Prita, 2012, dan Membongkar Gurita Cikeas
Oleh Frans Anggal
Prita Mulyasari akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang, Selasa 29 Desember 2009. Prita tidak terbukti lakukan pencemaran nama baik RS Omni Internasional. Prita pun langung sujud syukur. Demikian warta Flores Pos Rabu 30 Desember 2009.
Kasus Prita menarik. Pertama, karena kontroversinya: “hukum vs keadilan”. Dan pada akhirnya keadilanlah yang menang. Kedua, karena dampak ikutannya. Vonis hukum yang tidak adil pada akhirnya melahirkan gerakan sosial: “Koin Peduli Prita”. Dari caranya, Koin Peduli Prita sungguh cerdas. Cara cerdas justru diperlihatkan wong cilik.
Ironis. Orang kecil, yang biasa dianggap bodoh, justru bereaksi cerdas. Sebaliknya, orang besar, yang biasa dianggap cerdas, justru bereaksi bodoh. Ketika film ”2012” karya sutradara Roland Emmerich diputar di Indonesia akhir 2009, reaksi orang besar jauh dari cerdas. Ada yang desak film itu dilarang diputar. Ada pula yang mau men-sweeping semua bioskop yang memutarnya.
Film ”2012” film fiksi ilmiah. Di Indonesia dianggap seolah-olah film tentang agama. Kiamat dunia dalam fiksi dikacaukan dengan eskatologi. Kebodohan ini melahirkan kebodohan baru: pelarangan. Dampaknya lucu. Alih-alih mengurangi jumlah penonton, pelarangan malah mengundang semakin banyak orang menonton. Tentu karena penasaran. Pelarangan selalu jadi iklan gratis bagi sesuatu yang dilarang. Semakin diharamkan, semakin dicari.
Kaidah yang sama berlaku pada karya non-fiksi Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Kasus Bank Century. “ Ini buku karya George Junus Aditjondro. Tiba-tiba saja menghilang dari toko buku. Manajemen dapat telepon gelap dan berbagai tekanan spikologis agar hentikan penjualan. Karya ilmiah dilawan dengan cara preman. Juga dengan cara non-ilmiah. Presiden SBY serukan bangsa Indonesia jauhkan sikap dan perilaku fitnah, berita bohong dan lampaui kepatutan.
Dampaknya? Membongkar Gurita Cikeas kini jadi buku yang paling dicari-cari. Berapa pun harganya, orang akan beli. Dijual dalam bentuk fotokopi sekalipun, buku itu pasti tetap laris. Cara beraksi orang besar yang berlebihan, itulah yang bikin masyarakat penasaran. Kaidahnya sama dengan pelarangan. Reaksi berlebihan selalu jadi iklan gratis. Semakin dipersoalkan, semakin diminati.
Terhadap ”2012”, reaksi orang besar tidak padan. Terhadap Membongkar Gurita Cikeas, reaksinya pun tidak nyambung. Dengan kata lain, tidak cerdas. Satu dasarwarsa silam, reaksi yang sama dipertontonkan dalam kasus Timor Timur. Maka, Uskup Dili Mgr Belo dalam wawancara dengan BBC mengatakan, ”Bangsa Indonesia itu bangsa yang besar, tetapi jiwanya kecil.” YB Mangunwijawa ’mengkritik’ Mgr Belo dengan mengatakan, ”Kali ini beliau keliru: yang berjiwa kecil bukan bangsa Indonesia, akan tetapi pejabat-pejabat Indonesia dan pemimpin agama.”
Benar. Jiwa besar justru ada pada diri orang-orang kecil. Dalam kasus Prita, mereka kumpulkan koin. Koin itu uang kecil. Simbol wong cilik. Simbol ketertindasan. Ketika koin dikumpulkan dan disatukan oleh spirit solidaritas, yang terlahir bukan hanya number (jumlah) tapi juga power (kekuatan). Langsung atau tidak, diputus bebasnya Prita Mulyasari turut dipengaruhi oleh number dan power ini.
Tahun 2009 akan berakhir. Tahun 2010 segera menjelang. Kasus Prita, “2012”, dan Membongkar Gurita Cikeas kiranya jadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia. Khususnya bagi orang besar. Belajar bereaksi secara cerdas terhadap apa pun yang dianggap tidak berkenan. Orang-orang kecil telah memberikan contoh. Kecerdasan melahirkan pencerahan. Selamat Tahun Baru!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 31 Desember 2009
30 Desember 2009
Gurihnya Gurita Cikeas
Mereaksi Buku "Membongkar Gurita Cikeas"
Oleh Frans Anggal
Pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menilai reaksi Istana berlebihan terhadap buku George Junus Aditjondro, Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Kasus Bank Century. “(Reaksi berlebihan) ini malah berbalik menjadi iklan gratis bagi buku George. Masyarakat yang tidak terlalu peduli, menjadi penasaran untuk mendapatkannya,” katanya seperti diwartakan Flores Pos Selasa 29 Desember 2009.
Yang dirujuk Muhtadi adalah pernyataan Presiden SBY pada perayaan Natal bersama tingkat nasional. SBY menyerukan agar bangsa Indonesia menjauhkan sikap dan perilaku fitnah, berita bohong dan melampaui kepatutan. Pernyataan ini mengarah ke buku George. Apalagi jubir kepresidenan menegaskan kemudian, buku itu tidak mengandung kebenaran.
Dalam Membongkar Gurita Cikeas, George membahas gurita bisnis empat yayasan SBY. Yaitu, Yayasan Puri Cikeas, Yayasan Majelis Dzikir Nurussalam SBY, Yayasan Kepedulian Kesetiakawanan Sosial, dan Yayasan Mutumanikam Nusantara. Menurutnya, keempat yayasan inilah yang selama ini menjadi mesin uang dan penarik suara bagi SBY dan Partai Demokrat.
Hampir tak ada hal baru dalam buku ini. Sebagian besar sudah tersebar di media. Hanya sebagian kecil yang tidak. Yang baru hanyalah cara penulis mengumpulkan informasi, menganalisis korelasinya dengan pemerintahan SBY, lalu mengkritik perkembangan yang menurutnya semakin tidak sehat.
Menurut George, inilah yang tampaknya membuat kubu SBY kebakaran jenggot. Yang tidak perlu terjadi pun terjadilah. Pertama, terbitan Galang Pers itu diluncurkan di Yogyakarta 23 Desember 2009. Hanya berselang beberapa hari, buku tersebut ditarik dari toko buku di Jakarta. Pihak manajemen mendapat telepon gelap dan berbagai tekanan psikologis agar menghentikan penjualan. Kedua, reaksi Istana. SBY lakukan counter. Ia serukan agar bangsa Indonesia menjauhkan sikap dan perilaku fitnah, berita bohong dan melampaui kepatutan.
Baik tekanan psikologis kepada manajemen toko buku maupun seruan SBY merupakan reaksi berlebihan. Yang menjadi ukuran di sini caranya. Buku lahir dari sebuah tradisi. Tradisi ilmiah. Dalam tradisi ilmiah, ada aturan main. Termasuk, bagaimana bereaksi. Yang tidak setuju dengan isi buku, silakan nyatakan koreksinya dengan menulis buku juga. Atau, minimal, menulis telaahan di media. Cara yang sama dilakukan penulis manakala ia menemukan kekurangan pada bukunya. Ia mesti melahirkan edisi revisi.
Itu cara terhormat menurut tradisi ilmiah. Cara di luar cara itu berpeluang tidak terhormat. Memberi tekanan psikologis kepada manajemen toko buku agar menghentikan penjualan, itu cara preman. Bentuk lain: melarangnya, memblokir peredarannya, atau memborongnya untuk kemudian membakarnya. Juga, mencekal penulisnya, dan bila perlu memenjarakannya. Ini cara negara komunis. Cara Indonesia juga, era Soeharto. Pancasilais ajarannya, komunis praktiknya.
Setali tiga uang: seruan lisan lewat pidato agar warga bangsa tidak mempercayai isi buku. Tidak preman memang, tapi kampungan. Budaya tulis di-counter pakai budaya lisan. Selain tidak padan, hasilnya pun bisa terbalik. Seperti kata Burhanuddin Muhtadi: menjadi iklan gratis. “Masyarakat yang tidak terlalu peduli, menjadi penasaran untuk mendapatkannya.” Alhasil, Membongkar Gurita Cikeas pun jadi gurita goreng, gurih, dan dicari-cari.
Dalam spirit tradisi ilmiah, kita dambakan cara bereaksi terhormat. Mudah-mudahan segera lahir buku tandingan. Judulnya, Tak Ada Gurita Cikeas. Kalau di-counter berlebihan, buku ini pasti jadi gurita goreng juga, gurih, dan dicari-cari.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 30 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
Pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menilai reaksi Istana berlebihan terhadap buku George Junus Aditjondro, Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Kasus Bank Century. “(Reaksi berlebihan) ini malah berbalik menjadi iklan gratis bagi buku George. Masyarakat yang tidak terlalu peduli, menjadi penasaran untuk mendapatkannya,” katanya seperti diwartakan Flores Pos Selasa 29 Desember 2009.
Yang dirujuk Muhtadi adalah pernyataan Presiden SBY pada perayaan Natal bersama tingkat nasional. SBY menyerukan agar bangsa Indonesia menjauhkan sikap dan perilaku fitnah, berita bohong dan melampaui kepatutan. Pernyataan ini mengarah ke buku George. Apalagi jubir kepresidenan menegaskan kemudian, buku itu tidak mengandung kebenaran.
Dalam Membongkar Gurita Cikeas, George membahas gurita bisnis empat yayasan SBY. Yaitu, Yayasan Puri Cikeas, Yayasan Majelis Dzikir Nurussalam SBY, Yayasan Kepedulian Kesetiakawanan Sosial, dan Yayasan Mutumanikam Nusantara. Menurutnya, keempat yayasan inilah yang selama ini menjadi mesin uang dan penarik suara bagi SBY dan Partai Demokrat.
Hampir tak ada hal baru dalam buku ini. Sebagian besar sudah tersebar di media. Hanya sebagian kecil yang tidak. Yang baru hanyalah cara penulis mengumpulkan informasi, menganalisis korelasinya dengan pemerintahan SBY, lalu mengkritik perkembangan yang menurutnya semakin tidak sehat.
Menurut George, inilah yang tampaknya membuat kubu SBY kebakaran jenggot. Yang tidak perlu terjadi pun terjadilah. Pertama, terbitan Galang Pers itu diluncurkan di Yogyakarta 23 Desember 2009. Hanya berselang beberapa hari, buku tersebut ditarik dari toko buku di Jakarta. Pihak manajemen mendapat telepon gelap dan berbagai tekanan psikologis agar menghentikan penjualan. Kedua, reaksi Istana. SBY lakukan counter. Ia serukan agar bangsa Indonesia menjauhkan sikap dan perilaku fitnah, berita bohong dan melampaui kepatutan.
Baik tekanan psikologis kepada manajemen toko buku maupun seruan SBY merupakan reaksi berlebihan. Yang menjadi ukuran di sini caranya. Buku lahir dari sebuah tradisi. Tradisi ilmiah. Dalam tradisi ilmiah, ada aturan main. Termasuk, bagaimana bereaksi. Yang tidak setuju dengan isi buku, silakan nyatakan koreksinya dengan menulis buku juga. Atau, minimal, menulis telaahan di media. Cara yang sama dilakukan penulis manakala ia menemukan kekurangan pada bukunya. Ia mesti melahirkan edisi revisi.
Itu cara terhormat menurut tradisi ilmiah. Cara di luar cara itu berpeluang tidak terhormat. Memberi tekanan psikologis kepada manajemen toko buku agar menghentikan penjualan, itu cara preman. Bentuk lain: melarangnya, memblokir peredarannya, atau memborongnya untuk kemudian membakarnya. Juga, mencekal penulisnya, dan bila perlu memenjarakannya. Ini cara negara komunis. Cara Indonesia juga, era Soeharto. Pancasilais ajarannya, komunis praktiknya.
Setali tiga uang: seruan lisan lewat pidato agar warga bangsa tidak mempercayai isi buku. Tidak preman memang, tapi kampungan. Budaya tulis di-counter pakai budaya lisan. Selain tidak padan, hasilnya pun bisa terbalik. Seperti kata Burhanuddin Muhtadi: menjadi iklan gratis. “Masyarakat yang tidak terlalu peduli, menjadi penasaran untuk mendapatkannya.” Alhasil, Membongkar Gurita Cikeas pun jadi gurita goreng, gurih, dan dicari-cari.
Dalam spirit tradisi ilmiah, kita dambakan cara bereaksi terhormat. Mudah-mudahan segera lahir buku tandingan. Judulnya, Tak Ada Gurita Cikeas. Kalau di-counter berlebihan, buku ini pasti jadi gurita goreng juga, gurih, dan dicari-cari.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 30 Desember 2009
Polres Mabar Transparanlah
Lambannya Penanganan Kasus Tambang
Oleh Frans Anggal
Gerakan Masyarakat Anti-Tambang (Geram) Flores-Lembata minta Polres Mabar mengekspose perkembangan penyidikan kasus pidana perusakan hutan dan alih fungsi tata ruang akibat eksplorasi tambang emas di Mabar. Dua kasus ini dilaporkan Geram beberapa bulan lalu. Sudah sekian lama, penyidikannya belum juga tuntas. Demikian warta Flores Pos Senin 28 Desember 2009.
Hutan yang dirujuk Geram adalah hutan lindung RTK 108 di Tebedo. Sedangkan tata ruang yang dimaksudkan adalah kawasan Batu Gosok. Eksplorasi tambang di Tebedo masuk kawasan hutan lindung. Bekalnya hanya izin bupati. Tanpa izin Menhut. Tanpa dokumen upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL). Jelas, melanggar aturan.
Sedangkan eksplorasi tambang di Batu Gosok tidak sesuai dengan peruntukan tata ruang wilayah. Peruntukannya sudah diatur dalam Perda No. 30 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Mabar. Dalam perda ini, Batu Gosok masuk kawasan pariwisata komersial. Maka, eksplorasi tambang di Batu Gosok jelas melanggar aturan.
Yang salah dari segi aturan ini, buruk pula dari segi dampak. Tebedo: tidak hanya masuk kawasan hutan lindung, tapi juga berfungsi sebagai kawasan endapan air. Sedangkan Batu Gosok: ini kawasan pesisir yang dikelilingi ekosistem penting dan rentan seperti terumbu karang, padang lamun, dan bakau. Kawasan ini seharusnya jadi kawasan konservasi yang menunjang pariwisata komersial.
Semua itu sudah dilaporan Geram ke Polres Mabar. Pihak terlapor dalam kasus ini, Bupati Wilfridus Fidelis Pranda selaku pemberi izin. Juga, dua kuasa pertambangan: PT Prima Nusa Mining (kasus Tebedo) dan PT Grand Nusantara (kasus Batu Gosok). Laporan sudah disampaikan beberapa bulan lalu. Penyidikannya jalan, tapi seperti siput. Lamban. Padahal kasusnya jelas. Unsur tindak pidananya terang-benderang.
Dalam kelambanan itu, jangankan menetapkan tersangka, memeriksa pihak terlapor pun belum. Bupati Pranda dan kuasa pertambangan belum tersentuh pemeriksaan. Pemeriksaan masih putar-putar saja sekitar para kepala dinas dan staf. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi pada Polres Mabar?
Kalau mau jujur, jawabannya tidak sulit. Beginilah ‘nasib’ kasus menyangkut orang yang sedang berkuasa. Di hadapan yang sedang berkuasa, hukum itu lunglai. Di hadapan yang tidak lagi berkuasa alias pensiun, hukum baru tegak. Contohnya banyak. Di Ende, Paulinus Domi dan Iskandar M Mberu baru jadi tersangka kasus dugaan korupsi setelah tidak lagi menjabat bupati dan sekda.
Banyak contoh lain. Semuanya mengukuhkan tesis Mohammed Bedjaoui (1979). Di dalam dirinya sendiri maupun oleh dirinya sendiri, hukum tidak miliki daya paksa. Ciri paksanya berasal dari kekuatan ekonomi dan politik. Dua kekuatan inilah yang mengekspresikan kekuatan dalam hukum, yang sejak dulu ditaburi nilai moral dan landasan kebenaran lainnya. Penghalusan moral dan nilai-nilai sosial inilah yang menyebabkan hukum memiliki kekuatan. Sedangkan ciri paksanya benar-benar berasal dari tempat lain.
Dengan dasar ini, kita mendukung permintaan Geram. Polres Mabar perlu mengekspose perkembangan penyidikan kasus Tebedo dan Batu Gosok. Dengan kata lain, harus transparan. Tanpa transparansi, polres akan terpasung oleh kekuatan gelap. Yakni, kekuatan ekonomi dan politik yang, dalam kegelapan, berusaha melunglaikan daya paksa hukum. Transparansi menghalau kegelapan itu. Sekaligus mengusir semua kekuatan yang bersarang di dalamnya.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 29 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
Gerakan Masyarakat Anti-Tambang (Geram) Flores-Lembata minta Polres Mabar mengekspose perkembangan penyidikan kasus pidana perusakan hutan dan alih fungsi tata ruang akibat eksplorasi tambang emas di Mabar. Dua kasus ini dilaporkan Geram beberapa bulan lalu. Sudah sekian lama, penyidikannya belum juga tuntas. Demikian warta Flores Pos Senin 28 Desember 2009.
Hutan yang dirujuk Geram adalah hutan lindung RTK 108 di Tebedo. Sedangkan tata ruang yang dimaksudkan adalah kawasan Batu Gosok. Eksplorasi tambang di Tebedo masuk kawasan hutan lindung. Bekalnya hanya izin bupati. Tanpa izin Menhut. Tanpa dokumen upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL). Jelas, melanggar aturan.
Sedangkan eksplorasi tambang di Batu Gosok tidak sesuai dengan peruntukan tata ruang wilayah. Peruntukannya sudah diatur dalam Perda No. 30 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Mabar. Dalam perda ini, Batu Gosok masuk kawasan pariwisata komersial. Maka, eksplorasi tambang di Batu Gosok jelas melanggar aturan.
Yang salah dari segi aturan ini, buruk pula dari segi dampak. Tebedo: tidak hanya masuk kawasan hutan lindung, tapi juga berfungsi sebagai kawasan endapan air. Sedangkan Batu Gosok: ini kawasan pesisir yang dikelilingi ekosistem penting dan rentan seperti terumbu karang, padang lamun, dan bakau. Kawasan ini seharusnya jadi kawasan konservasi yang menunjang pariwisata komersial.
Semua itu sudah dilaporan Geram ke Polres Mabar. Pihak terlapor dalam kasus ini, Bupati Wilfridus Fidelis Pranda selaku pemberi izin. Juga, dua kuasa pertambangan: PT Prima Nusa Mining (kasus Tebedo) dan PT Grand Nusantara (kasus Batu Gosok). Laporan sudah disampaikan beberapa bulan lalu. Penyidikannya jalan, tapi seperti siput. Lamban. Padahal kasusnya jelas. Unsur tindak pidananya terang-benderang.
Dalam kelambanan itu, jangankan menetapkan tersangka, memeriksa pihak terlapor pun belum. Bupati Pranda dan kuasa pertambangan belum tersentuh pemeriksaan. Pemeriksaan masih putar-putar saja sekitar para kepala dinas dan staf. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi pada Polres Mabar?
Kalau mau jujur, jawabannya tidak sulit. Beginilah ‘nasib’ kasus menyangkut orang yang sedang berkuasa. Di hadapan yang sedang berkuasa, hukum itu lunglai. Di hadapan yang tidak lagi berkuasa alias pensiun, hukum baru tegak. Contohnya banyak. Di Ende, Paulinus Domi dan Iskandar M Mberu baru jadi tersangka kasus dugaan korupsi setelah tidak lagi menjabat bupati dan sekda.
Banyak contoh lain. Semuanya mengukuhkan tesis Mohammed Bedjaoui (1979). Di dalam dirinya sendiri maupun oleh dirinya sendiri, hukum tidak miliki daya paksa. Ciri paksanya berasal dari kekuatan ekonomi dan politik. Dua kekuatan inilah yang mengekspresikan kekuatan dalam hukum, yang sejak dulu ditaburi nilai moral dan landasan kebenaran lainnya. Penghalusan moral dan nilai-nilai sosial inilah yang menyebabkan hukum memiliki kekuatan. Sedangkan ciri paksanya benar-benar berasal dari tempat lain.
Dengan dasar ini, kita mendukung permintaan Geram. Polres Mabar perlu mengekspose perkembangan penyidikan kasus Tebedo dan Batu Gosok. Dengan kata lain, harus transparan. Tanpa transparansi, polres akan terpasung oleh kekuatan gelap. Yakni, kekuatan ekonomi dan politik yang, dalam kegelapan, berusaha melunglaikan daya paksa hukum. Transparansi menghalau kegelapan itu. Sekaligus mengusir semua kekuatan yang bersarang di dalamnya.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 29 Desember 2009
Tolak Perdamaian Murahan
Kasus Penganiayaan di Maumere
Oleh Frans Anggal
Personel TNI AL Lanal Maumere menganiaya seorang warga, Marthen Luter, di sebuah rumah makan di Nangahure, Kecamatan Alok Barat, 20 Desember 2009. Tidak hanya menganiaya, mereka juga menyekap korban selama lima jam di tahanan (Flores Pos Kamis 24 Desember 2009) .
Korban dianiaya karena ada pengaduan dari istri salah seorang pelaku. Konon korban memegang bokong sang istri di sebuah rumah makan di Nangahure. Sedangkan menurut korban, tidak begitu. Saat ia membayar nasi kuning di warung, tangannya menyentuh belakang badan sang istri.
Apa yang sebenarnya terjadi, “pegang bokong” ataukah “sentuh belakang badan”, belumlah jelas. Masing-masing pihak pegang versi ceritanya. Tentu, versi yang menguntungkan pihaknya, dan bila perlu merugikan pihak lain. Karena itu, kedua versi hanya mungkin sama-sama salah. Tidak mungkin sama-sama benar. Kalau satunya benar, lainnya pasti salah.
Dari pemberitaan, kita tak miliki cukup keterangan untuk bisa menilai setiap versi. Di sisi lain, kita punya cukup bahan dan alasan untuk menilai kisah ikutannya. Apa pun versinya, “pegang bokong” ataukah “sentuh belakang badan”, kisah ikutannya sungguh mengerikan. Penganiayaan!
Di depan warung, wajah dan dada korban ditinju sang suami. Korban diseret ke pos jaga. Dipukuli, diinjak, ditendang lima personel lain. Kepalanya dibenturkan ke tembok. Diseret ke tahanan. Disekap. Diborgol. Digebuk bergantian. Disuruh gigit sepatu sambil merayap. Ia minta maaf, tapi tetap dipukuli. Disirami air. Bahkan kakak kandungnya diperintahkan ikut memukul. Ia dilepaskan setelah berdarah-darah dan memar. Ia diperintahkan datang keesokan harinya bawa serta meterai Rp6.000 untuk surat pernyataan damai. Namun ia tidak datang. Ia mengadu ke Polisi Militer di Ende. Ia minta proses hukum.
Langkah tepat. Proses hukum dulu, berdamai belakangan. Adil dulu, baru damai. Damai sejati hanya bisa lahir di atas keadilan. Tanpa keadilan, tak ada kedamaian. Keadilanlah yang memungkinkan kedamaian. Opus iustitiae pax est.
Dalam kasus penganiayaan di atas, keadilan macam apa yang diperlukan? Keadilan yang cara pencapaiannya sudah disiapkan oleh negara hukum. Itulah keadilan hukum. Keadilan melalui proses hukum. Dengan ini, kita tidak hendak menafikan perdamaian atau rekonsiliasi. Rekonsiliasi itu penting dan berguna. Namun, ada prasyaratnya, agar tidak murahan.
Setiap rekonsiliasi membutuhkan pengampunan. Dan setiap pengampunan mempersyaratkan pengakuan akan kesalahan yang telah dibuat. Maka, mesti jelas dulu, siapa yang lakukan kesalahan, dan apa bentuk kesalahannya. Dalam negara hukum, kejelasan ini dicapai melalui proses hukum. Karena itu, kita mendukung sikap si korban. Menolak berdamai sebelum ada proses hukum.
Di sisi lain, kita mengecam tindakan oknum TNI AL. Tidak hanya karena menganiaya korban. Tapi juga karena memaksakan perdamaian kepada korban. Dari cara mereka mewajibkan korban membawa meterai setelah penganiyaan dan penyekapan, cukup jelas bahwa perdamaian yang mereka inginkan tidak lebih daripada perdamaian murahan. Yaitu, perdamaian sebagai kedok menutup-nutupi kesalahan. Atau, mengecil-ngecilkannya menjadi sebuah kekeliruan semata. Ini kita tolak mentah-mentah.
Kita tuntut para oknum TNI AL berjiwa ksatria. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Berani menganiaya orang, berani menghadapi proses hukum. Jangan jadi pengecut. Kita juga mendesak Polisi Militer segera memproses hukum para pelaku. Tegakkan keadilan, maka damai akan bersemi.
“Bentara” FLORES POS, Senin 28 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
Personel TNI AL Lanal Maumere menganiaya seorang warga, Marthen Luter, di sebuah rumah makan di Nangahure, Kecamatan Alok Barat, 20 Desember 2009. Tidak hanya menganiaya, mereka juga menyekap korban selama lima jam di tahanan (Flores Pos Kamis 24 Desember 2009) .
Korban dianiaya karena ada pengaduan dari istri salah seorang pelaku. Konon korban memegang bokong sang istri di sebuah rumah makan di Nangahure. Sedangkan menurut korban, tidak begitu. Saat ia membayar nasi kuning di warung, tangannya menyentuh belakang badan sang istri.
Apa yang sebenarnya terjadi, “pegang bokong” ataukah “sentuh belakang badan”, belumlah jelas. Masing-masing pihak pegang versi ceritanya. Tentu, versi yang menguntungkan pihaknya, dan bila perlu merugikan pihak lain. Karena itu, kedua versi hanya mungkin sama-sama salah. Tidak mungkin sama-sama benar. Kalau satunya benar, lainnya pasti salah.
Dari pemberitaan, kita tak miliki cukup keterangan untuk bisa menilai setiap versi. Di sisi lain, kita punya cukup bahan dan alasan untuk menilai kisah ikutannya. Apa pun versinya, “pegang bokong” ataukah “sentuh belakang badan”, kisah ikutannya sungguh mengerikan. Penganiayaan!
Di depan warung, wajah dan dada korban ditinju sang suami. Korban diseret ke pos jaga. Dipukuli, diinjak, ditendang lima personel lain. Kepalanya dibenturkan ke tembok. Diseret ke tahanan. Disekap. Diborgol. Digebuk bergantian. Disuruh gigit sepatu sambil merayap. Ia minta maaf, tapi tetap dipukuli. Disirami air. Bahkan kakak kandungnya diperintahkan ikut memukul. Ia dilepaskan setelah berdarah-darah dan memar. Ia diperintahkan datang keesokan harinya bawa serta meterai Rp6.000 untuk surat pernyataan damai. Namun ia tidak datang. Ia mengadu ke Polisi Militer di Ende. Ia minta proses hukum.
Langkah tepat. Proses hukum dulu, berdamai belakangan. Adil dulu, baru damai. Damai sejati hanya bisa lahir di atas keadilan. Tanpa keadilan, tak ada kedamaian. Keadilanlah yang memungkinkan kedamaian. Opus iustitiae pax est.
Dalam kasus penganiayaan di atas, keadilan macam apa yang diperlukan? Keadilan yang cara pencapaiannya sudah disiapkan oleh negara hukum. Itulah keadilan hukum. Keadilan melalui proses hukum. Dengan ini, kita tidak hendak menafikan perdamaian atau rekonsiliasi. Rekonsiliasi itu penting dan berguna. Namun, ada prasyaratnya, agar tidak murahan.
Setiap rekonsiliasi membutuhkan pengampunan. Dan setiap pengampunan mempersyaratkan pengakuan akan kesalahan yang telah dibuat. Maka, mesti jelas dulu, siapa yang lakukan kesalahan, dan apa bentuk kesalahannya. Dalam negara hukum, kejelasan ini dicapai melalui proses hukum. Karena itu, kita mendukung sikap si korban. Menolak berdamai sebelum ada proses hukum.
Di sisi lain, kita mengecam tindakan oknum TNI AL. Tidak hanya karena menganiaya korban. Tapi juga karena memaksakan perdamaian kepada korban. Dari cara mereka mewajibkan korban membawa meterai setelah penganiyaan dan penyekapan, cukup jelas bahwa perdamaian yang mereka inginkan tidak lebih daripada perdamaian murahan. Yaitu, perdamaian sebagai kedok menutup-nutupi kesalahan. Atau, mengecil-ngecilkannya menjadi sebuah kekeliruan semata. Ini kita tolak mentah-mentah.
Kita tuntut para oknum TNI AL berjiwa ksatria. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Berani menganiaya orang, berani menghadapi proses hukum. Jangan jadi pengecut. Kita juga mendesak Polisi Militer segera memproses hukum para pelaku. Tegakkan keadilan, maka damai akan bersemi.
“Bentara” FLORES POS, Senin 28 Desember 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
penganiayaan,
sikka
23 Desember 2009
Prita, Yang Kecil, dan Natal
Jangan Remehkan yang Kecil
Oleh Frans Anggal
Gerakan ‘Koin untuk Prita’ ternyata tidak hanya membantu Prita Mulyasari. Tapi juga lembaga pencetak koin: Bank Indonesia (BI). Total koin terkumpul Rp650 juta. Beratnya berton-ton. Susah simpannya, jaganya, hitungnya. Maka, perlu ditukar. BI bersedia. Tidak hanya bersedia, BI berterima kasih. “Dengan adanya gerakan koin untuk Prita, kami senang karena uang logam yang kami cetak bisa kembali,” kata Deputi Direktur Pengedaran Uang BI Yopie Alimudin, seperti diwartakan Flores Pos Rabu 23 Desember 2009.
Membantu BI. Ini manfaat tak terduga. Sebab, sesungguhnya, ‘Koin untuk Prita’ itu bentuk kepedulian masyarakat terhadap Prita yang jadi korban peradilan sesat. Sebelumnya, Prita korban pelayanan RS Omni International. Karena curhat di milis tentang kekecewaannya terhadap RS itu, ia diproses hukum.
Di Pengadilan Negeri Tangerang, Prita divonis denda Rp312 juta. Ia lalu ajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banten. Hasilnya, ia tetap divonis bersalah dengan denda Rp204 juta. Rasa keadilan masyarakat terusik. Mereka bikin gerakan: kumpulkan koin. Ini bentuk kepedulian terhadap Prita. Juga protes terhadap putusan pengadilan.
Vonis bagi Prita merupakan bukti betapa cara pandang hakim masih sangat kaku dan normatif-prosedural. Mereka sebatas jadi corong undang-undang. Terbelenggu kekakuan normatif-prosedural peraturan. Tak heran, putusan mereka jauh dari rasa keadilan substansial. Cocoknya, mereka ini jadi jaksa, bukan hakim. Hakim harus berani jadi living interpretator yang mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat. Demi keadilan, hakim harus berani ambil keputusan yang berbeda dari ketentuan UU.
Menghadapi hakim model begini, pada kasus Prita, reaksi masyarakat kita unik. Mereka kumpulkan koin. Dalam teori gerakan sosial, ini termasuk gerakan ekspresif. Gerakan ekpresif biasanya terjadi di kalangan tertindas. Dalam gerakan jenis ini, masyarakat tidak berupaya mengubah realitas, tapi mengubah reaksi mereka terhadap realitas itu. Gerakan jenis ini membantu mereka menerima kenyataan, sambil tetap berharap. Ekspresinya bisa lewat puisi, teater, lagu protes, dll. Dalam kasus Prita, berupa koin. Koin itu uang kecil. Simbol wong cilik. Simbol ketertindasan.
Yang tak dinyana, gerakan wong cilik ini ternyata bermanfaat bagi BI. Selama ini BI sulit mengumpulkan kembali uang logam yang dicetaknya. ‘Koin untuk Prita’ membuat semuanya jadi mudah. Itu bagi BI. Bagi kita?
Ada hikmah yang patut dipetik. Yaitu: jangan pernah remehkan yang kecil. Apa itu uang kecil atau orang kecil. Uang kecil, jika dikumpulkan sedikit demi sedikit, akan menjadi ‘uang besar’. Orang kecil, jika disatukan oleh solidaritas, akan menjadi ‘orang besar’.
Dalam spiritualitas Natal, hikmah ini relevan. Allah sendiri tidak pernah remehkan yang kecil. Ia datang ke dunia dalam kekecilan seorang bayi, Yesus. Melalui rahim orang kecil, Maria. Lahir di kota kecil, Betlehem. Dibesarkan di kota kecil, Nasareth. Tidak hanya tidak pernah remehkan yang kecil, Allah berpihak pada yang kecil: kaum miskin. Allah bukanlah Allah yang netral, menurut Alkitab.
Allah berpihak pada kaum miskin, bukan karena kaum miskin lebih saleh daripada kaum kaya. Tapi karena kaum miskin itu orang tak berdaya dan diterlantarkan. Allah berpihak pada mereka bukan pula untuk melawan kaum kaya. Sebab, Allah datang untuk selamatkan seluruh umat manusia. Namun, perhatian pertama dan utama ditujukan-Nya pada titik di mana kemanusiaan paling terancam. Kemiskinan tidak hanya buruk bagi kaum miskin itu sendiri, tapi juga buruk bagi umat manusia seluruhnya. Selamat Natal!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 24 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
Gerakan ‘Koin untuk Prita’ ternyata tidak hanya membantu Prita Mulyasari. Tapi juga lembaga pencetak koin: Bank Indonesia (BI). Total koin terkumpul Rp650 juta. Beratnya berton-ton. Susah simpannya, jaganya, hitungnya. Maka, perlu ditukar. BI bersedia. Tidak hanya bersedia, BI berterima kasih. “Dengan adanya gerakan koin untuk Prita, kami senang karena uang logam yang kami cetak bisa kembali,” kata Deputi Direktur Pengedaran Uang BI Yopie Alimudin, seperti diwartakan Flores Pos Rabu 23 Desember 2009.
Membantu BI. Ini manfaat tak terduga. Sebab, sesungguhnya, ‘Koin untuk Prita’ itu bentuk kepedulian masyarakat terhadap Prita yang jadi korban peradilan sesat. Sebelumnya, Prita korban pelayanan RS Omni International. Karena curhat di milis tentang kekecewaannya terhadap RS itu, ia diproses hukum.
Di Pengadilan Negeri Tangerang, Prita divonis denda Rp312 juta. Ia lalu ajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banten. Hasilnya, ia tetap divonis bersalah dengan denda Rp204 juta. Rasa keadilan masyarakat terusik. Mereka bikin gerakan: kumpulkan koin. Ini bentuk kepedulian terhadap Prita. Juga protes terhadap putusan pengadilan.
Vonis bagi Prita merupakan bukti betapa cara pandang hakim masih sangat kaku dan normatif-prosedural. Mereka sebatas jadi corong undang-undang. Terbelenggu kekakuan normatif-prosedural peraturan. Tak heran, putusan mereka jauh dari rasa keadilan substansial. Cocoknya, mereka ini jadi jaksa, bukan hakim. Hakim harus berani jadi living interpretator yang mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat. Demi keadilan, hakim harus berani ambil keputusan yang berbeda dari ketentuan UU.
Menghadapi hakim model begini, pada kasus Prita, reaksi masyarakat kita unik. Mereka kumpulkan koin. Dalam teori gerakan sosial, ini termasuk gerakan ekspresif. Gerakan ekpresif biasanya terjadi di kalangan tertindas. Dalam gerakan jenis ini, masyarakat tidak berupaya mengubah realitas, tapi mengubah reaksi mereka terhadap realitas itu. Gerakan jenis ini membantu mereka menerima kenyataan, sambil tetap berharap. Ekspresinya bisa lewat puisi, teater, lagu protes, dll. Dalam kasus Prita, berupa koin. Koin itu uang kecil. Simbol wong cilik. Simbol ketertindasan.
Yang tak dinyana, gerakan wong cilik ini ternyata bermanfaat bagi BI. Selama ini BI sulit mengumpulkan kembali uang logam yang dicetaknya. ‘Koin untuk Prita’ membuat semuanya jadi mudah. Itu bagi BI. Bagi kita?
Ada hikmah yang patut dipetik. Yaitu: jangan pernah remehkan yang kecil. Apa itu uang kecil atau orang kecil. Uang kecil, jika dikumpulkan sedikit demi sedikit, akan menjadi ‘uang besar’. Orang kecil, jika disatukan oleh solidaritas, akan menjadi ‘orang besar’.
Dalam spiritualitas Natal, hikmah ini relevan. Allah sendiri tidak pernah remehkan yang kecil. Ia datang ke dunia dalam kekecilan seorang bayi, Yesus. Melalui rahim orang kecil, Maria. Lahir di kota kecil, Betlehem. Dibesarkan di kota kecil, Nasareth. Tidak hanya tidak pernah remehkan yang kecil, Allah berpihak pada yang kecil: kaum miskin. Allah bukanlah Allah yang netral, menurut Alkitab.
Allah berpihak pada kaum miskin, bukan karena kaum miskin lebih saleh daripada kaum kaya. Tapi karena kaum miskin itu orang tak berdaya dan diterlantarkan. Allah berpihak pada mereka bukan pula untuk melawan kaum kaya. Sebab, Allah datang untuk selamatkan seluruh umat manusia. Namun, perhatian pertama dan utama ditujukan-Nya pada titik di mana kemanusiaan paling terancam. Kemiskinan tidak hanya buruk bagi kaum miskin itu sendiri, tapi juga buruk bagi umat manusia seluruhnya. Selamat Natal!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 24 Desember 2009
Label:
agama,
bentara,
flores pos,
keberpihakan pada kaum miskin,
koin untuk prita,
natal 2009,
solidaritas
Satyalencana Woda Palle
Satyalencana Pembangunan Lingkungan Hidup
Oleh Frans Anggal
Daniel Woda Palle menerima Satyalencana Pembangunan. Ia dinilai berjasa ikut membangun negara di bidang lingkungan hidup. Semasa menjabat bupati Sikka, ia gerakkan masyarakat lakukan penghijauan dengan lamtoro dan tanaman perkebunan. Ia jalin kerja sama dengan daerah lain di luar NTT untuk adakan bibit tanaman unggul. Hasilnya, lahan tandus dan mudah longsor jadi subur. Ekonomi masyarakat pun meningkat (Flores Pos Senin 21 Desember 2009).
Salah satu pengalaman diceritakannya sendiri. Penghijauan di kali Batik Wair, Kecamatan Lela. Kali ini kering sepanjang tahun. Setelah dihijaukan, muncul mata air baru. Mengalir sampai saat ini, melayani tiga kecamatan. “Air dari kali ini sangat jernih. Pernah diminum langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup Prof Emil Salim saat kunjungan kerja di Kabupaten Sikka tahun 1982.”
Satyalencana Pembangunan layak bagi Woda Palle. Tak perlu diperdebatkan. Yang dipertanyakan: kenapa baru sekarang? Kenapa ‘tunggu’ jadi mamo (kakek) dulu baru dia terima tanda kehormatan RI ini? Ada beberapa kemungkinan jawaban, kalau kita boleh menduga-duga.
Satyalencana tidak jatuh tiba-tiba dari langit. Ada prosedur tetapnya, berupa mekanisme pengusulan, sebagaimana diatur dalam UU 30/1959 tentang Tanda Kehormatan Satyalencana Pembangunan. Bahwa setelah puluhan tahun sesudah Woda Palle jadi bupati dua periode barulah satyalencana itu datang, ini bisa menunjukkan ketatnya persaingan dan cermatnya seleksi.
Satyalencana itu baru datang sekarang, mungkin juga karena baru sekarang nama Woda Palle diusulkan, entah oleh pemkab atau masyarakat Sikka. Kenapa baru sekarang? Boleh jadi karena baru sekarang mereka sadari prestasi dan jasa sang mantan bupati. Kalau diperbandingkan dengan prestasi dan jasa para bintang sesudah dia, Woda Palle memang paling cerlang.
Ada kemungkinan lain. Satyalencana baru datang sekarang karena sekarang Woda Palle sudah jadi mamo (kakek). Seorang lansia dianggap tidak ‘berbahaya’ lagi. Tidak jadi ‘rival’ politik lagi. Seandainya kehormatan itu ia terima ketika ia masih aktif, kecerlangannya tak tersaingi. Ia bisa menyuramkan cahaya bintang lain. Maka, tunggu dia jadi mamo dulu baru namanya diusulkan.
Semua itu cuma dugaan. Dan dugaan itu tak mengurangi nilai kehormatannya. Tak pula menyusutkan kelayakannya. Woda Palle layak, meski terlambat. Di sisi lain, ‘terlambat’ ini ‘tepat waktu’ juga. Momentumnya pas. Ia terima satyalencana, ketika wacana lingkungan hidup semakin mengemuka di forum dunia; ketika Kementerian Negara Lingkungan Hidup, sejak 2006, selenggarakan Program Menuju Indonesia Hijau; ketika Hari Cinta Puspa dan Satwa 2009 mengusung tema ”Lindungi Puspa dan Satwa Nasional sebagai Cermin Peradaban Bangsa”.
Indonesia dengan status mega-biodiversity miliki keragaman ekosistem unik dengan 90-an tipe ekosistem, mulai dari padang salju tropis di Puncak Jaya hingga perairan laut dalam di Laut Banda. Indonesia miliki 10 persen tumbuhan berbunga, 12 persen mamalia, 16 persen reptil dan amfibi, serta 17 persen jumlah jenis burung di dunia. Indonesia miliki jenis binatang menyusui paling banyak di dunia 515 jenis, 35 persen di antaranya jenis endemik Indonesia.
Keanekaragaman hayati ini harus dilindungi, sebagai cermin peradaban bangsa. Woda Palle telah buktikan diri sebagai anak bangsa beradab. Ia telah buktikan dengan sukses: pemberdayaan rakyat miskin yang holistik dan lestari menjadi satu dengan pemeliharaan lingkungan hidup. Sebab, jika lingkungan hidup rusak, rakyat miskinlah yang pertama menjadi korban, karena mereka tak punya alternatif lain untuk hidup. Para bupati gila tambang perlu belajar dari sukses ini.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 23 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
Daniel Woda Palle menerima Satyalencana Pembangunan. Ia dinilai berjasa ikut membangun negara di bidang lingkungan hidup. Semasa menjabat bupati Sikka, ia gerakkan masyarakat lakukan penghijauan dengan lamtoro dan tanaman perkebunan. Ia jalin kerja sama dengan daerah lain di luar NTT untuk adakan bibit tanaman unggul. Hasilnya, lahan tandus dan mudah longsor jadi subur. Ekonomi masyarakat pun meningkat (Flores Pos Senin 21 Desember 2009).
Salah satu pengalaman diceritakannya sendiri. Penghijauan di kali Batik Wair, Kecamatan Lela. Kali ini kering sepanjang tahun. Setelah dihijaukan, muncul mata air baru. Mengalir sampai saat ini, melayani tiga kecamatan. “Air dari kali ini sangat jernih. Pernah diminum langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup Prof Emil Salim saat kunjungan kerja di Kabupaten Sikka tahun 1982.”
Satyalencana Pembangunan layak bagi Woda Palle. Tak perlu diperdebatkan. Yang dipertanyakan: kenapa baru sekarang? Kenapa ‘tunggu’ jadi mamo (kakek) dulu baru dia terima tanda kehormatan RI ini? Ada beberapa kemungkinan jawaban, kalau kita boleh menduga-duga.
Satyalencana tidak jatuh tiba-tiba dari langit. Ada prosedur tetapnya, berupa mekanisme pengusulan, sebagaimana diatur dalam UU 30/1959 tentang Tanda Kehormatan Satyalencana Pembangunan. Bahwa setelah puluhan tahun sesudah Woda Palle jadi bupati dua periode barulah satyalencana itu datang, ini bisa menunjukkan ketatnya persaingan dan cermatnya seleksi.
Satyalencana itu baru datang sekarang, mungkin juga karena baru sekarang nama Woda Palle diusulkan, entah oleh pemkab atau masyarakat Sikka. Kenapa baru sekarang? Boleh jadi karena baru sekarang mereka sadari prestasi dan jasa sang mantan bupati. Kalau diperbandingkan dengan prestasi dan jasa para bintang sesudah dia, Woda Palle memang paling cerlang.
Ada kemungkinan lain. Satyalencana baru datang sekarang karena sekarang Woda Palle sudah jadi mamo (kakek). Seorang lansia dianggap tidak ‘berbahaya’ lagi. Tidak jadi ‘rival’ politik lagi. Seandainya kehormatan itu ia terima ketika ia masih aktif, kecerlangannya tak tersaingi. Ia bisa menyuramkan cahaya bintang lain. Maka, tunggu dia jadi mamo dulu baru namanya diusulkan.
Semua itu cuma dugaan. Dan dugaan itu tak mengurangi nilai kehormatannya. Tak pula menyusutkan kelayakannya. Woda Palle layak, meski terlambat. Di sisi lain, ‘terlambat’ ini ‘tepat waktu’ juga. Momentumnya pas. Ia terima satyalencana, ketika wacana lingkungan hidup semakin mengemuka di forum dunia; ketika Kementerian Negara Lingkungan Hidup, sejak 2006, selenggarakan Program Menuju Indonesia Hijau; ketika Hari Cinta Puspa dan Satwa 2009 mengusung tema ”Lindungi Puspa dan Satwa Nasional sebagai Cermin Peradaban Bangsa”.
Indonesia dengan status mega-biodiversity miliki keragaman ekosistem unik dengan 90-an tipe ekosistem, mulai dari padang salju tropis di Puncak Jaya hingga perairan laut dalam di Laut Banda. Indonesia miliki 10 persen tumbuhan berbunga, 12 persen mamalia, 16 persen reptil dan amfibi, serta 17 persen jumlah jenis burung di dunia. Indonesia miliki jenis binatang menyusui paling banyak di dunia 515 jenis, 35 persen di antaranya jenis endemik Indonesia.
Keanekaragaman hayati ini harus dilindungi, sebagai cermin peradaban bangsa. Woda Palle telah buktikan diri sebagai anak bangsa beradab. Ia telah buktikan dengan sukses: pemberdayaan rakyat miskin yang holistik dan lestari menjadi satu dengan pemeliharaan lingkungan hidup. Sebab, jika lingkungan hidup rusak, rakyat miskinlah yang pertama menjadi korban, karena mereka tak punya alternatif lain untuk hidup. Para bupati gila tambang perlu belajar dari sukses ini.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 23 Desember 2009
Label:
bentara,
daniel woda palle,
flores,
flores pos,
lingkungan hidup,
satyalencana pembangunan 2009,
sikka
20 Desember 2009
Lihat Yoga di Tompong
Kontroversi Tambang Mangan di Manggarai Timur
Oleh Frans Anggal
Masyarakat Tompong meminta Pemkab Manggarai Timur dan investor tidak paksakan wilayah Tompong, Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, menjadi lokasi tambang mangan. Alasan: tambang akan mengancam eksistensi masyarakat lokal. Demikian kata anggota DPRD Manggarai Timur Jemain Ustman, sebagaimana diwartakan Flores Pos Sabtu 19 Desember 2009.
Wacana kasus Tompong mungkin menarik kalau kita ‘bermain’ dengan vokalnya. Coba ganti dua “o” pada “tompong’ dengan vokal lain, akan lahir enam kata. Tompong lahirkan tampang, timpang, tumpeng, tumpang, tamping, tampung.
Tampang wilayah Tompong sendiri kecil. Mata air dan persawahannya diapiti dua gunung. Jika tambang masuk Tompong, tampang Tompong akan timpang. Bahkan, Tompong kehilangan tampang. Sebab, jagat kehidupan Manggarai terdiri dari empat unsur. Rumah kediaman (mbaru bate ka’eng), kampung halaman (natas bate labar), sumber air (wae bate teku), dan lahan pertanian (uma bate duat). Keempatnya satu kesatuan. Satu rusak, yang lain terganggu.
Tambang nekat masuk Tompong, karena di Tompong ada tumpeng: mangan. Tumpeng Tompong mau dipotong pake pisau eksploitasi. Potongan tumpeng akan selalu timpang. Ada potongan besar, ada potongan kecil. Potongan besar buat investor yang notabene cuma tukang tumpang. Potongan kecil buat pemkab (PAD). Remahnya buat warga lingkar tambang. Remah basi pula, karena tercemar, dan tentu mematikan.
Tumpeng Tompong mau dipotong timpang oleh tukang tumpang. Padahal, si tukang tumpang cuma meka liba salang alias tamu mampir ngombe. Tamu dia, tapi seperti tuan rumah saja. Bisa masuk tanpa permisi, lewat pintu belakang. Lalu kaki tangannya bisa krasa-krusu pecah belahkan penghuni rumah. Lalu kumpulkan tanda tangan. Lalu, atas namakan warga, datangi pemkab, nyatakan setuju tumpeng dipotong.
Dalam kasus tumpeng di mana pun, bupati dan wabup tetaplah tamping alias mandor. Pekerja yang mengepalai pekerja lain. Dalam kasus tumpeng di Tompong, Bupati Yoseph Tote dan Wabup Andreas Agas adalah juga tamping. Sebagai tamping, apakah keduanya tampung keluh kesah warga Tompong? Ataukah tamping ini lebih suka tampung janji surga tukang tumpang?
Kita berharap, kedua tamping mau tampung aspirasi pemilik tumpeng di Tompong, dan tidak condong timpang ke tukang tumpang yang menginginkan tumpeng. Pemilik tumpeng mesti didengarkan. Sebagai orang-orang kecil, mereka seharusnya dilindungi dan dibela. Ini tugas tamping. Apalagi, dalam Kitab Suci, santo pelindung tamping ini orang kecil juga. Yoseph itu tukang kayu. Andreas itu nelayan. Keduanya kemudian jadi orang besar. Yosef bapa piara Yesus. Andreas rasul-Nya. Namun dalam kebesaran itu, keduanya tetap mengecilkan diri. Karena itu keduanya dihormati sebagai santo.
Yang kita harapkan, Bupati Yoseph Tote memiliki hati seorang Santo Yosef. Wabup Andreas Agas memiliki hati seorang Santo Andreas. Harapan ini tidak berlebihan. Bukankah dalam pilkada lalu keduanya mengakronimkan nama mereka menjadi Yoga? Dalam tradisi Hindu, yoga adalah jalan mencapai samadhi: kesatuan dengan yang ilahi. Dan Yesus, anak piara si tukang kayu Yoseph, mengajarkan: bagaimana mungkin menyatu dengan yang ilahi kalau tidak menyatu dengan sesama, terutama orang-orang kecil.
Masyarakat Tompong. Itulah sesama. Orang-orang kecil. Ketika mereka dipaksa terima tambang, di manakah hati seorang Santo Yosef? Di manakah hati seorang Santo Andreas? Di mana pulakah spiritualitas Yoga? Semoga masih ada. Karena itu, mari dan lihatlah. Lihat keberpihakan Yoga di Tompong.
“Bentara” FLORES POS, Senin 21 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
Masyarakat Tompong meminta Pemkab Manggarai Timur dan investor tidak paksakan wilayah Tompong, Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, menjadi lokasi tambang mangan. Alasan: tambang akan mengancam eksistensi masyarakat lokal. Demikian kata anggota DPRD Manggarai Timur Jemain Ustman, sebagaimana diwartakan Flores Pos Sabtu 19 Desember 2009.
Wacana kasus Tompong mungkin menarik kalau kita ‘bermain’ dengan vokalnya. Coba ganti dua “o” pada “tompong’ dengan vokal lain, akan lahir enam kata. Tompong lahirkan tampang, timpang, tumpeng, tumpang, tamping, tampung.
Tampang wilayah Tompong sendiri kecil. Mata air dan persawahannya diapiti dua gunung. Jika tambang masuk Tompong, tampang Tompong akan timpang. Bahkan, Tompong kehilangan tampang. Sebab, jagat kehidupan Manggarai terdiri dari empat unsur. Rumah kediaman (mbaru bate ka’eng), kampung halaman (natas bate labar), sumber air (wae bate teku), dan lahan pertanian (uma bate duat). Keempatnya satu kesatuan. Satu rusak, yang lain terganggu.
Tambang nekat masuk Tompong, karena di Tompong ada tumpeng: mangan. Tumpeng Tompong mau dipotong pake pisau eksploitasi. Potongan tumpeng akan selalu timpang. Ada potongan besar, ada potongan kecil. Potongan besar buat investor yang notabene cuma tukang tumpang. Potongan kecil buat pemkab (PAD). Remahnya buat warga lingkar tambang. Remah basi pula, karena tercemar, dan tentu mematikan.
Tumpeng Tompong mau dipotong timpang oleh tukang tumpang. Padahal, si tukang tumpang cuma meka liba salang alias tamu mampir ngombe. Tamu dia, tapi seperti tuan rumah saja. Bisa masuk tanpa permisi, lewat pintu belakang. Lalu kaki tangannya bisa krasa-krusu pecah belahkan penghuni rumah. Lalu kumpulkan tanda tangan. Lalu, atas namakan warga, datangi pemkab, nyatakan setuju tumpeng dipotong.
Dalam kasus tumpeng di mana pun, bupati dan wabup tetaplah tamping alias mandor. Pekerja yang mengepalai pekerja lain. Dalam kasus tumpeng di Tompong, Bupati Yoseph Tote dan Wabup Andreas Agas adalah juga tamping. Sebagai tamping, apakah keduanya tampung keluh kesah warga Tompong? Ataukah tamping ini lebih suka tampung janji surga tukang tumpang?
Kita berharap, kedua tamping mau tampung aspirasi pemilik tumpeng di Tompong, dan tidak condong timpang ke tukang tumpang yang menginginkan tumpeng. Pemilik tumpeng mesti didengarkan. Sebagai orang-orang kecil, mereka seharusnya dilindungi dan dibela. Ini tugas tamping. Apalagi, dalam Kitab Suci, santo pelindung tamping ini orang kecil juga. Yoseph itu tukang kayu. Andreas itu nelayan. Keduanya kemudian jadi orang besar. Yosef bapa piara Yesus. Andreas rasul-Nya. Namun dalam kebesaran itu, keduanya tetap mengecilkan diri. Karena itu keduanya dihormati sebagai santo.
Yang kita harapkan, Bupati Yoseph Tote memiliki hati seorang Santo Yosef. Wabup Andreas Agas memiliki hati seorang Santo Andreas. Harapan ini tidak berlebihan. Bukankah dalam pilkada lalu keduanya mengakronimkan nama mereka menjadi Yoga? Dalam tradisi Hindu, yoga adalah jalan mencapai samadhi: kesatuan dengan yang ilahi. Dan Yesus, anak piara si tukang kayu Yoseph, mengajarkan: bagaimana mungkin menyatu dengan yang ilahi kalau tidak menyatu dengan sesama, terutama orang-orang kecil.
Masyarakat Tompong. Itulah sesama. Orang-orang kecil. Ketika mereka dipaksa terima tambang, di manakah hati seorang Santo Yosef? Di manakah hati seorang Santo Andreas? Di mana pulakah spiritualitas Yoga? Semoga masih ada. Karena itu, mari dan lihatlah. Lihat keberpihakan Yoga di Tompong.
“Bentara” FLORES POS, Senin 21 Desember 2009
Dari Kasus Kades di Sikka
Perempuan Korban Tindak Kekerasan
Oleh Frans Anggal
Di Kabupaten Sikka, seorang kades dilaporkan ke polisi oleh korban tindak pemerkosaan dan pencabulan. Para korban itu tiga wanita. Semuanya anak di bawah umur. Dua dari antaranya kakak beradik. Kades membantah isi laporan. Namun polisi jalan terus, karena bukti-bukti awalnya cukup. Si kades pun jadi tersangka dan ditahan (Flores Pos Rabu 16-12-2009 dan Kamis 17-12-2009).
Sebelumnya, menurut keterangan polisi, satu dari tiga korban diperkosa oleh seorang tukang ojek. Korban laporkan kasus ini ke kades. Korban juga minta perlindungan dari kades. Sial! Lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. Lepas dari ‘mulut’ tukang ojek, masuk ke ‘mulut” kades. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sudah diperkosa tukang ojek, diperkosa kades pula.
Siapa si kades, siapa pula para korban, mungkin tidak terlalu penting di sini. Sebab, yang hendak kita soroti bukan diri mereka sebagai perseorangan, tapi diri mereka sebagai yang wakili kaumnya. Bukan diri mereka sebagai individu, tapi diri mereka sebagai representasi. Bukan diri mereka sebagai person, tapi diri mereka sebagai personifikasi.
Secara demikian, kita dapat memandang kasus ini dalam bingkai lebih luas. Ketiga korban itu merupakan personifikasi atau representasi kaum “perempuan”. Ya, di Sikka, di Flores, di NTT, di Indonesia. Mereka, kaum yang sudah, sedang, dan masih akan menjadi korban tiga kekuatan penindas, yang terpersonifikasi atau terepresentasi dalam diri seorang kades.
Sang kades itu laki-laki. Ia personifikasi atau representasi kekuatan “patriarki”. Sang kades itu berduit. Ia personifikasi atau representasi kekuatan “kapitalisme”. Sang kades itu juga pejabat pemerintah desa. Ia personifikasi atau representasi kekuatan “negara”. Patriarki, kapitalisme, dan negara. Itulah tiga kekuatan penindas nomor wahid kaum perempuan. Ya, di Sikka, di Flores, di NTT, di Indonesia, bahkan di dunia.
Kekuatan patriarki. Siapa bisa membantah masih kuatnya dominasi laki-laki? Di dalam keluarga, misalnya, terlalu banyak contoh yang bisa disebutkan tentang kekuasaan ‘tuan’ laki-laki terhadap ‘hamba’ perempuan, apakah itu istri atau anak. Dalam pembagian kerja, ibu rumah tangga adalah manusia dengan ‘seribu tangan’. Dia kerjakan ‘seribu tugas’ dari A sampai Z.
Kekuatan kapitalisme. Siapa bisa membantah masih kuat bahkan semakin kuatnya ekploitasi (tubuh) perempuan? Jangankan perempuan, media massa yang getol menyuarakan pengarusutamaan gender pun dieksplotasi oleh bisnis besar, oleh konglomerat, oleh industri dan teknologi yang merupakan ujung tombak kapitalisme. Sudah jamak, persepsi daya tarik komoditas dikaitkan dengan persepsi daya tarik perempuan. Selain sebagai ‘alat’ promosi komoditas, perempuan juga konsumen yang dieksploitasi, dari reklame sampo murah sampai peragaan busana mahal.
Kekuatan negara. Siapa bisa membantah masih banyak bahkan semakin banyak tenaga kerja wanita (TKW) yang dipuja-puji sebagai pahlawan devisa, tapi diterlantarkan negara sehingga mereka sering jadi korban tindak kekerasan di negeri orang? Di negeri sendiri, setali tiga uang juga. Ketika perempuan menuntut hari libur saat haid, banyak sistem industrialisasi memperketat rekrutmen pekerja perempuan.
Kembali ke kasus sang kades. Dengan ini kita hendak mengatakan: kasus itu bukan hanya kasus hukum, tapi kasus sosial juga. Sebatas masalah hukum, kasusnya mudah diselesaikan. Keadilan hukum sebentar lagi teraih. Tidak demikian halnya sebagai masalah sosial. Perjuangan keadilan sosial masih panjang. Butuh perubahan sosial. Libatkan laki-laki dan perempuan.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 19 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
Di Kabupaten Sikka, seorang kades dilaporkan ke polisi oleh korban tindak pemerkosaan dan pencabulan. Para korban itu tiga wanita. Semuanya anak di bawah umur. Dua dari antaranya kakak beradik. Kades membantah isi laporan. Namun polisi jalan terus, karena bukti-bukti awalnya cukup. Si kades pun jadi tersangka dan ditahan (Flores Pos Rabu 16-12-2009 dan Kamis 17-12-2009).
Sebelumnya, menurut keterangan polisi, satu dari tiga korban diperkosa oleh seorang tukang ojek. Korban laporkan kasus ini ke kades. Korban juga minta perlindungan dari kades. Sial! Lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. Lepas dari ‘mulut’ tukang ojek, masuk ke ‘mulut” kades. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sudah diperkosa tukang ojek, diperkosa kades pula.
Siapa si kades, siapa pula para korban, mungkin tidak terlalu penting di sini. Sebab, yang hendak kita soroti bukan diri mereka sebagai perseorangan, tapi diri mereka sebagai yang wakili kaumnya. Bukan diri mereka sebagai individu, tapi diri mereka sebagai representasi. Bukan diri mereka sebagai person, tapi diri mereka sebagai personifikasi.
Secara demikian, kita dapat memandang kasus ini dalam bingkai lebih luas. Ketiga korban itu merupakan personifikasi atau representasi kaum “perempuan”. Ya, di Sikka, di Flores, di NTT, di Indonesia. Mereka, kaum yang sudah, sedang, dan masih akan menjadi korban tiga kekuatan penindas, yang terpersonifikasi atau terepresentasi dalam diri seorang kades.
Sang kades itu laki-laki. Ia personifikasi atau representasi kekuatan “patriarki”. Sang kades itu berduit. Ia personifikasi atau representasi kekuatan “kapitalisme”. Sang kades itu juga pejabat pemerintah desa. Ia personifikasi atau representasi kekuatan “negara”. Patriarki, kapitalisme, dan negara. Itulah tiga kekuatan penindas nomor wahid kaum perempuan. Ya, di Sikka, di Flores, di NTT, di Indonesia, bahkan di dunia.
Kekuatan patriarki. Siapa bisa membantah masih kuatnya dominasi laki-laki? Di dalam keluarga, misalnya, terlalu banyak contoh yang bisa disebutkan tentang kekuasaan ‘tuan’ laki-laki terhadap ‘hamba’ perempuan, apakah itu istri atau anak. Dalam pembagian kerja, ibu rumah tangga adalah manusia dengan ‘seribu tangan’. Dia kerjakan ‘seribu tugas’ dari A sampai Z.
Kekuatan kapitalisme. Siapa bisa membantah masih kuat bahkan semakin kuatnya ekploitasi (tubuh) perempuan? Jangankan perempuan, media massa yang getol menyuarakan pengarusutamaan gender pun dieksplotasi oleh bisnis besar, oleh konglomerat, oleh industri dan teknologi yang merupakan ujung tombak kapitalisme. Sudah jamak, persepsi daya tarik komoditas dikaitkan dengan persepsi daya tarik perempuan. Selain sebagai ‘alat’ promosi komoditas, perempuan juga konsumen yang dieksploitasi, dari reklame sampo murah sampai peragaan busana mahal.
Kekuatan negara. Siapa bisa membantah masih banyak bahkan semakin banyak tenaga kerja wanita (TKW) yang dipuja-puji sebagai pahlawan devisa, tapi diterlantarkan negara sehingga mereka sering jadi korban tindak kekerasan di negeri orang? Di negeri sendiri, setali tiga uang juga. Ketika perempuan menuntut hari libur saat haid, banyak sistem industrialisasi memperketat rekrutmen pekerja perempuan.
Kembali ke kasus sang kades. Dengan ini kita hendak mengatakan: kasus itu bukan hanya kasus hukum, tapi kasus sosial juga. Sebatas masalah hukum, kasusnya mudah diselesaikan. Keadilan hukum sebentar lagi teraih. Tidak demikian halnya sebagai masalah sosial. Perjuangan keadilan sosial masih panjang. Butuh perubahan sosial. Libatkan laki-laki dan perempuan.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 19 Desember 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
kekerasan seksual,
perempuan,
sikka
Flamboyan dan Uniflor
Dari Wisuda Universitas Flores 2009
Oleh Frans Anggal
“Saya harap para wisudawati dan wisudawan dapat menjalani hidup seperti bunga flamboyan yang berbunga indah berwarna merah sampai oranye cerah, yang pohonnya tinggi menebar keindahan dan memberi teteduhan, yang dapat tumbuh di pantai maupun di gunung, di tanah subur maupun tandus.”
Itu kata-kata Profesor Stephanus Djawanai dalam orasi wisuda Uniflor Ende 15 Desember 2009: “Universitas Flores Mengubah Pola Pikir Anak Indonesia”. Ia tekankan pentingnya memajukan penelitian tentang kearifan lokal. Di bidang tumbuh-tumbuhan, ia sebut flamboyan (Poinciana regia) secara istimewa.
Istimewa, tidak hanya karena bunga flamboyan ia jadikan metafora bagi para wisudawan. Tapi juga karena pohonnya ‘Flores banget’. Menurutnya, flamboyan-lah yang antara lain menyebabkan pulau ini dinamai Flores. Kata flores (Latin) merupakan bentuk jamak dari flos yang berarti ‘bunga’.
“.... kita lupa pada satu jenis pohon yang dulu dilihat oleh para pelancong dari mancanegara yang datang ke Flores dan yang kemudian menamainya pulau Flores. Diperlukan suatu kampanye untuk menanam pohon flamboyan yang berbunga indah .... Pohan ini dapat mencapai tinggi hingga 28 meter dan kayunya keras dan dapat digunakan sebagai balok untuk pembangunan rumah.”
Kampanyekan dan budi dayakan flamboyan. Ini belum pernah dilakukan. Di Ende, yang merindang di pinggir jalan hanya angsana dan asam jawa. Itu pun dari masa Bupati Jonanis Pake Pani. Setelah dia, angsana hilang satu satu. Asam jawa di Jalan Wirajaya pun sudah dimakan oleh pelebaran jalan, tanpa ada pohon pengganti. Pelebaran jalan identik dengan penggersangan kota.
Flamboyan? Di Ende ada dan banyak. Tapi bukan di taman kota. Bukan di pinggir jalan. Bukan pula di pekarangan rumah masa kini. Ada dan banyak itu justru di “rumah masa depan”. Di kompleks pekuburan BBK (Biara Bruder Konradus). Pohonnya tinggi dan rindang, teduh dan sejuk. Merah oranye bunga-bunganya cemerlang, indah dan memesona. Sayang, hanya ada di pekuburan!
Kapan flamboyan merindangi, meneduhkan, menyejukkan, dan memperindah kota-kota di Flores? Mengingat flamboyan-lah yang antara lain menyebabkan pulau ini dinamai Flores? Jawabannya: suatu saat, ketika flamboyan dikampanyekan dan dibudidayakan melalui sebuah gerakan yang kita namakan saja “Floreskan Flamboyan, ‘Flamboyankan’ Flores”.
Menjadikan ini gerakan se-Flores butuhkan waktu. Maka, kita perlu mulai dari ruang lingkup kecil. Semacam demplot. Mulai dari Ende. Kota ini pernah jadi ibu kota Daerah Flores. Kota ini pun tepat di tengah-tengah Flores. Kita bisa datangkan angsana yang ‘asing’. Kita bisa datangkan asam jawa yang ‘imporan’. Kenapa kita tidak kembangkan pohon kita sendiri yang dalam sejarahnya ‘akrab’ dengan kefloresan kita? Ende perlu merasa terpanggil menjadi pioner!
Menjadikan ini gerakan se-Ende butuhkan waktu juga. Maka, perlu dimulai dari sebuah demplot. Demplot itu, Uniflor. Ini universitas pertama, tertua, terbesar di Flores. Menyandang nama Flores pula. Pada saat wisuda lulusannyalah flamboyan disebut secara istimewa. Bahkan tamatannya dimetaforakan sebagai bunga flamboyan. Uniflor perlu merasa terpanggil menjadi pioner!
“Floreskan Flamboyan, ‘Flamboyankan’ Flores”. Bisa dimulai dengan gerakan kecil berkelanjutan. Katakanlah, gerakan seribu flamboyan. Setahun sekali, pada musim hujan, seribu famboyan ditanam. Dimulai dari kampus Uniflor. Dari sana, melalui para mahasiswa, flamboyan menyebar ke seantero Ende, lalu ke seantero Flores. Sehingga, suatu saat nanti: ingat Flores, ingat flamboyan. Ingat flamboyan, ingat Uniflor. Wah!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 17 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
“Saya harap para wisudawati dan wisudawan dapat menjalani hidup seperti bunga flamboyan yang berbunga indah berwarna merah sampai oranye cerah, yang pohonnya tinggi menebar keindahan dan memberi teteduhan, yang dapat tumbuh di pantai maupun di gunung, di tanah subur maupun tandus.”
Itu kata-kata Profesor Stephanus Djawanai dalam orasi wisuda Uniflor Ende 15 Desember 2009: “Universitas Flores Mengubah Pola Pikir Anak Indonesia”. Ia tekankan pentingnya memajukan penelitian tentang kearifan lokal. Di bidang tumbuh-tumbuhan, ia sebut flamboyan (Poinciana regia) secara istimewa.
Istimewa, tidak hanya karena bunga flamboyan ia jadikan metafora bagi para wisudawan. Tapi juga karena pohonnya ‘Flores banget’. Menurutnya, flamboyan-lah yang antara lain menyebabkan pulau ini dinamai Flores. Kata flores (Latin) merupakan bentuk jamak dari flos yang berarti ‘bunga’.
“.... kita lupa pada satu jenis pohon yang dulu dilihat oleh para pelancong dari mancanegara yang datang ke Flores dan yang kemudian menamainya pulau Flores. Diperlukan suatu kampanye untuk menanam pohon flamboyan yang berbunga indah .... Pohan ini dapat mencapai tinggi hingga 28 meter dan kayunya keras dan dapat digunakan sebagai balok untuk pembangunan rumah.”
Kampanyekan dan budi dayakan flamboyan. Ini belum pernah dilakukan. Di Ende, yang merindang di pinggir jalan hanya angsana dan asam jawa. Itu pun dari masa Bupati Jonanis Pake Pani. Setelah dia, angsana hilang satu satu. Asam jawa di Jalan Wirajaya pun sudah dimakan oleh pelebaran jalan, tanpa ada pohon pengganti. Pelebaran jalan identik dengan penggersangan kota.
Flamboyan? Di Ende ada dan banyak. Tapi bukan di taman kota. Bukan di pinggir jalan. Bukan pula di pekarangan rumah masa kini. Ada dan banyak itu justru di “rumah masa depan”. Di kompleks pekuburan BBK (Biara Bruder Konradus). Pohonnya tinggi dan rindang, teduh dan sejuk. Merah oranye bunga-bunganya cemerlang, indah dan memesona. Sayang, hanya ada di pekuburan!
Kapan flamboyan merindangi, meneduhkan, menyejukkan, dan memperindah kota-kota di Flores? Mengingat flamboyan-lah yang antara lain menyebabkan pulau ini dinamai Flores? Jawabannya: suatu saat, ketika flamboyan dikampanyekan dan dibudidayakan melalui sebuah gerakan yang kita namakan saja “Floreskan Flamboyan, ‘Flamboyankan’ Flores”.
Menjadikan ini gerakan se-Flores butuhkan waktu. Maka, kita perlu mulai dari ruang lingkup kecil. Semacam demplot. Mulai dari Ende. Kota ini pernah jadi ibu kota Daerah Flores. Kota ini pun tepat di tengah-tengah Flores. Kita bisa datangkan angsana yang ‘asing’. Kita bisa datangkan asam jawa yang ‘imporan’. Kenapa kita tidak kembangkan pohon kita sendiri yang dalam sejarahnya ‘akrab’ dengan kefloresan kita? Ende perlu merasa terpanggil menjadi pioner!
Menjadikan ini gerakan se-Ende butuhkan waktu juga. Maka, perlu dimulai dari sebuah demplot. Demplot itu, Uniflor. Ini universitas pertama, tertua, terbesar di Flores. Menyandang nama Flores pula. Pada saat wisuda lulusannyalah flamboyan disebut secara istimewa. Bahkan tamatannya dimetaforakan sebagai bunga flamboyan. Uniflor perlu merasa terpanggil menjadi pioner!
“Floreskan Flamboyan, ‘Flamboyankan’ Flores”. Bisa dimulai dengan gerakan kecil berkelanjutan. Katakanlah, gerakan seribu flamboyan. Setahun sekali, pada musim hujan, seribu famboyan ditanam. Dimulai dari kampus Uniflor. Dari sana, melalui para mahasiswa, flamboyan menyebar ke seantero Ende, lalu ke seantero Flores. Sehingga, suatu saat nanti: ingat Flores, ingat flamboyan. Ingat flamboyan, ingat Uniflor. Wah!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 17 Desember 2009
Label:
bentara,
ende,
flamboyan,
flores,
flores pos,
lingkungan,
universitas flores
16 Desember 2009
Dukung Birokrasi Gemuk?
Seputar Struktur Pemkab Nagekeo
Oleh Frans Anggal
Akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Thomas Susu, mendukung struktur Pemkab Nagekeo yang gemuk. “Bagi saya, dengan adanya struktur organisasi yang gemuk ini berarti semakin baik tingkat pelayanan pemerintahan terhadap rakyat,” katanya sebagaimana diwartakan Flores Pos Senin 14 Desember 2009.
Pernyataan Thomas Susu mengejutkan banyak cendekiawan. Salah satunya, putra Nagekeo yang tinggal di Ende, Dokter Johanes Don Bosco Do. “Berita dari Nagekeo hari ini agak mengganggu,” tulisnya via SMS Selasa 14 Desember 2009. “Dukungan akademisi Unwira Thomas Susu terhadap pengembangan struktur pemerintah perlu kiranya digali lagi premis yang dipakainya.”
Sejauh yang diberitakan, jalan pikiran Thomas Susu kurang lebih begini. Semakin gemuk struktur pemerintahan daerah maka semakin banyak pula anggaran pusat yang akan mengalir ke daerah. Dengan semakin banyaknya anggaran pusat yang mengalir ke daerah maka semakin baik pula pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat.
Premis Thomas Susu dapat diterima, tapi dengan prasyarat ketat. Sayangnya, prasyarat ketat ini ia abaikan. Apa itu? Birokrasi! Premisnya mengandaikan birokrasi kita kukuh bersih seperti pipa paralon, sehingga air dari pusat mengalir lancar utuh hingga ke masyarakat. Padahal, menurut Dwight Y. King, justru sebaliknya. Birokrasi Indonesia ditandai ciri-ciri ini: mekanisme kerjanya tidak efisien. Jumlah pegawainya berlebihan. Proses pelayanannya lamban dan ketinggalan zaman. Sering salahgunakan wewenang. Serta tidak tanggap terhadap keragaman kebutuhan dan kondisi daerah setempat.
Satu poin dari Dwight Y. King itu justru melawan apa yang dibela Thomas Susu: birokrasi gemuk. Ini birokrasi model Indonesia yang lahirkan banyak kelemahan. Kelemahan pertama, lamban mengantisipasi perubahan. Kelemahan kedua, boros. Semakin gemuk struktur, semakin besar pula energi daerah (APBD) yang dihabiskan. Sebab, belanja mengikuti fungsi. Struktur gemuk mengharuskan alokasi belanja yang gemuk pula untuk gaji dan tunjangan, perjalanan dinas, pengadaan barang dan jasa, biaya pemeliharaan, dll.
Sudah rahasia umum, struktur APBD pada hampir semua daerah di Indonesia seperti ini. Sebanyak 80 persen dihabiskan untuk belanja rutin birokrasi. Sisanya 20 persen untuk pembangunan. Ini bukti bahwa birokrasi lebih berfungsi sebagai kekuatan penyerap anggaran ketimbang pengatur dan pelayan masyarakat. Jadi, semakin gemuk, semakin boros, dan semakin abaikan pelayanan publik.
Tengoklah negara-negara modern. Mereka tidak pake birokrasi gemuk. Cina yang penduduknya satu miliar lebih, cuma miliki 28 menteri. Amerika Serikat yang kaya raya cuma punya 15 menteri. Indonesia? Jumlah menterinya dua kali jumlah menteri Amerika Serikat. Sudah miskin, boros. Sudah boros, korup pula. Indonesia belum benar-benar menganut konsep good and democratic governance.
Menurut Guy Peters (2001), yang dituntut good and democratic governance adalah birokrasi ‘ramping dan tidak berlemak’ (slim and lean). Struktur birokrasi berisi orang-orang yang kapabel menyelenggarakan pelayanan publik. Inilah birokrasi yang miskin struktur tapi kaya fungsi.
Lucunya, anutan ini dilawan oleh Thomas Susu dengan premis bolong. Bolong pertama, ia abaikan karakteristik birokrasi Indonesia. Bolong kedua, ia abaikan fakta kegagalan Indonesia. Bolong ketiga, ia abaikan fakta kesuksesan negara-negara modern.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 16 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
Akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Thomas Susu, mendukung struktur Pemkab Nagekeo yang gemuk. “Bagi saya, dengan adanya struktur organisasi yang gemuk ini berarti semakin baik tingkat pelayanan pemerintahan terhadap rakyat,” katanya sebagaimana diwartakan Flores Pos Senin 14 Desember 2009.
Pernyataan Thomas Susu mengejutkan banyak cendekiawan. Salah satunya, putra Nagekeo yang tinggal di Ende, Dokter Johanes Don Bosco Do. “Berita dari Nagekeo hari ini agak mengganggu,” tulisnya via SMS Selasa 14 Desember 2009. “Dukungan akademisi Unwira Thomas Susu terhadap pengembangan struktur pemerintah perlu kiranya digali lagi premis yang dipakainya.”
Sejauh yang diberitakan, jalan pikiran Thomas Susu kurang lebih begini. Semakin gemuk struktur pemerintahan daerah maka semakin banyak pula anggaran pusat yang akan mengalir ke daerah. Dengan semakin banyaknya anggaran pusat yang mengalir ke daerah maka semakin baik pula pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat.
Premis Thomas Susu dapat diterima, tapi dengan prasyarat ketat. Sayangnya, prasyarat ketat ini ia abaikan. Apa itu? Birokrasi! Premisnya mengandaikan birokrasi kita kukuh bersih seperti pipa paralon, sehingga air dari pusat mengalir lancar utuh hingga ke masyarakat. Padahal, menurut Dwight Y. King, justru sebaliknya. Birokrasi Indonesia ditandai ciri-ciri ini: mekanisme kerjanya tidak efisien. Jumlah pegawainya berlebihan. Proses pelayanannya lamban dan ketinggalan zaman. Sering salahgunakan wewenang. Serta tidak tanggap terhadap keragaman kebutuhan dan kondisi daerah setempat.
Satu poin dari Dwight Y. King itu justru melawan apa yang dibela Thomas Susu: birokrasi gemuk. Ini birokrasi model Indonesia yang lahirkan banyak kelemahan. Kelemahan pertama, lamban mengantisipasi perubahan. Kelemahan kedua, boros. Semakin gemuk struktur, semakin besar pula energi daerah (APBD) yang dihabiskan. Sebab, belanja mengikuti fungsi. Struktur gemuk mengharuskan alokasi belanja yang gemuk pula untuk gaji dan tunjangan, perjalanan dinas, pengadaan barang dan jasa, biaya pemeliharaan, dll.
Sudah rahasia umum, struktur APBD pada hampir semua daerah di Indonesia seperti ini. Sebanyak 80 persen dihabiskan untuk belanja rutin birokrasi. Sisanya 20 persen untuk pembangunan. Ini bukti bahwa birokrasi lebih berfungsi sebagai kekuatan penyerap anggaran ketimbang pengatur dan pelayan masyarakat. Jadi, semakin gemuk, semakin boros, dan semakin abaikan pelayanan publik.
Tengoklah negara-negara modern. Mereka tidak pake birokrasi gemuk. Cina yang penduduknya satu miliar lebih, cuma miliki 28 menteri. Amerika Serikat yang kaya raya cuma punya 15 menteri. Indonesia? Jumlah menterinya dua kali jumlah menteri Amerika Serikat. Sudah miskin, boros. Sudah boros, korup pula. Indonesia belum benar-benar menganut konsep good and democratic governance.
Menurut Guy Peters (2001), yang dituntut good and democratic governance adalah birokrasi ‘ramping dan tidak berlemak’ (slim and lean). Struktur birokrasi berisi orang-orang yang kapabel menyelenggarakan pelayanan publik. Inilah birokrasi yang miskin struktur tapi kaya fungsi.
Lucunya, anutan ini dilawan oleh Thomas Susu dengan premis bolong. Bolong pertama, ia abaikan karakteristik birokrasi Indonesia. Bolong kedua, ia abaikan fakta kegagalan Indonesia. Bolong ketiga, ia abaikan fakta kesuksesan negara-negara modern.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 16 Desember 2009
Demi Ende Lio Sare Pawe
Gerakan Swasembada Pangan 2012
Oleh Frans Anggal
Kabupaten Ende canangkan Gerakan Swasembada Pangan (GSP) 2012. GSP diawali musyawarah besar (mubes). Mubes Swasembada Pangan, 10 Desember 2009, di Detusoko. Sedangkan GSP dicanangkan dua hari sesudah mubes, 12 Desember 2009, di Wolowaru (Flores Pos Senin 14 Desember 2009).
Ada yang menarik. Hanya sehari setelah Hari Antikorupsi Sedunia 2009, Pemkab Ende menggelar Mubes Swasembada Pangan 2012. Dua peristiwa ini berurutan harinya, ‘berdekatan’ isinya. Keduanya omong tentang makan. Yang pertama makan uang, yang kedua makan benaran. Yang pertama karena rakus, yang kedua karena butuh. Keduanya juga omong tentang keadilan. Yang pertama keadilan hukum, yang kedua keadilan sosial.
Itu mubesnya. Bagaimana gerakannya? Juga menarik. Namanya: GSP 2012. Angka “2012” mengingatkan kita pada judul film heboh yang kini sedang beredar. Tentang kiamat, berdasarkan kalender (ramalan) suku Maya di Guatemala. Meski cuma fiksi, “2012” mengganggu perasaan sebagain umat beragama.
Kalau film 2012 mewartakan “kiamat”, GSP 2012 justru mewartakan “selamat”. Pada 2012 nanti, ketika bumi ‘mati’ menurut versi film, masyarakat Kabupaten Ende justru mulai ‘hidup’ secara bermartabat. Dalam hal pangan, pada 2012 nanti, masyarakat kabupaten ini mulai mencukupkan kebutuhannya sendiri.
Berbeda dengan film 2012 yang diproduksi tanggal 13 bulan 11, GSP 2012 dicanangkan tanggal 12 bulan 12. Ada tiga angka 12 di sana: triple-12. Bagi yang percaya, triple-12 angka gaib, magic number. Konon juga angka keberuntungan, angka hoki. Dalam Kitab Suci, 12 pun bukan tanpa makna. Ia simbol kepenuhan (fullness). Ada 12 suku Israel, ada 12 rasul.
Nah, triple-12 diharapkan menjadi simbol triple-kepenuhan. Kepenuhan komponen, kepenuhan tekad, kepenuhan kerja keras. Kepenuhan komponen dan kepenuhan tekad sudah terlihat. Kepenuhan komponen ditandai terlibatnya semua pemangku kepentingan: pemerintah, gereja, dan berbagai unsur lain. Kepenuhan tekad ditandai gelar mubes sebelum pencanangan. Sedangkan kepenuhan kerja keras, ini yang masih harus dilihat.
Pertanyaannya: melihat pakai apa? Pakai ‘filosofi’ angka 12, angka kepenuhan. Melihat dengan kepenuhan. Melihat secara utuh dan menyeluruh. Secara demikian, untuk sementara, ada optimisme. Kemampuan Ende berswasembada pangan sudah mencapai 80 persen. Tinggal 20 persen lagi. Mampukah ‘tunggakan’ 20 persen lunas pada 2012 nanti?
Kenapa tidak! Toh sudah ada kepenuhan komponen. Sudah ada kepenuhan tekad. Tinggal kepenuhan kerja keras. Kualifikasi ini ada pada semua komponen. Termasuk pada diri Don Bosco M Wangge dan Achmad Mochdar selaku kepala daerah dan wakil kepala daerah. Bagi keduanya, malah, kerja keras menyukseskan GSP 2012 tidak bisa ditawar-tawar. Sebab, taruhannya besar.
Yang dipertaruhkan, legitimasi kepemimpinan. Sukses-gagalnya GSP 2012 akan menentukan menguat-melemahnya legitimasi itu. Kalau GSP 2012 sukses maka sudah pasti, keyakinan masyarakat akan menguat bahwa otoritas yang dimiliki Wangge-Mochdar wajar dan patut dihormati. Sebaliknya, kalau GSP 2012 gagal, keduanya harus siap kehilangan legitimasi meski tetap memiliki otoritas sampai masa jabatan berakhir.
Kita berharap GSP 2012 sukses. Tentu, pertama-tama bukan agar legitimasi kepemimpinan Wangge-Mochdar semakin menguat. Bukan. Legitimasi itu hanya akibat, bukan tujuan. Tujuannya tetap: agar masyarakat Kabupaten Ende hidup bermartabat, berdaulat, dengan mencukupkan kebutuhan pangannya sendiri. Jadi? Demi Ende Lio sare pawe! Bukan demi siapa-siapa.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 15 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
Kabupaten Ende canangkan Gerakan Swasembada Pangan (GSP) 2012. GSP diawali musyawarah besar (mubes). Mubes Swasembada Pangan, 10 Desember 2009, di Detusoko. Sedangkan GSP dicanangkan dua hari sesudah mubes, 12 Desember 2009, di Wolowaru (Flores Pos Senin 14 Desember 2009).
Ada yang menarik. Hanya sehari setelah Hari Antikorupsi Sedunia 2009, Pemkab Ende menggelar Mubes Swasembada Pangan 2012. Dua peristiwa ini berurutan harinya, ‘berdekatan’ isinya. Keduanya omong tentang makan. Yang pertama makan uang, yang kedua makan benaran. Yang pertama karena rakus, yang kedua karena butuh. Keduanya juga omong tentang keadilan. Yang pertama keadilan hukum, yang kedua keadilan sosial.
Itu mubesnya. Bagaimana gerakannya? Juga menarik. Namanya: GSP 2012. Angka “2012” mengingatkan kita pada judul film heboh yang kini sedang beredar. Tentang kiamat, berdasarkan kalender (ramalan) suku Maya di Guatemala. Meski cuma fiksi, “2012” mengganggu perasaan sebagain umat beragama.
Kalau film 2012 mewartakan “kiamat”, GSP 2012 justru mewartakan “selamat”. Pada 2012 nanti, ketika bumi ‘mati’ menurut versi film, masyarakat Kabupaten Ende justru mulai ‘hidup’ secara bermartabat. Dalam hal pangan, pada 2012 nanti, masyarakat kabupaten ini mulai mencukupkan kebutuhannya sendiri.
Berbeda dengan film 2012 yang diproduksi tanggal 13 bulan 11, GSP 2012 dicanangkan tanggal 12 bulan 12. Ada tiga angka 12 di sana: triple-12. Bagi yang percaya, triple-12 angka gaib, magic number. Konon juga angka keberuntungan, angka hoki. Dalam Kitab Suci, 12 pun bukan tanpa makna. Ia simbol kepenuhan (fullness). Ada 12 suku Israel, ada 12 rasul.
Nah, triple-12 diharapkan menjadi simbol triple-kepenuhan. Kepenuhan komponen, kepenuhan tekad, kepenuhan kerja keras. Kepenuhan komponen dan kepenuhan tekad sudah terlihat. Kepenuhan komponen ditandai terlibatnya semua pemangku kepentingan: pemerintah, gereja, dan berbagai unsur lain. Kepenuhan tekad ditandai gelar mubes sebelum pencanangan. Sedangkan kepenuhan kerja keras, ini yang masih harus dilihat.
Pertanyaannya: melihat pakai apa? Pakai ‘filosofi’ angka 12, angka kepenuhan. Melihat dengan kepenuhan. Melihat secara utuh dan menyeluruh. Secara demikian, untuk sementara, ada optimisme. Kemampuan Ende berswasembada pangan sudah mencapai 80 persen. Tinggal 20 persen lagi. Mampukah ‘tunggakan’ 20 persen lunas pada 2012 nanti?
Kenapa tidak! Toh sudah ada kepenuhan komponen. Sudah ada kepenuhan tekad. Tinggal kepenuhan kerja keras. Kualifikasi ini ada pada semua komponen. Termasuk pada diri Don Bosco M Wangge dan Achmad Mochdar selaku kepala daerah dan wakil kepala daerah. Bagi keduanya, malah, kerja keras menyukseskan GSP 2012 tidak bisa ditawar-tawar. Sebab, taruhannya besar.
Yang dipertaruhkan, legitimasi kepemimpinan. Sukses-gagalnya GSP 2012 akan menentukan menguat-melemahnya legitimasi itu. Kalau GSP 2012 sukses maka sudah pasti, keyakinan masyarakat akan menguat bahwa otoritas yang dimiliki Wangge-Mochdar wajar dan patut dihormati. Sebaliknya, kalau GSP 2012 gagal, keduanya harus siap kehilangan legitimasi meski tetap memiliki otoritas sampai masa jabatan berakhir.
Kita berharap GSP 2012 sukses. Tentu, pertama-tama bukan agar legitimasi kepemimpinan Wangge-Mochdar semakin menguat. Bukan. Legitimasi itu hanya akibat, bukan tujuan. Tujuannya tetap: agar masyarakat Kabupaten Ende hidup bermartabat, berdaulat, dengan mencukupkan kebutuhan pangannya sendiri. Jadi? Demi Ende Lio sare pawe! Bukan demi siapa-siapa.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 15 Desember 2009
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
pangan,
swasembada pangan 2012
Hikmah dari RSUD Ende
Meninggalnya Seorang Bocah
Oleh Frans Anggal
Bocah lima bulan, Jerenimus Mari, meninggal di RSUD Ende. Keluarga kecewa. Mereka menduga kematiannya dikarenakan oleh tindakan petugas RSUD yang memindahkan dan mengganti tabung oksigen. Tabung yang sedang digunakan si bocah dipindahkan ke pasien lain yang sedang gawat. Sebagai gantinya, si bocah memakai tabung lain yang diduga isinya kosong. Si bocah meninggal saat dipindahkan ke ruang ICU (Flores Pos Sabtu 12 Desember 2009).
Tanggapan RSUD? Tabung oksigen dipindahkan karena terbatas jumlahnya. Keterbatasan ini mengharuskan petugas prioritaskan pasien gawat. Saat itu ada tiga pasien kritis, sementara si bocah agak membaik. Oleh desakan kedaruratan, tabung si bocah dipindahkan ke pasien kritis. Sedangkan untuk si bocah dipasang tabung lain, tabung berisi oksigen (tidak kosong) dan masih berfungsi baik. Dalam perjalanan menuju ruang ICU, kondisi si bocah menggawat. Tindakan medis diberikan, namun tidak bisa menolong. Si bocah meninggal.
Kita patut turut berduka bersama keluarga yang kehilangan seorang buah hati. Tidak hanya turut berduka. Kita juga perlu berempati. Meletakkan diri pada posisi mereka. Dengannya, kita akan lebih mudah memahami mereka. Memahami perasaan mereka. Memahami pikiran mereka, yang bisa saja dan bahkan mudah terbias kecamuk duka kehilangan orang tercinta.
Berempati, sebagai kegiatan emosi, mempersyaratkan dua hal. Pengambilan jarak (distansi) dan pengendalian diri (moderasi). Ini yang membedakan empati dari simpati, yang buat orang lebur atau larut. Sedangkan memahami, sebagai kegiatan rasio, mempersyaratkan dua hal lain. Keterarahan dari subjek yang mau mamahami (intensionalitas) dan keterbukaan dari objek yang hendak dipahami (objektivasi).
Dengan empati dan pemahaman, kita tidak mudah gegabah memvonis kasus medik sebagai malpraktik. Dalam kasus di atas, kita tidak gampang membenarkan dugaan bahwa si bocah meninggal karena kelalaian RSUD Ende. Karena petugas memindahkan dan mengganti tabung oksigen.
Perlu berhati-hati. Tidak membenarkan simpulan dugaan hanya atas dasar urutan waktu. Dalam logika, penyimpulan begini dinamakan ‘sesatpikir urutan waktu’ (fallacy of post hoc). Penyimpulan sesat berdasarkan anggapan bahwa oleh karena sesuatu hal terjadi setelah sesuatu hal lain, maka hal lain tersebut menjadi sebab dari hal yang terjadi kemudian itu. Istilah post hoc kependekan dari ungkapan Latin: post hoc, ergo propter hoc (‘sesudah ini, maka karena ini’).
Bahwa si bocah meninggal “setelah” tabung oksigen dipindahkan dan diganti, itu fakta. Tidak disangkal oleh RSUD. Yang jadi soal: apakah meninggal “setelah” tabung oksigen dipindahkan dan diganti sama dengan meninggal “karena” tabung oksigen dipindahkan dan diganti? Menyamakannya begitu saja, itulah sesatpikir. Memvonis atas dasar sesatpikir, itulah kegegabahan.
Tanpa mengurangi empati kita pada keluarga berduka, sesatpikir begini tidak dapat kita terima. Vonis dugaannya pun, karena dibangun di atas sesatpikir, tidak dapat pula kita benarkan. Pembenaran terhadapnya hanya sah jika vonis dugaan itu dikukuhkan melalui proses pencarian fakta, klarifikasi, dan verifikasi. Sejauh diberitakan, proses seperti ini belum atau tidak dilakukan.
Meski demikian, sengketa medik tersebut bukannya tanpa hikmah. Satu dari banyak yang penting patut diambil oleh Pemkab Ende selaku pemilik RSUD. Yaitu: jangan hanya bangga “terima” banyak setoran PAD dari RSUD. Banggalah juga “beri” banyak ke RSUD. Dengan demikian, tidak ada lagi keluhan RSUD Ende kekurangan tabung oksigen, dll.
“Bentara” FLORES POS, Senin 14 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
Bocah lima bulan, Jerenimus Mari, meninggal di RSUD Ende. Keluarga kecewa. Mereka menduga kematiannya dikarenakan oleh tindakan petugas RSUD yang memindahkan dan mengganti tabung oksigen. Tabung yang sedang digunakan si bocah dipindahkan ke pasien lain yang sedang gawat. Sebagai gantinya, si bocah memakai tabung lain yang diduga isinya kosong. Si bocah meninggal saat dipindahkan ke ruang ICU (Flores Pos Sabtu 12 Desember 2009).
Tanggapan RSUD? Tabung oksigen dipindahkan karena terbatas jumlahnya. Keterbatasan ini mengharuskan petugas prioritaskan pasien gawat. Saat itu ada tiga pasien kritis, sementara si bocah agak membaik. Oleh desakan kedaruratan, tabung si bocah dipindahkan ke pasien kritis. Sedangkan untuk si bocah dipasang tabung lain, tabung berisi oksigen (tidak kosong) dan masih berfungsi baik. Dalam perjalanan menuju ruang ICU, kondisi si bocah menggawat. Tindakan medis diberikan, namun tidak bisa menolong. Si bocah meninggal.
Kita patut turut berduka bersama keluarga yang kehilangan seorang buah hati. Tidak hanya turut berduka. Kita juga perlu berempati. Meletakkan diri pada posisi mereka. Dengannya, kita akan lebih mudah memahami mereka. Memahami perasaan mereka. Memahami pikiran mereka, yang bisa saja dan bahkan mudah terbias kecamuk duka kehilangan orang tercinta.
Berempati, sebagai kegiatan emosi, mempersyaratkan dua hal. Pengambilan jarak (distansi) dan pengendalian diri (moderasi). Ini yang membedakan empati dari simpati, yang buat orang lebur atau larut. Sedangkan memahami, sebagai kegiatan rasio, mempersyaratkan dua hal lain. Keterarahan dari subjek yang mau mamahami (intensionalitas) dan keterbukaan dari objek yang hendak dipahami (objektivasi).
Dengan empati dan pemahaman, kita tidak mudah gegabah memvonis kasus medik sebagai malpraktik. Dalam kasus di atas, kita tidak gampang membenarkan dugaan bahwa si bocah meninggal karena kelalaian RSUD Ende. Karena petugas memindahkan dan mengganti tabung oksigen.
Perlu berhati-hati. Tidak membenarkan simpulan dugaan hanya atas dasar urutan waktu. Dalam logika, penyimpulan begini dinamakan ‘sesatpikir urutan waktu’ (fallacy of post hoc). Penyimpulan sesat berdasarkan anggapan bahwa oleh karena sesuatu hal terjadi setelah sesuatu hal lain, maka hal lain tersebut menjadi sebab dari hal yang terjadi kemudian itu. Istilah post hoc kependekan dari ungkapan Latin: post hoc, ergo propter hoc (‘sesudah ini, maka karena ini’).
Bahwa si bocah meninggal “setelah” tabung oksigen dipindahkan dan diganti, itu fakta. Tidak disangkal oleh RSUD. Yang jadi soal: apakah meninggal “setelah” tabung oksigen dipindahkan dan diganti sama dengan meninggal “karena” tabung oksigen dipindahkan dan diganti? Menyamakannya begitu saja, itulah sesatpikir. Memvonis atas dasar sesatpikir, itulah kegegabahan.
Tanpa mengurangi empati kita pada keluarga berduka, sesatpikir begini tidak dapat kita terima. Vonis dugaannya pun, karena dibangun di atas sesatpikir, tidak dapat pula kita benarkan. Pembenaran terhadapnya hanya sah jika vonis dugaan itu dikukuhkan melalui proses pencarian fakta, klarifikasi, dan verifikasi. Sejauh diberitakan, proses seperti ini belum atau tidak dilakukan.
Meski demikian, sengketa medik tersebut bukannya tanpa hikmah. Satu dari banyak yang penting patut diambil oleh Pemkab Ende selaku pemilik RSUD. Yaitu: jangan hanya bangga “terima” banyak setoran PAD dari RSUD. Banggalah juga “beri” banyak ke RSUD. Dengan demikian, tidak ada lagi keluhan RSUD Ende kekurangan tabung oksigen, dll.
“Bentara” FLORES POS, Senin 14 Desember 2009
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
kesehatan,
rsud ende,
sengketa medik
11 Desember 2009
Ende dan Kredo Malu
Mubes Swasembada Pangan 2012
Oleh Frans Anggal
Hanya sehari setelah Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2009, Pemkab Ende menggelar sebuah mubes. Mubes Swasembada Pangan 2012. Digelar di Aula Paroki St Yosef Detusoko, Kamis 10 Desember (Flores Pos Jumat 11-12-2009).
Waktu yang dipilih, sehari setelah Hari Antikorupsi Sedunia, mungkin cuma kebetulan. Koinsidensi belaka. Namun, yang kebetulan tetaplah berharga, kalau dihargai, dengan pemaknaan tertentu.
Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember disemaraki demo di Tanah Air, termasuk di Ende. Berbagai elemen masyarakat ikut dalam long march, yel, spanduk, orasi, dan dialog. Dari aneka ekspresi itu, fokus tuntutan sangat jelas. Semua kasus korupsi harus diproses hukum sampai tuntas. Mulai dari kasus lokal kelas teri di Ende hingga kasus nasional kelas kakap seperti skandal Bank Century di Jakarta. Semua pelaku korupsi harus dihukum. Singkat kata: hukum harus ditegakkan.
Sehari setelah peringatan semarak itu, di Detusoko, jauh dari ingar-bingar ibu kota Ende, berbagai elemen pun gelar aksi lain. Dari komposisi pesertanya, yang hadir jauh lebih lengkap. Ada eksekutif, legislatif, gereja, dan unsur masyarakat. Tidak sesemarak aksi di jalanan, tentu. Aksi mereka tanpa long march. Tidak pake yel. Namun, bobotnya luar biasa. Tentang pangan. Singkat kata: swasembada pangan harus ditegakkan.
Menarik. Yang koinsiden dari segi waktu, ternyata nyambung juga dari segi isi. Pertama, kedua aksi itu omong tentang makan. Yang pertama tentang makan uang, yang kedua tentang makan benaran. Yang pertama tentang makan karena kerakusas, yang kedua tentang makan karena kebutuhan. Kedua, dua-duanya omong tentang keadilan. Yang pertama tentang keadilan hukum, yang kedua tentang keadilan sosial. Bedanya?
Pengertian keadilan sosial jauh lebih luas ketimbang keadilan hukum. Keadilan hukum, de facto, sekadar bicara tentang tegaknya peraturan perundang-undangan. Ini kian terasa dalam peradilan modern yang sarat dengan beban formalitas, prosedur, birokrasi, dan metodologi ketat. Dalam banyak kasus, keadilan hukum belum tentu adil.
Satu contoh. Menurut hukum, setiap orang sama. Sama di depan hukum (equality before the law). Setiap warga negara punya hak yang sama mendapat pelayanan listrik dengan harga yang sama. Maka, yang kaya, karena dia juga warga negara dan membayar dengan harga yang sama, berpeluang menikmati lebih banyak bahkan berlebihan. Dari segi hukum, ini adil. Dari segi sosial, belum tentu. Sebab, pemakaian berbihan oleh segelintir orang bisa mengakibatkan hilangnya akses bagi sebagian besar yang lain.
Berbeda dari keadilan hukum yang lebih menekankan hak individu, keadilan sosial berbicara tentang hak warga negara dalam sebuah negara. Keadilan sosial adalah keadaan di dalamnya kekayaan dan sumber daya negara didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat. Dalam konsep ini, terkandung pengertian bahwa pemerintah dibentuk oleh rakyat, untuk melayani kebutuhan seluruh rakyat. Karena itu, pemerintah yang tidak memenuhi kesejahteraan warga negaranya patut dianggap sebagai pemerintah yang gagal.
Kita ingin meletakkan Mubes Swasembada Pangan 2012 dalam perspektif ini. Perpektif keadilan sosial. Karena itu, pernyataan Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota saat mubes sangatlah tepat. “.... saya malu bila mendengar terjadi musibah kelaparan atau busung lapar di daerah ini.” Ini sebuah kredo. Kredo malu. Kredo ini harus jadi kredo pemerintah juga. Malu, kalau swasembada pangan cuma jadi “mubes”: mulut besar pemerintah.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 12 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
Hanya sehari setelah Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2009, Pemkab Ende menggelar sebuah mubes. Mubes Swasembada Pangan 2012. Digelar di Aula Paroki St Yosef Detusoko, Kamis 10 Desember (Flores Pos Jumat 11-12-2009).
Waktu yang dipilih, sehari setelah Hari Antikorupsi Sedunia, mungkin cuma kebetulan. Koinsidensi belaka. Namun, yang kebetulan tetaplah berharga, kalau dihargai, dengan pemaknaan tertentu.
Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember disemaraki demo di Tanah Air, termasuk di Ende. Berbagai elemen masyarakat ikut dalam long march, yel, spanduk, orasi, dan dialog. Dari aneka ekspresi itu, fokus tuntutan sangat jelas. Semua kasus korupsi harus diproses hukum sampai tuntas. Mulai dari kasus lokal kelas teri di Ende hingga kasus nasional kelas kakap seperti skandal Bank Century di Jakarta. Semua pelaku korupsi harus dihukum. Singkat kata: hukum harus ditegakkan.
Sehari setelah peringatan semarak itu, di Detusoko, jauh dari ingar-bingar ibu kota Ende, berbagai elemen pun gelar aksi lain. Dari komposisi pesertanya, yang hadir jauh lebih lengkap. Ada eksekutif, legislatif, gereja, dan unsur masyarakat. Tidak sesemarak aksi di jalanan, tentu. Aksi mereka tanpa long march. Tidak pake yel. Namun, bobotnya luar biasa. Tentang pangan. Singkat kata: swasembada pangan harus ditegakkan.
Menarik. Yang koinsiden dari segi waktu, ternyata nyambung juga dari segi isi. Pertama, kedua aksi itu omong tentang makan. Yang pertama tentang makan uang, yang kedua tentang makan benaran. Yang pertama tentang makan karena kerakusas, yang kedua tentang makan karena kebutuhan. Kedua, dua-duanya omong tentang keadilan. Yang pertama tentang keadilan hukum, yang kedua tentang keadilan sosial. Bedanya?
Pengertian keadilan sosial jauh lebih luas ketimbang keadilan hukum. Keadilan hukum, de facto, sekadar bicara tentang tegaknya peraturan perundang-undangan. Ini kian terasa dalam peradilan modern yang sarat dengan beban formalitas, prosedur, birokrasi, dan metodologi ketat. Dalam banyak kasus, keadilan hukum belum tentu adil.
Satu contoh. Menurut hukum, setiap orang sama. Sama di depan hukum (equality before the law). Setiap warga negara punya hak yang sama mendapat pelayanan listrik dengan harga yang sama. Maka, yang kaya, karena dia juga warga negara dan membayar dengan harga yang sama, berpeluang menikmati lebih banyak bahkan berlebihan. Dari segi hukum, ini adil. Dari segi sosial, belum tentu. Sebab, pemakaian berbihan oleh segelintir orang bisa mengakibatkan hilangnya akses bagi sebagian besar yang lain.
Berbeda dari keadilan hukum yang lebih menekankan hak individu, keadilan sosial berbicara tentang hak warga negara dalam sebuah negara. Keadilan sosial adalah keadaan di dalamnya kekayaan dan sumber daya negara didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat. Dalam konsep ini, terkandung pengertian bahwa pemerintah dibentuk oleh rakyat, untuk melayani kebutuhan seluruh rakyat. Karena itu, pemerintah yang tidak memenuhi kesejahteraan warga negaranya patut dianggap sebagai pemerintah yang gagal.
Kita ingin meletakkan Mubes Swasembada Pangan 2012 dalam perspektif ini. Perpektif keadilan sosial. Karena itu, pernyataan Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota saat mubes sangatlah tepat. “.... saya malu bila mendengar terjadi musibah kelaparan atau busung lapar di daerah ini.” Ini sebuah kredo. Kredo malu. Kredo ini harus jadi kredo pemerintah juga. Malu, kalau swasembada pangan cuma jadi “mubes”: mulut besar pemerintah.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 12 Desember 2009
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
keadilan hukum,
keadilan sosial,
mubes swasembda pangan 2012,
pangan,
swasembada pangan
Percayakan pada Hakim
Kontroversi Kasus PDAM Ende
Oleh Frans Anggal
Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2009 ditandai berbagai aksi demo di Tanah Air. Di Ende, seperti diwartakan Flores Pos Kamis 10 Desember, berbagai elemen masyarakat melakukan long march, memekikkan yel, membentangkan spanduk, berorasi, dan berdialog. Untuk dialog, mereka datangi kejari dan DPRD.
Datangi DPRD, itu biasa. Namanya juga lembaga wakil rakyat. Ke sinilah aspirasi rakyat disampaikan. Yang baik yang buruk, yang diminta yang ditolak, yang disukai yang dibenci, yang jelas yang kabur, diangkut ke sini dan ditumpahkan di sini. Untuk masalah, harapan rakyat hanya satu: diselesaikan.
Untuk masalah yang ada dalam ‘ruang lingkup kekuasaan’ (scope of power) atau ‘ranah kekuasaan’ (domain of power) DPRD, rakyat harapkan wakil mereka jadi eksekutor tangkas. Sedangkan untuk masalah di luar ruang lingkup atau ranah itu, rakyat harapkan wakilnya jadi fasiltator piawai.
Kalau datangi DPRD itu biasa, bagaimana dengan aksi datangi kejari? Sebetulnya biasa juga. Sudah sering Kejari Ende didemo. Tuntutan tak ada yang baru. Yang itu-itu juga: tuntaskan berbagai kasus korupsi yang sudah berkali-kali berulang tahun di kejari. Kalau begitu, apanya yang luar biasa?
Ini dia! Kajarinya, Marihot Silalahi, keluar dari ruang kerja dan berdialog dengan demonstran. Meski didesak dulu baru mau, tidak apa. Untuk Ende, ini tetap luar biasa. Sebab, biasanya, kajari tak biasa keluar ruangan menemui demonstran. Kali ini, kejutan. Semacam ‘kado’ Hari Antikorupsi Sedunia.
Masih ada yang luar biasa. Terungkap dari mulut Kajari Silalahi saat dialog. Pertama, kasus APBD Ende Rp150 juta: sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri pada 30 November 2009. Kedua, kasus pengadaan tanah PLTU Ropa: dilimpahkan hari itu juga ke pengadilan. “... bertepatan dengan Hari Antikorupsi Sedunia hari ini ....,” kata kajari.
Luar biasa? Ya! Walaupun cuma dua kasus. Lumayan, daripada tidak samasekali. Sebab, biasanya, selama ini, kasus-kasus korupsi ‘ditampung’ di kejari. Kejari menjadi semacam ‘bank kasus’. Di sana kasus-kasus korupsi berulang tahun. Kajari datang dan pergi, kasus-kasus itu setia menunggu ‘perayaan’ hari ulang tahun berikutnya.
Para demontran menyebutkan tiga kasus yang sering berultah di kejari. Kasus PDAM, kasus pembangunan kantor bupati Rp21 miliar, dan kasus alat uji kendaraan di dishub Rp1,4 miliar. Berbeda dengan jawaban tentang kasus APBD dan pengadaan tanah PLTU Ropa yang luar biasa, jawaban tentang kasus PDAM tidaklah luar biasa. Kajari kembali mengunyah jawaban lama, yang sudah biasa selama ini. Katanya, kerugian negara tidak bisa dihitung. Kerugian negara belum ditemukan. Dst, dst.
Ini jawaban biasa, tapi luar biasa juga. Yang luar biasa di sini, kejanggalannya. Ada kerugian negara, namun kerugian negara itu tidak bisa dihitung. Benarkah itu? Kita andaikan saja benar. Pertanyaan kita: kenapa hal itu harus jadi halangan pelimpahan berkas ke pengadilan? Limpahkan saja to! Ada hakim di pengadilan yang akan menilai. Percayakan pada hakim.
Berbeda dengan jaksa, hakim tidaklah sekadar corong undang-undang. Berbeda dengan jaksa, hakim berwenang menjadi living interpretator. Berbeda dengan jaksa, hakim berhak menangkap semangat keadilan dalam masyarakat. Berbeda dengan jaksa, hakim tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan. Karena itu pula, hakim bisa mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif undang-undang.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 11 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2009 ditandai berbagai aksi demo di Tanah Air. Di Ende, seperti diwartakan Flores Pos Kamis 10 Desember, berbagai elemen masyarakat melakukan long march, memekikkan yel, membentangkan spanduk, berorasi, dan berdialog. Untuk dialog, mereka datangi kejari dan DPRD.
Datangi DPRD, itu biasa. Namanya juga lembaga wakil rakyat. Ke sinilah aspirasi rakyat disampaikan. Yang baik yang buruk, yang diminta yang ditolak, yang disukai yang dibenci, yang jelas yang kabur, diangkut ke sini dan ditumpahkan di sini. Untuk masalah, harapan rakyat hanya satu: diselesaikan.
Untuk masalah yang ada dalam ‘ruang lingkup kekuasaan’ (scope of power) atau ‘ranah kekuasaan’ (domain of power) DPRD, rakyat harapkan wakil mereka jadi eksekutor tangkas. Sedangkan untuk masalah di luar ruang lingkup atau ranah itu, rakyat harapkan wakilnya jadi fasiltator piawai.
Kalau datangi DPRD itu biasa, bagaimana dengan aksi datangi kejari? Sebetulnya biasa juga. Sudah sering Kejari Ende didemo. Tuntutan tak ada yang baru. Yang itu-itu juga: tuntaskan berbagai kasus korupsi yang sudah berkali-kali berulang tahun di kejari. Kalau begitu, apanya yang luar biasa?
Ini dia! Kajarinya, Marihot Silalahi, keluar dari ruang kerja dan berdialog dengan demonstran. Meski didesak dulu baru mau, tidak apa. Untuk Ende, ini tetap luar biasa. Sebab, biasanya, kajari tak biasa keluar ruangan menemui demonstran. Kali ini, kejutan. Semacam ‘kado’ Hari Antikorupsi Sedunia.
Masih ada yang luar biasa. Terungkap dari mulut Kajari Silalahi saat dialog. Pertama, kasus APBD Ende Rp150 juta: sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri pada 30 November 2009. Kedua, kasus pengadaan tanah PLTU Ropa: dilimpahkan hari itu juga ke pengadilan. “... bertepatan dengan Hari Antikorupsi Sedunia hari ini ....,” kata kajari.
Luar biasa? Ya! Walaupun cuma dua kasus. Lumayan, daripada tidak samasekali. Sebab, biasanya, selama ini, kasus-kasus korupsi ‘ditampung’ di kejari. Kejari menjadi semacam ‘bank kasus’. Di sana kasus-kasus korupsi berulang tahun. Kajari datang dan pergi, kasus-kasus itu setia menunggu ‘perayaan’ hari ulang tahun berikutnya.
Para demontran menyebutkan tiga kasus yang sering berultah di kejari. Kasus PDAM, kasus pembangunan kantor bupati Rp21 miliar, dan kasus alat uji kendaraan di dishub Rp1,4 miliar. Berbeda dengan jawaban tentang kasus APBD dan pengadaan tanah PLTU Ropa yang luar biasa, jawaban tentang kasus PDAM tidaklah luar biasa. Kajari kembali mengunyah jawaban lama, yang sudah biasa selama ini. Katanya, kerugian negara tidak bisa dihitung. Kerugian negara belum ditemukan. Dst, dst.
Ini jawaban biasa, tapi luar biasa juga. Yang luar biasa di sini, kejanggalannya. Ada kerugian negara, namun kerugian negara itu tidak bisa dihitung. Benarkah itu? Kita andaikan saja benar. Pertanyaan kita: kenapa hal itu harus jadi halangan pelimpahan berkas ke pengadilan? Limpahkan saja to! Ada hakim di pengadilan yang akan menilai. Percayakan pada hakim.
Berbeda dengan jaksa, hakim tidaklah sekadar corong undang-undang. Berbeda dengan jaksa, hakim berwenang menjadi living interpretator. Berbeda dengan jaksa, hakim berhak menangkap semangat keadilan dalam masyarakat. Berbeda dengan jaksa, hakim tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan. Karena itu pula, hakim bisa mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif undang-undang.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 11 Desember 2009
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
hari antikoruspi sedunia,
hukum,
kasus korupsi
09 Desember 2009
Ironi koq Mereka Biarkan!
RSUD Lewoleba Setor PAD Tertinggi
Oleh Frans Anggal
RSUD Lewoleba merupakan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang memberikan kontribusi terbesar bagi pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Lembata. Tahun 2009, RSUD Lewoleba setor Rp1,9 miliar. SKPD ‘orang sakit’ ini kalahkan 32 SKPD ‘orang sehat’ dalam hal menggemukkan pundi-pundi daerah.
“Di satu sisi kita senang karena PAD dari RSUD tingggi. Namun di lain sisi oronis, di mana sumbangan terbesar untuk PAD Lembata justru dari orang sakit.” Begitu kata anggota DPRD Lembata Servas Ladoangin dalam rapat pembahasan anggaran APBD 2010 bersama RSUD Lembata, Sabtu 5 Desember 2009, sebagaimana diwartakan Flores Pos Senin 7 Desember.
Senang, tapi ironis. Ungkapan Servas Ladoangin ini tepat. Tidak hanya untuk Lembata. Daerah lain juga. Banyak daerah menikmati “kesenangan dalam ironi” ini. Dan, tidak berusaha mengakhiri “ironi dalam kesenangan” ini. Eksekutif, legislatif, sama saja. Mereka sadar ini “ironi”, tapi “senang” meneruskannya. Demi PAD, semua cara dihalalkan. Yang ironis sekalipun.
Ironis, orang sakit jadi sumber pendapatan daerah. Ironi ini berawal dari mulainya otonomi daerah. Daerah berlomba-lomba meningkatkan PAD dari berbagai sektor. Sektor kesehatan pun jadi objek empuk. Banyak daerah menetapkan target tinggi untuk sektor ini, mulai dari rumah sakit hingga puskesmas. Maka, rumah sakit mukut meningkatkan pendapatannya. Upaya paling mudah adalah menaikkan tarif pelayanan. Yang kasihan, pasien.
Padahal, sebagian besar sumber pembiayaan RSUD didrop oleh pemerintah pusat. Ada dana tugas pembantuan (TP), dana alokasi khusus (DAK), dana dekonsentrasi, bahkan dana alokasi umum (DAU). Apakah rasional dan adil pemerintah daerah menagih ke RSUD pengembalian biaya investasi itu demi menggemukkan pundi-pundi daerah, sementara biaya investasi itu subsidi pemerintah pusat ke daerah? Apakah rasional, adil, dan manusiawi pemerintah daerah membebankan pasien melalui RSUD untuk mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan pemerintah pusat itu?
Meski atas nama dan demi PAD, cara-cara ini tidak dapat dibenarkan. Konstitusi Kesehatan Dunia (WHO), UUD 1945 Pasal 28 H, UU 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menetapkan: kesehatan adalah hak fundamental setiap warga. UU 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada bagian awal konsideransnya menegaskan: pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam UUD 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
Itu berarti, setiap individu berhak memperoleh perlindungan atas kesehatan. Negara bertanggung jawab mengatur agar hak hidup sehat setiap individu itu terjamin, terutama yang miskin dan tidak mampu. Karena itu, semestinya biaya pelayanan kesehatan manjadi kewajiban pemerintah.
Dengan dasar itu maka, pertama, tidaklah manusiawi jika orang sakit dijadikan sumber PAD. Kedua, tidaklah rasional jika pendapatan rumah sakit digunakan untuk membiayai SKPD lain. Ketiga, tidaklah adil jika dari PAD yang disetor oleh rumah sakit, hanya sebagian kecil yang kembali lagi ke rumah sakit.
Yang menyedihkan, meski tidak manusiawi, tidak rasional, dan tidak adil, cara-cara ini tetap dipertahankan. Kenapa? Meminjam ungkapan anggota DPRD Lembata Servas Ladoangin, meski “ironis” toh bikin “senang”. Senangnya, PAD naik. Oronisnya, justru oleh orang sakit. Ironi ini disadari oleh DPRD. Tapi, ini juga menyedihkan: mereka tidak bikin apa-apa. Mereka biarkan ini berlangsung terus entah sampai kapan. Ironi koq mereka biarkan!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 10 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
RSUD Lewoleba merupakan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang memberikan kontribusi terbesar bagi pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Lembata. Tahun 2009, RSUD Lewoleba setor Rp1,9 miliar. SKPD ‘orang sakit’ ini kalahkan 32 SKPD ‘orang sehat’ dalam hal menggemukkan pundi-pundi daerah.
“Di satu sisi kita senang karena PAD dari RSUD tingggi. Namun di lain sisi oronis, di mana sumbangan terbesar untuk PAD Lembata justru dari orang sakit.” Begitu kata anggota DPRD Lembata Servas Ladoangin dalam rapat pembahasan anggaran APBD 2010 bersama RSUD Lembata, Sabtu 5 Desember 2009, sebagaimana diwartakan Flores Pos Senin 7 Desember.
Senang, tapi ironis. Ungkapan Servas Ladoangin ini tepat. Tidak hanya untuk Lembata. Daerah lain juga. Banyak daerah menikmati “kesenangan dalam ironi” ini. Dan, tidak berusaha mengakhiri “ironi dalam kesenangan” ini. Eksekutif, legislatif, sama saja. Mereka sadar ini “ironi”, tapi “senang” meneruskannya. Demi PAD, semua cara dihalalkan. Yang ironis sekalipun.
Ironis, orang sakit jadi sumber pendapatan daerah. Ironi ini berawal dari mulainya otonomi daerah. Daerah berlomba-lomba meningkatkan PAD dari berbagai sektor. Sektor kesehatan pun jadi objek empuk. Banyak daerah menetapkan target tinggi untuk sektor ini, mulai dari rumah sakit hingga puskesmas. Maka, rumah sakit mukut meningkatkan pendapatannya. Upaya paling mudah adalah menaikkan tarif pelayanan. Yang kasihan, pasien.
Padahal, sebagian besar sumber pembiayaan RSUD didrop oleh pemerintah pusat. Ada dana tugas pembantuan (TP), dana alokasi khusus (DAK), dana dekonsentrasi, bahkan dana alokasi umum (DAU). Apakah rasional dan adil pemerintah daerah menagih ke RSUD pengembalian biaya investasi itu demi menggemukkan pundi-pundi daerah, sementara biaya investasi itu subsidi pemerintah pusat ke daerah? Apakah rasional, adil, dan manusiawi pemerintah daerah membebankan pasien melalui RSUD untuk mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan pemerintah pusat itu?
Meski atas nama dan demi PAD, cara-cara ini tidak dapat dibenarkan. Konstitusi Kesehatan Dunia (WHO), UUD 1945 Pasal 28 H, UU 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menetapkan: kesehatan adalah hak fundamental setiap warga. UU 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada bagian awal konsideransnya menegaskan: pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam UUD 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
Itu berarti, setiap individu berhak memperoleh perlindungan atas kesehatan. Negara bertanggung jawab mengatur agar hak hidup sehat setiap individu itu terjamin, terutama yang miskin dan tidak mampu. Karena itu, semestinya biaya pelayanan kesehatan manjadi kewajiban pemerintah.
Dengan dasar itu maka, pertama, tidaklah manusiawi jika orang sakit dijadikan sumber PAD. Kedua, tidaklah rasional jika pendapatan rumah sakit digunakan untuk membiayai SKPD lain. Ketiga, tidaklah adil jika dari PAD yang disetor oleh rumah sakit, hanya sebagian kecil yang kembali lagi ke rumah sakit.
Yang menyedihkan, meski tidak manusiawi, tidak rasional, dan tidak adil, cara-cara ini tetap dipertahankan. Kenapa? Meminjam ungkapan anggota DPRD Lembata Servas Ladoangin, meski “ironis” toh bikin “senang”. Senangnya, PAD naik. Oronisnya, justru oleh orang sakit. Ironi ini disadari oleh DPRD. Tapi, ini juga menyedihkan: mereka tidak bikin apa-apa. Mereka biarkan ini berlangsung terus entah sampai kapan. Ironi koq mereka biarkan!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 10 Desember 2009
Mendiknas Kuno Banget!
Berhenti Memperdebatkan Masalah UN?
Oleh Frans Anggal
Mendiknas Mohammad Nuh meminta semua pihak berhenti memperdebatkan masalah ujian nasional (UN) karena pemerintah akan tetap memberlakukan kebijakan tersebut demi kemajuan dunia pendidikan. Hal itu dikatakan mendiknas di sela kunjungannya di Pekanbaru, Riau, Sabtu 5 Desember 2009.
Permintaan mendiknas ini permintaan yang janggal, dengan alasan yang janggal. Pertama, kejanggal dalam permintaannya. Ia meminta orang berhenti berdebat. Itu berarti berhenti berbeda pendapat, dan berhenti menyatakan perbedaan pendapat. Sama artinya dengan berhenti berdemokrasi.
Kedua, kejanggalan dalam alasannya. Menurut dia, debat perlu dihentikan karena pemerintah tetap berlakukan UN. Itu berarti kebijakan pemerintahlah yang paling benar dan paling baik. Pemerintah bertitah, habislah perkara. Tak perlu ada ruang diskusi. Ini argumentasi khas anti-demokrasi.
Selain melawan demokrasi, permintaan dan alasan mendiknas itu menginjak-injak keadilan. Keadilan di sini keadilan dalam paham moderen, yang dalam telaah filsuf politik kontemporer John Rawls diartikan sebagai fairness. Jauh dari John Rawls berkebangsaan AS, cara berpikir mendiknas lebih dekat dengan filsuf Yunani klasik Trasymachos.
Menurut Trasymachos, yang disebut adil itu adalah yang sesuai dengan kepentingan penguasa atau pihak yang lebih kuat. Kalau Socrates, dalam dialog Plato, menolak pemahaman Trasymachos ini, mendiknas kita malah sebaliknya. Permintaannya menghentikan perdebatan UN mengesankan ia ‘pengikut’ mungkin juga ‘pengagum’ Trasymachos.
Coba tanyakan: kenapa UN tidak perlu diperdebatkan? Jawabannya: karena pemerintah tetap berlakukan UN. Tanyakan lagi: kenapa pemerintah tetap berlakukan UN? Jawabannya: karena itulah yang paling sesuai dengan kepentingan pemerintah, apa pun embel-embelnya: demi kemajuan dunia pendidikan, dll. Kepentingan pemerintah menjadi patokan kebenaran dan keadilan. Ini jawaban khas Trasymachos.
Dengan metode kebidanannya, Socrates telah berhasil meyakinkan Trasymachos. Bahwa, pertama, apa yang sesuai dengan kepentingan penguasa tidaklah lebih adil daripada apa yang tidak sesuai dengannya. Kedua, penguasa bertindak adil kalau ia bertindak sesuai dengan kecakapannya: memperhatikan apa yang baik, benar, dan tepat demi kepentingan bawahannya.
Kalau Socrates masih melihat keadilan sebagai urusan penguasa (bertindak sesuai dengan kecakapan demi kepentingan bawahan), John Rawls melihatnya sebagai urusan segenap anggota masyarakat. Menurut Rawls, sebuah teori keadilan yang baik adalah teori keadilan yang bersifat kontrak yang menjamin kepentingan semua pihak secara fair. Keadilan dimaknainya sebagai fairness yang bersifat kontraktual.
Karena keadilan itu fairness bersifat kontraktual, kata Rawls, maka keadilan harus dicapai dalam wacana yang sifatnya rasional, bebas, dan demokratis. Melalui wacana inilah masyarakat bisa sampai pada pemahaman dan implementasi keadilan dalam kehidupan sehari-hari.
Yang dianjurkan Rawls persis berlawanan dengan yang diminta mendiknas. Mendiknas meminta debat atau wacana tentang UN dihentikan. Dengan demikian, ia meminta orang tidak hanya berhenti berdemokrasi, tapi juga berhenti berkeadilan. Sebab, tanpa wacana rasional, bebas, dan demokratis, keadilan tidak akan terwujud. Apa kata Rawls kira-kira? Mungkin ia akan bilang begini. “Mendiknas kalian cocok hidup di zaman Yunani klasik, bersama Trasymachos. Pikirannya Trasymachos banget. Kuno banget!”
“Bentara” FLORES POS, Rabu 9 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
Mendiknas Mohammad Nuh meminta semua pihak berhenti memperdebatkan masalah ujian nasional (UN) karena pemerintah akan tetap memberlakukan kebijakan tersebut demi kemajuan dunia pendidikan. Hal itu dikatakan mendiknas di sela kunjungannya di Pekanbaru, Riau, Sabtu 5 Desember 2009.
Permintaan mendiknas ini permintaan yang janggal, dengan alasan yang janggal. Pertama, kejanggal dalam permintaannya. Ia meminta orang berhenti berdebat. Itu berarti berhenti berbeda pendapat, dan berhenti menyatakan perbedaan pendapat. Sama artinya dengan berhenti berdemokrasi.
Kedua, kejanggalan dalam alasannya. Menurut dia, debat perlu dihentikan karena pemerintah tetap berlakukan UN. Itu berarti kebijakan pemerintahlah yang paling benar dan paling baik. Pemerintah bertitah, habislah perkara. Tak perlu ada ruang diskusi. Ini argumentasi khas anti-demokrasi.
Selain melawan demokrasi, permintaan dan alasan mendiknas itu menginjak-injak keadilan. Keadilan di sini keadilan dalam paham moderen, yang dalam telaah filsuf politik kontemporer John Rawls diartikan sebagai fairness. Jauh dari John Rawls berkebangsaan AS, cara berpikir mendiknas lebih dekat dengan filsuf Yunani klasik Trasymachos.
Menurut Trasymachos, yang disebut adil itu adalah yang sesuai dengan kepentingan penguasa atau pihak yang lebih kuat. Kalau Socrates, dalam dialog Plato, menolak pemahaman Trasymachos ini, mendiknas kita malah sebaliknya. Permintaannya menghentikan perdebatan UN mengesankan ia ‘pengikut’ mungkin juga ‘pengagum’ Trasymachos.
Coba tanyakan: kenapa UN tidak perlu diperdebatkan? Jawabannya: karena pemerintah tetap berlakukan UN. Tanyakan lagi: kenapa pemerintah tetap berlakukan UN? Jawabannya: karena itulah yang paling sesuai dengan kepentingan pemerintah, apa pun embel-embelnya: demi kemajuan dunia pendidikan, dll. Kepentingan pemerintah menjadi patokan kebenaran dan keadilan. Ini jawaban khas Trasymachos.
Dengan metode kebidanannya, Socrates telah berhasil meyakinkan Trasymachos. Bahwa, pertama, apa yang sesuai dengan kepentingan penguasa tidaklah lebih adil daripada apa yang tidak sesuai dengannya. Kedua, penguasa bertindak adil kalau ia bertindak sesuai dengan kecakapannya: memperhatikan apa yang baik, benar, dan tepat demi kepentingan bawahannya.
Kalau Socrates masih melihat keadilan sebagai urusan penguasa (bertindak sesuai dengan kecakapan demi kepentingan bawahan), John Rawls melihatnya sebagai urusan segenap anggota masyarakat. Menurut Rawls, sebuah teori keadilan yang baik adalah teori keadilan yang bersifat kontrak yang menjamin kepentingan semua pihak secara fair. Keadilan dimaknainya sebagai fairness yang bersifat kontraktual.
Karena keadilan itu fairness bersifat kontraktual, kata Rawls, maka keadilan harus dicapai dalam wacana yang sifatnya rasional, bebas, dan demokratis. Melalui wacana inilah masyarakat bisa sampai pada pemahaman dan implementasi keadilan dalam kehidupan sehari-hari.
Yang dianjurkan Rawls persis berlawanan dengan yang diminta mendiknas. Mendiknas meminta debat atau wacana tentang UN dihentikan. Dengan demikian, ia meminta orang tidak hanya berhenti berdemokrasi, tapi juga berhenti berkeadilan. Sebab, tanpa wacana rasional, bebas, dan demokratis, keadilan tidak akan terwujud. Apa kata Rawls kira-kira? Mungkin ia akan bilang begini. “Mendiknas kalian cocok hidup di zaman Yunani klasik, bersama Trasymachos. Pikirannya Trasymachos banget. Kuno banget!”
“Bentara” FLORES POS, Rabu 9 Desember 2009
Warga ‘Setan’ Beo Rahong
Proyek Jalan PNPM Mandiri
Oleh Frans Anggal
Puluhan warga Desa Beo Rahong, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, datangi DPRD, Jumat 14 Desember 2009. Mereka persoalkan mutu pengerjaan jalan desa 1,5 km, proyek Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Materialnya, batu kapur dan pasir bercampur tanah. Mereka perlihatkan sampelnya ke dewan
Sebagaimana diwartakan Flores Pos Sabtu 5 Desember 2009, warga sampaikan beberapa hal. Dengan material batu kapur dan pasir bercampur tanah, jalan akan berlumpur saat hujan. Mereka minta dewan segera ke lokasi dan ambil sikap sebelum semuanya terlambat. Mereka tuntut bagian yang sudah dikerjakan dibongkar. Materialnya harus diganti dengan material bermutu.
Penilaian warga ini berseberangan dengan pernyataan PJOK PNPM. “Sirtu yang dihamparkan ke telford harus mengandung unsur tanah 20 persen. Unsur tanah penting sebagai pengikat batu dan pasir,” kata Frumensius LTK. Kata dia, dalam pertemuan desa, warga sudah terima itu. Yang tetap tidak terima hanyalah warga yang tidak paham penjelasan teknis.
Penjelasan teknis PJOK boleh jadi masuk akal. Untuk telford, tanah itu penting sebagai pengikat batu dan pasir. Tapi, batunya batu yang bagaimana? Apa iya batu kapur, yang mudah remuk tergilas kendaraan? Mana yang benar, warga ataukah PJOK, belum jelas. Karena itu, dewan perlu segera ke lokasi. Memantau fisik proyek. Juga menggelar pertemuan desa guna mendapat verifikasi dan mencari solusi.
Apa pun temuan dan solusi nanti, kedatangan warga ke dewan perlu diwawas secara positif. Ini wujud partisipasi mereka dalam pembangunan. Ini bukti mereka mengontrol, tidak hanya menonton proses pembangunan. Apalagi, proyek yang mereka kontrol ini bernama PNPM Mandiri. Ada dua kata penting yang disandang nama itu: ‘pemberdayaan’ dan ‘ (ke)mandiri(an)’.
Secara konseptual, pengembangan masyarakat dengan orientasi ‘pemberdayaan’ menganut prinsip people driven. Masyarakat jadi aktor penting dalam setiap formulasi kebijakan dan pengambilan keputusan. Syarat mutlak pemberdayaan adalah orientasinya yang selalu tertuju pada ‘kemandirian’. Sangat naif jika program pemberdayaan berjalan sambil menciptakan ketergantungan masyarakat pada pihak lain.
Dari sisi pandang ini, kedatangan warga ke dewan patut diapresiasi. Tidak hanya karena itu merupakan wujud partisipasi. Tapi juga bukti berdaya dan mandirinya mereka. PJOK PNPM semestinya bersyukur dengan warga seperti ini. Kalau harus dianggap sebagai ‘setan’, para warga ini ‘setan’ yang berguna. Advocatus diaboli (Latin). Devil’s advocate (Inggris). ‘Setan’ yang ‘menyelamatkan’ kita justru dengan cara ‘mengganggu’ kita terus-menerus.
Kalau semua warga hanya jadi ‘malaikat’ yang cuma angguk-angguk, buahnya kehancuran, bukan keselamatan. Dalam konteks PNPM Mandiri di Desa Beo Rahong, yang hancur bukan hanya proyek jalan 1,5 km itu, tapi juga masyarakat desanya. Dan kalau masyarakat hancur, hancurlah segalanya.
Sikap DPRD dan BPMD tepat. Menerima pengaduan para warga ‘setan’ Beo Rahong sebagai masukan berharga. Tim legislatif dan eksekutif akan turun ke lokasi, memantau fisik proyek. Kalau benar pengerjaannya tidak betul, tidak ikut standar teknis, maka harus dibongkar dan dikerjakan ulang.
Hebat, bukan? Tanpa pengaduan para warga ‘setan’ di DPRD, hal seperti itu akan sulit terjadi. Proyek PNPM Mandiri di mana pun akan hancur berantakan kalau warga hanya jadi ‘malaikat’ penonton, yang tahunya cuma angguk-angguk.
“Bentara” FLORES POS, Senin 7 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
Puluhan warga Desa Beo Rahong, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, datangi DPRD, Jumat 14 Desember 2009. Mereka persoalkan mutu pengerjaan jalan desa 1,5 km, proyek Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Materialnya, batu kapur dan pasir bercampur tanah. Mereka perlihatkan sampelnya ke dewan
Sebagaimana diwartakan Flores Pos Sabtu 5 Desember 2009, warga sampaikan beberapa hal. Dengan material batu kapur dan pasir bercampur tanah, jalan akan berlumpur saat hujan. Mereka minta dewan segera ke lokasi dan ambil sikap sebelum semuanya terlambat. Mereka tuntut bagian yang sudah dikerjakan dibongkar. Materialnya harus diganti dengan material bermutu.
Penilaian warga ini berseberangan dengan pernyataan PJOK PNPM. “Sirtu yang dihamparkan ke telford harus mengandung unsur tanah 20 persen. Unsur tanah penting sebagai pengikat batu dan pasir,” kata Frumensius LTK. Kata dia, dalam pertemuan desa, warga sudah terima itu. Yang tetap tidak terima hanyalah warga yang tidak paham penjelasan teknis.
Penjelasan teknis PJOK boleh jadi masuk akal. Untuk telford, tanah itu penting sebagai pengikat batu dan pasir. Tapi, batunya batu yang bagaimana? Apa iya batu kapur, yang mudah remuk tergilas kendaraan? Mana yang benar, warga ataukah PJOK, belum jelas. Karena itu, dewan perlu segera ke lokasi. Memantau fisik proyek. Juga menggelar pertemuan desa guna mendapat verifikasi dan mencari solusi.
Apa pun temuan dan solusi nanti, kedatangan warga ke dewan perlu diwawas secara positif. Ini wujud partisipasi mereka dalam pembangunan. Ini bukti mereka mengontrol, tidak hanya menonton proses pembangunan. Apalagi, proyek yang mereka kontrol ini bernama PNPM Mandiri. Ada dua kata penting yang disandang nama itu: ‘pemberdayaan’ dan ‘ (ke)mandiri(an)’.
Secara konseptual, pengembangan masyarakat dengan orientasi ‘pemberdayaan’ menganut prinsip people driven. Masyarakat jadi aktor penting dalam setiap formulasi kebijakan dan pengambilan keputusan. Syarat mutlak pemberdayaan adalah orientasinya yang selalu tertuju pada ‘kemandirian’. Sangat naif jika program pemberdayaan berjalan sambil menciptakan ketergantungan masyarakat pada pihak lain.
Dari sisi pandang ini, kedatangan warga ke dewan patut diapresiasi. Tidak hanya karena itu merupakan wujud partisipasi. Tapi juga bukti berdaya dan mandirinya mereka. PJOK PNPM semestinya bersyukur dengan warga seperti ini. Kalau harus dianggap sebagai ‘setan’, para warga ini ‘setan’ yang berguna. Advocatus diaboli (Latin). Devil’s advocate (Inggris). ‘Setan’ yang ‘menyelamatkan’ kita justru dengan cara ‘mengganggu’ kita terus-menerus.
Kalau semua warga hanya jadi ‘malaikat’ yang cuma angguk-angguk, buahnya kehancuran, bukan keselamatan. Dalam konteks PNPM Mandiri di Desa Beo Rahong, yang hancur bukan hanya proyek jalan 1,5 km itu, tapi juga masyarakat desanya. Dan kalau masyarakat hancur, hancurlah segalanya.
Sikap DPRD dan BPMD tepat. Menerima pengaduan para warga ‘setan’ Beo Rahong sebagai masukan berharga. Tim legislatif dan eksekutif akan turun ke lokasi, memantau fisik proyek. Kalau benar pengerjaannya tidak betul, tidak ikut standar teknis, maka harus dibongkar dan dikerjakan ulang.
Hebat, bukan? Tanpa pengaduan para warga ‘setan’ di DPRD, hal seperti itu akan sulit terjadi. Proyek PNPM Mandiri di mana pun akan hancur berantakan kalau warga hanya jadi ‘malaikat’ penonton, yang tahunya cuma angguk-angguk.
“Bentara” FLORES POS, Senin 7 Desember 2009
Label:
bentara,
desa beo rahong,
flores,
flores pos,
manggarai,
proyek PNPM mandiri
05 Desember 2009
Harus Ada Standar Objektif
DPRD Lembata Pangkas Honor Bupati
Oleh Frans Anggal
DPRD Lembata memangkas honor bupati 50 persen. Demikian warta Flores Pos Jumat 4 Desember 2009. Honor dimaksud, honor bupati selaku pengarah kegiatan pada tiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Selama ini, bupati dapat Rp1,5 juta per kegiatan. Kini, turun setengah menjadi Rp750 ribu. Keputusan ini diambil dalam rapat bersama tim anggaran eksekutif, Rabu 2 Desember 2009.
Tidak hanya honor bupati, honor panitia kegiatan pada tiap SKPD pun dipangkas 50 persen. Hal sebaliknya bagi guru penyusun soal dan pemeriksa bahan ujian SD-SLTA. Honor mereka naik 100 persen. Uang pengawas ujian, misalnya, dinaikkan dari Rp25 ribu menjadi Rp50 ribu.
Dalam penilaian dewan, honor bupati selama ini terlalu besar. Ambil contoh, di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (PPO). Ada 52 kegiatan dalam setahun. Dengan honor Rp1,5 juta per kegiatan maka dalam setahun bupati kebagian Rp78 juta. “Ini baru (dari) satu SKPD, belum lagi (dari) SKPD lain,” kata anggota dewan Servas Suban.
Honor terlalu besar. Itulah yang jadi alasan honor bupati dipangkas. Pertanyaan kita: apa ukurannya sampai jumlah tersebut dinilai terlalu besar? Kata “terlalu” menunjukkan gradasi. Pertanyaan selanjunya: terlalu besar itu dalam perbandingan dengan apa? Sayang, dua pertanyaan ini tidak terjawab dalam pemberitaan. Padahal, ini penting.
Tanpa ukuran atau standar objektif, penetapan honor bagi seorang bupati akan mudah terperangkap dalam subjektivitas anggota dewan. Artinya, kebebasan dan interese anggota dewanalah yang menjadi penentu. Kasarnya, suka-suka merekalah untuk menilai honor “terlalu kecil”, “pas”, atau “terlalu besar”.
Kenapa selama ini bupati terima honor Rp1,5 juta per kegiatan SKPD? Tanpa standar objektif dalam penetapan besaran honor tersebut, anggota dewan lama akan cenderung menjawab: jumlah itu “pas” untuk bupati. Tentu lucu kalau juga, tanpa standar objektif dimaksud, anggota dewan yang sekarang menilai sebaliknya: jumlah itu “terlalu besar” untuk bupati.
Pertanyaan yang sama bisa dilontarkan perihal penetapan honor pengawas ujian SD-SLTA. Kenapa selama ini honornya Rp25 ribu? Tanpa standar objektif, anggota dewan lama akan bilang: jumlah itu “pas” untuk guru. Tentu lucu juga kalau, tanpa standar objektif, anggota dewan yang sekarang bilang sebaliknya: jumlah itu “terlalu kecil” untuk guru.
Dengan ini, kita hendak menyatakan: tanpa standar objektif, sebuah penetapan akan sekadar menjadi produk subjektivitas. Bahkan bisa menjadi produk kesewenang-wenangan. Ini tidak boleh terjadi. Karena itu, standar objektif harus ada. Di hadapan kemungkinan kesewenang-wenangan, standar objektif justru akan mengurangi atau meniadakan kesewenang-wenangan itu. Sebab, dalam dirinya sendiri, standar objektif mengandung ‘pembatasan’ (limitation) atau ‘pengekangan’ (restriction).
Kita mengapresiasi langkah DPRD Lembata yang di satu sisi memangkas honor bupati dan di sisi lain menaikkan honor guru. Ada kesan kuat, dewan baru ini peduli pada nasib guru. Guru yang jumlahnya banyak diutamakan ketimbang bupati yang hanya satu orang. Mereka dahulukan yang jumlahnya banyak tapi terimanya sedikit ini ketimbang yang jumlahnya sedikit tapi terimanya banyak.
Kepedulian dan preferensi yang bagus. Namun, itu saja tidak cukup. Kepedulian dan preferensi sebagus apa pun haruslah taat pada aturan main ketika dituangkan menjadi kebijakan. Bila wujudnya berupa penetapan honor maka aturan main yang rasional pasti mengharuskan adanya standar objektif.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 5 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
DPRD Lembata memangkas honor bupati 50 persen. Demikian warta Flores Pos Jumat 4 Desember 2009. Honor dimaksud, honor bupati selaku pengarah kegiatan pada tiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Selama ini, bupati dapat Rp1,5 juta per kegiatan. Kini, turun setengah menjadi Rp750 ribu. Keputusan ini diambil dalam rapat bersama tim anggaran eksekutif, Rabu 2 Desember 2009.
Tidak hanya honor bupati, honor panitia kegiatan pada tiap SKPD pun dipangkas 50 persen. Hal sebaliknya bagi guru penyusun soal dan pemeriksa bahan ujian SD-SLTA. Honor mereka naik 100 persen. Uang pengawas ujian, misalnya, dinaikkan dari Rp25 ribu menjadi Rp50 ribu.
Dalam penilaian dewan, honor bupati selama ini terlalu besar. Ambil contoh, di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (PPO). Ada 52 kegiatan dalam setahun. Dengan honor Rp1,5 juta per kegiatan maka dalam setahun bupati kebagian Rp78 juta. “Ini baru (dari) satu SKPD, belum lagi (dari) SKPD lain,” kata anggota dewan Servas Suban.
Honor terlalu besar. Itulah yang jadi alasan honor bupati dipangkas. Pertanyaan kita: apa ukurannya sampai jumlah tersebut dinilai terlalu besar? Kata “terlalu” menunjukkan gradasi. Pertanyaan selanjunya: terlalu besar itu dalam perbandingan dengan apa? Sayang, dua pertanyaan ini tidak terjawab dalam pemberitaan. Padahal, ini penting.
Tanpa ukuran atau standar objektif, penetapan honor bagi seorang bupati akan mudah terperangkap dalam subjektivitas anggota dewan. Artinya, kebebasan dan interese anggota dewanalah yang menjadi penentu. Kasarnya, suka-suka merekalah untuk menilai honor “terlalu kecil”, “pas”, atau “terlalu besar”.
Kenapa selama ini bupati terima honor Rp1,5 juta per kegiatan SKPD? Tanpa standar objektif dalam penetapan besaran honor tersebut, anggota dewan lama akan cenderung menjawab: jumlah itu “pas” untuk bupati. Tentu lucu kalau juga, tanpa standar objektif dimaksud, anggota dewan yang sekarang menilai sebaliknya: jumlah itu “terlalu besar” untuk bupati.
Pertanyaan yang sama bisa dilontarkan perihal penetapan honor pengawas ujian SD-SLTA. Kenapa selama ini honornya Rp25 ribu? Tanpa standar objektif, anggota dewan lama akan bilang: jumlah itu “pas” untuk guru. Tentu lucu juga kalau, tanpa standar objektif, anggota dewan yang sekarang bilang sebaliknya: jumlah itu “terlalu kecil” untuk guru.
Dengan ini, kita hendak menyatakan: tanpa standar objektif, sebuah penetapan akan sekadar menjadi produk subjektivitas. Bahkan bisa menjadi produk kesewenang-wenangan. Ini tidak boleh terjadi. Karena itu, standar objektif harus ada. Di hadapan kemungkinan kesewenang-wenangan, standar objektif justru akan mengurangi atau meniadakan kesewenang-wenangan itu. Sebab, dalam dirinya sendiri, standar objektif mengandung ‘pembatasan’ (limitation) atau ‘pengekangan’ (restriction).
Kita mengapresiasi langkah DPRD Lembata yang di satu sisi memangkas honor bupati dan di sisi lain menaikkan honor guru. Ada kesan kuat, dewan baru ini peduli pada nasib guru. Guru yang jumlahnya banyak diutamakan ketimbang bupati yang hanya satu orang. Mereka dahulukan yang jumlahnya banyak tapi terimanya sedikit ini ketimbang yang jumlahnya sedikit tapi terimanya banyak.
Kepedulian dan preferensi yang bagus. Namun, itu saja tidak cukup. Kepedulian dan preferensi sebagus apa pun haruslah taat pada aturan main ketika dituangkan menjadi kebijakan. Bila wujudnya berupa penetapan honor maka aturan main yang rasional pasti mengharuskan adanya standar objektif.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 5 Desember 2009
Label:
bentara,
bupati lembata,
dprd lembata,
dprd pangkas honor bupati lembata,
flores,
flores pos,
lembata
03 Desember 2009
Harus Tetap di PN Bajawa!
Sidang Kasus Kematian Romo Faustin Sega Pr
Oleh Frans Anggal
Dua tersangka kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr, Theresia Tawa dan Anus Waja, diserahkan ke penyidik Polda NTT di Kupang, Rabu 2 November 2009. Penyerahan dilakukan kuasa hukum dari Padma Indonesia. Selanjutnya, penyidik polda akan menyerahkan tersangka ke Kejari Bajawa, menyusul telah dinyatakan lengkapnya BAP oleh kejari. Kasus ini pun siap disidangkan.
Namun, Theresia Tawa dan Anus Waja menolak jika persidangannya di Pengadilan Negeri (PN) Bajawa. Ada sejumlah pertimbangan, kata ketua tim pengacara Roy Rening, sebagaimana diwartakan Flores Pos Kamis 3 Desember 2009. Di antaranya, agar persidangan berjalan fair, jujur, tidak memihak, objektif, dan demi keselamatan jiwa kedua tersangka.
Pertimbangan ini mengandung asumsi yang dapat menyesatkan. Seolah-olah kalau dilangsungkan di PN Bajawa, persidangan tidak fair, tidak jujur, memihak, tidak objektif, dan keselamatan jiwa kedua tersangka terancam. Sebaliknya, kalau dipindahkan, persidangan akan fair, jujur, tidak memihak, objektif, dan keselamatan jiwa kedua tersangka terjamin.
Kita perlu mempertanyakan: apa dasar rasional dan empirik dari asumsi seperti itu? Sayang, dasarnya tidak dikemukakan oleh Roy Rening. Kenapa? Jangan-jangan dasar rasional dan empiriknya memang tidak ada. Kalau tidak ada, kenapa persidangan harus dipindahkan?
Dari sisi tilik logika. Disengajakan atau tidak, argumentasi yang dibangun Roy Rening adalah argumentum ad baculum. Argumentasi dengan pentung. Argumentasi dengan ancaman. Ini sesatpikir. Membenarkan simpulan (memindahkan persidangan) dengan alasan bahwa penolakan atas simpulan tersebut akan membawa akibat buruk (persidangan tidak fair, tidak jujur, memihak, tidak objektif, dan keselamatan jiwa kedua tersangka terancam.)
Dari sisi tilik psikologi. Disengajakan atau tidak, dengan tidak adanya dasar rasional dan empirik dari hal yang diasumsikan itu maka yang dikemukakan Roy Rening hanyalah ketakutan yang tidak berdasar. Ketakutan tanpa dasar, itulah yang disebut kecemasan.
Dari sisi tilik hukum. Argumentum ad baculum dan kecemasan tidak bisa dijadikan dasar tindakan pro iustitia. Karena itu pula maka memindahkan persidangan kasus Romo Faustin dari PN Bajawa dengan dasar seperti ini tidak dapat dibenarkan.
Di satu sisi, tempat kejadian perkara (locus delicti) kasus ini berada dalam wilayah hukum PN Bajawa. Ini fakta empirik. Atas dasar ini, rasional jika persidangan dilangsungkan di PN Bajawa. Sebaliknya, tidak rasional jika fakta empirik ini disingkirkan oleh sebuah argumentum ad baculum dan diabaikan demi sebuah kecemasan yang diseting menjadi dasar pembenaran memindahkan persidangan.
Di sisi lain, tingkat probabilitas dari ancaman kamtibmas yang dicemaskan Roy Rening sangatlah rendah. “Bentara” Flores Pos Senin 30 November 2009 mendasarkannya pada tiga preseden. Pertama, selama ini, meski sangat disakiti, keluarga Romo Faustin dan umat Katolik Kevikepan Bajawa tidak anarkis, termasuk saat berdemo. Kedua, para pastor sangat berperan dan berpengaruh bagi terciptanya kamtibmas yang kondusif itu. Ketiga, aparat keamanan Polres Ngada teruji dan terbukti andal menjaga kamtibmas.
Jadi? Tidak ada dasar rasional dan empirik untuk memindahkan persidangan. Sidang kasus Romo Faustin harus tetap di PN Bajawa! Hal-hal yang disebutkan Roy Rening itu sebatas kecemasan saja. Semacam hantu yang diciptakan sendiri untuk ditakuti sendiri. Janggal kalau hukum takluk pada hantu seperti ini.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 4 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
Dua tersangka kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr, Theresia Tawa dan Anus Waja, diserahkan ke penyidik Polda NTT di Kupang, Rabu 2 November 2009. Penyerahan dilakukan kuasa hukum dari Padma Indonesia. Selanjutnya, penyidik polda akan menyerahkan tersangka ke Kejari Bajawa, menyusul telah dinyatakan lengkapnya BAP oleh kejari. Kasus ini pun siap disidangkan.
Namun, Theresia Tawa dan Anus Waja menolak jika persidangannya di Pengadilan Negeri (PN) Bajawa. Ada sejumlah pertimbangan, kata ketua tim pengacara Roy Rening, sebagaimana diwartakan Flores Pos Kamis 3 Desember 2009. Di antaranya, agar persidangan berjalan fair, jujur, tidak memihak, objektif, dan demi keselamatan jiwa kedua tersangka.
Pertimbangan ini mengandung asumsi yang dapat menyesatkan. Seolah-olah kalau dilangsungkan di PN Bajawa, persidangan tidak fair, tidak jujur, memihak, tidak objektif, dan keselamatan jiwa kedua tersangka terancam. Sebaliknya, kalau dipindahkan, persidangan akan fair, jujur, tidak memihak, objektif, dan keselamatan jiwa kedua tersangka terjamin.
Kita perlu mempertanyakan: apa dasar rasional dan empirik dari asumsi seperti itu? Sayang, dasarnya tidak dikemukakan oleh Roy Rening. Kenapa? Jangan-jangan dasar rasional dan empiriknya memang tidak ada. Kalau tidak ada, kenapa persidangan harus dipindahkan?
Dari sisi tilik logika. Disengajakan atau tidak, argumentasi yang dibangun Roy Rening adalah argumentum ad baculum. Argumentasi dengan pentung. Argumentasi dengan ancaman. Ini sesatpikir. Membenarkan simpulan (memindahkan persidangan) dengan alasan bahwa penolakan atas simpulan tersebut akan membawa akibat buruk (persidangan tidak fair, tidak jujur, memihak, tidak objektif, dan keselamatan jiwa kedua tersangka terancam.)
Dari sisi tilik psikologi. Disengajakan atau tidak, dengan tidak adanya dasar rasional dan empirik dari hal yang diasumsikan itu maka yang dikemukakan Roy Rening hanyalah ketakutan yang tidak berdasar. Ketakutan tanpa dasar, itulah yang disebut kecemasan.
Dari sisi tilik hukum. Argumentum ad baculum dan kecemasan tidak bisa dijadikan dasar tindakan pro iustitia. Karena itu pula maka memindahkan persidangan kasus Romo Faustin dari PN Bajawa dengan dasar seperti ini tidak dapat dibenarkan.
Di satu sisi, tempat kejadian perkara (locus delicti) kasus ini berada dalam wilayah hukum PN Bajawa. Ini fakta empirik. Atas dasar ini, rasional jika persidangan dilangsungkan di PN Bajawa. Sebaliknya, tidak rasional jika fakta empirik ini disingkirkan oleh sebuah argumentum ad baculum dan diabaikan demi sebuah kecemasan yang diseting menjadi dasar pembenaran memindahkan persidangan.
Di sisi lain, tingkat probabilitas dari ancaman kamtibmas yang dicemaskan Roy Rening sangatlah rendah. “Bentara” Flores Pos Senin 30 November 2009 mendasarkannya pada tiga preseden. Pertama, selama ini, meski sangat disakiti, keluarga Romo Faustin dan umat Katolik Kevikepan Bajawa tidak anarkis, termasuk saat berdemo. Kedua, para pastor sangat berperan dan berpengaruh bagi terciptanya kamtibmas yang kondusif itu. Ketiga, aparat keamanan Polres Ngada teruji dan terbukti andal menjaga kamtibmas.
Jadi? Tidak ada dasar rasional dan empirik untuk memindahkan persidangan. Sidang kasus Romo Faustin harus tetap di PN Bajawa! Hal-hal yang disebutkan Roy Rening itu sebatas kecemasan saja. Semacam hantu yang diciptakan sendiri untuk ditakuti sendiri. Janggal kalau hukum takluk pada hantu seperti ini.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 4 Desember 2009
02 Desember 2009
Robeknya Hati Warga Robek
Ketidakadilan Penegakan Hukum Perambahan Hutan
Oleh Frans Anggal
Istri dari tujuh pelaku perambah hutan asal Robek, Kecamatan Reok, mendatangi DPRD Manggarai, Senin 30 November 2009. Mereka didampingi Emil Sarwandi dan Pater Mateus Batubara OFM dari Almadi NTT. Mereka diterima komisi C. Demikian diwartakan Flores Pos Selasa 1 Desember 2009,
Para istri mengeluh. Sudah enam bulan suami mereka diproses hukum. Tak ada lagi tulang punggung keluarga. Mereka kesulitan uang makan, ongkos sekolah, dan berobat. Seorang anak usia SLTA terpaksa putus sekolah karena ayahnya masuk bui. Para istri minta bantuan dewan. Pertama, “suami kami pulang bersama kami hari ini.” Kedua, “cukup sudah pertambangan di wilayah kami.”
Pertambangan dimaksud, pertambangan mangan PT Sumber Jaya Asia (SJA). Kuasa pertambangan ini mengeksploitasi di kawasan yang sama. Cuma 500 meter dari tempat enam warga Robek tebang kayu untuk pembangunan SMPN 3 Robek. Keenam warga ditangkap. Kuasa pertambangan tidak. Tidak adil.
Ketidakadilan. Ini dasar utama pengaduan ke dewan. “Koq, warga yang potong kayu demi kepentingan umum ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi, perusahaan yang punya daya rusak dahsyat tidak diapa-apakan,” kata Emil Sarwandi. “Di satu sisi, itu hutan lindung. Tapi, di sisi lain, PT SJA menang dalam gugatannya terhadap Pemkab (Manggarai) karena lokasi itu bukan hutan lindung. Jadi, ada dua hal yang bertentangan satu sama lain. Untuk warga berlaku hutan lindung, tetapi untuk perusahaan tidak,” kata Pater Mateus.
Tanggapan komisi C? Berbeda dengan wakil ketua komisi Ino Teren yang kasih jawaban standar (aspirasi diterima, ditampung, dan akan dibahas), anggota komisi Rony Marut sebaliknya. Ia justru persoalkan aspirasi warga Robek. “Apa yang diangkat warga ini tidak cocok dikaitkan dengan tambang. Masalahnya, pada perizinan. Tambang ada izin untuk eksploitasi baik dari kabupaten maupun pusat. Tetapi warga tak ada izinan untuk potong kayu.”
Rony Marut lakukan dua kesalahan. Pertama, dia pisahkan dua hal yang justru berkaitan oleh kesamaan ‘tempat’, ‘waktu’, dan ‘dampak’. Tempat enam warga Robek menebang pohon dan kuasa pertambangan mengeksploitasi mangan itu sama: hutan Torong Besi, RTK 103 Nggalak-Rego. Waktunya sama: warga menebang ketika kuasa pertambangan mengeksploitasi. Dampaknya sama: merusak hutan. Jadi, keduanya terkait. Maka, cocok jika dikaitkan.
Kedua, Rony Marut menyederhanakan persoalan ketika mengatakan, masalahnya pada perizinan. Sementara, yang dipersoalkan warga Robek bukan perizinan (prosedur), tapi ketidakadilan (substansi). Menggeser, apalagi mereduksikan persoalan substansial menjadi sekadar persoalan prosedural, itu kesalahan serius.
Bahwa, PT SJA ada izin eksploitasi, sedangkan warga Robek tak ada izin potong kayu, itu jelas. Warga juga tahu itu. Tapi mereka tidak berhenti di situ. Mereka menukik lebih dalam ke dampaknya. Hutan dirusakkan. Dan dalam merusak hutan ini, PT SJA dibolehkan, sedangkan warga Robek dilarang. Dalam merusak hutan ini, PT SJA tidak diapa-apakan, sedangkan warga Robek ditangkap dan dipenjarakan.
Dengan begitu, apa yang sesungguhnya terjadi? Ketidakadilan dalam penegakan hukum. Terinjak-injaknya asas ‘persamaan di depan hukum’. Itulah substansi pengaduan warga Robek ke dewan. Menyedihkan, kalau masalah substansial “ketidakadilan” ini dialihkan oleh dewan menjadi sekadar masalah prosedural “perizinan”. Itu berarti, dewan belum andal menjalankan fungsi ‘artikulasi kepentingan’ masyarakat. Betapa kecewanya masyarakat. Dan, tentu, betapa robeknya hati warga Robek.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 3 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
Istri dari tujuh pelaku perambah hutan asal Robek, Kecamatan Reok, mendatangi DPRD Manggarai, Senin 30 November 2009. Mereka didampingi Emil Sarwandi dan Pater Mateus Batubara OFM dari Almadi NTT. Mereka diterima komisi C. Demikian diwartakan Flores Pos Selasa 1 Desember 2009,
Para istri mengeluh. Sudah enam bulan suami mereka diproses hukum. Tak ada lagi tulang punggung keluarga. Mereka kesulitan uang makan, ongkos sekolah, dan berobat. Seorang anak usia SLTA terpaksa putus sekolah karena ayahnya masuk bui. Para istri minta bantuan dewan. Pertama, “suami kami pulang bersama kami hari ini.” Kedua, “cukup sudah pertambangan di wilayah kami.”
Pertambangan dimaksud, pertambangan mangan PT Sumber Jaya Asia (SJA). Kuasa pertambangan ini mengeksploitasi di kawasan yang sama. Cuma 500 meter dari tempat enam warga Robek tebang kayu untuk pembangunan SMPN 3 Robek. Keenam warga ditangkap. Kuasa pertambangan tidak. Tidak adil.
Ketidakadilan. Ini dasar utama pengaduan ke dewan. “Koq, warga yang potong kayu demi kepentingan umum ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi, perusahaan yang punya daya rusak dahsyat tidak diapa-apakan,” kata Emil Sarwandi. “Di satu sisi, itu hutan lindung. Tapi, di sisi lain, PT SJA menang dalam gugatannya terhadap Pemkab (Manggarai) karena lokasi itu bukan hutan lindung. Jadi, ada dua hal yang bertentangan satu sama lain. Untuk warga berlaku hutan lindung, tetapi untuk perusahaan tidak,” kata Pater Mateus.
Tanggapan komisi C? Berbeda dengan wakil ketua komisi Ino Teren yang kasih jawaban standar (aspirasi diterima, ditampung, dan akan dibahas), anggota komisi Rony Marut sebaliknya. Ia justru persoalkan aspirasi warga Robek. “Apa yang diangkat warga ini tidak cocok dikaitkan dengan tambang. Masalahnya, pada perizinan. Tambang ada izin untuk eksploitasi baik dari kabupaten maupun pusat. Tetapi warga tak ada izinan untuk potong kayu.”
Rony Marut lakukan dua kesalahan. Pertama, dia pisahkan dua hal yang justru berkaitan oleh kesamaan ‘tempat’, ‘waktu’, dan ‘dampak’. Tempat enam warga Robek menebang pohon dan kuasa pertambangan mengeksploitasi mangan itu sama: hutan Torong Besi, RTK 103 Nggalak-Rego. Waktunya sama: warga menebang ketika kuasa pertambangan mengeksploitasi. Dampaknya sama: merusak hutan. Jadi, keduanya terkait. Maka, cocok jika dikaitkan.
Kedua, Rony Marut menyederhanakan persoalan ketika mengatakan, masalahnya pada perizinan. Sementara, yang dipersoalkan warga Robek bukan perizinan (prosedur), tapi ketidakadilan (substansi). Menggeser, apalagi mereduksikan persoalan substansial menjadi sekadar persoalan prosedural, itu kesalahan serius.
Bahwa, PT SJA ada izin eksploitasi, sedangkan warga Robek tak ada izin potong kayu, itu jelas. Warga juga tahu itu. Tapi mereka tidak berhenti di situ. Mereka menukik lebih dalam ke dampaknya. Hutan dirusakkan. Dan dalam merusak hutan ini, PT SJA dibolehkan, sedangkan warga Robek dilarang. Dalam merusak hutan ini, PT SJA tidak diapa-apakan, sedangkan warga Robek ditangkap dan dipenjarakan.
Dengan begitu, apa yang sesungguhnya terjadi? Ketidakadilan dalam penegakan hukum. Terinjak-injaknya asas ‘persamaan di depan hukum’. Itulah substansi pengaduan warga Robek ke dewan. Menyedihkan, kalau masalah substansial “ketidakadilan” ini dialihkan oleh dewan menjadi sekadar masalah prosedural “perizinan”. Itu berarti, dewan belum andal menjalankan fungsi ‘artikulasi kepentingan’ masyarakat. Betapa kecewanya masyarakat. Dan, tentu, betapa robeknya hati warga Robek.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 3 Desember 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
hutan torong besi trk 103 nggalak-rego,
lingkungan,
manggarai,
perambahan hutan,
pt sumber jaya asia
Tes HIV di Rutan Maumere
Apakah Bersifat Sukarela?
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 163 penghuni Rumah Tahanan Negara (Rutan) Maumere di Kabupaten Sikka menjalani tes HIV secara bergelombang. Gelombang pertama untuk 50 orang, pada Sabtu 28 November 2009. Gelombang kedua untuk 113 orang, pada Senin 30 November.
Dua tahun sebelumnya, 2007, tes yang sama dilakukan rutan ini. “Hasil pemeriksaan saat itu memperlihatkan bahwa penghuni rutan negatif HIV. Saya harap agar pemeriksaan kali ini juga negatif.” Begitu kata Plh Kepala Rutan Maumere Maria Gokok, seperti diwartakan Flores Pos Senin 30 November 2009.
Ada tiga informasi lain yang terungkap dalam pemberitaan tersebut. Pertama, tes HIV ini dilakukan dalam rangka peringatan Hari AIDS 1 Desember 2009. Kedua, kegiatan ini diselenggarakan Yakkestra dan Klinik VTC Sehati RSUD Maumere bekerja sama dengan Rutan Maumere. Ketiga, yang positif HIV akan diberi konseling dan pendampingan.
Semua informasi tersebut menunjukkan satu hal penting, dari sisi etika. Bahwa, tes HIV di Rutan Maumere berlangsung secara “terbuka”. Ini bagus. Sayangnya, hanya sisi ini yang terlihat. Sisi lain yang juga penting justru tidak terungkap. Karena itu, yang satu itu patut dipertanyakan. Apakah tes HIV tersebut dilakukan secara “sukarela”? Artinya, atas “kesadaran” dan “kemauan” atau “persetujuan” para penghuni rutan?
Pertanyaan ini perlu diajukan, karena dua alasan. Pertama, menurut ketentuan yang umum berlaku, tes HIV bersifat “voluntary”, “sukarela”. Yang jalani tes perlu dimintai persetujuannya. Ia juga perlu pahami cara mencegah penularan HIV serta implikasinya. Terutama, bagaimana seandainya hasil tesnya positif. Siapkah ia menerima kenyataan itu? Kedua, telah terjadi banyak pelanggaran di banyak tempat. Kita ambil contoh dari provinsi tetangga.
Di Provinsi Maluku. Tahun 2007. Ribuan PNS diwajibkan menjalani tes HIV di RSUD dr Haulussy Ambon. Tujuannya, mengantisipasi penularan HIV/AIDS. Pewajibanan ini lahir dari instruksi Gubernur Karel Albert Ralahalu. Dasarnya, dugaan maraknya penggunaan narkoba di kalangan PNS.
Di Provinsi Sulawesi Selatan. Tahun 2008. Caleg PDIP wajib tes narkoba dan HIV. Hasilnya dikirim ke DPP di Jakarta. Jika kedapatan mengidap HIV atau teridentifikasi sebagai pengguna narkoba, secara otomatis sang caleg gugur.
Di Provinsi NTT. Tahun 2007 dan tahun 2009. Di Rutan Maumere. Semoga cara yang menginjak-injak etika tidak terjadi. Namun, kita patut khawatir. Rutan punya karakteristik khusus. Penghuni rutan adalah orang-orang yang “bermasalah” secara psikologis. Kebebasan bergerak mereka sudah diambil negara. Hilangnya salah satu hak asasi ini berdampak pada rentannya kedaulatan mereka dalam hak-hak asasi yang lain. Termasuk, hak asasi menyatakan pikiran dan sikap terhadap tawaran atau pemaksaan tes HIV. Mereka mudah dimanipulasi. Sehingga, mudah pula menyatakan “rela” meski sebenarnya “tidak ikhlas”.
Semoga yang begitu-begitu tidak terjadi di Rutan Maumere. Kalau sampai terjadi, maka Hari AIDS 1 Desember 2009 yang hendak mereka peringati, segera kehilangan rohnya. Roh empati. Roh solidaritas. Roh tanggung jawab.
Hari AIDS hendaknya menguatkan komitmen kita menaati etika dan aturan main. Antara lain, seperti diamanatkan Kep Menakertrans No 68/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja. Institusi swasta dan pemerintah dilarang melakukan tes HIV pada proses rekrutmen calon pekerja. Tes hanya dibolehkan atas dasar sukarela. Ketentuannya sama bagi pegawai yang telah diterima bekerja. Pemeriksaan kesehatan rutin oleh institusi harus dilakukan secara terbuka dan sukarela.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 1 Desember 2009
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 163 penghuni Rumah Tahanan Negara (Rutan) Maumere di Kabupaten Sikka menjalani tes HIV secara bergelombang. Gelombang pertama untuk 50 orang, pada Sabtu 28 November 2009. Gelombang kedua untuk 113 orang, pada Senin 30 November.
Dua tahun sebelumnya, 2007, tes yang sama dilakukan rutan ini. “Hasil pemeriksaan saat itu memperlihatkan bahwa penghuni rutan negatif HIV. Saya harap agar pemeriksaan kali ini juga negatif.” Begitu kata Plh Kepala Rutan Maumere Maria Gokok, seperti diwartakan Flores Pos Senin 30 November 2009.
Ada tiga informasi lain yang terungkap dalam pemberitaan tersebut. Pertama, tes HIV ini dilakukan dalam rangka peringatan Hari AIDS 1 Desember 2009. Kedua, kegiatan ini diselenggarakan Yakkestra dan Klinik VTC Sehati RSUD Maumere bekerja sama dengan Rutan Maumere. Ketiga, yang positif HIV akan diberi konseling dan pendampingan.
Semua informasi tersebut menunjukkan satu hal penting, dari sisi etika. Bahwa, tes HIV di Rutan Maumere berlangsung secara “terbuka”. Ini bagus. Sayangnya, hanya sisi ini yang terlihat. Sisi lain yang juga penting justru tidak terungkap. Karena itu, yang satu itu patut dipertanyakan. Apakah tes HIV tersebut dilakukan secara “sukarela”? Artinya, atas “kesadaran” dan “kemauan” atau “persetujuan” para penghuni rutan?
Pertanyaan ini perlu diajukan, karena dua alasan. Pertama, menurut ketentuan yang umum berlaku, tes HIV bersifat “voluntary”, “sukarela”. Yang jalani tes perlu dimintai persetujuannya. Ia juga perlu pahami cara mencegah penularan HIV serta implikasinya. Terutama, bagaimana seandainya hasil tesnya positif. Siapkah ia menerima kenyataan itu? Kedua, telah terjadi banyak pelanggaran di banyak tempat. Kita ambil contoh dari provinsi tetangga.
Di Provinsi Maluku. Tahun 2007. Ribuan PNS diwajibkan menjalani tes HIV di RSUD dr Haulussy Ambon. Tujuannya, mengantisipasi penularan HIV/AIDS. Pewajibanan ini lahir dari instruksi Gubernur Karel Albert Ralahalu. Dasarnya, dugaan maraknya penggunaan narkoba di kalangan PNS.
Di Provinsi Sulawesi Selatan. Tahun 2008. Caleg PDIP wajib tes narkoba dan HIV. Hasilnya dikirim ke DPP di Jakarta. Jika kedapatan mengidap HIV atau teridentifikasi sebagai pengguna narkoba, secara otomatis sang caleg gugur.
Di Provinsi NTT. Tahun 2007 dan tahun 2009. Di Rutan Maumere. Semoga cara yang menginjak-injak etika tidak terjadi. Namun, kita patut khawatir. Rutan punya karakteristik khusus. Penghuni rutan adalah orang-orang yang “bermasalah” secara psikologis. Kebebasan bergerak mereka sudah diambil negara. Hilangnya salah satu hak asasi ini berdampak pada rentannya kedaulatan mereka dalam hak-hak asasi yang lain. Termasuk, hak asasi menyatakan pikiran dan sikap terhadap tawaran atau pemaksaan tes HIV. Mereka mudah dimanipulasi. Sehingga, mudah pula menyatakan “rela” meski sebenarnya “tidak ikhlas”.
Semoga yang begitu-begitu tidak terjadi di Rutan Maumere. Kalau sampai terjadi, maka Hari AIDS 1 Desember 2009 yang hendak mereka peringati, segera kehilangan rohnya. Roh empati. Roh solidaritas. Roh tanggung jawab.
Hari AIDS hendaknya menguatkan komitmen kita menaati etika dan aturan main. Antara lain, seperti diamanatkan Kep Menakertrans No 68/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja. Institusi swasta dan pemerintah dilarang melakukan tes HIV pada proses rekrutmen calon pekerja. Tes hanya dibolehkan atas dasar sukarela. Ketentuannya sama bagi pegawai yang telah diterima bekerja. Pemeriksaan kesehatan rutin oleh institusi harus dilakukan secara terbuka dan sukarela.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 1 Desember 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hiv/aids,
kesehatan,
rutan maumere,
sikka,
tes hiv di rutan maumere
Langganan:
Postingan (Atom)