Kasus 'Dugaan' Pencemaran Hosti di Sikka
Oleh Frans Anggal
Minggu 5 September 2010, massa mengamuk di Maumere, Kabupaten Sikka. Mereka desak ingin lihat dari dekat terduga pelaku pencemaran hosti di Kapela Wailiti. Amuk massa reda setelah Uskup Maumere Mgr Kherubim Parera SVD turun tangan tenangkan umat (Flores Pos Senin 6 September 2010).
“Saya minta umat tetap tenang,” kata uskup. “Kasus yang terjadi di Kapela Wailiti itu bukan termasuk kasus pencemaran (hosti). Kita percayakan penanganan kasus ini kepada aparat berwenang.”
Pelaku, dari Soe ke Maumere, cari kerja. Tiba 31 Agustus 2010. Tinggal di Wailiti. Sabtu 4 September, ia cek lokasi gereja. Warga tunjuk Kapela Wailiti. Minggu pagi ia ke gereja bersama seorang umat. Saat terima komuni, ia ikut maju. Dikiranya antar persembahan, ternyata bukan. Mau mundur, takut. Ia terima hosti, tapi tak langsung dimakan. Ia bawa ke tempat duduk, tunggu diberi petunjuk sebagaimana kebiasan di gerejanya. Tak ada petunjuk. Maka, hosti ia masukkan ke saku baju. Usai misa, ia serahkan ke imam pemimpin misa.
Ini bukan pencemaran hosti, ya. Baik karena motifnya maupun karena modusnya. Motifnya, ketidaktahuan. Modusnya, perlakuan terhadap hosti: relatif baik. Ia terima, simpan, kembalikan. Ia tidak remukkan atau injak.
Meski demikian, bukan pencemaran tidak berarti bukan masalah. Dari dampaknya, ini delik. Terluka atau minimal terganggunya perasaan keagamaan umat. Karena itu, desakan Sekjen Keuskupan Maumere Rm Richard Muga Buku Pr tepat. Proses hukum.
Uskup percayakan penanganan kasus ini kepada aparat berwenang. Artinya, aparat berwenang dipercaya dapat menangani kasus ini. Kata “percaya” punya beberapa makna (KBBI). Antara lain: menganggap atau yakin seseorang itu jujur. Juga, yakin akan kemampuan seseorang memenuhi apa yang diharapkan.
Yang diharapkan tak banyak. Keadilan dan efek jera. Jadi, jauh dari vonis bebas, yang secara logis salah, secara yuridis curang, secara sosiologis berbahaya. Meski motif dan modusnya bukan pencemaran hosti atau penghinaan agama, pelaku tetap bersalah. Ia lalai mencari tahu. Ia tidak hati-hati bertindak. Akibatnya, perasaan keagamaan umat terluka atau minimal terganggu.
Analog dengan kasus sopir yang tabrak mati orang. Sopir tetap dihukum, meski ia tak punya motif membunuh dan telah menyetir mobil atas cara atau modus yang tepat. Akibatnyalah yang dilihat: orang tewas. Korban mungkin salah, seberangi jalan tiba-tiba saat mobil mendekat. Kendati demikian, sopir tidak lantas (di)benar(kan). Ia (ber)salah juga. Kelalaian atau ketidakcermatan atau ketidaktahuannya telah menyebabkan orang lain mati.
Umat Katolik di Flores baru saja dilukai oleh putusan PT Kupang yang memvonis bebas Anus Waja dan Theresia Tawa, terdakwa yang oleh PN Bajawa telah divonis penjara seumur hidup dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Romo Faustin Sega Pr. Ini contoh vonis yang secara logis salah, secara yuridis curang, secara sosiologis berbahaya. Untung, umat Katolik di Flores masih dengarkan imbauan pemimpin agamanya. Meski hati panas, kepala tetap dingin.
Kita berharap penegak hukum di Sikka tidak mengangakan luka itu. Jangan menguji kesabaran umat. Tegakkan keadilan, yang tidak hanya sesuai dengan hukum tapi juga sepadan dengan rasa keadilan masyarakat. Kita tak inginkan hukuman lampaui batas. Karena, selain tak adil, itu keji. Tapi kita juga tak kehendaki vonis bebas, seakan tak ada delik, sehingga besok lusa peristiwa serupa boleh terulang. Yang kita harapkan hanya ini. Hukuman itu adil dan menjerakan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 7 September 2010
2 komentar:
oh begitu,, haha.. saya baru tau ceritanya.. :D
oh begitu,, saya baru tau ceritanya.. :D
Posting Komentar