Kasus Tanah SDK Hale di Kabupaten Sikka
Oleh Frans Anggal
Pemilik tanah Silvester Sil kembali memagari lokasi gedung SDK Hale dan menyegel ruang kelas dan ruang guru sejak Minggu 29 Mei 2011. Pemagaran dan penyegelan dilakukan sebagai reaksi atas sikap Pemkab Sikka yang telah dua kali ingkar janji. Pemkab belum kunjung membayar ganti rugi atas tanah lokasi sekolah itu Rp70 juta (Flores Pos Senin 30 Mei 2011).
Perkaranya sejak 1984. Di pengadilan, penggugat (pemilik tanah) menang. Putusan PN Maumere tanggal 14 Agustus 2008 menyatakan, tanah 1.297 meter persegi yang di atasnya sudah dibangun sekolah adalah milik penggugat. Tergugat (pemkab) dihukum membayar total ganti rugi Rp70 juta. Putusan ini dikukuhkan oleh putusan PT Kupang tanggal 15 Juli 2009 dan putusan MA tanggal 28 April 2010.
Setahun lewat, putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap ini tidak ditaati pemkab. Maka, pemilik tanah beraksi. Ia lakukan pemagaran dan penyegelan. Pertama kali, pada 24 Maret 2011. Sekolah lumpuh total. Empat hari kemudian, 28 Maret, pemilik tanah dan Kadis PPO Yohanes Rena bersepakat. Pembayaran dilakukan satu bulan kemudian, batas akhirnya 28 April. Apabila tidak dibayar, pemilik tanah akan segel semua ruang kelas, ruang kantor, ruang guru, dan gerbang masuk sekolah.
Tenggat yang disepakati tiba. Pemkab tidak bisa penuhi janji. Sedianya pemilik tanah langsung memagar dan menyegel. Namun, itu tidak ia lakukan karena pertimbangan kemanusiaan. Kalau ia lakukan maka penyelenggaraan ujian nasional di sekolah itu gagal. Maka dibuatlah kesepakatan baru. Tenggat pembayaran disorong satu bulan ke depan, ke 28 Mei.
Tanggal yang dijanjian tiba. Lagi-lagi pemkab tidak bisa penuhi janji. Alasannya sama dengan alasan ingkar janji sebelumnya. Yakni, belum ada dana. "Dinas PPO sudah ajukan dana ke dinas PPKAD. Dinas PPKAD belum bisa cairkan karena belum dibahas dalam perubahan APBD Sikka 2011. PPKAD belum bisa cairkan dana kalau belum disetujui DPRD," kata Kadis Yohanes Rena.
Pertanyaan kita: inikah satu-satunya prosedur? Termasuk untuk hal yang bersifat darurat? Tidak mungkin! Menurut sosiolog Peter L Berger, birokrasi yang tipikal selalu memperluas peraturan proseduralnya (kalaupun tidak sifatnya) apabila timbul kasus yang belum pernah ditangani sebelumnya. Kompetensi birokrasi cenderung dari dalam dirinya menjadi semakin banyak. Semakin berkembang arsip-arsip, semakin berkembang pula tata langkah kerja yang standar, yang bisa menyelesaikan persoalan dengan cepat, mudah, dan murah.
Dalam penyelesaian pembayaran ganti rugi tanah SDK Hale, perluasan peraturan prosedural itu tidak tampak. Bukan karena tidak mungkin. Tapi karena tidak ditelusuri kadis PPO. Ia tidak kreatif mencari jalan keluar. Ia terpaku pada satu prosedur. Begitu ini kandas, ia mati langkah. Menyerah.
"Saya angkat tangan. Termasuk kalau pihak pemilik tanah lakukan pemagaran tanah gedung sekolah dan penyegelan ruang kelas,” kata kadis. Bagaimana dengan nasib murid? Mereka akan dititipkan di sekolah terdekat.
Kadis angkat tangan? Aha! Kalau benar angkat tangan, ia harus menghadap atasan langsungnya: bupati. Serahkan persoalan ini kepada bupati, karena kadis sendiri sudah tidak sanggup. Biarlah bupati yang turun tangan. Dengan kewenangannya, bupati bisa datangkan Rp70 juta. Atau, yang lebih ekstrem, kadis langsung undurkan diri. Biarlah bupati mengangkat dan melantik orang lain yang bisa mengatasi persoalan ini, termasuk membayar ganti rugi Rp70 juta.
Kita tunggu dan lihat. Apakah bupati bisa mengatasi ini dengan segera? Seharusnya bisa. Dia harus turun tangan. Tidak pangku tangan, cuci tangan, apalagi angkat tangan.
”Bentara” FLORES POS, Selasa 31 Mei 2011
31 Mei 2011
Kadis PPO Angkat Tangan
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus tanah sdk hale,
pendidikan,
sikka
30 Mei 2011
Ketika Bupati Sosi Diperiksa
Kasus Dana Bansos Sikka 2009
Oleh Frans Anggal
Bupati Sikka Sosimus Mitang penuhi panggilan Pansus DPRD, Jumat 27 Mei 2011. Ia mengklarifikasi dana bansos 2009 senilai Rp10,7 miliar. Di hadapan pansus, ia nyatakan siap bantu pansus, dengan berikan data aliran dana bansos dan data-data pendukung lainnya (Flores Pos Sabtu 28 Mei 2011).
Ia juga nyatakan mendukung pansus untuk melacak dan menggali mendetail identitas penerima dana bansos, serta mengecek kebenaran aliran dana ke tiap kecamtan, sebagaimana dilaporkan mantan kabag kesra Servasius Kabu dan mantan bendahara pengeluaran rutin bagian kesra Yosep Otu.
Pernyataan bupati ini tampak sebagai pernyataan istimewa. Rupanya karena itulah media menjadikannya judul berita: "Bupati Sosi Siap Bantu Pansus". Seandainya pembaca hanya melihat judul ini dan tidak menyimak isi berita, kesan apa yang bisa muncul? Kesan sesat!
Kesan, bahwa bupati berbaik hati kepada DPRD. Dalam kesetaraan sebagai mitra dewan, ia mau bantu dan dukung kerja pansus. Sebagai pihak yang mau bantu, ia seakan-akan sedang berdiri di luar kasus. Seolah-olah, bersama DPRD, ia sedang mem¬pan¬sus¬kan dana bansos. Kesan ini bisa saja meng¬gumpal dalam benak publik. Juga dalam benak media. Sehingga, yang jadi judul berita adalah pernyataan "dukungan" bupati "kepada" pansus. Bukan pernyataan "keterangan" bupati "di hadapan" pansus.
Padahal, yang sesungguhnya terjadi: bupati diperiksa oleh pansus. Statusnya:terperiksa. Bukan mitra. Ia diperiksa, karena diduga terkait kasus. Ia diduga tarkait, karena namanya disebut-sebut oleh terperiksa sebelumnya: Servasius Kabu dan Yosep Otu. Dari mulut merekalah pansus mendapat keterangan. Bahwa, bupati turut gunakan dana bansos. Antara lain, saat kunjungan ke Jerman. Saat tugas di luar daerah. Saat kunjungan ke desa-desa. Juga saat pelantikannya menjadi bupati Sikka.
Sebagai terperiksa (bukan sebagai mitra!) di hadapan pansus, bupati bantah semua keterangan itu. "Saya tegaskan, saya tidak pernah meminta atau menerima dana seperti yang disampaikan itu." Tentang Rp50 juta dari Servasius Kabu untuk pelantikan bupati, ia bilang tidak tahu itu dana bansos. Yang ia tahu itu dana pribadi Kabu. "Tapi kalau uang itu dari dana bansos, maka bisa saya selesaikan secara keluarga dengan dia."
Tidak hanya bantah keterangan Kabu dan Otu. Bupati juga menyerang pribadi. "Perlu saya jelaskan, di saat kasus dana bansos ini muncul, mantan kabag kesra Servasius Kabu dan mantan bendahara Yos Otu sudah kalang kabut, sehingga sebut siapa saja, termasuk saya, yang mendapat alokasi dana itu."
Bupati pakai argumentum ad hominem. Ia serang Kabu dan Otu dengan penilaian psikologis. Bahwa kedua orang itu sudah kalang kabut. Karena sudah kalang kabut, mereka omong sembarang. Ka¬re¬na omong sembarang, mereka tidak patut dipercaya.
Pertanyaan kita: benarkah Kabu dan Otu sudah kalang kabut? Bernarkah orang kalang kabut pasti omong sembarang? Bupati telah sesat pikir. Ia letakkan ukuran pembenaran keterangan pada kondisi psikologis pribadi dan karakteristik seseorang.
Kita berharap pansus tidak terpengaruh. Tetaplah menganut argumentum ad rem (pada pokok soal). Dalam kaitan dengan itu, hindari argumentum ad verecundiam (pada pokok wibawa). Nilai penalaran tidak boleh ditentukan oleh keahlian atau kewibawaan orang yang mengemukakannya. Janganlah: karena bupati yang omong maka itulah yang benar. Sedangkan Kabu dan Otu pasti salah. Belum tentu!
”Bentara” FLORES POS, Senin 30 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Bupati Sikka Sosimus Mitang penuhi panggilan Pansus DPRD, Jumat 27 Mei 2011. Ia mengklarifikasi dana bansos 2009 senilai Rp10,7 miliar. Di hadapan pansus, ia nyatakan siap bantu pansus, dengan berikan data aliran dana bansos dan data-data pendukung lainnya (Flores Pos Sabtu 28 Mei 2011).
Ia juga nyatakan mendukung pansus untuk melacak dan menggali mendetail identitas penerima dana bansos, serta mengecek kebenaran aliran dana ke tiap kecamtan, sebagaimana dilaporkan mantan kabag kesra Servasius Kabu dan mantan bendahara pengeluaran rutin bagian kesra Yosep Otu.
Pernyataan bupati ini tampak sebagai pernyataan istimewa. Rupanya karena itulah media menjadikannya judul berita: "Bupati Sosi Siap Bantu Pansus". Seandainya pembaca hanya melihat judul ini dan tidak menyimak isi berita, kesan apa yang bisa muncul? Kesan sesat!
Kesan, bahwa bupati berbaik hati kepada DPRD. Dalam kesetaraan sebagai mitra dewan, ia mau bantu dan dukung kerja pansus. Sebagai pihak yang mau bantu, ia seakan-akan sedang berdiri di luar kasus. Seolah-olah, bersama DPRD, ia sedang mem¬pan¬sus¬kan dana bansos. Kesan ini bisa saja meng¬gumpal dalam benak publik. Juga dalam benak media. Sehingga, yang jadi judul berita adalah pernyataan "dukungan" bupati "kepada" pansus. Bukan pernyataan "keterangan" bupati "di hadapan" pansus.
Padahal, yang sesungguhnya terjadi: bupati diperiksa oleh pansus. Statusnya:terperiksa. Bukan mitra. Ia diperiksa, karena diduga terkait kasus. Ia diduga tarkait, karena namanya disebut-sebut oleh terperiksa sebelumnya: Servasius Kabu dan Yosep Otu. Dari mulut merekalah pansus mendapat keterangan. Bahwa, bupati turut gunakan dana bansos. Antara lain, saat kunjungan ke Jerman. Saat tugas di luar daerah. Saat kunjungan ke desa-desa. Juga saat pelantikannya menjadi bupati Sikka.
Sebagai terperiksa (bukan sebagai mitra!) di hadapan pansus, bupati bantah semua keterangan itu. "Saya tegaskan, saya tidak pernah meminta atau menerima dana seperti yang disampaikan itu." Tentang Rp50 juta dari Servasius Kabu untuk pelantikan bupati, ia bilang tidak tahu itu dana bansos. Yang ia tahu itu dana pribadi Kabu. "Tapi kalau uang itu dari dana bansos, maka bisa saya selesaikan secara keluarga dengan dia."
Tidak hanya bantah keterangan Kabu dan Otu. Bupati juga menyerang pribadi. "Perlu saya jelaskan, di saat kasus dana bansos ini muncul, mantan kabag kesra Servasius Kabu dan mantan bendahara Yos Otu sudah kalang kabut, sehingga sebut siapa saja, termasuk saya, yang mendapat alokasi dana itu."
Bupati pakai argumentum ad hominem. Ia serang Kabu dan Otu dengan penilaian psikologis. Bahwa kedua orang itu sudah kalang kabut. Karena sudah kalang kabut, mereka omong sembarang. Ka¬re¬na omong sembarang, mereka tidak patut dipercaya.
Pertanyaan kita: benarkah Kabu dan Otu sudah kalang kabut? Bernarkah orang kalang kabut pasti omong sembarang? Bupati telah sesat pikir. Ia letakkan ukuran pembenaran keterangan pada kondisi psikologis pribadi dan karakteristik seseorang.
Kita berharap pansus tidak terpengaruh. Tetaplah menganut argumentum ad rem (pada pokok soal). Dalam kaitan dengan itu, hindari argumentum ad verecundiam (pada pokok wibawa). Nilai penalaran tidak boleh ditentukan oleh keahlian atau kewibawaan orang yang mengemukakannya. Janganlah: karena bupati yang omong maka itulah yang benar. Sedangkan Kabu dan Otu pasti salah. Belum tentu!
”Bentara” FLORES POS, Senin 30 Mei 2011
Label:
bentara,
bupati sosimus mitang,
dana bansos sikka 2009,
dugaan korupsi,
flores,
flores pos,
hukum,
pansus dprd sikka,
sikka
29 Mei 2011
NTT Perlu Bereaksi
Larangan bagi Merpati M 60
Oleh Frans Anggal
Tiga bandara di NTT tidak lagi didarati Merpati M 60. Bandara Frans Sales Lega di Ruteng, Bandara H. Hasan Aroeboesman di Ende, dan Bandara Umbu Mehang Kunda di Waingapu. Pemberlakuannya sejak Kamis 26 Mei 2011 (Flores Pos Jumat 27 Mei 2011).
Ini instruksi Kemenhub RI kepada Merpati. Tindak lanjut dari special safety audit, pasca-jatuhnya MA 60 di perairan Kaimana, Papua Barat. Isinya: tidak mengoperasikan pesawat MA 60 pada bandara yang memiliki obstacle yang tinggi dan yang memerlukan high manuver seperti bandara Ruteng-NTT, Ende-NTT, dan Waingapu-NTT, sampai hasil evaluasi yang mendetail menunjukkan bandara tersebut aman untuk diterbangi pesawat MA 60.
Publik cenderung simpulkan, ini larangan terbang bagi Merpati M 60. Karena dilarang, M 60 itu diyakini tidak aman. Adapun "bukti"-nya, kecelakaan di perairan Kaimana. Simpulan seperti inilah yang hendak dicegah Dirut Merpati Nusantara Airlines Sardjono Jhony Tjitrokusumo. "Sebetulnya tidak dilarang terbang. Tapi, hanya diinstruksikan jangan beroperasi dulu di daerah NTT karena bandar udaranya memiliki obstacle yang tinggi dan memerlukan high manuver" (VIVAnews.com).
Larang terbang dan instruksi tidak terbang, apa bedanya? Tidak ada. Dan sesungguhnya tidak ada masalah dengan istilah itu. Yang menjadi masalah, alasannya. Dari alasannya, tampak, persoalannya bukan pesawat, tapi bandara. Tiga bandara di NTT itu punya tingkat kesulitan tinggi. Kesulitan tinggi itu menun¬tut manuver tinggi. Manuver tinggi mengandung risiko tinggi.
Sekadar contoh, Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Herry Bakti menyebut bandara di Ende. Kedua sisi bandara itu diapiti gunung. Di ujung landasan terdapat batu karang. "Pokoknya agak sulit untuk didarati oleh pesawat," kata Herry (detikNews.com).
Kalau yang jadi masalah bandaranya, muncul pertanyaan: kenapa hanya M 60 yang dilarang? Kenapa tidak sekalian melarang semua jenis pesawat? Ada apa dengan M 60 sehingga hanya jenis inilah yang tidak boleh menyinggahi Ruteng, Ende, dan Waingapu?
MA 60 itu buatan China. Tempat duduknya lebih banyak dari CN 235 buatan Indonesia, sekitar 50 kursi. Pesawat ini dibuat pada 2009 dan digunakan Merpati sejak akhir 2010. Pesawat ini gunakan mesin PW 127J. Kinerjanya mirip ATR buatan Perancis. Kekhasannya, punya baling-baling mirip pedang. Instrumennya berkategori II dengan standar hampir sama dengan Boeing 737-800-NG.
Profil tersebut memberi kesan, MA-60 lebih baik daripada CN 235. Ini dilawan oleh Hari Laksono, mantan direktur Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN). Menurut dia, kualitas MA 60 masih di bawah CN 235. "CN 235 sudah dapat sertifikat dari FAA. MA 60 ini kan belum" (KOMPAS.com).
Apakah karena masalah kualitas inikah MA 60 dilarang mendarati tiga bandara di NTT? Lalu, untuk jaga citra Merpati, bandara di NTT "dipersalahkan", sedangkan MA 60 tidak? Kalau benar seperti ini, Kemenhub tidak jujur. Juga tidak adil.
NTT perlu bereaksi. Jangan diam saja. Desak pusat, agar tidak hanya "mempersalahkan" bandara di NTT. Bantulah NTT agar punya bandara yang layak. Kelayakan inilah yang memprihatinkan.
NTT memiliki pelabuhan dan bandara terbanyak di Indonesia. Terdapat 14 bandara, 1 pelabuhan laut internasional, 9 pelabuhan laut nasional, 11 pelabuhan regional, dan 21 pelabuhan lokal, total 42 pelabuhan. Jumlah yang luar biasa. Namun, apa artinya punya banyak kalau banyak yang tidak layak.
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 28 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Tiga bandara di NTT tidak lagi didarati Merpati M 60. Bandara Frans Sales Lega di Ruteng, Bandara H. Hasan Aroeboesman di Ende, dan Bandara Umbu Mehang Kunda di Waingapu. Pemberlakuannya sejak Kamis 26 Mei 2011 (Flores Pos Jumat 27 Mei 2011).
Ini instruksi Kemenhub RI kepada Merpati. Tindak lanjut dari special safety audit, pasca-jatuhnya MA 60 di perairan Kaimana, Papua Barat. Isinya: tidak mengoperasikan pesawat MA 60 pada bandara yang memiliki obstacle yang tinggi dan yang memerlukan high manuver seperti bandara Ruteng-NTT, Ende-NTT, dan Waingapu-NTT, sampai hasil evaluasi yang mendetail menunjukkan bandara tersebut aman untuk diterbangi pesawat MA 60.
Publik cenderung simpulkan, ini larangan terbang bagi Merpati M 60. Karena dilarang, M 60 itu diyakini tidak aman. Adapun "bukti"-nya, kecelakaan di perairan Kaimana. Simpulan seperti inilah yang hendak dicegah Dirut Merpati Nusantara Airlines Sardjono Jhony Tjitrokusumo. "Sebetulnya tidak dilarang terbang. Tapi, hanya diinstruksikan jangan beroperasi dulu di daerah NTT karena bandar udaranya memiliki obstacle yang tinggi dan memerlukan high manuver" (VIVAnews.com).
Larang terbang dan instruksi tidak terbang, apa bedanya? Tidak ada. Dan sesungguhnya tidak ada masalah dengan istilah itu. Yang menjadi masalah, alasannya. Dari alasannya, tampak, persoalannya bukan pesawat, tapi bandara. Tiga bandara di NTT itu punya tingkat kesulitan tinggi. Kesulitan tinggi itu menun¬tut manuver tinggi. Manuver tinggi mengandung risiko tinggi.
Sekadar contoh, Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Herry Bakti menyebut bandara di Ende. Kedua sisi bandara itu diapiti gunung. Di ujung landasan terdapat batu karang. "Pokoknya agak sulit untuk didarati oleh pesawat," kata Herry (detikNews.com).
Kalau yang jadi masalah bandaranya, muncul pertanyaan: kenapa hanya M 60 yang dilarang? Kenapa tidak sekalian melarang semua jenis pesawat? Ada apa dengan M 60 sehingga hanya jenis inilah yang tidak boleh menyinggahi Ruteng, Ende, dan Waingapu?
MA 60 itu buatan China. Tempat duduknya lebih banyak dari CN 235 buatan Indonesia, sekitar 50 kursi. Pesawat ini dibuat pada 2009 dan digunakan Merpati sejak akhir 2010. Pesawat ini gunakan mesin PW 127J. Kinerjanya mirip ATR buatan Perancis. Kekhasannya, punya baling-baling mirip pedang. Instrumennya berkategori II dengan standar hampir sama dengan Boeing 737-800-NG.
Profil tersebut memberi kesan, MA-60 lebih baik daripada CN 235. Ini dilawan oleh Hari Laksono, mantan direktur Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN). Menurut dia, kualitas MA 60 masih di bawah CN 235. "CN 235 sudah dapat sertifikat dari FAA. MA 60 ini kan belum" (KOMPAS.com).
Apakah karena masalah kualitas inikah MA 60 dilarang mendarati tiga bandara di NTT? Lalu, untuk jaga citra Merpati, bandara di NTT "dipersalahkan", sedangkan MA 60 tidak? Kalau benar seperti ini, Kemenhub tidak jujur. Juga tidak adil.
NTT perlu bereaksi. Jangan diam saja. Desak pusat, agar tidak hanya "mempersalahkan" bandara di NTT. Bantulah NTT agar punya bandara yang layak. Kelayakan inilah yang memprihatinkan.
NTT memiliki pelabuhan dan bandara terbanyak di Indonesia. Terdapat 14 bandara, 1 pelabuhan laut internasional, 9 pelabuhan laut nasional, 11 pelabuhan regional, dan 21 pelabuhan lokal, total 42 pelabuhan. Jumlah yang luar biasa. Namun, apa artinya punya banyak kalau banyak yang tidak layak.
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 28 Mei 2011
Label:
bandara ende,
bandara ruteng,
bandara waingapu,
bentara,
flores pos,
larangan terbang,
merpati m 60,
ntt,
penerbangan,
perhubungan
27 Mei 2011
Daerah Jangan Jadi Pilatus
Proyek Layanan Internet Kecamatan
Oleh Frans Anggal
Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Povinsi NTT tidak tahu tentang kehadiran Proyek Layanan Internet Kecamatan (PLIK) di Provinsi NTT. Kehadiran program nasional dari Kementerian Komunikasi dan Informatika ini tidak dikoordinasikan dengan daerah. "Kami tidak mengetahui kecamatan mana saja yang mendapat program PLIK di NTT," kata Kadis Kominfo NTT Richard Djami di Kupang, Rabu 25 Mei 2011 (Flores Pos Kamis 26 Mei 2011).
Tidak hanya PLIK yang begitu, kata Richard Djami. Ada program nasional lain dari Kementerian Kominfo yang juga tidak dikoordinasi dengan daerah. Program Desa Berdering. Ini program penyediaan akses telepon pada 31 ribu desa di Indonesia. Pihaknya tidak tahu desa mana saja di NTT yang jadi sasaran program ini.
Desa Berdering itu program tahun anggaran 2009. Sedangkan PLIK program tahun anggaran 2010, yang realisasinya 2011. Sumber dananya APBN. Pusat tidak libatkan daerah. Hanya libatkan pihak ketiga.
Tentang PLIK, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring pernah berkata, PLIK dapat menghilangkan kesenjangan digital, baik antara masyarakat pedesaan dan perkotaaan maupun antara pusat dan daerah. "Tidak ada lagi masyarakat di pedesaan khususnya generasi muda yakni para siswa yang tidak mengenal internet, sehingga ini akan menghapus kesenjangan digital," katanya saat meresmikan PLIK di Sleman, Yogyakarta, 26 Maret 2011 (www.antaranews.com)
Harapan luhur itu akan terpenuhi kalau program ini berjalan lancar. Justru di sinilah masalahnya. PLIK macet. Kendalanya pada perangkat dan layanan koneksi internet. Di Kecamatan Ende Tengah, Maukaro, dan Kota Baru di Kabupaten Ende, misalnya. "Fasilitas internetnya tidak berfungsi dengan baik," kata Edi, seorang fasilitator.
Kalau sudah begini, larinya ke mana? Ke diskominfo daerah? Apa kata diskominfo daerah? Pemprov, pemkab, dan pemkot boleh jadi akan bilang seperti ucapan Kadis Richard Djami. "Kami sangat mendukung dan mensyukuri program (PLIK) itu dilaksanakan. Namun, disayangkan, kehadirannya tanpa koordinasi. Maka bila ada masalah, kami tidak bertanggung jawab."
Artinya, tunggu pusat turun tangan langsung? PLIK sediakan akses jaringan internet pada 5.748 desa yang jadi ibu kota kecamatan di seluruh Indonesia. Desa-desa itu dibagi dalam 11 zona paket. Nah, pusat mau urus langsung ke lima ribuan kecamatan itu? Seberapa kuat dia? Seberapa lama pula bisa bertahan?
Sudah pasti akan ada masalah. Pengadaan PLIK gampang. Jaminan keberlanjutannya, itulah yang sulit. Pertama, bagaimana pusat bisa mengontrol secara efektif dan efisien kalau daerah tidak dilibatkan. Kedua, bagaimana program ini tetap berjalan kalau subsidi pusat dihentikan.
Pada program Desa Berdering, sudah banyak desa yang tidak berdering lagi. Kendalanya pada biaya operasional. Demikian pula (nanti) dengan PLIK. Selain biaya operasional, pengawsan jadi soal. Kontrol yang tidak jelas akan membuka peluang pembisnisan. Coba cek. Di Ende, konon, warnetnya milik anggota DPRD. Ini bagaimana? Siapa mengontrol siapa?
Keadaan ini tidak boleh berlarut. Pemprov perlu segera mengirim surat protes, kritik, dan saran ke pusat. Jangan hanya berhenti dengan mengatakan tidak mau bertanggung jawab. Itu tidak benar. Lokus program ini adalah kecamatan, milik daerah. Fokus program ini adalah masyarakat, penghuni daerah. Maka, jangan cuci tangan. Jangan jadi Pilatus.
”Bentara” FLORES POS, Jumat 27 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Povinsi NTT tidak tahu tentang kehadiran Proyek Layanan Internet Kecamatan (PLIK) di Provinsi NTT. Kehadiran program nasional dari Kementerian Komunikasi dan Informatika ini tidak dikoordinasikan dengan daerah. "Kami tidak mengetahui kecamatan mana saja yang mendapat program PLIK di NTT," kata Kadis Kominfo NTT Richard Djami di Kupang, Rabu 25 Mei 2011 (Flores Pos Kamis 26 Mei 2011).
Tidak hanya PLIK yang begitu, kata Richard Djami. Ada program nasional lain dari Kementerian Kominfo yang juga tidak dikoordinasi dengan daerah. Program Desa Berdering. Ini program penyediaan akses telepon pada 31 ribu desa di Indonesia. Pihaknya tidak tahu desa mana saja di NTT yang jadi sasaran program ini.
Desa Berdering itu program tahun anggaran 2009. Sedangkan PLIK program tahun anggaran 2010, yang realisasinya 2011. Sumber dananya APBN. Pusat tidak libatkan daerah. Hanya libatkan pihak ketiga.
Tentang PLIK, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring pernah berkata, PLIK dapat menghilangkan kesenjangan digital, baik antara masyarakat pedesaan dan perkotaaan maupun antara pusat dan daerah. "Tidak ada lagi masyarakat di pedesaan khususnya generasi muda yakni para siswa yang tidak mengenal internet, sehingga ini akan menghapus kesenjangan digital," katanya saat meresmikan PLIK di Sleman, Yogyakarta, 26 Maret 2011 (www.antaranews.com)
Harapan luhur itu akan terpenuhi kalau program ini berjalan lancar. Justru di sinilah masalahnya. PLIK macet. Kendalanya pada perangkat dan layanan koneksi internet. Di Kecamatan Ende Tengah, Maukaro, dan Kota Baru di Kabupaten Ende, misalnya. "Fasilitas internetnya tidak berfungsi dengan baik," kata Edi, seorang fasilitator.
Kalau sudah begini, larinya ke mana? Ke diskominfo daerah? Apa kata diskominfo daerah? Pemprov, pemkab, dan pemkot boleh jadi akan bilang seperti ucapan Kadis Richard Djami. "Kami sangat mendukung dan mensyukuri program (PLIK) itu dilaksanakan. Namun, disayangkan, kehadirannya tanpa koordinasi. Maka bila ada masalah, kami tidak bertanggung jawab."
Artinya, tunggu pusat turun tangan langsung? PLIK sediakan akses jaringan internet pada 5.748 desa yang jadi ibu kota kecamatan di seluruh Indonesia. Desa-desa itu dibagi dalam 11 zona paket. Nah, pusat mau urus langsung ke lima ribuan kecamatan itu? Seberapa kuat dia? Seberapa lama pula bisa bertahan?
Sudah pasti akan ada masalah. Pengadaan PLIK gampang. Jaminan keberlanjutannya, itulah yang sulit. Pertama, bagaimana pusat bisa mengontrol secara efektif dan efisien kalau daerah tidak dilibatkan. Kedua, bagaimana program ini tetap berjalan kalau subsidi pusat dihentikan.
Pada program Desa Berdering, sudah banyak desa yang tidak berdering lagi. Kendalanya pada biaya operasional. Demikian pula (nanti) dengan PLIK. Selain biaya operasional, pengawsan jadi soal. Kontrol yang tidak jelas akan membuka peluang pembisnisan. Coba cek. Di Ende, konon, warnetnya milik anggota DPRD. Ini bagaimana? Siapa mengontrol siapa?
Keadaan ini tidak boleh berlarut. Pemprov perlu segera mengirim surat protes, kritik, dan saran ke pusat. Jangan hanya berhenti dengan mengatakan tidak mau bertanggung jawab. Itu tidak benar. Lokus program ini adalah kecamatan, milik daerah. Fokus program ini adalah masyarakat, penghuni daerah. Maka, jangan cuci tangan. Jangan jadi Pilatus.
”Bentara” FLORES POS, Jumat 27 Mei 2011
Label:
bentara,
desa berdering,
flores pos,
kadis kominfo ntt tichard djami,
komunikasi,
menkoinfo tifatul sembiring,
ntt,
proyek layanan internet kecamatan
26 Mei 2011
Gila Singkat di DPRD Ende
Kericuhan Seusai Rapat
Oleh Frans Anggal
Rapat gabungan komisi DPRD Ende bersama pemerintah, Senin 24 Mei 2011, berbuntut ricuh. Kericuhan terjadi setelah rapat. Rapat dipimpin wakil ketua DPRD Fransiskus Taso. Usai menutup rapat, ia "membuka" babak baru bersama anggota Gabriel Dala Ema. Yakni babak nyaris adu jotos (Flores Pos Slasa 24 Mei 2011).
Konon, tersinggung oleh pernyataan Gaby Ema, Frans Taso naik pitam. Ia mengejar Gaby Ema. Gaby lari ke luar ruang sidang. Karena tak bisa mengejar, Frans renggut peralatan sound system di ruang sidang dan melempari Gaby. Tidak kena. Gaby lari hingga jalan raya dan selanjutnya tinggalkan DPRD.
Seandainya adegan ini direkam dengan baik, hasilnya bisa diunggah ke You Tube. Bagus sebagai ilustrasi buat anak cucu. "Nak, inilah DPRD Ende 2009-2014," kira-kira begitu tulis si pengunggah. "Dalam rapat, mereka adu otak. Di luar rapat, mereka adu otot. Dalam rapat, peralatan sound system dipakai untuk omong. Di luar rapat, dipakai untuk lempar orang."
Mereka adu otot, bukan karena suka olah raga. Tapi karena gagal olah emosi. Emosi kalahkan rasio. Dalam keadaan seperti itu, orang yang marah sama dengan orang yang gila. Makanya, sastrawan Romawi Quintus Horatius Flaccus alias Horace bilang, amarah adalah kegilaan yang singkat. Ira furor brevis est. Makin tepat saja kalau kita bayangkan adegan di DPRD Ende itu. Adu mulut, kejar, lempar. Benar-benar gila singkat.
Mungkin ada yang bilang, wakil rakyat juga manusia. Bisa marah. Itu benar. Namun persoalan¬nya bukan itu. Bukan tidak boleh marah. Tapi marah yang bagaimana. Bagaimananya itulah yang membedakan marahnya orang dewasa dan marahnya anak-anak. Marahnya orang yang tidak bersekolah dan marahnya orang yang berpendidikan tinggi. Marah di pasar dan marah di kantor.
Perbedaan itu melahirkan pembedaan anak timbangan. Bobot anak timbangan tidak boleh sama atau disamakan, meski alasan, tujuan, dan cara perbuatannya sama. Dalam perbuatan mencuri, yang sama alasan, tujuan, dan caranya, anak timbangan bagi orang dewasa tentu harus lebih berat daripada anak timbangan bagi anak-anak.
Dengan ini, kita mengkritisi pernyataan Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Ende H. Mohamad Taher. Dia bilang, kericuhan di DPRD itu tidak wajar. Melanggar kode etik dan tata tertib DPRD. Mempermalukan DPRD. Mencederai wibawa dan kehormatan DPRD. Ia benar. Sayang, ia kemudian salah ketika menyebutkan kericuhan itu pelanggaran ringan. Dan karena pelanggaran ringan, persoalannya diselesaikan ke dalam. Secara kekeluargaan.
Benarkah ini pelanggaran ringan? Anak timbangan apa yang ia gunakan? Yang nyaris adu jotos, yang mengejar dan dikejar, yang merusak dan menyalahgunakan peralatan sound system ruang sidang itu wakil rakyat. Mereka bukan anak kecil. Bukan orang kampung. Kejadiannya bukan di pasar. Maka, anak timbangan untuk perbuatan mereka haruslah berat.
Dengan demikian, kita hendak katakan, pelanggaran mereka itu pelanggaran berat. Ukuran berat-ringannya bukan KUHP, tapi tata tertib dan kode etik dewan serta kepatutan sosial. Maka, jangan melihat sifat pidananya. Itu tugas polisi, jaksa, hakim. Lihatlah sifat tidak-disiplin dan tidak-etisnya. Itulah tugas BK.
Ketua BK sudah sebutkan dampak pelanggaran itu. Mempermalukan DPRD. Mencederai wibawa dan kehormatan DPRD. Ini sudah jelas menunjukkan pelanggaran itu pelanggaran berat. Nah, tunggu apa lagi? Tunggu sampai ada yang mati karena dilempari peralatan sound system? Yang benar saja ah!
”Bentara” FLORES POS, Kamis 26 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Rapat gabungan komisi DPRD Ende bersama pemerintah, Senin 24 Mei 2011, berbuntut ricuh. Kericuhan terjadi setelah rapat. Rapat dipimpin wakil ketua DPRD Fransiskus Taso. Usai menutup rapat, ia "membuka" babak baru bersama anggota Gabriel Dala Ema. Yakni babak nyaris adu jotos (Flores Pos Slasa 24 Mei 2011).
Konon, tersinggung oleh pernyataan Gaby Ema, Frans Taso naik pitam. Ia mengejar Gaby Ema. Gaby lari ke luar ruang sidang. Karena tak bisa mengejar, Frans renggut peralatan sound system di ruang sidang dan melempari Gaby. Tidak kena. Gaby lari hingga jalan raya dan selanjutnya tinggalkan DPRD.
Seandainya adegan ini direkam dengan baik, hasilnya bisa diunggah ke You Tube. Bagus sebagai ilustrasi buat anak cucu. "Nak, inilah DPRD Ende 2009-2014," kira-kira begitu tulis si pengunggah. "Dalam rapat, mereka adu otak. Di luar rapat, mereka adu otot. Dalam rapat, peralatan sound system dipakai untuk omong. Di luar rapat, dipakai untuk lempar orang."
Mereka adu otot, bukan karena suka olah raga. Tapi karena gagal olah emosi. Emosi kalahkan rasio. Dalam keadaan seperti itu, orang yang marah sama dengan orang yang gila. Makanya, sastrawan Romawi Quintus Horatius Flaccus alias Horace bilang, amarah adalah kegilaan yang singkat. Ira furor brevis est. Makin tepat saja kalau kita bayangkan adegan di DPRD Ende itu. Adu mulut, kejar, lempar. Benar-benar gila singkat.
Mungkin ada yang bilang, wakil rakyat juga manusia. Bisa marah. Itu benar. Namun persoalan¬nya bukan itu. Bukan tidak boleh marah. Tapi marah yang bagaimana. Bagaimananya itulah yang membedakan marahnya orang dewasa dan marahnya anak-anak. Marahnya orang yang tidak bersekolah dan marahnya orang yang berpendidikan tinggi. Marah di pasar dan marah di kantor.
Perbedaan itu melahirkan pembedaan anak timbangan. Bobot anak timbangan tidak boleh sama atau disamakan, meski alasan, tujuan, dan cara perbuatannya sama. Dalam perbuatan mencuri, yang sama alasan, tujuan, dan caranya, anak timbangan bagi orang dewasa tentu harus lebih berat daripada anak timbangan bagi anak-anak.
Dengan ini, kita mengkritisi pernyataan Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Ende H. Mohamad Taher. Dia bilang, kericuhan di DPRD itu tidak wajar. Melanggar kode etik dan tata tertib DPRD. Mempermalukan DPRD. Mencederai wibawa dan kehormatan DPRD. Ia benar. Sayang, ia kemudian salah ketika menyebutkan kericuhan itu pelanggaran ringan. Dan karena pelanggaran ringan, persoalannya diselesaikan ke dalam. Secara kekeluargaan.
Benarkah ini pelanggaran ringan? Anak timbangan apa yang ia gunakan? Yang nyaris adu jotos, yang mengejar dan dikejar, yang merusak dan menyalahgunakan peralatan sound system ruang sidang itu wakil rakyat. Mereka bukan anak kecil. Bukan orang kampung. Kejadiannya bukan di pasar. Maka, anak timbangan untuk perbuatan mereka haruslah berat.
Dengan demikian, kita hendak katakan, pelanggaran mereka itu pelanggaran berat. Ukuran berat-ringannya bukan KUHP, tapi tata tertib dan kode etik dewan serta kepatutan sosial. Maka, jangan melihat sifat pidananya. Itu tugas polisi, jaksa, hakim. Lihatlah sifat tidak-disiplin dan tidak-etisnya. Itulah tugas BK.
Ketua BK sudah sebutkan dampak pelanggaran itu. Mempermalukan DPRD. Mencederai wibawa dan kehormatan DPRD. Ini sudah jelas menunjukkan pelanggaran itu pelanggaran berat. Nah, tunggu apa lagi? Tunggu sampai ada yang mati karena dilempari peralatan sound system? Yang benar saja ah!
”Bentara” FLORES POS, Kamis 26 Mei 2011
Label:
badan kehormatan dprd,
dprd ende,
ende,
flores,
flores pos,
fransiskus taso,
gabriel dala ema,
kericuhan,
politik,
tatib dan kode etik dewan
24 Mei 2011
Gubernur Harus Cekatan
Sengketa Tapal Batas Ngada-Matim
Oleh Frans Anggal
Wilayah tapal batas Kabupaten Manggarai Timur (Matim) dan Kabupaten Ngada memanas. Sepekan terakhir beredar rumor, masyarakat di perbatasan mau menancapkan pilar induk dan setelah itu menyiapkan batu pasir untuk membangun gapura di Wae Bakit yang saat ini masuk Manggarai Timur (Flores Pos Senin 23 Mei 2011).
Sabtu 21 Mai 2011, tim Pemkab Matim turun ke perbatasan. Untuk memantau dari dekat kegiatan warga di wilayah antara jembatan Wae Bakit dan Wae Bong. Pada kesempatan itu, Bupati Matim Yoseph Tote dan Bupati Ngada Marianus Sae melakukan pertemuan di Bakit. Sayang, dalam pertemuan itu mereka tidak mencapai titik temu.
"Pembicaraan tentang batas harus dengan gubernur NTT yang memiliki kewenangan untuk itu sesuai dengan amanat undang-undang," kata Ketua DPRD Matim John Nahas. Pembicaraan tentang batas akan dilakukan di Kupang bersama gubernur NTT, kata Kasat Pol PP Matiam Stefanus Jaghur.
Mencapai titik temu, tidaklah mudah. Apalagi hanya dalam sekali pertemuan, dalam kondisi darurat. Pada momen awal seperti ini, para pihak masih sangat protektif menjaga posisi masing-masing. Boleh dibilang mereka masih defensif dan menutup diri. Belum terbuka dan kritis memahami posisi pihak lain. Dengan demikian, mereka bertemu, tapi tidak berdialog. Mereka hanya bermonolog, secara bergilir.
Seandainya kedua bupati semakin sering bertemu, ceritanya mungkin lain. Monolog akan menjadi dialog. Semakin sering dialog terjalin, semakin cepat kesepahaman terwujud. Semain cepat kesepahaman terwujud, semakin mudah kesepakatan tercapai. Tapi ini hanya mungkin kalau syarat lain terpenuhi. Gubernurnya cekatan. Ini yang tidak terjadi.
Kita harus mengakui: dalam sengketa tapal batas Matim-Ngada setahun terakhir, gubernur absen. Provinsi NTT seperti tidak punya gubernur. Sejak 27 April 2010, ruas jalan provinsi di perbatasan diblokir sekelompok orang. Akses ekonomi dan transportasi di wilayah itu macet total. Anarkisme berlangsung satu tahun lebih. Tidak ada tindakan apa pun.
Setahun lalu, Gubernur Frans Lebu Raya bilang, penyelesaian sudah dimulai. Kedua bupati sudah paparkan peta wilayah. Kemudian akan dibentuk tim yang libatkan tokoh masyarakat dan elemen lain dari kedua kabupaten. Pemprov memilih pendekatan kesehatian. Bukan jalur hukum. Jalur hukum bisa membawa ekses buruk (Flores Pos Sabtu 31 Juli 2010).
Setahun lewat, mana hasilnya? Tidak ada. Jangankan menyelesaikan sengketa tapal batas, mengakhiri pemblokiran jalan saja tidak. Yang terjadi malah ini: enam bulan setelah pernyataan "penyelesaian sudah dimulai" itu, muncul pernyataan baru.
Penyelesaian sengketa tapal batas dengan pendekatan kesehatian membutuhkan banyak waktu. Tidak bisa pula dilakukan secara top-down 'dari atas ke bawah'. Karena itu, semua pihak diharapkan bersabar (Flores Pos Rabu 26 Januari 2011).
Bersabar? Kasus ini sudah berusia 37 tahun lebih. Pemblokiran jalan sudah berumur satu tahun lebih. Akses ekonomi dan transportasi di wilayah perbatasan macet total selama setahun lebih. Politisasi kasus oleh wakil rayat demi mendapat simpati konstituen wilayah perbatas semakin menggila. Menghadapi semua ini, kita diminta tetap bersabar? Yang benar saja!
Oke. Kita setuju. Bersabar. Tapi ada syaratnya. Dalam kebersabaran kita, gubernur harus cekatan. Bukan memilih posisi aman, absen. Kita setujui sabar yang solutif. Bukan sabar yang manipulatif.
”Bentara” FLORES POS, Selasa 24 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Wilayah tapal batas Kabupaten Manggarai Timur (Matim) dan Kabupaten Ngada memanas. Sepekan terakhir beredar rumor, masyarakat di perbatasan mau menancapkan pilar induk dan setelah itu menyiapkan batu pasir untuk membangun gapura di Wae Bakit yang saat ini masuk Manggarai Timur (Flores Pos Senin 23 Mei 2011).
Sabtu 21 Mai 2011, tim Pemkab Matim turun ke perbatasan. Untuk memantau dari dekat kegiatan warga di wilayah antara jembatan Wae Bakit dan Wae Bong. Pada kesempatan itu, Bupati Matim Yoseph Tote dan Bupati Ngada Marianus Sae melakukan pertemuan di Bakit. Sayang, dalam pertemuan itu mereka tidak mencapai titik temu.
"Pembicaraan tentang batas harus dengan gubernur NTT yang memiliki kewenangan untuk itu sesuai dengan amanat undang-undang," kata Ketua DPRD Matim John Nahas. Pembicaraan tentang batas akan dilakukan di Kupang bersama gubernur NTT, kata Kasat Pol PP Matiam Stefanus Jaghur.
Mencapai titik temu, tidaklah mudah. Apalagi hanya dalam sekali pertemuan, dalam kondisi darurat. Pada momen awal seperti ini, para pihak masih sangat protektif menjaga posisi masing-masing. Boleh dibilang mereka masih defensif dan menutup diri. Belum terbuka dan kritis memahami posisi pihak lain. Dengan demikian, mereka bertemu, tapi tidak berdialog. Mereka hanya bermonolog, secara bergilir.
Seandainya kedua bupati semakin sering bertemu, ceritanya mungkin lain. Monolog akan menjadi dialog. Semakin sering dialog terjalin, semakin cepat kesepahaman terwujud. Semain cepat kesepahaman terwujud, semakin mudah kesepakatan tercapai. Tapi ini hanya mungkin kalau syarat lain terpenuhi. Gubernurnya cekatan. Ini yang tidak terjadi.
Kita harus mengakui: dalam sengketa tapal batas Matim-Ngada setahun terakhir, gubernur absen. Provinsi NTT seperti tidak punya gubernur. Sejak 27 April 2010, ruas jalan provinsi di perbatasan diblokir sekelompok orang. Akses ekonomi dan transportasi di wilayah itu macet total. Anarkisme berlangsung satu tahun lebih. Tidak ada tindakan apa pun.
Setahun lalu, Gubernur Frans Lebu Raya bilang, penyelesaian sudah dimulai. Kedua bupati sudah paparkan peta wilayah. Kemudian akan dibentuk tim yang libatkan tokoh masyarakat dan elemen lain dari kedua kabupaten. Pemprov memilih pendekatan kesehatian. Bukan jalur hukum. Jalur hukum bisa membawa ekses buruk (Flores Pos Sabtu 31 Juli 2010).
Setahun lewat, mana hasilnya? Tidak ada. Jangankan menyelesaikan sengketa tapal batas, mengakhiri pemblokiran jalan saja tidak. Yang terjadi malah ini: enam bulan setelah pernyataan "penyelesaian sudah dimulai" itu, muncul pernyataan baru.
Penyelesaian sengketa tapal batas dengan pendekatan kesehatian membutuhkan banyak waktu. Tidak bisa pula dilakukan secara top-down 'dari atas ke bawah'. Karena itu, semua pihak diharapkan bersabar (Flores Pos Rabu 26 Januari 2011).
Bersabar? Kasus ini sudah berusia 37 tahun lebih. Pemblokiran jalan sudah berumur satu tahun lebih. Akses ekonomi dan transportasi di wilayah perbatasan macet total selama setahun lebih. Politisasi kasus oleh wakil rayat demi mendapat simpati konstituen wilayah perbatas semakin menggila. Menghadapi semua ini, kita diminta tetap bersabar? Yang benar saja!
Oke. Kita setuju. Bersabar. Tapi ada syaratnya. Dalam kebersabaran kita, gubernur harus cekatan. Bukan memilih posisi aman, absen. Kita setujui sabar yang solutif. Bukan sabar yang manipulatif.
”Bentara” FLORES POS, Selasa 24 Mei 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
frans lebu raya,
gubernur ntt,
hukum,
pemerintahan,
politik,
tapal batas matim-ngada
23 Mei 2011
ANBi Perlu Didukung
Deklarasi Anak NTT Bermusik Independen
Oleh Frans Anggal
"Penonton berjingkrak bergoyang dalam tari Ja'i ketika lagu Luie, yang konon sudah berumur sekitar 500 tahun menghajar merdu, nge-beat. Empat wanita bule tidak berhenti bergoyang, demikian mahir memeragakan ragam-ragam Ja'i. Dan ketika Ina Noi berkumandang, Ja'i massal memutari ruangan tidak terbendung …." (Flores Pos Sabtu 21 Mei 2911).
Itulah sekilas gambaran kemeriahan di Sport Hall Kampus Unika Atmadjaja Jakarta, Sabttu 14 Mei 2011. Sore itu, ANBi, Anak NTT Bermusik Independen, dideklarasikan. Bernaung di bawah tema "Bangkit Musik NTT". Dikemas dalam pentas seni "Flobamora in Harmony".
ANBi berawal dari omong-omong untuk satukan orang NTT lewat musik, tulis siaran pers ANBi. Dari omong-omong itu dibuatlah grup face book "Anak NTT Bermusik". Sambutan luar biasa. Sejak Januari hingga 21 Mei 2011, anggotanya sudah 1.569.
Antusiasme ini mendorong anak NTT lakukan sesuatu. Membentuk sebuah wadah resmi. Wadah itulah yang dideklarasikan pada Sabtu 14 Mei 2011 di Sport Hall Kampus Unika Atmadjaja Jakarta. Disaksikan 2.000 pasang mata. Deklarasinya dahsyat.
"Kami yang bernaung dalam grup Anak NTT Bermusik Independen (ANBi) dengan ini menyatakan secara resmi ANBi sebagai wadah bagi musisi, pemerhati musik, warga NTT dan pencinta musik untuk bersama-sama mengangkat musik dan musisi NTT menjadi raja di tanah sendiri dan meninggikan musik dan musisi NTT hingga ke pentas internasional. ANBi berjuang melestarikan, menumbuhkan dan mengembangkan ragam budaya musik NTT di masa kini dan masa yang akan datang.”
Simaklah. Selain resmikan wadah, deklarasi ini siratkan hakikat ANBi. Visioner dan misioner. Visioner, karena ANBi punya visi. Musik dan musisi NTT jadi raja di tanah sendiri dan terhormat di tingkat nasional dan internasional. Misioner, karena ANBi punya misi. Lestarikan, tumbuhkan, dan kembangkan ragam budaya musik NTT.
Melihat visi dan misi ini, deklarasi ANBi sesungguhnya bukan hanya pentasan. Ini proyek kebudayaan yang besar. Tugas berkesenian yang menantang. Panggilan bermusik yang tak mengenal kata henti. Deklarasi hanyalah awalnya. Selanjutnya: kerja keras, kreativitas, inovasi. Tanpa itu, deklarasi memang awal, tapi awal dari sebuah akhir.
Kita tidak inginkan itu. Kita tidak mau, habis deklarasi ya habis. Kalau sampai demikian, itu pengkhianatan. Minimal, pengkhianatan terhadap tema deklarasi, kalau bukan pengkhianatan terhadap masyarakat NTT. Tema deklarasi adalah tema kebangkitan. "Bangkit Musik NTT". Bukan "Bangkai Musik NTT". Bukan pula "Bangkrut Musik NTT".
Pertanyaannya: setelah bangkit ya apa? Berjalan! Berjalan menuju visi, dengan jalankan misi. NTT tidak hanya miliki 566 pulau, tetapi juga punya ratusan nyanyian dan alat musik unik. Ini kekayaan. Tapi kekayaan yang tidak terurus. Karena tidak terurus, kekayaan ini semakin tergerus oleh modernitas. Apa yang akan dilakukan ANBi?
Itu sekadar contoh, satu dari banyak proyek kebudayaan yang besar, tugas berkesenian yang menantang, dan panggilan bermusik yang tiada henti. Deklarasi hanyalah awal. Awal dari kerja keras, kreativitas, inovasi. Juga awal dari kerja sama para pemangku kepentingan. Maka, jangan biarkan ANBi berjalan sendirian. Dukunglah, bantulah, sokonglah. Flobamora harus serasi. Bersinergi. Seperti nama kemasan pentas seni itu, "Flobamora in Harmony".
”Bentara” FLORES POS, Senin 23 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
"Penonton berjingkrak bergoyang dalam tari Ja'i ketika lagu Luie, yang konon sudah berumur sekitar 500 tahun menghajar merdu, nge-beat. Empat wanita bule tidak berhenti bergoyang, demikian mahir memeragakan ragam-ragam Ja'i. Dan ketika Ina Noi berkumandang, Ja'i massal memutari ruangan tidak terbendung …." (Flores Pos Sabtu 21 Mei 2911).
Itulah sekilas gambaran kemeriahan di Sport Hall Kampus Unika Atmadjaja Jakarta, Sabttu 14 Mei 2011. Sore itu, ANBi, Anak NTT Bermusik Independen, dideklarasikan. Bernaung di bawah tema "Bangkit Musik NTT". Dikemas dalam pentas seni "Flobamora in Harmony".
ANBi berawal dari omong-omong untuk satukan orang NTT lewat musik, tulis siaran pers ANBi. Dari omong-omong itu dibuatlah grup face book "Anak NTT Bermusik". Sambutan luar biasa. Sejak Januari hingga 21 Mei 2011, anggotanya sudah 1.569.
Antusiasme ini mendorong anak NTT lakukan sesuatu. Membentuk sebuah wadah resmi. Wadah itulah yang dideklarasikan pada Sabtu 14 Mei 2011 di Sport Hall Kampus Unika Atmadjaja Jakarta. Disaksikan 2.000 pasang mata. Deklarasinya dahsyat.
"Kami yang bernaung dalam grup Anak NTT Bermusik Independen (ANBi) dengan ini menyatakan secara resmi ANBi sebagai wadah bagi musisi, pemerhati musik, warga NTT dan pencinta musik untuk bersama-sama mengangkat musik dan musisi NTT menjadi raja di tanah sendiri dan meninggikan musik dan musisi NTT hingga ke pentas internasional. ANBi berjuang melestarikan, menumbuhkan dan mengembangkan ragam budaya musik NTT di masa kini dan masa yang akan datang.”
Simaklah. Selain resmikan wadah, deklarasi ini siratkan hakikat ANBi. Visioner dan misioner. Visioner, karena ANBi punya visi. Musik dan musisi NTT jadi raja di tanah sendiri dan terhormat di tingkat nasional dan internasional. Misioner, karena ANBi punya misi. Lestarikan, tumbuhkan, dan kembangkan ragam budaya musik NTT.
Melihat visi dan misi ini, deklarasi ANBi sesungguhnya bukan hanya pentasan. Ini proyek kebudayaan yang besar. Tugas berkesenian yang menantang. Panggilan bermusik yang tak mengenal kata henti. Deklarasi hanyalah awalnya. Selanjutnya: kerja keras, kreativitas, inovasi. Tanpa itu, deklarasi memang awal, tapi awal dari sebuah akhir.
Kita tidak inginkan itu. Kita tidak mau, habis deklarasi ya habis. Kalau sampai demikian, itu pengkhianatan. Minimal, pengkhianatan terhadap tema deklarasi, kalau bukan pengkhianatan terhadap masyarakat NTT. Tema deklarasi adalah tema kebangkitan. "Bangkit Musik NTT". Bukan "Bangkai Musik NTT". Bukan pula "Bangkrut Musik NTT".
Pertanyaannya: setelah bangkit ya apa? Berjalan! Berjalan menuju visi, dengan jalankan misi. NTT tidak hanya miliki 566 pulau, tetapi juga punya ratusan nyanyian dan alat musik unik. Ini kekayaan. Tapi kekayaan yang tidak terurus. Karena tidak terurus, kekayaan ini semakin tergerus oleh modernitas. Apa yang akan dilakukan ANBi?
Itu sekadar contoh, satu dari banyak proyek kebudayaan yang besar, tugas berkesenian yang menantang, dan panggilan bermusik yang tiada henti. Deklarasi hanyalah awal. Awal dari kerja keras, kreativitas, inovasi. Juga awal dari kerja sama para pemangku kepentingan. Maka, jangan biarkan ANBi berjalan sendirian. Dukunglah, bantulah, sokonglah. Flobamora harus serasi. Bersinergi. Seperti nama kemasan pentas seni itu, "Flobamora in Harmony".
”Bentara” FLORES POS, Senin 23 Mei 2011
Label:
anbi,
bangkit musik ntt,
bentara,
flobamora in harmony,
flores pos,
kebudayaan,
kesenian,
musik,
ntt
21 Mei 2011
Rombak Inspektorat Sikka
Kasus Dana Bansos 2009
Oleh Frans Anggal
Pansus DPRD Sikka mendesak Kepala Inspektorat Thomas Ola Peka dicopot dan seluruh stafnya dirombak. Thomas Ola Peka dan staf dinilai tidak becus dalam membuat laporan hasil pemeriksaan (LHP) dana bantuan sosial (bansos) 2009 senilai Rp10,7 miliar. Desakan ini disampaikan ketua pansus Landoaldus Mekeng ketika memeriksa Sekda Sikka Cypri dan Costa, Kamis 19 Mei 2011 (Flores Pos Jumat 20 Mei 2011).
Inilah salah satu bukti ketidakbecusan itu, kata pansus. LHP yang dibagikan kepada pansus berbeda dengan LHP yang dipegang dan dibacakan sekda di hadapan pansus. Ada perbedaan data dan informasi menyangkut dana bansos. "Saya pertanyakan LHP yang berbeda ini. Ada apa ini?" kata Landoaldus Mekeng.
Sebelumnya, sudah ada kejanggalan yang dilakukan inspektorat. Dalam laporannya beberapa waktu lalu, lembaga ini menyatakan dana bansos 2009 hanya bermasalah pada administrasinya. Tidak ada indikasi kerugian keuangan negara.
Dengan pernyataan seperti ini, kita patut bertanya. Cermat dan jujurkah inspektorat? Lembaga ini menyandang kata "to inspect". Memeriksa. Yang bukan asal periksa. "To inspect" selalu berarti memeriksa dengan hati-hati (carefully) dan teliti (closely). Kehati-hatian diperlukan, agar tidak terjadi kesalahan. Sebab, kesalahan bisa berakibat buruk bagi pihak terperiksa. Demikian pula, ketelitian diperlukan, agar tidak ada yang terlewatkan, terutama menyangkut detail. Sebab, "setan" bersembunyi di balik detail.
Pemeriksaan yang hati-hati dan teliti tidak hanya memerlukan suluh logis. Diperlukan juga suar etis. Dan salah satu yang paling penting adalah kejujuran. Tampaknya, ini yang tidak ada pada Inspektorat Kabupaten Sikka. Tidak adanya kejujuran itulah yang menyebabkan LPH yang dibagikannya kepada pansus berbeda dengan LPH yang dipegang dan dibacakan sekda di hadapan pansus.
Oleh adanya perbedaan data dan informasi itu, pansus menilai LHP inpektorat tidak jelas dan tidak cermat. Ini penilaian objektif, berdasarkan suluh logis. Sedangkan penilaian subjektif, berdasarkan suar etis, tidak diucapkan pansus secara jelas dan tegas. Rumusannya samar-samar saja, berupa pertanyaan retoris. "Ada apa ini?" kata Landoaldus Mekeng.
Ada apa ini? Ada ketidakjujuran! LHP itu hanya salah satu dari rangkaian pembohongan. Tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau. Untuk tutupi pembohongan lama, orang harus buat pembohongan baru. Pada kerja inspektorat, pembohongan lamanya berupa pernyataan bahwa dana bansos 2009 hanya bermasalah pada administrasinya. Tidak ada indikasi kerugian keuangan negara.
Untuk menutupi pembohongan itulah dibuat pembohongan baru. Berupa LHP yang berbeda-beda data dan informasinya. Lain pada pansus, lain pada sekda. Ini menyingkapkan dua hal. Inspektorat Sikka tidak hanya tidak cermat seperti penilaian pansus, tapi juga dan malah terutama tidak jujur.
Hanya ketidakjujuranlah yang bisa menjelaskan pernyataan yang menghina akal sehat itu. Bahwa, kasus dana bansos 2009 cuma persoalan prosedural teknis. Bukan persoalan substansial yuridis-etis. Jadi, di mata inspektorat, dana bansos itu tidak dikorup. Cuma dipinjam. Maka, asalkan uang itu dikembalikan ke kas negara, persoalannya selesai.
Wah. Gawat. Di bawah inspektorat seperti ini, Sikka akan hancur lebur. Karena itu, kita setuju dan mendukung desakan pansus. Kepala inspektorat harus dicopot. Seluruh stafnya harus dirombak.
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 21 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Pansus DPRD Sikka mendesak Kepala Inspektorat Thomas Ola Peka dicopot dan seluruh stafnya dirombak. Thomas Ola Peka dan staf dinilai tidak becus dalam membuat laporan hasil pemeriksaan (LHP) dana bantuan sosial (bansos) 2009 senilai Rp10,7 miliar. Desakan ini disampaikan ketua pansus Landoaldus Mekeng ketika memeriksa Sekda Sikka Cypri dan Costa, Kamis 19 Mei 2011 (Flores Pos Jumat 20 Mei 2011).
Inilah salah satu bukti ketidakbecusan itu, kata pansus. LHP yang dibagikan kepada pansus berbeda dengan LHP yang dipegang dan dibacakan sekda di hadapan pansus. Ada perbedaan data dan informasi menyangkut dana bansos. "Saya pertanyakan LHP yang berbeda ini. Ada apa ini?" kata Landoaldus Mekeng.
Sebelumnya, sudah ada kejanggalan yang dilakukan inspektorat. Dalam laporannya beberapa waktu lalu, lembaga ini menyatakan dana bansos 2009 hanya bermasalah pada administrasinya. Tidak ada indikasi kerugian keuangan negara.
Dengan pernyataan seperti ini, kita patut bertanya. Cermat dan jujurkah inspektorat? Lembaga ini menyandang kata "to inspect". Memeriksa. Yang bukan asal periksa. "To inspect" selalu berarti memeriksa dengan hati-hati (carefully) dan teliti (closely). Kehati-hatian diperlukan, agar tidak terjadi kesalahan. Sebab, kesalahan bisa berakibat buruk bagi pihak terperiksa. Demikian pula, ketelitian diperlukan, agar tidak ada yang terlewatkan, terutama menyangkut detail. Sebab, "setan" bersembunyi di balik detail.
Pemeriksaan yang hati-hati dan teliti tidak hanya memerlukan suluh logis. Diperlukan juga suar etis. Dan salah satu yang paling penting adalah kejujuran. Tampaknya, ini yang tidak ada pada Inspektorat Kabupaten Sikka. Tidak adanya kejujuran itulah yang menyebabkan LPH yang dibagikannya kepada pansus berbeda dengan LPH yang dipegang dan dibacakan sekda di hadapan pansus.
Oleh adanya perbedaan data dan informasi itu, pansus menilai LHP inpektorat tidak jelas dan tidak cermat. Ini penilaian objektif, berdasarkan suluh logis. Sedangkan penilaian subjektif, berdasarkan suar etis, tidak diucapkan pansus secara jelas dan tegas. Rumusannya samar-samar saja, berupa pertanyaan retoris. "Ada apa ini?" kata Landoaldus Mekeng.
Ada apa ini? Ada ketidakjujuran! LHP itu hanya salah satu dari rangkaian pembohongan. Tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau. Untuk tutupi pembohongan lama, orang harus buat pembohongan baru. Pada kerja inspektorat, pembohongan lamanya berupa pernyataan bahwa dana bansos 2009 hanya bermasalah pada administrasinya. Tidak ada indikasi kerugian keuangan negara.
Untuk menutupi pembohongan itulah dibuat pembohongan baru. Berupa LHP yang berbeda-beda data dan informasinya. Lain pada pansus, lain pada sekda. Ini menyingkapkan dua hal. Inspektorat Sikka tidak hanya tidak cermat seperti penilaian pansus, tapi juga dan malah terutama tidak jujur.
Hanya ketidakjujuranlah yang bisa menjelaskan pernyataan yang menghina akal sehat itu. Bahwa, kasus dana bansos 2009 cuma persoalan prosedural teknis. Bukan persoalan substansial yuridis-etis. Jadi, di mata inspektorat, dana bansos itu tidak dikorup. Cuma dipinjam. Maka, asalkan uang itu dikembalikan ke kas negara, persoalannya selesai.
Wah. Gawat. Di bawah inspektorat seperti ini, Sikka akan hancur lebur. Karena itu, kita setuju dan mendukung desakan pansus. Kepala inspektorat harus dicopot. Seluruh stafnya harus dirombak.
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 21 Mei 2011
Label:
bentara,
dana bansos 2009,
flores,
flores pos,
hukum,
korupsi,
sikka
20 Mei 2011
Sikka & Drama Penghindaran
Kasus Dana Bansos 2009
Oleh Frans Anggal
Pemeriksaan oleh Pansus DPRD Sikka, Rabu 8 Mei 2011, ditandai saling lempar tanggung jawab para terperiksa. Kasus dana bansos 2009 senilai Rp10,7 miliar. Mereka, Godfridus Faustin, bendahara induk dana bansos pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (PPKAD). Bily Dolu, mantan kuasa pengguna anggaran (KPA) pada Dinas PPKAD. Servasius Kabu, mantan Kepala Bagian Kesra Seda (Flores Pos Kamis 19 Mei 2011).
Versi Godfridus Faustin. Tentang pengeluaran yang lampaui plafon APBD. Membengkak dari Rp4 miliar plus perubahan anggaran Rp2,5 miliar menjadi Rp10,7 miliar termasuk dana pinjaman dari pihak ketiga. "Saya keluarkan uang atas perintah KPA (kala itu dijabat Bily Dolu). Pengeluaran dana tidak mengikuti tahapan dan prosedur yang berlaku."
Versi Bily Dolu. Tanggapi tudingan Godfridus Faustin. "Saya tidak pernah perintahkan bendahara induk bansos untuk keluarkan uang yang tidak prosedural itu. Saya sudah berkali-kali meminta SPJ kepada yang bersangkutan, tapi tidak diindahkan."
Versi Servasius Kabu. Tanggapi pernyataan Yos Otu, bendahara bagian kesra Setda. "Semua data pemanfaat¬an dana bansos ini tidak jelas karena amburadulnya administrasi Bendahara Yos Otu." Sebelumnya, Yos Otu bilang, penyaluran bantuan, termasuk pinjaman Rp3 miliar lebih dari seorang pengusaha, sepersetujuan Servas Kabu (Flores Pos Sabtu 14 Mei 2011).
Pada pemeriksaan 18 Mei itu, Yos Otu tidak hadir. "Yos Otu lagi sakit," kata Landoaldus Mekeng, ketua pansus. Pekan sebelumnya, pada pemeriksaan 9 Mei, yang tidak hadir Godfridus Faustinus. Jelang diperiksa pansus hari itu, ia mencoba bunuh diri dengan meminum obat pembasmi serangga. Ia dilarikan ke rumah sakit dan dirawat inap.
Semua hal yang terjadi itu merupakan mekanisme penghindaran. Bentuknya saja yang berbeda. Usaha bunuh diri Godfridus Faustinus, itu upaya penghindaran. Hasilnya, rugi dobel. Setelah semaput karena bunuh dirinya gagal, dia tetap diperiksa oleh pansus. Di hadapan pansus, ia tetap berusaha menghindar meski mengakui pengeluaran dana tidak prosedural. "Saya keluarkan uang atas perintah KPA."
Demikian pula dua pejabat lainnya, ramai-ramai menghindar. Bily Dolu, tidak hanya membantah tudingan Godfridus Faustin. Ia juga menuding balik si penuding. "Saya sudah berkali-kali meminta SPJ kepada yang bersangkutan, tapi permintaan saya tidak diindahkan." Setali tiga uang dengan Servasius Kabu. Tidak hanya membantah pernyataan Yos Otu. Ia juga mempersalahkannya: administrasinya amburadul.
Akan halnya Yos Otu, yah sama juga. Patut dapat diduga sakitnya hari itu sebentuk mekanisme penghindaran juga. Dugaan ini beralasan, mengingat banyaknya preseden penghindaran. Salah satunya sangat terasa ketika kejari mulai lakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket). Ada kesan, akses ke dokumen administratif dana bansos dihalang-halangi pihak tertentu di kalangan pemkab.
Dalam konteks ini, ditarik jauh ke belakang, kebakaran kantor bupati Sikka, 26 Desember 2009, bisa saja merupakan hasil usaha penghindaran. Bukan kebakaran biasa. Kantor ini terbakar di akhir tahun. Dan, menarik, "berkat" kebakaran itu, sebuah jejak penting lenyap. Semua data keuangan bansos 2009 ikut terbakar, kata Yos Otu di hadapan pansus.
Itulah drama dari Sikka. Drama penghindaran. Versi terperiksa. Mungkin akan muncul versi pemeriksa, pansus DPRD. Itu kalau mereka tidak independen. Artinya, sekadar jadi alat politik. Sikat yang kecil, luputkan yang besar. Harap saja tidak.
”Bentara” FLORES POS, Jumat 20 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Pemeriksaan oleh Pansus DPRD Sikka, Rabu 8 Mei 2011, ditandai saling lempar tanggung jawab para terperiksa. Kasus dana bansos 2009 senilai Rp10,7 miliar. Mereka, Godfridus Faustin, bendahara induk dana bansos pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (PPKAD). Bily Dolu, mantan kuasa pengguna anggaran (KPA) pada Dinas PPKAD. Servasius Kabu, mantan Kepala Bagian Kesra Seda (Flores Pos Kamis 19 Mei 2011).
Versi Godfridus Faustin. Tentang pengeluaran yang lampaui plafon APBD. Membengkak dari Rp4 miliar plus perubahan anggaran Rp2,5 miliar menjadi Rp10,7 miliar termasuk dana pinjaman dari pihak ketiga. "Saya keluarkan uang atas perintah KPA (kala itu dijabat Bily Dolu). Pengeluaran dana tidak mengikuti tahapan dan prosedur yang berlaku."
Versi Bily Dolu. Tanggapi tudingan Godfridus Faustin. "Saya tidak pernah perintahkan bendahara induk bansos untuk keluarkan uang yang tidak prosedural itu. Saya sudah berkali-kali meminta SPJ kepada yang bersangkutan, tapi tidak diindahkan."
Versi Servasius Kabu. Tanggapi pernyataan Yos Otu, bendahara bagian kesra Setda. "Semua data pemanfaat¬an dana bansos ini tidak jelas karena amburadulnya administrasi Bendahara Yos Otu." Sebelumnya, Yos Otu bilang, penyaluran bantuan, termasuk pinjaman Rp3 miliar lebih dari seorang pengusaha, sepersetujuan Servas Kabu (Flores Pos Sabtu 14 Mei 2011).
Pada pemeriksaan 18 Mei itu, Yos Otu tidak hadir. "Yos Otu lagi sakit," kata Landoaldus Mekeng, ketua pansus. Pekan sebelumnya, pada pemeriksaan 9 Mei, yang tidak hadir Godfridus Faustinus. Jelang diperiksa pansus hari itu, ia mencoba bunuh diri dengan meminum obat pembasmi serangga. Ia dilarikan ke rumah sakit dan dirawat inap.
Semua hal yang terjadi itu merupakan mekanisme penghindaran. Bentuknya saja yang berbeda. Usaha bunuh diri Godfridus Faustinus, itu upaya penghindaran. Hasilnya, rugi dobel. Setelah semaput karena bunuh dirinya gagal, dia tetap diperiksa oleh pansus. Di hadapan pansus, ia tetap berusaha menghindar meski mengakui pengeluaran dana tidak prosedural. "Saya keluarkan uang atas perintah KPA."
Demikian pula dua pejabat lainnya, ramai-ramai menghindar. Bily Dolu, tidak hanya membantah tudingan Godfridus Faustin. Ia juga menuding balik si penuding. "Saya sudah berkali-kali meminta SPJ kepada yang bersangkutan, tapi permintaan saya tidak diindahkan." Setali tiga uang dengan Servasius Kabu. Tidak hanya membantah pernyataan Yos Otu. Ia juga mempersalahkannya: administrasinya amburadul.
Akan halnya Yos Otu, yah sama juga. Patut dapat diduga sakitnya hari itu sebentuk mekanisme penghindaran juga. Dugaan ini beralasan, mengingat banyaknya preseden penghindaran. Salah satunya sangat terasa ketika kejari mulai lakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket). Ada kesan, akses ke dokumen administratif dana bansos dihalang-halangi pihak tertentu di kalangan pemkab.
Dalam konteks ini, ditarik jauh ke belakang, kebakaran kantor bupati Sikka, 26 Desember 2009, bisa saja merupakan hasil usaha penghindaran. Bukan kebakaran biasa. Kantor ini terbakar di akhir tahun. Dan, menarik, "berkat" kebakaran itu, sebuah jejak penting lenyap. Semua data keuangan bansos 2009 ikut terbakar, kata Yos Otu di hadapan pansus.
Itulah drama dari Sikka. Drama penghindaran. Versi terperiksa. Mungkin akan muncul versi pemeriksa, pansus DPRD. Itu kalau mereka tidak independen. Artinya, sekadar jadi alat politik. Sikat yang kecil, luputkan yang besar. Harap saja tidak.
”Bentara” FLORES POS, Jumat 20 Mei 2011
Label:
bentara,
dana bansos 2009,
flores,
flores pos,
hukum,
korupsi,
pansus dprd sikka,
sikka
19 Mei 2011
Salah Satu Dampak UN!
Corat-coret Pakaian Seragam
Oleh Frans Anggal
Di NTT, persentase kelulusan UN SMA/MA sederajat tahun ajaran 2010/211 adalah 94,43 persen. Meski meningkat dibanding tahun sebelumnya, ini masih di bawah target 95 persen. Dan secara nasional, NTT tertinggi dalam jumlah siswa yang tidak lulus UN (Flores Pos Rabu 18 Mei 211).
Kalau aneka data disandingkan dan dibandingkan, hasil ini akan tetap bikin NTT bersyukur. Meski kelulusannya tidak mencapai target, dan jumlah yang tidak lulus merupakan yang terbanyak secara nasional, tetap saja ada yang patut dibanggakan.
"Hasil yang dicapai merupakan prestasi tertinggi pertama yang pernah diraih Provinsi NTTT dalam hal persentase kelulusan UN tingkat SMA/MA," kata Kadis PPO NTT Thobias Uly di Kupang. Betapa tidak membanggakan. Ini prestasi tertinggi pertama.
Dengan penyandingan dan pembandingan data pula, Kabupaten Ende boleh tersenyum. Kelulusannya kali ini 78,66 persen untuk SMA/MA dan 86 persen untuk SMK. Meski tergolong terendah di NTT, persentase ini luar biasa. Sebab, melampaui target 75 persen. Bahkan naik beberapa kali lipat dari tahun lalu, yang hanya 25 persen. "Ini patut kita syukuri," kata Kadis PPO Ende Yeremias Bore.
Apa arti semuanya ini? Data, dalam hal ini angka kelulusan, bisa bikin kita sedih. Bisa juga bikin kita gembira. Tergantung dari cara kita memperlakukannya. Kalau kita sandingkan dan bandingkan 5 dengan 1, tentu 5 lebih tinggi. Sebaliknya, kalau kita sandingkan dan bandingkan 5 dengan 10, tentu 5 lebih rendah. Di hadapan 1, angka 5 itu hebat. Di hadapan 10, angka 5 itu tidak ada apa-apanya.
Persentase kelulusan UN pun seperti itu. Kita bisa mudah terkecoh dan lalu tergesa-gesa menyimpulkan sesuatu itu baik-buruk, sukses-gagal, meningkat-menurun, maju-mundur, dll. Persentase kelulusan UN itu angka. Dan angka bisa menyesatkan ketika banyak dimensi direduksi ke dalamnya. Itulah yang terjadi dalam pendidikan kita.
Kita masih andalkan UN sebagai penentu utama kelulusan. Dampaknya, orientasi utama siswa, guru, sekolah, dan pemerintah adalah UN. Bukan lagi penguasaan iptek. Akibat lebih lanjut, sekolah sekadar jadi tempat bimbingan tes. Kegiatan pokoknya adalah "mengajar" agar siswa bisa menjawab soal-soal latihan. Bukan "mendidik" agar siswa mampu memahami dan mengembangkan iptek serta memekarkan diri.
Buahnya mudah kelihatan. Antara lain, dari cara siswa merayakan hasil UN. Mereka mencorat-coret pakaian seragam, konvoi sepanjang jalan, bahkan ada yang mabuk-mabukan. Sebuah perayaan yang jauh dari citra bahwa mereka terdidik (well educated). Sebetulnya tidak mengherankan. Ini hasil logis. Di sekolah mereka tidak dididik koq. Cuma diajar. Sekolah mereka bukan lembaga pendidikan. Tapi, tempat bimbingan tes. Tempat menghadapi UN.
Ada kekecualian, tentu. Dan itu langka. Di Ende, pada pengumuman kelulusan UN SMA/MA, Senin 16 Mei 2911, hanya siswa SMAK Syuradikara yang tidak mencorat-coret pakaian seragam. Padahal, kelulusan mereka 100 persen. Reaksi mereka benar-benar terdidik. Mereka bersorak gembira, berangkulan, bersalaman. Itu saja.
Sekolah lain? Mengerikan. Bukan hanya pakaian seragam yang dicoret-coret. Wajah, rambut, tangan pun dicat warna-warni. Mereka dekil seperti buruh bangunan setengah preman. Mereka menari di jalanan. Beteriak seperti orang gila. Kebut-kebutan. Hmmm. Inilah hasil dari sekolah yang hanya mengajar tapi tidak mendidik. Yang hanya jadi tempat bimbingan tes. Salah satu dampak dari UN!
”Bentara” FLORES POS, Kamis 19 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Di NTT, persentase kelulusan UN SMA/MA sederajat tahun ajaran 2010/211 adalah 94,43 persen. Meski meningkat dibanding tahun sebelumnya, ini masih di bawah target 95 persen. Dan secara nasional, NTT tertinggi dalam jumlah siswa yang tidak lulus UN (Flores Pos Rabu 18 Mei 211).
Kalau aneka data disandingkan dan dibandingkan, hasil ini akan tetap bikin NTT bersyukur. Meski kelulusannya tidak mencapai target, dan jumlah yang tidak lulus merupakan yang terbanyak secara nasional, tetap saja ada yang patut dibanggakan.
"Hasil yang dicapai merupakan prestasi tertinggi pertama yang pernah diraih Provinsi NTTT dalam hal persentase kelulusan UN tingkat SMA/MA," kata Kadis PPO NTT Thobias Uly di Kupang. Betapa tidak membanggakan. Ini prestasi tertinggi pertama.
Dengan penyandingan dan pembandingan data pula, Kabupaten Ende boleh tersenyum. Kelulusannya kali ini 78,66 persen untuk SMA/MA dan 86 persen untuk SMK. Meski tergolong terendah di NTT, persentase ini luar biasa. Sebab, melampaui target 75 persen. Bahkan naik beberapa kali lipat dari tahun lalu, yang hanya 25 persen. "Ini patut kita syukuri," kata Kadis PPO Ende Yeremias Bore.
Apa arti semuanya ini? Data, dalam hal ini angka kelulusan, bisa bikin kita sedih. Bisa juga bikin kita gembira. Tergantung dari cara kita memperlakukannya. Kalau kita sandingkan dan bandingkan 5 dengan 1, tentu 5 lebih tinggi. Sebaliknya, kalau kita sandingkan dan bandingkan 5 dengan 10, tentu 5 lebih rendah. Di hadapan 1, angka 5 itu hebat. Di hadapan 10, angka 5 itu tidak ada apa-apanya.
Persentase kelulusan UN pun seperti itu. Kita bisa mudah terkecoh dan lalu tergesa-gesa menyimpulkan sesuatu itu baik-buruk, sukses-gagal, meningkat-menurun, maju-mundur, dll. Persentase kelulusan UN itu angka. Dan angka bisa menyesatkan ketika banyak dimensi direduksi ke dalamnya. Itulah yang terjadi dalam pendidikan kita.
Kita masih andalkan UN sebagai penentu utama kelulusan. Dampaknya, orientasi utama siswa, guru, sekolah, dan pemerintah adalah UN. Bukan lagi penguasaan iptek. Akibat lebih lanjut, sekolah sekadar jadi tempat bimbingan tes. Kegiatan pokoknya adalah "mengajar" agar siswa bisa menjawab soal-soal latihan. Bukan "mendidik" agar siswa mampu memahami dan mengembangkan iptek serta memekarkan diri.
Buahnya mudah kelihatan. Antara lain, dari cara siswa merayakan hasil UN. Mereka mencorat-coret pakaian seragam, konvoi sepanjang jalan, bahkan ada yang mabuk-mabukan. Sebuah perayaan yang jauh dari citra bahwa mereka terdidik (well educated). Sebetulnya tidak mengherankan. Ini hasil logis. Di sekolah mereka tidak dididik koq. Cuma diajar. Sekolah mereka bukan lembaga pendidikan. Tapi, tempat bimbingan tes. Tempat menghadapi UN.
Ada kekecualian, tentu. Dan itu langka. Di Ende, pada pengumuman kelulusan UN SMA/MA, Senin 16 Mei 2911, hanya siswa SMAK Syuradikara yang tidak mencorat-coret pakaian seragam. Padahal, kelulusan mereka 100 persen. Reaksi mereka benar-benar terdidik. Mereka bersorak gembira, berangkulan, bersalaman. Itu saja.
Sekolah lain? Mengerikan. Bukan hanya pakaian seragam yang dicoret-coret. Wajah, rambut, tangan pun dicat warna-warni. Mereka dekil seperti buruh bangunan setengah preman. Mereka menari di jalanan. Beteriak seperti orang gila. Kebut-kebutan. Hmmm. Inilah hasil dari sekolah yang hanya mengajar tapi tidak mendidik. Yang hanya jadi tempat bimbingan tes. Salah satu dampak dari UN!
”Bentara” FLORES POS, Kamis 19 Mei 2011
Label:
corat-coret pakaian seragam,
ende,
flores,
flores pos,
nasional,
ntt,
pendidkan,
un 2011
18 Mei 2011
Ketika Minyak Tanah Langka
Kesan Pembiaran di Kabupaten Ende
Oleh Frans Anggal
Minyak tanah di kota Ende langka. Sudah hampir tiga bulan. Masyarakat resah. Ada dugaan, minyak tanah dibawa keluar Kabupaten Ende. Ini mencuat dalam dialog PMKRI Cabang Ende dengan DPRD Ende, Jumat 13 Mei 2011. PMKRI minta DPRD lakukan kontrol (Flores Pos Sabtu 14 Mei 2011).
Yang cuatkan "teori" itu Ketua DPRD Marsel Petu. Ia menduga kuat, minyak tanah untuk Kabupaten Ende dibawa keluar. Inilah penyebab kelangkaan. "Itu perkiraan saya. Diharapkan ada pengendalian dan pengawasan lintas sektor yang melibatkan polisi, Disperindag, dan Pertamina," katanya.
Selain cuatkan dugaan itu, dialog juga menyebutkan penyebab lain. Yaitu, klaim wilayah. Distributor satu wilayah hanya layani pengecer langganan dalam wilayahnya. Permintaan pengecer dari wilayah lain, yang kehabisan stok, ditolak. Akibatnya, pengecer tidak bisa layani permintaan masyarakat. Semestinya tidak begitu, kata DPRD. Distributor harus layani semua pengecer.
Semua "teori" itu bagus. Langkah konkretnya apa, itu yang tidak jelas. Yang muncul hanya harapan, imbauan. Simaklah: PMKRI minta DPRD jalankan fungsi kontrol. Jawaban DPRD? "Diharapkan ada pengendalian dan pengawasan lintas sektor yang melibatkan polisi, Disperindag, dan Pertamina."
Pengendalian dan pengawasan lintas sektor! Benar. Ini cara tepat atasi kelangkaan minyak tanah. Namun, cara itu hanya bisa benar-benar tepat kalau dilaksanakan. Tidak hanya diharapkan, diimbaukan, diminta, dimohon. Bagaimana agar cara tepat itu benar-benar dilaksanakan, itulah yang semestinya dilakukan DPRD. Minimal gelar dengar pendapat dengan para pihak terkait itu. Ini tidak terjadi.
Akibatnya, selama hampir tiga bulan, selain minyak tanah langka, informasi pun gelap gulita. Masyarakat tidak diberi tahu apa penyebab kelangkaan. Kapan kelangkaan berakhir. Apa langkah yang sebaiknya ditempuh. Masyarakat betul-betul diterlantarkan. Minyak tanah tidak ada. Informasi tidak ada. Petunjuk pun tidak ada.
Menyedihkan, menyaksikan warga kota Ende. Tiap hari pontang-panting hilir-mudik bawa jeriken kosong. Mereka datangi pengecer demi pengecer. Sering pulang dengan tangan hampa. Setelah tanya sana sini, barulah mereka tahu di mana pengecer yang masih punya stok. Mereka ke sana dan membeli mahal, di atas HET (harga eceran tertinggi). Minyak tanah 1 jeriken ukuran 8 botol biasanya Rp20 ribu. Sekarang Rp25-30 ribu.
Pontang-panting seperti ini dan transaksi di atas HET terus berlangsung. Kapan berakhirnya, entahlah. Sepertinya keadaan ini dibiarkan . Pembiaran ini memberi kesan seolah-olah Ende tidak punya pemerintah. Tidak punya Disperindag. Tidak punya Pertamina. Tidak punya DPRD. Kalau mereka benar ada, semestinya kondisi ini tidak berlama-lama.
Kesan lain, seolah-olah Ende tidak punya warga negara (citizen). Yang ada hanya kumpulan manusia, massa. Mereka bergerak cair ke sana kemari, pontang-panting hilir-mudik mencari minyak tanah. Mereka mengeluh. Resah. Tapi hanya sampai di situ. Mereka tidak mengadu. Mereka tidak menuntut haknya sebagai warga negara.
Untung masih ada elemen mahasiwa ekstra kampus. Mereka mempersoalkan keadaan ini. Mereka minta DPRD lakukan kontrol. Pertanyaan kita: kapan DPRD benar-benar mengontrol dan berhenti ber-”teori” tentang kelangkaan minyak tanah? Kapan DPRD gelar dengar pendapat dengan Disperindag, Pertamina, Polres?
”Bentara” FLORES POS, Rabu 18 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Minyak tanah di kota Ende langka. Sudah hampir tiga bulan. Masyarakat resah. Ada dugaan, minyak tanah dibawa keluar Kabupaten Ende. Ini mencuat dalam dialog PMKRI Cabang Ende dengan DPRD Ende, Jumat 13 Mei 2011. PMKRI minta DPRD lakukan kontrol (Flores Pos Sabtu 14 Mei 2011).
Yang cuatkan "teori" itu Ketua DPRD Marsel Petu. Ia menduga kuat, minyak tanah untuk Kabupaten Ende dibawa keluar. Inilah penyebab kelangkaan. "Itu perkiraan saya. Diharapkan ada pengendalian dan pengawasan lintas sektor yang melibatkan polisi, Disperindag, dan Pertamina," katanya.
Selain cuatkan dugaan itu, dialog juga menyebutkan penyebab lain. Yaitu, klaim wilayah. Distributor satu wilayah hanya layani pengecer langganan dalam wilayahnya. Permintaan pengecer dari wilayah lain, yang kehabisan stok, ditolak. Akibatnya, pengecer tidak bisa layani permintaan masyarakat. Semestinya tidak begitu, kata DPRD. Distributor harus layani semua pengecer.
Semua "teori" itu bagus. Langkah konkretnya apa, itu yang tidak jelas. Yang muncul hanya harapan, imbauan. Simaklah: PMKRI minta DPRD jalankan fungsi kontrol. Jawaban DPRD? "Diharapkan ada pengendalian dan pengawasan lintas sektor yang melibatkan polisi, Disperindag, dan Pertamina."
Pengendalian dan pengawasan lintas sektor! Benar. Ini cara tepat atasi kelangkaan minyak tanah. Namun, cara itu hanya bisa benar-benar tepat kalau dilaksanakan. Tidak hanya diharapkan, diimbaukan, diminta, dimohon. Bagaimana agar cara tepat itu benar-benar dilaksanakan, itulah yang semestinya dilakukan DPRD. Minimal gelar dengar pendapat dengan para pihak terkait itu. Ini tidak terjadi.
Akibatnya, selama hampir tiga bulan, selain minyak tanah langka, informasi pun gelap gulita. Masyarakat tidak diberi tahu apa penyebab kelangkaan. Kapan kelangkaan berakhir. Apa langkah yang sebaiknya ditempuh. Masyarakat betul-betul diterlantarkan. Minyak tanah tidak ada. Informasi tidak ada. Petunjuk pun tidak ada.
Menyedihkan, menyaksikan warga kota Ende. Tiap hari pontang-panting hilir-mudik bawa jeriken kosong. Mereka datangi pengecer demi pengecer. Sering pulang dengan tangan hampa. Setelah tanya sana sini, barulah mereka tahu di mana pengecer yang masih punya stok. Mereka ke sana dan membeli mahal, di atas HET (harga eceran tertinggi). Minyak tanah 1 jeriken ukuran 8 botol biasanya Rp20 ribu. Sekarang Rp25-30 ribu.
Pontang-panting seperti ini dan transaksi di atas HET terus berlangsung. Kapan berakhirnya, entahlah. Sepertinya keadaan ini dibiarkan . Pembiaran ini memberi kesan seolah-olah Ende tidak punya pemerintah. Tidak punya Disperindag. Tidak punya Pertamina. Tidak punya DPRD. Kalau mereka benar ada, semestinya kondisi ini tidak berlama-lama.
Kesan lain, seolah-olah Ende tidak punya warga negara (citizen). Yang ada hanya kumpulan manusia, massa. Mereka bergerak cair ke sana kemari, pontang-panting hilir-mudik mencari minyak tanah. Mereka mengeluh. Resah. Tapi hanya sampai di situ. Mereka tidak mengadu. Mereka tidak menuntut haknya sebagai warga negara.
Untung masih ada elemen mahasiwa ekstra kampus. Mereka mempersoalkan keadaan ini. Mereka minta DPRD lakukan kontrol. Pertanyaan kita: kapan DPRD benar-benar mengontrol dan berhenti ber-”teori” tentang kelangkaan minyak tanah? Kapan DPRD gelar dengar pendapat dengan Disperindag, Pertamina, Polres?
”Bentara” FLORES POS, Rabu 18 Mei 2011
16 Mei 2011
Bansos Sikka untuk Pejabat
Dugaan Korupsi Dana Bansos 2009
Oleh Frans Anggal
Pemeriksaan oleh Pansus DPRD Sikka terhadap para pejabat dan pengusaha dalam kasus dana bansos Sikka 2009 senilai Rp10,7 miliar perlihatkan satu hal. Banyak pejabat terlibat. Diperkirakan 25 pejabat akan terseret (Flores Pos Sabtu 14 Mei 2011).
Inilah keterangan para terperiksa. Pertama, tentang keterlibatan legislatif. Ada seorang pimpinan DPRD yang seenaknya mengebon barang di toko. Puluhan juta rupiah nilainya. Nota bon dikirim ke pemegang kas bansos Bagian Kesra. Barang bon diberikan kepada konstituen. Ada juga 4 anggota DPRD yang ajukan proposal minta dana.
Kedua, tentang keterlibatan eksekutif. Ada seorang pejabat penting yang pakai dana bansos untuk biaya kuliah salah satu anggota keluarganya di fakultas kedokteran. Ada pula seorang pejabat penting yang pinjam Rp40 juta dari seorang pengusaha. Ada juga beberapa staf Bagian Kesra yang pinjam puluhan juta rupiah dari seorang pengusaha atas perintah atasan.
Bagaimana pengembaliannya? Gampang: pakai dana bansos! Bagaimana pula caranya? Enteng: pakai kuitansi palsu! Modus ini sudah diakui Bendahara Bagian Kesra Setda Yos Otu pada pemeriksaan sebelumnya. "Saya buat kuitansi fiktif untuk menutupi utang barang dari pihak ketiga" (Flores Pos Kamis 12 Mei 2011).
Berkenaan dengan praktik busuk itu, "Bentara" Flores Pos Kamis 17 Maret 2011 memelesetkan kepanjangan "bansos" di Kabupaten Sikka. Bansos bukan lagi singkatan dari bantuan sosial, tapi bantuan syok-sial. Sebab, bantuan ini tidak lagi untuk yang benar-benar sial, tapi untuk yang pura-pura sial. Yakni, para pejabat legislatif dan eksekutif. Mereka ini pejabat "sialan", sehingga ketiban dana bansos.
Kisah dana bansos Sikka adalah juga kisah penyelenggaraan pemerintahan. Presiden AS Abraham Lincoln pada Pidato Gettysburg, 19 November 1863, "merumuskan" pemerintah yang ideal. Pada kalimat terakhir pidato singkat dan terkenalnya itu, ia menyebut 'pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat' (government of the people, by the people, for the people).
Seandainya Lincoln diizinkan Tuhan hidup kembali dan bertandang ke Sikka sejenak, untuk berpidato, apa yang akan ia katakan? Kemungkinan besar ia akan tetap menutup pidatonya dengan rumusan yang terkenal itu, namun dengan sedikit perubahan pada frasa terakhir. Dalam kasus dana bansos, boleh jadi ia akan bilang begini: pemerintah Sikka adalah 'pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, untuk pejabat'.
Praktik 'untuk pejabat' sangat terasa. Simaklah hasil audit BPK Perwakilan NTT. Hampir setengah dari dana bansos Sikka 2009 dipinjam pakai oleh dua pejabat legislatif. Satunya dalam bentuk uang tunai senilai Rp3,9 miliar. Satunya lagi dalam bentuk barang senilai Rp585 juta (Flores Pos Rabu 16 Maret 2011).
Di Sikka, dana bansos adalah dana untuk pejabat. Maka, banyak pejabat terlibat dalam kasusnya. Karena banyak pejabat terlibat, kita pun bertanya-tanya. Akankah penyelesaian kasus itu adil dan tuntas? Akankah semua pejabat itu tersentuh? Kita punya dasar untuk optimistis. Langkah politik (pansus DPRD) akan mendukung langkah hukum (tim tipikor kejari). Rekomendasi DPRD akan teguhkan sikap, tekad, dan tindak kejari.
Namun kita juga punya alasan untuk pesimistis. Pansus DPRD bisa saja menghambat proses hukum yang adil dan tuntas. Sebagian pejabat yang terlibat itu adalah pejabat penting, di eksekutif dan legislatif. Maka, tarik dorong dan tukar tambah kepentingan akan terjadi. Pansus pun terancam tidak independen. Rekomendasi mereka bisa saja akan mengecewakan. Celaka jadinya kalau kejari terdikte. Semoga tidak.
”Bentara” FLORES POS, Senin 16 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Pemeriksaan oleh Pansus DPRD Sikka terhadap para pejabat dan pengusaha dalam kasus dana bansos Sikka 2009 senilai Rp10,7 miliar perlihatkan satu hal. Banyak pejabat terlibat. Diperkirakan 25 pejabat akan terseret (Flores Pos Sabtu 14 Mei 2011).
Inilah keterangan para terperiksa. Pertama, tentang keterlibatan legislatif. Ada seorang pimpinan DPRD yang seenaknya mengebon barang di toko. Puluhan juta rupiah nilainya. Nota bon dikirim ke pemegang kas bansos Bagian Kesra. Barang bon diberikan kepada konstituen. Ada juga 4 anggota DPRD yang ajukan proposal minta dana.
Kedua, tentang keterlibatan eksekutif. Ada seorang pejabat penting yang pakai dana bansos untuk biaya kuliah salah satu anggota keluarganya di fakultas kedokteran. Ada pula seorang pejabat penting yang pinjam Rp40 juta dari seorang pengusaha. Ada juga beberapa staf Bagian Kesra yang pinjam puluhan juta rupiah dari seorang pengusaha atas perintah atasan.
Bagaimana pengembaliannya? Gampang: pakai dana bansos! Bagaimana pula caranya? Enteng: pakai kuitansi palsu! Modus ini sudah diakui Bendahara Bagian Kesra Setda Yos Otu pada pemeriksaan sebelumnya. "Saya buat kuitansi fiktif untuk menutupi utang barang dari pihak ketiga" (Flores Pos Kamis 12 Mei 2011).
Berkenaan dengan praktik busuk itu, "Bentara" Flores Pos Kamis 17 Maret 2011 memelesetkan kepanjangan "bansos" di Kabupaten Sikka. Bansos bukan lagi singkatan dari bantuan sosial, tapi bantuan syok-sial. Sebab, bantuan ini tidak lagi untuk yang benar-benar sial, tapi untuk yang pura-pura sial. Yakni, para pejabat legislatif dan eksekutif. Mereka ini pejabat "sialan", sehingga ketiban dana bansos.
Kisah dana bansos Sikka adalah juga kisah penyelenggaraan pemerintahan. Presiden AS Abraham Lincoln pada Pidato Gettysburg, 19 November 1863, "merumuskan" pemerintah yang ideal. Pada kalimat terakhir pidato singkat dan terkenalnya itu, ia menyebut 'pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat' (government of the people, by the people, for the people).
Seandainya Lincoln diizinkan Tuhan hidup kembali dan bertandang ke Sikka sejenak, untuk berpidato, apa yang akan ia katakan? Kemungkinan besar ia akan tetap menutup pidatonya dengan rumusan yang terkenal itu, namun dengan sedikit perubahan pada frasa terakhir. Dalam kasus dana bansos, boleh jadi ia akan bilang begini: pemerintah Sikka adalah 'pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, untuk pejabat'.
Praktik 'untuk pejabat' sangat terasa. Simaklah hasil audit BPK Perwakilan NTT. Hampir setengah dari dana bansos Sikka 2009 dipinjam pakai oleh dua pejabat legislatif. Satunya dalam bentuk uang tunai senilai Rp3,9 miliar. Satunya lagi dalam bentuk barang senilai Rp585 juta (Flores Pos Rabu 16 Maret 2011).
Di Sikka, dana bansos adalah dana untuk pejabat. Maka, banyak pejabat terlibat dalam kasusnya. Karena banyak pejabat terlibat, kita pun bertanya-tanya. Akankah penyelesaian kasus itu adil dan tuntas? Akankah semua pejabat itu tersentuh? Kita punya dasar untuk optimistis. Langkah politik (pansus DPRD) akan mendukung langkah hukum (tim tipikor kejari). Rekomendasi DPRD akan teguhkan sikap, tekad, dan tindak kejari.
Namun kita juga punya alasan untuk pesimistis. Pansus DPRD bisa saja menghambat proses hukum yang adil dan tuntas. Sebagian pejabat yang terlibat itu adalah pejabat penting, di eksekutif dan legislatif. Maka, tarik dorong dan tukar tambah kepentingan akan terjadi. Pansus pun terancam tidak independen. Rekomendasi mereka bisa saja akan mengecewakan. Celaka jadinya kalau kejari terdikte. Semoga tidak.
”Bentara” FLORES POS, Senin 16 Mei 2011
Label:
bentara,
dana bansos sikka 2009,
dugaan korupsi,
flores,
flores pos,
hukum,
sikka
15 Mei 2011
Wahai Perawat, Tuntutlah!
Hak atas Pengakuan dan Perlindungan Hukum
Oleh Frans Anggal
Foto master Harian Umum Flores Pos edisi Jumat 13 Mei 2011 menampilkan aksi donor darah para perawat lingkup RSUD Ende. Aksi ini mereka lakukan guna memaknai Hari Perawat Sedunia, 12 Mei.
Hari Perawat dimaknai dengan donor darah. Artinya, dimaknai dengan tindakan nyata kepedulian sosial. Khususnya kepedulian akan kehidupan orang lain. Sebab, setetes darah dapat menyelamatkan jiwa sesama.
Luar biasa. Setiap hari, para perawat "mendonorkan" waktu, tenaga, pikiran, dan perhatian untuk pasien. Di rumah sakit, di puskesmas, di rumah warga. Semuanya itu ternyata dirasa belum cukup. Mungkin karena dianggap biasa, sebagai hal yang seharusnya dilakukan. Karena itu, pada hari yang luar biasa ini, mereka merasa perlu memberikan sesuatu yang luar biasa pula. Yakni, memberikan komponen tubuh mereka sendiri: darah.
Pertanyaan kita: mengapa mereka hanya memberi dan memberi? Apakah Hari Perawat hanyalah momen unjuk pengabdian? Bukan momen unjuk tuntutan? Ada, bahkan banyak, yang semestinya mereka desakkan pada momen istimewa ini. Yakni, apa yang merupakan hak mendasar mereka sebagai perawat. Bukan uang atau gaji, meski itu sangat penting. Tapi, pengakuan dan perlindungan hukum. Ini yang belum ada sampai detik ini.
Di ASEAN, Indonesia negara penghasil perawat dalam jumlah besar. Namun, negara yang kini ketua ASEAN 2011 ini merupakan satu dari tiga negara ASEAN yang belum memiliki UU keperawatan (nursing act). Dua lainnya adalah Laos dan Vietnam. Dalam hal pengakuan dan pelindungan hukum terhadap perawat, Indonesia kalah jauh dari Filipina, Thailand, Malaysia, dan lain-lain.
Ini menyedihkan. Perawat negeri ini berkontribusi besar meningkatan derajat kesehatan masyarakat. Mereka mengabdi di mana-mana. Di kota hingga pelosok desa. Sayang, pengabdian mereka tidak disertai pangakuan dan perlindungan hukum. Sebaliknya, mereka sering jadi sasaran gugatan hukum masyarakat.
Di dalam negeri, mereka tidak dilindungi. Di luar negeri, mereka susah bersaing. Ini dampak tidak adanya UU keperawatan, yang antara lain menjamin kompe¬tensi keilmuan, sikap rasional, etis, dan profesional, serta semangat pengabdian yang memenuhi standar internasional. Belum lama ini perawat Indonesia nyaris dipulangkan oleh pemerintah Kuwait karena sistem pendidikan dan pengakuan kita belum dikenal, sebagaimana pada negara-negara lain yang telah punya UU keperawatan. Maka, di luar negeri, perawat kita hadapi masalah tidak diakui, baik kompetensinya (down grade) maupun legalitas keperawatannya.
Apakah pemerintah, dalam hal ini depkes, begitu bodoh dan pasif sehingga tidak mampu susun dan ajukan RUU keperawatan? Tidak juga. Upaya itu ada. Tapi kandas di gedung DPR. Draf RUU keperawatan telah diajukan sejak 2004 silam. Namun, entah kenapa, sampai sekarang tidak jelas kabar beritanya.
Tampaknya, gedung Senayan yang penuh dengan kutu loncat politik itu kurang tertarik pada RUU satu ini. Padahal urgensitasnya sangat tinggi. Rupanya karena kurang fulus, makanya tidak mulus. Bukan rahasia lagi, di negeri ini, setiap titik dan koma RUU adalah transaksi. Prosesnya penuh dengan tukar tambah kepentingan antara birokrat pembuat hukum, pemesan hukum, dan legislator.
Tuntutan ke DPR harus dilakukan. Terus-menerus. Bila perlu secara besar-besaran. Semestinya, itu jugalah yang dilakukan para perawat, memaknai Hari Perawat tahun ini. Jangan hanya memberi dan memberi. Tuntutlah. Desaklah. Bila perlu, demolah.
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 14 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Foto master Harian Umum Flores Pos edisi Jumat 13 Mei 2011 menampilkan aksi donor darah para perawat lingkup RSUD Ende. Aksi ini mereka lakukan guna memaknai Hari Perawat Sedunia, 12 Mei.
Hari Perawat dimaknai dengan donor darah. Artinya, dimaknai dengan tindakan nyata kepedulian sosial. Khususnya kepedulian akan kehidupan orang lain. Sebab, setetes darah dapat menyelamatkan jiwa sesama.
Luar biasa. Setiap hari, para perawat "mendonorkan" waktu, tenaga, pikiran, dan perhatian untuk pasien. Di rumah sakit, di puskesmas, di rumah warga. Semuanya itu ternyata dirasa belum cukup. Mungkin karena dianggap biasa, sebagai hal yang seharusnya dilakukan. Karena itu, pada hari yang luar biasa ini, mereka merasa perlu memberikan sesuatu yang luar biasa pula. Yakni, memberikan komponen tubuh mereka sendiri: darah.
Pertanyaan kita: mengapa mereka hanya memberi dan memberi? Apakah Hari Perawat hanyalah momen unjuk pengabdian? Bukan momen unjuk tuntutan? Ada, bahkan banyak, yang semestinya mereka desakkan pada momen istimewa ini. Yakni, apa yang merupakan hak mendasar mereka sebagai perawat. Bukan uang atau gaji, meski itu sangat penting. Tapi, pengakuan dan perlindungan hukum. Ini yang belum ada sampai detik ini.
Di ASEAN, Indonesia negara penghasil perawat dalam jumlah besar. Namun, negara yang kini ketua ASEAN 2011 ini merupakan satu dari tiga negara ASEAN yang belum memiliki UU keperawatan (nursing act). Dua lainnya adalah Laos dan Vietnam. Dalam hal pengakuan dan pelindungan hukum terhadap perawat, Indonesia kalah jauh dari Filipina, Thailand, Malaysia, dan lain-lain.
Ini menyedihkan. Perawat negeri ini berkontribusi besar meningkatan derajat kesehatan masyarakat. Mereka mengabdi di mana-mana. Di kota hingga pelosok desa. Sayang, pengabdian mereka tidak disertai pangakuan dan perlindungan hukum. Sebaliknya, mereka sering jadi sasaran gugatan hukum masyarakat.
Di dalam negeri, mereka tidak dilindungi. Di luar negeri, mereka susah bersaing. Ini dampak tidak adanya UU keperawatan, yang antara lain menjamin kompe¬tensi keilmuan, sikap rasional, etis, dan profesional, serta semangat pengabdian yang memenuhi standar internasional. Belum lama ini perawat Indonesia nyaris dipulangkan oleh pemerintah Kuwait karena sistem pendidikan dan pengakuan kita belum dikenal, sebagaimana pada negara-negara lain yang telah punya UU keperawatan. Maka, di luar negeri, perawat kita hadapi masalah tidak diakui, baik kompetensinya (down grade) maupun legalitas keperawatannya.
Apakah pemerintah, dalam hal ini depkes, begitu bodoh dan pasif sehingga tidak mampu susun dan ajukan RUU keperawatan? Tidak juga. Upaya itu ada. Tapi kandas di gedung DPR. Draf RUU keperawatan telah diajukan sejak 2004 silam. Namun, entah kenapa, sampai sekarang tidak jelas kabar beritanya.
Tampaknya, gedung Senayan yang penuh dengan kutu loncat politik itu kurang tertarik pada RUU satu ini. Padahal urgensitasnya sangat tinggi. Rupanya karena kurang fulus, makanya tidak mulus. Bukan rahasia lagi, di negeri ini, setiap titik dan koma RUU adalah transaksi. Prosesnya penuh dengan tukar tambah kepentingan antara birokrat pembuat hukum, pemesan hukum, dan legislator.
Tuntutan ke DPR harus dilakukan. Terus-menerus. Bila perlu secara besar-besaran. Semestinya, itu jugalah yang dilakukan para perawat, memaknai Hari Perawat tahun ini. Jangan hanya memberi dan memberi. Tuntutlah. Desaklah. Bila perlu, demolah.
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 14 Mei 2011
Label:
bentara,
ende,
flores,
hari perawat sedunia 2011,
kesehatan,
nasional. flores pos,
perawat,
ruu keperawatan
Bukan Fiktif Tapi Palsu!
Eufemisme dalam Kasus Korupsi
Oleh Frans Anggal
Dalam kasus korupsi, kata "fiktif" begitu laris. Digunakan oleh hampir semua kalangan. Termasuk aparat penegak hukum. Penggunaannya tercermin dalam pemberitaan media. Kita ambil dua contoh.
Pertama, berita dari Kabupaten Manggarai. "Jaksa Terus Pulbaket Dugaan SPPD Fiktif" (Flores Pos Senin 9 Mei 2011). Diberitakan, Kejari Ruteng terus lakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket) kasus dugaan SPPD fiktif di lingkup Pemkab Manggarai tahun 2010. Total dana SPPD ini Rp1,3 miliar. Sekitar 40 saksi dari PNS dan tenaga honorer telah diperiksa tim tipikor.
Kedua, berita dari Kabupaten Sikka. "Bendahara Kesra Mengaku Buat Kuitansi Fiktif" (Flores Pos Kamis 12 Mei 2011). Berita ini mewartakan keterangan Bendahara Bagian Kesra Setda Sikka Yos Otu saat diperiksa Pansus DPRD dalam kasus dugaan kurupsi dana bansos 2009 senilai Rp10,7 miliar. "Dari 29 kuitansi, ada yang fiktif. Saya buat kuitansi fiktif untuk menutupi utang barang dari pihak ketiga."
Berita pertama: SPPD fiktif. Berita kedua: kuitansi fiktif. Apa arti "fiktif"? Kamus Besar Bahasa Indonesia artikan "fiktif" bersifat fiksi; hanya ada dalam khayalan. The Lexicon Webster Dictionary artikan "fiksi" (fiction) hasil imajinasi. Karena itu, makna lain dari "fiksi" adalah cerita rekaan. Mencakup roman, novel, cerpen, drama, film, sinetron, dll. Semua ceritanya cerita fiktif.
Pertanyaan kita: apakah yang fiktif itu selalu buruk dan jahat? Kalau iya, maka kita harus basmi semua roman, novel, cerpen, drama, film, sinetron. Bila perlu, agar tandas dan tuntas, kita cabut akarnya. Yaitu, imajinasi. Dan karena imajinasi hanya ada pada manusia, maka sekalian saja kita musnah-massal-kan manusianya. Termasuk diri kita sendiri.
Dengan ini, kita mau katakan, yang fiktif tidak otomatis buruk dan jahat. Mengonotasikan yang fiktif itu buruk dan jahat merupakan kesalahan. Demikian pula, kesalahan besar, menyebut sesuatu itu fiktif padahal tidak fiktif. Kesalahan inilah yang terjadi dalam wacana pemberantasan korupsi. Contohnya, istilah dalam dua berita tadi. SPPD fiktif dan kuitansi fiktif.
Kata "fiktif" di sini sama sekali tidak tegas menunjukkan bahwa tindakan yang diterangkan kata itu buruk dan jahat. Kesannya seolah-olah begini: sebagaimana cerita fiktif tidak otomatis buruk dan jahat, demikian pula SPPD fiktif dan kuitansi fiktif. Jangan-jangan, suatu saat nanti, sebagai hasil imajinasi, SPPD fiktif dan kuitansi fiktif disejajarkan dengan roman, novel, cerpen, drama, film, sinetron.
Gejala apa yang terjadi dengan dua istilah ini? Eufemisme! Penghalusan ungkapan. Pelemahlembutan kata. Penyopansantunan bahasa. Yang begini-begini jagonya orang Indonesia. Rakyat lapar dihaluskan jadi rakyat "rawan pangan". Harga naik, oh bukan, harga "disesuaikan". Gaji tidak dibayar, oh bukan, gaji "belum" dibayar. Ditangkap polisi disebut "diamankan", padahal yang ditangkap itu tidak aman.
Disadari atau tidak, mekanisme psikologi berbahasa seperti itu jugalah yang terjadi ketika kita menghaluskan, melemahlembutkan, menyopan¬santunkan tindak kejahatan korupsi. SPPD tipu-tipuan koq disebut SPPD fiktif. Padahal itu SPPD palsu. Kuitansi bohong-bohongan kog disebut kuitansi fiktif. padahal itu kuitansi palsu.
Kata "palsu" lebih jelas, lebih tegas, dan lebih tepat menunjukkan dimensi kejahatan dari tindakan itu. Sebaliknya kata "fiktif" hanya mengaburkannya, untuk kemudian, mungkin, menguburkannya. Simaklah KUHP. Yang ada di sana hanyalah istilah “pemalsuan”. Tidak ada istilah “pemfiktifan”. Hmmm.
”Bentara” FLORES POS, Jumat 13 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Dalam kasus korupsi, kata "fiktif" begitu laris. Digunakan oleh hampir semua kalangan. Termasuk aparat penegak hukum. Penggunaannya tercermin dalam pemberitaan media. Kita ambil dua contoh.
Pertama, berita dari Kabupaten Manggarai. "Jaksa Terus Pulbaket Dugaan SPPD Fiktif" (Flores Pos Senin 9 Mei 2011). Diberitakan, Kejari Ruteng terus lakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket) kasus dugaan SPPD fiktif di lingkup Pemkab Manggarai tahun 2010. Total dana SPPD ini Rp1,3 miliar. Sekitar 40 saksi dari PNS dan tenaga honorer telah diperiksa tim tipikor.
Kedua, berita dari Kabupaten Sikka. "Bendahara Kesra Mengaku Buat Kuitansi Fiktif" (Flores Pos Kamis 12 Mei 2011). Berita ini mewartakan keterangan Bendahara Bagian Kesra Setda Sikka Yos Otu saat diperiksa Pansus DPRD dalam kasus dugaan kurupsi dana bansos 2009 senilai Rp10,7 miliar. "Dari 29 kuitansi, ada yang fiktif. Saya buat kuitansi fiktif untuk menutupi utang barang dari pihak ketiga."
Berita pertama: SPPD fiktif. Berita kedua: kuitansi fiktif. Apa arti "fiktif"? Kamus Besar Bahasa Indonesia artikan "fiktif" bersifat fiksi; hanya ada dalam khayalan. The Lexicon Webster Dictionary artikan "fiksi" (fiction) hasil imajinasi. Karena itu, makna lain dari "fiksi" adalah cerita rekaan. Mencakup roman, novel, cerpen, drama, film, sinetron, dll. Semua ceritanya cerita fiktif.
Pertanyaan kita: apakah yang fiktif itu selalu buruk dan jahat? Kalau iya, maka kita harus basmi semua roman, novel, cerpen, drama, film, sinetron. Bila perlu, agar tandas dan tuntas, kita cabut akarnya. Yaitu, imajinasi. Dan karena imajinasi hanya ada pada manusia, maka sekalian saja kita musnah-massal-kan manusianya. Termasuk diri kita sendiri.
Dengan ini, kita mau katakan, yang fiktif tidak otomatis buruk dan jahat. Mengonotasikan yang fiktif itu buruk dan jahat merupakan kesalahan. Demikian pula, kesalahan besar, menyebut sesuatu itu fiktif padahal tidak fiktif. Kesalahan inilah yang terjadi dalam wacana pemberantasan korupsi. Contohnya, istilah dalam dua berita tadi. SPPD fiktif dan kuitansi fiktif.
Kata "fiktif" di sini sama sekali tidak tegas menunjukkan bahwa tindakan yang diterangkan kata itu buruk dan jahat. Kesannya seolah-olah begini: sebagaimana cerita fiktif tidak otomatis buruk dan jahat, demikian pula SPPD fiktif dan kuitansi fiktif. Jangan-jangan, suatu saat nanti, sebagai hasil imajinasi, SPPD fiktif dan kuitansi fiktif disejajarkan dengan roman, novel, cerpen, drama, film, sinetron.
Gejala apa yang terjadi dengan dua istilah ini? Eufemisme! Penghalusan ungkapan. Pelemahlembutan kata. Penyopansantunan bahasa. Yang begini-begini jagonya orang Indonesia. Rakyat lapar dihaluskan jadi rakyat "rawan pangan". Harga naik, oh bukan, harga "disesuaikan". Gaji tidak dibayar, oh bukan, gaji "belum" dibayar. Ditangkap polisi disebut "diamankan", padahal yang ditangkap itu tidak aman.
Disadari atau tidak, mekanisme psikologi berbahasa seperti itu jugalah yang terjadi ketika kita menghaluskan, melemahlembutkan, menyopan¬santunkan tindak kejahatan korupsi. SPPD tipu-tipuan koq disebut SPPD fiktif. Padahal itu SPPD palsu. Kuitansi bohong-bohongan kog disebut kuitansi fiktif. padahal itu kuitansi palsu.
Kata "palsu" lebih jelas, lebih tegas, dan lebih tepat menunjukkan dimensi kejahatan dari tindakan itu. Sebaliknya kata "fiktif" hanya mengaburkannya, untuk kemudian, mungkin, menguburkannya. Simaklah KUHP. Yang ada di sana hanyalah istilah “pemalsuan”. Tidak ada istilah “pemfiktifan”. Hmmm.
”Bentara” FLORES POS, Jumat 13 Mei 2011
Label:
bentara,
eufemisme,
flores pos,
hukum,
kuitansi fiktif,
kuitansi palsu,
sppd fiktif,
sppd palsu
12 Mei 2011
Bunuh Diri Bansos Sikka
Kasus Dugaan Korupsi Dana Bansos 2009
Oleh Frans Anggal
Bendahara dana bantuan sosial (bansos) pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (PPKAD) Sikka Godfridus Faustinus mencoba bunuh diri dengan minum obat pembasmi serangga, Senin 9 Mei 2011. Ini terjadi jelang pemeriksaannya hari itu oleh Pansus DPRD terkait dana bansos Rp10,7 miliar yang dikelola Bagian Kesra Setda Sikka (Flores Pos Rabu 11 Mei 2011).
"Senin siang korban masuk kantor. Sekitar 5 menit tiba di kantor, korban masuk toilet. Di toilet korban muntah-muntah dan terjatuh. Korban dilarikan ke RSUD Maumere oleh teman-teman kantornya," tutur Kasat Reskrim Polres Sikka M. Arif Sadikin. "Dari muntah korban tercium bau seperti bau tiner cat. Menurut diagnosis dokter, korban keracunan cairan berbahaya sejensi obat serangga."
Menurut polisi, ini upaya bunuh diri. Untuk hindari pemeriksaan oleh pansus. "Ia akan dimintai keterangan karena dia bendahara untuk semua dana bansos, termasuk untuk bansos yang dikelola Bagian Kesra," kata Kadis PPKAD Robert da Silva.
Kenapa harus bunuh diri? Kenapa tidak dengan cara lain? Cara Eddy Tansil? Ia pengusaha Indonesia yang keberadaanya tidak diketahui setelah buron. Ia lari dari penjara Cipinang, Jakarta, 4 Mei 1996, saat tengah jalani hukuman 20 tahun penjara karena terbukti gelapkan uang 565 juta dolar AS (sekitar Rp1,5 triliun dengan kurs saat itu) yang didapatnya melalui kredit Bank Bapindo melalui grup perusahaan Golden Key Group. Konon, kini ia berbisnis di Cina.
Tindakan Eddy Tansil tak dapat dibenarkan. Namun, itu lebih kurang buruknya ketimbang bunuh diri. Orang yang larikan diri masih punya harapan. Bahkan didorong harapan. Sebaliknya, orang yang bunuh diri, tidak punya harapan. Inilah faktor terbesar bunuh diri. Terutama pada penderita depresi berat.
Kita yakin, depresi beratlah yang menimpa Godfridus Faustinus. Depresinya sudah lama. Intensitasnya meningkat sejak BPK Perwakilan NTT ungkapkan dugaan korupsi dana bansos 2009. Dugaan itu meliputi bantuan emergensi bencana gunung api Egon Rp656 juta lebih. Bantuan emergensi kebakaran rumah tinggal Rp6 miliar lebih. Bantuan emergensi bencana angin topan Rp681 juta lebih. Bantuan emergensi bencana banjir, abrasi, dan tanah longsor Rp828 juta lebih. Belanja tak terduga tahun anggaran 2009 Rp1 miliar lebih. Utang dalam bentuk barang pada salah satu mantan anggota DPRD Rp585 juta lebih. Utang dalam bentuk uang tunai pada salah satu mantan anggota DPRD Rp3,9 miliar.
Mana tidak depresi. Angka pada butir kegiatan itu besar-besar. Seakan-akan sudah tergambarkan, nilai kerugian negara pasti besar, dan hukuman penjaranya pasti lama. Semua itu terasa kian dekat ketika pansus jadwalkan pemeriksaan. Depresi makin berat. Akhirnya putus asa. Racun serangga pun ditenggak.
Capek-capek bunuh diri, eh, tidak mati. Rugi dobel dia. Rugi pertama, dia semaput. Rugi kedua, dia tetap (akan) diperiksa. Kalau mau luput, hanya ada dua cara. Larikan diri seperti Eddy Tansil. Atau, bunuh diri sampai mati.
Terlepas dari penilaian moral, usaha bunuh diri ini semakin teguhkan keyakinan kita: dana bansos 2009 bermasalah. Usaha bunuh diri itu penghindaran. Sebelumnya, ketika jaksa pulbaket, akses ke dokumen administratif dihalang-halangi kalangan tertentu.
Dengan dua fenomena itu, kini kita patut pertanyakan juga kebakaran kantor bupati Sikka, 26 Desember 2009. Tepat di akhir tahun! Penghilangan barang bukti? Kata Bendahara Bagian Kesra Yos Otu, semua data keuangan bansos 2009 ikut terbakar. Aha!
”Bentara” FLORES POS, Kamis 12 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Bendahara dana bantuan sosial (bansos) pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (PPKAD) Sikka Godfridus Faustinus mencoba bunuh diri dengan minum obat pembasmi serangga, Senin 9 Mei 2011. Ini terjadi jelang pemeriksaannya hari itu oleh Pansus DPRD terkait dana bansos Rp10,7 miliar yang dikelola Bagian Kesra Setda Sikka (Flores Pos Rabu 11 Mei 2011).
"Senin siang korban masuk kantor. Sekitar 5 menit tiba di kantor, korban masuk toilet. Di toilet korban muntah-muntah dan terjatuh. Korban dilarikan ke RSUD Maumere oleh teman-teman kantornya," tutur Kasat Reskrim Polres Sikka M. Arif Sadikin. "Dari muntah korban tercium bau seperti bau tiner cat. Menurut diagnosis dokter, korban keracunan cairan berbahaya sejensi obat serangga."
Menurut polisi, ini upaya bunuh diri. Untuk hindari pemeriksaan oleh pansus. "Ia akan dimintai keterangan karena dia bendahara untuk semua dana bansos, termasuk untuk bansos yang dikelola Bagian Kesra," kata Kadis PPKAD Robert da Silva.
Kenapa harus bunuh diri? Kenapa tidak dengan cara lain? Cara Eddy Tansil? Ia pengusaha Indonesia yang keberadaanya tidak diketahui setelah buron. Ia lari dari penjara Cipinang, Jakarta, 4 Mei 1996, saat tengah jalani hukuman 20 tahun penjara karena terbukti gelapkan uang 565 juta dolar AS (sekitar Rp1,5 triliun dengan kurs saat itu) yang didapatnya melalui kredit Bank Bapindo melalui grup perusahaan Golden Key Group. Konon, kini ia berbisnis di Cina.
Tindakan Eddy Tansil tak dapat dibenarkan. Namun, itu lebih kurang buruknya ketimbang bunuh diri. Orang yang larikan diri masih punya harapan. Bahkan didorong harapan. Sebaliknya, orang yang bunuh diri, tidak punya harapan. Inilah faktor terbesar bunuh diri. Terutama pada penderita depresi berat.
Kita yakin, depresi beratlah yang menimpa Godfridus Faustinus. Depresinya sudah lama. Intensitasnya meningkat sejak BPK Perwakilan NTT ungkapkan dugaan korupsi dana bansos 2009. Dugaan itu meliputi bantuan emergensi bencana gunung api Egon Rp656 juta lebih. Bantuan emergensi kebakaran rumah tinggal Rp6 miliar lebih. Bantuan emergensi bencana angin topan Rp681 juta lebih. Bantuan emergensi bencana banjir, abrasi, dan tanah longsor Rp828 juta lebih. Belanja tak terduga tahun anggaran 2009 Rp1 miliar lebih. Utang dalam bentuk barang pada salah satu mantan anggota DPRD Rp585 juta lebih. Utang dalam bentuk uang tunai pada salah satu mantan anggota DPRD Rp3,9 miliar.
Mana tidak depresi. Angka pada butir kegiatan itu besar-besar. Seakan-akan sudah tergambarkan, nilai kerugian negara pasti besar, dan hukuman penjaranya pasti lama. Semua itu terasa kian dekat ketika pansus jadwalkan pemeriksaan. Depresi makin berat. Akhirnya putus asa. Racun serangga pun ditenggak.
Capek-capek bunuh diri, eh, tidak mati. Rugi dobel dia. Rugi pertama, dia semaput. Rugi kedua, dia tetap (akan) diperiksa. Kalau mau luput, hanya ada dua cara. Larikan diri seperti Eddy Tansil. Atau, bunuh diri sampai mati.
Terlepas dari penilaian moral, usaha bunuh diri ini semakin teguhkan keyakinan kita: dana bansos 2009 bermasalah. Usaha bunuh diri itu penghindaran. Sebelumnya, ketika jaksa pulbaket, akses ke dokumen administratif dihalang-halangi kalangan tertentu.
Dengan dua fenomena itu, kini kita patut pertanyakan juga kebakaran kantor bupati Sikka, 26 Desember 2009. Tepat di akhir tahun! Penghilangan barang bukti? Kata Bendahara Bagian Kesra Yos Otu, semua data keuangan bansos 2009 ikut terbakar. Aha!
”Bentara” FLORES POS, Kamis 12 Mei 2011
11 Mei 2011
Sikka: Dari Coremap, Lalu?
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Oleh Frans Anggal
Desa Permaan, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka, sukses dengan rumput laut. Setahun terakhir, desa pesisir ini pasarkan 1.200 ton rumput laut ke Surabaya, senilai Rp9,6 miliar, dengan harga Rp8.000 per kg. Permaan satu dari 44 desa binaan program Coral Reef Mapping (Coremap), program pelestarian terumbu karang (Flores Pos Senin 9 Mei 2011).
Coremap masuk Sikka pada 2004. Didanai APBN dan APBD. Pada tahap pertama, Coremap I, desa binaannya hanya enam. Pada tahap kedua, Coremap II, jumlahnya meningkat menjadi 34 desa. Saat ini sudah mencapai 44 desa. Artinya 27,5% dari total 160 desa/kelurahan di Kabupaten Sikka merupakan desa binaan Coremap.
Bukan hanya jumlah desa binaan yang bertambah. Hasil dari desa binaan juga meningkat. Pada 2007, Kabupaten Sikka hasilkan 819 ton rumput laut. Itu jumlah kumulatif dari satu kabupaten. Empat tahun kemudian, 2011, jumlah ini kalah jauh dari jumlah yang dihasilan hanya oleh satu desa, Desa Permaan, yang memproduksi 1.200 ton.
Bukan hanya hasilnya yang bertambah. Nilai penjualannya juga meningkat. Tahun 2006 harga rumput laut Rp5.000 per kg. Tahun 2007 naik menjadi Rp7.000. Tahun 2011 naik lagi menjadi Rp8.000. Produksi meningkat dengan harga jual meningkat telah membawa dampak penyejahteraan masyarakat.
Di Desa Permaan, sebelum 2006, hanya satu dua anak yang bisa melanjut ke pendidikan tinggi. Tahun 2011 tercatat sudah 40 anak. Mereka kuliah di berbagai perguran tinggi di Indonesia. "Pembiyaan untuk kelanjutan pendidikan ini dari hasil produksi rumput laut," kata Kades Saeda Ahmad.
Naik haji. Kini tiap tahun dua orang dari Desa Permaan. "Jumlahnya sebenarnya jauh lebih banyak, tapi karena adanya pembatasan kuota maka tiap tahun hanya ada jatah dua orang," kata kades.
Siapakah mereka yang sukses ini? Sebelum Coremap masuk, mereka adalah nelayan. Mereka biasa gunakan bahan peledak untuk tangkap ikan. Akibatnya, terumbu karang (coral reef) rusak. Melalui Coremap, mereka disadarkan. Secara bertahap mereka tinggalkan kebiasaan mengebom. Perlahan mereka beralih profesi menjadi petani rumput laut.
Sukses Coremap di Sikka, dengan demikian, adalah sukses menyelamatkan terumbu karang dan sukses menyejahterakan masyarakat pesisir. Berkat sukses ini dan kualitas rumput lautnya, Sikka dibabtis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI menjadi laboratorium rumput laut di Indonesia (Flores Pos Selasa 10 Mei 2011).
Tidak hanya itu. Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan tiga desa pesisir di Sikka menjadi Desa Minapolitan. Yaitu Desa Permaan, Desa Kojadoi, dan Desa Kojagete. Minapolitan adalah konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan sistem dan manajemen kawasan dengan prinsip integrasi, efisiensi, kualitas, dan akselerasi.
Kalau Coremap dengan produksi rumput lautnya telah nyata menyejahterakan masyarakat pesisir, apakah Minapolitan juga akan demikian? Minapolitan itu menggenjot budi daya. Sebab, ia mengusung visa besar: Indonesia menjadi penghasil produksi kelautan dan perikanan terbesar dunia 2015. Penggenjotan membutuhkan modal besar dan keterampilan tinggi. Siapa yang miliki itu? Pengusaha besar atau masyarakat pesisir? Apakah masyarakat pesisir akan jadi tuan seperti pada Coremap? Atau jadi buruh seperti pada usaha tambak berskala besar?
”Bentara” FLORES POS, Rabu 11 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Desa Permaan, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka, sukses dengan rumput laut. Setahun terakhir, desa pesisir ini pasarkan 1.200 ton rumput laut ke Surabaya, senilai Rp9,6 miliar, dengan harga Rp8.000 per kg. Permaan satu dari 44 desa binaan program Coral Reef Mapping (Coremap), program pelestarian terumbu karang (Flores Pos Senin 9 Mei 2011).
Coremap masuk Sikka pada 2004. Didanai APBN dan APBD. Pada tahap pertama, Coremap I, desa binaannya hanya enam. Pada tahap kedua, Coremap II, jumlahnya meningkat menjadi 34 desa. Saat ini sudah mencapai 44 desa. Artinya 27,5% dari total 160 desa/kelurahan di Kabupaten Sikka merupakan desa binaan Coremap.
Bukan hanya jumlah desa binaan yang bertambah. Hasil dari desa binaan juga meningkat. Pada 2007, Kabupaten Sikka hasilkan 819 ton rumput laut. Itu jumlah kumulatif dari satu kabupaten. Empat tahun kemudian, 2011, jumlah ini kalah jauh dari jumlah yang dihasilan hanya oleh satu desa, Desa Permaan, yang memproduksi 1.200 ton.
Bukan hanya hasilnya yang bertambah. Nilai penjualannya juga meningkat. Tahun 2006 harga rumput laut Rp5.000 per kg. Tahun 2007 naik menjadi Rp7.000. Tahun 2011 naik lagi menjadi Rp8.000. Produksi meningkat dengan harga jual meningkat telah membawa dampak penyejahteraan masyarakat.
Di Desa Permaan, sebelum 2006, hanya satu dua anak yang bisa melanjut ke pendidikan tinggi. Tahun 2011 tercatat sudah 40 anak. Mereka kuliah di berbagai perguran tinggi di Indonesia. "Pembiyaan untuk kelanjutan pendidikan ini dari hasil produksi rumput laut," kata Kades Saeda Ahmad.
Naik haji. Kini tiap tahun dua orang dari Desa Permaan. "Jumlahnya sebenarnya jauh lebih banyak, tapi karena adanya pembatasan kuota maka tiap tahun hanya ada jatah dua orang," kata kades.
Siapakah mereka yang sukses ini? Sebelum Coremap masuk, mereka adalah nelayan. Mereka biasa gunakan bahan peledak untuk tangkap ikan. Akibatnya, terumbu karang (coral reef) rusak. Melalui Coremap, mereka disadarkan. Secara bertahap mereka tinggalkan kebiasaan mengebom. Perlahan mereka beralih profesi menjadi petani rumput laut.
Sukses Coremap di Sikka, dengan demikian, adalah sukses menyelamatkan terumbu karang dan sukses menyejahterakan masyarakat pesisir. Berkat sukses ini dan kualitas rumput lautnya, Sikka dibabtis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI menjadi laboratorium rumput laut di Indonesia (Flores Pos Selasa 10 Mei 2011).
Tidak hanya itu. Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan tiga desa pesisir di Sikka menjadi Desa Minapolitan. Yaitu Desa Permaan, Desa Kojadoi, dan Desa Kojagete. Minapolitan adalah konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan sistem dan manajemen kawasan dengan prinsip integrasi, efisiensi, kualitas, dan akselerasi.
Kalau Coremap dengan produksi rumput lautnya telah nyata menyejahterakan masyarakat pesisir, apakah Minapolitan juga akan demikian? Minapolitan itu menggenjot budi daya. Sebab, ia mengusung visa besar: Indonesia menjadi penghasil produksi kelautan dan perikanan terbesar dunia 2015. Penggenjotan membutuhkan modal besar dan keterampilan tinggi. Siapa yang miliki itu? Pengusaha besar atau masyarakat pesisir? Apakah masyarakat pesisir akan jadi tuan seperti pada Coremap? Atau jadi buruh seperti pada usaha tambak berskala besar?
”Bentara” FLORES POS, Rabu 11 Mei 2011
Label:
bentara,
coremap,
desa permaan,
flores,
flores pos,
kelautan dan perikanan,
minapolitan,
rumput laut,
sikka
10 Mei 2011
SPPD Fiktif di Manggarai
Penegakan Hukum dan Kondisi Empiris
Oleh Frans Anggal
Kejari Ruteng terus lakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket) kasus dugaan SPPD fiktif di lingkup Pemkab Manggarai tahun 2010. Total dana SPPD 2010 adalah Rp1,3 miliar. Sekitar 40 saksi dari PNS dan tenaga honorer telah diperiksa tim tindak pidana korupsi (tipikor). Terperiksa mencakup pimpinan dan anak buah (Flores Pos Senin 9 Mei 2011)
Dari pemeriksaan, kata Kajari Gembong Priyanto, terlihat keterangan saksi yang satu berbeda dengan keterangan saksi yang lain. Terutama menyangkut lamanya bertugas sebagaimana tertera dalam SPPD.
Meski demikian, kejari belum bisa menarik simpulan. Banyak unsur harus dipenuhi. Yang tidak gampang, antara lain, pengecekan kebenaran pelaksanaan perjalanan dinas. Tiap tempat tujuan dalam SPPD harus didatangi. Perlu waktu, tenaga, dan biaya yang cukup. "Jangan-jangan biaya pengecekan itu jauh lebih besar dari nilai kerugian negara," kata Kajari Priyanto.
Awasan itu tidak mengada-ada. Hitunglah, selama 2010, total perjanan dinas semua instansi. Jangan-jangan tembus ratusan. Tempat tujuannya variatif. Dalam kabupaten, luar kabupaten. Dalam provinsi, luar privinsi. Dalam negeri, luar negeri. Kalau semua tempat ini harus didatangi tim tipikor, berapa kuat mereka? Kapan selesainya? Berapa biayanya?
“Jangan-jangan biaya pengecekan itu jauh lebih besar dari nilai kerugian negara," kata Kajari Priyanto. Tepat! Ia menyentuh persoalan penting. Bahwa, dalam kasus tertentu, penegakan hukum (law enforcement) pada akhirnya perlu dibatasi. Perlu dikompromikan dengan kondisi empiris.
Contoh yang menarik pernah dikemukakan sosiolog Ignas Kleden dalam artikelnya "Kontradiksi Legitimasi dan Legalitas" (Kompas Senin 2 Agustus 1999). Seandainya 75 persen pegawai dan pejabat pemerintah Indonesia lakukan korupsi, dan penegakan hukum yang tuntas harus dijalankan, maka semua mereka pasti masuk penjara. Muncul soal. Pertama, daya tampung penjara tidak akan cukup. Kedua, mesin birokrasi akan macet. Sebab, tidak bisa dilayani oleh 25 persen PNS yang tidak korupsi.
Dengan dampak penegakan hukum seperti ini, apakah korupsi harus dianggap tidak melanggar hukum? Tentu tidak. Contoh kasus di atas hanya hendak menekankan bahwa penegakan hukum perlu mempertimbangkan kondisi-kondisi empiris.
Dalam penegakan hukum kasus dugaan SPPD fiktif di lingkup Pemkab Manggarai, kondisi empiris itu mencakup banyak hal. Mulai dari jumlah kasus, jumlah personel tim tipikor, jangka waktu penyelidikan dan penyidikan, jarak yang harus ditempuh, dan biaya yang harus dikeluarkan.
Kondisi empiris itu perlu dipetimbangkan. Tidak untuk membatalkan penegakan hukum. Tapi untuk mengefektifkan dan mengefisienkannya. Sedemikian, sehingga yang diawaskan Kajari Priyanto tidak perlu terjadi: biaya penegakan hukum jauh lebih besar daripada nilai kerugian negara. Untuk itu, perlu ada skala prioritas. Pepatah Latin bilang, Aquila non capit muscas. Elang tidak menangkap lalat. Sebagai elang, kejari jangan incar pegawai kecil. Incarlah pejabat.
Itu akan lebih efektif dan efisien ketimbang incar semua pegawai, tapi tidak satu pun yang sukses. Jangan sampai, sudah sedemikian besar biaya yang dikeluarkan, eh, hasilnya belum bisa rampung dalam setahun. Maka proses hukum dugaan SPPD fiktif 2010 pun jadi "proyek multiyears" kejari. Kajari datang silih berganti, "proyek" itu tidak selesai-selesai. Kenapa? Karena sudah dijadikan mesin uang alias sapi perah.
"Bentara” FLORES POS, Selasa 10 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Kejari Ruteng terus lakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket) kasus dugaan SPPD fiktif di lingkup Pemkab Manggarai tahun 2010. Total dana SPPD 2010 adalah Rp1,3 miliar. Sekitar 40 saksi dari PNS dan tenaga honorer telah diperiksa tim tindak pidana korupsi (tipikor). Terperiksa mencakup pimpinan dan anak buah (Flores Pos Senin 9 Mei 2011)
Dari pemeriksaan, kata Kajari Gembong Priyanto, terlihat keterangan saksi yang satu berbeda dengan keterangan saksi yang lain. Terutama menyangkut lamanya bertugas sebagaimana tertera dalam SPPD.
Meski demikian, kejari belum bisa menarik simpulan. Banyak unsur harus dipenuhi. Yang tidak gampang, antara lain, pengecekan kebenaran pelaksanaan perjalanan dinas. Tiap tempat tujuan dalam SPPD harus didatangi. Perlu waktu, tenaga, dan biaya yang cukup. "Jangan-jangan biaya pengecekan itu jauh lebih besar dari nilai kerugian negara," kata Kajari Priyanto.
Awasan itu tidak mengada-ada. Hitunglah, selama 2010, total perjanan dinas semua instansi. Jangan-jangan tembus ratusan. Tempat tujuannya variatif. Dalam kabupaten, luar kabupaten. Dalam provinsi, luar privinsi. Dalam negeri, luar negeri. Kalau semua tempat ini harus didatangi tim tipikor, berapa kuat mereka? Kapan selesainya? Berapa biayanya?
“Jangan-jangan biaya pengecekan itu jauh lebih besar dari nilai kerugian negara," kata Kajari Priyanto. Tepat! Ia menyentuh persoalan penting. Bahwa, dalam kasus tertentu, penegakan hukum (law enforcement) pada akhirnya perlu dibatasi. Perlu dikompromikan dengan kondisi empiris.
Contoh yang menarik pernah dikemukakan sosiolog Ignas Kleden dalam artikelnya "Kontradiksi Legitimasi dan Legalitas" (Kompas Senin 2 Agustus 1999). Seandainya 75 persen pegawai dan pejabat pemerintah Indonesia lakukan korupsi, dan penegakan hukum yang tuntas harus dijalankan, maka semua mereka pasti masuk penjara. Muncul soal. Pertama, daya tampung penjara tidak akan cukup. Kedua, mesin birokrasi akan macet. Sebab, tidak bisa dilayani oleh 25 persen PNS yang tidak korupsi.
Dengan dampak penegakan hukum seperti ini, apakah korupsi harus dianggap tidak melanggar hukum? Tentu tidak. Contoh kasus di atas hanya hendak menekankan bahwa penegakan hukum perlu mempertimbangkan kondisi-kondisi empiris.
Dalam penegakan hukum kasus dugaan SPPD fiktif di lingkup Pemkab Manggarai, kondisi empiris itu mencakup banyak hal. Mulai dari jumlah kasus, jumlah personel tim tipikor, jangka waktu penyelidikan dan penyidikan, jarak yang harus ditempuh, dan biaya yang harus dikeluarkan.
Kondisi empiris itu perlu dipetimbangkan. Tidak untuk membatalkan penegakan hukum. Tapi untuk mengefektifkan dan mengefisienkannya. Sedemikian, sehingga yang diawaskan Kajari Priyanto tidak perlu terjadi: biaya penegakan hukum jauh lebih besar daripada nilai kerugian negara. Untuk itu, perlu ada skala prioritas. Pepatah Latin bilang, Aquila non capit muscas. Elang tidak menangkap lalat. Sebagai elang, kejari jangan incar pegawai kecil. Incarlah pejabat.
Itu akan lebih efektif dan efisien ketimbang incar semua pegawai, tapi tidak satu pun yang sukses. Jangan sampai, sudah sedemikian besar biaya yang dikeluarkan, eh, hasilnya belum bisa rampung dalam setahun. Maka proses hukum dugaan SPPD fiktif 2010 pun jadi "proyek multiyears" kejari. Kajari datang silih berganti, "proyek" itu tidak selesai-selesai. Kenapa? Karena sudah dijadikan mesin uang alias sapi perah.
"Bentara” FLORES POS, Selasa 10 Mei 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kajari ruteng gembong priyanto,
kejari ruteng,
korupsi,
menggarai,
pemkab manggarai,
sppd fiktif
09 Mei 2011
Ibu Nifas di RSUD Bajawa
Keluhan Perlakukan Diskriminatif
Oleh Frans Anggal
Pasien keluhkan pelayanan RSUD Bajawa. Diskriminatif. Perlakukan ini menimpa Paulina Sawu asal Desa Dadawea, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada. Ia masuk rumah sakit karena hendak melahirkan, Senin 25 April 2011 (Flores Pos Sabtu 7 Mei 2011).
Beginilah perlakuan yang dialaminya. Setelah tiga hari dirawat, ia tidak lagi kebagian jatah makan. Saat ditanya alasannya, petugas menjawab: Paulina Sawu tidak lagi berstatus pasien, karena sudah sehat. Sedangkan bayinya masih dirawat di inkubator. Dengan alasan yang sama, tempat tidurnya ditempati pasien lain. Sedangkan dia ditempatkan di ruang inkubator. Tanpa tempat tidur. Tidur di lantai.
Karena kaki pasien ini membengkak, suaminya Hubertus Uta melaporkan keadaan itu ke petugas. Dilakukanlah pemeriksaan. Hasil pemeriksaan: ibu melahirkan ini menderita hipertensi atau darah tinggi. Maka, ia dikembalikan ke tempat perawatan semula, di ruang ekonomi. Di sana barulah ia mendapat tempat tidur. Juga mendapat jatah makan.
Direktris RSUD Bajawa Dokter Maria Wea Betu membantah adanya perlakukan diskriminatif dalam kasus ini. Menurut dia, ibu melahirkan itu tidak lagi berstatus pasien karena sudah sehat. Karena si ibu sudah sehat, yang menjadi pasien tinggal bayinya.
Hal lain, yang terkait erat dengan itu, RSUD Bajawa kekurangan tempat tidur. Hanya 22 buah. Sedangkan pasien di ruang persalinan saat itu 27 orang. "Jadi (dengan kondisi seperti ini), yang sudah sehat bisa keluar dan bisa menginap di luar. Sedangkan pasien dari luar Bajawa ditampung di suatu ruangan bagian belakang. Dan tiap dua jam menyusui bayinya," kata Dokter Maria.
Penjelasan ini menerangkan satu hal. Masalah paling utama di RSUD Bajawa saat ini, dalam kasus ini, adalah fasilitas. Rumah sakit kekurangan tempat tidur. Keadaan ini mengharuskan pengaturan tertentu manakala jumlah pasien melebih daya tampung.
Dari kasus ini dan penjelasan direktris, kita menangkap pengaturan di RSUD Bajawa kurang lebih sebagai berikut. Ibu melahirkan, kalau sudah sehat, tidak diperkenankan lagi menginap di rumah sakit, meski bayinya sedang dirawat. Kalau tetap ngotot menginap maka, maaf beribu maaf, bersiaplah terima risiko. Pertama, tidur di lantai. Kedua, tidak dapat jatah makan.
Risiko inilah yang dialami Paulina Sawu. Kata petugas, ibu melahirkan ini sudah sehat, setelah tiga hari dirawat inap. Sedangkan bayinya belum, masih dalam inkubator. Karena dinyatakan sudah sehat, ibu ini tidak lagi jadi pasien. Karena tidak lagi jadi pasien, haknya sebagai pasien dicopot habis. Ia tidak dapat makan. Tidak dapat tempat tidur. Tidak dapat perawatan.
Benarkah ia sudah sehat? Kalau ia sudah sehat, kenapa kakinya bengkak? Karena kakinya bengkak, ia diperiksa. Hasilnya, ia menderita hipertensi. Benarkah hipertensi menyebabkan kaki bengkak? Jangan-jangan itu terjadi karena dia tidak dapat jatah makan (asupan gizi) dan hanya tidur di lantai.
Ibu itu ibu yang baru melahirkan. Masuk akalkah tiga hari setelah melahirkan ia dinyatakan sehat? Boleh jadi benar, ia sehat hanya dalam tiga hari. Namun ia pasti masih dalam masa nifas. Normalnya 40-60 hari. Artinya, selama 40-60 hari darah masih keluar dari rahim. Maka, masa nifas adalah masa perawatan. Ia tetap membutuhkan perlakuan khusus. Adakah perlakuan "khusus" di RSUD Bajawa? Ada! Ibu nifas tidur di lantai dan tidak diberi makan.
"Saya minta, pelayanan petugas di RSUD Bajawa memperhatikan aspek kemanusiaan. Pemerintah dan DPRD harus memperhatikan kejadian-kejadian seperti ini dan bila perlu ambil sikap tegas," kata suami si pasien. Ia benar. Aspek kemanusiaan!
"Bentara” FLORES POS, Senin 9 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Pasien keluhkan pelayanan RSUD Bajawa. Diskriminatif. Perlakukan ini menimpa Paulina Sawu asal Desa Dadawea, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada. Ia masuk rumah sakit karena hendak melahirkan, Senin 25 April 2011 (Flores Pos Sabtu 7 Mei 2011).
Beginilah perlakuan yang dialaminya. Setelah tiga hari dirawat, ia tidak lagi kebagian jatah makan. Saat ditanya alasannya, petugas menjawab: Paulina Sawu tidak lagi berstatus pasien, karena sudah sehat. Sedangkan bayinya masih dirawat di inkubator. Dengan alasan yang sama, tempat tidurnya ditempati pasien lain. Sedangkan dia ditempatkan di ruang inkubator. Tanpa tempat tidur. Tidur di lantai.
Karena kaki pasien ini membengkak, suaminya Hubertus Uta melaporkan keadaan itu ke petugas. Dilakukanlah pemeriksaan. Hasil pemeriksaan: ibu melahirkan ini menderita hipertensi atau darah tinggi. Maka, ia dikembalikan ke tempat perawatan semula, di ruang ekonomi. Di sana barulah ia mendapat tempat tidur. Juga mendapat jatah makan.
Direktris RSUD Bajawa Dokter Maria Wea Betu membantah adanya perlakukan diskriminatif dalam kasus ini. Menurut dia, ibu melahirkan itu tidak lagi berstatus pasien karena sudah sehat. Karena si ibu sudah sehat, yang menjadi pasien tinggal bayinya.
Hal lain, yang terkait erat dengan itu, RSUD Bajawa kekurangan tempat tidur. Hanya 22 buah. Sedangkan pasien di ruang persalinan saat itu 27 orang. "Jadi (dengan kondisi seperti ini), yang sudah sehat bisa keluar dan bisa menginap di luar. Sedangkan pasien dari luar Bajawa ditampung di suatu ruangan bagian belakang. Dan tiap dua jam menyusui bayinya," kata Dokter Maria.
Penjelasan ini menerangkan satu hal. Masalah paling utama di RSUD Bajawa saat ini, dalam kasus ini, adalah fasilitas. Rumah sakit kekurangan tempat tidur. Keadaan ini mengharuskan pengaturan tertentu manakala jumlah pasien melebih daya tampung.
Dari kasus ini dan penjelasan direktris, kita menangkap pengaturan di RSUD Bajawa kurang lebih sebagai berikut. Ibu melahirkan, kalau sudah sehat, tidak diperkenankan lagi menginap di rumah sakit, meski bayinya sedang dirawat. Kalau tetap ngotot menginap maka, maaf beribu maaf, bersiaplah terima risiko. Pertama, tidur di lantai. Kedua, tidak dapat jatah makan.
Risiko inilah yang dialami Paulina Sawu. Kata petugas, ibu melahirkan ini sudah sehat, setelah tiga hari dirawat inap. Sedangkan bayinya belum, masih dalam inkubator. Karena dinyatakan sudah sehat, ibu ini tidak lagi jadi pasien. Karena tidak lagi jadi pasien, haknya sebagai pasien dicopot habis. Ia tidak dapat makan. Tidak dapat tempat tidur. Tidak dapat perawatan.
Benarkah ia sudah sehat? Kalau ia sudah sehat, kenapa kakinya bengkak? Karena kakinya bengkak, ia diperiksa. Hasilnya, ia menderita hipertensi. Benarkah hipertensi menyebabkan kaki bengkak? Jangan-jangan itu terjadi karena dia tidak dapat jatah makan (asupan gizi) dan hanya tidur di lantai.
Ibu itu ibu yang baru melahirkan. Masuk akalkah tiga hari setelah melahirkan ia dinyatakan sehat? Boleh jadi benar, ia sehat hanya dalam tiga hari. Namun ia pasti masih dalam masa nifas. Normalnya 40-60 hari. Artinya, selama 40-60 hari darah masih keluar dari rahim. Maka, masa nifas adalah masa perawatan. Ia tetap membutuhkan perlakuan khusus. Adakah perlakuan "khusus" di RSUD Bajawa? Ada! Ibu nifas tidur di lantai dan tidak diberi makan.
"Saya minta, pelayanan petugas di RSUD Bajawa memperhatikan aspek kemanusiaan. Pemerintah dan DPRD harus memperhatikan kejadian-kejadian seperti ini dan bila perlu ambil sikap tegas," kata suami si pasien. Ia benar. Aspek kemanusiaan!
"Bentara” FLORES POS, Senin 9 Mei 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
kesehatan,
ngada,
pelayanan rsud bajawa,
rsud bajawa
08 Mei 2011
Inikah Ngada Bangkit?
Kompak Memprotes Surat Gubernur NTT
Oleh Frans Anggal
Ribuan massa Perkumpulan Rakyat Watu Ata (Permata) mendatangi bupati, wabup, dan DPRD Ngada di Bajawa, Kamis 5 Mei 2011. Mereka memprotes surat gubernur NTT ke Menteri Kehutanan RI. Surat itu tidak mengusulkan perubahan fungsi kawasan hutan di NTT. Ini dinilai tidak realistis dan sangat merugikan masyarakat (Flores Pos Jumat 6 Mei 2011).
Surat itu tertanggal 20 Desember 2010. Perihal Ranperda RTRW Provinsi NTT 2010-2030. Tentang kehutanan, surat itu tidak usulkan perubahan. Akibatnya, bagi Kabupaten Ngada, luas kawasan hutan masih seperti dulu. Yakni 56 persen. Padahal, UU 41/1999 tentang Kehutan¬an menetapkan hanya 30 persen untuk sebuah kabupaten.
Demo ini mendapat tangapan positif dari bupati, wabup, dan ketua DPRD. Bupati Marianus Sae bilang, surat gubernur itu tidak sesuai dengan kondisi riil di Ngada dan sangat merugikan masyarakat Ngada. Sudah dua kali ia mengirim surat protes ke pusat, 8 Maret dan 27 April 2011. Namun belum ditanggapi pusat. Pemerintah dan DPRD ajukan luas kawasan hutan Ngada 30 persen.
Wabup Paulus Soliwoa bilang, untuk mengegolkan perjuangan, pemerintah akan presentasikan kondisi riil wilayah Ngada dan kawasan hutannya. Pemkab akan tempuh langkah administratif ke pusat.
Ketua DPRD Kristoforus Loko biang, jeritan rakyat dirasakan oleh wakil rakyat. "Kita tidak inginkan terjadi tindakan sewenang-wenang terhadap masyarakat. Kalau terjadi, kami sebagai wakil rakyat tidak akan berdiam diri, tetapi berupaya untuk menyelamatkan rakyat. Hutan tetap penting untuk kepentingan masyarakat, tetapi tidak boleh mengorbankan kehidupan masyarakat."
Aha! Sungguh menarik. Dalam demo ini, masyarakat, eksekutif, dan legislatif memiliki cara wawas yang sama terhadap surat gubernur. Bahwa surat gubernur tidak aspiratif. Gubernur tidak tanya-tanya kabupaten. Soal substansi hutan, gubernur bersikap seenak perutnya sendiri. Padahal gubernur tidak punya wilayah. Yang punya wilayah adalah bupati.
Selain tidak aspiratif, surat gubernur tidak realistis. Tidak sesuai dengan kondisi riil kabupaten. Yang kenal kabupaten adalah bupati. Namun pihak yang paling mengenal wilayahnya sendiri ini justru tidak ditanyai.
Tidak hanya tidak realistis, surat gubernur juga merugikan masyarakat. Khusus di Ngada, sebagian besar ruang hidup masyarakat ditetapkan jadi kawasan hutan, 56 persen. Sementara mayortas masyarakatnya hidup dari pertanian. Jumlah mereka terus bertambah. Seiring dengan itu, mereka butuhkan lahan yang luas. Dalam keadaan begini, kenapa gubernur tidak usulkan perubahan kawasan hutan menjadi 30 persen untuk semua kabupaten, sesuai dengan amanat UU?
Dampaknya menarik. Surat gubernur diprotes oleh bupati. Hal yang tidak perlu terjadi kalau gubernur menjalankan fungsi koordinasi. Justru ini yang kurang dari gubernur sekarang. Tidak heran pula, kasus tapal batas Ngada dan Manggarai Timur tetap menggantung tidak jelas penyelesaiannya. Tidak hanya diprotes oleh bupati, surat gubernur juga diprotes oleh masyarakat. Demo ribuan massa Permata itu adalah demo protes surat gubernur. Demkian pula pernyataan bupati, wabup, dan ketua DPRD adalah pernyataan protes terhadapnya.
Yang tak kalah menarik, kompaknya Ngada memprotes surat itu. Tampak, masyarakat, bupati, wabup, ketua DPRD bersatu padu memperjuangkan kepentingan masyarakat. Ini fenomena yang langka. Apakah ini pertanda Ngada bangkit?
"Bentara” FLORES POS, Sabtu 7 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Ribuan massa Perkumpulan Rakyat Watu Ata (Permata) mendatangi bupati, wabup, dan DPRD Ngada di Bajawa, Kamis 5 Mei 2011. Mereka memprotes surat gubernur NTT ke Menteri Kehutanan RI. Surat itu tidak mengusulkan perubahan fungsi kawasan hutan di NTT. Ini dinilai tidak realistis dan sangat merugikan masyarakat (Flores Pos Jumat 6 Mei 2011).
Surat itu tertanggal 20 Desember 2010. Perihal Ranperda RTRW Provinsi NTT 2010-2030. Tentang kehutanan, surat itu tidak usulkan perubahan. Akibatnya, bagi Kabupaten Ngada, luas kawasan hutan masih seperti dulu. Yakni 56 persen. Padahal, UU 41/1999 tentang Kehutan¬an menetapkan hanya 30 persen untuk sebuah kabupaten.
Demo ini mendapat tangapan positif dari bupati, wabup, dan ketua DPRD. Bupati Marianus Sae bilang, surat gubernur itu tidak sesuai dengan kondisi riil di Ngada dan sangat merugikan masyarakat Ngada. Sudah dua kali ia mengirim surat protes ke pusat, 8 Maret dan 27 April 2011. Namun belum ditanggapi pusat. Pemerintah dan DPRD ajukan luas kawasan hutan Ngada 30 persen.
Wabup Paulus Soliwoa bilang, untuk mengegolkan perjuangan, pemerintah akan presentasikan kondisi riil wilayah Ngada dan kawasan hutannya. Pemkab akan tempuh langkah administratif ke pusat.
Ketua DPRD Kristoforus Loko biang, jeritan rakyat dirasakan oleh wakil rakyat. "Kita tidak inginkan terjadi tindakan sewenang-wenang terhadap masyarakat. Kalau terjadi, kami sebagai wakil rakyat tidak akan berdiam diri, tetapi berupaya untuk menyelamatkan rakyat. Hutan tetap penting untuk kepentingan masyarakat, tetapi tidak boleh mengorbankan kehidupan masyarakat."
Aha! Sungguh menarik. Dalam demo ini, masyarakat, eksekutif, dan legislatif memiliki cara wawas yang sama terhadap surat gubernur. Bahwa surat gubernur tidak aspiratif. Gubernur tidak tanya-tanya kabupaten. Soal substansi hutan, gubernur bersikap seenak perutnya sendiri. Padahal gubernur tidak punya wilayah. Yang punya wilayah adalah bupati.
Selain tidak aspiratif, surat gubernur tidak realistis. Tidak sesuai dengan kondisi riil kabupaten. Yang kenal kabupaten adalah bupati. Namun pihak yang paling mengenal wilayahnya sendiri ini justru tidak ditanyai.
Tidak hanya tidak realistis, surat gubernur juga merugikan masyarakat. Khusus di Ngada, sebagian besar ruang hidup masyarakat ditetapkan jadi kawasan hutan, 56 persen. Sementara mayortas masyarakatnya hidup dari pertanian. Jumlah mereka terus bertambah. Seiring dengan itu, mereka butuhkan lahan yang luas. Dalam keadaan begini, kenapa gubernur tidak usulkan perubahan kawasan hutan menjadi 30 persen untuk semua kabupaten, sesuai dengan amanat UU?
Dampaknya menarik. Surat gubernur diprotes oleh bupati. Hal yang tidak perlu terjadi kalau gubernur menjalankan fungsi koordinasi. Justru ini yang kurang dari gubernur sekarang. Tidak heran pula, kasus tapal batas Ngada dan Manggarai Timur tetap menggantung tidak jelas penyelesaiannya. Tidak hanya diprotes oleh bupati, surat gubernur juga diprotes oleh masyarakat. Demo ribuan massa Permata itu adalah demo protes surat gubernur. Demkian pula pernyataan bupati, wabup, dan ketua DPRD adalah pernyataan protes terhadapnya.
Yang tak kalah menarik, kompaknya Ngada memprotes surat itu. Tampak, masyarakat, bupati, wabup, ketua DPRD bersatu padu memperjuangkan kepentingan masyarakat. Ini fenomena yang langka. Apakah ini pertanda Ngada bangkit?
"Bentara” FLORES POS, Sabtu 7 Mei 2011
Label:
bentara,
demo,
flores,
flores pos,
kehutanan,
ngada,
permata,
politik,
ranperda rtwt ntt 2010-2030
06 Mei 2011
Pemkab Sikka, Bayar!
Ganti Rugi Tanah SDK Hale
Oleh Frans Anggal
Pemkab Sikka belum penuhi janji, membayar uang pengganti lokasi tanah SDK Hale Rp70 juta kepada pemiliknya Silvester Sil. Pada 28 Maret 2011, Kadis PPO Yohanes Rana dan Silvester Sil bersama kuasa hukum sudah sepakati tenggat pembayaran: 28 April 2011. Tanggal jatuh tempo tiba. Eh, belum bisa bayar. Tunda satu bulan lagi (Flores Pos Kamis 5 Mei 2011).
"Kadis PPO meminta penundaan pembayaran satu bulan lagi dengan alasan, uang sementara dibahas di DPRD," kata Antonius Stefanus, kuasa hukum pemilik tanah. Pemilk tanah terima penundaan ini. Padahal, kalau mau ketat dengan kesepakatan, dia bisa menyegel sekolah itu. Dan itu berarti ujian nasional tidak bisa diselenggarakan di sana.
Sebulan sebelumnya, sejak 24 Maret, sekolah ini lumpuh total karena disegel si pemilik tanah. Alasannya: pemerintah tidak patuhi putusan PN Maumere yang dikukuhkan putusan PT Kupang dan kasasi MA. Putusan tersebut perintahkan pemerintah membayar ganti rugi tanah dan tanaman. Empat hari kemudian, 28 Maret, kedua belah pihak bersepakat.
Pertama, pembayaran akan dilakukan dalam satu bulan,dengan tenggat 28 April 2011. Kedua, pemerin¬tah diizinkan membongkar palang penyegelan, sehing¬ga kegiatan sekolah kembali normal. Ketiga, apabila pemerintah tak penuhi janji pembayaran maka pemilik tanah akan menyegel semua ruang kelas, ruang kantor, ruang guru, dan gerbang masuk sekolah.
Kenyataannya, satu bulan kemudian, pemerintah tidak bisa penuhi janjinya. Apa yang terjadi? Pemilik tanah menyegel? Tidak. Kenapa? Kalau itu ia lakukan maka ujian nasional di sekolah itu gagal. Kasihan anak didik, orangtua murid, dan masyarakat.
"Saya rasa klien saya sangat peduli akan dunia pendidikan, dan memiliki hati nurani akan masa depan anak didik, karena mereka adalah aset bangsa dan negara yang akan melanjutkan cita-cita dan perjuangan para pendahulu, sehingga mereka tidak boleh jadi korban karena pemerintah kurang serius dan kurang tanggap menyelesaian persoalan ini sejak 1984," kata Antonius Stefanus.
Kata-kata kuasa hukum ini sangat tepat. Tidak hanya tepat mengapresiasi kliennya, tapi juga tepat mengkritik pemerintah. Dua pihak itu diperhadapkannya dalam kontras. Si klien "sangat peduli" dan "memiliki hati nurani", sedangkan si pemerintah "kurang serius" dan "kurang tanggap".
Pemerintah kurang serius dan kurang tanggap! Itu benar. Putusan MA bertanggal 28 April 2010. Bayangkan, selama hampir setahun Pemkab Sikka tidak memedulikannya. Tidak patuh. Diminta baik-baik, pemkab masa bodoh. Didesak dengan menyegel sekolah, barulah pemkab kaget. Dalam kekagetan, dan mungkin bercampur panik, pemkab berikan janji segera bayar. Sebulan lewat, eh, ternyata belum bisa juga. Maka, pembayaran ditunda lagi, janji lagi, bulan depan.
Pepatah Latin mengingatkan, periculum in mora. Bahaya mengintai dalam setiap penundaan. Dalam kasus ini, penundaan berikutnya akan membawa dampak lebih buruk. Pertama, sekolah itu akan ditutup total. Pemilik tanah mengancam akan memagarnya keliling. Kedua, pemkab semakin kehilangan kepercayaan (trust) di mata masyarakat. Ini awal dari sebuah akhir kekuasaan.
Kita mendesak Pemkab Sikka segera membayar apa yang merupakan hak orang. Tentang hak, tak ada diskusi. Hak hanya mengenal dua hal: klaim oleh pemangku hak dan pemenuhan oleh pengemban kewajiban. Keadilan terletak di situ. Kedamaian pun tersemai di sana. Maka: si vis pacem, para iustitiam. Kalau inginkan kedamaian, tegakkanlah keadilan.
"Bentara” FLORES POS, Jumat 6 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Pemkab Sikka belum penuhi janji, membayar uang pengganti lokasi tanah SDK Hale Rp70 juta kepada pemiliknya Silvester Sil. Pada 28 Maret 2011, Kadis PPO Yohanes Rana dan Silvester Sil bersama kuasa hukum sudah sepakati tenggat pembayaran: 28 April 2011. Tanggal jatuh tempo tiba. Eh, belum bisa bayar. Tunda satu bulan lagi (Flores Pos Kamis 5 Mei 2011).
"Kadis PPO meminta penundaan pembayaran satu bulan lagi dengan alasan, uang sementara dibahas di DPRD," kata Antonius Stefanus, kuasa hukum pemilik tanah. Pemilk tanah terima penundaan ini. Padahal, kalau mau ketat dengan kesepakatan, dia bisa menyegel sekolah itu. Dan itu berarti ujian nasional tidak bisa diselenggarakan di sana.
Sebulan sebelumnya, sejak 24 Maret, sekolah ini lumpuh total karena disegel si pemilik tanah. Alasannya: pemerintah tidak patuhi putusan PN Maumere yang dikukuhkan putusan PT Kupang dan kasasi MA. Putusan tersebut perintahkan pemerintah membayar ganti rugi tanah dan tanaman. Empat hari kemudian, 28 Maret, kedua belah pihak bersepakat.
Pertama, pembayaran akan dilakukan dalam satu bulan,dengan tenggat 28 April 2011. Kedua, pemerin¬tah diizinkan membongkar palang penyegelan, sehing¬ga kegiatan sekolah kembali normal. Ketiga, apabila pemerintah tak penuhi janji pembayaran maka pemilik tanah akan menyegel semua ruang kelas, ruang kantor, ruang guru, dan gerbang masuk sekolah.
Kenyataannya, satu bulan kemudian, pemerintah tidak bisa penuhi janjinya. Apa yang terjadi? Pemilik tanah menyegel? Tidak. Kenapa? Kalau itu ia lakukan maka ujian nasional di sekolah itu gagal. Kasihan anak didik, orangtua murid, dan masyarakat.
"Saya rasa klien saya sangat peduli akan dunia pendidikan, dan memiliki hati nurani akan masa depan anak didik, karena mereka adalah aset bangsa dan negara yang akan melanjutkan cita-cita dan perjuangan para pendahulu, sehingga mereka tidak boleh jadi korban karena pemerintah kurang serius dan kurang tanggap menyelesaian persoalan ini sejak 1984," kata Antonius Stefanus.
Kata-kata kuasa hukum ini sangat tepat. Tidak hanya tepat mengapresiasi kliennya, tapi juga tepat mengkritik pemerintah. Dua pihak itu diperhadapkannya dalam kontras. Si klien "sangat peduli" dan "memiliki hati nurani", sedangkan si pemerintah "kurang serius" dan "kurang tanggap".
Pemerintah kurang serius dan kurang tanggap! Itu benar. Putusan MA bertanggal 28 April 2010. Bayangkan, selama hampir setahun Pemkab Sikka tidak memedulikannya. Tidak patuh. Diminta baik-baik, pemkab masa bodoh. Didesak dengan menyegel sekolah, barulah pemkab kaget. Dalam kekagetan, dan mungkin bercampur panik, pemkab berikan janji segera bayar. Sebulan lewat, eh, ternyata belum bisa juga. Maka, pembayaran ditunda lagi, janji lagi, bulan depan.
Pepatah Latin mengingatkan, periculum in mora. Bahaya mengintai dalam setiap penundaan. Dalam kasus ini, penundaan berikutnya akan membawa dampak lebih buruk. Pertama, sekolah itu akan ditutup total. Pemilik tanah mengancam akan memagarnya keliling. Kedua, pemkab semakin kehilangan kepercayaan (trust) di mata masyarakat. Ini awal dari sebuah akhir kekuasaan.
Kita mendesak Pemkab Sikka segera membayar apa yang merupakan hak orang. Tentang hak, tak ada diskusi. Hak hanya mengenal dua hal: klaim oleh pemangku hak dan pemenuhan oleh pengemban kewajiban. Keadilan terletak di situ. Kedamaian pun tersemai di sana. Maka: si vis pacem, para iustitiam. Kalau inginkan kedamaian, tegakkanlah keadilan.
"Bentara” FLORES POS, Jumat 6 Mei 2011
Label:
bentara,
dinas ppo sikka,
flores,
flores pos,
ganti rugi tanah,
hukum,
pemkab sikka,
sikka,
tanah sdk hale
05 Mei 2011
Halo Polsek Riung?
Kasus Pemerkosaan Perempuan Cacat
Oleh Frans Anggal
Seorang gadis cacat,16 tahun, diperkosa Marianus Daeng Sapat, 20 tahun, warga Desa Wangka Selatan, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, Selasa 26 April 2011. Kasus ini sudah dilaporan kakak korban ke Polsek Riung. Namun hingga Kamis, 27 April, pelaku belum ditangkap (Flores Pos Rabu 4 Mei 2011).
Dari usianya, korban adalah anak di bawah umur. Cacat pula. Kondisi ini tidak menghalangi niat si pemuda. Mungkin ada sedikit rasa bersalah, rasa iba dan tak tega. Namun semua perasaan itu takluk di bawah perasaan lain. Perasaan berkuasa.
Dengan ini, kita hendak melihat kekerasan seksual sebagai bentuk ketidakseimbangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Kekerasan seksual tidak hanya soal hasrat pemuasan seksual, tapi juga kehendak penundukan atau panaklukan. Dengan memperkosa perempuan, laki-laki menunjukkan kekuasaannya---yang notabene sudah lama melembaga dalam masyarakat.
Jadi, selain sebagai cara pemuasan seksual, pemerkosaan adalah juga media penegakan supremasi laki-laki. Di sini, perempuan dan anak bukan hanya korban, tapi juga ikon ketertundukan dan ketertaklukan itu.
Dengan ini pula, pemerkosaan sesungguhnya bisa bahkan sering terjadi dalam perkawinan yang sah (marital rape). Yakni berupa pemaksaan kehendak seksual suami terhadap istri. Pemaksaan itu sudah merupakan penaklukan atau penundukan. Di sini, taat pada suami disamakan dengan takluk pada suami.
Itu dalam situasi damai. Dalam situasi perang, kisahnya lebih mengerikan. Alexandra Stiglmayer dalam Mass Rape: The War Against Women in Bosnia-Herzegovina (1997) menulis, laki-laki bersenjata memperkosa karena ingin memperlihatkan kekuasaannya. Ia ingin menjadi pemenang dalam pertempuran. Ia memperkosa karena menganggap tubuh perempuan sebagai bagian dari pertempuran.
"Di berbagai wilayah konflik bersenjata seperti Bosnia Herzegovina dan Kroasia, Rwanda, dan lain-lain, pemerkosaan digunakan sebagai alat pembersihan etnis," tulis Stiglmayer. "Pemerkosaan di wilayah seperti itu tidak bisa dilihat sebagai insiden dari agresi militer, tetapi justru merupakan taktik atau strategi agresi," ia mengutip para ahli dari komisi PBB yang melakukan penyelidikan mengenai pemerkosaan di bekas negara Yugoslavia.
Kembali ke kasus pemerkosaan di Ngada. Tindakan si pemuda tentu tidak dalam konteks taktik atau strategi agresi yang dijelaskan Stiglmayer. Namun, ada kesamaannya. Yakni, dalam hal relasi kekuasaan antara pelaku dan korban. Relasi asimetris. Relasi antara si kuat dan si lemah. Antara si penakluk dan si tertakluk. Antara si pememang dan si pecundang. Relasi asimetris ini sesungguhnya telah lama tertanam dan melembaga dalam masyarakat.
Relasi asimetris ini semakin tidak simetris karena si korban tidak hanya perempuan dan anak di bawah umur, tapi juga seorang cacat. Bukankah di negeri ini orang cacat dianggap seolah-olah tidak ada? Tengoklah ruang-ruang publik: terminal, sekolah, kantor, dll. Semuanya tidak nyaman bagi kaum cacat. Tak ada ramp untuk kursi roda, guide block untuk tunanetra, atau petunjuk bagi tunarungu.
Perlakuan negara seperti ini tentu samakin menyuburkan relasi kekuasan asimetris itu tadi. Maka, tidak heran, banyak wanita cacat menjadi korban pemerkosaan. Mereka dianggap tidak ada, sehingga "boleh" diapakan saja oleh siapa saja. Apakah karena ini juga Polsek Riung belum menangkap pelaku pemerkosaan? Halo Polsek Riung?
"Bentara” FLORES POS, Kamis 5 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Seorang gadis cacat,16 tahun, diperkosa Marianus Daeng Sapat, 20 tahun, warga Desa Wangka Selatan, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, Selasa 26 April 2011. Kasus ini sudah dilaporan kakak korban ke Polsek Riung. Namun hingga Kamis, 27 April, pelaku belum ditangkap (Flores Pos Rabu 4 Mei 2011).
Dari usianya, korban adalah anak di bawah umur. Cacat pula. Kondisi ini tidak menghalangi niat si pemuda. Mungkin ada sedikit rasa bersalah, rasa iba dan tak tega. Namun semua perasaan itu takluk di bawah perasaan lain. Perasaan berkuasa.
Dengan ini, kita hendak melihat kekerasan seksual sebagai bentuk ketidakseimbangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Kekerasan seksual tidak hanya soal hasrat pemuasan seksual, tapi juga kehendak penundukan atau panaklukan. Dengan memperkosa perempuan, laki-laki menunjukkan kekuasaannya---yang notabene sudah lama melembaga dalam masyarakat.
Jadi, selain sebagai cara pemuasan seksual, pemerkosaan adalah juga media penegakan supremasi laki-laki. Di sini, perempuan dan anak bukan hanya korban, tapi juga ikon ketertundukan dan ketertaklukan itu.
Dengan ini pula, pemerkosaan sesungguhnya bisa bahkan sering terjadi dalam perkawinan yang sah (marital rape). Yakni berupa pemaksaan kehendak seksual suami terhadap istri. Pemaksaan itu sudah merupakan penaklukan atau penundukan. Di sini, taat pada suami disamakan dengan takluk pada suami.
Itu dalam situasi damai. Dalam situasi perang, kisahnya lebih mengerikan. Alexandra Stiglmayer dalam Mass Rape: The War Against Women in Bosnia-Herzegovina (1997) menulis, laki-laki bersenjata memperkosa karena ingin memperlihatkan kekuasaannya. Ia ingin menjadi pemenang dalam pertempuran. Ia memperkosa karena menganggap tubuh perempuan sebagai bagian dari pertempuran.
"Di berbagai wilayah konflik bersenjata seperti Bosnia Herzegovina dan Kroasia, Rwanda, dan lain-lain, pemerkosaan digunakan sebagai alat pembersihan etnis," tulis Stiglmayer. "Pemerkosaan di wilayah seperti itu tidak bisa dilihat sebagai insiden dari agresi militer, tetapi justru merupakan taktik atau strategi agresi," ia mengutip para ahli dari komisi PBB yang melakukan penyelidikan mengenai pemerkosaan di bekas negara Yugoslavia.
Kembali ke kasus pemerkosaan di Ngada. Tindakan si pemuda tentu tidak dalam konteks taktik atau strategi agresi yang dijelaskan Stiglmayer. Namun, ada kesamaannya. Yakni, dalam hal relasi kekuasaan antara pelaku dan korban. Relasi asimetris. Relasi antara si kuat dan si lemah. Antara si penakluk dan si tertakluk. Antara si pememang dan si pecundang. Relasi asimetris ini sesungguhnya telah lama tertanam dan melembaga dalam masyarakat.
Relasi asimetris ini semakin tidak simetris karena si korban tidak hanya perempuan dan anak di bawah umur, tapi juga seorang cacat. Bukankah di negeri ini orang cacat dianggap seolah-olah tidak ada? Tengoklah ruang-ruang publik: terminal, sekolah, kantor, dll. Semuanya tidak nyaman bagi kaum cacat. Tak ada ramp untuk kursi roda, guide block untuk tunanetra, atau petunjuk bagi tunarungu.
Perlakuan negara seperti ini tentu samakin menyuburkan relasi kekuasan asimetris itu tadi. Maka, tidak heran, banyak wanita cacat menjadi korban pemerkosaan. Mereka dianggap tidak ada, sehingga "boleh" diapakan saja oleh siapa saja. Apakah karena ini juga Polsek Riung belum menangkap pelaku pemerkosaan? Halo Polsek Riung?
"Bentara” FLORES POS, Kamis 5 Mei 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
ngada,
pemerkosaan,
perempuan cacat,
relasi kekuasaan
04 Mei 2011
Manggarai Simpang Siur
Kontroversi Status Hutan Nggalak Rego
Oleh Frans Anggal
Warga lingkar tambang di kawasan hutan lindung Nggalak Rego RTK 103, wilayah Soga Torong Besi, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, resah. Status hutan itu kini simpang siur. Tidak jelas. Apakah masih sebagai hutan lindung ataukah sudah diubah menjadi hutan produksi terbatas? Mereka mendesak pemkab turun berikan penjelasan kepada masyarakat.
Desakan disampaikan lima utusan dalam pertemuan dengan Sekretaris Dishutbun Manggarai Clemens Nggangga di Ruteng, Kamis 28 April 2011. Mereka didampingi Koordinator JPIC SVD Ruteng, Pater Simon Suban Tukan SVD (Flores Pos Senin 2 Mei 2011).
Kata Pater Simon, keresahan warga dipicu oleh dua hal. Pertama, surat Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan RI, yang menyatakan status hutan Nggalak Rego RTK 103 yang berada dalam wilayah kuasa pertambangan PT Sumber Jaya Asia (SJA) di Kabupaten Manggarai bukanlah hutan lindung, tetapi hutan produksi terbatas.
Kedua, sikap pemkab yang tidak memberikan penjelasan khusus kepada masyarakat, khususnya warga lingkar tambang. Perubahan status hutan itu mereka ketahui dari koran. Pernyataan pemkab pun mereka dapat dari koran. Belum ada penjelasan langsung kepada mereka selaku pemangku kepentingan. Karena itulah mereka datang bertemu langsung, minta klarifikasi.
Pertanyaan mereka hanya satu: benarkah hutan Nggalak Rego telah dibuah statusnya dari hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas? Apa pun jawaban atas pertanyaan ini, dampak ikutnya pasti ada. Warga sudah mengancang-ancang.
Kalau benar telah diubah menjadi hutan produksi terbatas, Nggalak Rego segera mereka "fungsikan" sesuai dengan status barunya itu. Jangan hanya PT SJA yang boleh. Konkretnya, Nggalak Rego akan mereka kapling habis, bukan untuk ditambang---karena mereka tolak tambang---tapi untuk dimanfaatkan sumber daya hutannya. Apalagi Wabup Kamelus Deno pernah bilang, masyarakat sekitar kawasan hutan produksit terbatas boleh menebang pohon, asalkan tanam lagi. Masyarakat memiliki hak dan kewajiban atas hutan (Flores Pos Selasa 1 Maret 2011)
Itu kalau Nggalak Rego telah berubah status. Bagaimana kalau belum? Kalau masih sebagai hutan lindung? Tuntutan warga hanya satu: tegakkan keadilan! Jangan hanya masyarakat yang masuk penjara karena tebang pohon. Orang PT SJA juga harus dibui. Perusahaan ini menambang secara ilegal. Sebab, tidak ada izin dari Menhut. Permohonan SJA meminjam pakai kawasan hutan itu telah ditolak oleh Menhut pada 27 Januari 2009.
Dari pertemuan utusan warga dengan Sekretaris Dishutbun Clemens Nggangga, jawaban kedua inilah yang mereka terima. Bahwa, sampai sekarang tidak ada dokumen lain yang menyatakan hutan Nggalak Rego RTK 103 telah dibuah statusnya. Hutan itu tetap sebagai hutan lindung. Dasarnya adalah SK Menhut.
Bagaimana dengan surat Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam? Aha! Itu bukan surat keputusan. Itu hanyalah surat biasa. Bukan pula dari menhut. Cuma dari ditjen. Lucunya, reaksi pemkab, dalam hal ini Wabup Deno, berlebihan. Seolah-olah, surat hasil korespondensi SJA itu adalah SK Menhut yang membatalkan SK sebelumnya.
Wabup Deno mengatakan, dari surat ditjen dan dokumen yang ada, barulah diketahui status sebenarnya hutan Nggalak Rego. Ternyata bukan hutan lindung, tapi hutan produksi terbatas.
Hmmm, dari surat ditjen dan "dokumen yang ada"? Dokumen mana Pak? Dishutbun bilang, tidak ada dokumen lain. Sungguh simpang siur! Oh Manggarai ....
"Bentara” FLORES POS, Rabu 4 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Warga lingkar tambang di kawasan hutan lindung Nggalak Rego RTK 103, wilayah Soga Torong Besi, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, resah. Status hutan itu kini simpang siur. Tidak jelas. Apakah masih sebagai hutan lindung ataukah sudah diubah menjadi hutan produksi terbatas? Mereka mendesak pemkab turun berikan penjelasan kepada masyarakat.
Desakan disampaikan lima utusan dalam pertemuan dengan Sekretaris Dishutbun Manggarai Clemens Nggangga di Ruteng, Kamis 28 April 2011. Mereka didampingi Koordinator JPIC SVD Ruteng, Pater Simon Suban Tukan SVD (Flores Pos Senin 2 Mei 2011).
Kata Pater Simon, keresahan warga dipicu oleh dua hal. Pertama, surat Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan RI, yang menyatakan status hutan Nggalak Rego RTK 103 yang berada dalam wilayah kuasa pertambangan PT Sumber Jaya Asia (SJA) di Kabupaten Manggarai bukanlah hutan lindung, tetapi hutan produksi terbatas.
Kedua, sikap pemkab yang tidak memberikan penjelasan khusus kepada masyarakat, khususnya warga lingkar tambang. Perubahan status hutan itu mereka ketahui dari koran. Pernyataan pemkab pun mereka dapat dari koran. Belum ada penjelasan langsung kepada mereka selaku pemangku kepentingan. Karena itulah mereka datang bertemu langsung, minta klarifikasi.
Pertanyaan mereka hanya satu: benarkah hutan Nggalak Rego telah dibuah statusnya dari hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas? Apa pun jawaban atas pertanyaan ini, dampak ikutnya pasti ada. Warga sudah mengancang-ancang.
Kalau benar telah diubah menjadi hutan produksi terbatas, Nggalak Rego segera mereka "fungsikan" sesuai dengan status barunya itu. Jangan hanya PT SJA yang boleh. Konkretnya, Nggalak Rego akan mereka kapling habis, bukan untuk ditambang---karena mereka tolak tambang---tapi untuk dimanfaatkan sumber daya hutannya. Apalagi Wabup Kamelus Deno pernah bilang, masyarakat sekitar kawasan hutan produksit terbatas boleh menebang pohon, asalkan tanam lagi. Masyarakat memiliki hak dan kewajiban atas hutan (Flores Pos Selasa 1 Maret 2011)
Itu kalau Nggalak Rego telah berubah status. Bagaimana kalau belum? Kalau masih sebagai hutan lindung? Tuntutan warga hanya satu: tegakkan keadilan! Jangan hanya masyarakat yang masuk penjara karena tebang pohon. Orang PT SJA juga harus dibui. Perusahaan ini menambang secara ilegal. Sebab, tidak ada izin dari Menhut. Permohonan SJA meminjam pakai kawasan hutan itu telah ditolak oleh Menhut pada 27 Januari 2009.
Dari pertemuan utusan warga dengan Sekretaris Dishutbun Clemens Nggangga, jawaban kedua inilah yang mereka terima. Bahwa, sampai sekarang tidak ada dokumen lain yang menyatakan hutan Nggalak Rego RTK 103 telah dibuah statusnya. Hutan itu tetap sebagai hutan lindung. Dasarnya adalah SK Menhut.
Bagaimana dengan surat Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam? Aha! Itu bukan surat keputusan. Itu hanyalah surat biasa. Bukan pula dari menhut. Cuma dari ditjen. Lucunya, reaksi pemkab, dalam hal ini Wabup Deno, berlebihan. Seolah-olah, surat hasil korespondensi SJA itu adalah SK Menhut yang membatalkan SK sebelumnya.
Wabup Deno mengatakan, dari surat ditjen dan dokumen yang ada, barulah diketahui status sebenarnya hutan Nggalak Rego. Ternyata bukan hutan lindung, tapi hutan produksi terbatas.
Hmmm, dari surat ditjen dan "dokumen yang ada"? Dokumen mana Pak? Dishutbun bilang, tidak ada dokumen lain. Sungguh simpang siur! Oh Manggarai ....
"Bentara” FLORES POS, Rabu 4 Mei 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hutan lindung nggalak rego,
hutan produksi terbatas,
kehutanan,
manggarai,
pertambangan,
wabup manggarai kamelus deno
03 Mei 2011
Camat Penjudi?
Kasus Tertangkap Tangan di Kabupaten Sikka
Oleh Frans Anggal
Seorang camat di Kabupaten Sikka tertangkap tangan berjudi, Sabtu 30 April 2011. Dia, Siprianus. Bersama tiga rekan, ia berjudi kartu domino di Lorong Kadarwati, Kelurahan Madawat-Maumere. Berdasarkan laporan warga, polisi menggerebek. Keempatnya ditangkap. Barang bukti, kartu satu pak dan uang Rp81 ribu (Flores Pos Senin 2 Mei 2011).
Siprianus, camat Nele. Ia berjudi di wilayah kecamatan lain, Kecamatan Alok, mencakup Maumere. Rupanya dia sedang ada urusan di Maumere di akhir pekan. Mungkin, sekadar iseng, ia berjudi bersama warga Mus Poke, Yohanes Raja, dan Emanuel Charles, di rumah Emanuel Charles, PNS pada Dinas Kelautan dan Perikanan Sikka.
Ini yang belum jelas. Apakah baru pertama kali ini ia berjudi? Ataukah ia sudah sering ke rumah itu pada akhir pekan untuk main judi? Yang berarti pula, rumah PNS itu adalah rumah judi? Yang kegiatannya sedemikian mengganggu warga sekitar, sehingga akhirnya dilaporkan ke polisi?
Untuk kepentingan fungsional penyidikan awal polisi, kebenaran mendetail seperti itu belum terlalu dibutuhkan. Penjudi tertangkap tangan, itu sudah cukup. Barang buktinya disita, itu sudah memadai. Apakah si camat tukang judi, apakah rumah si PNS sarang judi, itu belum mendesak bagi polisi. Tapi pasti sudah (harus) mendesak bagi bupati.
Untuk kabupaten Sikka, ini peristiwa kedua dalam dua bulan terakhir menyangkut tingkah laku tak terpuji elite pemerintah. Kebetulan tapi menarik, tanggalnya sama, meski hari dan bulannya beda. Pada 30 Maret, Kadis Kelautan dan Perikanan Bernadus Nita mengejar stafnya Wens Maring dengan sebilah parang. Polisi turun tangan. Tepat sebulan kemudian, 30 April, Camat Nele Siprianus bermain judi. Polisi turun menggerebek.
Seperti halnya Kadis Bernadus Nita, Camat Siprianus sudah pasti ditahan. Ada alasan objektif. Ancaman hukumannya di atas 5 tahun. Menurut KUHP pasal 303 dan pasal 303 bis, ancaman pidana penjara bagi pelaku kejahatan terhadap kesusilaan ini adalah 4-10 tahun. Empat tahun, bagi yang ikut atau menggunakan kesempatan bermain judi. Sepuluh tahun, bagi yang sengaja menawarkan atau memberi kesempatan bermain judi.
Apakah Camat Siprianus juga akan diproses untuk diganti sebagaimana nasib Kadis Bernadus Nita? Sudah pasti iya. Kecuali kalau bupati punya pertimbangan yang tidak rasional.
Kasus ini kasus tertangkap tangan. Pelakunya, tindakannya, tempatnya, waktunya, barang buktinya, semuanya ada, kasat mata, dan jelas. Camat Siprianus tidak bisa silih. Ia kena telak. Hanya proses hukum sesat yang bisa meluputkannya.
Di hadapan kenyataan seperti ini, apa yang harus dilakukan bupati? Membiarkan rakyat Kecamatan Alok tetap dipimpin seorang tersangka kejahatan kesusilaan? Membiarkan semuanya berlangsung terus sampai ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap? Ataukah lebih baik segera lakukan penonaktifan sementara? Atau, dengan alasan lebih kuat, penonaktifan definitif?
Untuk itu, perlu pengecekan. Apakah baru kali ini si camat berjudi? Ataukah ia sudah biasa main judi? Dengan kata lain, apakah ini hanya kasus "camat berjudi" ataukah juga kasus "camat penjudi"? Lingkungan kantor dan tempat tinggal bisa bersaksi. Dengarkan kesaksian mereka. Dalam hal menyangkut kehidupan susila pejabat, publik sering lebih tahu. Maka, jangan hanya andalkan proses hukum.
"Bentara” FLORES POS, Selasa 3 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Seorang camat di Kabupaten Sikka tertangkap tangan berjudi, Sabtu 30 April 2011. Dia, Siprianus. Bersama tiga rekan, ia berjudi kartu domino di Lorong Kadarwati, Kelurahan Madawat-Maumere. Berdasarkan laporan warga, polisi menggerebek. Keempatnya ditangkap. Barang bukti, kartu satu pak dan uang Rp81 ribu (Flores Pos Senin 2 Mei 2011).
Siprianus, camat Nele. Ia berjudi di wilayah kecamatan lain, Kecamatan Alok, mencakup Maumere. Rupanya dia sedang ada urusan di Maumere di akhir pekan. Mungkin, sekadar iseng, ia berjudi bersama warga Mus Poke, Yohanes Raja, dan Emanuel Charles, di rumah Emanuel Charles, PNS pada Dinas Kelautan dan Perikanan Sikka.
Ini yang belum jelas. Apakah baru pertama kali ini ia berjudi? Ataukah ia sudah sering ke rumah itu pada akhir pekan untuk main judi? Yang berarti pula, rumah PNS itu adalah rumah judi? Yang kegiatannya sedemikian mengganggu warga sekitar, sehingga akhirnya dilaporkan ke polisi?
Untuk kepentingan fungsional penyidikan awal polisi, kebenaran mendetail seperti itu belum terlalu dibutuhkan. Penjudi tertangkap tangan, itu sudah cukup. Barang buktinya disita, itu sudah memadai. Apakah si camat tukang judi, apakah rumah si PNS sarang judi, itu belum mendesak bagi polisi. Tapi pasti sudah (harus) mendesak bagi bupati.
Untuk kabupaten Sikka, ini peristiwa kedua dalam dua bulan terakhir menyangkut tingkah laku tak terpuji elite pemerintah. Kebetulan tapi menarik, tanggalnya sama, meski hari dan bulannya beda. Pada 30 Maret, Kadis Kelautan dan Perikanan Bernadus Nita mengejar stafnya Wens Maring dengan sebilah parang. Polisi turun tangan. Tepat sebulan kemudian, 30 April, Camat Nele Siprianus bermain judi. Polisi turun menggerebek.
Seperti halnya Kadis Bernadus Nita, Camat Siprianus sudah pasti ditahan. Ada alasan objektif. Ancaman hukumannya di atas 5 tahun. Menurut KUHP pasal 303 dan pasal 303 bis, ancaman pidana penjara bagi pelaku kejahatan terhadap kesusilaan ini adalah 4-10 tahun. Empat tahun, bagi yang ikut atau menggunakan kesempatan bermain judi. Sepuluh tahun, bagi yang sengaja menawarkan atau memberi kesempatan bermain judi.
Apakah Camat Siprianus juga akan diproses untuk diganti sebagaimana nasib Kadis Bernadus Nita? Sudah pasti iya. Kecuali kalau bupati punya pertimbangan yang tidak rasional.
Kasus ini kasus tertangkap tangan. Pelakunya, tindakannya, tempatnya, waktunya, barang buktinya, semuanya ada, kasat mata, dan jelas. Camat Siprianus tidak bisa silih. Ia kena telak. Hanya proses hukum sesat yang bisa meluputkannya.
Di hadapan kenyataan seperti ini, apa yang harus dilakukan bupati? Membiarkan rakyat Kecamatan Alok tetap dipimpin seorang tersangka kejahatan kesusilaan? Membiarkan semuanya berlangsung terus sampai ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap? Ataukah lebih baik segera lakukan penonaktifan sementara? Atau, dengan alasan lebih kuat, penonaktifan definitif?
Untuk itu, perlu pengecekan. Apakah baru kali ini si camat berjudi? Ataukah ia sudah biasa main judi? Dengan kata lain, apakah ini hanya kasus "camat berjudi" ataukah juga kasus "camat penjudi"? Lingkungan kantor dan tempat tinggal bisa bersaksi. Dengarkan kesaksian mereka. Dalam hal menyangkut kehidupan susila pejabat, publik sering lebih tahu. Maka, jangan hanya andalkan proses hukum.
"Bentara” FLORES POS, Selasa 3 Mei 2011
Label:
bentara,
camat nele siprianus,
flores,
flores pos,
hukum,
judi kartu domino,
perjudian,
sikka
02 Mei 2011
Maria Anna Soe Plate
Kado dari PKD Indonesia
Oleh Frans Anggal
Maria Anna Soe Plate menjadi Ketua Umum DPP Partai Kasih Demokrasi Indonesia 2010-2015, setelah Menteri Hukum dan HAM mengeluarkan SK Pengesahan Susunan Kepengurusan DPP PKD Indonesia Periode 2010-2015 pada 26 April 2011 April 2011. Dasar penetapan, pertama, Munaslub Bali 7-9 Agustus 2010 yang antara lain non aktifkan ketua umum Stefanus Roy Rening. Kedua, keputusan PN Jakarta Timur yang berkekuatan hukum tetap (Flores Pos Jumat 29 April 2011).
Harian Umum Flores Pos menempatkan berita ini di halaman depan. Ada yang istimewa di sini. Maria Anna Soe Plate merupakan perempuan pertama NTT dan perempuan ketiga Indonesia yang saat ini menempati posisi ketua umum parpol, setelah Megawati Soekarnoputri (PDI Perjuangan) dan Amalia Yani (PPRN).
Yang menarik di sini, kelangkaannya. Bisa dihitung dengan jari jumlah perempuan NTT yang berkiprah di parpol. Belum banyak yang jadi anggota legislatif. Belum satu pun yang jadi bupati, walikota, gubenur. Khusus di parpol, belum ada yang jadi ketua di tingkat kabupatan dan provinsi. Dalam suasana seperti inilah, fenomena seorang Maria Anna Soe Plate menjadi istimewa.
Selain kelangkaannya, yang juga menarik adalah terobosan solutifnya. Sejak berdiri, PKD Indonesia dipimpin ketua umum lak-laki: Stefanus Roy Rening. Yang bersangkutan kemudian melanggar AD/ART partai. Maka ia dinonaktifkan. Dari kemelut ini mencuat kandidat pengganti. Bukan lagi laki-laki, tapi perempuan. Figur yang sejuk dan merangkul.
Selain terobosan solutifnya, yang tak kalah menarik adalah terobosan prospektifnya. Ini lebih berkenaan dengan citra partai ke depan, khususnya di mata publik di NTT. Masyarakat NTT, Flores khususnya, mengenal Roy Rening sebagai ketua tim pengacara PADMA Indonesia yang membela para terdakwa pembunuh Romo Faustin Sega Pr.
Sejauh diberitakan Flores Pos, ada yang kurang beres. Berita terakhir menyebutkan, Kapolres Ngada Moch Slamet akan membuat laporan polisi terhadap pemalsuan alat bukti yang dilakukan pengacara PADMA Indonesia dalam sidang banding putusan PN Bajawa terhadap terdakwa Theresia Tawa dan Anus Waja. Alat bukti dari ahli forensik Mun'im Idries telah dipalsukan di hadapan majelis hakim PT Kupang (Flores Pos Senin 21 Februari 2011).
Di sini, citra parpol dipertaruhkan. Kasus Romo Faustin tak ada kaitannya dengan PKD Indonesia. Tapi, kita tahu apa dampaknya bagi partai itu ketika ketua umumnya, dalam kapasitas sebagai pengacara, memilih membela para tersangka pembunuh imam. Artinya, memilih berada di kutub lain, untuk berhadapan dan melawan rasa keadilan dan rasa religius masyarakat Katolik di Flores.
Dalam kasus pemilukada Lembata pun, citra parpol dipertaruhkan. Menghadapi gugatan paket yang gugur, Roy Rening menjadi pengacara KPUD Lembata. Bayangkan: seorang ketua umum parpol menjadi pengacara KPUD dalam perkara di dalamnya parpolnya terlibat sebagai pengusung salah satu paket. Kepentingan apa dan kepentingan siapa yang diperjuangkannya?
Secara politik, semua langkah itu blunder bagi citra partai. Dalam suasana seperti inilah, penetapan Maria Anna Soe Plate menjadi Ketua Umum DPP merupakan hal terbaik bagi PKD Indonesia. Momennya berdekatan dengan Hari Kartini 21 April dan Perayaan Paska 24 April. Boleh dibilang, ini kado Hari Kartini dari PKD Indonesia: “Habis gelap, tebitlah terang!” Juga kado Paska: “Bangkit!”
"Bentara” FLORES POS, Senin 2 Mei 2011
Oleh Frans Anggal
Maria Anna Soe Plate menjadi Ketua Umum DPP Partai Kasih Demokrasi Indonesia 2010-2015, setelah Menteri Hukum dan HAM mengeluarkan SK Pengesahan Susunan Kepengurusan DPP PKD Indonesia Periode 2010-2015 pada 26 April 2011 April 2011. Dasar penetapan, pertama, Munaslub Bali 7-9 Agustus 2010 yang antara lain non aktifkan ketua umum Stefanus Roy Rening. Kedua, keputusan PN Jakarta Timur yang berkekuatan hukum tetap (Flores Pos Jumat 29 April 2011).
Harian Umum Flores Pos menempatkan berita ini di halaman depan. Ada yang istimewa di sini. Maria Anna Soe Plate merupakan perempuan pertama NTT dan perempuan ketiga Indonesia yang saat ini menempati posisi ketua umum parpol, setelah Megawati Soekarnoputri (PDI Perjuangan) dan Amalia Yani (PPRN).
Yang menarik di sini, kelangkaannya. Bisa dihitung dengan jari jumlah perempuan NTT yang berkiprah di parpol. Belum banyak yang jadi anggota legislatif. Belum satu pun yang jadi bupati, walikota, gubenur. Khusus di parpol, belum ada yang jadi ketua di tingkat kabupatan dan provinsi. Dalam suasana seperti inilah, fenomena seorang Maria Anna Soe Plate menjadi istimewa.
Selain kelangkaannya, yang juga menarik adalah terobosan solutifnya. Sejak berdiri, PKD Indonesia dipimpin ketua umum lak-laki: Stefanus Roy Rening. Yang bersangkutan kemudian melanggar AD/ART partai. Maka ia dinonaktifkan. Dari kemelut ini mencuat kandidat pengganti. Bukan lagi laki-laki, tapi perempuan. Figur yang sejuk dan merangkul.
Selain terobosan solutifnya, yang tak kalah menarik adalah terobosan prospektifnya. Ini lebih berkenaan dengan citra partai ke depan, khususnya di mata publik di NTT. Masyarakat NTT, Flores khususnya, mengenal Roy Rening sebagai ketua tim pengacara PADMA Indonesia yang membela para terdakwa pembunuh Romo Faustin Sega Pr.
Sejauh diberitakan Flores Pos, ada yang kurang beres. Berita terakhir menyebutkan, Kapolres Ngada Moch Slamet akan membuat laporan polisi terhadap pemalsuan alat bukti yang dilakukan pengacara PADMA Indonesia dalam sidang banding putusan PN Bajawa terhadap terdakwa Theresia Tawa dan Anus Waja. Alat bukti dari ahli forensik Mun'im Idries telah dipalsukan di hadapan majelis hakim PT Kupang (Flores Pos Senin 21 Februari 2011).
Di sini, citra parpol dipertaruhkan. Kasus Romo Faustin tak ada kaitannya dengan PKD Indonesia. Tapi, kita tahu apa dampaknya bagi partai itu ketika ketua umumnya, dalam kapasitas sebagai pengacara, memilih membela para tersangka pembunuh imam. Artinya, memilih berada di kutub lain, untuk berhadapan dan melawan rasa keadilan dan rasa religius masyarakat Katolik di Flores.
Dalam kasus pemilukada Lembata pun, citra parpol dipertaruhkan. Menghadapi gugatan paket yang gugur, Roy Rening menjadi pengacara KPUD Lembata. Bayangkan: seorang ketua umum parpol menjadi pengacara KPUD dalam perkara di dalamnya parpolnya terlibat sebagai pengusung salah satu paket. Kepentingan apa dan kepentingan siapa yang diperjuangkannya?
Secara politik, semua langkah itu blunder bagi citra partai. Dalam suasana seperti inilah, penetapan Maria Anna Soe Plate menjadi Ketua Umum DPP merupakan hal terbaik bagi PKD Indonesia. Momennya berdekatan dengan Hari Kartini 21 April dan Perayaan Paska 24 April. Boleh dibilang, ini kado Hari Kartini dari PKD Indonesia: “Habis gelap, tebitlah terang!” Juga kado Paska: “Bangkit!”
"Bentara” FLORES POS, Senin 2 Mei 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
ketua umum dpp pkd indonesia,
maria anna soe plate,
munaslub bali,
parpol,
pkd indonesia,
politik,
stefanus roy rening
Langganan:
Postingan (Atom)