalin berkelindan, yang mengharuskan kita tidak mengakarkan anjloknya kelulusan UN hanya pada guru dan pengawas. Faktor penyebabnya banyak. Termasuk di dalamnya, dan malah terutama, pemerintah! Menudingkannya hanya pada guru dan pengawas itu keliru. Itu namanya cuci tangan dan cari kambing hitam.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 9 Juni 2010
07 Juni 2010
Seandainya Credo Pede
Kasus Pemilukada Manggarai 2010
Oleh Frans Anggal
Pemilukada di Manggarai diwarnai unjuk rasa. Koalisi 8 paket, minus Credo, berdemo ke KPU dan DPRD, Sabtu 5 Mei 2010. Mereka mendesak penghitungan suara dihentikan. Pemilukada penuh pelanggaran. Semuanya mengarah ke Credo, paket incumbent, Bupati Chris Rotok dan Wabup Kamilus Deno (Flores Pos Senin 7 Juni 2010).
Pelanggarannya. Pertama, Bupati Rotok keluarkan SK pada masa kampanye: semua kadis dan camat harus pantau pemungutan suara. Dampaknya, di Reo, camat dan PNS masuk TPS, cek perolehan suara. Konflik! Camat dievakuasi ke Ruteng. Kedua, Wabup Deno berwawancara radio pada masa tenang. Ketiga, baliho Credo yang dipasang bagian humas pemkab tidak diturunkan pada masa tenang. Keempat, bagi-bagi uang (money politics) di Kecamatan Cibal.
Kalau itu benar, disayangkan. Bukan hanya karena itu salah secara hukum dan moral. Tapi juga karena sesungguhnya itu tidak dibutuhkan untuk kemenangan Credo. Tanpa itu, Credo menang. Kuncinya sudah di tangan.
Pertama, Credo paket paling dikenal konstituen. Selain karena incumbent, Rotok-Deno sangat komunikatif. Dalam ranah budaya ke-manggarai-an, Rotok orangnya. Dalam ranah budaya ilmiah, Deno orangnya. Keduanya sinergis menyedot simpati dari akar rumput sampai pucuk pohon.
Kedua, Credo dipersepsi oleh akar rumput sebagai bupati-wabup yang telah berbuat nyata. Paling dirasakan, sarana transportasi jalan raya. Masyarakat Manggarai tidak perlu diajari budi daya tanaman perdagangan. Mereka tidak butuhkan itu. Yang mereka butuhkan, jalan raya yang baik, agar komoditas mereka bisa dipasarkan.
Konfirmasi tentangnya disampaikan sosiolog Unwira Kupang, Pater Paulus Ngganggung SVD, di Bandara Aroeboesman Ende, saat transit dalam penerbangan Ruteng-Kupang, Minggu 6 Juni 2010. Menurutnya, Credo menang 35 persen (hasil penghitungan sementara) karena masyarakat merasakan Rotok-Deno telah berbuat nyata bagi mereka.
Ketiga, satu-satunya masalah yang bisa digunakan sebagai isu mangganjal Credo adalah kasus tambang mangan. Namun, isu tambang masih elitis. Kalaupun mengakar rumput, isunya sebatas pada masyarakat lingkar tambang, yang notabene populasinya tidak seberapa. Isu tambang belum jadi isu ’seksi’. Dampak buruk tambang masih kalah pupuler dari dampak positif jalan raya.
Dengan ketiga faktor itu, Credo unggul dalam ’marketing’ politik pemilukada. Dengannya, jauh sebelum pemilukada, Credo sudah menang. Kampanye hanyalah kemasan apik-memikat dari apa yang sudah, bukan dari apa yang belum dimilikinya. Semuanya sudah di tangan. Tinggal diwacanakan secara komunikatif-persuasif. Dan, Rotok-Deno memiliki kemampuan untuk itu.
Karenanya, sungguh disayangkan kalau apa yang dituduhkan koalisi 8 paket itu terbukti sah dan meyakinkan. Ibaratnya: Credo sudah miliki air di dulang. Air itu tidak dijaganya agar tetap tenang dan bening, tapi malah ditepuk sehingga keruh dan terpercik. Akibatnya, seperti kata pepatah. Menepuk air di dulang, terpercik ke muka sendiri. Wajah Credo ternoda percikan itu.
Kenapa bisa berantakan begini? Jawabannya sederhana. Credo kurang pede. Selama 5 tahun memimpin, Rotok-Deno sudah memenangkan hati rakyat. Sayang, itu tidak diyakininya sebagai jaminan kemenangan periode kedua. Seandainya pede, Credo tetap menang, tanpa pelanggaran. Dengannya, Rotok-Deno tercatat, dengan tinta emas, sebagai bupati-wabup yang kompak.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 8 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
Pemilukada di Manggarai diwarnai unjuk rasa. Koalisi 8 paket, minus Credo, berdemo ke KPU dan DPRD, Sabtu 5 Mei 2010. Mereka mendesak penghitungan suara dihentikan. Pemilukada penuh pelanggaran. Semuanya mengarah ke Credo, paket incumbent, Bupati Chris Rotok dan Wabup Kamilus Deno (Flores Pos Senin 7 Juni 2010).
Pelanggarannya. Pertama, Bupati Rotok keluarkan SK pada masa kampanye: semua kadis dan camat harus pantau pemungutan suara. Dampaknya, di Reo, camat dan PNS masuk TPS, cek perolehan suara. Konflik! Camat dievakuasi ke Ruteng. Kedua, Wabup Deno berwawancara radio pada masa tenang. Ketiga, baliho Credo yang dipasang bagian humas pemkab tidak diturunkan pada masa tenang. Keempat, bagi-bagi uang (money politics) di Kecamatan Cibal.
Kalau itu benar, disayangkan. Bukan hanya karena itu salah secara hukum dan moral. Tapi juga karena sesungguhnya itu tidak dibutuhkan untuk kemenangan Credo. Tanpa itu, Credo menang. Kuncinya sudah di tangan.
Pertama, Credo paket paling dikenal konstituen. Selain karena incumbent, Rotok-Deno sangat komunikatif. Dalam ranah budaya ke-manggarai-an, Rotok orangnya. Dalam ranah budaya ilmiah, Deno orangnya. Keduanya sinergis menyedot simpati dari akar rumput sampai pucuk pohon.
Kedua, Credo dipersepsi oleh akar rumput sebagai bupati-wabup yang telah berbuat nyata. Paling dirasakan, sarana transportasi jalan raya. Masyarakat Manggarai tidak perlu diajari budi daya tanaman perdagangan. Mereka tidak butuhkan itu. Yang mereka butuhkan, jalan raya yang baik, agar komoditas mereka bisa dipasarkan.
Konfirmasi tentangnya disampaikan sosiolog Unwira Kupang, Pater Paulus Ngganggung SVD, di Bandara Aroeboesman Ende, saat transit dalam penerbangan Ruteng-Kupang, Minggu 6 Juni 2010. Menurutnya, Credo menang 35 persen (hasil penghitungan sementara) karena masyarakat merasakan Rotok-Deno telah berbuat nyata bagi mereka.
Ketiga, satu-satunya masalah yang bisa digunakan sebagai isu mangganjal Credo adalah kasus tambang mangan. Namun, isu tambang masih elitis. Kalaupun mengakar rumput, isunya sebatas pada masyarakat lingkar tambang, yang notabene populasinya tidak seberapa. Isu tambang belum jadi isu ’seksi’. Dampak buruk tambang masih kalah pupuler dari dampak positif jalan raya.
Dengan ketiga faktor itu, Credo unggul dalam ’marketing’ politik pemilukada. Dengannya, jauh sebelum pemilukada, Credo sudah menang. Kampanye hanyalah kemasan apik-memikat dari apa yang sudah, bukan dari apa yang belum dimilikinya. Semuanya sudah di tangan. Tinggal diwacanakan secara komunikatif-persuasif. Dan, Rotok-Deno memiliki kemampuan untuk itu.
Karenanya, sungguh disayangkan kalau apa yang dituduhkan koalisi 8 paket itu terbukti sah dan meyakinkan. Ibaratnya: Credo sudah miliki air di dulang. Air itu tidak dijaganya agar tetap tenang dan bening, tapi malah ditepuk sehingga keruh dan terpercik. Akibatnya, seperti kata pepatah. Menepuk air di dulang, terpercik ke muka sendiri. Wajah Credo ternoda percikan itu.
Kenapa bisa berantakan begini? Jawabannya sederhana. Credo kurang pede. Selama 5 tahun memimpin, Rotok-Deno sudah memenangkan hati rakyat. Sayang, itu tidak diyakininya sebagai jaminan kemenangan periode kedua. Seandainya pede, Credo tetap menang, tanpa pelanggaran. Dengannya, Rotok-Deno tercatat, dengan tinta emas, sebagai bupati-wabup yang kompak.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 8 Juni 2010
Korupsi, ’Negara Untung’
Logika Konyol di NTT
Oleh Frans Anggal
Di Kabupaten Sikka, bendahara RSUD Maumere selewengkan dana Rp485 juta lebih. Kasusnya tahun 2008. Dua tahun tidak terendus media massa, karena ’di-rahasia-negara-kan’ oleh pemkab. Penyelesaiannya secara internal kepemerintahan. Yang bersangkutan dimutasikan, dan diwajibkan mencicil pengembalian dana (Flores Pos Jumat 4 Juni 2010).
Tentang ini, anggota DPRD Sikka bersilang pendapat (Flores Pos Sabtu 5 Juni 2010). Fransiskus Ropi Cinde dari PAN dan Suaib dari PKS setuju dengan cara pemkab. Kembalikan uang, wajib. Proses hukum, tidak. Sejauh cicilan beres, proses hukum tidak perlu. Kalau tidak beres, barulah proses hukum.
Sebaliknya, pendapat Ambrosius Dan dari Partai Demokrasi Pembaruan. Menurut dia, pengembalian uang tidak boleh gantikan atau hilangkan proses hukum. Ia khawatir, cara tersebut bisa jadi preseden buruk. Semua pegawai akan berbuat seperti itu. Ia juga menilai ini tidak adil. Bandingkan dengan pencuri ayam. ”Proses hukumnya jalan, pelakunya ditahan.”
Ambrosius Dan benar. Logikanya logika elementer hukum pidana. Perbuatan pidana tidak hilang atau dianggap tak ada hanya karena akibatnya dipulihkan. Tindak pidana korupsi tidak hilang atau dianggap tak ada hanya karena uang negara dikembalikan. Karena itulah, pengembalian uang ke kas negara tidak boleh halangi, gantikan, hentikan, atau hilangkan proses hukum.
Orang kampung paling kampungan sekalipun paham itu. Cukup dengan analogi, mereka mengerti. Yang membacok orang hingga terluka parah pasti tetap diproses dihukum, meskipun luka bacokan sudah sembuh. Kenapa? Menyembuhkan luka hanya memulihkan akibat, tidak memulihkan sebab. Adapun sebab, yakni perbuatan membacok, tinggal tetap, dan hanya bisa dipulihkan oleh hukuman.
Jadi, logika elementer hukum pidana sesungguhnya logika akal sehat. Semua orang, asal waras, pasti membenarkannya. Sebaliknya, yang menyangkalnya pantas diragukan kewarasannya. Sayang, ini tidak dianut Pemkab Sikka dan sebagian DPRD-nya. Selain menginjak akal sehat, mereka suburkan bencana. Korupsi disamakan dengan ‘pinjam uang negara’! Yang penting, kembalikan!
Rasukannya merusak otak orang hukum juga. Contoh, di Ende, dalam kasus PLTU Ropa. Terdakwa ambil uang, lalu kembalikan. Jumlah pengembaliannya lebih banyak. Maka, kuasa hukum terdakwa berkata: tidak ada kerugian keuangan negara! (Flores Pos Jumat 4 Juni 2010). Kalau konsisten dengan logika ‘pinjam uang negara’, seraya mengingat jumlah yang dikembalikan itu lebih banyak, semestinya dia berkata: negara diuntungkan! Berkat korupsi!
‘Negara diuntungkan’, ini persis sama dengan ucapkan petinggi Pemprov NTT ketika membenarkan peminjaman miliaran rupiah dana APBD 2009/2010 oleh 55 anggota DPRD NTT untuk beli mobil pribadi. Pengembaliannya dicicil 48 bulan. Kalau konsisten dengan logika ‘pinjam uang negara’, seraya mengingat ‘negara diuntungkan’ olehnya, semestinya dia berkata: semakin banyak dana APBD dipinjamkan (bila perlu dipinjamkan sampai habis), semakin untunglah negara!
Apa yang salah di sini? Pertama, yang dilihat hanya negara. Warganya tidak. Yang penting negara untung, persetan warga buntung. Kedua, korupsi, pinjam dana APBD, dll menjadi sekadar masalah teknis. Maka, penyelesaiannya pun teknis. Kembalikan uang, titik. Hukum dan moral? Tidak ada. Rasa bersalah dan malu? Kosong. Kalau ketahuan? Itu namanya lagi sial, titik. Mengerikan!
“Bentara” FLORES POS, Senin 7 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
Di Kabupaten Sikka, bendahara RSUD Maumere selewengkan dana Rp485 juta lebih. Kasusnya tahun 2008. Dua tahun tidak terendus media massa, karena ’di-rahasia-negara-kan’ oleh pemkab. Penyelesaiannya secara internal kepemerintahan. Yang bersangkutan dimutasikan, dan diwajibkan mencicil pengembalian dana (Flores Pos Jumat 4 Juni 2010).
Tentang ini, anggota DPRD Sikka bersilang pendapat (Flores Pos Sabtu 5 Juni 2010). Fransiskus Ropi Cinde dari PAN dan Suaib dari PKS setuju dengan cara pemkab. Kembalikan uang, wajib. Proses hukum, tidak. Sejauh cicilan beres, proses hukum tidak perlu. Kalau tidak beres, barulah proses hukum.
Sebaliknya, pendapat Ambrosius Dan dari Partai Demokrasi Pembaruan. Menurut dia, pengembalian uang tidak boleh gantikan atau hilangkan proses hukum. Ia khawatir, cara tersebut bisa jadi preseden buruk. Semua pegawai akan berbuat seperti itu. Ia juga menilai ini tidak adil. Bandingkan dengan pencuri ayam. ”Proses hukumnya jalan, pelakunya ditahan.”
Ambrosius Dan benar. Logikanya logika elementer hukum pidana. Perbuatan pidana tidak hilang atau dianggap tak ada hanya karena akibatnya dipulihkan. Tindak pidana korupsi tidak hilang atau dianggap tak ada hanya karena uang negara dikembalikan. Karena itulah, pengembalian uang ke kas negara tidak boleh halangi, gantikan, hentikan, atau hilangkan proses hukum.
Orang kampung paling kampungan sekalipun paham itu. Cukup dengan analogi, mereka mengerti. Yang membacok orang hingga terluka parah pasti tetap diproses dihukum, meskipun luka bacokan sudah sembuh. Kenapa? Menyembuhkan luka hanya memulihkan akibat, tidak memulihkan sebab. Adapun sebab, yakni perbuatan membacok, tinggal tetap, dan hanya bisa dipulihkan oleh hukuman.
Jadi, logika elementer hukum pidana sesungguhnya logika akal sehat. Semua orang, asal waras, pasti membenarkannya. Sebaliknya, yang menyangkalnya pantas diragukan kewarasannya. Sayang, ini tidak dianut Pemkab Sikka dan sebagian DPRD-nya. Selain menginjak akal sehat, mereka suburkan bencana. Korupsi disamakan dengan ‘pinjam uang negara’! Yang penting, kembalikan!
Rasukannya merusak otak orang hukum juga. Contoh, di Ende, dalam kasus PLTU Ropa. Terdakwa ambil uang, lalu kembalikan. Jumlah pengembaliannya lebih banyak. Maka, kuasa hukum terdakwa berkata: tidak ada kerugian keuangan negara! (Flores Pos Jumat 4 Juni 2010). Kalau konsisten dengan logika ‘pinjam uang negara’, seraya mengingat jumlah yang dikembalikan itu lebih banyak, semestinya dia berkata: negara diuntungkan! Berkat korupsi!
‘Negara diuntungkan’, ini persis sama dengan ucapkan petinggi Pemprov NTT ketika membenarkan peminjaman miliaran rupiah dana APBD 2009/2010 oleh 55 anggota DPRD NTT untuk beli mobil pribadi. Pengembaliannya dicicil 48 bulan. Kalau konsisten dengan logika ‘pinjam uang negara’, seraya mengingat ‘negara diuntungkan’ olehnya, semestinya dia berkata: semakin banyak dana APBD dipinjamkan (bila perlu dipinjamkan sampai habis), semakin untunglah negara!
Apa yang salah di sini? Pertama, yang dilihat hanya negara. Warganya tidak. Yang penting negara untung, persetan warga buntung. Kedua, korupsi, pinjam dana APBD, dll menjadi sekadar masalah teknis. Maka, penyelesaiannya pun teknis. Kembalikan uang, titik. Hukum dan moral? Tidak ada. Rasa bersalah dan malu? Kosong. Kalau ketahuan? Itu namanya lagi sial, titik. Mengerikan!
“Bentara” FLORES POS, Senin 7 Juni 2010
Label:
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
korupsi,
moral,
ntt,
penyelewengan dana di rsud maumere,
rsud maumere,
sikka
04 Juni 2010
Kenapa Justru Nama Kapolres?
Catut Nama Minta Pulsa dan Uang
Oleh Frans Anggal
Nama Kapolres Lembata Marthen Johannis dicatut orang tak dikenal untuk minta pulsa dan uang dari anggota DPRD dan pejabat Pemkab Lembata. Pencatutan terjadi hingga Maumere, Kabupaten Sikka. Tiga tamu menginap lima hari tanpa bayar di Hotel Pelita dengan dalih tamu kapolres. Semua ini terjadi saat kapolres di luar daerah. Ia mengimbau masyarakat serta pejabat dan pengusaha tidak mudah percaya (Flores Pos Jumat 4 Juni 2010).
Apa motif pencatutan nama kapolres? Kemungkinan pertama, motif ’ekonomi’. Dapat duit dengan cara mudah. Tinggal duduk manis, pencet nomor HP. Kalau yang di seberang tertipu, duit pun datang. HP dan internet telah jadi sarana ampuh, tidak hanya untuk komunikasi dan interaksi, tapi juga untuk tindak kejahatan (cyber crime).
Kemungkinan kedua, motif ’politik’. Anggota DPRD Lembata Piter Gero yakin akan hal itu. Dia sendiri calon korban. Untung, dia tidak terkecoh. Menurut Gero, ini upaya membunuh karakter dan merusak citra kapolres. Solanya, sang kapolres dikenal tegas dan kini sedang tangani kasus-kasus besar.
Kemungkinan ketiga, motif campuran ’ekonomi’ dan ’politik’. Kata pepatah: sambil menyelam, minum air. Sambil memanen pulsa gratis, nama baik kapolres dicoreng. Atau, pepatah lain: sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali mencatut nama kapolres, dua tujuan tergapai. Duitnya datang, kapolresnya ditendang.
Motif lain? Silakan bikin ’teori’. Namun, sebagus apa pun ’teori’ itu, semuanya sebatas dugaan. Si pelaku belum diketahui. Karena itu, ia belum bisa ditangkap. Belum bisa dimintai keterangan. Maka, motif tindakannya tetap penuh tanda tanya, meski ’teori’ kita penuh tanda seru.
Kalau motifnya penuh tanda tanya, bagaimana modusnya? Sebaliknya. Modusnya penuh tanda seru! Untuk dapat duit, justru nama kapolres yang dicatut. Pertanyaan kita: kenapa justru nama kapolres? Kenapa bukan nama pastor, suster, pendeta, ustad? Rupanya karena kurang laris. Kenapa kurang laris? Rupanya karena mereka tidak biasa ’todong’ orang.
Sebagai warga masyarakat, si penipu memiliki pengetahuan tertentu tentang polisi. Katakanlah, pengetahuan induktif, yang umum atau universal, yang datariknya dari yang individual. Mungkin saking banyaknya kasus pemerasan oleh polisi pada banyak tempat, sampailah ia pada simpulan (yang salah kalau hanya generalisasi) bahwa semua polisi ya begitu.
Dari yang umum itu, si penipu menarik yang individual (deduktif). Karena semua polisi begitu (padahal belum tentu) maka polisi di Lembata juga pasti begitu (padahal belum tentu). Semua anak buahnya begitu (padahal belum tentu), masa kapolresnya tidak begitu (padahal belum tentu). Anak buahnya sudah begitu, kapolresnya apalagi, pasti lebih dari itu (padahal belum tentu).
Dari yang deduktif ini, si penipu beranjak ke yang spekulatif dan praktis. Karena umumnya mereka begitu, bagaimana ya, kalau kapolres satu ini dicatut namanya untuk dapat duit? Di daerah lain, bisa tuh. Di Flores, hampir semua kapolres pernah dicatut namanya. Berkali-kali malah. Masa, di Lembata tidak. Siapa tahu untung gitu lo. Maka, nama Kapolres Marthen Johannis pun dicatut.
Ini soal pengetahuan. Apa yang ada di batok kepala. Menyangkut persepsi. Persepsi itu spontan dan menyesuaikan diri secara langsung dengan apa yang disajikan. Dalam kaitan dengan polisi, selagi ’penyajian’ diri polisi tetap begitu, persepsi masyarakat tentangnya pun tetap begitu. Maka, jangan kaget: pencatutan nama polisi akan tetap terjadi. Dihilangkan? Sulit. Dikurangi? Bisa. Terpulang pada jajaran polri. Mau tetap nakal atau ’bertobat’.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 5 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
Nama Kapolres Lembata Marthen Johannis dicatut orang tak dikenal untuk minta pulsa dan uang dari anggota DPRD dan pejabat Pemkab Lembata. Pencatutan terjadi hingga Maumere, Kabupaten Sikka. Tiga tamu menginap lima hari tanpa bayar di Hotel Pelita dengan dalih tamu kapolres. Semua ini terjadi saat kapolres di luar daerah. Ia mengimbau masyarakat serta pejabat dan pengusaha tidak mudah percaya (Flores Pos Jumat 4 Juni 2010).
Apa motif pencatutan nama kapolres? Kemungkinan pertama, motif ’ekonomi’. Dapat duit dengan cara mudah. Tinggal duduk manis, pencet nomor HP. Kalau yang di seberang tertipu, duit pun datang. HP dan internet telah jadi sarana ampuh, tidak hanya untuk komunikasi dan interaksi, tapi juga untuk tindak kejahatan (cyber crime).
Kemungkinan kedua, motif ’politik’. Anggota DPRD Lembata Piter Gero yakin akan hal itu. Dia sendiri calon korban. Untung, dia tidak terkecoh. Menurut Gero, ini upaya membunuh karakter dan merusak citra kapolres. Solanya, sang kapolres dikenal tegas dan kini sedang tangani kasus-kasus besar.
Kemungkinan ketiga, motif campuran ’ekonomi’ dan ’politik’. Kata pepatah: sambil menyelam, minum air. Sambil memanen pulsa gratis, nama baik kapolres dicoreng. Atau, pepatah lain: sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali mencatut nama kapolres, dua tujuan tergapai. Duitnya datang, kapolresnya ditendang.
Motif lain? Silakan bikin ’teori’. Namun, sebagus apa pun ’teori’ itu, semuanya sebatas dugaan. Si pelaku belum diketahui. Karena itu, ia belum bisa ditangkap. Belum bisa dimintai keterangan. Maka, motif tindakannya tetap penuh tanda tanya, meski ’teori’ kita penuh tanda seru.
Kalau motifnya penuh tanda tanya, bagaimana modusnya? Sebaliknya. Modusnya penuh tanda seru! Untuk dapat duit, justru nama kapolres yang dicatut. Pertanyaan kita: kenapa justru nama kapolres? Kenapa bukan nama pastor, suster, pendeta, ustad? Rupanya karena kurang laris. Kenapa kurang laris? Rupanya karena mereka tidak biasa ’todong’ orang.
Sebagai warga masyarakat, si penipu memiliki pengetahuan tertentu tentang polisi. Katakanlah, pengetahuan induktif, yang umum atau universal, yang datariknya dari yang individual. Mungkin saking banyaknya kasus pemerasan oleh polisi pada banyak tempat, sampailah ia pada simpulan (yang salah kalau hanya generalisasi) bahwa semua polisi ya begitu.
Dari yang umum itu, si penipu menarik yang individual (deduktif). Karena semua polisi begitu (padahal belum tentu) maka polisi di Lembata juga pasti begitu (padahal belum tentu). Semua anak buahnya begitu (padahal belum tentu), masa kapolresnya tidak begitu (padahal belum tentu). Anak buahnya sudah begitu, kapolresnya apalagi, pasti lebih dari itu (padahal belum tentu).
Dari yang deduktif ini, si penipu beranjak ke yang spekulatif dan praktis. Karena umumnya mereka begitu, bagaimana ya, kalau kapolres satu ini dicatut namanya untuk dapat duit? Di daerah lain, bisa tuh. Di Flores, hampir semua kapolres pernah dicatut namanya. Berkali-kali malah. Masa, di Lembata tidak. Siapa tahu untung gitu lo. Maka, nama Kapolres Marthen Johannis pun dicatut.
Ini soal pengetahuan. Apa yang ada di batok kepala. Menyangkut persepsi. Persepsi itu spontan dan menyesuaikan diri secara langsung dengan apa yang disajikan. Dalam kaitan dengan polisi, selagi ’penyajian’ diri polisi tetap begitu, persepsi masyarakat tentangnya pun tetap begitu. Maka, jangan kaget: pencatutan nama polisi akan tetap terjadi. Dihilangkan? Sulit. Dikurangi? Bisa. Terpulang pada jajaran polri. Mau tetap nakal atau ’bertobat’.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 5 Juni 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kapolres lembata marthen johannis,
lembata,
pencatutan nama,
penipuan,
polisi
Sikka ’Wajib’ Gizi Buruk
Seolah-olah Tidak Ada Pemerintah
Oleh Frans Anggal
Satu keluarga di Tanarawa, Desa Pruda, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka, menderita gizi buruk. Maria Mena dan bayinya, Nona, berusia 3 bulan, dirawat di RSUD Maumere. Saat hendak melahirkan, sang ibu menderita gizi buruk dan anemia. Hemoglobinnya hanya 4. Normalnya 11. Sedangkan sang bayi lahir dengan berat badan hanya 600 gram. Normalnya 2.500-3.00 gram (Flores Pos Kamis 3 Juni 2010)..
Selain Maria Mena dan bayi itu, ada pasien lainnya. Yuliana Kristiani, usia 2 tahun 7 bulan. Asal Wukak, Desa Tilang, Kecamatan Nita. Berat badannya cuma 9 kg. Normalnya 13 kg. Dua pekan sebelumnya terlansir berita mengenaskan. Satu pasien busung lapar meninggal (Flores Pos Jumat 21 Mei 2010).
Di Kabupaten Sikka, kasus gizi buruk sudah rutin. Tiap tahun ’wajib’ ada. Kalau tidak ada, mungkin bukan Kabupaten Sikka namanya. Yang dicuatkan di media, biasanya, kasus di rumah sakit. Di luar rumah sakit bukannya tidak ada. Banyak. Namun, tidak semunya terdata. Entah karena kelalaian petugas atau karena kebijakan menjadikannya ’rahasia negara’.
Kenapa berulang? Karena akarnya belum dicabut. Bidang kesehatan menyebutkan paradigma kesehatan. Penanganan gizi buruk masih berkonteks retrospektif (setelah kejadian) dengan upaya kuratif (pengobatan). Belum berkonteks prospektif (sebelum kejadian) dengan upaya preventif (pencegahan).
Itu ada benarnya. Namun bukan hanya itu. Dan bukan hanya sampai di situ. Masih ada akar lebih jauh: paradigma pembangunan. Jauh dari penyejahteraan masyarakat. Jauh dari amanat konstitusi. UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 menegaskan: fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Negara di sini pemerintah. Karena, “Pemerintah Negara Indonesia(lah) yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,” kata Pembukaan UUD 1945.
Kalau paradigma pembangunan itu jauh dari penyejahteraan masyarakat, lalu penyejahteraan siapakah yang dekat padanya? Penyejahteraan penyelenggara negara! Eksekutif, legislatif, yudikatif. Tidak sulit membuktikannya. Silakan lihat yang kasat mata. Gedung pemerintah, kendaraan dinas, rumah dinas. Tidak ada yang cerminkan kondisi riil daerah. Sudah mewah di tengah kemiskinan rakyat, pengadaannya pun tidak luput dari korupsi.
Dua jurnalis, Farid Gaban dan Ahmad Yunus, yang berkeliling Indonesia menyinggahi pulau-pulau kecil terluar Nusantara, memberikan kesaksian. Di mana-mana sama. Indonesia ini kaya alamnya, miskin warganya. Makmur pejabatnya, melarat rakyatnya. Memasuki etape terakhir Espedisi Zamrud Khatulistiwa, di Ende, keduanya berkesimpulan: negeri ini negeri salah urus.
Yang kasat mata sudah begitu. Yang ’tersembunyi’, apalagi. Porsi terbesar APBD habis untuk belanja aparatur. Karena, paradigmanya tetap saja: penyejahteraan penyelenggara negara. Bukan penyejahteraan masyarakat. Contoh buruk dipertontonkan DPRD NTT. Pinjam uang APBD 2009/2010 miliaran rupiah untuk beli mobil pribadi. Beberapa dari 55 anggota dewan itu wakil dari daerah pemilihan Sikka, yang tiap tahun rakyatnya ’wajib’ gizi buruk.
Maria Mena pasien gizi buruk dari Sikka itu bertutur: kondisi dia dan bayinya seperti itu bukan karena dia tidak tahu gizi, tapi karena tidak ada makanan bergizi. Miskin. Sudah miskin, tidak diperhatikan pula oleh penyelenggara negara. ”Kami belum pernah mendapat bantuan beras miskin, beras padat karya, atau jenis bantuan lain,” katanya.
Simpulan? Ini bukan soal salah urus lagi, tapi memang tidak urus. Tidak ada pemerintah. Yang ada cuma penguasa. Maka, gizi buruk ’wajib’ tiap tahun.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 4 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
Satu keluarga di Tanarawa, Desa Pruda, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka, menderita gizi buruk. Maria Mena dan bayinya, Nona, berusia 3 bulan, dirawat di RSUD Maumere. Saat hendak melahirkan, sang ibu menderita gizi buruk dan anemia. Hemoglobinnya hanya 4. Normalnya 11. Sedangkan sang bayi lahir dengan berat badan hanya 600 gram. Normalnya 2.500-3.00 gram (Flores Pos Kamis 3 Juni 2010)..
Selain Maria Mena dan bayi itu, ada pasien lainnya. Yuliana Kristiani, usia 2 tahun 7 bulan. Asal Wukak, Desa Tilang, Kecamatan Nita. Berat badannya cuma 9 kg. Normalnya 13 kg. Dua pekan sebelumnya terlansir berita mengenaskan. Satu pasien busung lapar meninggal (Flores Pos Jumat 21 Mei 2010).
Di Kabupaten Sikka, kasus gizi buruk sudah rutin. Tiap tahun ’wajib’ ada. Kalau tidak ada, mungkin bukan Kabupaten Sikka namanya. Yang dicuatkan di media, biasanya, kasus di rumah sakit. Di luar rumah sakit bukannya tidak ada. Banyak. Namun, tidak semunya terdata. Entah karena kelalaian petugas atau karena kebijakan menjadikannya ’rahasia negara’.
Kenapa berulang? Karena akarnya belum dicabut. Bidang kesehatan menyebutkan paradigma kesehatan. Penanganan gizi buruk masih berkonteks retrospektif (setelah kejadian) dengan upaya kuratif (pengobatan). Belum berkonteks prospektif (sebelum kejadian) dengan upaya preventif (pencegahan).
Itu ada benarnya. Namun bukan hanya itu. Dan bukan hanya sampai di situ. Masih ada akar lebih jauh: paradigma pembangunan. Jauh dari penyejahteraan masyarakat. Jauh dari amanat konstitusi. UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 menegaskan: fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Negara di sini pemerintah. Karena, “Pemerintah Negara Indonesia(lah) yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,” kata Pembukaan UUD 1945.
Kalau paradigma pembangunan itu jauh dari penyejahteraan masyarakat, lalu penyejahteraan siapakah yang dekat padanya? Penyejahteraan penyelenggara negara! Eksekutif, legislatif, yudikatif. Tidak sulit membuktikannya. Silakan lihat yang kasat mata. Gedung pemerintah, kendaraan dinas, rumah dinas. Tidak ada yang cerminkan kondisi riil daerah. Sudah mewah di tengah kemiskinan rakyat, pengadaannya pun tidak luput dari korupsi.
Dua jurnalis, Farid Gaban dan Ahmad Yunus, yang berkeliling Indonesia menyinggahi pulau-pulau kecil terluar Nusantara, memberikan kesaksian. Di mana-mana sama. Indonesia ini kaya alamnya, miskin warganya. Makmur pejabatnya, melarat rakyatnya. Memasuki etape terakhir Espedisi Zamrud Khatulistiwa, di Ende, keduanya berkesimpulan: negeri ini negeri salah urus.
Yang kasat mata sudah begitu. Yang ’tersembunyi’, apalagi. Porsi terbesar APBD habis untuk belanja aparatur. Karena, paradigmanya tetap saja: penyejahteraan penyelenggara negara. Bukan penyejahteraan masyarakat. Contoh buruk dipertontonkan DPRD NTT. Pinjam uang APBD 2009/2010 miliaran rupiah untuk beli mobil pribadi. Beberapa dari 55 anggota dewan itu wakil dari daerah pemilihan Sikka, yang tiap tahun rakyatnya ’wajib’ gizi buruk.
Maria Mena pasien gizi buruk dari Sikka itu bertutur: kondisi dia dan bayinya seperti itu bukan karena dia tidak tahu gizi, tapi karena tidak ada makanan bergizi. Miskin. Sudah miskin, tidak diperhatikan pula oleh penyelenggara negara. ”Kami belum pernah mendapat bantuan beras miskin, beras padat karya, atau jenis bantuan lain,” katanya.
Simpulan? Ini bukan soal salah urus lagi, tapi memang tidak urus. Tidak ada pemerintah. Yang ada cuma penguasa. Maka, gizi buruk ’wajib’ tiap tahun.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 4 Juni 2010
DPRD Ende Berkeluh-kesah
Kontroversi Pelantikan Sekda Ende
Oleh Frans Anggal
Forum Ende Rembuk (FER) datangi DPRD Ende. Mereka menilai, Bupati Don Bosco M Wangge tidak adil. Karena, jabatan sekda diisi oleh orang dari luar Ende. Padahal, masih banyak putra Ende yang pantas untuk jabatan itu (Flores Pos Rabu 1 Juni 2010). Orang luar yang dimaksud, Yoseph Ansar Rera, putra daerah Sikka. Ia dilantik jadi sekda Ende pada Sabtu 29 Mei 2010.
Penuhi permintaan FER, Wakil Ketua DPRD Anwar Liga berjanji akan teruskan aspirasi kepada bupati. DPRD juga ingin dengar langsung penjelasan bupati. Sampai di sini, oke. Selanjutnya, gawat. Simaklah pernyataan si wakil ketua:
”Untuk beberapa hal, termasuk (soal) sekda ini, bupati tidak pernah menyertakan dewan sebagai mitra. Kami benar-benar tidak dianggap. Kami tidak pernah diajak untuk berpikir. Atau, menurut versi mereka, kami belum pantas untuk diajak berembuk. Kami memiliki Komisi A. Setidaknya komisi ini dilibatkan.”
Ini keluh-kesah! Dilakukan bergilir. Setelah FER berkeluh-kesah kepada DPRD tentang bupati, giliran DPRD balik berkeluh-kesah kepada FER, juga tentang bupati. Karena dipublikasikan, keluh-kesah ini pun keluh-ksah ke publik.
Reaksi publik? Bisa beraneka. Publik cerdas pasti kaget. Wakil rakyat koq berkeluh-kesah kepada rakyat. Bukankah semestinya sebaliknya? Yang dikeluhkan pun soal komunikasi dengan bupati. Kenapa dikeluhkan tanpa diatasi? Keluh-kesah tidak perlu terjadi kalau, sebagai mitra, DPRD tidak hanya tunggu diajak bupati. Kalau diajak tidak, kenapa tidak proaktif mengajak? Kemitraan selalu mengandaikan resiprositas, ke-saling-an, termasuk saling ajak.
Namun, resiprositas pun ada batasnya. Tidak semunya harus hasilkan kompromi. Sebab, tidak semua kompromi itu baik. Karena itulah lahir hak prerogatif. Dalam pencalonan sekda, hak prerogatif ada pada bupati. Kalau DPRD tidak diajak berembuk, ya, karena memang tidak harus. Kalau DPRD merasa perlu, proaktiflah jalin komunikasi. Asal, dengan mental reserve: putusannya bukanlah hasil kompromi, tapi pemenuhan hak prerogatif bupati.
Tampaknya, mental reserve itu yang kurang. Pertanda, kurangnya pemahaman akan sistem demokrasi yang dibangun. Di tingkat nasional, kita memilih sistem presidensial. Dan menjalankannya melalui pemilu langsung presiden. Maka, politik negara adalah politik sang presiden. Memilih seorang presiden secara langsung berarti memberi blangko kosong politik. Demikian pendapat filosof Rocky Gerung (Kompas Kamis 30 September 2004).
Analog dengan di daerah: pemilukada langsung. Bupati yang dapat dukungan luas rakyat pada prinsipnya tidak harus berembuk dengan DPRD dalam menyusun ‘kabinet’. Dengan demikian, ia dibebaskan dari beban transaksi politik, yang justru dapat menghambat efektivitas pemerintahan. Tidak harus lagi cari legitimasi politik dari partai, karena asal kekuasaannya langsung dari rakyat. Yang diperlukan cuma birokrasinya profesional dan paham akan masalah rakyat.
Ini prinsip dan konsekuensi dari hak prerogaatf bupati yang lahir dari pemilukada langsung. Tampaknya, ini kurang dipahami, baik oleh sebagian rakyat maupun oleh sebagian DPRD. Karena kekurangpahamanan itulah muncul keluh-kesah yang tidak tepat dan tidak pada tempatnya. Dengan mindset sesat pula, dikotomis primordialistis, “orang dalam” dan “orang luar”.
Ende kota kelahiran Pancasila. Pancasila menghargai pluralitas dan multikulturalitas. Dikotomi “orang dalam” dan “orang luar” itu langkah mundur sejarah. Ende sudah dapat sekda definitif. Tinggalkan dikotomi itu. Beri sekda kesempatan. Tugas DPRD, mengontrol. Bukan berkeluh-kesah.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 3 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
Forum Ende Rembuk (FER) datangi DPRD Ende. Mereka menilai, Bupati Don Bosco M Wangge tidak adil. Karena, jabatan sekda diisi oleh orang dari luar Ende. Padahal, masih banyak putra Ende yang pantas untuk jabatan itu (Flores Pos Rabu 1 Juni 2010). Orang luar yang dimaksud, Yoseph Ansar Rera, putra daerah Sikka. Ia dilantik jadi sekda Ende pada Sabtu 29 Mei 2010.
Penuhi permintaan FER, Wakil Ketua DPRD Anwar Liga berjanji akan teruskan aspirasi kepada bupati. DPRD juga ingin dengar langsung penjelasan bupati. Sampai di sini, oke. Selanjutnya, gawat. Simaklah pernyataan si wakil ketua:
”Untuk beberapa hal, termasuk (soal) sekda ini, bupati tidak pernah menyertakan dewan sebagai mitra. Kami benar-benar tidak dianggap. Kami tidak pernah diajak untuk berpikir. Atau, menurut versi mereka, kami belum pantas untuk diajak berembuk. Kami memiliki Komisi A. Setidaknya komisi ini dilibatkan.”
Ini keluh-kesah! Dilakukan bergilir. Setelah FER berkeluh-kesah kepada DPRD tentang bupati, giliran DPRD balik berkeluh-kesah kepada FER, juga tentang bupati. Karena dipublikasikan, keluh-kesah ini pun keluh-ksah ke publik.
Reaksi publik? Bisa beraneka. Publik cerdas pasti kaget. Wakil rakyat koq berkeluh-kesah kepada rakyat. Bukankah semestinya sebaliknya? Yang dikeluhkan pun soal komunikasi dengan bupati. Kenapa dikeluhkan tanpa diatasi? Keluh-kesah tidak perlu terjadi kalau, sebagai mitra, DPRD tidak hanya tunggu diajak bupati. Kalau diajak tidak, kenapa tidak proaktif mengajak? Kemitraan selalu mengandaikan resiprositas, ke-saling-an, termasuk saling ajak.
Namun, resiprositas pun ada batasnya. Tidak semunya harus hasilkan kompromi. Sebab, tidak semua kompromi itu baik. Karena itulah lahir hak prerogatif. Dalam pencalonan sekda, hak prerogatif ada pada bupati. Kalau DPRD tidak diajak berembuk, ya, karena memang tidak harus. Kalau DPRD merasa perlu, proaktiflah jalin komunikasi. Asal, dengan mental reserve: putusannya bukanlah hasil kompromi, tapi pemenuhan hak prerogatif bupati.
Tampaknya, mental reserve itu yang kurang. Pertanda, kurangnya pemahaman akan sistem demokrasi yang dibangun. Di tingkat nasional, kita memilih sistem presidensial. Dan menjalankannya melalui pemilu langsung presiden. Maka, politik negara adalah politik sang presiden. Memilih seorang presiden secara langsung berarti memberi blangko kosong politik. Demikian pendapat filosof Rocky Gerung (Kompas Kamis 30 September 2004).
Analog dengan di daerah: pemilukada langsung. Bupati yang dapat dukungan luas rakyat pada prinsipnya tidak harus berembuk dengan DPRD dalam menyusun ‘kabinet’. Dengan demikian, ia dibebaskan dari beban transaksi politik, yang justru dapat menghambat efektivitas pemerintahan. Tidak harus lagi cari legitimasi politik dari partai, karena asal kekuasaannya langsung dari rakyat. Yang diperlukan cuma birokrasinya profesional dan paham akan masalah rakyat.
Ini prinsip dan konsekuensi dari hak prerogaatf bupati yang lahir dari pemilukada langsung. Tampaknya, ini kurang dipahami, baik oleh sebagian rakyat maupun oleh sebagian DPRD. Karena kekurangpahamanan itulah muncul keluh-kesah yang tidak tepat dan tidak pada tempatnya. Dengan mindset sesat pula, dikotomis primordialistis, “orang dalam” dan “orang luar”.
Ende kota kelahiran Pancasila. Pancasila menghargai pluralitas dan multikulturalitas. Dikotomi “orang dalam” dan “orang luar” itu langkah mundur sejarah. Ende sudah dapat sekda definitif. Tinggalkan dikotomi itu. Beri sekda kesempatan. Tugas DPRD, mengontrol. Bukan berkeluh-kesah.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 3 Juni 2010
Label:
bentara,
budaya,
bupati ende don bosco m wangge,
dprd ende,
ende,
flores,
flores pos,
politik,
sekda ende yoseph ansar rera
Si Wau Jadi Korban
Kejanggal Eksekusi di Lembata
Oleh Frans Anggal
Benediktus Laru Fernandez alias Wau menimbun minyak tanah 125 liter. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Lewoleba 1 Juli 2009, ia dijatuhi vonis tahanan kota dua bulan dan denda Rp500 ribu. Ia terima. Hukuman ia jalani. Selesai. Setahun berlalu, tiba-tiba kejaksaan ingin mengeksekusi putusan tadi. Jebloskan Mau ke rutan Larantuka (Flores Pos Selasa 1 Juni 2010).
Mau monolak. Ia minta bantuan Aldiras dan Florata Corruption Watch. Pengadilan dan kejaksaan didatangi. Konfirmasi dari pengadilan: benar Mau dijatuhi hukuman tahanan kota dua bulan dan denda Rp500 ribu. Sedangkan dari kejaksaan, lucu. Ditanyakan: kenapa esksekusi baru dijalankan setelah setahun lewat dan tidak segera, paling lama tujuh hari, setelah putusan? Jawabannya: lupa, karena saat itu sibuk dengan kasus lain.
Lupa? Boleh jadi. Bila benar, ini luar biasa. Kejari Lewoleba bisa pecehkan rekor dunia untuk kategori ”lupa mengeksekusi putusan pengadilan”. Lupanya satu tahun, bayangkan! Yang begini, bukan lupa biasa. Ini sudah patologis. Amnesia. Semestinya, begitu siuman, jangan dulu eksekusi putusan yang dilupakan setahun. Lebih mendesak, periksakan diri ke psikiater.
Aldiras dan Florata Corruption Watch tidak percaya kejari lupa. Menurut mereka, kejari salah tafsir putusan pengadilan. ”Kita sangat menyesal dengan perbedaan penafsiran putusan ini,” kata Petrus Bala Wukak.
Pertanyaan kita: kalau benar salah tafsir, apa yang tidak jelas dari putusan itu? Vonisnya jelas: tahanan kota. Atas dasar apa muncul salah tafsir: tahanan kota sama dengan tahanan rutan? Vonisnya jelas: tahanan kota itu merujuk kota Lewoleba. Atas dasar apa muncul salah tafsir: kota Lewoleba sama dengan kota Larantuka, sehingga si terpidana harus dirutankan di Larantuka?
Tentu kejaksaan punya alasan. Sayang, dalam berita, kejaksaan belum bicara. Meski demikian, dapat dipastikan, tudingan salah tafsir tidak mereka terima. Malah si penuding bisa balik dituding sebagai pihak yang salah menafsir tafsiran kejaksaan. Atau, bisa saja, pengadilan yang malah dituding salah memvonis. Semestinya Wau itu di-rutan-kan, koq di-tahanan-kota-kan.
Apa pun itu, dampaknya sama. Apakah karena kejaksaan lupa eksekusi atau salah tafsir putusan pengadilan atau apa pun penyebabnya, tetap saja Wau dikorbankan. Dia sudah selesai jalani hukuman atas dasar vonis pengadilan, sekarang dihukum lagi atas dasar eksekusi kejaksaan. Dia sudah jalani vonis tahanan kota, sekarang jalani lagi eksekusi tahanan rutan. Dia sudah jalani vonis di Lewoleba, sekarang jalani lagi vonis di Larantua.
Apa yang terjadi di sini? Orang dihukum dua kali dalam kasus yang sama. Istilah Latinnya: bis in idem. Ini tidak dapat dibenarkan. Semestinya: non bis in idem. Seseorang tidak boleh dihukum dua kali dalam kasus yang sama. Asas ini dilanggar telak-telak di Lewoleba.
Kasihan si Wau. Dihukum dua kali. Hukuman pertama, karena kesalahannya sendiri. Hukuman kedua, karena kesalahan penegak hukum. Untuk kesalahannya sendiri, ia sudah dihukum. Untuk kesalahan penegak hukum, apa hukumannya? Wau harus gugat! Dasarnya, bukan hanya karena dia dikorbankan, tapi juga karena kesalahan penegak hukum itu berbahaya, sekecil apa pun.
Bagi penegak hukum, berlaku ungkapan ini. The danger of small mistakes is that those mistakes are not always small. Bahaya dari kesalahan-kesalahan kecil adalah bahwa kesalahan-kesalahan itu tidak selalu kecil. Kesalahan kecil bisa akibatkan kesalahan besar. Persoalan pun menjadi lebih besar. Itulah yang terjadi di Lewoleba. Dan Wau jadi korbannya.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 2 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
Benediktus Laru Fernandez alias Wau menimbun minyak tanah 125 liter. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Lewoleba 1 Juli 2009, ia dijatuhi vonis tahanan kota dua bulan dan denda Rp500 ribu. Ia terima. Hukuman ia jalani. Selesai. Setahun berlalu, tiba-tiba kejaksaan ingin mengeksekusi putusan tadi. Jebloskan Mau ke rutan Larantuka (Flores Pos Selasa 1 Juni 2010).
Mau monolak. Ia minta bantuan Aldiras dan Florata Corruption Watch. Pengadilan dan kejaksaan didatangi. Konfirmasi dari pengadilan: benar Mau dijatuhi hukuman tahanan kota dua bulan dan denda Rp500 ribu. Sedangkan dari kejaksaan, lucu. Ditanyakan: kenapa esksekusi baru dijalankan setelah setahun lewat dan tidak segera, paling lama tujuh hari, setelah putusan? Jawabannya: lupa, karena saat itu sibuk dengan kasus lain.
Lupa? Boleh jadi. Bila benar, ini luar biasa. Kejari Lewoleba bisa pecehkan rekor dunia untuk kategori ”lupa mengeksekusi putusan pengadilan”. Lupanya satu tahun, bayangkan! Yang begini, bukan lupa biasa. Ini sudah patologis. Amnesia. Semestinya, begitu siuman, jangan dulu eksekusi putusan yang dilupakan setahun. Lebih mendesak, periksakan diri ke psikiater.
Aldiras dan Florata Corruption Watch tidak percaya kejari lupa. Menurut mereka, kejari salah tafsir putusan pengadilan. ”Kita sangat menyesal dengan perbedaan penafsiran putusan ini,” kata Petrus Bala Wukak.
Pertanyaan kita: kalau benar salah tafsir, apa yang tidak jelas dari putusan itu? Vonisnya jelas: tahanan kota. Atas dasar apa muncul salah tafsir: tahanan kota sama dengan tahanan rutan? Vonisnya jelas: tahanan kota itu merujuk kota Lewoleba. Atas dasar apa muncul salah tafsir: kota Lewoleba sama dengan kota Larantuka, sehingga si terpidana harus dirutankan di Larantuka?
Tentu kejaksaan punya alasan. Sayang, dalam berita, kejaksaan belum bicara. Meski demikian, dapat dipastikan, tudingan salah tafsir tidak mereka terima. Malah si penuding bisa balik dituding sebagai pihak yang salah menafsir tafsiran kejaksaan. Atau, bisa saja, pengadilan yang malah dituding salah memvonis. Semestinya Wau itu di-rutan-kan, koq di-tahanan-kota-kan.
Apa pun itu, dampaknya sama. Apakah karena kejaksaan lupa eksekusi atau salah tafsir putusan pengadilan atau apa pun penyebabnya, tetap saja Wau dikorbankan. Dia sudah selesai jalani hukuman atas dasar vonis pengadilan, sekarang dihukum lagi atas dasar eksekusi kejaksaan. Dia sudah jalani vonis tahanan kota, sekarang jalani lagi eksekusi tahanan rutan. Dia sudah jalani vonis di Lewoleba, sekarang jalani lagi vonis di Larantua.
Apa yang terjadi di sini? Orang dihukum dua kali dalam kasus yang sama. Istilah Latinnya: bis in idem. Ini tidak dapat dibenarkan. Semestinya: non bis in idem. Seseorang tidak boleh dihukum dua kali dalam kasus yang sama. Asas ini dilanggar telak-telak di Lewoleba.
Kasihan si Wau. Dihukum dua kali. Hukuman pertama, karena kesalahannya sendiri. Hukuman kedua, karena kesalahan penegak hukum. Untuk kesalahannya sendiri, ia sudah dihukum. Untuk kesalahan penegak hukum, apa hukumannya? Wau harus gugat! Dasarnya, bukan hanya karena dia dikorbankan, tapi juga karena kesalahan penegak hukum itu berbahaya, sekecil apa pun.
Bagi penegak hukum, berlaku ungkapan ini. The danger of small mistakes is that those mistakes are not always small. Bahaya dari kesalahan-kesalahan kecil adalah bahwa kesalahan-kesalahan itu tidak selalu kecil. Kesalahan kecil bisa akibatkan kesalahan besar. Persoalan pun menjadi lebih besar. Itulah yang terjadi di Lewoleba. Dan Wau jadi korbannya.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 2 Juni 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
jejaksaan negeri lewoleba,
lembata,
non bis in idem,
pengadilan negeri lewoleba
Selamat, Pak Ansar Rera!
Kontroversi Pelantikan Sekda Ende
Oleh Frans Anggal
Setelah menanti setahun lebih, Kabupaten Ende akhirnya memiliki seorang sekda definitif. Yoseph Ansar Rera. Ia dilantik di Ende oleh Gubernur Frans Lebu Raya pada Sabtu 29 Mei 2010 (Flores Pos Senin 31 Mei 2010).
Ansar Rera, putra daerah Sikka. Ia satu dari tiga kandidat yang diusulkan bupati ke gubernur untuk selanjutnya diteruskan ke mendagri guna ditetapkan salah satunya. Dua lainnya, Dominikus M Mere, putra daerah Ende, dan Agus Harapan, putra daerah Manggarai.
Atribut putra daerah sengaja kita cuatkan. Sebab, di Ende, selama setahun lebih jabatan sekda lowong, wacana putra daerah sangat terasa. Terkesan, sebagian kalangan inginkan sekda ’harus’ orang Ende. Tak terkecuali, sebagian kalangan DPRD. Mereka rajin wacanakan di koran.
Bedanya dengan yang lain, mungkin karena politikus, kalangan DPRD ’diplomatis’. Mereka gunakan bahasa, tidak hanya untuk ungkapkan sesuatu, tapi juga untuk sembunyikan sesuatu. Lemparnya jauh, jatuhnya dekat. Hingga sehari jelang pelantikan Ansar Rera, ’diplomasi’ itu masih terasa. Contoh, ucapan Ketua Komisi A DPRD H. Yusuf Oang. ”Karena beliau ini (Ansar Rera) dari luar dan baru masuk ke wilayah kita, beliau harus menguasai betul wilayah kita ....” (Flores Pos Sabtu 29 Mei 2010).
Secara tekstual, pernyataan ini ’bermasalah’. Bila dilengkapi: karena Ansar Rera bukan putra Ende dan baru masuk Ende, tentu ia belum atau tidak menguasai wilayah Ende, maka ia harus belajar agar menguasai betul wilayah Ende.
Pertanyaan kita. Pertama, kalau dia putra Ende dan lama tinggal di Ende, apakah otomatis dia menguasai betul wilayah Ende? Belum tentu! Kedua, kalau dia menguasai betul wilayah Ende, apakah otomatis ia menjadi sekda yang baik? Belum tentu! Ketiga, apakah harus seorang sekda yang tupoksinya birokratis-administratif menguasai wilayah? Tidak! Kalau begitu, kenapa sekda dikaitkan, malah disertai keharusan, dengan hal itu?
Untuk menjawabnya, cara wawas kita tidak cukup kalau hanya tekstual. Perlu juga kontekstual. Konteksnya dapat kita telusuri dari frasa tertentu pada ucapan tadi. Biar jelas, kita kapitalkan: ”Karena beliau ini DARI LUAR dan BARU MASUK ke WILAYAH KITA, beliau harus menguasai betul WILAYAH KITA ....”
Frasa kapital itu tidak sekadar lahir dari bibir. Tapi lahir dari pola pikir yang masih hidup di Kabupaten Ende. Pola pikir dikotomi antara ”ata mai” (pendatang) dan ”ata mera” (warga asli). Dikotomi ini selalu dibantah dalam tataran wacana. Namun, selalu muncul kembali dalam tataran praksis. Salah satunya, dalam praksis berbahasa. Contohnya, bahasa kalangan DPRD itu.
Tampaknya, pola dikotomi ini masih sangat kuat, sampai-sampai jabatan sekda yang tupoksinya birokratis-administratif diembel-embeli kriteria ”ata mera” dalam bungkusan bahasa diplomatis ”menguasai betul wilayah”. Kriteria yang lebih pas untuk jabatan politik bupati-wabup ini dipaksakan untuk sekda. Padahal sekda itu jabatan karier birokrat. Dia urus ”kertas yang bergerak”, bukan urus tanah, air, jalan, dll.
Lagi pula, tak ada presedennya sekda ”ata mera” lebih baik daripada sekda ”ata mai”. Malah, bisa sebaliknya. Sekda ”ata mera” yang ”menguasai betul wilayah” akan berdaya rusak dahsyat kalau dia jahat. Bahayanya: personalisasi birokrasi. Ia mudah membawa masuk pola-pola emosionalitas dan hubungan pribadi ke dalam struktur anonim birokrasi. KKN jadi subur. Sudah terbukti.
Karena itulah, pada masa Gubernur Ben Mboi, sekda selalu bukan putra daerah setempat. Ini kebijakan yang tepat. Maka, Ansar Rera pun pilihan yang tepat. Selamat bertugas, Pak Ansar Rera!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 1 Juni 2010
Oleh Frans Anggal
Setelah menanti setahun lebih, Kabupaten Ende akhirnya memiliki seorang sekda definitif. Yoseph Ansar Rera. Ia dilantik di Ende oleh Gubernur Frans Lebu Raya pada Sabtu 29 Mei 2010 (Flores Pos Senin 31 Mei 2010).
Ansar Rera, putra daerah Sikka. Ia satu dari tiga kandidat yang diusulkan bupati ke gubernur untuk selanjutnya diteruskan ke mendagri guna ditetapkan salah satunya. Dua lainnya, Dominikus M Mere, putra daerah Ende, dan Agus Harapan, putra daerah Manggarai.
Atribut putra daerah sengaja kita cuatkan. Sebab, di Ende, selama setahun lebih jabatan sekda lowong, wacana putra daerah sangat terasa. Terkesan, sebagian kalangan inginkan sekda ’harus’ orang Ende. Tak terkecuali, sebagian kalangan DPRD. Mereka rajin wacanakan di koran.
Bedanya dengan yang lain, mungkin karena politikus, kalangan DPRD ’diplomatis’. Mereka gunakan bahasa, tidak hanya untuk ungkapkan sesuatu, tapi juga untuk sembunyikan sesuatu. Lemparnya jauh, jatuhnya dekat. Hingga sehari jelang pelantikan Ansar Rera, ’diplomasi’ itu masih terasa. Contoh, ucapan Ketua Komisi A DPRD H. Yusuf Oang. ”Karena beliau ini (Ansar Rera) dari luar dan baru masuk ke wilayah kita, beliau harus menguasai betul wilayah kita ....” (Flores Pos Sabtu 29 Mei 2010).
Secara tekstual, pernyataan ini ’bermasalah’. Bila dilengkapi: karena Ansar Rera bukan putra Ende dan baru masuk Ende, tentu ia belum atau tidak menguasai wilayah Ende, maka ia harus belajar agar menguasai betul wilayah Ende.
Pertanyaan kita. Pertama, kalau dia putra Ende dan lama tinggal di Ende, apakah otomatis dia menguasai betul wilayah Ende? Belum tentu! Kedua, kalau dia menguasai betul wilayah Ende, apakah otomatis ia menjadi sekda yang baik? Belum tentu! Ketiga, apakah harus seorang sekda yang tupoksinya birokratis-administratif menguasai wilayah? Tidak! Kalau begitu, kenapa sekda dikaitkan, malah disertai keharusan, dengan hal itu?
Untuk menjawabnya, cara wawas kita tidak cukup kalau hanya tekstual. Perlu juga kontekstual. Konteksnya dapat kita telusuri dari frasa tertentu pada ucapan tadi. Biar jelas, kita kapitalkan: ”Karena beliau ini DARI LUAR dan BARU MASUK ke WILAYAH KITA, beliau harus menguasai betul WILAYAH KITA ....”
Frasa kapital itu tidak sekadar lahir dari bibir. Tapi lahir dari pola pikir yang masih hidup di Kabupaten Ende. Pola pikir dikotomi antara ”ata mai” (pendatang) dan ”ata mera” (warga asli). Dikotomi ini selalu dibantah dalam tataran wacana. Namun, selalu muncul kembali dalam tataran praksis. Salah satunya, dalam praksis berbahasa. Contohnya, bahasa kalangan DPRD itu.
Tampaknya, pola dikotomi ini masih sangat kuat, sampai-sampai jabatan sekda yang tupoksinya birokratis-administratif diembel-embeli kriteria ”ata mera” dalam bungkusan bahasa diplomatis ”menguasai betul wilayah”. Kriteria yang lebih pas untuk jabatan politik bupati-wabup ini dipaksakan untuk sekda. Padahal sekda itu jabatan karier birokrat. Dia urus ”kertas yang bergerak”, bukan urus tanah, air, jalan, dll.
Lagi pula, tak ada presedennya sekda ”ata mera” lebih baik daripada sekda ”ata mai”. Malah, bisa sebaliknya. Sekda ”ata mera” yang ”menguasai betul wilayah” akan berdaya rusak dahsyat kalau dia jahat. Bahayanya: personalisasi birokrasi. Ia mudah membawa masuk pola-pola emosionalitas dan hubungan pribadi ke dalam struktur anonim birokrasi. KKN jadi subur. Sudah terbukti.
Karena itulah, pada masa Gubernur Ben Mboi, sekda selalu bukan putra daerah setempat. Ini kebijakan yang tepat. Maka, Ansar Rera pun pilihan yang tepat. Selamat bertugas, Pak Ansar Rera!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 1 Juni 2010
Label:
bentara,
budaya,
bupati ende don bosco m wangge,
dprd ende,
ende,
flores,
flores pos,
potik,
sekda ende yoseph ansar rera
Bupati Sosi Harus Tegar
Sikapi Rekomendasi DPRD Sikka
Oleh Frans Anggal
DPRD Sikka desak Bupati Sosimus Mitang segera sikapi rekomendasi DPRD berdasarkan hasil kerja pansus kasus pengadaan alat angkut darat dishubkominfo Rp1,8 miliar. Desakan ini muncuat pada pandangan umum fraksi dalam rapat peripurna, Kamis 27 Mei 2010 (Flores Pos Sabtu 29 Mei 2010).
Rekomendasinya: penonaktifan sementara Kadishubkominfo Robertus (Roby) Lameng. Tujuannya: Roby fokus pada penyelesaian hukum kasus dishubkominfo. Tanggapan bupati: akan pelajari dan sikapi dengan cermat. Tanggapan Roby: terima apa pun sikap bupati (Flores Pos Rabu 19 Mei 2010).
Pansus temukan, kerugian negara dalam kasus dishubkominfo Rp638 juta. Terjadi pengurangan pengadaan alat angkut. Pengadaan seharusnya, 7 unit: 6 bus dan 1 pick up. Realisasinya, 6 unit: 5 bus dan 1 pick up. Alasan Roby Lameng, bahwa jumlah dikurangi karena harga naik, tidak terbukti dalam penyelidikan pansus.
Hasil kerja pansus ini sudah diserahkan ke bupati. Disertai rekomendasi penonaktifan Roby Lameng. Kata DPRD, sejak rekomendasi diserahkan, sepuluh hari sudah berlalu. Tindak lanjut bupati belum ada. Gong rekomendasi sudah berkumandang di bumi Sikka. Sikap bupati belum jelas.
”Apakah Saudara Bupati juga menyetujui kebijakan Kepala Dishubkominfo? Ataukah seperti apa sikap Saudara Bupati atas rekomendasi pansus DPRD tentang pengadaan alat angkut darat tersebut?” Pertanyaan retoris ini dilontarkan Fraksi Gerakan Indonesia Raya.
Semestinya, memang, Bupati Sosi segera ambil sikap setelah pelajari cermat rekomendasi itu. Kesalahan bupati terletak di situ. Dan, hanya dalam hal itu. Hanya dalam hal ke-tidak-segera-an mengambil sikap. Bukan dalam hal isi sikap. Isi sikap, menonaktifkan Roby atau tidak, itu hak prerogatif bupati. Maka, DPRD harus hormati itu. Harus tahu diri. Jangan paksakan kehendak.
Tujuan penonaktifan itu sendiri lemah: agar Roby fokus pada penyelesaian kasus hukum. Lho, penyelesaian kasus hukum itu fokusnya polisi, jaksa, hakim. Bukan fokusnya Roby. Fokusnya Roby tetap pada tupoksinya sebagai kadis. Selain itu, dampaknya bisa buruk. Kalau semua kadis berkasus hukum harus dinonaktifkan, birokrasi akan macet, pelayanan publik akan terlantar.
Ditilik dari hal-hal tersebut, penonaktifan itu tidak harus, bahkan tidak perlu. Bupati Sosi harus tegar di atas apa yang menjadi klaimnya (hak prerogatif) dan demi apa yang menjadi klaim rakyatnya (kesejahteraan). Jangan sekali-kali menonaktifkan kadis hanya karena desakan DPRD. Apalagi kalau dengan persepsi sesat bahwa DPRD itu representasi mandat mutlak kehendak rakyat.
Legislatif bukanlah representasi mandat mutlak kehendak rakyat. Sebab, legitimasinya melalui pemilu tidak sepenuhnya dari rakyat, tetapi juga dari KPU (pembagian sisa suara, dll) dan dari partai (recall, dll). Sebaliknya, pada bupati (juga kades, gubernur, presiden) yang dipilih langsung. Legitimasinya sepenuhnya dari rakyat. Rakyat memberikan mandat mutlak. Maka, sesungguhnya, bupatilah pengemban peran representasi. Sedangkan DPRD, pengemban peran delegasi.
Karena itu, akan lucu kalau, ketika harus mempertahankan apa yang menjadi klaimnya dan klaim rakyatnya, bupati tunduk takluk taat penurut pada kesewenang-wenangan DPRD. Mungkin ia khawatir: kalau keinginan DPRD tidak diladeni, konstelasi politik di DPRD akan mengganggu efektivitas pemerintahannya. Itu bisa terjadi. Bisa juga tidak. Tergantung dari DPRD-nya, cerdas atau tidak. Pada akhirnya, rakyat yang akan menilai. Yang cerdas, pasti dipilih kembali. Yang tidak, cukup kali ini.
“Bentara” FLORES POS, Senin 31 Mei 2010
Oleh Frans Anggal
DPRD Sikka desak Bupati Sosimus Mitang segera sikapi rekomendasi DPRD berdasarkan hasil kerja pansus kasus pengadaan alat angkut darat dishubkominfo Rp1,8 miliar. Desakan ini muncuat pada pandangan umum fraksi dalam rapat peripurna, Kamis 27 Mei 2010 (Flores Pos Sabtu 29 Mei 2010).
Rekomendasinya: penonaktifan sementara Kadishubkominfo Robertus (Roby) Lameng. Tujuannya: Roby fokus pada penyelesaian hukum kasus dishubkominfo. Tanggapan bupati: akan pelajari dan sikapi dengan cermat. Tanggapan Roby: terima apa pun sikap bupati (Flores Pos Rabu 19 Mei 2010).
Pansus temukan, kerugian negara dalam kasus dishubkominfo Rp638 juta. Terjadi pengurangan pengadaan alat angkut. Pengadaan seharusnya, 7 unit: 6 bus dan 1 pick up. Realisasinya, 6 unit: 5 bus dan 1 pick up. Alasan Roby Lameng, bahwa jumlah dikurangi karena harga naik, tidak terbukti dalam penyelidikan pansus.
Hasil kerja pansus ini sudah diserahkan ke bupati. Disertai rekomendasi penonaktifan Roby Lameng. Kata DPRD, sejak rekomendasi diserahkan, sepuluh hari sudah berlalu. Tindak lanjut bupati belum ada. Gong rekomendasi sudah berkumandang di bumi Sikka. Sikap bupati belum jelas.
”Apakah Saudara Bupati juga menyetujui kebijakan Kepala Dishubkominfo? Ataukah seperti apa sikap Saudara Bupati atas rekomendasi pansus DPRD tentang pengadaan alat angkut darat tersebut?” Pertanyaan retoris ini dilontarkan Fraksi Gerakan Indonesia Raya.
Semestinya, memang, Bupati Sosi segera ambil sikap setelah pelajari cermat rekomendasi itu. Kesalahan bupati terletak di situ. Dan, hanya dalam hal itu. Hanya dalam hal ke-tidak-segera-an mengambil sikap. Bukan dalam hal isi sikap. Isi sikap, menonaktifkan Roby atau tidak, itu hak prerogatif bupati. Maka, DPRD harus hormati itu. Harus tahu diri. Jangan paksakan kehendak.
Tujuan penonaktifan itu sendiri lemah: agar Roby fokus pada penyelesaian kasus hukum. Lho, penyelesaian kasus hukum itu fokusnya polisi, jaksa, hakim. Bukan fokusnya Roby. Fokusnya Roby tetap pada tupoksinya sebagai kadis. Selain itu, dampaknya bisa buruk. Kalau semua kadis berkasus hukum harus dinonaktifkan, birokrasi akan macet, pelayanan publik akan terlantar.
Ditilik dari hal-hal tersebut, penonaktifan itu tidak harus, bahkan tidak perlu. Bupati Sosi harus tegar di atas apa yang menjadi klaimnya (hak prerogatif) dan demi apa yang menjadi klaim rakyatnya (kesejahteraan). Jangan sekali-kali menonaktifkan kadis hanya karena desakan DPRD. Apalagi kalau dengan persepsi sesat bahwa DPRD itu representasi mandat mutlak kehendak rakyat.
Legislatif bukanlah representasi mandat mutlak kehendak rakyat. Sebab, legitimasinya melalui pemilu tidak sepenuhnya dari rakyat, tetapi juga dari KPU (pembagian sisa suara, dll) dan dari partai (recall, dll). Sebaliknya, pada bupati (juga kades, gubernur, presiden) yang dipilih langsung. Legitimasinya sepenuhnya dari rakyat. Rakyat memberikan mandat mutlak. Maka, sesungguhnya, bupatilah pengemban peran representasi. Sedangkan DPRD, pengemban peran delegasi.
Karena itu, akan lucu kalau, ketika harus mempertahankan apa yang menjadi klaimnya dan klaim rakyatnya, bupati tunduk takluk taat penurut pada kesewenang-wenangan DPRD. Mungkin ia khawatir: kalau keinginan DPRD tidak diladeni, konstelasi politik di DPRD akan mengganggu efektivitas pemerintahannya. Itu bisa terjadi. Bisa juga tidak. Tergantung dari DPRD-nya, cerdas atau tidak. Pada akhirnya, rakyat yang akan menilai. Yang cerdas, pasti dipilih kembali. Yang tidak, cukup kali ini.
“Bentara” FLORES POS, Senin 31 Mei 2010
Label:
bentara,
bupati sikka sosimus mitang,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus dephubkominfo sikka,
potik,
rekomendasi dprd sikka,
sikka
Langganan:
Postingan (Atom)