Sejarah Perlu Diverifikasi
Oleh Frans Anggal
Hari ini, 30 September 2009, genap 44 tahun Gerakan 30 September (G30S). Empat dekade berlalu, G30S belum terungkap jelas tuntas. Siapa dalangnya: PKI? Soekarno? Soeharto?
Dalam buku putih Orde Baru, PKI divonis sebagai dalang. Karena itu, penamaannya selalu: G30S/PKI. Dalam buku putih, Brigjen Soeharto tergambar sebagai pahlawan terpuji. Kesadisan terhadap 7 jenderal yang mati dibunuh PKI dilukiskan mendetail. Sedangkan jumlah korban setelah 1 Oktober, saat tentara memburu para aktivis PKI, tidak disebutkan sama sekali.
Itu versi tunggal. Resmi. Perdebatan tentangnya diharamkan. Versi lain tak diperbolehkan. Karya pakar luar negeri seperti Cornell Paper garapan Ben Anderson dkk dilarang beredar. Penulisnya dicekal masuk Indonesia. Usaha Institut Studi Arus Informasi (ISAI) menerbitkan buku tipis tentang masing-masing versi G30S pun diganjal Kejaksaan Agung 1995.
Selama 32 tahun, dengan versi tunggal resminya, Orde Baru memonopoli historiografi G30S. Kenapa? Di balik monopoli, ada ketakutan. Ketakutan akan kebenaran sejarah. Kebenaran bisa melemahkan legalitas dan legitimasi kekuasaan. Bahkan, bisa melenyapkannya.
Namun, dengan monopoli itu, versi tunggal resmi G30S bukanlah sejarah. Kalau sejarah, semestinya ia terbuka untuk diuji. Sejarah harus diandaikan bisa diverifikasi. Tanpa verifikasi, itu dongeng, gosip. Kalau dipaksakan dipercaya, dongeng atau gosip pun menjadi doktrin. Inilah yang dilakukan Orde Baru dengan versi tunggal resminya.
Memang, selama 32 tahun Orde Baru, versi tunggal resmi itu bertahan tidak tergoyahkan. Selalu dijaga dengan ketat. Tidak jarang dengan teror dan penjara. Kukuh bertahan, apakah juga berarti versi tunggal resmi itu seutuhnya dapat dipercayai publik? Justru tidak. Inilah ironi kekuasaan.
Dalam penulisan sejarah versinya sendiri, seringkali penguasa menganggap antara dirinya (encoder) dan publik (decoder) terjalin hubungan dan terbentuk pengetahuan yang setara. Padahal, tidak begitu. Publik selalu menerima semua pesan tadi dalam kerangka hubungan kekuasaan (power relation). Pernyataan pejabat Orde Baru, misalnya, selalu ditafsirkan oleh publik 100% terbalik. Kalau ia bilang ya berarti tidak. Kalau ia biang tidak berarti ya.
Kenapa bisa begitu? Terlalu dominatifnya penguasa dan aparatur negara. Dan, terlalu tidak berdayanya rakyat atau publik. Karena itu, terhadap yang di atas, yang di bawah selalu berpikir dalam sikap tidak percaya sama sekali. Mereka menolak, sebenarnya juga memberontak, tapi dengan dan dalam diam. Sebuah pepatah Afrika menggambarkan ini bagus sekali. Ketika baginda raja lewat dengan anggunnya, para hamba sahaya bersembah sujud, sambil kentut.
Era sembah sujud sambil kentut telah berlalu bersama jatuhnya Soeharto dan Orde Baru. Tak boleh ada lagi sembah sujud bagi versi tunggal resmi G30S. Monopoli historiografi harus berakhir. Makin banyak versinya, makin baik. Satu melengkapi dan mengoreksi yang lain. Ini verifikasi. Sejarah bukan dongeng, bukan gosip.
Tahun lalu, sebuah buku terbit. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Terjemahan dari Pretext for Mass Murder karya John Roosa, dosen sejarah Universitas British Columbia, Kanada. Salah satu yang penting dari buku ini, peyakinan bahwa perdebatan siapa dalang G30S patut diakhiri. Yang perlu dipertanyakan kini, siapa dalang pembantaian massal 1965. Siapa?
“Bentara” FLORES POS, Rabu 30 September 2009
29 September 2009
Hari Ini, 44 Tahun G30S
Label:
44 tahun g30s,
bentara,
flores pos,
g30s,
nasional,
politik,
sejarah
28 September 2009
Miyabi dan Pornopikir Kita
Pro Kontra Kedatangan Seorang Bintang Film Porno
Oleh Frans Anggal
Dunia hiburan Indonesia, khususnya perfilman, dibikin heboh. Maria Ozawa Miyabi, bintang film porno Jepang, akan datang kemari, main film komedi. Yang pro bilang, bagus, Miyabi bisa membawa Indonesia ke mata dunia. Yang kontra bilang, jangan. Mereka mendesak pemerintah melakukan pencekalan. Begitu warta Flores Pos Senin 28 September 2009.
Kenapa kedatangan Miyabi ditolak? Jawabannya mudah ditebak. Dia bintang film porno. Maka, dia dianggap sebagai ancaman bagi moralitas bangsa. Bangsa ini, konon, sangat religius. Tak ada tempat bagi yang begitu-begitu. Berani bikin begitu, risiko tanggung sendiri. Saking religiusnya, bangsa ini bisa menghalalkan darah. Bisa bunuh orang atas nama agama, bahkan atas nama Tuhan.
Di seberang yang lain .... Mochtar Lubis dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 April 1977, ‘menelanjangi’ bangsa ini habis-habisan. Dalam ceramahnya bertajuk “Situasi dan Kondisi Manusia Indonesia Kini”, ia beberkan ciri-ciri manusia Indonesia. Salah satu yang menonjol adalah ini: hipokritis alias munafik, berpura-pura, lain di muka lain di belakang.
“Di depan umum kita sangat mengecam penghidupan seks yang terbuka atau setengah-terbuka .... Tapi kita membuka tempat mandi uap dan tempat pijat, kita mengatur tempat-tempat prostitusi, melindunginya, menjamin keamanan sang prostitut maupun langganan dengan berbagai sistem resmi, setengah resmi, maupun cara swasta.
“Manusia Indonesia ... penuh dengan hipokrisi. Dalam lingkungannya dia pura-pura alim, akan tetapi begitu turun di Singapura atau Hongkong, atau Paris, New York dan Amsterdam, lantas loncat taksi cari nightclub, dan pesan cewek pada bellboy atau portir hotel. Dia ikut maki-maki korupsi tetapi dia sendiri seorang koruptor.”
Itu 32 tahun silam. Sekarang? Masih begitu. Beberapa tahun lalu, penyanyi Inul Daratista dikecam karena goyang ngebornya. Ia dianggap merusak moralitas bangsa. Siapa yang paling ngotot mengecam? Justru seseorang, penyanyi juga, yang beberapa saat kemudian terpergok oleh media di sebuah hotel, sedang sekamar dengan seorang wanita yang bukan muhrimnya.
Selain tetap munafik seperti 32 tahun lalu, Indonesia semakin legalistik dalam perkara seksualitas. Pornografi sendiri sudah diatur dalam KUHP dan UU lain. Aneh, bukannya mendesak penegakan hukum yang sudah ada itu, Indonesia bikin lagi UU baru: UU pornografi. Logika di balik UU ini adalah logika patriarkis. Logika yang menyudutkan dan mengorbankan perempuan.
UU ini menganggap moralitas bangsa dirusakkan oleh perempuan. Perempuan ditempatkan sebagai pihak bersalah, yang bertanggung jawab terhadap kejahatan seksual. Seksualitas dan tubuh perempuanlah penyebab pornografi. Karena itu, seksualitas dan tubuh mereka harus dibatasi. Dengan begitu, moralitas bangsa terjamin luhur.
Logika yang samalah yang ada di balik kecaman terhadap goyang ngebor Idul dan, kini, di baik penolakan terhadap kedatangan Miyabi. Yang datang ini memang bintang porno. Tapi ke sini ia bukan mau main film porno. Kenapa dilarang? Lagipula, dia belum datang, kita sudah berporno-porno dengan pikiran sendiri.
Lucu, kalau dalam pornopikir itu, kita jadi bintang porno juga. Lebih lucu, kalau kita yang menolak, ternyata pernah, gemar, dan keranjingan nonton film porno. Maka, Mochar Lubis benar: kita memang bangsa munafik.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 29 September 2009
Oleh Frans Anggal
Dunia hiburan Indonesia, khususnya perfilman, dibikin heboh. Maria Ozawa Miyabi, bintang film porno Jepang, akan datang kemari, main film komedi. Yang pro bilang, bagus, Miyabi bisa membawa Indonesia ke mata dunia. Yang kontra bilang, jangan. Mereka mendesak pemerintah melakukan pencekalan. Begitu warta Flores Pos Senin 28 September 2009.
Kenapa kedatangan Miyabi ditolak? Jawabannya mudah ditebak. Dia bintang film porno. Maka, dia dianggap sebagai ancaman bagi moralitas bangsa. Bangsa ini, konon, sangat religius. Tak ada tempat bagi yang begitu-begitu. Berani bikin begitu, risiko tanggung sendiri. Saking religiusnya, bangsa ini bisa menghalalkan darah. Bisa bunuh orang atas nama agama, bahkan atas nama Tuhan.
Di seberang yang lain .... Mochtar Lubis dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 April 1977, ‘menelanjangi’ bangsa ini habis-habisan. Dalam ceramahnya bertajuk “Situasi dan Kondisi Manusia Indonesia Kini”, ia beberkan ciri-ciri manusia Indonesia. Salah satu yang menonjol adalah ini: hipokritis alias munafik, berpura-pura, lain di muka lain di belakang.
“Di depan umum kita sangat mengecam penghidupan seks yang terbuka atau setengah-terbuka .... Tapi kita membuka tempat mandi uap dan tempat pijat, kita mengatur tempat-tempat prostitusi, melindunginya, menjamin keamanan sang prostitut maupun langganan dengan berbagai sistem resmi, setengah resmi, maupun cara swasta.
“Manusia Indonesia ... penuh dengan hipokrisi. Dalam lingkungannya dia pura-pura alim, akan tetapi begitu turun di Singapura atau Hongkong, atau Paris, New York dan Amsterdam, lantas loncat taksi cari nightclub, dan pesan cewek pada bellboy atau portir hotel. Dia ikut maki-maki korupsi tetapi dia sendiri seorang koruptor.”
Itu 32 tahun silam. Sekarang? Masih begitu. Beberapa tahun lalu, penyanyi Inul Daratista dikecam karena goyang ngebornya. Ia dianggap merusak moralitas bangsa. Siapa yang paling ngotot mengecam? Justru seseorang, penyanyi juga, yang beberapa saat kemudian terpergok oleh media di sebuah hotel, sedang sekamar dengan seorang wanita yang bukan muhrimnya.
Selain tetap munafik seperti 32 tahun lalu, Indonesia semakin legalistik dalam perkara seksualitas. Pornografi sendiri sudah diatur dalam KUHP dan UU lain. Aneh, bukannya mendesak penegakan hukum yang sudah ada itu, Indonesia bikin lagi UU baru: UU pornografi. Logika di balik UU ini adalah logika patriarkis. Logika yang menyudutkan dan mengorbankan perempuan.
UU ini menganggap moralitas bangsa dirusakkan oleh perempuan. Perempuan ditempatkan sebagai pihak bersalah, yang bertanggung jawab terhadap kejahatan seksual. Seksualitas dan tubuh perempuanlah penyebab pornografi. Karena itu, seksualitas dan tubuh mereka harus dibatasi. Dengan begitu, moralitas bangsa terjamin luhur.
Logika yang samalah yang ada di balik kecaman terhadap goyang ngebor Idul dan, kini, di baik penolakan terhadap kedatangan Miyabi. Yang datang ini memang bintang porno. Tapi ke sini ia bukan mau main film porno. Kenapa dilarang? Lagipula, dia belum datang, kita sudah berporno-porno dengan pikiran sendiri.
Lucu, kalau dalam pornopikir itu, kita jadi bintang porno juga. Lebih lucu, kalau kita yang menolak, ternyata pernah, gemar, dan keranjingan nonton film porno. Maka, Mochar Lubis benar: kita memang bangsa munafik.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 29 September 2009
Label:
bentara,
film,
flores pos,
hiburan,
maria ozawa miyabi
Debatnya DPRD Lembata
Perlu Tidaknya Bimtek ke Jakarta
Oleh Frans Anggal
Pulang bimtek dari Jakarta, anggota DPRD Lembata ribut dalam rapat internal Kamis 24 September 2009. Demikian warta Flores Pos Sabtu 26 September.
Dalam rapat, mereka kembali perdebatan perlu tidaknya bimtek ke Jakarta. Karena tak baku ketemu, muncul desakan perdebatan diakhiri saja. Mendingan bikin laporan tertulis. Yang pergi bimtek laporkan hasilnya apa. Yang tidak pergi, 5 orang, lapokan apa yang dilakukan di DPRD.
Dalam rapat, mencuat pula wacana bahwa bimtek itu hak, bukan kewajiban. Dan, ternyata, begitu kata yang ikut: bimtek bisa dibikin di Lewoleba, tidak harus di Jakarta.
Luar biasa ini DPRD Lembata. Pergi bimtek, debat dulu. Pulang bimtek, debat lagi. Yang diperdebatkan tetap yang itu-itu: perlu tidaknya bimtek. Hasil perdebatannya sama juga: tidak ada kesekapatan. Karena itu, sebelum bimtek, hasilnya ini: yang mau pergi, pergi. Yang mau tinggal, tinggal. Sepulang bimtek, hasilnya sama. Yang pergi bilang, bimtek perlu. Yang tinggal bilang, tidak.
Ini namanya perdebatan bolak-balik dan balik-bolak. Awal sama dengan akhir. Dan akhir bukanlah sesuatu yang selesai. Daripada tidak selesai-selesai, lebih baik diakhiri saja. Maka, perdebatan pun terhenti, sedangkan soalnya jalan terus. Artinya: kapan terungkit lagi, tinggal diperdebatkan lagi. Bila tetap tidak sepakat, paling-paling voting. Artinya: ‘kebenaran’ ditaruh di ujung jari dan ditentukan oleh jumlah jari. Demokrasi substansial tergusur oleh demokrasi prosedural.
Mulanya, persoalan bimtek berawal dari keraguan publik akan efektivitas dan efisiensinya. Sayang, aspirasi ini kurang diolah baik oleh DPRD. Keraguan publik tidak mereka kembangkan menjadi pertanyaan. Dan pertanyaan tidak mereka garap menjadi penyelidikan.
Seandainya keraguan mereka kembangkan menjadi pertanyaan atau kritik, dan pertanyaan mereka tingkatkan menjadi penyelidikan, hasil akhirnya pasti lain. Mereka bisa bersepakat setelah berdebat. Dan kesepakatan mereka bisa matang teruji sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi.
Dari perdebatan terhenti tapi tidak selesai DPRD Lembata sepulang bimtek seperti diberitakan itu, kita mendapat beberapa informasi penting. Bahwa, di Jakarta saat bimtek barulah mereka tahu dengan pasti: bimtek itu hak, bukan kewajiban. Juga, di Jakarta saat bimtek barulah mereka tahu, juga dengan pasti: bimtek bisa dilakukan di Lewoleba. Boleh dikatakan, kesempatan bimtek adalah juga kesempatan untuk menyelidiki hal yang sudah mereka perdebatkan sebelum berangkat.
Bahwa kepastian seperti ini penting dan berguna, ya. Tapi, untuk mendapatkan kepastian itu harus pergi bimtek, tentu tidak. Justru di sini poin kritik kita. DPRD Lembata tidak mengolah dengan baik keraguan publik. Keraguan tidak mereka kembangkan menjadi pertanyaan. Dan pertanyaan tidak mereka garap menjadi penyelidikan.
Sangat tidak sulit, tidak lama, tidak mahal, dan karena itu tidak perlu pakai bimtek, untuk menyelidiki: apakah bimtek hak atau kewajiban, apakah harus di Jakarta atau bisa di Lewoleba, apakah mesti sekarang atau tunggu kelengkapan dewan terbentuk, dan apakah mesti semua pergi atau cukup beberapa.
Dari perdebatan yang muncul, baik sebelum maupun sesudah bimtek, kita tahu, langkah sederhana ini tidak mereka tempuh. Bukan karena tidak bisa, tapi karena tidak mau. Sebab, kalau ditempuh, rame-rame ke Jakarta-nya bisa gagal. Hmmm.
“Bentara” FLORES POS, Senin 28 September 2009
Oleh Frans Anggal
Pulang bimtek dari Jakarta, anggota DPRD Lembata ribut dalam rapat internal Kamis 24 September 2009. Demikian warta Flores Pos Sabtu 26 September.
Dalam rapat, mereka kembali perdebatan perlu tidaknya bimtek ke Jakarta. Karena tak baku ketemu, muncul desakan perdebatan diakhiri saja. Mendingan bikin laporan tertulis. Yang pergi bimtek laporkan hasilnya apa. Yang tidak pergi, 5 orang, lapokan apa yang dilakukan di DPRD.
Dalam rapat, mencuat pula wacana bahwa bimtek itu hak, bukan kewajiban. Dan, ternyata, begitu kata yang ikut: bimtek bisa dibikin di Lewoleba, tidak harus di Jakarta.
Luar biasa ini DPRD Lembata. Pergi bimtek, debat dulu. Pulang bimtek, debat lagi. Yang diperdebatkan tetap yang itu-itu: perlu tidaknya bimtek. Hasil perdebatannya sama juga: tidak ada kesekapatan. Karena itu, sebelum bimtek, hasilnya ini: yang mau pergi, pergi. Yang mau tinggal, tinggal. Sepulang bimtek, hasilnya sama. Yang pergi bilang, bimtek perlu. Yang tinggal bilang, tidak.
Ini namanya perdebatan bolak-balik dan balik-bolak. Awal sama dengan akhir. Dan akhir bukanlah sesuatu yang selesai. Daripada tidak selesai-selesai, lebih baik diakhiri saja. Maka, perdebatan pun terhenti, sedangkan soalnya jalan terus. Artinya: kapan terungkit lagi, tinggal diperdebatkan lagi. Bila tetap tidak sepakat, paling-paling voting. Artinya: ‘kebenaran’ ditaruh di ujung jari dan ditentukan oleh jumlah jari. Demokrasi substansial tergusur oleh demokrasi prosedural.
Mulanya, persoalan bimtek berawal dari keraguan publik akan efektivitas dan efisiensinya. Sayang, aspirasi ini kurang diolah baik oleh DPRD. Keraguan publik tidak mereka kembangkan menjadi pertanyaan. Dan pertanyaan tidak mereka garap menjadi penyelidikan.
Seandainya keraguan mereka kembangkan menjadi pertanyaan atau kritik, dan pertanyaan mereka tingkatkan menjadi penyelidikan, hasil akhirnya pasti lain. Mereka bisa bersepakat setelah berdebat. Dan kesepakatan mereka bisa matang teruji sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi.
Dari perdebatan terhenti tapi tidak selesai DPRD Lembata sepulang bimtek seperti diberitakan itu, kita mendapat beberapa informasi penting. Bahwa, di Jakarta saat bimtek barulah mereka tahu dengan pasti: bimtek itu hak, bukan kewajiban. Juga, di Jakarta saat bimtek barulah mereka tahu, juga dengan pasti: bimtek bisa dilakukan di Lewoleba. Boleh dikatakan, kesempatan bimtek adalah juga kesempatan untuk menyelidiki hal yang sudah mereka perdebatkan sebelum berangkat.
Bahwa kepastian seperti ini penting dan berguna, ya. Tapi, untuk mendapatkan kepastian itu harus pergi bimtek, tentu tidak. Justru di sini poin kritik kita. DPRD Lembata tidak mengolah dengan baik keraguan publik. Keraguan tidak mereka kembangkan menjadi pertanyaan. Dan pertanyaan tidak mereka garap menjadi penyelidikan.
Sangat tidak sulit, tidak lama, tidak mahal, dan karena itu tidak perlu pakai bimtek, untuk menyelidiki: apakah bimtek hak atau kewajiban, apakah harus di Jakarta atau bisa di Lewoleba, apakah mesti sekarang atau tunggu kelengkapan dewan terbentuk, dan apakah mesti semua pergi atau cukup beberapa.
Dari perdebatan yang muncul, baik sebelum maupun sesudah bimtek, kita tahu, langkah sederhana ini tidak mereka tempuh. Bukan karena tidak bisa, tapi karena tidak mau. Sebab, kalau ditempuh, rame-rame ke Jakarta-nya bisa gagal. Hmmm.
“Bentara” FLORES POS, Senin 28 September 2009
Label:
bentara,
bimtek ke jakarta,
dprd lembata,
flores,
flores pos,
lembata,
politik
25 September 2009
Ketika Bupati Don Marah
Kasus Meludahi Wajah Wartawan
Oleh Frans Anggal
Bupati Ende Don Bosco M Wangge dilaporkan ke polisi oleh wartawan Mingguan Global dan Mingguan NTT Pos, Stef Bata, karena meludahi muka korban. Tindakannya dipicu pemberitaan sang wartawan yang dinilainya tidak berimbang, tanpa kroscek, tanpa hak jawab.
Bupati sudah mengakui tindakannya salah. Ia menyesal. Ia minta maaf kepada korps wartawan. Ia pun mau minta maaf kepada korban. “Kalau pintu maaf dibuka, saya masuk. Kalau pintu maaf ditutup, prosedur (hukum) kita lalui,” katanya seperti diwartakan Flores Pos Jumat 25 September 2009.
Tindakan Bupati Don merupakan ungkapan emosi marah. “Seperti bentuk emosi lainnya, marah diikuti perubahan psikologis dan biologis. Ketika Anda marah, denyut nadi dan tekanan darah meningkat, begitu juga dengan level hormon, adrenalin, dan noradrenalin,” kata Charles Spielberger, ahli psikologi yang mengambil spesialisasi studi tentang marah.
Sebagai salah satu bentuk ekspresi emosi, marah itu manusiawi, normal dan sehat. Namun, ketika tidak terkendali dan cenderung destruktif, marah akan menjadi masalah. Inilah yang terjadi pada diri Bupati Don: “Kejadian tadi itu (karena saya) hilang keseimbangan. Saya tidak bisa kendalikan emosi.”
Hilang keseimbangan, tidak bisa kendalikan emosi, bisa terjadi pada siapa saja. Tidak terkecuali pada diri seorang pemimpin. Namun, salah satu ukuran kebesaran seorang pemimpin justru terletak pada titik ini juga. Yakni, mampu menyeimbangkan diri dan mengendalikan emosi.
Siapa tidak mengakui kebesaran George Washington, presiden pertama Amerika Serikat? Ia tidak pintar-pintar amat. Dia dianggap lebih sebagai seorang ‘pekerja’ ketimbang seorang ‘pemikir’. Kalau begitu, apa yang membuat figur bersahaja ini jadi besar?
Sejarahwan Amerika Page Smith menjawabnya dengan sebuah paradoks. Kebesaran George Washington terletak terutama bukan pada apa yang dilakukannya, tapi pada apa yang tidak dilakukannya. Dengan kata lain, pengekangan diri Washington-lah, dan bukan tindakannya, yang menentukan kebesarannya.
Psikologi kekuasaan sama di mana-mana. Power tends to corrupt, kata Lord Acton. Kekuasaan cenderung merusak. Kekuasaan cenderung memperbesar diri dan membenarkan diri. Bahkan, kecenderungan kekuasaan untuk memperbesar diri jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi diri. Demikian pula, kecenderungannya membenarkan diri berkali-kali lebih besar daripada kemampuannya mengkritik dan mengawasi diri.
Di hadapan kecenderungan kekuasaan seperti inilah letak kebesaran George Washington. Ia mampu mengekang diri hingga tidak takluk dan tidak hanyut pada kecenderungan itu. Letak kebesarannya bukan pada apa yang dilakukannya, tapi pada apa yang tidak dilakukannya.
Bupati Don Wangge bukan George Washington. Namun keutamaan seorang Washington patut diteladani. Dalam kasus yang barusan itu, Bupati Don memang gagal mengekang diri. Namun bersamaan dengan itu, ia menunjukkan diri sebagai pemimpin demokratis.
Pemimpin demokratis bukanlah pemimpin tanpa cela. Pemimpin demokratis harus diandaikan bisa melakukan kesalahan, tetapi dia harus siap untuk dikoreksi. Legitimasinya lebih terjamin kalau dia mempunyai keberanian moral mengakui kesalahannya, memperbaikinya, dan bersedia menerima sanksi.
Dalam istilah lain, pemimpin demokratis adalah pemimpin yang rendah hati (humble). Kualifikasi ini ada pada diri Bupati Don ketika ia mengakui kesalahannya, menyesal, meminta maaf, menginginkan rekonsiliasi, seraya bertekad: “Mudah-mudahan ini pertama dan terakhir kali.”
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 26 September 2009
Oleh Frans Anggal
Bupati Ende Don Bosco M Wangge dilaporkan ke polisi oleh wartawan Mingguan Global dan Mingguan NTT Pos, Stef Bata, karena meludahi muka korban. Tindakannya dipicu pemberitaan sang wartawan yang dinilainya tidak berimbang, tanpa kroscek, tanpa hak jawab.
Bupati sudah mengakui tindakannya salah. Ia menyesal. Ia minta maaf kepada korps wartawan. Ia pun mau minta maaf kepada korban. “Kalau pintu maaf dibuka, saya masuk. Kalau pintu maaf ditutup, prosedur (hukum) kita lalui,” katanya seperti diwartakan Flores Pos Jumat 25 September 2009.
Tindakan Bupati Don merupakan ungkapan emosi marah. “Seperti bentuk emosi lainnya, marah diikuti perubahan psikologis dan biologis. Ketika Anda marah, denyut nadi dan tekanan darah meningkat, begitu juga dengan level hormon, adrenalin, dan noradrenalin,” kata Charles Spielberger, ahli psikologi yang mengambil spesialisasi studi tentang marah.
Sebagai salah satu bentuk ekspresi emosi, marah itu manusiawi, normal dan sehat. Namun, ketika tidak terkendali dan cenderung destruktif, marah akan menjadi masalah. Inilah yang terjadi pada diri Bupati Don: “Kejadian tadi itu (karena saya) hilang keseimbangan. Saya tidak bisa kendalikan emosi.”
Hilang keseimbangan, tidak bisa kendalikan emosi, bisa terjadi pada siapa saja. Tidak terkecuali pada diri seorang pemimpin. Namun, salah satu ukuran kebesaran seorang pemimpin justru terletak pada titik ini juga. Yakni, mampu menyeimbangkan diri dan mengendalikan emosi.
Siapa tidak mengakui kebesaran George Washington, presiden pertama Amerika Serikat? Ia tidak pintar-pintar amat. Dia dianggap lebih sebagai seorang ‘pekerja’ ketimbang seorang ‘pemikir’. Kalau begitu, apa yang membuat figur bersahaja ini jadi besar?
Sejarahwan Amerika Page Smith menjawabnya dengan sebuah paradoks. Kebesaran George Washington terletak terutama bukan pada apa yang dilakukannya, tapi pada apa yang tidak dilakukannya. Dengan kata lain, pengekangan diri Washington-lah, dan bukan tindakannya, yang menentukan kebesarannya.
Psikologi kekuasaan sama di mana-mana. Power tends to corrupt, kata Lord Acton. Kekuasaan cenderung merusak. Kekuasaan cenderung memperbesar diri dan membenarkan diri. Bahkan, kecenderungan kekuasaan untuk memperbesar diri jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi diri. Demikian pula, kecenderungannya membenarkan diri berkali-kali lebih besar daripada kemampuannya mengkritik dan mengawasi diri.
Di hadapan kecenderungan kekuasaan seperti inilah letak kebesaran George Washington. Ia mampu mengekang diri hingga tidak takluk dan tidak hanyut pada kecenderungan itu. Letak kebesarannya bukan pada apa yang dilakukannya, tapi pada apa yang tidak dilakukannya.
Bupati Don Wangge bukan George Washington. Namun keutamaan seorang Washington patut diteladani. Dalam kasus yang barusan itu, Bupati Don memang gagal mengekang diri. Namun bersamaan dengan itu, ia menunjukkan diri sebagai pemimpin demokratis.
Pemimpin demokratis bukanlah pemimpin tanpa cela. Pemimpin demokratis harus diandaikan bisa melakukan kesalahan, tetapi dia harus siap untuk dikoreksi. Legitimasinya lebih terjamin kalau dia mempunyai keberanian moral mengakui kesalahannya, memperbaikinya, dan bersedia menerima sanksi.
Dalam istilah lain, pemimpin demokratis adalah pemimpin yang rendah hati (humble). Kualifikasi ini ada pada diri Bupati Don ketika ia mengakui kesalahannya, menyesal, meminta maaf, menginginkan rekonsiliasi, seraya bertekad: “Mudah-mudahan ini pertama dan terakhir kali.”
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 26 September 2009
Label:
bentara,
bupati don bosco m wangge,
bupati ende meludahi wajah wartawan,
ende,
flores,
flores pos,
hukum
Kasus Ropa dan Split Itu
Mandeknya Proses Hukum di Kejari Ende
Oleh Frans Anggal
Kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi pembelian tanah PLTU Ropa mencapai Rp4,5 miliar. Begitu hasil audit BPKP Perwakilan NTT. Jumlah ini berbeda dengan temuan Kejari Ende sebelumnya, Rp3,5 miliar. Demikian kata Kajari Marihot Silalahi seperti diwartakan Flores Pos Kamis 24 September 2009.
Kita tidak persoalkan selisih hingga Rp1 miliar itu. Mau Rp100 miliar pun selisihnya, silakan. Toh semuanya harus bisa diuji dan dibuktikan agar bisa dipercaya. Pengujian dan pembuktian harus melalui proses hukum. Dan forumnya adalah peradilan. Justru di sini masalahnya. Berkas belum kunjung dilimpahkan. Mandek di kejaksaan.
Kenapa mandek? Dalam kasus Ropa, biang keroknya adalah pemecahan (split) berkas perkara dalam dua berkas terpisah dan penggelombangan pelimpahannya nanti ke pengadilan. Ada dua tersangka: Karel Djami dan Andreas Dua, mantan bendahara dan mantan manajer PLN. “Saya punya strategi, satu-satu dulu,” kata Kajari Silalahi. “Setelah (berkas) Karel Djami kita limpahkan, baru Andreas Dua diproses.”
Menurut dia, cara seperti ini memudahkan pembuktian. Boleh jadi. Namun, bagaimana mungkin pembuktian dipermudah kalau prosesnya sendiri mandek? Sekarang saja mandek. Karel Djami sakit. Ia sedang dirawat di rumah. Mandek, karena Karel Djami dijadikan lokomotif proses hukum. Begitu lokomotif macet, gerbong di belakangnya pun terhenti. Jelas, cara ini tidak tepat.
Kalau kajari ngotot dengan ini, patut dapat dipertanyakan: apa ada udang di balik batu? Ini praktik lazim di NTT (nusa tetap terkorup). Hasil pantauan PIAR NTT menunjukkan, split kasus yang dilakukan aparat hukum di NTT diduga cenderung melindungi pejabat/petinggi yang terindikasi melakukan tindak korupsi.
Contoh, kasus proyek pengadaan Sarkes NTT tahun 2003. Berkasnya displit. Berkas tersangka Pimpro Sarkes Benediktus Tuluk dimajukan duluan. Ia pun divonis penjara. Sedangkan berkas tersangka Gubernur NTT dikemudiankan, dilamban-lambankan prosesnya, dan akhirnya ia (di)luput(kan).
Kita berharap kasus Ropa tidak begitu. Tapi, kita khawatir juga akan seperti itu. Baik dalam kasus sarkes maupun dalam kasus Ropa, alasan split sama dan sebangun: untuk memudahkan penyidikan dan pembuktian. Pemberangkatan berkas ke pengadilan pun sama: dibikin bergelombang. Kloter pertama, spesial untuk yang kecil-kecil. Ini kloternya Benediktus Tuluk dalam kasus Sarkes atau Karel Djami dalam kasus Ropa. Lepas landasnya tepat waktu. Dipastikan, pesawat mendarat dengan ‘sukses’ di penjara. Kloter kedua, ketiga, apalagi terakhir, spesial untuk VIP. Ini kloternya gubernur, bupati, sekda, kaum berduit. Lepas landasnya boleh ditunda. Pesawatnya sudah dicarter koq. Batal berangkat pun bisa. Didenda, berapa sih?
Analogi ini menggambaran lanskap keterpercayaan publik terhadap proses hukum kasus dugaan korupsi di NTT. Cenderung tebang pilih. Kajari Silalahi menepis tudingan seperti ini. Tidak benar, katanya, ia lakukan tebang pilih dengan mendahulukan proses hukum Karel Djami dan mengemudiankan proses hukum Andreas Dua. Dia juga membantah jika dituding belum diproses hukumnya Andreas Dua karena tersangka orang berada.
Bantahan kajari bisa dipercaya, bisa tidak. Tergantung, langkah konkretnya apa. Bagaimana bisa dipercaya kalau Karel Djami tetap dijadikan lokomotif proses hukum? Bagaimana bisa dipercaya kalau “setelah (berkas) Karel Djami kita limpahkan, baru Andreas Dua diproses”?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 25 September 2009
Oleh Frans Anggal
Kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi pembelian tanah PLTU Ropa mencapai Rp4,5 miliar. Begitu hasil audit BPKP Perwakilan NTT. Jumlah ini berbeda dengan temuan Kejari Ende sebelumnya, Rp3,5 miliar. Demikian kata Kajari Marihot Silalahi seperti diwartakan Flores Pos Kamis 24 September 2009.
Kita tidak persoalkan selisih hingga Rp1 miliar itu. Mau Rp100 miliar pun selisihnya, silakan. Toh semuanya harus bisa diuji dan dibuktikan agar bisa dipercaya. Pengujian dan pembuktian harus melalui proses hukum. Dan forumnya adalah peradilan. Justru di sini masalahnya. Berkas belum kunjung dilimpahkan. Mandek di kejaksaan.
Kenapa mandek? Dalam kasus Ropa, biang keroknya adalah pemecahan (split) berkas perkara dalam dua berkas terpisah dan penggelombangan pelimpahannya nanti ke pengadilan. Ada dua tersangka: Karel Djami dan Andreas Dua, mantan bendahara dan mantan manajer PLN. “Saya punya strategi, satu-satu dulu,” kata Kajari Silalahi. “Setelah (berkas) Karel Djami kita limpahkan, baru Andreas Dua diproses.”
Menurut dia, cara seperti ini memudahkan pembuktian. Boleh jadi. Namun, bagaimana mungkin pembuktian dipermudah kalau prosesnya sendiri mandek? Sekarang saja mandek. Karel Djami sakit. Ia sedang dirawat di rumah. Mandek, karena Karel Djami dijadikan lokomotif proses hukum. Begitu lokomotif macet, gerbong di belakangnya pun terhenti. Jelas, cara ini tidak tepat.
Kalau kajari ngotot dengan ini, patut dapat dipertanyakan: apa ada udang di balik batu? Ini praktik lazim di NTT (nusa tetap terkorup). Hasil pantauan PIAR NTT menunjukkan, split kasus yang dilakukan aparat hukum di NTT diduga cenderung melindungi pejabat/petinggi yang terindikasi melakukan tindak korupsi.
Contoh, kasus proyek pengadaan Sarkes NTT tahun 2003. Berkasnya displit. Berkas tersangka Pimpro Sarkes Benediktus Tuluk dimajukan duluan. Ia pun divonis penjara. Sedangkan berkas tersangka Gubernur NTT dikemudiankan, dilamban-lambankan prosesnya, dan akhirnya ia (di)luput(kan).
Kita berharap kasus Ropa tidak begitu. Tapi, kita khawatir juga akan seperti itu. Baik dalam kasus sarkes maupun dalam kasus Ropa, alasan split sama dan sebangun: untuk memudahkan penyidikan dan pembuktian. Pemberangkatan berkas ke pengadilan pun sama: dibikin bergelombang. Kloter pertama, spesial untuk yang kecil-kecil. Ini kloternya Benediktus Tuluk dalam kasus Sarkes atau Karel Djami dalam kasus Ropa. Lepas landasnya tepat waktu. Dipastikan, pesawat mendarat dengan ‘sukses’ di penjara. Kloter kedua, ketiga, apalagi terakhir, spesial untuk VIP. Ini kloternya gubernur, bupati, sekda, kaum berduit. Lepas landasnya boleh ditunda. Pesawatnya sudah dicarter koq. Batal berangkat pun bisa. Didenda, berapa sih?
Analogi ini menggambaran lanskap keterpercayaan publik terhadap proses hukum kasus dugaan korupsi di NTT. Cenderung tebang pilih. Kajari Silalahi menepis tudingan seperti ini. Tidak benar, katanya, ia lakukan tebang pilih dengan mendahulukan proses hukum Karel Djami dan mengemudiankan proses hukum Andreas Dua. Dia juga membantah jika dituding belum diproses hukumnya Andreas Dua karena tersangka orang berada.
Bantahan kajari bisa dipercaya, bisa tidak. Tergantung, langkah konkretnya apa. Bagaimana bisa dipercaya kalau Karel Djami tetap dijadikan lokomotif proses hukum? Bagaimana bisa dipercaya kalau “setelah (berkas) Karel Djami kita limpahkan, baru Andreas Dua diproses”?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 25 September 2009
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus pltu ropa
23 September 2009
Kerugian Negara koq Ngotot
Kasus Dugaan Korupsi di PDAM Ende
Oleh Frans Anggal
Sudah 6 tahun usia kasus dugaan korupsi pembelian mesin pompa air di PDAM Ende. Sejak 2003, lima kali BAP-nya bolak-balik saja polisi-jaksa. Alasannya, biasa: belum lengkap. Tidak hanya itu, kasus ini malah berat untuk dilanjutkan. Begitu kata Kajari Marihot Silalahi seperti diwartakan Flores Pos Sabtu 19 September 2009.
Mengapa berat dilanjutkan? Berdasarkan pemeriksaan BPKP, kerugian negara tidak dapat dihitung. Padahal, dasar pembuktian harus jelas sejak awal agar tidak menyulitkan jaksa dalam persidangan. Kajari tidak mau kalau kerja keras jaksa dan polisi berakhir sia-sia dengan bebasnya tersangka lantaran jaksa tidak mampu membuktikan dakwaan.
Kata kunci dalam argumentasi Kajari Silalahi adalah ‘kerugian negara’. Lebih khusus, ‘besarnya kerugian negara’. Ini mengandaikan, kerugian negara ‘harus dapat dihitung’. Kalau tidak dapat dihitung, bagaimana? Ya, berat untuk dilanjutkan! Kalau berat? Ya, di-SP3-kan saja! Titik.
Benarkah jalan pikiran seperti itu? Mari simak UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam UU ini hanya ada dua pasal yang mengatur tipikor yang merugikan keuangan negara, yaitu pasal 2 dan 3 UU No 31/1999 dan perubahannya. Pertanyaan kita: mengapa ngotot dengan ‘kerugian negara’ yang notabene hanya termaktub dalam dua pasal? Dikemanakan pasal-pasal lain?
Dalam UU No 31/1999 dan perubahannya itu, kerugian negara hanya salah satu unsur korupsi. Kenapa ngotot dengan yang ‘salah satu’ ini seolah-olah ‘satu-satunya’ unsur korupsi? Ada banyak pasal dalam UU ini yang justru tidak mengaitkan korupsi dengan keuangan negara. Satu contoh, pasal tentang penyuapan. Pejabat yang terima suap dari seseorang tidak dapat dikatakan merugikan keuangan Negara, tapi pasti merugikan masyarakat. Bahkan dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi dengan UU No 7/2006, unsur kerugian negara tidak dimasukkan lagi sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi.
Simak pula persisnya bunyi pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor. Di sana ada frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Kata “dapat” di sini memberi arti: baik kerugian yang nyata (actual loss) maupun yang hanya berupa kemungkinan kerugian (potential loss).
Kata “dapat” ini juga merelatifkan pemutlakan pembuktian. Artinya, perihal merugikan keuangan negara atau perekonomian negara tidak harus dibuktikan. Kalau tidak harus dibuktikan, dan ternyata tidak bisa dihitung, mengapa mesti ngotot?
Lebih jauh, menukik ke inti soal. Kata “dapat” itu menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, bukan delik materiil. Artinya: adanya tindak pidana korupsi cukuplah dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat dari perbuatan itu, dalam hal ini kerugian negara.
Dengan ini kita hendak menegaskan kepada Kajari Silalahi hal satu ini. Janganlah ngotot dengan ‘kerugian negara’, khususnya dengan ‘besarnya kerugian negara’ yang mau tidak mau ‘harus dapat dihitung’. Kerugian negara hanya salah satu, bukan satu-satunya unsur korupsi.
Berngotot-ngotot dengan kerugian negara, seolah-olah itu satu-satunya unsur korupsi, sementara kerugian itu sendiri tidak dapat dihitung BPKP, hanya akan melahirkan dan menguatkan kecurigaan publik. Bahwa: kajari berusaha menyelamatkan para tersangka. Pertanyaan berikutnya: ini ada apa, Pak?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 24 September 2009
Oleh Frans Anggal
Sudah 6 tahun usia kasus dugaan korupsi pembelian mesin pompa air di PDAM Ende. Sejak 2003, lima kali BAP-nya bolak-balik saja polisi-jaksa. Alasannya, biasa: belum lengkap. Tidak hanya itu, kasus ini malah berat untuk dilanjutkan. Begitu kata Kajari Marihot Silalahi seperti diwartakan Flores Pos Sabtu 19 September 2009.
Mengapa berat dilanjutkan? Berdasarkan pemeriksaan BPKP, kerugian negara tidak dapat dihitung. Padahal, dasar pembuktian harus jelas sejak awal agar tidak menyulitkan jaksa dalam persidangan. Kajari tidak mau kalau kerja keras jaksa dan polisi berakhir sia-sia dengan bebasnya tersangka lantaran jaksa tidak mampu membuktikan dakwaan.
Kata kunci dalam argumentasi Kajari Silalahi adalah ‘kerugian negara’. Lebih khusus, ‘besarnya kerugian negara’. Ini mengandaikan, kerugian negara ‘harus dapat dihitung’. Kalau tidak dapat dihitung, bagaimana? Ya, berat untuk dilanjutkan! Kalau berat? Ya, di-SP3-kan saja! Titik.
Benarkah jalan pikiran seperti itu? Mari simak UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam UU ini hanya ada dua pasal yang mengatur tipikor yang merugikan keuangan negara, yaitu pasal 2 dan 3 UU No 31/1999 dan perubahannya. Pertanyaan kita: mengapa ngotot dengan ‘kerugian negara’ yang notabene hanya termaktub dalam dua pasal? Dikemanakan pasal-pasal lain?
Dalam UU No 31/1999 dan perubahannya itu, kerugian negara hanya salah satu unsur korupsi. Kenapa ngotot dengan yang ‘salah satu’ ini seolah-olah ‘satu-satunya’ unsur korupsi? Ada banyak pasal dalam UU ini yang justru tidak mengaitkan korupsi dengan keuangan negara. Satu contoh, pasal tentang penyuapan. Pejabat yang terima suap dari seseorang tidak dapat dikatakan merugikan keuangan Negara, tapi pasti merugikan masyarakat. Bahkan dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi dengan UU No 7/2006, unsur kerugian negara tidak dimasukkan lagi sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi.
Simak pula persisnya bunyi pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor. Di sana ada frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Kata “dapat” di sini memberi arti: baik kerugian yang nyata (actual loss) maupun yang hanya berupa kemungkinan kerugian (potential loss).
Kata “dapat” ini juga merelatifkan pemutlakan pembuktian. Artinya, perihal merugikan keuangan negara atau perekonomian negara tidak harus dibuktikan. Kalau tidak harus dibuktikan, dan ternyata tidak bisa dihitung, mengapa mesti ngotot?
Lebih jauh, menukik ke inti soal. Kata “dapat” itu menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, bukan delik materiil. Artinya: adanya tindak pidana korupsi cukuplah dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat dari perbuatan itu, dalam hal ini kerugian negara.
Dengan ini kita hendak menegaskan kepada Kajari Silalahi hal satu ini. Janganlah ngotot dengan ‘kerugian negara’, khususnya dengan ‘besarnya kerugian negara’ yang mau tidak mau ‘harus dapat dihitung’. Kerugian negara hanya salah satu, bukan satu-satunya unsur korupsi.
Berngotot-ngotot dengan kerugian negara, seolah-olah itu satu-satunya unsur korupsi, sementara kerugian itu sendiri tidak dapat dihitung BPKP, hanya akan melahirkan dan menguatkan kecurigaan publik. Bahwa: kajari berusaha menyelamatkan para tersangka. Pertanyaan berikutnya: ini ada apa, Pak?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 24 September 2009
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus dugaan korupsi pdam ende
22 September 2009
Kasus PDAM Ende: Gelagat SP3?
Kerugian Negara Tidak Dapat Dihitung
Oleh Frans Anggal
Kasus dugaan korupsi pembelian mesin pompa air di PDAM Ende berjalan di tempat. Begitu berita utama Flores Pos Sabtu 19 September 2009. Sudah lima kali BAP bolak-balik polisi-jaksa.
Kata Kajari Marihot Silalahi, kasus ini berat untuk dilanjutkan. Sebab, berdasarkan pemeriksaan BPKP, kerugian negara tidak dapat dihitung. Padahal, dasar pembuktian harus jelas sejak awal agar tidak menyulitkan jaksa dalam persidangan. Kajari tidak mau kalau kerja keras jaksa dan polisi berakhir sia-sia dengan bebasnya tersangka lantaran jaksa tidak mampu membuktikan dakwaan.
Argumentasi ini perlu diuji. Kata kajari, kasus ini berat untuk dilanjutkan karena kerugian negara tidak dapat dihitung. Ini alasan ‘usang’, digunakan sepanjang 6 tahun usia kasus ini. Di sisi lain, berulang kali disebutkan: dugaan kerugian negara Rp279 juta. Kenapa dan dari mana angka ini muncul kalau kerugian negara tidak datang dihitung?
Pada pengembalian kali keempat BAP ke polisi Juni 2009, kajari bilang: dari yang diminta, baru unsur kerugian negara yang dipenuhi. Itu berarti, tentang kerugian negara, bukti awal sudah cukup. Sudah beres. Sudah tidak ada soal. Sekarang, yang sudah tidak ada soal itu kembali dipersoalkan, bukan oleh siapa-siapa tapi oleh kajari sendiri. Kata lagu dangdut: kau yang memulai, kau yang mengakhiri.
Tidak hanya aneh, ini gawat. Kerugian negara yang tidak dapat dihitung dijadikan dasar untuk menyatakan kasus ini berat untuk dilanjutkan. Apakah ini gelagat mau menghentikan penyidikan alias SP3? Kalau maksudnya begitu, kita tolak. Alasan: tidak dapat dihitungnya kerugian negara bukan berarti tidak adanya kerugian negara.
Analoginya begini. Membakar rambut kepala. Si korban jelas dirugikan. Apakah kerugiannya bisa dinyatakan tidak ada hanya karena jumlah helai rambut yang terbakar itu tidak dapat dihitung? Membakar hutan: apakah kerugian negara bisa dinyatakan tidak ada hanya karena jumlah pohon, semak, rumput, ular, tikus, belalang, dan semut yang ikut terbakar tidak bisa dihitung?
Kembali ke kasus PDAM Ende. Jumlah kerugian negara sebagai hasil penghitungan, yang dalam hal ini merupakan keterangan ahli (BPKP), bukanlah satu-satunya alat bukti yang sah. Selain keterangan ahli, masih ada keterangan saksi, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Maka, janganlah: karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Janganlah: karena kerugian negara tidak dapat dihitung, proses hukum di-SP3-kan.
SP3, meski “bisa” dilakukan jaksa dan polisi karena kewenangannya, tidaklah “harus”. Dalam kasus PDAM Ende malah “jangan”. Selain alasannya tidak kuat, SP3 akan menjadi preseden buruk pemberantasan korupsi. SP3 juga akan menguatkan dugaan publik bahwa kasus ini dipingpong 6 tahun karena dijadikan ATM oleh polisi dan jaksa.
Selain itu, kejaksaan dan kepolisian bukanlah institusi terakhir. Masih ada pengadilan. Hakimlah yang nanti menilai. Dan penilaian hakim tidak hanya didasari bukti yang sah (objektif), tapi juga suara hati atau keyakinannya (subjektif). Hanya hakim yang boleh begitu. Polisi dan jaksa tidak. Lucunya, Kajari Silalahi seperti hakim saja ketika seolah-olah yakin bahwa terdakwa akan bebas hanya karena kerugian negara tidak dapat dihitung. Lalu atas keyakinan itu, kasus ini mau di-SP3-kan? Kita tolak!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 23 September 2009
Oleh Frans Anggal
Kasus dugaan korupsi pembelian mesin pompa air di PDAM Ende berjalan di tempat. Begitu berita utama Flores Pos Sabtu 19 September 2009. Sudah lima kali BAP bolak-balik polisi-jaksa.
Kata Kajari Marihot Silalahi, kasus ini berat untuk dilanjutkan. Sebab, berdasarkan pemeriksaan BPKP, kerugian negara tidak dapat dihitung. Padahal, dasar pembuktian harus jelas sejak awal agar tidak menyulitkan jaksa dalam persidangan. Kajari tidak mau kalau kerja keras jaksa dan polisi berakhir sia-sia dengan bebasnya tersangka lantaran jaksa tidak mampu membuktikan dakwaan.
Argumentasi ini perlu diuji. Kata kajari, kasus ini berat untuk dilanjutkan karena kerugian negara tidak dapat dihitung. Ini alasan ‘usang’, digunakan sepanjang 6 tahun usia kasus ini. Di sisi lain, berulang kali disebutkan: dugaan kerugian negara Rp279 juta. Kenapa dan dari mana angka ini muncul kalau kerugian negara tidak datang dihitung?
Pada pengembalian kali keempat BAP ke polisi Juni 2009, kajari bilang: dari yang diminta, baru unsur kerugian negara yang dipenuhi. Itu berarti, tentang kerugian negara, bukti awal sudah cukup. Sudah beres. Sudah tidak ada soal. Sekarang, yang sudah tidak ada soal itu kembali dipersoalkan, bukan oleh siapa-siapa tapi oleh kajari sendiri. Kata lagu dangdut: kau yang memulai, kau yang mengakhiri.
Tidak hanya aneh, ini gawat. Kerugian negara yang tidak dapat dihitung dijadikan dasar untuk menyatakan kasus ini berat untuk dilanjutkan. Apakah ini gelagat mau menghentikan penyidikan alias SP3? Kalau maksudnya begitu, kita tolak. Alasan: tidak dapat dihitungnya kerugian negara bukan berarti tidak adanya kerugian negara.
Analoginya begini. Membakar rambut kepala. Si korban jelas dirugikan. Apakah kerugiannya bisa dinyatakan tidak ada hanya karena jumlah helai rambut yang terbakar itu tidak dapat dihitung? Membakar hutan: apakah kerugian negara bisa dinyatakan tidak ada hanya karena jumlah pohon, semak, rumput, ular, tikus, belalang, dan semut yang ikut terbakar tidak bisa dihitung?
Kembali ke kasus PDAM Ende. Jumlah kerugian negara sebagai hasil penghitungan, yang dalam hal ini merupakan keterangan ahli (BPKP), bukanlah satu-satunya alat bukti yang sah. Selain keterangan ahli, masih ada keterangan saksi, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Maka, janganlah: karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Janganlah: karena kerugian negara tidak dapat dihitung, proses hukum di-SP3-kan.
SP3, meski “bisa” dilakukan jaksa dan polisi karena kewenangannya, tidaklah “harus”. Dalam kasus PDAM Ende malah “jangan”. Selain alasannya tidak kuat, SP3 akan menjadi preseden buruk pemberantasan korupsi. SP3 juga akan menguatkan dugaan publik bahwa kasus ini dipingpong 6 tahun karena dijadikan ATM oleh polisi dan jaksa.
Selain itu, kejaksaan dan kepolisian bukanlah institusi terakhir. Masih ada pengadilan. Hakimlah yang nanti menilai. Dan penilaian hakim tidak hanya didasari bukti yang sah (objektif), tapi juga suara hati atau keyakinannya (subjektif). Hanya hakim yang boleh begitu. Polisi dan jaksa tidak. Lucunya, Kajari Silalahi seperti hakim saja ketika seolah-olah yakin bahwa terdakwa akan bebas hanya karena kerugian negara tidak dapat dihitung. Lalu atas keyakinan itu, kasus ini mau di-SP3-kan? Kita tolak!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 23 September 2009
Label:
bentara,
dugaan korupsi pdam ende,
ende,
flores,
flores pos,
hukum
19 September 2009
Skandal “Ondo” Kabupaten Sikka
Warga Keracunan Umbi Hutan
Oleh Frans Anggal
Di Kampung Wololora, Kabupaten Sikka, satu keluarga keracunan umbi hutan alias ondo. Mereka muntah-muntah hingga lemas akibat dehidrasi. Rabu 16 September 2009, mereka dilarikan ke RS St Elisabet Lela. Kondisinya mulai membaik.
Yang keracunan ini kakek, nenek, anak perempuan, dan tiga cucu. Suami si anak perempuan atau ayah ketiga cucu sedang mencari nafkah di Malaysia. Ondo mereka temukan saat buka kebun baru. Mengapa nekat mereka makan? Flores Pos Jumat 18 September menjelaskan, mereka terancam rawan pangan.
Dalam keanekaragaman pangan tradisional, ondo tidak masuk daftar. Ondo bukan pangan. Untuk babi hutan, mungkin. Kalau sampai dimakan manusia, pasti karena terpaksa. Tak ada rotan, akar pun jadi. Demi tetap hidup, apa pun dimakan, termasuk yang tidak layak untuk hewan. Kelaparan telah memurukkan manusia ke taraf sub-human.
Susan George (1976) melukiskannya dengan perbandingan yang tajam. Hewan di kelompok negara maju habiskan seperempat gandum dunia atau sama dengan konsumsi penduduk Cina dan India yang seluruhnya 1 miliar 300 juta jiwa. Di AS, 1967, produksi makanan anjing hampir sama dengan pendapatan rata-rata pria di India. Di Prancis, konsumsi kalori 8 juta anjing dan 7 juta kucing sama dengan konsumsi kalori seluruh penduduk Portugal. Jumlah sisa makanan yang dibuang ke tempat sampah oleh bangsa Amerika tiap tahun cukup untuk memberi makan penduduk semua negara di Benua Afrika selama satu bulan.
Mohammed Bedjaoui (1979) menyimpulkan, pada zaman modern ini harkat hewan seolah-olah lebih tinggi. Hewan mempunyai kelebihan tertentu yang tidak dipunyai kebanyakan orang. Untuk hewan disediakan pemangkas rambut, penjahit, dan restoran khusus. Ini ketidakadilan yang terhadap martabat manusia. Sekaligus skandal, skandal terbesar abad ini.
Skandal yang sama, dalam skala berbeda, terjadi juga di Indonesia, NTT, Flores, Sikka. Yang dikonsumsi anjing pejabat dan orang kaya di Maumere pasti lebih bergizi dan lebih banyak ketimbang yang masuk perut petani miskin di Kampung Wololora. Yang dimakan anjing saja sudah begitu, apalagi yang dimakan pemiliknya. Perbandingannya semakin langit dan bumi saja kalau kita simak berapa yang dihabiskan pejabat.
Forum Masyarakat Sikka Menggugat melaporkan, untuk 91 kali perjalanan di dalam dan keluar daerah selama 2008 dan 2009, Bupati Sikka Sosimus Mitang dan Wabup Wera Damianus menghabiskan Rp1,4 miliar. Sekali jalan mereka habiskan rata-rata Rp153 juta. Ini artinya apa?
Jawabannya dapat kita temukan dalam Populorum Progressio, ensiklik mengenai Kemajuan Bangsa-Bangsa, yang disampaikan Paus Paulus VI pada 26 Maret 1967.
“Ketika begitu banyak orang lapar, ketika begitu banyak keluarga menderita kemiskinan, ketika begitu banyak orang tetap tinggal dalam kebodohan, ketika begitu banyak sekolah, rumah sakit, dan rumah hunian yang layak mesti dibangun, penghamburan kekayaan baik umum maupun pribadi, seluruh perbelanjaan yang didorong oleh motif-motif kemewahan nasional atau pribadi ... merupakan satu skandal yang tidak dapat ditoleransi. Kiranya mereka yang berkuasa mendengarkan kata-kata kami sebelum terlambat” (Nomor 53).
Skandal. Skandal yang tidak dapat ditoleransi. Itulah yang terjadi di Sikka. Mudah-mudahan bupati dan wabup mendengarkannya, sebelum semuanya terlambat.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 19 September 2009
Oleh Frans Anggal
Di Kampung Wololora, Kabupaten Sikka, satu keluarga keracunan umbi hutan alias ondo. Mereka muntah-muntah hingga lemas akibat dehidrasi. Rabu 16 September 2009, mereka dilarikan ke RS St Elisabet Lela. Kondisinya mulai membaik.
Yang keracunan ini kakek, nenek, anak perempuan, dan tiga cucu. Suami si anak perempuan atau ayah ketiga cucu sedang mencari nafkah di Malaysia. Ondo mereka temukan saat buka kebun baru. Mengapa nekat mereka makan? Flores Pos Jumat 18 September menjelaskan, mereka terancam rawan pangan.
Dalam keanekaragaman pangan tradisional, ondo tidak masuk daftar. Ondo bukan pangan. Untuk babi hutan, mungkin. Kalau sampai dimakan manusia, pasti karena terpaksa. Tak ada rotan, akar pun jadi. Demi tetap hidup, apa pun dimakan, termasuk yang tidak layak untuk hewan. Kelaparan telah memurukkan manusia ke taraf sub-human.
Susan George (1976) melukiskannya dengan perbandingan yang tajam. Hewan di kelompok negara maju habiskan seperempat gandum dunia atau sama dengan konsumsi penduduk Cina dan India yang seluruhnya 1 miliar 300 juta jiwa. Di AS, 1967, produksi makanan anjing hampir sama dengan pendapatan rata-rata pria di India. Di Prancis, konsumsi kalori 8 juta anjing dan 7 juta kucing sama dengan konsumsi kalori seluruh penduduk Portugal. Jumlah sisa makanan yang dibuang ke tempat sampah oleh bangsa Amerika tiap tahun cukup untuk memberi makan penduduk semua negara di Benua Afrika selama satu bulan.
Mohammed Bedjaoui (1979) menyimpulkan, pada zaman modern ini harkat hewan seolah-olah lebih tinggi. Hewan mempunyai kelebihan tertentu yang tidak dipunyai kebanyakan orang. Untuk hewan disediakan pemangkas rambut, penjahit, dan restoran khusus. Ini ketidakadilan yang terhadap martabat manusia. Sekaligus skandal, skandal terbesar abad ini.
Skandal yang sama, dalam skala berbeda, terjadi juga di Indonesia, NTT, Flores, Sikka. Yang dikonsumsi anjing pejabat dan orang kaya di Maumere pasti lebih bergizi dan lebih banyak ketimbang yang masuk perut petani miskin di Kampung Wololora. Yang dimakan anjing saja sudah begitu, apalagi yang dimakan pemiliknya. Perbandingannya semakin langit dan bumi saja kalau kita simak berapa yang dihabiskan pejabat.
Forum Masyarakat Sikka Menggugat melaporkan, untuk 91 kali perjalanan di dalam dan keluar daerah selama 2008 dan 2009, Bupati Sikka Sosimus Mitang dan Wabup Wera Damianus menghabiskan Rp1,4 miliar. Sekali jalan mereka habiskan rata-rata Rp153 juta. Ini artinya apa?
Jawabannya dapat kita temukan dalam Populorum Progressio, ensiklik mengenai Kemajuan Bangsa-Bangsa, yang disampaikan Paus Paulus VI pada 26 Maret 1967.
“Ketika begitu banyak orang lapar, ketika begitu banyak keluarga menderita kemiskinan, ketika begitu banyak orang tetap tinggal dalam kebodohan, ketika begitu banyak sekolah, rumah sakit, dan rumah hunian yang layak mesti dibangun, penghamburan kekayaan baik umum maupun pribadi, seluruh perbelanjaan yang didorong oleh motif-motif kemewahan nasional atau pribadi ... merupakan satu skandal yang tidak dapat ditoleransi. Kiranya mereka yang berkuasa mendengarkan kata-kata kami sebelum terlambat” (Nomor 53).
Skandal. Skandal yang tidak dapat ditoleransi. Itulah yang terjadi di Sikka. Mudah-mudahan bupati dan wabup mendengarkannya, sebelum semuanya terlambat.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 19 September 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
keracunan umbi hutan,
pangan,
rawan pangan,
sikka
17 September 2009
Wilhelmus Djoka Itu Korban
Kasus Pembuatan Ijazah Palsu di Ende
Oleh Frans Anggal
Ketika mantan kasek SDN Ende V Wilhelmus Djoka ditahan Polres Ende karena tertangkap tangan melakukan pemalsuan ijazah, memori kita langsung memunculkan kasus lain yang perlakuan terhadap tersangkanya begitu istimewa.
Pada Februari 2009, Sekda Ende Iskandar Mohamad Mberu ditetapkan menjadi tersangka kasus perbuatan tidak menyenangkan terhadap anggota DPRD Heribertus Gani. Sedianya, ia langsung ditahan setelah diperiksa Senin 9 Februari. Namun, atas perintah Kapolres Bambang Sugiarto, penahanan dibatalkan. Kapolres beralasan: tersangka pejabat publik. Jika ia ditahan, pekerjaan yang ditangani bisa terbengkalai.
“Bentara” Flores Pos Rabu 11 Februari 2009 mengkritik. Alasan seseorang tidak ditahan hanya karena ia pejabat publik sungguh diskriminatif. Ini ‘tebang pilih’. Penahanan hanya untuk orang kebanyakan. Pejabat, tidak. Ini mencederai rasa keadilan. Asas ‘persamaan di depan hukum’ dikangkangi.
Lihat itu. Wilhelmus Djoka, ditahan. Kenapa? Dia bukan sekda. Bukan pejabat publik. Dia ‘cuma’ pensiunan PNS, mantan guru, mantan kasek. Seandainya pejabat publik, ia tidak ditahan. Sebab, mengutip kapolres tadi: jika ia ditahan, pekerjaannya bisa terbengkalai.
Kenapa alasan itu hanya berlaku bagi seorang sekda dan tidak bagi seorang pensiunan guru? Wilhelmus Djoka itu suami, ayah, kakek. Ia juga tokoh umat, tokoh masyarakat. Ia punya berbagai peran, fungsi, dan tugas, yang tentu terbengkalai kalau dia ditahan. Lalu, kenapa ia ditahan? Karena dia bukan sekda. Bukan pejabat publik. Ini diskriminasi!
Selain diskriminasi, ini overkriminalisasi. Secara objektif, menurut KUHAP, penahanan itu memang memenuhi syarat karena ancaman hukumannya di atas 5 tahun. Namun secara subjektif, terlalu mengada-ada. Apa mungkin lansia 70-an tahun ini melarikan diri? Apa mungkin ia menghilangkan barang bukti sementara barang bukti ijazah sudah disita? Apa mungkin seorang tokoh yang tertimpa aib hingga terguncang secara psikologis masih nekat mengulangi tindak pidana? Tidak mungkin!
Polres Ende telah gegabah menahan seseorang yang tidak perlu ditahan. Ini overkriminalisasi. Seburuk apa pun suatu kejahatan, janganlah tindakan penegak hukum justru lebih buruk daripada kejahatan itu sendiri. Penahanan ini harus ditangguhkan. Salut jika polres sudah melakukannya. Selanjutnya, perlu proses hukum yang jujur, bersih, bebas dari ancaman dan pemerasan.
Selama 1997-2009, Wilhelmus Djoka ‘hanya’ membuat tiga ijazah palsu. Ini menunjukkan, ia buat karena diminta. Ia hanya mau membantu. Bukan mau cari untung, seperti kata kapolres. Kalau cari untung, kenapa cuma 3 ijazah dalam 12 tahun? Kalau cari untung, kenapa ia hanya gunakan blanko asli yang terbatas dan bukan mencetak blanko palsu ribuan lembar? Yang cari untung justru perantara, seorang yang sama, yang terakhir datang dengan cara menjebak sehingga pelaku tertangkap tangan.
Dalam konteks lebih luas, Wilhelmus Djoka adalah korban. Kebaikan hatinya dimanfaatkan orang lain. Demi membantu orang lain, ia melanggar hukum. Dalam perbuatannya itu, tak ada pihak yang ia rugikan. Sebaliknya, ada yang diuntungkan: si perantara dan pemilik ijazah. Pantaskah hukuman penjara bagi orang seperti ini? Sementara, di luar sana, banyak pejabat yang hidup dalam kepalsuan demi keuntungan diri berlipat-lipat: membuat kuitansi palsu, SPPD palsu, laporan pertanggungjawaban palsu. Kapan mereka dipenjara?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 18 September 2009
Oleh Frans Anggal
Ketika mantan kasek SDN Ende V Wilhelmus Djoka ditahan Polres Ende karena tertangkap tangan melakukan pemalsuan ijazah, memori kita langsung memunculkan kasus lain yang perlakuan terhadap tersangkanya begitu istimewa.
Pada Februari 2009, Sekda Ende Iskandar Mohamad Mberu ditetapkan menjadi tersangka kasus perbuatan tidak menyenangkan terhadap anggota DPRD Heribertus Gani. Sedianya, ia langsung ditahan setelah diperiksa Senin 9 Februari. Namun, atas perintah Kapolres Bambang Sugiarto, penahanan dibatalkan. Kapolres beralasan: tersangka pejabat publik. Jika ia ditahan, pekerjaan yang ditangani bisa terbengkalai.
“Bentara” Flores Pos Rabu 11 Februari 2009 mengkritik. Alasan seseorang tidak ditahan hanya karena ia pejabat publik sungguh diskriminatif. Ini ‘tebang pilih’. Penahanan hanya untuk orang kebanyakan. Pejabat, tidak. Ini mencederai rasa keadilan. Asas ‘persamaan di depan hukum’ dikangkangi.
Lihat itu. Wilhelmus Djoka, ditahan. Kenapa? Dia bukan sekda. Bukan pejabat publik. Dia ‘cuma’ pensiunan PNS, mantan guru, mantan kasek. Seandainya pejabat publik, ia tidak ditahan. Sebab, mengutip kapolres tadi: jika ia ditahan, pekerjaannya bisa terbengkalai.
Kenapa alasan itu hanya berlaku bagi seorang sekda dan tidak bagi seorang pensiunan guru? Wilhelmus Djoka itu suami, ayah, kakek. Ia juga tokoh umat, tokoh masyarakat. Ia punya berbagai peran, fungsi, dan tugas, yang tentu terbengkalai kalau dia ditahan. Lalu, kenapa ia ditahan? Karena dia bukan sekda. Bukan pejabat publik. Ini diskriminasi!
Selain diskriminasi, ini overkriminalisasi. Secara objektif, menurut KUHAP, penahanan itu memang memenuhi syarat karena ancaman hukumannya di atas 5 tahun. Namun secara subjektif, terlalu mengada-ada. Apa mungkin lansia 70-an tahun ini melarikan diri? Apa mungkin ia menghilangkan barang bukti sementara barang bukti ijazah sudah disita? Apa mungkin seorang tokoh yang tertimpa aib hingga terguncang secara psikologis masih nekat mengulangi tindak pidana? Tidak mungkin!
Polres Ende telah gegabah menahan seseorang yang tidak perlu ditahan. Ini overkriminalisasi. Seburuk apa pun suatu kejahatan, janganlah tindakan penegak hukum justru lebih buruk daripada kejahatan itu sendiri. Penahanan ini harus ditangguhkan. Salut jika polres sudah melakukannya. Selanjutnya, perlu proses hukum yang jujur, bersih, bebas dari ancaman dan pemerasan.
Selama 1997-2009, Wilhelmus Djoka ‘hanya’ membuat tiga ijazah palsu. Ini menunjukkan, ia buat karena diminta. Ia hanya mau membantu. Bukan mau cari untung, seperti kata kapolres. Kalau cari untung, kenapa cuma 3 ijazah dalam 12 tahun? Kalau cari untung, kenapa ia hanya gunakan blanko asli yang terbatas dan bukan mencetak blanko palsu ribuan lembar? Yang cari untung justru perantara, seorang yang sama, yang terakhir datang dengan cara menjebak sehingga pelaku tertangkap tangan.
Dalam konteks lebih luas, Wilhelmus Djoka adalah korban. Kebaikan hatinya dimanfaatkan orang lain. Demi membantu orang lain, ia melanggar hukum. Dalam perbuatannya itu, tak ada pihak yang ia rugikan. Sebaliknya, ada yang diuntungkan: si perantara dan pemilik ijazah. Pantaskah hukuman penjara bagi orang seperti ini? Sementara, di luar sana, banyak pejabat yang hidup dalam kepalsuan demi keuntungan diri berlipat-lipat: membuat kuitansi palsu, SPPD palsu, laporan pertanggungjawaban palsu. Kapan mereka dipenjara?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 18 September 2009
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus pembuatan ijazah palsu
Di Balik Ijazah Palsu
Kasus Tertangkap Tangan di Ende
Oleh Frans Anggal
Mantan kasek SDN Ende V, Wilhelmus Djoka, tertangkap tangan saat sedang membuat ijazah palsu di kediamannya, Sabtu 12 September 2009. Sejak 1997, ini kali ketiga pria 70-an tahun ini melakukan perbuatan yang sama. Dua kali untuk ijazah SD, satu kali ijazah SMP. Blanko ijazah ia peroleh dari seorang kasek di Nangapanda, sudah meninggal.
Pelaku sudah ditahan. Lembar ijazah sudah disita sebagai barang bukti. Juga stempel. Ia dikenai pasal 263 ayat 1 KUHP tentang pemalsuan surat, dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun. Motif tindakannya? “... hanya untuk mencari keuntungan,” kata Kapolres Bambang Sugiarto seperti diwartakan Flores Pos Rabu 16 September.
Sejauh direkam Flores Pos, ini kasus kedua di Ende sejak 2004 ketika seorang caleg kandas maju gara-gara ijazah palsu. Ia pemilik ijazah palsu. Sedangkan yang ini pembuat ijazah palsu. Baik pada kasus pertama maupun pada kasus kedua, pembuat ijazah palsu adalah kasek atau mantan kasek. Kasek, karena kewenangannya, dan mantan kasek, karena pengalamannya, mudah bikin itu.
Dibikin, karena dibutuhkan. Kalau berupa transaksi maka ada prestasi (jasa) dan kontra-prestasi (balas jasa). Kalau berupa perbuatan berangkai, berproses, dan berdurasi maka umumnya pelaku tidak tunggal. Ada penyertaan dalam tindak pidana. Dengan demikian, yang dipidana mencakup yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang meminta melakukan, dan yang turut serta melakukan.
Belum cukup. Masih ada pembantu kejahatan. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. Juga, mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Kalau locus delicti-nya rumah kediaman, yang turut serta mungkin anggota keluarga, tetangga, teman, dll. Kalau semuanya dijebloskan, penjara bisa sesak.
Sisi penyertaan dalam tindak pidana ini kita angkat bukan untuk menyeret semakin banyak orang dalam proses hukum. Yang hendak ditunjukkan adalah sisi lain dari hukum. Katakan saja, sisi sosiologis yang membuka peluang bagi terjadinya tindak pidana. Kata kunci dalam kasus kita ini adalah “ijazah”.
Ijazah dipandang dan diperlakukan begitu pentingnya. Republik ini adalah republik ijazah. Yang penting ijazah. Mutunya seakan tidak penting. Proses mendapatkannya seakan tidak penting juga. Maka, jangan kaget, dengan mutu seperti apa dan prosesnya bagaimana, tiba-tiba saja si A berijazah dan bergelar M.Si. Dan gelar akademik itu, yang menunjukkan ijazah itu, wajib dipasang di depan atau belakang nama. Makin panjang, semakin hebat.
Jadi caleg, harus ada ijazah. Bila tidak, kandaslah dia. Supaya tidak kandas, adakan ijazah. Jika asli tidak bisa, pakai yang palsu. Maka, kasek atau mantan kasek didatangi, ditawari, dirayu, didesak, mungkin juga dipaksa, diteror, dst. Karena itu, patut dipertanyakan kalau motif kasek atau mantan kasek hanya untuk mencari untung. Boleh jadi motifnya tidak tunggal. Bisa banyak, berjalin berkelindan, sehingga sulit disatubahasakan.
Dalam kasus mantan kasek SDN Ende V, kata Kapolres Bambang Sugiarto, motifnya hanya mencari keuntungan. Dengan telaah di atas, kita tidak yakin. Dia untung, ya, sebagai kontra-prestasi. Tapi dia lakukan itu karena dibutuhkan. Jadi, ia membantu, meski dengan cara tidak terpuji.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 17 September 2009
Oleh Frans Anggal
Mantan kasek SDN Ende V, Wilhelmus Djoka, tertangkap tangan saat sedang membuat ijazah palsu di kediamannya, Sabtu 12 September 2009. Sejak 1997, ini kali ketiga pria 70-an tahun ini melakukan perbuatan yang sama. Dua kali untuk ijazah SD, satu kali ijazah SMP. Blanko ijazah ia peroleh dari seorang kasek di Nangapanda, sudah meninggal.
Pelaku sudah ditahan. Lembar ijazah sudah disita sebagai barang bukti. Juga stempel. Ia dikenai pasal 263 ayat 1 KUHP tentang pemalsuan surat, dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun. Motif tindakannya? “... hanya untuk mencari keuntungan,” kata Kapolres Bambang Sugiarto seperti diwartakan Flores Pos Rabu 16 September.
Sejauh direkam Flores Pos, ini kasus kedua di Ende sejak 2004 ketika seorang caleg kandas maju gara-gara ijazah palsu. Ia pemilik ijazah palsu. Sedangkan yang ini pembuat ijazah palsu. Baik pada kasus pertama maupun pada kasus kedua, pembuat ijazah palsu adalah kasek atau mantan kasek. Kasek, karena kewenangannya, dan mantan kasek, karena pengalamannya, mudah bikin itu.
Dibikin, karena dibutuhkan. Kalau berupa transaksi maka ada prestasi (jasa) dan kontra-prestasi (balas jasa). Kalau berupa perbuatan berangkai, berproses, dan berdurasi maka umumnya pelaku tidak tunggal. Ada penyertaan dalam tindak pidana. Dengan demikian, yang dipidana mencakup yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang meminta melakukan, dan yang turut serta melakukan.
Belum cukup. Masih ada pembantu kejahatan. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. Juga, mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Kalau locus delicti-nya rumah kediaman, yang turut serta mungkin anggota keluarga, tetangga, teman, dll. Kalau semuanya dijebloskan, penjara bisa sesak.
Sisi penyertaan dalam tindak pidana ini kita angkat bukan untuk menyeret semakin banyak orang dalam proses hukum. Yang hendak ditunjukkan adalah sisi lain dari hukum. Katakan saja, sisi sosiologis yang membuka peluang bagi terjadinya tindak pidana. Kata kunci dalam kasus kita ini adalah “ijazah”.
Ijazah dipandang dan diperlakukan begitu pentingnya. Republik ini adalah republik ijazah. Yang penting ijazah. Mutunya seakan tidak penting. Proses mendapatkannya seakan tidak penting juga. Maka, jangan kaget, dengan mutu seperti apa dan prosesnya bagaimana, tiba-tiba saja si A berijazah dan bergelar M.Si. Dan gelar akademik itu, yang menunjukkan ijazah itu, wajib dipasang di depan atau belakang nama. Makin panjang, semakin hebat.
Jadi caleg, harus ada ijazah. Bila tidak, kandaslah dia. Supaya tidak kandas, adakan ijazah. Jika asli tidak bisa, pakai yang palsu. Maka, kasek atau mantan kasek didatangi, ditawari, dirayu, didesak, mungkin juga dipaksa, diteror, dst. Karena itu, patut dipertanyakan kalau motif kasek atau mantan kasek hanya untuk mencari untung. Boleh jadi motifnya tidak tunggal. Bisa banyak, berjalin berkelindan, sehingga sulit disatubahasakan.
Dalam kasus mantan kasek SDN Ende V, kata Kapolres Bambang Sugiarto, motifnya hanya mencari keuntungan. Dengan telaah di atas, kita tidak yakin. Dia untung, ya, sebagai kontra-prestasi. Tapi dia lakukan itu karena dibutuhkan. Jadi, ia membantu, meski dengan cara tidak terpuji.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 17 September 2009
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus pembuatan ijazah palsu
Akhir Buruk DPRD Manggarai
Pengembalian Kendaraan Dinas 2004-2009
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 30 sepeda motor dan 1 mobil belum dikembalikan oleh mantan DPRD Manggarai 2004-2009. Yang sudah dikembalikan baru 7 sepeda motor dan 2 mobil. Ke-30 sepeda motor masih di tangan mantan anggota dewan. Sedangkan 1 mobil Nissan Tarano masih di tangan mantan ketua dewan John Ongge.
“Surat sudah kita keluarkan. Intinya kita minta mereka mengembalikan kendaraan yang menjadi milik pemerintah itu. Namun, reaksinya belum seperti diharapkan.” Begitu kata Sekwan Primus Parman seperti diwartakan Flores Pos Selasa 15 September 2009.
Memalukan! Mungkin ada yang bereaksi begitu. Tapi, siapa yang malu? Para mantan anggota dewan? Belum tentu mereka malu. Bisa saja mereka merasa diri benar. Merasa begitu, boleh jadi karena mereka telah lama tersesat, termasuk dalam menghadapi dan memperlakukan apa yang dinamakan kendaraan dinas. Hak pakai disamakan dengan hak milik. Barang pinjaman disamakan dengan barang temuan.
Kalau cuma tersesat karena tidak tahu, gampanglah, tinggal diberi tahu. Yang jadi soal, kalau mereka tahu itu salah, tapi tanam kaki dan tidak mau tahu. Itu berarti saraf malunya sudah putus. Mereka maju tak gentar memasang muka badak. Prinsipnya sederhana: hanya orang bodoh yang meminjamkan barang, dan hanya orang gila yang mengembalikan barang pinjaman.
Kasus seperti ini mengukuhkan “teori bandit” ala Indonesia. Politik masih dianggap sebagai lahan cari hidup. Caleg sama dengan pencaker---semestinya tiap caleg memiliki kartu kuning depanaker saat melamar ke parpol. Karena distorsinya begitu, tak mengherankan, saat mereka menjadi legislatif, kepentingan pribadi jauh lebih menonjol ketimbang kepentingan publik. Demi kepentingan pribadi, hak pakai atas aset negara disamakan dengan hak milik. Barang pinjaman disamakan dengan barang temuan.
Modus seperti ini cukup kentara pada kasus kendaraan dinas DPRD Manggarai 2004-2009. Pakai minta dulu baru mereka kembalikan. Itu pun baru 7 dari 37 sepeda motor dan 2 dari 3 mobil. Di mana 30 sepeda motor lainnya? Masih di tangan anggota. Di mana 1 mobil lainnya? Masih di tangan ketua. Anggota dan ketua sama saja. Ketua adalah primus inter pares, yang pertama di antara yang lain. Dalam hal yang positif, tentunya. Yang terjadi di Manggarai, sebaliknya. Primus inter pares dalam hal yang negatif.
Patut untuk dicatat, kasus ini terjadi justru di pengujung masa pengabdian mereka sebagai dewan. Pepatah Jerman bilang: akhir baik, semuanya baik. Sebaliknya tentu saja. Akhir yang buruk, semuanya jadi buruk. Ini vonis yang tidak adil, memang. Namun, jangan lupa, para mantan anggota dewan itu sedang berhadapan dengan publik. Dan publik memiliki memori terbatas untuk mengingat semua hal yang telah berlalu. Yang paling mudah mereka ingat adalah cerapan paling akhir. Gong pamungkas. Sayang, dalam kasus di Manggarai, gong pamungkasnya jutsru hal buruk. Maka: akhir buruk, semuanya buruk.
Akhir yang buruk ini akan semakin memburuk kalau pengembalian kendaraan dinas bertele-tele. Belum lagi kalau ternyata sudah dijual. Atau sengaja dibikin rusak agar masuk kategori ‘layak diputihkan’. Kita tunggu saja bagaimana bunyi knalpotnya nanti (menurut telinga Manggarai). Sebelum diputihkan: “celooong” (pinjaman). Setelah diputihkan: “deruuum” (milik).
“Bentara” FLORES POS, Rabu 16 September 2009
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 30 sepeda motor dan 1 mobil belum dikembalikan oleh mantan DPRD Manggarai 2004-2009. Yang sudah dikembalikan baru 7 sepeda motor dan 2 mobil. Ke-30 sepeda motor masih di tangan mantan anggota dewan. Sedangkan 1 mobil Nissan Tarano masih di tangan mantan ketua dewan John Ongge.
“Surat sudah kita keluarkan. Intinya kita minta mereka mengembalikan kendaraan yang menjadi milik pemerintah itu. Namun, reaksinya belum seperti diharapkan.” Begitu kata Sekwan Primus Parman seperti diwartakan Flores Pos Selasa 15 September 2009.
Memalukan! Mungkin ada yang bereaksi begitu. Tapi, siapa yang malu? Para mantan anggota dewan? Belum tentu mereka malu. Bisa saja mereka merasa diri benar. Merasa begitu, boleh jadi karena mereka telah lama tersesat, termasuk dalam menghadapi dan memperlakukan apa yang dinamakan kendaraan dinas. Hak pakai disamakan dengan hak milik. Barang pinjaman disamakan dengan barang temuan.
Kalau cuma tersesat karena tidak tahu, gampanglah, tinggal diberi tahu. Yang jadi soal, kalau mereka tahu itu salah, tapi tanam kaki dan tidak mau tahu. Itu berarti saraf malunya sudah putus. Mereka maju tak gentar memasang muka badak. Prinsipnya sederhana: hanya orang bodoh yang meminjamkan barang, dan hanya orang gila yang mengembalikan barang pinjaman.
Kasus seperti ini mengukuhkan “teori bandit” ala Indonesia. Politik masih dianggap sebagai lahan cari hidup. Caleg sama dengan pencaker---semestinya tiap caleg memiliki kartu kuning depanaker saat melamar ke parpol. Karena distorsinya begitu, tak mengherankan, saat mereka menjadi legislatif, kepentingan pribadi jauh lebih menonjol ketimbang kepentingan publik. Demi kepentingan pribadi, hak pakai atas aset negara disamakan dengan hak milik. Barang pinjaman disamakan dengan barang temuan.
Modus seperti ini cukup kentara pada kasus kendaraan dinas DPRD Manggarai 2004-2009. Pakai minta dulu baru mereka kembalikan. Itu pun baru 7 dari 37 sepeda motor dan 2 dari 3 mobil. Di mana 30 sepeda motor lainnya? Masih di tangan anggota. Di mana 1 mobil lainnya? Masih di tangan ketua. Anggota dan ketua sama saja. Ketua adalah primus inter pares, yang pertama di antara yang lain. Dalam hal yang positif, tentunya. Yang terjadi di Manggarai, sebaliknya. Primus inter pares dalam hal yang negatif.
Patut untuk dicatat, kasus ini terjadi justru di pengujung masa pengabdian mereka sebagai dewan. Pepatah Jerman bilang: akhir baik, semuanya baik. Sebaliknya tentu saja. Akhir yang buruk, semuanya jadi buruk. Ini vonis yang tidak adil, memang. Namun, jangan lupa, para mantan anggota dewan itu sedang berhadapan dengan publik. Dan publik memiliki memori terbatas untuk mengingat semua hal yang telah berlalu. Yang paling mudah mereka ingat adalah cerapan paling akhir. Gong pamungkas. Sayang, dalam kasus di Manggarai, gong pamungkasnya jutsru hal buruk. Maka: akhir buruk, semuanya buruk.
Akhir yang buruk ini akan semakin memburuk kalau pengembalian kendaraan dinas bertele-tele. Belum lagi kalau ternyata sudah dijual. Atau sengaja dibikin rusak agar masuk kategori ‘layak diputihkan’. Kita tunggu saja bagaimana bunyi knalpotnya nanti (menurut telinga Manggarai). Sebelum diputihkan: “celooong” (pinjaman). Setelah diputihkan: “deruuum” (milik).
“Bentara” FLORES POS, Rabu 16 September 2009
16 September 2009
Empat DPRD Lembata Gila?
Bimtek DPRD ke Jakarta
Oleh Frans Anggal
Om Toki pada “Senggol” Flores Pos Senin 14 September 2009 berceloteh tentang bimtek DPRD ke Jakarta. Celotehnya dipicu dua peristiwa. Di Flotim, ketua sementara DPRD bilang bimtek ke Jakarta itu untuk kepentingan rakyat. “Tak perlu omong, karena pasti omongnya begitu.” Di Lembata, 4 anggota DPRD tidak ikut bimtek. “Perlu omong, kalau tidak nanti dianggap gila.”
Keempat anggota DPRD Lembata itu sudah omong, diwartakan Flores Pos hari sebelumnya. Ada yang tidak ikut ke Jakarta atas keputusan partai. Itu berarti, partailah yang mem-bimtek mereka di tempat. Ada pula yang tidak ikut ke Jakarta setelah bersepakat dengan anggota dewan separtai. Kesepakatannya: cukup beberapa orang yang jalan. Yang didapat di Jakarta tinggal ditularkan kepada yang tidak jalan. Yang pergi akan mem-bimtek yang tidak pergi. Mereka perlakukan bimtek sebagai ‘bimbingan untuk para pembimbing’ (training of trainers).
Apa yang dilakukan ini merupakan pembongkaran terhadap anggapan palsu bahwa bimtek ke Jakarta itu wajib. Semua pergi seolah-seolah wajib. Padahal, tidak. Pergi semua, tidak wajib. Bahkan, pergi pun tidak wajib. Ini hak, bukan kewajiban.
Selain sebagai pembongkaran anggapan palsu, pilihan sikap segelintir anggota dewan ini merupakan bukti kecerdasan. Cerdas memilih cara. Cara pilihan mereka pun efektif, efisien, dan ekonomis. Ini juga bukti kecerdasan berotonomi. Mereka menyimpangi ‘arus utama’ (main stream) DPRD yang cenderung suka akan keseragaman. Apalagi kalau yang namanya bepergian jauh, bimtek rame-rame, stuba rame-rame: seragam.
Di tengah arus utama keseragaman ini, segelintir anggota dewan itu tampak lain dari yang lain. Oleh sesama anggota dewan, boleh jadi mereka dinilai negatif. Tidak menghargai kebersamaan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan. Lebih daripada itu, mereka bisa saja dicap genit, gila popularitas, sok pahlawan, dll.
Pertanyaan kita: senegatif itu jugakah penilaian masyarakat? Dipastikan, tidak. Di mata masyarakat, mereka ini justru menjadi oasis di tengah gurun keseragaman. Umumnya, saat kampanye, caleg menampilkan personalitas. Begitu terpilih dan dilantik, personalitasnya perlahan tenggelam. Yang tampak adalah uniformitas. “Aku” berubah menjadi “kami”, bahkan “kita”. Tidak demikian dengan segelintir orang itu. Mereka tetap tampil sebagai ”aku” yang memiliki sense of mission. Yang memiliki panggilan hati yang bermula dari rasa cinta kepada rakyat.
Karena itu, merekalah yang lebih pantas berucap “untuk kepentingan rakyat”. Tapi dalam kenyataan, frasa ini justru paling banyak dilantangsuarakan oleh “kami’ yang ngotot pergi bimtek ke Jakarta. Satu di antaranya, ketua sementara DPRD Flotim yang dicelotehi Om Toki. Bimtek ke Jakarta untuk kepentingan rakyat, katanya. “Untuk kepentingan rakyat”. DPRD lama, DPRD baru, Orde Lama, Orde Baru, mengusap-usap frasa yang sama. Begitu klisenya. Inilah yang menjadi dasar celoteh Om Toki: “Tak perlu omong, karena pasti omongnya begitu.”
Sebaliknya, kepada segelintir anggota DPRD Lembata yang tidak ikut bimtek ke Jakarta, Om Toki menuntut: “Perlu omong, kalau tidak nanti dianggap gila.” Yang menganggap mereka ‘gila’ adalah “kami” pencinta uniformitas. Supaya rakyat tidak ikut-ikutan menilai mereka gila, mereka harus omong. Mereka sudah omong. Sekarang, tinggal rakyat yang menilai: siapa yang gila?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 15 September 2009
Oleh Frans Anggal
Om Toki pada “Senggol” Flores Pos Senin 14 September 2009 berceloteh tentang bimtek DPRD ke Jakarta. Celotehnya dipicu dua peristiwa. Di Flotim, ketua sementara DPRD bilang bimtek ke Jakarta itu untuk kepentingan rakyat. “Tak perlu omong, karena pasti omongnya begitu.” Di Lembata, 4 anggota DPRD tidak ikut bimtek. “Perlu omong, kalau tidak nanti dianggap gila.”
Keempat anggota DPRD Lembata itu sudah omong, diwartakan Flores Pos hari sebelumnya. Ada yang tidak ikut ke Jakarta atas keputusan partai. Itu berarti, partailah yang mem-bimtek mereka di tempat. Ada pula yang tidak ikut ke Jakarta setelah bersepakat dengan anggota dewan separtai. Kesepakatannya: cukup beberapa orang yang jalan. Yang didapat di Jakarta tinggal ditularkan kepada yang tidak jalan. Yang pergi akan mem-bimtek yang tidak pergi. Mereka perlakukan bimtek sebagai ‘bimbingan untuk para pembimbing’ (training of trainers).
Apa yang dilakukan ini merupakan pembongkaran terhadap anggapan palsu bahwa bimtek ke Jakarta itu wajib. Semua pergi seolah-seolah wajib. Padahal, tidak. Pergi semua, tidak wajib. Bahkan, pergi pun tidak wajib. Ini hak, bukan kewajiban.
Selain sebagai pembongkaran anggapan palsu, pilihan sikap segelintir anggota dewan ini merupakan bukti kecerdasan. Cerdas memilih cara. Cara pilihan mereka pun efektif, efisien, dan ekonomis. Ini juga bukti kecerdasan berotonomi. Mereka menyimpangi ‘arus utama’ (main stream) DPRD yang cenderung suka akan keseragaman. Apalagi kalau yang namanya bepergian jauh, bimtek rame-rame, stuba rame-rame: seragam.
Di tengah arus utama keseragaman ini, segelintir anggota dewan itu tampak lain dari yang lain. Oleh sesama anggota dewan, boleh jadi mereka dinilai negatif. Tidak menghargai kebersamaan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan. Lebih daripada itu, mereka bisa saja dicap genit, gila popularitas, sok pahlawan, dll.
Pertanyaan kita: senegatif itu jugakah penilaian masyarakat? Dipastikan, tidak. Di mata masyarakat, mereka ini justru menjadi oasis di tengah gurun keseragaman. Umumnya, saat kampanye, caleg menampilkan personalitas. Begitu terpilih dan dilantik, personalitasnya perlahan tenggelam. Yang tampak adalah uniformitas. “Aku” berubah menjadi “kami”, bahkan “kita”. Tidak demikian dengan segelintir orang itu. Mereka tetap tampil sebagai ”aku” yang memiliki sense of mission. Yang memiliki panggilan hati yang bermula dari rasa cinta kepada rakyat.
Karena itu, merekalah yang lebih pantas berucap “untuk kepentingan rakyat”. Tapi dalam kenyataan, frasa ini justru paling banyak dilantangsuarakan oleh “kami’ yang ngotot pergi bimtek ke Jakarta. Satu di antaranya, ketua sementara DPRD Flotim yang dicelotehi Om Toki. Bimtek ke Jakarta untuk kepentingan rakyat, katanya. “Untuk kepentingan rakyat”. DPRD lama, DPRD baru, Orde Lama, Orde Baru, mengusap-usap frasa yang sama. Begitu klisenya. Inilah yang menjadi dasar celoteh Om Toki: “Tak perlu omong, karena pasti omongnya begitu.”
Sebaliknya, kepada segelintir anggota DPRD Lembata yang tidak ikut bimtek ke Jakarta, Om Toki menuntut: “Perlu omong, kalau tidak nanti dianggap gila.” Yang menganggap mereka ‘gila’ adalah “kami” pencinta uniformitas. Supaya rakyat tidak ikut-ikutan menilai mereka gila, mereka harus omong. Mereka sudah omong. Sekarang, tinggal rakyat yang menilai: siapa yang gila?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 15 September 2009
14 September 2009
Untuk Camat Ende Timur
Soal Usualan Alih Status Pasar Wolowna
Oleh Frans Anggal
Camat Ende Timur Damianus Frayalus mengusulkan alih status Pasar Wolowona. Dasarnya: daya tampung pasar sudah tidak memadai. Tujuannya: menampung pedagang dan melayakkan tempat dagang. Kalau ini disetujui bupati, camat akan ajukan pengelolaan oleh pihak ketiga. Bagi hasil. APBD tidak dibebankan.
Usulan ini patut dikritisi. Kalau ini upaya renovasi atau revitalisasi pasar tradisional, berapa ongkosnya? Jangan-jangan, pembangunan pasar itu demikian mahalnya sehingga dampaknya tidak akan terjangkau oleh pedagang tradisional. Ketidakmampuan mereka hanya akan membuka kases masuknya pedagang besar. Begitu yang besar masuk, yang kecil tergusur.
Siapa yang akan tergusur itu? Perempuan! Sebagian besar penghuni Pasar Wolowona adalah ibu-ibu. Mereka pedagang kecil yang mengandalkan Pasar Wolowona sebagai urat nadi perekonomian keluarga. Semestinya mereka didengarkan. Apakah camat sudah lakukan itu? Kalau belum, janganlah gegabah. Kalau terlanjur, itu namanya pongah.
Di AS, yang notebene jantungnya kapitalisme dunia, birokratnya tidak pongah. Pada hampir semua negara bagian, kebijakan pemerintahnya menunjukkan keberpihakan pada pasar tradisional. Bila pemerintah hendak merenovasi pasar, seluruh unsur masyarakat, terutama pedagang, dilibatkan dalam musyawarah, terutama dalam menentukan harga.
Seandainya camat Ende Timur melakukan itu, apa kira-kira aspirasi para pedagang? Boleh jadi, yang sebenarnya mereka butuhkan bukanlah pasar yang megah, tapi pasar yang murah sekaligus nyaman.
Begitu juga dengan rencana pengelolaan oleh pihak ketiga. Skemanya BOT (build-operate-transfer): bangun, operasi, dan transfer. Perusahaan swasta membayar setiap tahun kepada pemda. Apa kira-kira aspirasi para pedagang? Apa pun skemanya, yang penting tetap terjamin murah, aman, nyaman.
Kita sengaja menyentil ini karena Indonesia bukan AS. AS punya UU Small Act yang memang dibuat untuk menjamin dan melindungi usaha rakyat. Indonesia? Kebijakan pemerintah kita belum mengakomodasi kepentingan pasar tradisional. Sebaliknya, pemerintah kita melegitimasi pertumbuhan pasar modern yang dalam banyak kasus mematikan pasar tradisional. Lihatlah Keppres No. 96/2000 tentang Bidang Usaha Tertutup dan Terbuka bagi Penanaman Modal Asing. Perusahaan ritel pun boleh dimiliki asing. Ini gila. Kita lebih neolib ketimbang AS.
Itulah kebobrokan pusat. Daerah jangan ikut-ikutan. Gunakan otonomi daerah secara kreatif dan inovatif. UU Nomor 32 Tahun 2004 memungkinkan pemda memegang peranan penting dan strategis dalam dunia usaha, termasuk pasar.
Pesan kita untuk camat Ende Timur. Kalau mau usulkan sesuatu menyangkut Pasar Wolowona, jangan langsung ke bupati. Omong-omong dulu dengan ibu-ibu di pasar. Inisiatif lokal perlu disertai kearifan lokal.
“Bentara” FLORES POS, Senin 14 September 2009
Oleh Frans Anggal
Camat Ende Timur Damianus Frayalus mengusulkan alih status Pasar Wolowona. Dasarnya: daya tampung pasar sudah tidak memadai. Tujuannya: menampung pedagang dan melayakkan tempat dagang. Kalau ini disetujui bupati, camat akan ajukan pengelolaan oleh pihak ketiga. Bagi hasil. APBD tidak dibebankan.
Usulan ini patut dikritisi. Kalau ini upaya renovasi atau revitalisasi pasar tradisional, berapa ongkosnya? Jangan-jangan, pembangunan pasar itu demikian mahalnya sehingga dampaknya tidak akan terjangkau oleh pedagang tradisional. Ketidakmampuan mereka hanya akan membuka kases masuknya pedagang besar. Begitu yang besar masuk, yang kecil tergusur.
Siapa yang akan tergusur itu? Perempuan! Sebagian besar penghuni Pasar Wolowona adalah ibu-ibu. Mereka pedagang kecil yang mengandalkan Pasar Wolowona sebagai urat nadi perekonomian keluarga. Semestinya mereka didengarkan. Apakah camat sudah lakukan itu? Kalau belum, janganlah gegabah. Kalau terlanjur, itu namanya pongah.
Di AS, yang notebene jantungnya kapitalisme dunia, birokratnya tidak pongah. Pada hampir semua negara bagian, kebijakan pemerintahnya menunjukkan keberpihakan pada pasar tradisional. Bila pemerintah hendak merenovasi pasar, seluruh unsur masyarakat, terutama pedagang, dilibatkan dalam musyawarah, terutama dalam menentukan harga.
Seandainya camat Ende Timur melakukan itu, apa kira-kira aspirasi para pedagang? Boleh jadi, yang sebenarnya mereka butuhkan bukanlah pasar yang megah, tapi pasar yang murah sekaligus nyaman.
Begitu juga dengan rencana pengelolaan oleh pihak ketiga. Skemanya BOT (build-operate-transfer): bangun, operasi, dan transfer. Perusahaan swasta membayar setiap tahun kepada pemda. Apa kira-kira aspirasi para pedagang? Apa pun skemanya, yang penting tetap terjamin murah, aman, nyaman.
Kita sengaja menyentil ini karena Indonesia bukan AS. AS punya UU Small Act yang memang dibuat untuk menjamin dan melindungi usaha rakyat. Indonesia? Kebijakan pemerintah kita belum mengakomodasi kepentingan pasar tradisional. Sebaliknya, pemerintah kita melegitimasi pertumbuhan pasar modern yang dalam banyak kasus mematikan pasar tradisional. Lihatlah Keppres No. 96/2000 tentang Bidang Usaha Tertutup dan Terbuka bagi Penanaman Modal Asing. Perusahaan ritel pun boleh dimiliki asing. Ini gila. Kita lebih neolib ketimbang AS.
Itulah kebobrokan pusat. Daerah jangan ikut-ikutan. Gunakan otonomi daerah secara kreatif dan inovatif. UU Nomor 32 Tahun 2004 memungkinkan pemda memegang peranan penting dan strategis dalam dunia usaha, termasuk pasar.
Pesan kita untuk camat Ende Timur. Kalau mau usulkan sesuatu menyangkut Pasar Wolowona, jangan langsung ke bupati. Omong-omong dulu dengan ibu-ibu di pasar. Inisiatif lokal perlu disertai kearifan lokal.
“Bentara” FLORES POS, Senin 14 September 2009
12 September 2009
Wajah Ende dan Lapak Ikan
Ketika Pembiaran Melahirkan Masalah
Oleh Frans Anggal
Para pemilik lapak ikan di ruas jalan Imam Bonjol depan Terminal Ndao Ende mendatangi DPRD, Kamis 10 September 2009. Mereka menolak rencana pemerintah membongkar lapak. Kata mereka, lapak tidak mengganggu lalu lintas karena di luar badan jalan. Lapak hanya difungsikan sesekali, untuk menjual ikan yang tersisa dari pasar. Hari itu juga DPRD meninjau lokasi, selanjutnya menemui lurah dan camat.
Jalan Imam Bonjol adalah jalan negara. Di ruas jalan inilah Terminal Ndao, gerbang baratnya Kota Ende. Seperti apa wajah gerbang ini nanti kalau lapak-lapak ikan diizinkan? Sekadar gambaran, tengoklah wajah timur Kota Ende di Pasar Wolowona.
Pasar Wolowona teletak di tepi ruas jalan negara juga. Ini pasar tradisional, sentra penggerak kehidupan masyarakat yang mayoritasnya mengandalkan usaha kecil-menengah. Perannya tidak diragukan. Tidak demikian dengan lokasinya. Ini yang perlu dibicarakan kembali. Los pasar bertingkat? Dikelola pihak ketiga? Buka ruas jalan alternatif?
Sambil menunggu kebijakan pemkab, aktivitas Pasar Wolowona masih seperti dulu. Pada hari pasar Kamis petang hingga Jumat siang, suasananya sungguh ‘mencekam’. Padat, semrawut, kotor, bau. Penjual dan jualannya meluber hingga ke bahu jalan. Termasuk lapak-lapak ikan. Lalulintas macet. Di tempat ini, segala harapan dan kenangan akan cantiknya Kota Ende lenyap seketika.
Biang keroknya? Liputan Flores Pos 2006 menemukan kenyataan ini. Rendahnya kesadaran pedagang bukan sumber utama kotor dan semrawutnya pasar. Sumber utamanya: penegakan aturan yang lemah, mentalitas petugas yang gampang disogok, dan kurangnya pengawasan instansi terkait.
Oleh faktor yang sama, ruas jalan Imam Bonjol di gerbang barat Kota Ende, yang diapiti lapak-lapak ikan, berpeluang besar menjadi seperti ini. Awalnya cuma satu dua lapak. Karena lalai ditertibkan, jumlah lapak bertambah. Makin banyak, makin merusak, tidak hanya tata ruang, tapi juga kebersihan, keindahan, keamanan, dan kenyamanan.
Menurut para pemilik lapak, kehadiran lapak tidak mengganggu lalu lintas karena letaknya di luar badan jalan. Fungsinya hanya sesekali, untuk menjual ikan yang tidak laku di pasar. Apa yang mereka katakan itu benar. Namun hanya benar dalam keadaan seperti sekarang. Kalau atas pertimbangan itu lantas lapak yang ada dibiarkan maka akan muncul lapak-lapak baru. Kondisi Pasar Wolowona sekarang ini justru lahir dari proses seperti ini. Tahapannya perlahan dan, karena lemahnya pengawasan serta penertiban, akhirnya tercipta kondisi yang kemudian sulit diubah tanpa adanya resistensi atau penolakan yang kuat.
Kedatangan para pemilik lapak ke DPRD merupakan bukti adanya resistensi itu. Resistensi lahir dari kepentingan yang terganggu. Mereka sudah lama merasa diuntungkan oleh lemahnya penegakan aturan dan rendahnya pengawasan. Ketika penegakan aturan terkesan begitu tiba-tiba dan terburu-buru, jumlah mereka sudah banyak. Resistensi mereka pun menguat.
Dalam keadaan seperti ini, cara-cara represif tak boleh menjadi pilihan pertama dan utama. Tempatkan represi pada posisi terakhir. Kalaupun terpaksa dilakukan, haruslah ekstra hati-hati agar represi tidak menjadi anarki. Dahulukan dan utamakan persuasi. Karena itu, langkah DPRD menemui camat dan lurah sangatlah tepat. DPRD harus menjadi mediator dan fasilitator efektif bagi lahirnya solusi bermartabat (win-win solution).
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 12 September 2009
Oleh Frans Anggal
Para pemilik lapak ikan di ruas jalan Imam Bonjol depan Terminal Ndao Ende mendatangi DPRD, Kamis 10 September 2009. Mereka menolak rencana pemerintah membongkar lapak. Kata mereka, lapak tidak mengganggu lalu lintas karena di luar badan jalan. Lapak hanya difungsikan sesekali, untuk menjual ikan yang tersisa dari pasar. Hari itu juga DPRD meninjau lokasi, selanjutnya menemui lurah dan camat.
Jalan Imam Bonjol adalah jalan negara. Di ruas jalan inilah Terminal Ndao, gerbang baratnya Kota Ende. Seperti apa wajah gerbang ini nanti kalau lapak-lapak ikan diizinkan? Sekadar gambaran, tengoklah wajah timur Kota Ende di Pasar Wolowona.
Pasar Wolowona teletak di tepi ruas jalan negara juga. Ini pasar tradisional, sentra penggerak kehidupan masyarakat yang mayoritasnya mengandalkan usaha kecil-menengah. Perannya tidak diragukan. Tidak demikian dengan lokasinya. Ini yang perlu dibicarakan kembali. Los pasar bertingkat? Dikelola pihak ketiga? Buka ruas jalan alternatif?
Sambil menunggu kebijakan pemkab, aktivitas Pasar Wolowona masih seperti dulu. Pada hari pasar Kamis petang hingga Jumat siang, suasananya sungguh ‘mencekam’. Padat, semrawut, kotor, bau. Penjual dan jualannya meluber hingga ke bahu jalan. Termasuk lapak-lapak ikan. Lalulintas macet. Di tempat ini, segala harapan dan kenangan akan cantiknya Kota Ende lenyap seketika.
Biang keroknya? Liputan Flores Pos 2006 menemukan kenyataan ini. Rendahnya kesadaran pedagang bukan sumber utama kotor dan semrawutnya pasar. Sumber utamanya: penegakan aturan yang lemah, mentalitas petugas yang gampang disogok, dan kurangnya pengawasan instansi terkait.
Oleh faktor yang sama, ruas jalan Imam Bonjol di gerbang barat Kota Ende, yang diapiti lapak-lapak ikan, berpeluang besar menjadi seperti ini. Awalnya cuma satu dua lapak. Karena lalai ditertibkan, jumlah lapak bertambah. Makin banyak, makin merusak, tidak hanya tata ruang, tapi juga kebersihan, keindahan, keamanan, dan kenyamanan.
Menurut para pemilik lapak, kehadiran lapak tidak mengganggu lalu lintas karena letaknya di luar badan jalan. Fungsinya hanya sesekali, untuk menjual ikan yang tidak laku di pasar. Apa yang mereka katakan itu benar. Namun hanya benar dalam keadaan seperti sekarang. Kalau atas pertimbangan itu lantas lapak yang ada dibiarkan maka akan muncul lapak-lapak baru. Kondisi Pasar Wolowona sekarang ini justru lahir dari proses seperti ini. Tahapannya perlahan dan, karena lemahnya pengawasan serta penertiban, akhirnya tercipta kondisi yang kemudian sulit diubah tanpa adanya resistensi atau penolakan yang kuat.
Kedatangan para pemilik lapak ke DPRD merupakan bukti adanya resistensi itu. Resistensi lahir dari kepentingan yang terganggu. Mereka sudah lama merasa diuntungkan oleh lemahnya penegakan aturan dan rendahnya pengawasan. Ketika penegakan aturan terkesan begitu tiba-tiba dan terburu-buru, jumlah mereka sudah banyak. Resistensi mereka pun menguat.
Dalam keadaan seperti ini, cara-cara represif tak boleh menjadi pilihan pertama dan utama. Tempatkan represi pada posisi terakhir. Kalaupun terpaksa dilakukan, haruslah ekstra hati-hati agar represi tidak menjadi anarki. Dahulukan dan utamakan persuasi. Karena itu, langkah DPRD menemui camat dan lurah sangatlah tepat. DPRD harus menjadi mediator dan fasilitator efektif bagi lahirnya solusi bermartabat (win-win solution).
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 12 September 2009
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
lapak ikan,
pasar wolowona,
tata ruang kota
10 September 2009
Kejari Bajawa, Transparanlah!
Bolak-balik BAP Kasus Kematian Romo Faustin Sega Pr
Oleh Frans Anggal
Sudah setahun, proses hukum kasus kematian Romo Faustin Sega Pr. Awalnya kandas di Polres Ngada. Lalu lancar ketika diambil alih Polda NTT. Sekarang kandas lagi, di tangan Kejari Bajawa. BAP belum kunjung di-P21. Kejari masih bolak-balikkan BAP. Apa yang kurang? Apa yang perlu dilengkapi polisi?
Ketua JPIC Keuskupan Agung Ende Romo Rony Neto Wuli Pr sesalkan kinerja kejari. Penyesalan yang sama disampaikan Ketua Divisi Mediasi dan Advo¬kasi JPIC Gerardus Reo. Mereka mendesak kejari transparan dan segera P-21-kan BAP agar bisa dilimpahkan ke pengadilan dan disidangkan.
Tuntutan ini tepat. Dalam sistem demokrasi, kontrol warga terhadap negara dilakukan melalui dua jalur. Jalur langsung: pemilu. Jalur tak langsung: transparansi informasi. Melalui pemilu, warga mengontrol negara dengan menyeleksi dan memilih pemimpin yang dapat dipercaya. Melalui transpa¬ransi informasi, negara yang hakikatnya cenderung menutup informasi akan terkontrol secara baik.
Di Indonesia, keleluasaan kontrol warga terhadap negara masih terbatas pada jalur pemilu. Belum sungguh-sungguh nyata pada jalur transparansi informasi. Padahal, jalur ini telah diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 28F dan UU No 14/2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (UU KIP).
Bagaimana bisa memperoleh informasi kalau tidak ada transparansi? Kebebasan informasi publik tidak bisa ditawar-tawar. Pada titik inilah para pemangku kekuasaan merasa terganggu kepen¬tingannya. Mereka tidak leluasa lagi menjadi drakula pengisap darah, tikus pencuri, dan pedagang perkara.
Bayangkan kalau UU KIP tidak ada. Praktik Orba tetap berlangsung. Presiden hingga ketua RT bisa seenaknya menutup akses publik untuk memperoleh informasi. Mereka bisa bikin stempel bertuliskan RAHASIA, yang mudah saja dipesan murah di pinggir jalan. Hanya dengan stempel itu, sebuah dokumen bisa disulap menjadi rahasia negara. Yang membo¬corkannya dianggap membocorkan rahasia negara. Upaya masyarakat dan jurnalis untuk memperoleh informasi dikriminalkan.
Padahal, kalaupun UU KIP tidak ada, memperoleh informasi tetaplah hak setiap orang yang dijamin konstitusi. Secara intrinsik, hak ini mempra¬syarat¬kan adanya transparansi informasi. Tidak adanya UU tidak boleh menjadi dalih untuk tidak transparan. Kevukaman UU tidak memvakumkan amanat konstitusi, dan tidak memvakumkan prasyarat yang memastikan amanat konstitusi itu terlaksana. Kini, kevakuman itu telah lewat. UU KIP sudah diberlaku¬kan sejak Kamis 3 April 2008.
Dengan dasar ini, kita beralasan menuntut Kejari Bajawa: transparanlah! Bolak-balik BAP itu ada apa? Apanya yang belum lengkap? Apanya yang masih harus dilengkapi? Jelaskan kepada publik! Publik berhak untuk tahu. Hak hanya mengenal satu kata: penuhi! Kejari berkewajiban penuhi itu.
Dalam UU KIP, yang dikecualikan hanyalah menyangkut kerja intelijen, instalasi militer, dan hak intelektual. Jangan coba-coba menempelkan 'rahasia negara' pada bolak-balik BAP. 'Merahasia-negarakan' aksi pingpong BAP hanya akan merugikan proses penegakan hukum di satu sisi dan mengun¬tungkan proses perdagangan hukum di sisi lain.
Kita tidak rela diperlakukan begitu. Yang sudah ada di ruang publik janganlah ditarik masuk ke ruang privat, ruang gelap, ruang drakula, ruang tikus.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 11 September 2009
Oleh Frans Anggal
Sudah setahun, proses hukum kasus kematian Romo Faustin Sega Pr. Awalnya kandas di Polres Ngada. Lalu lancar ketika diambil alih Polda NTT. Sekarang kandas lagi, di tangan Kejari Bajawa. BAP belum kunjung di-P21. Kejari masih bolak-balikkan BAP. Apa yang kurang? Apa yang perlu dilengkapi polisi?
Ketua JPIC Keuskupan Agung Ende Romo Rony Neto Wuli Pr sesalkan kinerja kejari. Penyesalan yang sama disampaikan Ketua Divisi Mediasi dan Advo¬kasi JPIC Gerardus Reo. Mereka mendesak kejari transparan dan segera P-21-kan BAP agar bisa dilimpahkan ke pengadilan dan disidangkan.
Tuntutan ini tepat. Dalam sistem demokrasi, kontrol warga terhadap negara dilakukan melalui dua jalur. Jalur langsung: pemilu. Jalur tak langsung: transparansi informasi. Melalui pemilu, warga mengontrol negara dengan menyeleksi dan memilih pemimpin yang dapat dipercaya. Melalui transpa¬ransi informasi, negara yang hakikatnya cenderung menutup informasi akan terkontrol secara baik.
Di Indonesia, keleluasaan kontrol warga terhadap negara masih terbatas pada jalur pemilu. Belum sungguh-sungguh nyata pada jalur transparansi informasi. Padahal, jalur ini telah diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 28F dan UU No 14/2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (UU KIP).
Bagaimana bisa memperoleh informasi kalau tidak ada transparansi? Kebebasan informasi publik tidak bisa ditawar-tawar. Pada titik inilah para pemangku kekuasaan merasa terganggu kepen¬tingannya. Mereka tidak leluasa lagi menjadi drakula pengisap darah, tikus pencuri, dan pedagang perkara.
Bayangkan kalau UU KIP tidak ada. Praktik Orba tetap berlangsung. Presiden hingga ketua RT bisa seenaknya menutup akses publik untuk memperoleh informasi. Mereka bisa bikin stempel bertuliskan RAHASIA, yang mudah saja dipesan murah di pinggir jalan. Hanya dengan stempel itu, sebuah dokumen bisa disulap menjadi rahasia negara. Yang membo¬corkannya dianggap membocorkan rahasia negara. Upaya masyarakat dan jurnalis untuk memperoleh informasi dikriminalkan.
Padahal, kalaupun UU KIP tidak ada, memperoleh informasi tetaplah hak setiap orang yang dijamin konstitusi. Secara intrinsik, hak ini mempra¬syarat¬kan adanya transparansi informasi. Tidak adanya UU tidak boleh menjadi dalih untuk tidak transparan. Kevukaman UU tidak memvakumkan amanat konstitusi, dan tidak memvakumkan prasyarat yang memastikan amanat konstitusi itu terlaksana. Kini, kevakuman itu telah lewat. UU KIP sudah diberlaku¬kan sejak Kamis 3 April 2008.
Dengan dasar ini, kita beralasan menuntut Kejari Bajawa: transparanlah! Bolak-balik BAP itu ada apa? Apanya yang belum lengkap? Apanya yang masih harus dilengkapi? Jelaskan kepada publik! Publik berhak untuk tahu. Hak hanya mengenal satu kata: penuhi! Kejari berkewajiban penuhi itu.
Dalam UU KIP, yang dikecualikan hanyalah menyangkut kerja intelijen, instalasi militer, dan hak intelektual. Jangan coba-coba menempelkan 'rahasia negara' pada bolak-balik BAP. 'Merahasia-negarakan' aksi pingpong BAP hanya akan merugikan proses penegakan hukum di satu sisi dan mengun¬tungkan proses perdagangan hukum di sisi lain.
Kita tidak rela diperlakukan begitu. Yang sudah ada di ruang publik janganlah ditarik masuk ke ruang privat, ruang gelap, ruang drakula, ruang tikus.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 11 September 2009
Label:
bentara,
bolak-balik BAP kasus kematian romo faustin sega pr,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus kematian romo faustin sega pr,
kejari bajawa,
ngada
Rotok-Deno dan Raskin Itu
Kenapa Tidak Berani Tolak Raskin?
Oleh Frans Anggal
Seandaianya Bupati Manggarai Chris Rotok tahu asal-usul daging kerbau itu, mungkin dia tidak makan. Begitu juga anggota muspida. Mereka dijamu di Desa Pongkor, Kecamatan Satar Mese, pada syukuran proyek Wae Cecu. Daging kerbau yang dihidangkan adalah hasil penyimpangan beras raskin oleh kepala desa dan kepala dusun.
Kasusnya sedang ditangani polisi. Raskin yang simpangkan 15 ton, jatah 2008. Pengusaha kasih modal ke kades agar beras segera keluar dari Dolog Ruteng. Setelah diambil dari dolog, beras dibeli si pengusaha. Uangnya dibagikan kepada para ketua RT, Rp200 ribu per orang. Juga untuk kegiatan olahraga di kecamatan. Dan, untuk yang itu tadi: perjamuan syukuran proyek Wae Cecu.
Langkah kades, kadus, dan si pengusaha jelas menyalahi aturan. Tidak perlu diuraikan. Yang perlu, mempertanyakan satu ini: mengapa kades-kadus-pengusaha senekat itu? Kita patut dapat menduga, ini ada kaitannya dengan syukuran proyek.
Masyarakat kita suka dan ramah menerima tamu. Hospitalitasnya tidak perlu diragukan. Di kampung-kampung, di Manggarai misalnya, tamu yang lewat selalu disapa ramah, ditanyai, diajak masuk rumah. Kalau dijamu, menunya ‘istimewa’. Tamu biasa-biasa saja pakai ayam, masa untuk bupati dan rombongan pakai ayam juga? Paling rendah, babi. Lebih tinggi, sapi. Paling bergengsi, kerbau.
Boleh jadi, faktor hospitalitas ini turut mempengaruhi, untuk tidak mengatakan menentukan langkah si kades dan kadus. Sebagai tuan rumah syukuran proyek yang dihadiri bupati dan rombongan, mereka terbebani ‘keharusan’ akan hospitalitas itu. Dibilang apa nanti kalau jamuannya biasa-biasa saja? Yang datang ini orang besar. Hewan korban pun harus besar. Hewan besar berarti dana besar. Kumpulkan dana besar butuhkan waktu lama. Yang bisa bikin cepat hanya yang ada di Dolog Ruteng itu: beras raskin. Maka bersekongkollah mereka dengan pengusaha. Karena, hanya pengusahalah yang bisa membeli cepat dalam jumlah banyak.
Mereka tahu, ini penyimpangan. Maka harus dirahasiakan. Supaya kerahasiaan terjamin, yang berpotensi membongkar rahasia harus dirangkul. Mereka adalah para ketua RT. Mereka dikasih jatah. Aman, untuk sementara. Sekurang-kurangnya sampai dengan terselenggaranya syukuran proyek Wae Cecu. Selanjutnya? Syukuran berakhir, kerahasiaan juga berakhir. Babak baru pun dimulai: proses hukum.
Penyimpangan beras raskin dengan modus seperti ini boleh jadi tidak hanya terjadi di Desa Pongkor. Di Desa Pongkor, penyimpangannya terkait dengan skandal daging kerbau. Di desa lain mungkin terkait dengan skandal daging sapi, skandal daging babi, dll. Karena itu, ini patut menjadi perhatian Bupati Chris Rotok dan Wabup Kamelus Deno.
Rotok-Deno ingin maju sepaket lagi untuk pilkada 2010. Sekarang mereka rajin turun ke desa-desa. Agenda resminya, kunjungan dinas. Agenda tersembunyinya kita tahulah. Ini keuntungan bagi paket incumbent, tapi bisa menjadi petaka bagi kades dan kadus. Skandal daging kerbau di Desa Pongkor itu satu contoh.
Yang juga patut menjadi perhatian, raskin itu sendiri. Raskin terbukti membawa lebih banyak kutukan ketimbang berkat. Selain rawan penyimpangan, raskin melanggengkan mindset dan pola konsumsi sesat, bahwa makanan itu hanya beras. Keanekaragaman pangan lokal semakin tergusur. Kedaulatan pangan cuma jadi mimpi. Kenapa tidak berani ditolak?
“Bentara” FLORES POS, Kami 10 September 2009
Oleh Frans Anggal
Seandaianya Bupati Manggarai Chris Rotok tahu asal-usul daging kerbau itu, mungkin dia tidak makan. Begitu juga anggota muspida. Mereka dijamu di Desa Pongkor, Kecamatan Satar Mese, pada syukuran proyek Wae Cecu. Daging kerbau yang dihidangkan adalah hasil penyimpangan beras raskin oleh kepala desa dan kepala dusun.
Kasusnya sedang ditangani polisi. Raskin yang simpangkan 15 ton, jatah 2008. Pengusaha kasih modal ke kades agar beras segera keluar dari Dolog Ruteng. Setelah diambil dari dolog, beras dibeli si pengusaha. Uangnya dibagikan kepada para ketua RT, Rp200 ribu per orang. Juga untuk kegiatan olahraga di kecamatan. Dan, untuk yang itu tadi: perjamuan syukuran proyek Wae Cecu.
Langkah kades, kadus, dan si pengusaha jelas menyalahi aturan. Tidak perlu diuraikan. Yang perlu, mempertanyakan satu ini: mengapa kades-kadus-pengusaha senekat itu? Kita patut dapat menduga, ini ada kaitannya dengan syukuran proyek.
Masyarakat kita suka dan ramah menerima tamu. Hospitalitasnya tidak perlu diragukan. Di kampung-kampung, di Manggarai misalnya, tamu yang lewat selalu disapa ramah, ditanyai, diajak masuk rumah. Kalau dijamu, menunya ‘istimewa’. Tamu biasa-biasa saja pakai ayam, masa untuk bupati dan rombongan pakai ayam juga? Paling rendah, babi. Lebih tinggi, sapi. Paling bergengsi, kerbau.
Boleh jadi, faktor hospitalitas ini turut mempengaruhi, untuk tidak mengatakan menentukan langkah si kades dan kadus. Sebagai tuan rumah syukuran proyek yang dihadiri bupati dan rombongan, mereka terbebani ‘keharusan’ akan hospitalitas itu. Dibilang apa nanti kalau jamuannya biasa-biasa saja? Yang datang ini orang besar. Hewan korban pun harus besar. Hewan besar berarti dana besar. Kumpulkan dana besar butuhkan waktu lama. Yang bisa bikin cepat hanya yang ada di Dolog Ruteng itu: beras raskin. Maka bersekongkollah mereka dengan pengusaha. Karena, hanya pengusahalah yang bisa membeli cepat dalam jumlah banyak.
Mereka tahu, ini penyimpangan. Maka harus dirahasiakan. Supaya kerahasiaan terjamin, yang berpotensi membongkar rahasia harus dirangkul. Mereka adalah para ketua RT. Mereka dikasih jatah. Aman, untuk sementara. Sekurang-kurangnya sampai dengan terselenggaranya syukuran proyek Wae Cecu. Selanjutnya? Syukuran berakhir, kerahasiaan juga berakhir. Babak baru pun dimulai: proses hukum.
Penyimpangan beras raskin dengan modus seperti ini boleh jadi tidak hanya terjadi di Desa Pongkor. Di Desa Pongkor, penyimpangannya terkait dengan skandal daging kerbau. Di desa lain mungkin terkait dengan skandal daging sapi, skandal daging babi, dll. Karena itu, ini patut menjadi perhatian Bupati Chris Rotok dan Wabup Kamelus Deno.
Rotok-Deno ingin maju sepaket lagi untuk pilkada 2010. Sekarang mereka rajin turun ke desa-desa. Agenda resminya, kunjungan dinas. Agenda tersembunyinya kita tahulah. Ini keuntungan bagi paket incumbent, tapi bisa menjadi petaka bagi kades dan kadus. Skandal daging kerbau di Desa Pongkor itu satu contoh.
Yang juga patut menjadi perhatian, raskin itu sendiri. Raskin terbukti membawa lebih banyak kutukan ketimbang berkat. Selain rawan penyimpangan, raskin melanggengkan mindset dan pola konsumsi sesat, bahwa makanan itu hanya beras. Keanekaragaman pangan lokal semakin tergusur. Kedaulatan pangan cuma jadi mimpi. Kenapa tidak berani ditolak?
“Bentara” FLORES POS, Kami 10 September 2009
Pater Marsel Agot Cabup?
Mabar Jelang Pilkada 2010
Oleh Frans Anggal
“Pater Marsel Agot Lamar Jadi Bupati Mabar”. Begitu judul berita Flores Pos Jumat 4 September 2009. Alinea pertama memperjelasnya. Pater Marsel Agot SVD sudah terdaftar di Koalisi Besar, gabungan 14 partai politik, untuk menjadi bakal calon bupati 2010-2015.
Alinea kedua melengkapinya, mengutip Ketua Umum Koalisi Besar Lorensius Barus. Pater Marsel sudah resmi mengambil formulir pendaftaran di sekretariat koalisi pada Rabu 2 September menjelang siang. Dia melamar sebagai calon bupati perseorangan, sedangkan calon wakilnya diserahkan kepada koalisi
Aliena ketiga memperteguhnya dengan konfirmasi Kepala Sekretariat Koalisi Besar Wihelmus Warung. Alinea ini menambahkan informasi: hingga Rabu 2 September jumlah pelamar 11 orang, termasuk Pater Marsel.
Berita menarik. Menarik karena kontroversial. Kontroversial karena yang mau jadi bupati itu seorang imam-biarawan Katolik. Hukum Kanonik melarang imam berpartisipasi dalam partai politik dan organisasi perburuhan. Langkah Pater Marsel, kalau benar demikian, bertentangan dengan Kitab Hukum Kanonik Nomor 285 dan 287.
Benarkah Pater Marsel Agot SVD melamar jadi bupati Mabar? Pertanyaan ini tidak terjawab jelas-lengkap dalam berita. Ini beriisiko. Berita yang menarik karena kontroversialnya tapi belum jelas-lengkap unsur-unsurnya berpotensi melahirkan petaka wacana. Pihak yang diberikan bisa ‘diadili’ secara tidak adil.
Menghindari petaka itu, pihak yang diberitakan mesti diberi tempat. Bisa berupa hak jawab, hak konfirmasi, hak bantah, hak klarifikasi. Pada Sabtu 5 September, Pater Marsel menggunakan haknya melalui sebuah SMS.
“Perlu saya klarifikasi .... Sejak tahun lalu, ada sekelompok warga Mabar dan beberapa pimpinan partai politik mendekati saya dan berdiskusi seputar keadaan riil masyarakat Mabar. Mereka mendengar, menyaksikan dan mengalami berbagai keprihatinan seputar SDM, SDA, bidang pendidikan, transportasi, kesejahteraan masyarakat dan yang terkait dengan itu.
“Pada tahun 2009, kelompok yang mendekati dan berdiskusi dengan saya bertambah. Warga masyarakat itu merindukan perubahan. Butuh figur yang membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat Mabar. Sejalan dengan itu ada warga yang mengambil formulir dan mendaftarkan nama saya. Saya kira itu hak mereka dan saya harap mereka juga menghormati hak saya. Saya sudah terikat dengan peraturan tarekat dan ketentuan sebagai imam. Jika ada perubahan tentu didiskusikan dengan pimpinan.
“Menurut saya, apa yang ditulis dalam Flores Pos perlu dikaji lebih jauh dan lebih dalam maknanya. Warga masyarakat yang mengharapkan perubahan, perbaikan ‘mutu kehidupan’, dan dunia politik, menghendaki figur yang bisa merealisasikan cita-citanya.”
Kini jelas. Mabar butuhkan perubahan dan figur yang bisa membawa perubahan. Momennya adalah pilkada. Kita teringat akan Paraguay pada pilpres 2008. Fernando Lugo, mantan uskup, mantan imam, mantan biarawan SVD, menang dan mengakhiri pemerintahan partai-tunggal Colorado yang memerintah terus-menerus dengan cara-cara korup sejak 1947.
“Di Paraguay hanya ada maling dan korban maling,” kata Lugo. “Sekarang saatnya berubah! Jangan takut! Kita akan membangun Paraguay yang tidak akan terkenal karena korupsi dan kemiskinannya, tapi karena kejujurannya.”
Situasi Paraguay memaksa Lugo tanggalkan jubah. Mabar bukan Paraguay. Pater Marsel bukan Lugo. Maka tidak harus menjadi Lugo. Namun, spirit Lugo, itulah yang perlu dimiliki, siapa pun bupati Mabar.
“Bentara” FLORES POS, Senin 7 September 2009
Oleh Frans Anggal
“Pater Marsel Agot Lamar Jadi Bupati Mabar”. Begitu judul berita Flores Pos Jumat 4 September 2009. Alinea pertama memperjelasnya. Pater Marsel Agot SVD sudah terdaftar di Koalisi Besar, gabungan 14 partai politik, untuk menjadi bakal calon bupati 2010-2015.
Alinea kedua melengkapinya, mengutip Ketua Umum Koalisi Besar Lorensius Barus. Pater Marsel sudah resmi mengambil formulir pendaftaran di sekretariat koalisi pada Rabu 2 September menjelang siang. Dia melamar sebagai calon bupati perseorangan, sedangkan calon wakilnya diserahkan kepada koalisi
Aliena ketiga memperteguhnya dengan konfirmasi Kepala Sekretariat Koalisi Besar Wihelmus Warung. Alinea ini menambahkan informasi: hingga Rabu 2 September jumlah pelamar 11 orang, termasuk Pater Marsel.
Berita menarik. Menarik karena kontroversial. Kontroversial karena yang mau jadi bupati itu seorang imam-biarawan Katolik. Hukum Kanonik melarang imam berpartisipasi dalam partai politik dan organisasi perburuhan. Langkah Pater Marsel, kalau benar demikian, bertentangan dengan Kitab Hukum Kanonik Nomor 285 dan 287.
Benarkah Pater Marsel Agot SVD melamar jadi bupati Mabar? Pertanyaan ini tidak terjawab jelas-lengkap dalam berita. Ini beriisiko. Berita yang menarik karena kontroversialnya tapi belum jelas-lengkap unsur-unsurnya berpotensi melahirkan petaka wacana. Pihak yang diberikan bisa ‘diadili’ secara tidak adil.
Menghindari petaka itu, pihak yang diberitakan mesti diberi tempat. Bisa berupa hak jawab, hak konfirmasi, hak bantah, hak klarifikasi. Pada Sabtu 5 September, Pater Marsel menggunakan haknya melalui sebuah SMS.
“Perlu saya klarifikasi .... Sejak tahun lalu, ada sekelompok warga Mabar dan beberapa pimpinan partai politik mendekati saya dan berdiskusi seputar keadaan riil masyarakat Mabar. Mereka mendengar, menyaksikan dan mengalami berbagai keprihatinan seputar SDM, SDA, bidang pendidikan, transportasi, kesejahteraan masyarakat dan yang terkait dengan itu.
“Pada tahun 2009, kelompok yang mendekati dan berdiskusi dengan saya bertambah. Warga masyarakat itu merindukan perubahan. Butuh figur yang membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat Mabar. Sejalan dengan itu ada warga yang mengambil formulir dan mendaftarkan nama saya. Saya kira itu hak mereka dan saya harap mereka juga menghormati hak saya. Saya sudah terikat dengan peraturan tarekat dan ketentuan sebagai imam. Jika ada perubahan tentu didiskusikan dengan pimpinan.
“Menurut saya, apa yang ditulis dalam Flores Pos perlu dikaji lebih jauh dan lebih dalam maknanya. Warga masyarakat yang mengharapkan perubahan, perbaikan ‘mutu kehidupan’, dan dunia politik, menghendaki figur yang bisa merealisasikan cita-citanya.”
Kini jelas. Mabar butuhkan perubahan dan figur yang bisa membawa perubahan. Momennya adalah pilkada. Kita teringat akan Paraguay pada pilpres 2008. Fernando Lugo, mantan uskup, mantan imam, mantan biarawan SVD, menang dan mengakhiri pemerintahan partai-tunggal Colorado yang memerintah terus-menerus dengan cara-cara korup sejak 1947.
“Di Paraguay hanya ada maling dan korban maling,” kata Lugo. “Sekarang saatnya berubah! Jangan takut! Kita akan membangun Paraguay yang tidak akan terkenal karena korupsi dan kemiskinannya, tapi karena kejujurannya.”
Situasi Paraguay memaksa Lugo tanggalkan jubah. Mabar bukan Paraguay. Pater Marsel bukan Lugo. Maka tidak harus menjadi Lugo. Namun, spirit Lugo, itulah yang perlu dimiliki, siapa pun bupati Mabar.
“Bentara” FLORES POS, Senin 7 September 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
mabar,
pater marsel agot svd,
pilkada mabar 2010,
politik
04 September 2009
DPRD Ende, Awal yang Buruk
Ke Jakarta Mencoreng Wajah Sendiri
Oleh Frans Anggal
Setelah dilantik, apa hal pertama yang dilakukan DPRD? Tiap kabupaten punya cerita. Kita angkat dari tiga kabupaten bertetangga. Sikka, Ende, Ngada.
Di Sikka, kegiatan perdananya bersidang. DPRD bahas rancangan tatib sambil tunggu pedoman tatib baru dari pusat. Sambil menunggu, mereka bersidang. Hasilnya nanti tinggal disesuaikan dengan tatib baru. Mereka yakin , meski ada perubahan, tatib baru tetap mengandung banyak konten lama. Dengan begitu, penyesuaian nanti hanya menyangkut konten baru. “Ini sekaligus momen pembelajaran bagi teman-teman anggota baru,” kata Ketua Sementara Rafael Raga.
Di Ngada, kegiatannya juga sama. Bersidang. Tidak tanggung-tanggung, DPRD bahas banyak agenda. Mulai dari pemahaman tentang nilai hingga surat edaran mendagri dan tatib. Sambil menunggu, mereka bersidang. Khusus tentang nilai, mereka gali pikiran satu sama lain. Ini berangkat dari ‘obsesi’ Ketua Sementara Kristoforus Loko: anggota dewan perlu memiliki pemahaman bersama.
Di Ende, ini yang lain. Mereka memang bersidang, namun hanya sekali. Hasilnya: mereka bersepakat untuk bersama-sama menjaga harkat dan martabat dewan. Sesudah itu? “... kita hanya datang, duduk, dan dengar lalu pulang. Tidak ada kegiatan apa-apa,” kata Sudrasman Nuh dari Partai Bulang Bintang. Mereka baru akan bersidang lagi sepulang orientasi dari Jakarta.
Kalau DPRD Sikka dan Ngada menunggu sambil bersidang, DPRD Ende menunggu sambil bertandang. Ketua Sementara DPRD Ende Marselinus YW Petu beralasan, orientasi ke Jakarta itu penting demi kesepahaman tentang hal yang akan mereka bahas nanti: susduk, tatib, dll. Karena itu, jangan permasalahkan dana.
Memiliki pemahaman yang sama itu penting. Tapi, apakah untuk itu, kegiatannya harus di Jakarta? DPRD Sikka dan Ngada menyadari pentingnya pemahaman bersama. Tapi, mereka di tempat saja. Mereka memilih duduk ketimbang berjalan. Mereka memilih yang dekat ketimbang yang jauh. Mereka memilih bertemu satu sama lain ketimbang menemui pihak lain. Mereka memilih yang cepat ketimbang yang lambat. Mereka memilih yang hemat ketimbang yang boros.
Kata ‘memilih’ sengaja kita gunakan untuk menunjukkan, ke Jakarta bukanlah keniscayaan. Ini pilihan cara. Untuk membangun kesepahaman, ke Jakarta hanyalah salah satu, bukan satu-satunya cara. Masih ada bahkan banyak cara lain, seperti dilakukan DPRD Sikka dan Ngada. Sebagai salah satu, ke Jakarta pun bukan cara terbaik. Bukan yang paling efektif, paling efisien, dan paling ekonomis. Karena itulah, DPRD Sikka dan Ngada tidak memilihnya. Mengapa justru menjadi pilihan DPRD Ende?
Tidak ada alasan kuat, penting, mendesak, rasional, dan meyakinkan yang membenarkan pilihan DPRD Ende. Pilihan itu hanya mengesankan mereka ’memakai kesempatan’. Mumpung pedoman barunya belum ada. Mumpung dana jalannya ada. Maka, menunggu pedoman baru, mereka jalan(-jalan). Menunggu sambil bertandang.
DPRD Ende mencoreng wajah sendiri justru ketika rapat perdananya menyepakat menjaga harkat dan martabat dewan. Awal yang buruk. Mengecewakan. Dengan citra seperti ini, segala alasan pembenaran diri kehilangan daya. Semakin dilontarkan, semakin terkulai. Benar kata puisi Karl Wolfskehl. Und ob ihr tausend Worte habt: Dan Wort, das Wort ist tot. “Dan karena kalian memiliki seribu kata: Maka kata, kata itu pun mati.”
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 5 September 2009
Oleh Frans Anggal
Setelah dilantik, apa hal pertama yang dilakukan DPRD? Tiap kabupaten punya cerita. Kita angkat dari tiga kabupaten bertetangga. Sikka, Ende, Ngada.
Di Sikka, kegiatan perdananya bersidang. DPRD bahas rancangan tatib sambil tunggu pedoman tatib baru dari pusat. Sambil menunggu, mereka bersidang. Hasilnya nanti tinggal disesuaikan dengan tatib baru. Mereka yakin , meski ada perubahan, tatib baru tetap mengandung banyak konten lama. Dengan begitu, penyesuaian nanti hanya menyangkut konten baru. “Ini sekaligus momen pembelajaran bagi teman-teman anggota baru,” kata Ketua Sementara Rafael Raga.
Di Ngada, kegiatannya juga sama. Bersidang. Tidak tanggung-tanggung, DPRD bahas banyak agenda. Mulai dari pemahaman tentang nilai hingga surat edaran mendagri dan tatib. Sambil menunggu, mereka bersidang. Khusus tentang nilai, mereka gali pikiran satu sama lain. Ini berangkat dari ‘obsesi’ Ketua Sementara Kristoforus Loko: anggota dewan perlu memiliki pemahaman bersama.
Di Ende, ini yang lain. Mereka memang bersidang, namun hanya sekali. Hasilnya: mereka bersepakat untuk bersama-sama menjaga harkat dan martabat dewan. Sesudah itu? “... kita hanya datang, duduk, dan dengar lalu pulang. Tidak ada kegiatan apa-apa,” kata Sudrasman Nuh dari Partai Bulang Bintang. Mereka baru akan bersidang lagi sepulang orientasi dari Jakarta.
Kalau DPRD Sikka dan Ngada menunggu sambil bersidang, DPRD Ende menunggu sambil bertandang. Ketua Sementara DPRD Ende Marselinus YW Petu beralasan, orientasi ke Jakarta itu penting demi kesepahaman tentang hal yang akan mereka bahas nanti: susduk, tatib, dll. Karena itu, jangan permasalahkan dana.
Memiliki pemahaman yang sama itu penting. Tapi, apakah untuk itu, kegiatannya harus di Jakarta? DPRD Sikka dan Ngada menyadari pentingnya pemahaman bersama. Tapi, mereka di tempat saja. Mereka memilih duduk ketimbang berjalan. Mereka memilih yang dekat ketimbang yang jauh. Mereka memilih bertemu satu sama lain ketimbang menemui pihak lain. Mereka memilih yang cepat ketimbang yang lambat. Mereka memilih yang hemat ketimbang yang boros.
Kata ‘memilih’ sengaja kita gunakan untuk menunjukkan, ke Jakarta bukanlah keniscayaan. Ini pilihan cara. Untuk membangun kesepahaman, ke Jakarta hanyalah salah satu, bukan satu-satunya cara. Masih ada bahkan banyak cara lain, seperti dilakukan DPRD Sikka dan Ngada. Sebagai salah satu, ke Jakarta pun bukan cara terbaik. Bukan yang paling efektif, paling efisien, dan paling ekonomis. Karena itulah, DPRD Sikka dan Ngada tidak memilihnya. Mengapa justru menjadi pilihan DPRD Ende?
Tidak ada alasan kuat, penting, mendesak, rasional, dan meyakinkan yang membenarkan pilihan DPRD Ende. Pilihan itu hanya mengesankan mereka ’memakai kesempatan’. Mumpung pedoman barunya belum ada. Mumpung dana jalannya ada. Maka, menunggu pedoman baru, mereka jalan(-jalan). Menunggu sambil bertandang.
DPRD Ende mencoreng wajah sendiri justru ketika rapat perdananya menyepakat menjaga harkat dan martabat dewan. Awal yang buruk. Mengecewakan. Dengan citra seperti ini, segala alasan pembenaran diri kehilangan daya. Semakin dilontarkan, semakin terkulai. Benar kata puisi Karl Wolfskehl. Und ob ihr tausend Worte habt: Dan Wort, das Wort ist tot. “Dan karena kalian memiliki seribu kata: Maka kata, kata itu pun mati.”
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 5 September 2009
Label:
awal yang buruk dprd ende,
bentara,
dprd ende,
drprd ende mencoreng wajah sendiri,
ende,
flores,
flores pos,
orientasi dprd ende ke jakarta,
politik
Ancaman Yos Aron Making
Sekitar Pelantikan DPRD Lembata
Oleh Frans Anggal
Berturut-turut, Flores Pos (FP) beritakan peristiwa terkait pelantikan DPRD Lembata. Selasa 1 September 2009, FP lansir demo FPKL. Dalam orasinya, FPKL dukung kepemimpinan Bupati Andreas Duli Manuk, menuntut Polres Lembata dibubarkan , dan mendesak PDIP batalkan pemecatan Erni Manuk. Erni putri bupati, caleg terpilih PDIP yang dipecat dari keanggotaan partai karena terlibat kasus pembunuhan Yoakim Langoday. Orator demo adalah Yos Aron Making.
Rabu 2 September, FP wartakan aksi keluarga Erni ke mapolres. Mereka minta izin polisi lepaskan Erni dari sel agar dilantik. Tidak diizinkan. Mereka pun mengancam hadirkan massa ke mapolres dan batalkan pelantikan. Yang mengancam adalah Yos Aron Making.
Tak hanya ancam, mereka menelepon seseorang agar segera kerahkan massa. Massa pun datang, 10-an orang. Mereka mengaku disuruh seorang pejabat di kantor bupati. Yang menelepon adalah Yos Aron Making.
Kamis 3 September, FP singkapkan identitas pejabat yang kerahkan massa. Kabag Umum Apol Manuk. Apol membantah. Edisi yang sama melansir adegan di gedung DPRD saat pelantikan. Seorang anggota keluarga menantang seorang perwira polisi untuk berkelahi. Si penantang adalah Yos Aron Making.
Siapakah Yos Aron Making? Pemberitaan hanya menyebutkan satu atribut dengan banyak tindakan. Ia keluarga Erni. Saat demo FPKL, ia berorasi, antara lain menuntut polres dibubarkan . Saat ke mapolres, ia mengancam datangkan massa, menelepon minta pengerahan massa, dan mengancam batalkan pelantikan DPRD. Saat pelantikan, ia menantang polisi berkelahi.
Tingkahnya mirip tingkah Osi Wejak di Pasar Lewoleba pekan sebelumnya. Dua kali Osi mengacam pedagang ikan dan sayur. Kali kedua bersama anak Bupati Manuk. “Kamu yang ikut demo itu, kamu lihat besok!” Demo yang dirujuk adalah demo Aldiras minggu sebelumnya. Aldiras mendesak polisi dan jaksa serius menangani kasus kematian Yoakim Langoday. Juga menyoroti kepemimpinan Bupati Manuk yang dinilai gagal.
Apa yang mirip dari tingkah keduanya? Cara. Cara preman. Yos Aron Making punya lebih ‘hebat’. Tidak hanya ancam, ia tantang polisi untuk berkelahi. Yang mengenal sosok ini bisa terkaget-kaget. Yos Aron Making itu mantan anggota dewan terhormat Kabupaten Ende. Di mana saja cara terhormat yang pernah ia pelajari? Semestinya terpola dan terbawa. Sehingga, meski bukan lagi anggota dewan, ia tetap anggota masyarakat terhormat. Cara preman bukan cara pantas seorang terhormat.
Yos Aron Making juga mantan narapidana di Ende. Terpidana kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kasusnya setelah ia tidak lagi anggota dewan. Di mana saja hikmah yang ia pelajari di penjara? Semestinya bertobat. Sehingga, selepas narapidana, ia narasumber kebijaksanaan hidup. Cara preman bukan cara pantas seorang petobat.
Terhadap tingkahnya itu, apa reaksi Polres Lembata? Menyikapi ancaman Osi Wejak, para pedagang melapor ke polisi. Sekarang giliran polisi yang diancam. Dibiarkan?
Kasus kematian Langoday kasus sangat serius. Kasus ini menjadikan warga Lembata terbelah (devided citizen). Semua konflik yang selama ini ‘tersembunyi’ kini seakan menemukan medan dan momen untuk ‘mencuat’, ‘terbuka’, dan ‘meningkat’. Mata rantai premanisme harus segera diputuskan agar konflik tidak eskalatif. Membiarkan sama dengan membiakkan!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 4 September 2009
Oleh Frans Anggal
Berturut-turut, Flores Pos (FP) beritakan peristiwa terkait pelantikan DPRD Lembata. Selasa 1 September 2009, FP lansir demo FPKL. Dalam orasinya, FPKL dukung kepemimpinan Bupati Andreas Duli Manuk, menuntut Polres Lembata dibubarkan , dan mendesak PDIP batalkan pemecatan Erni Manuk. Erni putri bupati, caleg terpilih PDIP yang dipecat dari keanggotaan partai karena terlibat kasus pembunuhan Yoakim Langoday. Orator demo adalah Yos Aron Making.
Rabu 2 September, FP wartakan aksi keluarga Erni ke mapolres. Mereka minta izin polisi lepaskan Erni dari sel agar dilantik. Tidak diizinkan. Mereka pun mengancam hadirkan massa ke mapolres dan batalkan pelantikan. Yang mengancam adalah Yos Aron Making.
Tak hanya ancam, mereka menelepon seseorang agar segera kerahkan massa. Massa pun datang, 10-an orang. Mereka mengaku disuruh seorang pejabat di kantor bupati. Yang menelepon adalah Yos Aron Making.
Kamis 3 September, FP singkapkan identitas pejabat yang kerahkan massa. Kabag Umum Apol Manuk. Apol membantah. Edisi yang sama melansir adegan di gedung DPRD saat pelantikan. Seorang anggota keluarga menantang seorang perwira polisi untuk berkelahi. Si penantang adalah Yos Aron Making.
Siapakah Yos Aron Making? Pemberitaan hanya menyebutkan satu atribut dengan banyak tindakan. Ia keluarga Erni. Saat demo FPKL, ia berorasi, antara lain menuntut polres dibubarkan . Saat ke mapolres, ia mengancam datangkan massa, menelepon minta pengerahan massa, dan mengancam batalkan pelantikan DPRD. Saat pelantikan, ia menantang polisi berkelahi.
Tingkahnya mirip tingkah Osi Wejak di Pasar Lewoleba pekan sebelumnya. Dua kali Osi mengacam pedagang ikan dan sayur. Kali kedua bersama anak Bupati Manuk. “Kamu yang ikut demo itu, kamu lihat besok!” Demo yang dirujuk adalah demo Aldiras minggu sebelumnya. Aldiras mendesak polisi dan jaksa serius menangani kasus kematian Yoakim Langoday. Juga menyoroti kepemimpinan Bupati Manuk yang dinilai gagal.
Apa yang mirip dari tingkah keduanya? Cara. Cara preman. Yos Aron Making punya lebih ‘hebat’. Tidak hanya ancam, ia tantang polisi untuk berkelahi. Yang mengenal sosok ini bisa terkaget-kaget. Yos Aron Making itu mantan anggota dewan terhormat Kabupaten Ende. Di mana saja cara terhormat yang pernah ia pelajari? Semestinya terpola dan terbawa. Sehingga, meski bukan lagi anggota dewan, ia tetap anggota masyarakat terhormat. Cara preman bukan cara pantas seorang terhormat.
Yos Aron Making juga mantan narapidana di Ende. Terpidana kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kasusnya setelah ia tidak lagi anggota dewan. Di mana saja hikmah yang ia pelajari di penjara? Semestinya bertobat. Sehingga, selepas narapidana, ia narasumber kebijaksanaan hidup. Cara preman bukan cara pantas seorang petobat.
Terhadap tingkahnya itu, apa reaksi Polres Lembata? Menyikapi ancaman Osi Wejak, para pedagang melapor ke polisi. Sekarang giliran polisi yang diancam. Dibiarkan?
Kasus kematian Langoday kasus sangat serius. Kasus ini menjadikan warga Lembata terbelah (devided citizen). Semua konflik yang selama ini ‘tersembunyi’ kini seakan menemukan medan dan momen untuk ‘mencuat’, ‘terbuka’, dan ‘meningkat’. Mata rantai premanisme harus segera diputuskan agar konflik tidak eskalatif. Membiarkan sama dengan membiakkan!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 4 September 2009
Label:
bentara,
erni manuk,
flores,
flores pos,
kasus kematian yoakim langoday,
lembata,
pelantikan dprd lembata,
premanisme,
yos aron making
02 September 2009
DPRD Ende Pigi Jakarta
Baru Dilantik dan Belum Mulai Bersidang
Oleh Frans Anggal
Belum mulai bersidang, anggota DPRD Ende yang baru dilantik sudah siap pigi orientasi ke Jakarta. Mereka memanen kritik. Antara lain dari GMNI. GMNI mendesak 30 anggota dewan itu batal berangkat. Biayanya besar. Rugikan keuangan daerah. Lebih baik dananya digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kurang mampu.
Tanggapan dewan? Orientasi itu penting, kata Ketua Sementara Marselius YW Petu: agar anggota dewan memiliki pemahaman yang sama tentang hal yang akan mereka sidangkan nanti. Sepulang orientasi mereka akan membahas susduk, tatib, dan pimpinan definitif. Karena itu, jangan permasalahkan dana.
Orientasi ke Jakarta, pentingkah? Menurut GMNI, tidak. Kegiatan itu pemborosan. Menurut dewan, sebaliknya: penting. Dana itu biaya, bukan penghamburan.
Titik temunya? Sulit ditemukan. Mungkin tak bakal ketemu. Mengapa? Kedua sikap itu tidak diungkapkan dalam interaksi. GMNI dan DPRD hanya ‘dipertemukan’ dalam berita. Yang terjadi bukan ‘dialog’, tapi ‘duolog’ atau ‘monolog’ bergilir. Ada wacana, tapi masing-masing bicara sendiri-sendiri.
Kalau dialog terjadi, apakah DPRD batal ke Jakarta? Dari pengalaman dewan sebelumnya, sulitlah. Yang namanya pigi jauh rame-rame, sukar dibatalkan. Apalagi kalau sudah ada anggarannya. Yang namanya anggaran harus dihabiskan. Logikanya begitu. Tidak dihabiskan, bodoh sendiri.
Dengan logika begini , desakan GMNI bisa saja dinilai lucu. Celoteh anak kuliahan yang masih idealistis, yang belum masuk dan belum terperangkap struktur kekuasaan. Kalau sudah masuk, baru tahu dia, dan akhirnya tergoda dia, maka jadilah dia tidak lebih baik dari ‘kami-kami’.
GMNI menilai orientasi 30 anggota dewan itu memakan dana besar. Dewan bisa saja menjawab: untuk anak kuliahan, itu besar. Untuk DPRD, itu wajar. Yang pigi orientasi ini bukan mahasiswa. Kami ini anggota dewan ‘terhormat’. Maka, biaya transportasi, akomodasi, uang saku, dll harus ‘terhormat’ pula. Itu namanya selaras, serasi, seimbang.
GMNI menilai orientasi itu merugikan keuangan daerah. Dewan bisa saja menyerang balik: dasar penghitunganmu ? Soal hitung-menghitung, kami lebih tahu. Kami ini pengemban fungsi budget menurut UU. Semua mata anggaran sudah dibahas dan ditetapkan dewan lama. Waktu untuk diskusi dana orientasi sudah lewat. Sekarang waktunya untuk menghabiskan.
GMNI berpendapat, lebih baik dana itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kurang mampu. Dewan bisa saja menyahut: masing-masing pos sudah ada anggarannya, tau! Untuk masyarakat kurang mampu sudah ada dananya. Semuanya sudah diatur cantik. Jangan kacaukan peruntukan dana. Itu namanya melanggar disiplin anggaran.
Dengan begitu (seandainya memang begitu), pernyataan Marsel Petu semakin mendapatkan pembenaran: jangan permasalahkan dana! Karena itu, wahai GMNI: anjing menggonggong, kafilah berlalu. Kalian menggonggong, kami tidak mau tau. Yang sudah diputuskan, dilaksanakan. Itu namanya konsistensi tugas. Yang sudah dianggarkan, dihabiskan. Itu namanya disipilin anggaran.
Jadi, jangan persoalkan anggaran! Persoalkan hal lain. Misalnya, SDM kami. Sekian bulan sejak terpilih, kami sibuk sana-sini, lupa orientasikan diri. Saat sudah dilantik, barulah kami belajar jadi anggota dewan. Sebenarnya, datangkan instruktur dari Jakarta bisa lebih hemat. Tapi, untuk apa? Sudah ada anggarannya koq. Salahkah kalau kami hanya menghabiskan jatah kami? Ataukah kamu iri? Makanya, jadilah anggota dewan!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 3 September 2009
Oleh Frans Anggal
Belum mulai bersidang, anggota DPRD Ende yang baru dilantik sudah siap pigi orientasi ke Jakarta. Mereka memanen kritik. Antara lain dari GMNI. GMNI mendesak 30 anggota dewan itu batal berangkat. Biayanya besar. Rugikan keuangan daerah. Lebih baik dananya digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kurang mampu.
Tanggapan dewan? Orientasi itu penting, kata Ketua Sementara Marselius YW Petu: agar anggota dewan memiliki pemahaman yang sama tentang hal yang akan mereka sidangkan nanti. Sepulang orientasi mereka akan membahas susduk, tatib, dan pimpinan definitif. Karena itu, jangan permasalahkan dana.
Orientasi ke Jakarta, pentingkah? Menurut GMNI, tidak. Kegiatan itu pemborosan. Menurut dewan, sebaliknya: penting. Dana itu biaya, bukan penghamburan.
Titik temunya? Sulit ditemukan. Mungkin tak bakal ketemu. Mengapa? Kedua sikap itu tidak diungkapkan dalam interaksi. GMNI dan DPRD hanya ‘dipertemukan’ dalam berita. Yang terjadi bukan ‘dialog’, tapi ‘duolog’ atau ‘monolog’ bergilir. Ada wacana, tapi masing-masing bicara sendiri-sendiri.
Kalau dialog terjadi, apakah DPRD batal ke Jakarta? Dari pengalaman dewan sebelumnya, sulitlah. Yang namanya pigi jauh rame-rame, sukar dibatalkan. Apalagi kalau sudah ada anggarannya. Yang namanya anggaran harus dihabiskan. Logikanya begitu. Tidak dihabiskan, bodoh sendiri.
Dengan logika begini , desakan GMNI bisa saja dinilai lucu. Celoteh anak kuliahan yang masih idealistis, yang belum masuk dan belum terperangkap struktur kekuasaan. Kalau sudah masuk, baru tahu dia, dan akhirnya tergoda dia, maka jadilah dia tidak lebih baik dari ‘kami-kami’.
GMNI menilai orientasi 30 anggota dewan itu memakan dana besar. Dewan bisa saja menjawab: untuk anak kuliahan, itu besar. Untuk DPRD, itu wajar. Yang pigi orientasi ini bukan mahasiswa. Kami ini anggota dewan ‘terhormat’. Maka, biaya transportasi, akomodasi, uang saku, dll harus ‘terhormat’ pula. Itu namanya selaras, serasi, seimbang.
GMNI menilai orientasi itu merugikan keuangan daerah. Dewan bisa saja menyerang balik: dasar penghitunganmu ? Soal hitung-menghitung, kami lebih tahu. Kami ini pengemban fungsi budget menurut UU. Semua mata anggaran sudah dibahas dan ditetapkan dewan lama. Waktu untuk diskusi dana orientasi sudah lewat. Sekarang waktunya untuk menghabiskan.
GMNI berpendapat, lebih baik dana itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kurang mampu. Dewan bisa saja menyahut: masing-masing pos sudah ada anggarannya, tau! Untuk masyarakat kurang mampu sudah ada dananya. Semuanya sudah diatur cantik. Jangan kacaukan peruntukan dana. Itu namanya melanggar disiplin anggaran.
Dengan begitu (seandainya memang begitu), pernyataan Marsel Petu semakin mendapatkan pembenaran: jangan permasalahkan dana! Karena itu, wahai GMNI: anjing menggonggong, kafilah berlalu. Kalian menggonggong, kami tidak mau tau. Yang sudah diputuskan, dilaksanakan. Itu namanya konsistensi tugas. Yang sudah dianggarkan, dihabiskan. Itu namanya disipilin anggaran.
Jadi, jangan persoalkan anggaran! Persoalkan hal lain. Misalnya, SDM kami. Sekian bulan sejak terpilih, kami sibuk sana-sini, lupa orientasikan diri. Saat sudah dilantik, barulah kami belajar jadi anggota dewan. Sebenarnya, datangkan instruktur dari Jakarta bisa lebih hemat. Tapi, untuk apa? Sudah ada anggarannya koq. Salahkah kalau kami hanya menghabiskan jatah kami? Ataukah kamu iri? Makanya, jadilah anggota dewan!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 3 September 2009
Label:
bentara,
dprd ende,
dprd ende ke jakarta,
ende,
flores,
flores pos,
politik
01 September 2009
Keduanya Sama Janggal
Demo Aldiras dan FPKL di Lembata
Oleh Frans Anggal
Forum Peduli Keadilan Lembata (FPKL) berdemo di Lewoleba, Senin 31 Agustus 2009. Dari pernyataan sikapnya, demo FPKL ini tandingan atas demo Aliansi Keadilan dan Perdamaian Anti Kekerasn (Aldiras) seminggu sebelumnya, Senin 24 Agustus 2009.
Aldiras desak Bupati Manuk mundur. FPKL sebaliknya, dukung kepemimpinan Manuk sampai masa jabatan berakhir 2011. Aldiras serahkan piagam penghargaan kepada Kapolres Marthen Johannis atas komitmennya mengungkapkan kasus kematian Yoakim Langoday. FPKL sebaliknya, desak polres dibubarkan. Aldiras kecam anak bupati yang suka atur-atur proyek: Erni Manuk tersangka perencana pembunuhan Langoday. FPKL sebaliknya, bela sang caleg terpilih PDIP seraya desak PDIP batalkan pemecatan.
Kalau tentang semua itu Aldiras dan FPKL berlawanan, tidak demikian tentang yang satu ini. Aldiras dan FPKL sama: menyatakan menghormati hukum, mendukung proses hukum, dan menunut peradilan bersih, adil, tuntas. Namun dalam kesamaan itu keduanya serentak berbeda.
Di satu pihak, seperti Aldiras, FPKL menyatakan menghormati hukum, mendukung proses hukum, dan menuntut peradilan bersih, adil, tuntas. Di pihak lain, berbeda dengan Aldiras, FPKL mendesak Polres Lembata dibubarkan. Bagaimana mungkin proses hukum yang dituntutnya bisa berjalan kalau institusi hukumnya dibubarkan? Janggal!
Apakah cuma FPKL yang janggal? Tidak. ‘Kejanggalan’ lain diperlihatkan Aldiras dalam demomya. Aldiras mendesak Bupati Manuk mundur karena dinilai gagal membangun Lembata. Kejanggalan tuntuan ini tidak terletak pada tidak masuk akalnya, tapi pada tidak realistisnya. Aldiras menunut sesuatu yang sulit, untuk tidak mengatakannya mustahil, dipenuhi. Bupati Manuk mundur?
Mundur tidak sama dengan pemberhentian atau pemecatan (impeachment). Mundur itu adalah mengundurkan diri. Sesuatu yang sulit terjadi pada diri pejabat publik di Indonesia. Kalau pemecatan, sudah banyaklah, bahkan dari presiden. Soekarno dipecat MPRS. Gus Dur dipecat MPR. Mengundurkan diri? Bisa dihitung dengan jari. Presidennya, cuma Soeharto, setelah didesak mahasiswa. Wapresnya, paling-paling Bung Hatta, setelah dikecewakan Bung Karno. Menterinya, antara lain SBY, setelah ‘dianiaya’ Megawati. Bupati? Mana ada!
Bupati Manuk sendiri sudah langsung menanggapi tuntuan Aldiras lewat jumpa pers. Kata dia, Lembata merupakan satu dari jumlah terbatas daerah otonomi baru di Indonesia yang dinilai berhasil oleh pemerintah pusat. Lainnya, jumlahnya jauh lebih banyak, justru dinilai gagal dan terancam disatukan kembali dengan kabupaten induk. Jadi, tidak benar 10 tahun otonomi Lembata itu gagal. Maka, tidak ada alasan ia mengundurkan diri. Kalaupun dipecat, dasarnya apa? Semuanya ada aturannya. Tidak cukup hanya karena desakan Aldiras.
Dari sisi hukum dan UU, tanggapan Bupati Manuk tepat. Dengan begitu, tuntutan Aldiras pun kehilangan dasar pijak. Ataukah barangkali Aldiras mengharapkan dasar lain? Dasar etika? Jawabannya kembali ke soal tadi: mana ada bupati di Indonesia yang mundur karena rasa bersalah atau rasa malu.
Lemahnya basis etika itulah yang mendasari sentilah Om Toki dalam “Senggol” Flores Pos Rabu 26 Agustus 2009. “Massa Aldiras desak Bupati Manuk Mundur.” Sentilan Om Toki? “Mereka kira Bupati Manuk itu orang Jepang.” Di Jepang, mengundurkan diri merupakan bentuk pertanggungjawaban moral. Pejabat publiknya punya rasa bersalah dan rasa malu. Di Indonesia? Andalah yang menjawab.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 2 September 2009
Oleh Frans Anggal
Forum Peduli Keadilan Lembata (FPKL) berdemo di Lewoleba, Senin 31 Agustus 2009. Dari pernyataan sikapnya, demo FPKL ini tandingan atas demo Aliansi Keadilan dan Perdamaian Anti Kekerasn (Aldiras) seminggu sebelumnya, Senin 24 Agustus 2009.
Aldiras desak Bupati Manuk mundur. FPKL sebaliknya, dukung kepemimpinan Manuk sampai masa jabatan berakhir 2011. Aldiras serahkan piagam penghargaan kepada Kapolres Marthen Johannis atas komitmennya mengungkapkan kasus kematian Yoakim Langoday. FPKL sebaliknya, desak polres dibubarkan. Aldiras kecam anak bupati yang suka atur-atur proyek: Erni Manuk tersangka perencana pembunuhan Langoday. FPKL sebaliknya, bela sang caleg terpilih PDIP seraya desak PDIP batalkan pemecatan.
Kalau tentang semua itu Aldiras dan FPKL berlawanan, tidak demikian tentang yang satu ini. Aldiras dan FPKL sama: menyatakan menghormati hukum, mendukung proses hukum, dan menunut peradilan bersih, adil, tuntas. Namun dalam kesamaan itu keduanya serentak berbeda.
Di satu pihak, seperti Aldiras, FPKL menyatakan menghormati hukum, mendukung proses hukum, dan menuntut peradilan bersih, adil, tuntas. Di pihak lain, berbeda dengan Aldiras, FPKL mendesak Polres Lembata dibubarkan. Bagaimana mungkin proses hukum yang dituntutnya bisa berjalan kalau institusi hukumnya dibubarkan? Janggal!
Apakah cuma FPKL yang janggal? Tidak. ‘Kejanggalan’ lain diperlihatkan Aldiras dalam demomya. Aldiras mendesak Bupati Manuk mundur karena dinilai gagal membangun Lembata. Kejanggalan tuntuan ini tidak terletak pada tidak masuk akalnya, tapi pada tidak realistisnya. Aldiras menunut sesuatu yang sulit, untuk tidak mengatakannya mustahil, dipenuhi. Bupati Manuk mundur?
Mundur tidak sama dengan pemberhentian atau pemecatan (impeachment). Mundur itu adalah mengundurkan diri. Sesuatu yang sulit terjadi pada diri pejabat publik di Indonesia. Kalau pemecatan, sudah banyaklah, bahkan dari presiden. Soekarno dipecat MPRS. Gus Dur dipecat MPR. Mengundurkan diri? Bisa dihitung dengan jari. Presidennya, cuma Soeharto, setelah didesak mahasiswa. Wapresnya, paling-paling Bung Hatta, setelah dikecewakan Bung Karno. Menterinya, antara lain SBY, setelah ‘dianiaya’ Megawati. Bupati? Mana ada!
Bupati Manuk sendiri sudah langsung menanggapi tuntuan Aldiras lewat jumpa pers. Kata dia, Lembata merupakan satu dari jumlah terbatas daerah otonomi baru di Indonesia yang dinilai berhasil oleh pemerintah pusat. Lainnya, jumlahnya jauh lebih banyak, justru dinilai gagal dan terancam disatukan kembali dengan kabupaten induk. Jadi, tidak benar 10 tahun otonomi Lembata itu gagal. Maka, tidak ada alasan ia mengundurkan diri. Kalaupun dipecat, dasarnya apa? Semuanya ada aturannya. Tidak cukup hanya karena desakan Aldiras.
Dari sisi hukum dan UU, tanggapan Bupati Manuk tepat. Dengan begitu, tuntutan Aldiras pun kehilangan dasar pijak. Ataukah barangkali Aldiras mengharapkan dasar lain? Dasar etika? Jawabannya kembali ke soal tadi: mana ada bupati di Indonesia yang mundur karena rasa bersalah atau rasa malu.
Lemahnya basis etika itulah yang mendasari sentilah Om Toki dalam “Senggol” Flores Pos Rabu 26 Agustus 2009. “Massa Aldiras desak Bupati Manuk Mundur.” Sentilan Om Toki? “Mereka kira Bupati Manuk itu orang Jepang.” Di Jepang, mengundurkan diri merupakan bentuk pertanggungjawaban moral. Pejabat publiknya punya rasa bersalah dan rasa malu. Di Indonesia? Andalah yang menjawab.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 2 September 2009
Label:
bentara,
bupati andreas duli manuk,
demo aldiras,
demo fpkl,
desak bupati manuk mundur,
dukung bupati manuk,
flores,
flores pos,
kasus kematian yoakim langoday,
lembata
Video Klip “Doa Faustin”
Benarkah Mengumbar Sadisme?
Oleh Frans Anggal
Video klip lagu Doa Faustin dikritik. Gambar-gambarnya dinilai terlalu vulgar menampilkan derita Romo Faustin Sega Pr. Padahal, proses hukum sedang berjalan. “Terkesan mengkomersialkan kasus untuk pentingan bisnis.” Begitu penilaian Ketua Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Ndora, Agustinus Bebi Daga, seperti diwartakan Flores Pos Senin 31 Agustus 2009.
Produser RollSand Family, Bonney Zua, menepisnya. Kata dia, video klip ini bukti cinta dan penghormatan kepada sang gembala. Semuanya telah melalui prosedur. Ada izin dari gereja dan keluarga. Beberapa gambar sudah disensor.
Tanpa mengamati video klipnya, kita sulit memberi penilaian. Kalaupun diberikan, akan cenderung tidak seragam. Satu bilang pas. Lain bilang berlebihan. Banyak faktornya. Salah satunya, selera. De gustibus non est disputandum, kata pepatah Latin. Tidak ada yang patut diperdebatkan menyangkut selera.
Apakah penilaian Bebi Daga melulu atas dasar selera? Ataukah justru mencerminkan rasa kepatutan di dalam masyarakat? Belum bisa dijawab kalau hanya berdasarkan sebuah berita yang, oleh kebergegasan, belum lengkap merekam fakta. Namun dari berita itu, kita dapat menyatakan sesuatu.
Gambar yang vulgar, detail, bisa memenuhi hasrat ingin tahu. Yang terperinci itu membuat sesuatu jadi gamblang (details make clear). Ini kaidah umum publikasi. Namun, seumum apa pun kaidah, tetap ada perkecualian. Menyangkut kriminalitas dan tindakan seksual, kaidah tadi tidak bisa dibenarkan.
Kenapa video klip lagu Molenvliet Sex After Lunch (SEAL) ditolak diputar di beberapa stasiun TV, misalnya? Karena dianggap mengandung konten pornografi frontal. Video klip terbarunya Perfect Murder juga begitu. Terlalu mengumbar sadisme. Mata dicungkil dengan garpu, leher digorok, jenazah ditumpuk dalam sumur lalu dibakar. Adegan ini harus diganti agar bisa laik tayang.
Anehnya, tidak demikian dengan film Mel Gibson, The Passion of the Christ, tahun 2004 silam. Beredar luas dan ditonton ‘penuh iman’. Padahal tidak sedikit yang menilainya mengandung konten sadisme berlebihan. Lebih setengah dari dua jam film ini secara terus-menerus mempertontonkan penyiksaan terhadap Yesus. Film ini ‘berisi darah’ yang sebenar-benarnya.
“Darah di mana-mana. Jangat itu, di bagian pinggang, koyak-koyak oleh pukulan cambuk bertembilang. Sepasang mata itu hampir tertutup oleh cairan kental dari luka. Kedua telapak tangan itu memuncratkan darah ketika dipantek dengan paku besi pada kayu salib.... Begitukah sengsara Yesus seharusnya ditampilkan? .... Saya menyaksikan sebuah pornografi penyiksaan,” tulis Goenawan Mohamad dalam “Catatan Pinggir” TEMPO Senin 5 April 2004.
Menurutnya, pornografi adalah suatu bentuk ekspresi yang menerobos apa yang selama ini tak dianggap pantas. Menggambarkan tubuh manusia dengan maksud menimbulkan rangsangan yang optimal. Sebab itu, dalam pornografi, bagian badan manusia diurai dengan bergairah, dan detail sama pentingnya dengan totalitas—sebuah totalitas yang hampir sepenuhnya tampak sebagai sebuah peristiwa badan.
Pornografi penyiksaan pulalah yang di tampilkan Polri ketika mengizinkan TV menayangkan langsung penyergapan tersangka teroris di Temanggung, Jawa Tengah. Menembak, membom, selama 17 jam! Hasilnya: mayat, yang ternyata bukan Noordin M Top.
Untuk apa semua ini? Cinta? Bisnis? Pertanyaan yang sama dapat kita alamatkan ke video klip lagu Doa Faustin.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 1 September 2009
Oleh Frans Anggal
Video klip lagu Doa Faustin dikritik. Gambar-gambarnya dinilai terlalu vulgar menampilkan derita Romo Faustin Sega Pr. Padahal, proses hukum sedang berjalan. “Terkesan mengkomersialkan kasus untuk pentingan bisnis.” Begitu penilaian Ketua Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Ndora, Agustinus Bebi Daga, seperti diwartakan Flores Pos Senin 31 Agustus 2009.
Produser RollSand Family, Bonney Zua, menepisnya. Kata dia, video klip ini bukti cinta dan penghormatan kepada sang gembala. Semuanya telah melalui prosedur. Ada izin dari gereja dan keluarga. Beberapa gambar sudah disensor.
Tanpa mengamati video klipnya, kita sulit memberi penilaian. Kalaupun diberikan, akan cenderung tidak seragam. Satu bilang pas. Lain bilang berlebihan. Banyak faktornya. Salah satunya, selera. De gustibus non est disputandum, kata pepatah Latin. Tidak ada yang patut diperdebatkan menyangkut selera.
Apakah penilaian Bebi Daga melulu atas dasar selera? Ataukah justru mencerminkan rasa kepatutan di dalam masyarakat? Belum bisa dijawab kalau hanya berdasarkan sebuah berita yang, oleh kebergegasan, belum lengkap merekam fakta. Namun dari berita itu, kita dapat menyatakan sesuatu.
Gambar yang vulgar, detail, bisa memenuhi hasrat ingin tahu. Yang terperinci itu membuat sesuatu jadi gamblang (details make clear). Ini kaidah umum publikasi. Namun, seumum apa pun kaidah, tetap ada perkecualian. Menyangkut kriminalitas dan tindakan seksual, kaidah tadi tidak bisa dibenarkan.
Kenapa video klip lagu Molenvliet Sex After Lunch (SEAL) ditolak diputar di beberapa stasiun TV, misalnya? Karena dianggap mengandung konten pornografi frontal. Video klip terbarunya Perfect Murder juga begitu. Terlalu mengumbar sadisme. Mata dicungkil dengan garpu, leher digorok, jenazah ditumpuk dalam sumur lalu dibakar. Adegan ini harus diganti agar bisa laik tayang.
Anehnya, tidak demikian dengan film Mel Gibson, The Passion of the Christ, tahun 2004 silam. Beredar luas dan ditonton ‘penuh iman’. Padahal tidak sedikit yang menilainya mengandung konten sadisme berlebihan. Lebih setengah dari dua jam film ini secara terus-menerus mempertontonkan penyiksaan terhadap Yesus. Film ini ‘berisi darah’ yang sebenar-benarnya.
“Darah di mana-mana. Jangat itu, di bagian pinggang, koyak-koyak oleh pukulan cambuk bertembilang. Sepasang mata itu hampir tertutup oleh cairan kental dari luka. Kedua telapak tangan itu memuncratkan darah ketika dipantek dengan paku besi pada kayu salib.... Begitukah sengsara Yesus seharusnya ditampilkan? .... Saya menyaksikan sebuah pornografi penyiksaan,” tulis Goenawan Mohamad dalam “Catatan Pinggir” TEMPO Senin 5 April 2004.
Menurutnya, pornografi adalah suatu bentuk ekspresi yang menerobos apa yang selama ini tak dianggap pantas. Menggambarkan tubuh manusia dengan maksud menimbulkan rangsangan yang optimal. Sebab itu, dalam pornografi, bagian badan manusia diurai dengan bergairah, dan detail sama pentingnya dengan totalitas—sebuah totalitas yang hampir sepenuhnya tampak sebagai sebuah peristiwa badan.
Pornografi penyiksaan pulalah yang di tampilkan Polri ketika mengizinkan TV menayangkan langsung penyergapan tersangka teroris di Temanggung, Jawa Tengah. Menembak, membom, selama 17 jam! Hasilnya: mayat, yang ternyata bukan Noordin M Top.
Untuk apa semua ini? Cinta? Bisnis? Pertanyaan yang sama dapat kita alamatkan ke video klip lagu Doa Faustin.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 1 September 2009
Langganan:
Postingan (Atom)