Pemotongan Tunjangan Risiko Petugas
Frans Anggal
Dua hari pelayanan di RSUD Ruteng tidak normal. Karyawan mogok. Mereka tetap datang ke RSUD, tapi tidak masuk ruang kerja. Mereka mempersoalkan diskriminasi dalam pemotongan tunjangan risiko petugas (Flores Pos Kamis 28 Juli 2011).
Mulai Juli 2011, RSUD Ruteng berlakukan aturan baru. Yang terlambat ikut apel pagi dikenai pemotongan 2 persen pada tunjangan risiko petugas. Yang pulang sebelum jam kerja selesai dikenai pemotongan 4 persen.
Karyawan tidak persoalkan ini. Yang mereka persoalkan pelaksanaannya. "Pemotongan hanya untuk karyawan seperti perawat, bidan, pegawai administrasi, dll. Sedangkan (untuk) para dokter tidak berlaku. Ada dokter yang sering terlambat, dan ada yang jarang sekali ikut apel pagi, tetapi tunjangannya tidak dipotong. Ini diskriminasi," kata Maria, seorang karyawan.
Diskriminasi. Itu bentuk ketidakadilan. Tidak adanya persamaam di depan aturan. Di RSUD Ruteng, terkesan pemotongan tunjangan risiko petugas hanya diberlakukan bagi 'karyawan kecil': perawat, bidan, pegawai administrasi. Sedangkan bagi 'karyawan besar' tidak: dokter, apalagi dokter spesialis. Ada semacam privilise atau hak istimewa bagi para 'karyawan besar'.
Dalam setiap organisasi kerja, privilise itu hal biasa. Tapi tidak biasa pada semua hal. Kalau 'karyawan besar' mendapat fasilitas rumah dinas, mobil dinas, motor dinas, itu biasa. Itu privilise yang berterima. Tidak demikian halnya dalam kerja: 'karyawan besar' atau jajaran pimpinan boleh terlambat masuk, boleh pulang lebih dahulu. Justru sebaliknyalah yang dituntut. Karena mendapat fasilitas lebih, mereka harus menunjukkan teladan lebih pula.
Tampaknya, itu tidak terjadi di RSUD Ruteng. Terkesan, dokter boleh sering terlambat. Boleh tidak ikut apel pagi. Boleh pulang sebelum waktu. Akhir bulan? Tunjangannya utuh. Tidak dipotong sedikit pun. Padahal, aturan mengharuskan pemotongan. Sebab, aturan itu, katanya, berlaku umum. Berlaku untuk semua yang bekerja di RSUD Ruteng.
Ada dokter yang malu hati gara-gara kasus ini. Dia tahu dia telah langgar aturan, tapi akhir bulan tunjangannya tidak dipotong. Malu di sini bukan hanya reaksi psikologis. Tapi juga dan terutama reaksi etis. Malu karena perlakuan ini tidak adil. Ada standar ganda. Pelanggarannya sama, namun hukumannya berbeda. Bahkan, dalam kasus di atas, hukumannya tidak ada untuk ‘karyawan besar’.
Hal lain: hukuman (punishment) tidak diimbangi dengan penghargaan (reward). Kalau bagi yang terlambat masuk kerja ada sanksi, lalu bagaimana bagi yang terlambat pulang kerja? Apakah kelebihan jam kerja mereka dihargai? Di RSUD Ruteng, itu tidak terjadi. Ini juga ketidakadilan. Maka bergandalah jadinya. Sudah tidak mengimbangi hukuman dengan penghargaan, penerapan hukumannya pun tebang pilih.
Perlu segera dicek. Pertama, apa dasar hukum atau peraturan yang digunakan RSUD dalam menetapkan sanksi pemotongan tunjangan risiko petugas? Peraturan pemerintah mengenal berbagai bentuk dan tingkatan sanksi. Pesan kita: jangan bikin tafsiran sesuka hati!
Kedua, ke mana uang hasil pemotongan itu diposkan? Peruntukannya harus jelas, tegas, transparan, dan dapat dipertanggunjawabkan secara hukum dan moral. Pesan kita: jangan gali lubang untuk diri sendiri!
”Bentara” FLORES POS, Jumat 29 Juli 2011
29 Juli 2011
Tidak Adil di RSUD Ruteng
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
kesehatan,
manggarai,
mogok di rsud ruteng,
rsud ruteng
28 Juli 2011
Kapan Hari Jadi Mabar?
Mempertimbangkan Titik Kulminasi Perjuangan
Frans Anggal
Hari jadi Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) dipersoalkan. Bukan 17 Juli! Tapi 17 Januari! Merujuk tanggal penetapan RUU pembentukan kabupaten ini menjadi UU oleh DPR RI pada 17 Januari 2003. Ini perlu diperdakan (Flores Pos Senin 25 Juli 2011).
Selama ini HUT Mabar, 17 Juli. Rujukannya, peresmian kabupaten oleh Mendagri Hari Sabarno pada 17 Juli 2003. Tanpa penetapan khusus, tanggal hari jadi ini pun diterima begitu saja oleh masyarakat. Bahkan lolos masuk dalam logo resmi daerah.
Dalam situsnya www.manggaraibaratkab.go.id, Pemkab Mabar mengartikan padi dan kapas pada logo daerah sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan. "Butir padi sebanyak 17 (tujuh belas) melambangkan tanggal peresmian Kabupaten Manggarai Barat, yaitu 17. Kapas sebanyak 7 (tujuh) buah melambangkan bulan peresmian Kabupaten Manggarai Barat, yaitu bulan ke-7 (bulan Juli)."
Apakah peresmian oleh mendagri itu tonggak paling penting dari perjuangan Mabar kabupaten? Perjuangan Mabar itu dramatis. Ada penolakan dari elite politik kabupaten induk Manggarai. Kasarnya, perjuangan itu pertarungan rakyat melawan penguasa. Banyak pejuang yang ditangkap, dipukul, disel.
Namun, semua keringat dan airmata mereka seakan terhapus ketika palu diketukkan di Senayan pada 17 Januari 2003. Hari itu Rancangan UU No 8 Thn 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Mabar di Provinsi NTT ditetapakan menjadi UU oleh DPR RI.
Dalam perspektif sejarah perjuangan Mabar kabupaten, 17 Januari itulah puncaknya. Titik kulminasi. Selanjutnya, hanya peleraian. Ada dua gelombang peleraian. (1) Pengesahan UU itu oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan pengundangannya oleh Sekretaris Negara Bambang Kesowo pada 25 Februari 2003. (2) Peresmian kabupaten oleh Mandagri Hari Sabarno pada 17 Juli 20003.
Orang hukum cenderung memilih 25 Februari sebagai hari jadi Mabar. Ada dasarnya. UU yang ditetapkan DPR itu baru memiliki kekuatan hukum setelah disahkan presiden melalui penandatanganannya. Dari segi hukum, itu tepat. Namun pertimbangan hukum bukanlah segala-galanya. Masih ada bahkan banyak pertimbangan lain.
Bandingkan hari jadi RI 17 Agustus. Tanggal ini merujuk ke proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia. Teks proklamasi ditulis tangan, di atas sepotong kertas. Ini bukan produk hukum. Ini produk politik. Kritalisasi perjuangan. UUD 1945 sebagai konstitusi barulah muncul setelah proklamasi. Namun bangsa ini tetap sepakat, 17 Agustuslah hari jadinya RI.
Perpektif yang digunakan adalah perspektif perjuangan. Dengan perspektif ini pula hendaknya hari jadi Mabar ditetapkan. Yang dilakukan DPR di Senayan itu perjuangan. Mengatasnamakan masyarakat Mabar. Termasuk mereka yang ditangkap, dipukul, disel karena berjuang. Perjuangan di DPR itu penuh argumentasi, persuasi, lobi, dan segala macam yang memeras otak, perasaan, waktu, dana, dll, hanya agar UU-nya keluar. Sedangkan presiden tinggal tanda tangan. Susah apanya? Mendagri tinggal resmikan kabupaten dan lantik penjabat bupati. Sulit apanya?
Nilai historis dan puncak perjuangan Mabar kabupatenlah yang semestinya diperhatikan. Tanggal titik kulminasinyalah yang tepat sebagai hari jadi. Yakni, 17 Januari. Dengan demikian, perayaannya setiap tahun akan bernilai perjuangan bagi generasi penerus. Hari jadi ini perlu segera diperdakan. Agar berkekuatan hukum dan mengikat.
”Bentara” FLORES POS, Kamis 28 Juli 2011
Frans Anggal
Hari jadi Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) dipersoalkan. Bukan 17 Juli! Tapi 17 Januari! Merujuk tanggal penetapan RUU pembentukan kabupaten ini menjadi UU oleh DPR RI pada 17 Januari 2003. Ini perlu diperdakan (Flores Pos Senin 25 Juli 2011).
Selama ini HUT Mabar, 17 Juli. Rujukannya, peresmian kabupaten oleh Mendagri Hari Sabarno pada 17 Juli 2003. Tanpa penetapan khusus, tanggal hari jadi ini pun diterima begitu saja oleh masyarakat. Bahkan lolos masuk dalam logo resmi daerah.
Dalam situsnya www.manggaraibaratkab.go.id, Pemkab Mabar mengartikan padi dan kapas pada logo daerah sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan. "Butir padi sebanyak 17 (tujuh belas) melambangkan tanggal peresmian Kabupaten Manggarai Barat, yaitu 17. Kapas sebanyak 7 (tujuh) buah melambangkan bulan peresmian Kabupaten Manggarai Barat, yaitu bulan ke-7 (bulan Juli)."
Apakah peresmian oleh mendagri itu tonggak paling penting dari perjuangan Mabar kabupaten? Perjuangan Mabar itu dramatis. Ada penolakan dari elite politik kabupaten induk Manggarai. Kasarnya, perjuangan itu pertarungan rakyat melawan penguasa. Banyak pejuang yang ditangkap, dipukul, disel.
Namun, semua keringat dan airmata mereka seakan terhapus ketika palu diketukkan di Senayan pada 17 Januari 2003. Hari itu Rancangan UU No 8 Thn 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Mabar di Provinsi NTT ditetapakan menjadi UU oleh DPR RI.
Dalam perspektif sejarah perjuangan Mabar kabupaten, 17 Januari itulah puncaknya. Titik kulminasi. Selanjutnya, hanya peleraian. Ada dua gelombang peleraian. (1) Pengesahan UU itu oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan pengundangannya oleh Sekretaris Negara Bambang Kesowo pada 25 Februari 2003. (2) Peresmian kabupaten oleh Mandagri Hari Sabarno pada 17 Juli 20003.
Orang hukum cenderung memilih 25 Februari sebagai hari jadi Mabar. Ada dasarnya. UU yang ditetapkan DPR itu baru memiliki kekuatan hukum setelah disahkan presiden melalui penandatanganannya. Dari segi hukum, itu tepat. Namun pertimbangan hukum bukanlah segala-galanya. Masih ada bahkan banyak pertimbangan lain.
Bandingkan hari jadi RI 17 Agustus. Tanggal ini merujuk ke proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia. Teks proklamasi ditulis tangan, di atas sepotong kertas. Ini bukan produk hukum. Ini produk politik. Kritalisasi perjuangan. UUD 1945 sebagai konstitusi barulah muncul setelah proklamasi. Namun bangsa ini tetap sepakat, 17 Agustuslah hari jadinya RI.
Perpektif yang digunakan adalah perspektif perjuangan. Dengan perspektif ini pula hendaknya hari jadi Mabar ditetapkan. Yang dilakukan DPR di Senayan itu perjuangan. Mengatasnamakan masyarakat Mabar. Termasuk mereka yang ditangkap, dipukul, disel karena berjuang. Perjuangan di DPR itu penuh argumentasi, persuasi, lobi, dan segala macam yang memeras otak, perasaan, waktu, dana, dll, hanya agar UU-nya keluar. Sedangkan presiden tinggal tanda tangan. Susah apanya? Mendagri tinggal resmikan kabupaten dan lantik penjabat bupati. Sulit apanya?
Nilai historis dan puncak perjuangan Mabar kabupatenlah yang semestinya diperhatikan. Tanggal titik kulminasinyalah yang tepat sebagai hari jadi. Yakni, 17 Januari. Dengan demikian, perayaannya setiap tahun akan bernilai perjuangan bagi generasi penerus. Hari jadi ini perlu segera diperdakan. Agar berkekuatan hukum dan mengikat.
”Bentara” FLORES POS, Kamis 28 Juli 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
hut mabar,
mabar,
pemerintahan,
politik
27 Juli 2011
Sandiwaranya Pemkab Matim
Kasus Tambang Mangan di Satarteu
Frans Anggal
Kelompok 8 Satarteu, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), mendatangi pemkab di Borong, Senin 25 Juli 2011. Mereka meminta pertanggungjawaban atas kesepakatan 17 Januari 2011. Tentang ganti rugi lahan mereka yang ditambang PT Aditya Bumi Pertambangan (Flores Pos Selasa 26 Juli 2011).
Penambangan mangan oleh PT ABP dilakukan hanya berdasarkan izin pemkab. Tanpa izin dari masyarakat Satarteu selaku pemilik lahan. Masyarakat persoalkan ini. Maka lahirlah kesepakatan pemkab dengan masyarakat yang diwakili Kelompok 8, pada 17 Januari 2011.
Isi kesepakatan. (1) Masyarakat minta ganti rugi dari PT ABP senilai Rp1 miliar per bidang untuk penambangan 20 tahun. (2) Pemkab akan panggil PT ABP untuk bertemu warga, dua minggu sesudah pertemuan 17 Januari 2011. (3) Pemkab dan JPIC fasilitasi pertemuan antara Kelompok 8 dan PT ABP.
Hari-H tiba. Yang dijanjikan tidak tiba. Pemkab baru panggil PT ABP pada 16 Februari 2011. Selain jauh melampaui hari-H, pemanggilan ini tidak diberitahukan ke warga dan JPIC. Jadilah pertemuan 16 Februari itu sekadar pertemuan PT ABP dan pemkab. Hasilnya pun tidak diinformasikan kepada warga dan JPIC. Ini yang membuat Kelompok 8 kecewa. Mereka meminta pertanggungjawaban pemkab. Mereka tidak akan kembali ke Satarteu sebelum persoalan ini tuntas.
Apa yang terjadi di ini? Pertama, pemkab melanggar kesepakatan. Tenggat dua minggu setelah 17 Januari itu dibuatnya menjadi enam bulan. Tugas mempertemukan PT ABP dengan warga diubah menjadi pertemuan PT ABP dengan pemkab. Kedua, pemkab tidak transparan. Tundanya pertemuan tidak diberitahukan kepada warga dan JPIC. Begitu juga pertemuan 16 Februari dan hasilnya.
Dalam tujuh bulan setelah 17 Januari, dua kali kadis pertambangan dan energi turun ke Satarteu. Mendekati warga. Berbicara dengan warga. Tapi tidak sedikit pun menyinggung apalagi menyampaikan secara lengkap, jelas, dan tegas tentang semua yang telah terjadi. Kuat terkesan, pemkab berubah sikap.
Pertanyaan kita: ada apa dengan pemkab? Mengapa berani melanggar kesepakatan? Mengapa tidak transparan? Faktor apa yang mendorongnya menjilat ludahnya sendiri, dan menjadi begitu tertutup?
Patut dapat diduga, pemkab sudah didikte. Kesepakatan memanggil PT ABP untuk dipertemukan dengan warga tentulah memberatkan PT ABP. Sebab, forum itu forum warga menuntut ganti rugi. PT ABP tidak mau rugi. Maka, menghindar. Caranya, tunda pelaksanaan dan bikin tidak jelas semua kesepakatan pemkab dengan warga. Untuk itu, pihak yang paling mudah didekati adalah pemkab. Bukan warga. Pemkab gampang didikte. Ibarat kerbau dicocok hidung.
Di sisi lain, penundaan pelaksanaan dan pengaburan kesepakatan itu turut meluputkan pemkab dari tanggung jawab. Sebab, pada forum itu semua hal pasti dibongkar. Termasuk kecerobohan pemkab memberi izin menambang meski tanpa izin warga pemilik lahan. Borok ini mau disembunyikan. Caranya, tunda pelaksanaan dan bikin tidak jelas semua kesepakatan dengan warga.
Ini sandiwara besar. Sandiwaranya Pemkab Matim. Tapi sandiwara ini sandiwara konyol. Sebab, adegan di balik layarnya mudah ditebak. Kita mendesak pemkab: hentikan semua kepura-puraan. Beranilah untuk jujur. Pertemuan para pihak, itulah tempatnya. Maka, segeralah menjawdal ulang pertemuan. Taati jadwal itu dan semua agenda yang telah disepakati.
”Bentara” FLORES POS, Rabu 27 Juli 2011
Frans Anggal
Kelompok 8 Satarteu, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), mendatangi pemkab di Borong, Senin 25 Juli 2011. Mereka meminta pertanggungjawaban atas kesepakatan 17 Januari 2011. Tentang ganti rugi lahan mereka yang ditambang PT Aditya Bumi Pertambangan (Flores Pos Selasa 26 Juli 2011).
Penambangan mangan oleh PT ABP dilakukan hanya berdasarkan izin pemkab. Tanpa izin dari masyarakat Satarteu selaku pemilik lahan. Masyarakat persoalkan ini. Maka lahirlah kesepakatan pemkab dengan masyarakat yang diwakili Kelompok 8, pada 17 Januari 2011.
Isi kesepakatan. (1) Masyarakat minta ganti rugi dari PT ABP senilai Rp1 miliar per bidang untuk penambangan 20 tahun. (2) Pemkab akan panggil PT ABP untuk bertemu warga, dua minggu sesudah pertemuan 17 Januari 2011. (3) Pemkab dan JPIC fasilitasi pertemuan antara Kelompok 8 dan PT ABP.
Hari-H tiba. Yang dijanjikan tidak tiba. Pemkab baru panggil PT ABP pada 16 Februari 2011. Selain jauh melampaui hari-H, pemanggilan ini tidak diberitahukan ke warga dan JPIC. Jadilah pertemuan 16 Februari itu sekadar pertemuan PT ABP dan pemkab. Hasilnya pun tidak diinformasikan kepada warga dan JPIC. Ini yang membuat Kelompok 8 kecewa. Mereka meminta pertanggungjawaban pemkab. Mereka tidak akan kembali ke Satarteu sebelum persoalan ini tuntas.
Apa yang terjadi di ini? Pertama, pemkab melanggar kesepakatan. Tenggat dua minggu setelah 17 Januari itu dibuatnya menjadi enam bulan. Tugas mempertemukan PT ABP dengan warga diubah menjadi pertemuan PT ABP dengan pemkab. Kedua, pemkab tidak transparan. Tundanya pertemuan tidak diberitahukan kepada warga dan JPIC. Begitu juga pertemuan 16 Februari dan hasilnya.
Dalam tujuh bulan setelah 17 Januari, dua kali kadis pertambangan dan energi turun ke Satarteu. Mendekati warga. Berbicara dengan warga. Tapi tidak sedikit pun menyinggung apalagi menyampaikan secara lengkap, jelas, dan tegas tentang semua yang telah terjadi. Kuat terkesan, pemkab berubah sikap.
Pertanyaan kita: ada apa dengan pemkab? Mengapa berani melanggar kesepakatan? Mengapa tidak transparan? Faktor apa yang mendorongnya menjilat ludahnya sendiri, dan menjadi begitu tertutup?
Patut dapat diduga, pemkab sudah didikte. Kesepakatan memanggil PT ABP untuk dipertemukan dengan warga tentulah memberatkan PT ABP. Sebab, forum itu forum warga menuntut ganti rugi. PT ABP tidak mau rugi. Maka, menghindar. Caranya, tunda pelaksanaan dan bikin tidak jelas semua kesepakatan pemkab dengan warga. Untuk itu, pihak yang paling mudah didekati adalah pemkab. Bukan warga. Pemkab gampang didikte. Ibarat kerbau dicocok hidung.
Di sisi lain, penundaan pelaksanaan dan pengaburan kesepakatan itu turut meluputkan pemkab dari tanggung jawab. Sebab, pada forum itu semua hal pasti dibongkar. Termasuk kecerobohan pemkab memberi izin menambang meski tanpa izin warga pemilik lahan. Borok ini mau disembunyikan. Caranya, tunda pelaksanaan dan bikin tidak jelas semua kesepakatan dengan warga.
Ini sandiwara besar. Sandiwaranya Pemkab Matim. Tapi sandiwara ini sandiwara konyol. Sebab, adegan di balik layarnya mudah ditebak. Kita mendesak pemkab: hentikan semua kepura-puraan. Beranilah untuk jujur. Pertemuan para pihak, itulah tempatnya. Maka, segeralah menjawdal ulang pertemuan. Taati jadwal itu dan semua agenda yang telah disepakati.
”Bentara” FLORES POS, Rabu 27 Juli 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
matim,
pertambangan,
pt aditya bumi pertambangan,
satarteu,
tambang mangan
26 Juli 2011
Pecat dan Penjara!
Kejahatan Polisi di Ende
Oleh Frans Anggal
Di Kabupaten Ende, kapolsek Ende dan dua anggotanya dicopot karena langgar disiplin. Ketiganya sudah dipanggil Polda NTT untuk diperiksa. Pelanggaran mereka mencakup kode etik Polri dan tindak pidana. "Bagi saya, tidak ada ampun. Yang salah ya diproses," kata Kapolres Ende Darmawan Sunarko (Flores Pos Senin 25 Juli 2011).
Apa persisnya kode etik yang dianggar, tidak dibeberkan. Demikian pula tindak pidana yang dilakukan. Meski demikian, media himpun beberapa informasi. Bahwa, kapolsek dan anggotanya manfaatkan warga untuk jual emas ke pemilik toko emas. Setelah emas dibeli pemilik toko, mereka datangi toko itu dan lakukan penangkapan. Alasannya: pemilik toko beli emas hasil kejahatan. Emas itu mereka sita. Lalu mereka jual lagi ke toko lain. Seterusnya begitu.
Jual-sita-jual ini dilakukan tiga kali pada toko berbeda. Dengan modus operandi seperti ini, mereka dapat uang tanpa kehilangan emas. Harga jualnya Rp3-4 juta. Hasil penjualan dibagi antara mereka.
Dalam kacamata kode etik kepolisian, ini perbuatan tercela. Merusak kehormatan profesi dan organisasi. Yang sangat menonjol di sini, sikap dan tindakan aparat polisi mencari-cari kesalahan masyarakat. Demi keuntungan diri sendiri.
Sanksinya pastilah sanksi moral. Ada empat macam. (1) Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela. (b) Kewajiban pelanggar menyatakan penyesalan atau meminta maaf secara terbatas ataupun secara terbuka. (3) Kewajiban pelanggar mengikuti pembinaan ulang profesi. (4) Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi kepolisian.
Sanksi ini segera mereka terima. Segera, karena dalam penyelesaian pelanggaran kode etik profesi kepolisian yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana, maka yang diproses terlebih dahulu adalah sidang disiplin. Sebab, ada batas waktunya, maksimal 30 hari. Setelah sidang disiplin tuntas, barulah sidang di lingkup peradilan umum digelar.
Jika dalam sidang disiplin diputuskan, para pelanggar tidak layak lagi untuk jalankan profesi kepolisian, itu berarti mereka dipecat. Selanjutnya, jika dalam sidang peradilan umum mereka terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, itu berarti mereka bisa dipenjara. Maka rugi dobellah mereka. Sudah dipecat, dipenjara pula.
Rugi dobel itu layak dan patut bagi mereka. Kerena, pertama, pelanggarannya dobel. Mereka melanggar kode etik profesi kepolisian, dan melakukan tindak pidana. Kedua, mereka tidak hanya tidak laksanakan tugas pokoknya sebagai polisi (negasi), tapi juga melawannya (kontradiksi).
Ada tiga tugas pokok polisi. (1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. (2) Menegakkan hukum. (3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Yang mereka lakukan? Bukan hanya "negasi" tapi juga "kontradiksi". Bukan hanya tidak laksanakan tugas pokok itu, tapi juga melawannya.
Lihatlah. Tidak hanya tidak memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, mereka malah bikin masyarakat tidak aman dan tidak tertib. Tidak hanya tidak menegakkan hukum, mereka malah menginjak-injak hukum. Tidak hanya tidak melindungi, mengayom, dan melayani masyarakat, mereka malah menipu, mengancam, dan memeras masyarakat.
Atas dasar itulah mereka layak dan patut dipecat dan dipenjara. Semoga penindakan ini menjadi pembelajaran bagi jajaran bhayangkara negara.
”Bentara” FLORES POS, Selasa 26 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Di Kabupaten Ende, kapolsek Ende dan dua anggotanya dicopot karena langgar disiplin. Ketiganya sudah dipanggil Polda NTT untuk diperiksa. Pelanggaran mereka mencakup kode etik Polri dan tindak pidana. "Bagi saya, tidak ada ampun. Yang salah ya diproses," kata Kapolres Ende Darmawan Sunarko (Flores Pos Senin 25 Juli 2011).
Apa persisnya kode etik yang dianggar, tidak dibeberkan. Demikian pula tindak pidana yang dilakukan. Meski demikian, media himpun beberapa informasi. Bahwa, kapolsek dan anggotanya manfaatkan warga untuk jual emas ke pemilik toko emas. Setelah emas dibeli pemilik toko, mereka datangi toko itu dan lakukan penangkapan. Alasannya: pemilik toko beli emas hasil kejahatan. Emas itu mereka sita. Lalu mereka jual lagi ke toko lain. Seterusnya begitu.
Jual-sita-jual ini dilakukan tiga kali pada toko berbeda. Dengan modus operandi seperti ini, mereka dapat uang tanpa kehilangan emas. Harga jualnya Rp3-4 juta. Hasil penjualan dibagi antara mereka.
Dalam kacamata kode etik kepolisian, ini perbuatan tercela. Merusak kehormatan profesi dan organisasi. Yang sangat menonjol di sini, sikap dan tindakan aparat polisi mencari-cari kesalahan masyarakat. Demi keuntungan diri sendiri.
Sanksinya pastilah sanksi moral. Ada empat macam. (1) Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela. (b) Kewajiban pelanggar menyatakan penyesalan atau meminta maaf secara terbatas ataupun secara terbuka. (3) Kewajiban pelanggar mengikuti pembinaan ulang profesi. (4) Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi kepolisian.
Sanksi ini segera mereka terima. Segera, karena dalam penyelesaian pelanggaran kode etik profesi kepolisian yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana, maka yang diproses terlebih dahulu adalah sidang disiplin. Sebab, ada batas waktunya, maksimal 30 hari. Setelah sidang disiplin tuntas, barulah sidang di lingkup peradilan umum digelar.
Jika dalam sidang disiplin diputuskan, para pelanggar tidak layak lagi untuk jalankan profesi kepolisian, itu berarti mereka dipecat. Selanjutnya, jika dalam sidang peradilan umum mereka terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, itu berarti mereka bisa dipenjara. Maka rugi dobellah mereka. Sudah dipecat, dipenjara pula.
Rugi dobel itu layak dan patut bagi mereka. Kerena, pertama, pelanggarannya dobel. Mereka melanggar kode etik profesi kepolisian, dan melakukan tindak pidana. Kedua, mereka tidak hanya tidak laksanakan tugas pokoknya sebagai polisi (negasi), tapi juga melawannya (kontradiksi).
Ada tiga tugas pokok polisi. (1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. (2) Menegakkan hukum. (3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Yang mereka lakukan? Bukan hanya "negasi" tapi juga "kontradiksi". Bukan hanya tidak laksanakan tugas pokok itu, tapi juga melawannya.
Lihatlah. Tidak hanya tidak memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, mereka malah bikin masyarakat tidak aman dan tidak tertib. Tidak hanya tidak menegakkan hukum, mereka malah menginjak-injak hukum. Tidak hanya tidak melindungi, mengayom, dan melayani masyarakat, mereka malah menipu, mengancam, dan memeras masyarakat.
Atas dasar itulah mereka layak dan patut dipecat dan dipenjara. Semoga penindakan ini menjadi pembelajaran bagi jajaran bhayangkara negara.
”Bentara” FLORES POS, Selasa 26 Juli 2011
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
kapolsek ende,
kode etik kepolisian,
polres ende,
tindak pidana
25 Juli 2011
Obat Habis di RSUD Bajawa
Buruknya Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Kontrol
Oleh Frans Anggal
RSUD Bajawa kehabisan obat. Ini sulitkan rumah sakit tangani pasien. Keluarga pun kecewa. Harus beli obat mahal di apotek. “Kami ini pasien dari keluarga miskin yang yakin akan dapat kemudahan dari program Jamkesmas,” kata Eduardus Lae asal Mbay (Flores Pos Jumat 22 Juli 2011).
Obat habis tidak berarti tidak ada obat. Masih ada. Sangat banyak. Nilainya miliaran rupiah. Namun, tidak boleh digunakan. Karena sudah kadaluarsa. Sudah jadi sampah. Tapi belum juga dimusnahkan. “Ini yang buat aset RSUD Bajawa seakan besar sekali, karena dihitung juga dengan obat kadaluarsa,” kata Direktris Meri Betu.
Ini salah satu faktor. Miliaran rupiah amblas untuk datangkan bakal sampah: obat yang cepat kadaluarsa. Masa lakunya tidak dipedulikan. Tender hanya perhatikan hal prosedural, abaikan hal substansial. Yang penting tata caranya tepat. Mutunya persetan.
Ini laku umum dalam tender. Pembangunan gedung, jembatan, jalan raya, bendungan, saluran irigasi juga begitu. Hanya pentingkan prosedur, persetankan mutu. Di Manggarai, misalnya. Saluran irigasi Wae Ces II dikerjakan asal-asalan. Belum setahun, sudah jebol sana-sini (Flores Pos Jumat 15 Juli 2011).
Dalam kasus habisnya obat di RSUD Bajawa, faktor lainnya: anggaran. Kurangnya alokasi dana untuk pembelian obat, kata direktris. Kurang, karena kebutuhan meningkat. Pasien banyak. Sebagian besar dari keluarga tidak mampu. Mereka pakai kartu Jamkesmas. Tidak hanya dari Ngada, tapi juga dari Nagekeo dan Manggarai Timur yang belum punya RSUD.
Direktris memberi gambaran. “Dari Januari sampai Mei saja, kalau diuangkan, bisa mencapai Rp5 miliar.” Bandingkan dengan alokasi dananya. Pemkab, kata Wabup Paulus Soliwoa, alokasikan Rp6 miliar untuk Jaminan Kesehatan Masyarakat Ngada (JMKN). Meski ini luar Askes dan Jamkesmas, de facto jumlah ini tidak cukup.
Atasi ketiadaan obat, kata Wabup Soliwoa, RSUD bisa gunakan dana emergensi. Ini langkah darurat. Tak ada rotan, akar pun jadi. Semestinya tidak begitu. RSUD tidak sedang tertimpa bencana. Persoalanya bukan pada bencana, tapi pada rencana. Kurang beresnya program, alokasi dana, penyelenggaraan, dan kontrol.
Di Flores, RSUD menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) yang besar. Pada kabupaten tertentu, malah terbesar. Ini ironi besar. Ironi pertama: biaya pembangunan terbesar bersumberkan PAD justru berasal dari orang sakit. Bukan dari orang sehat.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut orang sakit itu ”pasien”. Dari kata Inggirs, “patient”, yang sebagai kata sifat justru berarti “sabar”. Cocok untuk orang sakit di Flores. Mereka harus sabar. Karena merekalah tulang punggung PAD. Sebagai tulang punggung, mereka harus ulet menderita, meski tinggal tulang, karena tidak mampu beli obat di apotek, lantaran obat generik di RSUD habis.
Inilah ironi kedua: RSUD tulang punggung PAD, tapi diperlakukan sebagai tulang kering: kurang berisi. Yang berisi justru tulang ekor atau tulang kedudukan: tunjangan besar bagi yang berkedudukan besar. Juga tulang pipi, demi wajah atau penampilan: anggaran besar untuk rumah jabatan, rumah dinas, mobil dinas. Juga tulang tapak kaki: dana besar untuk perjalanan dinas pejabat
Betul-betul ironi besar: RSUD Bajawa kehabisan obat. Bupati, wabup, DPRD harus merasa bersalah dan malu. Berbenahlah!
”Bentara” FLORES POS, Senin 25 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
RSUD Bajawa kehabisan obat. Ini sulitkan rumah sakit tangani pasien. Keluarga pun kecewa. Harus beli obat mahal di apotek. “Kami ini pasien dari keluarga miskin yang yakin akan dapat kemudahan dari program Jamkesmas,” kata Eduardus Lae asal Mbay (Flores Pos Jumat 22 Juli 2011).
Obat habis tidak berarti tidak ada obat. Masih ada. Sangat banyak. Nilainya miliaran rupiah. Namun, tidak boleh digunakan. Karena sudah kadaluarsa. Sudah jadi sampah. Tapi belum juga dimusnahkan. “Ini yang buat aset RSUD Bajawa seakan besar sekali, karena dihitung juga dengan obat kadaluarsa,” kata Direktris Meri Betu.
Ini salah satu faktor. Miliaran rupiah amblas untuk datangkan bakal sampah: obat yang cepat kadaluarsa. Masa lakunya tidak dipedulikan. Tender hanya perhatikan hal prosedural, abaikan hal substansial. Yang penting tata caranya tepat. Mutunya persetan.
Ini laku umum dalam tender. Pembangunan gedung, jembatan, jalan raya, bendungan, saluran irigasi juga begitu. Hanya pentingkan prosedur, persetankan mutu. Di Manggarai, misalnya. Saluran irigasi Wae Ces II dikerjakan asal-asalan. Belum setahun, sudah jebol sana-sini (Flores Pos Jumat 15 Juli 2011).
Dalam kasus habisnya obat di RSUD Bajawa, faktor lainnya: anggaran. Kurangnya alokasi dana untuk pembelian obat, kata direktris. Kurang, karena kebutuhan meningkat. Pasien banyak. Sebagian besar dari keluarga tidak mampu. Mereka pakai kartu Jamkesmas. Tidak hanya dari Ngada, tapi juga dari Nagekeo dan Manggarai Timur yang belum punya RSUD.
Direktris memberi gambaran. “Dari Januari sampai Mei saja, kalau diuangkan, bisa mencapai Rp5 miliar.” Bandingkan dengan alokasi dananya. Pemkab, kata Wabup Paulus Soliwoa, alokasikan Rp6 miliar untuk Jaminan Kesehatan Masyarakat Ngada (JMKN). Meski ini luar Askes dan Jamkesmas, de facto jumlah ini tidak cukup.
Atasi ketiadaan obat, kata Wabup Soliwoa, RSUD bisa gunakan dana emergensi. Ini langkah darurat. Tak ada rotan, akar pun jadi. Semestinya tidak begitu. RSUD tidak sedang tertimpa bencana. Persoalanya bukan pada bencana, tapi pada rencana. Kurang beresnya program, alokasi dana, penyelenggaraan, dan kontrol.
Di Flores, RSUD menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) yang besar. Pada kabupaten tertentu, malah terbesar. Ini ironi besar. Ironi pertama: biaya pembangunan terbesar bersumberkan PAD justru berasal dari orang sakit. Bukan dari orang sehat.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut orang sakit itu ”pasien”. Dari kata Inggirs, “patient”, yang sebagai kata sifat justru berarti “sabar”. Cocok untuk orang sakit di Flores. Mereka harus sabar. Karena merekalah tulang punggung PAD. Sebagai tulang punggung, mereka harus ulet menderita, meski tinggal tulang, karena tidak mampu beli obat di apotek, lantaran obat generik di RSUD habis.
Inilah ironi kedua: RSUD tulang punggung PAD, tapi diperlakukan sebagai tulang kering: kurang berisi. Yang berisi justru tulang ekor atau tulang kedudukan: tunjangan besar bagi yang berkedudukan besar. Juga tulang pipi, demi wajah atau penampilan: anggaran besar untuk rumah jabatan, rumah dinas, mobil dinas. Juga tulang tapak kaki: dana besar untuk perjalanan dinas pejabat
Betul-betul ironi besar: RSUD Bajawa kehabisan obat. Bupati, wabup, DPRD harus merasa bersalah dan malu. Berbenahlah!
”Bentara” FLORES POS, Senin 25 Juli 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
kehabisan obat,
kesehatan,
ngada,
rsud bajawa
24 Juli 2011
Reo Bebas, Flores Susah
Bisnis Ilegal Minyak Tanah Bersubsidi
Oleh Frans Anggal
Seribu dua ratus liter minyak tanah bersubsidi disita Polres Manggarai di Reo. Bersamaan dengan itu, empat pelakunya ditahan dan dijadikan tersangka. Yakni nakhoda dan tiga anak buah kapal. Mereka tertangkap tangan saat hendak membawa minyak tanah dari Reo menuju Jeneponto (Flores Pos Jumat 22 Juli 2011).
Modusnya: pelaku minta masyarakat beli minyak tanah bersubsidi di pangkalan. Dari masyarakat, pelaku siap beli dengan harga Rp4.000 per liter. Merasa diuntungkan, masyarakat ramai-ramai beli di pangkalan lalu jual ke pelaku. Selanjutnya, di Jeneponto, pelaku akan jual kembali dengan harga Rp6.000-7.000.
Kapal pelaku sudah biasa pergi pulang Reo-Jeneponto. Patut dapat diduga, praktik ini sudah barlangsung lama. Besar kemungkinan pula, melibatkan banyak kapal lain. Tapi koq baru sekarang diketahui polisi. Sehingga baru sekarang juga dicegat dan digeledah. Ada beberapa faktor.
Meski ilegal, bisnis ini menguntungkan para pihak. Yakni masyarakat dan pelaku. Selisih harga beli dan harga jualnya cukup signifikan. Belinya murah, jualnya mahal, untungnya besar. Maka jadilah bisnis ilegal ini perbuatan melawan hukum yang berterima oleh masyarakat. Sama-sama jahat, tapi sama-sama untung.
Perbuatan melawan hukum yang berterima seperti ini biasanya bertahan manakala pihak yang semestinya mencegah dan menindaknya turut diuntungkan. Mereka itu bisa saja petugas Pertamina, aparat pemerintah, aparat penegak hukum. Mereka diuntungkan oleh suap, berupa setoran dari para pelaku.
Karena melibatkan banyak pihak yang merasa diuntungkan dengan sebaran meluas di tengah masyarakat, sulit dipercaya bisnis ilegal ini sangat tertutup dan rahasia. Kalaupun disebut rahasia, itu pastilah “rahasia umum”. Rahasia yang bukan rahasia lagi, karena sudah diketahui publik.
Kalau itu sudah jadi rahasia umum, maka sulit dipercaya juga bahwa polisi baru tahu tentangnya. Apalagi, baru tahu karena baru diberi tahu oleh masyarakat. Untung ada masyarakat yang beri tahu. Kalau tidak, bagaimana? Apakah polisi tetap tidak tahu dan tetap nyaman dalam ketidaktahuan? Ini sangat menghina akal sehat.
Sama sulit dipercaya kalau petugas Pertamina, aparat pemerintah, dan masyarakat terdidik setempat tidak tahu. Meraka tahu, tapi tidak mau tahu. Masa bodoh. Cuek bebek. Mereka biarkan polisi akan tahu dengan sendirinya. Mentalitas seperti inilah yang antara lain menyebabkan subsidi BBM seringkali tidak tepat sasaran. Dampaknya, kelangkaan.
Para pihak lupa, bisnis ilegal di Reo itu tidak hanya melanggar hukum. Tapi juga melukai rasa keadilan masyarakat. Reo bebas, Flores susah. Orang di Reo bebas perdagangkan minyak tanah bersubsidi. Sementara orang lain di Flores pontang-panting cari sana sini. Untuk dapat satu botol saja, sulitnya minta ampun.
Kita mendesak, kontrol distribusi minyak tanah bersubsidi diperketat. Terutama di Reo, salah satu pintu masuk di Flores. Alasannya jelas, nyata, terbukti. Pola subsidi selalu mendorong pihak tertentu membeli banyak dan menjual kembali di luar jalur demi keuntungan berlipat. Ketika pembeliannya sangat banyak, distribusi di pasar pasti terganggu. Inilah yang terjadi selama ini. Biang keroknya kelangkaan.
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 23 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Seribu dua ratus liter minyak tanah bersubsidi disita Polres Manggarai di Reo. Bersamaan dengan itu, empat pelakunya ditahan dan dijadikan tersangka. Yakni nakhoda dan tiga anak buah kapal. Mereka tertangkap tangan saat hendak membawa minyak tanah dari Reo menuju Jeneponto (Flores Pos Jumat 22 Juli 2011).
Modusnya: pelaku minta masyarakat beli minyak tanah bersubsidi di pangkalan. Dari masyarakat, pelaku siap beli dengan harga Rp4.000 per liter. Merasa diuntungkan, masyarakat ramai-ramai beli di pangkalan lalu jual ke pelaku. Selanjutnya, di Jeneponto, pelaku akan jual kembali dengan harga Rp6.000-7.000.
Kapal pelaku sudah biasa pergi pulang Reo-Jeneponto. Patut dapat diduga, praktik ini sudah barlangsung lama. Besar kemungkinan pula, melibatkan banyak kapal lain. Tapi koq baru sekarang diketahui polisi. Sehingga baru sekarang juga dicegat dan digeledah. Ada beberapa faktor.
Meski ilegal, bisnis ini menguntungkan para pihak. Yakni masyarakat dan pelaku. Selisih harga beli dan harga jualnya cukup signifikan. Belinya murah, jualnya mahal, untungnya besar. Maka jadilah bisnis ilegal ini perbuatan melawan hukum yang berterima oleh masyarakat. Sama-sama jahat, tapi sama-sama untung.
Perbuatan melawan hukum yang berterima seperti ini biasanya bertahan manakala pihak yang semestinya mencegah dan menindaknya turut diuntungkan. Mereka itu bisa saja petugas Pertamina, aparat pemerintah, aparat penegak hukum. Mereka diuntungkan oleh suap, berupa setoran dari para pelaku.
Karena melibatkan banyak pihak yang merasa diuntungkan dengan sebaran meluas di tengah masyarakat, sulit dipercaya bisnis ilegal ini sangat tertutup dan rahasia. Kalaupun disebut rahasia, itu pastilah “rahasia umum”. Rahasia yang bukan rahasia lagi, karena sudah diketahui publik.
Kalau itu sudah jadi rahasia umum, maka sulit dipercaya juga bahwa polisi baru tahu tentangnya. Apalagi, baru tahu karena baru diberi tahu oleh masyarakat. Untung ada masyarakat yang beri tahu. Kalau tidak, bagaimana? Apakah polisi tetap tidak tahu dan tetap nyaman dalam ketidaktahuan? Ini sangat menghina akal sehat.
Sama sulit dipercaya kalau petugas Pertamina, aparat pemerintah, dan masyarakat terdidik setempat tidak tahu. Meraka tahu, tapi tidak mau tahu. Masa bodoh. Cuek bebek. Mereka biarkan polisi akan tahu dengan sendirinya. Mentalitas seperti inilah yang antara lain menyebabkan subsidi BBM seringkali tidak tepat sasaran. Dampaknya, kelangkaan.
Para pihak lupa, bisnis ilegal di Reo itu tidak hanya melanggar hukum. Tapi juga melukai rasa keadilan masyarakat. Reo bebas, Flores susah. Orang di Reo bebas perdagangkan minyak tanah bersubsidi. Sementara orang lain di Flores pontang-panting cari sana sini. Untuk dapat satu botol saja, sulitnya minta ampun.
Kita mendesak, kontrol distribusi minyak tanah bersubsidi diperketat. Terutama di Reo, salah satu pintu masuk di Flores. Alasannya jelas, nyata, terbukti. Pola subsidi selalu mendorong pihak tertentu membeli banyak dan menjual kembali di luar jalur demi keuntungan berlipat. Ketika pembeliannya sangat banyak, distribusi di pasar pasti terganggu. Inilah yang terjadi selama ini. Biang keroknya kelangkaan.
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 23 Juli 2011
Label:
bentara,
bisnis elegal,
flores,
flores pos,
hukum,
kelangkaan bbm,
manggarai,
minyak tanah bersubsidi,
reo
22 Juli 2011
Sandiwara di Nggalak Rego
Kasus Tambang Mangan di Manggarai
Oleh Frans Anggal
Polres Manggarai menghentikan penyidikan terhadap para tersangka kasus tambang PT Sumber Jaya Asia (SJA). Hal ini ditandai dengan terbitnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap bos PT SJA Herman Jaya pada Juni 2011.
"Langkah itu diambil karena ada dasar hukumnya dalam seluruh proses penanganan kasus tersebut. Alasan kita, adanya surat penghentian penuntutan (dari Kejari Ruteng)," kata Kapolres Manggarai Soediantoko (Flores Pos Kamis 21 Juli 2011).
Yang dihentikan oleh kejari adalah penuntutan terhadap Supriyadi, yang berkasnya duluan dilimpah¬kan polres ke jaksa. Sedangkan berkas Herman Jaya belum. Demikian pula berkas Libertus Magung. Keduanya masih dalam penyidikan polres.
Jaksa menghentikan penuntutan terhadap Supriyadi berdasarkan putusan PTUN dalam perkara bupati Manggrai vs SJA. Bupati mencabut izin SJA karena perusahaan ini menambang dalam kawasan hutan lindung tanpa izin pinjam pakai dari Menhut. SJA mem-PTUN-kan bupati. Dan menang berturut-turut di PTUN Kupang, PTUN Surabaya (banding), dan MA (kasasi).
Kenapa SJA menang? Salah satu dasarnya: hutan Nggalak Rego dalam wilayah kuasa pertambangan mangan SJA bukanlah hutan lindung. Ini aneh. Sebab, dalam lampiran Keputusan Gubernur NTT No. 64/1999 tentang Penetapan Hasil Paduserasi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi NTT, Nggalak Rego itu hutan lindung. Keputusan ini diperkuat Keputusan Menhut RI No. 423/Kpts.2/1999. Ini keputusan terbaru. Belum dicabut.
Dengan demikian, dasar putusan yang digunakan PTUN itu rapuh. Lucunya, Kejari Ruteng menjadikan putusan PTUN sebagai dasar penghentikan penuntutan terhadap Supriyadi. Salanjutnya, Polres Manggarai menjadikan penghentikan penuntutan terhadap Supriyadi sebagai dasar penghentian penyidikan terhadap Herman Jaya dan Libertus Magung.
Apa yang terjadi di sini? Pencampuradukan dua perkara dalam lingkup hukum berbeda. Perkara di PTUN itu kasus pencambutan izin oleh bupati. Sedangkan di jaksa dan polisi kasus perambahan hutan lindung oleh SJA. Dua perkara berbeda, dalam lingkup hukum berbeda. Bagaimana bisa, putusan lingkup peradilan khusus (PTUN) dijadikan dasar penghentikan penuntutan dan penyidikan oleh jaksa dan polisi dalam lingkup peradilan umum.
Selain mencampuradukan dua perkara dalam lingkup hukum berbeda, jaksa dan polisi menggunakan kacamata kuda. Karena, hanya memperhatikan dan mempertimbangkan konsiderans putusan PTUN. Dokumen-dokumen autentik, sah, dan masih berlaku tentang status hutan Nggalak Rego sebagai hutan lindung tidak dihiraukan. Termasuk, keputusan terbaru itu: Kep Menhut RI No. 423/Kpts.2/1999.
Sampai sekarang, belum ada keputusan sederajat atau lebih tinggi yang membatalkan keputusan terdahulu. Dengan demikian, hutan Nggalak Rego tetap sebagai hutan lindung. Semestinya jaksa dan polisi berpijak pada dokumen autentik, sah, dan masih berlaku seperti ini. Tidak merujuk lurus-lurus pada putusan PTUN yang bisa saja sesat karena menggunakan konsiderans rapuh, bahwa Nggalak Rego bukan hutan lindung.
Kerapuhan ini bisa dilihat pula pada sikap SJA setelah menang perkara di PTUN. Kata kapolres, SJA tidak lagi menambang di kawasan yang dipersoalkan. Mereka pindah ke kawasan lain. Lho, kenapa pindah? Bukankan PTUN bilang, kawasan itu bukan hutan lindung? Bukankah jaksa dan polisi hanya tahu ikut putusan PTUN? Hmmm. Sandiwara di Nggalak Rego.
”Bentara” FLORES POS, Jumat 22 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Polres Manggarai menghentikan penyidikan terhadap para tersangka kasus tambang PT Sumber Jaya Asia (SJA). Hal ini ditandai dengan terbitnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap bos PT SJA Herman Jaya pada Juni 2011.
"Langkah itu diambil karena ada dasar hukumnya dalam seluruh proses penanganan kasus tersebut. Alasan kita, adanya surat penghentian penuntutan (dari Kejari Ruteng)," kata Kapolres Manggarai Soediantoko (Flores Pos Kamis 21 Juli 2011).
Yang dihentikan oleh kejari adalah penuntutan terhadap Supriyadi, yang berkasnya duluan dilimpah¬kan polres ke jaksa. Sedangkan berkas Herman Jaya belum. Demikian pula berkas Libertus Magung. Keduanya masih dalam penyidikan polres.
Jaksa menghentikan penuntutan terhadap Supriyadi berdasarkan putusan PTUN dalam perkara bupati Manggrai vs SJA. Bupati mencabut izin SJA karena perusahaan ini menambang dalam kawasan hutan lindung tanpa izin pinjam pakai dari Menhut. SJA mem-PTUN-kan bupati. Dan menang berturut-turut di PTUN Kupang, PTUN Surabaya (banding), dan MA (kasasi).
Kenapa SJA menang? Salah satu dasarnya: hutan Nggalak Rego dalam wilayah kuasa pertambangan mangan SJA bukanlah hutan lindung. Ini aneh. Sebab, dalam lampiran Keputusan Gubernur NTT No. 64/1999 tentang Penetapan Hasil Paduserasi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi NTT, Nggalak Rego itu hutan lindung. Keputusan ini diperkuat Keputusan Menhut RI No. 423/Kpts.2/1999. Ini keputusan terbaru. Belum dicabut.
Dengan demikian, dasar putusan yang digunakan PTUN itu rapuh. Lucunya, Kejari Ruteng menjadikan putusan PTUN sebagai dasar penghentikan penuntutan terhadap Supriyadi. Salanjutnya, Polres Manggarai menjadikan penghentikan penuntutan terhadap Supriyadi sebagai dasar penghentian penyidikan terhadap Herman Jaya dan Libertus Magung.
Apa yang terjadi di sini? Pencampuradukan dua perkara dalam lingkup hukum berbeda. Perkara di PTUN itu kasus pencambutan izin oleh bupati. Sedangkan di jaksa dan polisi kasus perambahan hutan lindung oleh SJA. Dua perkara berbeda, dalam lingkup hukum berbeda. Bagaimana bisa, putusan lingkup peradilan khusus (PTUN) dijadikan dasar penghentikan penuntutan dan penyidikan oleh jaksa dan polisi dalam lingkup peradilan umum.
Selain mencampuradukan dua perkara dalam lingkup hukum berbeda, jaksa dan polisi menggunakan kacamata kuda. Karena, hanya memperhatikan dan mempertimbangkan konsiderans putusan PTUN. Dokumen-dokumen autentik, sah, dan masih berlaku tentang status hutan Nggalak Rego sebagai hutan lindung tidak dihiraukan. Termasuk, keputusan terbaru itu: Kep Menhut RI No. 423/Kpts.2/1999.
Sampai sekarang, belum ada keputusan sederajat atau lebih tinggi yang membatalkan keputusan terdahulu. Dengan demikian, hutan Nggalak Rego tetap sebagai hutan lindung. Semestinya jaksa dan polisi berpijak pada dokumen autentik, sah, dan masih berlaku seperti ini. Tidak merujuk lurus-lurus pada putusan PTUN yang bisa saja sesat karena menggunakan konsiderans rapuh, bahwa Nggalak Rego bukan hutan lindung.
Kerapuhan ini bisa dilihat pula pada sikap SJA setelah menang perkara di PTUN. Kata kapolres, SJA tidak lagi menambang di kawasan yang dipersoalkan. Mereka pindah ke kawasan lain. Lho, kenapa pindah? Bukankan PTUN bilang, kawasan itu bukan hutan lindung? Bukankah jaksa dan polisi hanya tahu ikut putusan PTUN? Hmmm. Sandiwara di Nggalak Rego.
”Bentara” FLORES POS, Jumat 22 Juli 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
hutan nggalak rego,
manggarai,
pertambangan,
pt sumber jaya asia,
sp3,
tambang mangan
21 Juli 2011
Segera Bawa ke Mendagri
Sengketa Tapal Batas Matim dan Ngada
Oleh Frans Anggal
Tokoh masyarakat Manggarai Timur (Matim) kecewa. Pertemuan mereka dengan Gubernur NTT Frans Lebu Raya di Kupang, Senin 18 Juli 2011, tidak membawa hasil. Sikap gubernur terhadap masalah tapal batas Matim dan Ngada tidak jelas dan tidak tegas. "Kami kecewa," kataThomas Loma (Flores Pos Rabu 20 Juli 2011)
Para tokoh masyarakat ini merupakan delegasi resmi, hasil koordinasi bersama pemerintah daerah, pimpinan DPRD, dan tokoh masyarakat se-Manggarai Raya, yang terdiri dari Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur.
Dalam pertemuan dengan gubernur, mereka angkat dua hal. Pertama, desakan agar gubernur segera tegaskan tapal batas Matim-Ngada. Kedua, laporan tentang provokasi dan anarkisme di perbatasan: perusakan dan pemblokiran jalan, perusakan pilar, dll.
Ada tiga poin jawaban gubernur. (1) Ia akan memperjuangkan secepatnya penyelesaian batas. Ia sudah turunkan tim independen ke perbatasan. Tinggal tunggu hasilnya. (2) Ia yakin persoalan ini dapat diselesaikan dalam semangat persaudaraan. Maka, tidak perlu dibawa ke mendagri. (3) Ia mengpresiasi sikap masyarakat Matim yang tetap menjaga suasana aman di perbatasan.
Gubernur akan perjuangkan secepatnya penyelesaian batas? Tidak ada presedennya. Bahkan ketika suasana di tapal batas memanas. Saat kehadirannya dibutuhkan, ia absen. Ditunggu-tunggu, tidak datang-datang. Masyarakatlah yang mendatanginya di Kupang. Dia tunggu di tempat.
Seakan mewakili dirinya, ia turunkan tim independen ke perbatasan. Kenapa tim independen? Kenapa bukan tim gubernur dipimpin gubernur? Penamaan tim ini janggal. Mengesankan gubernur tidak mampu bersikap independen. Pembentukannya pun memperpanjang absensi gubernur di tapal batas. Dengan adanya tim ini, gubernur merasa tidak perlu ke lokasi sengketa. Dia tunggu di tempat.
Dengan begitu, apakah mungkin persoalan tapal batas dapat diselesaikan dalam semangat persaudaraan? Sehingga tidak perlu dibawa ke mendagri? Tidak mungkin! Bagaimana bisa semangat persaudaraan terwujud kalau pihak yang paling berwenang dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan sengketa itu justru tidak hadir.
Dalam kasus ini, gubernur tidak bisa diandalkan. Masalah ini perlu segera dibawa ke mendagri. Biarkan tim mendagri turun ke wilayah perbatasan. Kehadiran seperti ini diperlukan. Selain untuk melengkapi pemahaman masalah, juga untuk mencegah dan mengatasi eskalasi konflik. Ini yang tidak dilakukan gubernur. Provokasi dan anarkisme dibiarkan. Seolah-olah semua itu bukan perbuatan melawan hukum.
Di hadapan tokoh masyarakat Matim di Kupang, gubernur mengapresiasi sikap masyarakat Matim yang tetap menjaga suasana aman di perbatasan. Lalu, apa sikapnya terhadap masyarakat yang melakukan provokasi dan anarki? Ini yang tidak jelas. Jangan-jangan provokasi dan anarki itu dianggap sebagai dongeng belaka. Kalau benar begitu, harap maklum. Gubernur tidak pernah ke lokasi koq.
Menjadi pertanyaan kita: kenapa gubernur tidak ke sana? Alasan rasionalnya hampir tidak ada. Maka kita patut dapat menduga alasan yang lain. Dia tidak mampu dan tidak berani selesaikan masalah. Namun ini ditutup-tutupi. Caranya, dengan menunda-nunda penyelesaian masalah, membentuk tim independen, dan entah apa lagi. Kalau tetap tunggu gubernur, ya, sulit. Kasus ini perlu segera dibawa ke mendagri.
”Bentara” FLORES POS, Kamis 21 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Tokoh masyarakat Manggarai Timur (Matim) kecewa. Pertemuan mereka dengan Gubernur NTT Frans Lebu Raya di Kupang, Senin 18 Juli 2011, tidak membawa hasil. Sikap gubernur terhadap masalah tapal batas Matim dan Ngada tidak jelas dan tidak tegas. "Kami kecewa," kataThomas Loma (Flores Pos Rabu 20 Juli 2011)
Para tokoh masyarakat ini merupakan delegasi resmi, hasil koordinasi bersama pemerintah daerah, pimpinan DPRD, dan tokoh masyarakat se-Manggarai Raya, yang terdiri dari Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur.
Dalam pertemuan dengan gubernur, mereka angkat dua hal. Pertama, desakan agar gubernur segera tegaskan tapal batas Matim-Ngada. Kedua, laporan tentang provokasi dan anarkisme di perbatasan: perusakan dan pemblokiran jalan, perusakan pilar, dll.
Ada tiga poin jawaban gubernur. (1) Ia akan memperjuangkan secepatnya penyelesaian batas. Ia sudah turunkan tim independen ke perbatasan. Tinggal tunggu hasilnya. (2) Ia yakin persoalan ini dapat diselesaikan dalam semangat persaudaraan. Maka, tidak perlu dibawa ke mendagri. (3) Ia mengpresiasi sikap masyarakat Matim yang tetap menjaga suasana aman di perbatasan.
Gubernur akan perjuangkan secepatnya penyelesaian batas? Tidak ada presedennya. Bahkan ketika suasana di tapal batas memanas. Saat kehadirannya dibutuhkan, ia absen. Ditunggu-tunggu, tidak datang-datang. Masyarakatlah yang mendatanginya di Kupang. Dia tunggu di tempat.
Seakan mewakili dirinya, ia turunkan tim independen ke perbatasan. Kenapa tim independen? Kenapa bukan tim gubernur dipimpin gubernur? Penamaan tim ini janggal. Mengesankan gubernur tidak mampu bersikap independen. Pembentukannya pun memperpanjang absensi gubernur di tapal batas. Dengan adanya tim ini, gubernur merasa tidak perlu ke lokasi sengketa. Dia tunggu di tempat.
Dengan begitu, apakah mungkin persoalan tapal batas dapat diselesaikan dalam semangat persaudaraan? Sehingga tidak perlu dibawa ke mendagri? Tidak mungkin! Bagaimana bisa semangat persaudaraan terwujud kalau pihak yang paling berwenang dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan sengketa itu justru tidak hadir.
Dalam kasus ini, gubernur tidak bisa diandalkan. Masalah ini perlu segera dibawa ke mendagri. Biarkan tim mendagri turun ke wilayah perbatasan. Kehadiran seperti ini diperlukan. Selain untuk melengkapi pemahaman masalah, juga untuk mencegah dan mengatasi eskalasi konflik. Ini yang tidak dilakukan gubernur. Provokasi dan anarkisme dibiarkan. Seolah-olah semua itu bukan perbuatan melawan hukum.
Di hadapan tokoh masyarakat Matim di Kupang, gubernur mengapresiasi sikap masyarakat Matim yang tetap menjaga suasana aman di perbatasan. Lalu, apa sikapnya terhadap masyarakat yang melakukan provokasi dan anarki? Ini yang tidak jelas. Jangan-jangan provokasi dan anarki itu dianggap sebagai dongeng belaka. Kalau benar begitu, harap maklum. Gubernur tidak pernah ke lokasi koq.
Menjadi pertanyaan kita: kenapa gubernur tidak ke sana? Alasan rasionalnya hampir tidak ada. Maka kita patut dapat menduga alasan yang lain. Dia tidak mampu dan tidak berani selesaikan masalah. Namun ini ditutup-tutupi. Caranya, dengan menunda-nunda penyelesaian masalah, membentuk tim independen, dan entah apa lagi. Kalau tetap tunggu gubernur, ya, sulit. Kasus ini perlu segera dibawa ke mendagri.
”Bentara” FLORES POS, Kamis 21 Juli 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
gubernur ntt,
konflik batas matim-ngada,
matim,
ngada,
pemerintahan
20 Juli 2011
Dari Mabas, Pungli di Flotim
Pol Air Permalukan Mabes Polri
Oleh Frans Anggal
Sejumlah nakhoda dan awak kapal layar motor (KLM) barang jurusan Makassar-Larantuka mengeluh. Mereka merasa diperas dengan pungutan liar (pungli) yang dilakukan oknum aparat Polisi Air (Pol Air) yang bertugas di Kapal Patroli (KP) Kutilang. Mereka meminta Kapolri menindak tegas para pelaku (Flores Pos Selasa 19 Juli 2011).
Pol Air KP Kutilang merupakan bawah komando operasi (BKO) dari Markas Besar (Mabes) Polri. Ditugaskan untuk mengamakan pemilukada Flores Timur (Flotim). Tentu tetap dalam ranah tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Pol Air. Yakni membina dan menyelenggarakan fungsi kepolisian perairan. Untuk layani, lindungi, ayomi, serta pelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dan penegakan hukum.
Yang mereka lakukan, jauh panggang dari api. Tupoksi hanya ada di atas kertas. Tidak di atas air. Di atas kertas: tupoksi. Di atas air: pungli. Modusnya: interogasi, cari kesalahan, ujung-ujungnya duit. Sejak April 2011, empat kapal barang telah jadi korban. KLM Subur Makmur Rp10 juta. KLM Cahaya Akbar IV Rp7 juta. KLM Akbar Disayang Rp2 juta. KLM Akbar Setia Rp500 ribu.
Kasus terakhir, 15 Juli, menimpa KLM Akbar, di pelabuan Larantuka. Kapal ini miliki dokumen resmi dari Syahbandar Makassar. Setelah geledah, Pol Air temukan dua kesalahan. Pertama, kapal ini memuat barang campuran (semen 130 ton, terigu 70 ton). Kedua, nakhoda Onta Mappa, meski tamat, tidak bisa tunjukkan ijazah kursus pelayaran. Ujungnya jelas.
"Saya ditanya, berapa uang yang ada di saku," tutur Onta Mappa. "Saya jawab Rp2 juta, untuk biaya makan minum di atas kapal selama di Larantuka. Saya dipaksa untuk berikan uang itu, dan saya berikan. Sekarang kami kesulitan uang untuk kebutuhna di kapal."
Bahwa ada pelanggaran atau hal yang tidak beres pada keempat kapal, itu pasti. Bisa menyangkut dokumen pelayaran, perlengkapan keamanan, ijazah nakhoda, atau apa saja. Namun, yang jadi soal di sini bukan itu. Bukan ada tidaknya pelanggaran. Tapi bagaimana pelanggaran itu ditangani. Yang dilakukan oknum Pol Air itu tangkap-peras-lepas. Prosedur KUHAP diinjak habis. Kasih uang habis perkara. Tak kasih uang muncul perkara.
Perihal yang terakhir ini, nama Pol Air pernah tercoreng di luar negeri. Minggu, 15 November 2009, media di Australia menurunkan berita yang menuding aparat Pol Air Indonesia menembaki perahu pengangkut 61 warga Afghanistan di perairan dekat Pulau Rote 13 November 2009. Kenapa? Karena para pencari suaka tidak bisa membayar lebih banyak uang suap yang diminta aparat Pol Air.
Kali ini, di Larantuka. Bukan karena "tak kasih uang muncul perkara". Tapi sebaliknya, karena "kasih uang habis perkara". Namun, karena korban pemerasan berani bersuara, "kasih uang habis perkara" itu pun akhirnya timbulkan perkara.
Dan perkara ini menampar Mabes Polri. Sebab, Pol Air itu BKO dari mabes. Dari mabes mereka emban tupoksi. Di Flotim mereka lakukan pungli. Digaji sambil nyambi. Nyambi yang salah. Sambil ber-tupoksi, mereka ber-pungli. Sambil kerja keras, mereka kerja peras. Mereka permalukan mabes.
Karena itu, desakan para korban sangat tepat. Langsung ke bos mabes. Mereka meminta Kapolri menindak tegas para pelaku. Lha, bagaimana kalau tidak ada tindakan dari mabes? Jangan kaget, pasti muncul kesan, pemerasan itu atas persetujuan atau perintah orang mabes. Peras ke bawah, setor ke atas.
”Bentara” FLORES POS, Rabu 20 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Sejumlah nakhoda dan awak kapal layar motor (KLM) barang jurusan Makassar-Larantuka mengeluh. Mereka merasa diperas dengan pungutan liar (pungli) yang dilakukan oknum aparat Polisi Air (Pol Air) yang bertugas di Kapal Patroli (KP) Kutilang. Mereka meminta Kapolri menindak tegas para pelaku (Flores Pos Selasa 19 Juli 2011).
Pol Air KP Kutilang merupakan bawah komando operasi (BKO) dari Markas Besar (Mabes) Polri. Ditugaskan untuk mengamakan pemilukada Flores Timur (Flotim). Tentu tetap dalam ranah tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Pol Air. Yakni membina dan menyelenggarakan fungsi kepolisian perairan. Untuk layani, lindungi, ayomi, serta pelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dan penegakan hukum.
Yang mereka lakukan, jauh panggang dari api. Tupoksi hanya ada di atas kertas. Tidak di atas air. Di atas kertas: tupoksi. Di atas air: pungli. Modusnya: interogasi, cari kesalahan, ujung-ujungnya duit. Sejak April 2011, empat kapal barang telah jadi korban. KLM Subur Makmur Rp10 juta. KLM Cahaya Akbar IV Rp7 juta. KLM Akbar Disayang Rp2 juta. KLM Akbar Setia Rp500 ribu.
Kasus terakhir, 15 Juli, menimpa KLM Akbar, di pelabuan Larantuka. Kapal ini miliki dokumen resmi dari Syahbandar Makassar. Setelah geledah, Pol Air temukan dua kesalahan. Pertama, kapal ini memuat barang campuran (semen 130 ton, terigu 70 ton). Kedua, nakhoda Onta Mappa, meski tamat, tidak bisa tunjukkan ijazah kursus pelayaran. Ujungnya jelas.
"Saya ditanya, berapa uang yang ada di saku," tutur Onta Mappa. "Saya jawab Rp2 juta, untuk biaya makan minum di atas kapal selama di Larantuka. Saya dipaksa untuk berikan uang itu, dan saya berikan. Sekarang kami kesulitan uang untuk kebutuhna di kapal."
Bahwa ada pelanggaran atau hal yang tidak beres pada keempat kapal, itu pasti. Bisa menyangkut dokumen pelayaran, perlengkapan keamanan, ijazah nakhoda, atau apa saja. Namun, yang jadi soal di sini bukan itu. Bukan ada tidaknya pelanggaran. Tapi bagaimana pelanggaran itu ditangani. Yang dilakukan oknum Pol Air itu tangkap-peras-lepas. Prosedur KUHAP diinjak habis. Kasih uang habis perkara. Tak kasih uang muncul perkara.
Perihal yang terakhir ini, nama Pol Air pernah tercoreng di luar negeri. Minggu, 15 November 2009, media di Australia menurunkan berita yang menuding aparat Pol Air Indonesia menembaki perahu pengangkut 61 warga Afghanistan di perairan dekat Pulau Rote 13 November 2009. Kenapa? Karena para pencari suaka tidak bisa membayar lebih banyak uang suap yang diminta aparat Pol Air.
Kali ini, di Larantuka. Bukan karena "tak kasih uang muncul perkara". Tapi sebaliknya, karena "kasih uang habis perkara". Namun, karena korban pemerasan berani bersuara, "kasih uang habis perkara" itu pun akhirnya timbulkan perkara.
Dan perkara ini menampar Mabes Polri. Sebab, Pol Air itu BKO dari mabes. Dari mabes mereka emban tupoksi. Di Flotim mereka lakukan pungli. Digaji sambil nyambi. Nyambi yang salah. Sambil ber-tupoksi, mereka ber-pungli. Sambil kerja keras, mereka kerja peras. Mereka permalukan mabes.
Karena itu, desakan para korban sangat tepat. Langsung ke bos mabes. Mereka meminta Kapolri menindak tegas para pelaku. Lha, bagaimana kalau tidak ada tindakan dari mabes? Jangan kaget, pasti muncul kesan, pemerasan itu atas persetujuan atau perintah orang mabes. Peras ke bawah, setor ke atas.
”Bentara” FLORES POS, Rabu 20 Juli 2011
19 Juli 2011
Bos Bandit dari Kalimantan
Kasus TKI Ilegal di Sikka
Oleh Frans Anggal
Aparat Polres Sikka menggagalkan pemberangkatan 74 calon tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal di Pelabuhan Laurens Say Maumere, Sabtu 16 Juli 2011. Para calon TKI hendak menumpang KM Bukit Siguntang. Menurut keterangan para calon TKI, mereka akan dipekerja¬kan di Kalimantan Timur (Flores Pos Senin 18 Juli 2011).
Jumlah terbesar berasal dari Pulau Flores, 60 orang, terdiri dari 50 laki-laki, 10 perempuan. Mereka berasal dari Kabupaten Sikka 50 orang, Flotim 7 orang, Ende 3 orang. Sisanya dari Pulau Timor, 14 orang, berasal dari Besikama, Kabupaten Belu. Mereka direkrut oleh petugas lapangan, atas biaya Bos Bandit. Kini Bos Bandit dan para petugas lapangan sedang dalam pemeriksaan polisi.
"Sebanyak 74 orang yang diberangkatkan itu tidak memiliki dokumen-dokumen yang sah," kata Humas Polres Sikka Marthin Behi. Kenapa? "Urusan dokumen dan surat perjalanan bukan tugas saya," kata Samuel Seran, petugas lapangan yang merekrut calon di Besikama. "Kami kira dokumen sudah disiapkan oleh Bos Bandit," kata Rensius, calon TKI asal Sikka.
Jawaban kedua orang ini menggambarkan praktik rekrutmen calon TKI ilegal selama ini. Petugas lapangan merayu calon. Begitu mau, tinggal angkut. Si calon senang, selain karena tergiur gaji yang dijanjikan, urusannya pun tidak ribet. Asal mau saja, dokumen bisa belakangan, diurus orang lain. Dalam kasus di atas, diurus Bos Bandit. Dan sekarang, Bos Bandit berurusan dengan polisi.
Siapakah Bos Bandit? Berita Flores Pos hanya menyebutnya sebagai cukong asal Kalimantan. Cukong, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah orang yang mempunyai uang banyak, yang menyediakan dana atau modal yang diperlukan untuk suatu usaha atau kegiatan orang lain.
Kecukongan Bos Bandit tergambar dari dana yang diberikannya kepada Samuel Seran yang merekrut calon TKI di Besikama. Samuel Seran menerima Rp6.750.000. Dengan perincian, untuk tranportasi pergi pulang Maumere-Atambua Rp1.300.000. Biaya kapal laut ke Kalimantan Rp5.450.000. Itu hanya untuk Samuel Seran. Belum untuk para perekrut lainnya.
Siapa pun dia, Bos Bandit rupanya hanyalah alias. Dan alias ini mengherankan. Secara leksikal, bandit sama dengan penjahat, pencuri, penyerobot. Dan bos? Orang yang berkuasa mengawasi dan memberi perintah kepada karyawan. Dalam perusahaan, bos adalah pemimpin atau majikan. Dengan demikian, bos bandit adalah majikannya penjahat.
Mungkin Bos Bandit hanyalah alias yang tidak cerminkan jati diri orangnya. Kendati demikian, kita tetap terheran-heran dengan alias seperti ini. Kalau ia orang PJTKI, betapa aliasnya dapat merusak citra perusahaan. Perusahaan yang betul akan sangat berhati-hati. Karena itu, kita patut dapat menduga, Bos Bandit adalah bos atau mungkin hanya kaki tangan sebuah sindikat antah-berantah.
Ke mana para calon TKI akan dibawa? Kemungkinan besar ke luar negeri. Ke Malaysia. Polisi sudah mengidentifikasi modusnya. "Mereka sebenarnya tujuan Malaysia, namun dalam proses perekrutan dijelaskan bahwa tujuannya Kalimantan," kata Humas Polres Sikka Marthin Behi.
Apakah para calon TKI tahu ke mana sesungguhnya mereka hendak dibawa? Boleh jadi, iya. Bisa juga, tidak. Bagi mereka, mungkin itu tidak penting. Ke mana pun oke-oke saja, asalkan gajinya bagus. Mereka sudah termakan janji. Bahwa semuanya akan beres. Dan sekarang sudah 'terbukti’. Mereka sedang ‘dibereskan' oleh polisi. Menyedihkan!
”Bentara” FLORES POS, Senin 18 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Aparat Polres Sikka menggagalkan pemberangkatan 74 calon tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal di Pelabuhan Laurens Say Maumere, Sabtu 16 Juli 2011. Para calon TKI hendak menumpang KM Bukit Siguntang. Menurut keterangan para calon TKI, mereka akan dipekerja¬kan di Kalimantan Timur (Flores Pos Senin 18 Juli 2011).
Jumlah terbesar berasal dari Pulau Flores, 60 orang, terdiri dari 50 laki-laki, 10 perempuan. Mereka berasal dari Kabupaten Sikka 50 orang, Flotim 7 orang, Ende 3 orang. Sisanya dari Pulau Timor, 14 orang, berasal dari Besikama, Kabupaten Belu. Mereka direkrut oleh petugas lapangan, atas biaya Bos Bandit. Kini Bos Bandit dan para petugas lapangan sedang dalam pemeriksaan polisi.
"Sebanyak 74 orang yang diberangkatkan itu tidak memiliki dokumen-dokumen yang sah," kata Humas Polres Sikka Marthin Behi. Kenapa? "Urusan dokumen dan surat perjalanan bukan tugas saya," kata Samuel Seran, petugas lapangan yang merekrut calon di Besikama. "Kami kira dokumen sudah disiapkan oleh Bos Bandit," kata Rensius, calon TKI asal Sikka.
Jawaban kedua orang ini menggambarkan praktik rekrutmen calon TKI ilegal selama ini. Petugas lapangan merayu calon. Begitu mau, tinggal angkut. Si calon senang, selain karena tergiur gaji yang dijanjikan, urusannya pun tidak ribet. Asal mau saja, dokumen bisa belakangan, diurus orang lain. Dalam kasus di atas, diurus Bos Bandit. Dan sekarang, Bos Bandit berurusan dengan polisi.
Siapakah Bos Bandit? Berita Flores Pos hanya menyebutnya sebagai cukong asal Kalimantan. Cukong, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah orang yang mempunyai uang banyak, yang menyediakan dana atau modal yang diperlukan untuk suatu usaha atau kegiatan orang lain.
Kecukongan Bos Bandit tergambar dari dana yang diberikannya kepada Samuel Seran yang merekrut calon TKI di Besikama. Samuel Seran menerima Rp6.750.000. Dengan perincian, untuk tranportasi pergi pulang Maumere-Atambua Rp1.300.000. Biaya kapal laut ke Kalimantan Rp5.450.000. Itu hanya untuk Samuel Seran. Belum untuk para perekrut lainnya.
Siapa pun dia, Bos Bandit rupanya hanyalah alias. Dan alias ini mengherankan. Secara leksikal, bandit sama dengan penjahat, pencuri, penyerobot. Dan bos? Orang yang berkuasa mengawasi dan memberi perintah kepada karyawan. Dalam perusahaan, bos adalah pemimpin atau majikan. Dengan demikian, bos bandit adalah majikannya penjahat.
Mungkin Bos Bandit hanyalah alias yang tidak cerminkan jati diri orangnya. Kendati demikian, kita tetap terheran-heran dengan alias seperti ini. Kalau ia orang PJTKI, betapa aliasnya dapat merusak citra perusahaan. Perusahaan yang betul akan sangat berhati-hati. Karena itu, kita patut dapat menduga, Bos Bandit adalah bos atau mungkin hanya kaki tangan sebuah sindikat antah-berantah.
Ke mana para calon TKI akan dibawa? Kemungkinan besar ke luar negeri. Ke Malaysia. Polisi sudah mengidentifikasi modusnya. "Mereka sebenarnya tujuan Malaysia, namun dalam proses perekrutan dijelaskan bahwa tujuannya Kalimantan," kata Humas Polres Sikka Marthin Behi.
Apakah para calon TKI tahu ke mana sesungguhnya mereka hendak dibawa? Boleh jadi, iya. Bisa juga, tidak. Bagi mereka, mungkin itu tidak penting. Ke mana pun oke-oke saja, asalkan gajinya bagus. Mereka sudah termakan janji. Bahwa semuanya akan beres. Dan sekarang sudah 'terbukti’. Mereka sedang ‘dibereskan' oleh polisi. Menyedihkan!
”Bentara” FLORES POS, Senin 18 Juli 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
sikka,
tki ilegal
18 Juli 2011
Klarifikasi Alex Longginus
Peradilan Hukum dan Peradilan Sosial
Oleh Frans Anggal
Mantan bupati Sikka Alexander Longginus men¬datangi Kejari Maumere, Jumat 15 Juli 2011. Ia datang atas inisiatif sendiri. Tujuannya, meminta klarifikasi tentang kejelasan statusnya dalam empat kasus dugaan korupsi selama masa kepemimpinannya 2003-2008 (Flores Pos Sabtu 16 Juli 2011).
Keempat kasus itu adalah kasus pendirian dan pembangunan Univesitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere, kasus dana purnabakti anggota DPRD Sikka 2004-2009, kasus dana penunjang kegiatan DPRD Sikka 2004-2009, dan kasus hibah kendaraan dinas operasional DPRD Sikka 1999-2004.
Keempat kasus ini tercantum dalam surat Kajati NTT Lorens Serworwora kepada Jaksa Agung RI cq Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus tanggal 10 Maret 2006. Di dalamnya dinyatakan, kejaksaan akan memeriksa Alexander Longginus (saat itu masih sebagai bupati Sikka) sebagai saksi atau tersangka.
Faktanya? "Saya sama sekali belum dimintai keterangan atau diperiksa, baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka. Saya sendiri berinisiatif untuk menemui kajari dan meminta klarifikasi terkait empat kasus dugaan korupsi di atas," kata Alex Longginus. "Terus terang, saya sangat terganggu secara sosial dan hukum. Seolah-olah saya koruptor, padahal kenyataannya tidak. Saya mau minta kejelasan kajari, apakah saya sebagai saksi atau sebagai tersangka."
Belum diperiksanya Longginus membuat status hukumnya tidak jelas. Ketidakjelasan statusnya dalam peradilan hukum memberi peluang bagi kesewenang-wenangan peradilan sosial. Ia diadili oleh masyarakat melalui rumor. Bahwa dia koruptor. Padahal, belum ada vonis hukum. Diperiksa jaksa saja belum.
Peradilan sosial itu keji. Karena, berbahankan rumor, peradilan ini bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan dan di mana saja. Semua orang bisa jadi jaksa yang mendakwa dan hakim yang memutus. Peradilannya in absentia. Tanpa kehadiran si terdakwa. Dengan demikian, terdakwa tidak diberi kesempatan membela diri. Peradilan yang sewenang-wenang.
Inilah yang menimpa Longginus. Penyebab utamanya, jelas. Bukan karena adanya kasus yang diduga melibatkan dirinya. Tapi karena tidak adanya keseriusan kejaksaan menidaklanjuti dugaan itu. Ini peluang bagi kesewenang-wenangan peradilan sosial. Ini bisa dikurangi kalau proses hukum berjalan. Kalau Longginus diperiksa oleh kejaksaan.
Di sini, proses hukum berperan sebagai rem yang mengekang kecenderungan sosial pada kesewenang-wenangan. Mengabaikan proses hukum, secara apriori berarti melakukan ketidakadilan. Dalam hal ini ketidakadilan terhadap diri Longginus. Itu terjadi jika dugaan pelanggarannya justru tidak terbukti, sementara masyarakat---melalui peradilan sosial---sudah memvonisnya bersalah.
Karena itu, kita mendesak kejaksaan segera memeriksa Longginus. Segera pastikan statusnya: apakah sebagai saksi ataukah tersangka. Dengan pemastian itu, keadilan dapat ditegakkan. Jika nanti terbukti bersalah, Alex Longginus harus dihukum. Jika tidak, ia harus dibebebaskan.
Dengan dibebaskan melalui proses hukum, nama baiknya dapat dipulihkan secara publik. Akan berakhir pula segala dakwaan dan vonis keji peradilan sosial yang sewenang-wenang. Dalam konteks ini, proses hukum adalah proses klarifkasi. Penjernian, penjelas¬an, dan pengembalian kepada apa yang sebenarnya.
”Bentara” FLORES POS, Senin 18 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Mantan bupati Sikka Alexander Longginus men¬datangi Kejari Maumere, Jumat 15 Juli 2011. Ia datang atas inisiatif sendiri. Tujuannya, meminta klarifikasi tentang kejelasan statusnya dalam empat kasus dugaan korupsi selama masa kepemimpinannya 2003-2008 (Flores Pos Sabtu 16 Juli 2011).
Keempat kasus itu adalah kasus pendirian dan pembangunan Univesitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere, kasus dana purnabakti anggota DPRD Sikka 2004-2009, kasus dana penunjang kegiatan DPRD Sikka 2004-2009, dan kasus hibah kendaraan dinas operasional DPRD Sikka 1999-2004.
Keempat kasus ini tercantum dalam surat Kajati NTT Lorens Serworwora kepada Jaksa Agung RI cq Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus tanggal 10 Maret 2006. Di dalamnya dinyatakan, kejaksaan akan memeriksa Alexander Longginus (saat itu masih sebagai bupati Sikka) sebagai saksi atau tersangka.
Faktanya? "Saya sama sekali belum dimintai keterangan atau diperiksa, baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka. Saya sendiri berinisiatif untuk menemui kajari dan meminta klarifikasi terkait empat kasus dugaan korupsi di atas," kata Alex Longginus. "Terus terang, saya sangat terganggu secara sosial dan hukum. Seolah-olah saya koruptor, padahal kenyataannya tidak. Saya mau minta kejelasan kajari, apakah saya sebagai saksi atau sebagai tersangka."
Belum diperiksanya Longginus membuat status hukumnya tidak jelas. Ketidakjelasan statusnya dalam peradilan hukum memberi peluang bagi kesewenang-wenangan peradilan sosial. Ia diadili oleh masyarakat melalui rumor. Bahwa dia koruptor. Padahal, belum ada vonis hukum. Diperiksa jaksa saja belum.
Peradilan sosial itu keji. Karena, berbahankan rumor, peradilan ini bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan dan di mana saja. Semua orang bisa jadi jaksa yang mendakwa dan hakim yang memutus. Peradilannya in absentia. Tanpa kehadiran si terdakwa. Dengan demikian, terdakwa tidak diberi kesempatan membela diri. Peradilan yang sewenang-wenang.
Inilah yang menimpa Longginus. Penyebab utamanya, jelas. Bukan karena adanya kasus yang diduga melibatkan dirinya. Tapi karena tidak adanya keseriusan kejaksaan menidaklanjuti dugaan itu. Ini peluang bagi kesewenang-wenangan peradilan sosial. Ini bisa dikurangi kalau proses hukum berjalan. Kalau Longginus diperiksa oleh kejaksaan.
Di sini, proses hukum berperan sebagai rem yang mengekang kecenderungan sosial pada kesewenang-wenangan. Mengabaikan proses hukum, secara apriori berarti melakukan ketidakadilan. Dalam hal ini ketidakadilan terhadap diri Longginus. Itu terjadi jika dugaan pelanggarannya justru tidak terbukti, sementara masyarakat---melalui peradilan sosial---sudah memvonisnya bersalah.
Karena itu, kita mendesak kejaksaan segera memeriksa Longginus. Segera pastikan statusnya: apakah sebagai saksi ataukah tersangka. Dengan pemastian itu, keadilan dapat ditegakkan. Jika nanti terbukti bersalah, Alex Longginus harus dihukum. Jika tidak, ia harus dibebebaskan.
Dengan dibebaskan melalui proses hukum, nama baiknya dapat dipulihkan secara publik. Akan berakhir pula segala dakwaan dan vonis keji peradilan sosial yang sewenang-wenang. Dalam konteks ini, proses hukum adalah proses klarifkasi. Penjernian, penjelas¬an, dan pengembalian kepada apa yang sebenarnya.
”Bentara” FLORES POS, Senin 18 Juli 2011
Label:
alexander longginus,
bentara,
dugaan korupsi,
flores,
flores pos,
hukum,
kejari maumere,
sikka
Hukum Progresif di Mabar
Kasus Penambangan Pasir Pantai
Oleh Frans Anggal
Pol PP Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) menahan seorang penambang liar, Selasa 12 Juli 2011. Ia tertangkap tangan sedang mengambil pasir laut di bibir pantai Gorontalo, Labuan Bajo. Ia digelandang ke kantor Pol PP bersama barang bukti mobil dan pasir. Setelah diambil keterangan, ia buat pernyataan di atas kertas bermeterai. Selanjutnya pasir dalam mobil dikembalikan ke pantai.
"Kalau kedapatan lagi berbuat serupa, dia langsung diproses hukum sesuai aturan, di antaranya undang-undang lingkungan hidup," kata Kasat Pol PP Roby Ngolong (Flores Pos Jumat 15 Juli 2011).
Dari keterangan pelaku, Pol PP mendapat informasi, pelaku bertransaksi dengan seseorang yang mengaku sebagai pemilik lahan. Sekali angkut Rp50.000. Selain dipakai sendiri, pasir ia jual. Maka, hari itu juga Pol PP menjemput si 'pemilik' lahan. Ia mengakui perbuatannya. Setelah dijelaskan bahwa pasir pantai dilarang diambil demi menghindari abrasi, ia paham. Ia berjanji tidak mengulangi perbuatannya.
Ada dua fakta penting di sini. Pertama, penambang dan 'pemilik' lahan melanggar UU. Kedua, meski demikian, keduanya tidak diproses hukum. Padahal, itu dimungkinkan bahkan diharuskan oleh UU.
Dari sisi penegakan aturan UU, Pol PP Mabar bisa bahkan harus disalahkan. Mereka tidak lakukan hal yang seharusnya dilakukan. Namun, dari sisi tilik penegakan hukum, perbuatan mereka dapat dipertanggungjawabkan. Hukum di sini dalam pengertian "hukum progresif", sebagaimana dicetuskan oleh Profesor Satjipto Rahardjo.
Doktor filsafat politik Norbertus Jegalus dalam bukunya Hukum Kata Kerja: Diskursus Filsafat tentang Hukum Progresif (Jakarta: Obor, 2011) menjelaskan sepuluh tesis hukum progresif Satjipto Rahardjo. Salah satunya, tesis kesepuluh, simpulan dari sembilan tesis terdahulu, tentang "hukum progresif yang membebaskan".
Ditegaskan, hukum ada bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk manusia. Untuk mengatur, bukan untuk membelenggu hidup manusia. Karena itu, ia tidak boleh hanya memperhatikan apa yang ditetapkan dalam aturan, tetapi juga apa yang berlangsung dalam masyarakat. Ia harus terbuka, responsif, kreatif, dan aktif terhadap dinamika sosial. Inilah sikap berhukum yang benar.
Disadari atau tidak, sikap berhukum seperti inilah yang dianut aparat Pol PP Mabar ketika tidak memproses hukum kedua pelaku pelanggaran. Keduanya mencari nafkah. Melalui cara yang, tidak mereka ketahui, ternyata melanggar UU. Setelah dijelaskan, barulah mereka tahu. Setelah tahu, mereka berjanji tidak mengulangi perbuatannya.
Penanganan kasus seperti ini memperlihatkan, hukum itu bukan hanya urusan aturan UU. Tapi juga dan malah terutama urusan manusia. Ia memberikan perhatian besar pada perilaku manusia. Dengan demikian, sadarnya pelaku pelanggaran, dan lahirnya janji atau tekad mengubah perilaku, itu sudah merupakan hasil. Dari sisi tilik ini, Pol PP Mabar sudah menegakkan hukum, dan sukses.
Berhukum progresif melahirkan keadilan hukum. Tidak sekadar kepastian hukum. Sayangnya, dalam praktik berhukum di negeri ini, kepastian sering mengalahkan keadilan. Korbannya selalu saja orang kecil. Orang besar mudah luput. Sebab, meski tidak bisa membeli keadilan, orang besar selalu bisa membeli kepastian. Kepastian itu ada pada huruf UU. Tinggal pilih, mau pakai pasal dan ayat mana. Semuanya bisa diatur. Karena, semuanya bisa dibeli.
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 16 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Pol PP Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) menahan seorang penambang liar, Selasa 12 Juli 2011. Ia tertangkap tangan sedang mengambil pasir laut di bibir pantai Gorontalo, Labuan Bajo. Ia digelandang ke kantor Pol PP bersama barang bukti mobil dan pasir. Setelah diambil keterangan, ia buat pernyataan di atas kertas bermeterai. Selanjutnya pasir dalam mobil dikembalikan ke pantai.
"Kalau kedapatan lagi berbuat serupa, dia langsung diproses hukum sesuai aturan, di antaranya undang-undang lingkungan hidup," kata Kasat Pol PP Roby Ngolong (Flores Pos Jumat 15 Juli 2011).
Dari keterangan pelaku, Pol PP mendapat informasi, pelaku bertransaksi dengan seseorang yang mengaku sebagai pemilik lahan. Sekali angkut Rp50.000. Selain dipakai sendiri, pasir ia jual. Maka, hari itu juga Pol PP menjemput si 'pemilik' lahan. Ia mengakui perbuatannya. Setelah dijelaskan bahwa pasir pantai dilarang diambil demi menghindari abrasi, ia paham. Ia berjanji tidak mengulangi perbuatannya.
Ada dua fakta penting di sini. Pertama, penambang dan 'pemilik' lahan melanggar UU. Kedua, meski demikian, keduanya tidak diproses hukum. Padahal, itu dimungkinkan bahkan diharuskan oleh UU.
Dari sisi penegakan aturan UU, Pol PP Mabar bisa bahkan harus disalahkan. Mereka tidak lakukan hal yang seharusnya dilakukan. Namun, dari sisi tilik penegakan hukum, perbuatan mereka dapat dipertanggungjawabkan. Hukum di sini dalam pengertian "hukum progresif", sebagaimana dicetuskan oleh Profesor Satjipto Rahardjo.
Doktor filsafat politik Norbertus Jegalus dalam bukunya Hukum Kata Kerja: Diskursus Filsafat tentang Hukum Progresif (Jakarta: Obor, 2011) menjelaskan sepuluh tesis hukum progresif Satjipto Rahardjo. Salah satunya, tesis kesepuluh, simpulan dari sembilan tesis terdahulu, tentang "hukum progresif yang membebaskan".
Ditegaskan, hukum ada bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk manusia. Untuk mengatur, bukan untuk membelenggu hidup manusia. Karena itu, ia tidak boleh hanya memperhatikan apa yang ditetapkan dalam aturan, tetapi juga apa yang berlangsung dalam masyarakat. Ia harus terbuka, responsif, kreatif, dan aktif terhadap dinamika sosial. Inilah sikap berhukum yang benar.
Disadari atau tidak, sikap berhukum seperti inilah yang dianut aparat Pol PP Mabar ketika tidak memproses hukum kedua pelaku pelanggaran. Keduanya mencari nafkah. Melalui cara yang, tidak mereka ketahui, ternyata melanggar UU. Setelah dijelaskan, barulah mereka tahu. Setelah tahu, mereka berjanji tidak mengulangi perbuatannya.
Penanganan kasus seperti ini memperlihatkan, hukum itu bukan hanya urusan aturan UU. Tapi juga dan malah terutama urusan manusia. Ia memberikan perhatian besar pada perilaku manusia. Dengan demikian, sadarnya pelaku pelanggaran, dan lahirnya janji atau tekad mengubah perilaku, itu sudah merupakan hasil. Dari sisi tilik ini, Pol PP Mabar sudah menegakkan hukum, dan sukses.
Berhukum progresif melahirkan keadilan hukum. Tidak sekadar kepastian hukum. Sayangnya, dalam praktik berhukum di negeri ini, kepastian sering mengalahkan keadilan. Korbannya selalu saja orang kecil. Orang besar mudah luput. Sebab, meski tidak bisa membeli keadilan, orang besar selalu bisa membeli kepastian. Kepastian itu ada pada huruf UU. Tinggal pilih, mau pakai pasal dan ayat mana. Semuanya bisa diatur. Karena, semuanya bisa dibeli.
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 16 Juli 2011
15 Juli 2011
Wisuda PAUD di Flores
Tidak Pas, Tidak Perlu, Tidak Harus
Oleh Frans Anggal
Mereka duduk berjejer dalam dandanan busana wisuda. Lengkap dengan toga dan topi. Acara puncak pun tiba. Mereka maju satu-satu, menerima map kelulusan. Begitulah yang tampak pada sebuah foto yang menyertai sebuah berita: "Wisuda Perdana PAUD Rerawete" (Flores Pos Rabu 13 Juli 2011).
PAUD Rerawete berada di Desa Nabe, Kecamatan Maukoaro, Kabupaten Ende, Flores. Wisuda perdananya pada Sabtu 9 Juli 2011. Wisudawan-wisudawatinya 18 orang. Acaranya tergolong hebat untuk ukuran desa di Flores. Hadir, Kadis PPO Ende diwakili Kepala Seksi PAUD, Sekcam Maukaro, tiga kades, dan tokoh masyarakat.
Tentang wisudawan-wisudawati ini, Om Toki pada "Senggol" Flores Pos Kamis 14 Juli 2011 berkomentar, "Om Toki kira sudah sarjana." Soalnya, di Indonesia, wisuda (graduation) lazim dikaitkan dengan dunia perguruan tinggi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), misalnya, meski mengartikan wisuda secara luas, namun semua contoh kalimatnya mengaitkan kata itu dengan dunia akademik.
Menurut KBBI, "wisuda" itu peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat. Contoh kalimatnya: “Para sarjana yang baru lulus menghadiri acara wisuda bersama orang tua mereka.” Mewisuda: “Menteri Dalam Negeri Rabu pagi mewisuda 47 orang sarjana muda lulusan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri.” Wisudawan dan wisudawati: “Rektor mempersiapkan para wisudawan dan wisudawati untuk berkumpul dan berfoto bersama.”
Semua contoh tersebut mengarah ke dunia akademik. Kenapa? Karena lazimnya begitu. Wisuda diperuntukkan bagi tamatan perguruan tinggi. Itulah dasar "keterkecohan" Om Toki. Makanya dia mengira 18 tamatan PAUD Rerawete itu sudah sarjana. Satu nol buat Om Toki!
Itu baru istilah wisuda-nya. Belum lagi busana wisuda-nya: toga dll. Secara visual sekilas, yang membedakan 18 tamatan PAUD Rerawete dari tamatan perguruan tinggi hanyalah ukuran tubuh. Bertoga, mereka tampak seperti sarjana. Sarjana kerdil. Kita teringat akan praktik lain pada Hari Kartini. Putri-putri cilik didandan seperti ibu-ibu. Pakai kebaya, sanggul, sepatu hak tinggi.
Toga itu jubah wisuda atau jubah akademik. Bahasa Inggris menyebutnya secara sangat jelas: academic dress. Yang juga disebut toga, meski berbeda-beda pola dan bahannya, adalah jubah imam Katolik (cassock), jubah pendeta Protestan (geneva gown), dan jubah persidangan di pengadilan (court dress).
Dunia akademik, jelas, bukanlah dunia anak-anak. Lalu, kenapa dan untuk apa anak-anak PAUD diwisuda dan pakai toga segala? Mau tunjukkan mereka telah mencapai prestasi akademik tertentu?
PAUD bertujuan mengembangkan semua potensi anak. Bukan pertama-tama kemampuan akademik. Salah satu prinsip PAUD adalah belajar melalui bermain. Itulah yang membedakan anak-anak dari orang dewasa. Orang dewasa bisa membedakan antara bermain dan bekerja. Anak-anak tidak.
Jadi? Wisuda PAUD dengan segala dandanan akademik itu tidak pas buat anak. Tidak pas, maka tidak perlu. Tidak perlu, maka tidak harus. Tidak harus, maka tidak boleh dipaksakan. Kalau dipaksakan, patut dapat diduga ada motif lain. Dan itu pasti motif komersial.
Untuk masyarakat di Flores, komersialisasi pendidikan akan semakin memberatkan hidup. Beli susu untuk anak saja susah. Sekarang harus sewa pakai busana wisuda? Hmmm. Yang benar saja!
”Bentara” FLORES POS, Jumat 15 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Mereka duduk berjejer dalam dandanan busana wisuda. Lengkap dengan toga dan topi. Acara puncak pun tiba. Mereka maju satu-satu, menerima map kelulusan. Begitulah yang tampak pada sebuah foto yang menyertai sebuah berita: "Wisuda Perdana PAUD Rerawete" (Flores Pos Rabu 13 Juli 2011).
PAUD Rerawete berada di Desa Nabe, Kecamatan Maukoaro, Kabupaten Ende, Flores. Wisuda perdananya pada Sabtu 9 Juli 2011. Wisudawan-wisudawatinya 18 orang. Acaranya tergolong hebat untuk ukuran desa di Flores. Hadir, Kadis PPO Ende diwakili Kepala Seksi PAUD, Sekcam Maukaro, tiga kades, dan tokoh masyarakat.
Tentang wisudawan-wisudawati ini, Om Toki pada "Senggol" Flores Pos Kamis 14 Juli 2011 berkomentar, "Om Toki kira sudah sarjana." Soalnya, di Indonesia, wisuda (graduation) lazim dikaitkan dengan dunia perguruan tinggi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), misalnya, meski mengartikan wisuda secara luas, namun semua contoh kalimatnya mengaitkan kata itu dengan dunia akademik.
Menurut KBBI, "wisuda" itu peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat. Contoh kalimatnya: “Para sarjana yang baru lulus menghadiri acara wisuda bersama orang tua mereka.” Mewisuda: “Menteri Dalam Negeri Rabu pagi mewisuda 47 orang sarjana muda lulusan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri.” Wisudawan dan wisudawati: “Rektor mempersiapkan para wisudawan dan wisudawati untuk berkumpul dan berfoto bersama.”
Semua contoh tersebut mengarah ke dunia akademik. Kenapa? Karena lazimnya begitu. Wisuda diperuntukkan bagi tamatan perguruan tinggi. Itulah dasar "keterkecohan" Om Toki. Makanya dia mengira 18 tamatan PAUD Rerawete itu sudah sarjana. Satu nol buat Om Toki!
Itu baru istilah wisuda-nya. Belum lagi busana wisuda-nya: toga dll. Secara visual sekilas, yang membedakan 18 tamatan PAUD Rerawete dari tamatan perguruan tinggi hanyalah ukuran tubuh. Bertoga, mereka tampak seperti sarjana. Sarjana kerdil. Kita teringat akan praktik lain pada Hari Kartini. Putri-putri cilik didandan seperti ibu-ibu. Pakai kebaya, sanggul, sepatu hak tinggi.
Toga itu jubah wisuda atau jubah akademik. Bahasa Inggris menyebutnya secara sangat jelas: academic dress. Yang juga disebut toga, meski berbeda-beda pola dan bahannya, adalah jubah imam Katolik (cassock), jubah pendeta Protestan (geneva gown), dan jubah persidangan di pengadilan (court dress).
Dunia akademik, jelas, bukanlah dunia anak-anak. Lalu, kenapa dan untuk apa anak-anak PAUD diwisuda dan pakai toga segala? Mau tunjukkan mereka telah mencapai prestasi akademik tertentu?
PAUD bertujuan mengembangkan semua potensi anak. Bukan pertama-tama kemampuan akademik. Salah satu prinsip PAUD adalah belajar melalui bermain. Itulah yang membedakan anak-anak dari orang dewasa. Orang dewasa bisa membedakan antara bermain dan bekerja. Anak-anak tidak.
Jadi? Wisuda PAUD dengan segala dandanan akademik itu tidak pas buat anak. Tidak pas, maka tidak perlu. Tidak perlu, maka tidak harus. Tidak harus, maka tidak boleh dipaksakan. Kalau dipaksakan, patut dapat diduga ada motif lain. Dan itu pasti motif komersial.
Untuk masyarakat di Flores, komersialisasi pendidikan akan semakin memberatkan hidup. Beli susu untuk anak saja susah. Sekarang harus sewa pakai busana wisuda? Hmmm. Yang benar saja!
”Bentara” FLORES POS, Jumat 15 Juli 2011
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
paud rerawete,
pendidikan paud,
wisuda paud
14 Juli 2011
Tukang Makan dari BPN Ngada
Kasus Sertifikasi Tanah di Nagekeo
Oleh Frans Anggal
Lukas Moreng (52), pegawai pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Ngada, ditahan di Polsek Aesesa, Kabupaten Nagekeo. Ia dijemput paksa dari kediamannya di Ngalisabu, Kelurahan Bajawa, Kabupaten Ngada, setelah dua kali tidak penuhi panggilan polisi. Ia tersangkut masalah sertifikasi tanah masyarakat Aesesa beberapa tahun lalu (Flores Pos 13 Juli 2011).
Pelaku tersandung pada dua kasus. Pertama, kasus penyertifikatkan tanah milik orang lain atas namanya sendiri. Kedua, kasus penerimaan biaya sertifikasi tanah milik orang lain tanpa hasil akhir. Pada kasus pertama, korbannya adalah Andreas Redo, warga Danga. Sedangkan pada kasus kedua, korbannya Siti Hadiah, juga warga Danga.
Pada kasus pertama, 1988, pelaku bertindak sebagai petugas ukur dalam penyertifikatan tanah milik Andreas Redo 20 x 80 meter persegi. Tanah ini ia kapling jadi dua. Terbitlah dua sertifikat, 1992. Sertifikat atas nama Andreas Redo, untuk bidang lebih besar, 20 x 65 meter persegi. Dan atas namanya sendiri, untuk bidang lebih kecil, 20 x 15 meter persegi.
Penyelesaian ke dalam pernah diupayakan. Tahun 2002 keduanya bersepakat: pelaku membayar Rp30 ribu per meter. Tak ada realisasi. Maka, 10 Juni 2010, Andreas Redo melapor ke polisi. Pada 17 Juli 2010, pelaku membuat surat pernyataan: Agustus 2010 ia serahkan sertifikat yang sudah dibalik nama. Juga tak ada realisasi. Maka, Sabtu 9 Juli 2011, Andreas Redo melapor lagi. Senin 11 Juli 2011, pelaku ditahan.
Pada kasus kedua, 2006, pelaku menerima ongkos proses sertifkasi tanah milik Siti Hadiah. Lima tahun berlalu, hasilnya berupa sertifikat tidak muncul-muncul. Siti Hadiah pun melapor ke polisi.
Pada kasus pertama, duduk masalahnya cukup jelas. Tidak demikian halnya pada kasus kedua. Yang cukup jelas pada kasus kedua hanyalah ini. Biaya sertifikasi sudah diserahterimakan. Sedangkan sertifikatnya belum muncul-muncul. Kenapa? Bisa saja, karena proses sertifikasinya tidak diurus. Berarti pelaku makan uangnya. Bisa juga, sertifikatnya sudah ada, tapi tidak atas nama pemilik tanah. Pelaku makan tanahnya. Benar-benar tukang makan.
Yang terakhir itu mungkin saja terjadi. Pada kasus pertama, pelaku mengambil sebagian tanah. Pada kasus kedua, kenapa tidak, pelaku mengambil seluruh tanah. Tanah itu disertifikasi atas namanya. Tentu tidak untuk segera dikuasainya. Tapi untuk digunakannya bagi kepentingan lain. Presedennya sudah ada, pada kasus pertama.
Simaklah alasan pelaku belum bisa memenuhi janjinya, menyerahkan sertifikat yang sudah dibalik nama kepada Andreas Redo. Sertifikat itu, kata dia, sudah ia pinjamkan kepada temannya. Untuk dijadikan jaminan kredit di BRI Bajawa. Sudah 10 tahun sertifikat itu belum dikembalikan.
Patut dapat diduga, hal yang sama ia lakukan pada kasus kedua. Patut dapat diduga pula, korbannya bukan hanya Andreas Redo dan Siti Hadiah. Karena itu, imbauan Kapolsek Aesesa Hendrikus Djawa Maku tepat. "Saya minta, kalau ada masyarakat yang merasa dirugikan oleh oknum ini, segeralah melapor."
Segera melapor? Inilah yang seringkali sulit pada masyarakat yang belum tahu dan belum berani memperjuangkan hak-haknya. Mereka ini perlu dibantu. DPRD harus menjadi yang terdepan. Demikian pula BPN Ngada. Jangan hanya diam. Diam berarti setuju. Lembaga negara bukanlah sarang penyamun. Abdi negara bukanlah tukang makan. Urus uang, makan uang. Urus tanah, makan tanah.
”Bentara” FLORES POS, Kamis 14 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Lukas Moreng (52), pegawai pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Ngada, ditahan di Polsek Aesesa, Kabupaten Nagekeo. Ia dijemput paksa dari kediamannya di Ngalisabu, Kelurahan Bajawa, Kabupaten Ngada, setelah dua kali tidak penuhi panggilan polisi. Ia tersangkut masalah sertifikasi tanah masyarakat Aesesa beberapa tahun lalu (Flores Pos 13 Juli 2011).
Pelaku tersandung pada dua kasus. Pertama, kasus penyertifikatkan tanah milik orang lain atas namanya sendiri. Kedua, kasus penerimaan biaya sertifikasi tanah milik orang lain tanpa hasil akhir. Pada kasus pertama, korbannya adalah Andreas Redo, warga Danga. Sedangkan pada kasus kedua, korbannya Siti Hadiah, juga warga Danga.
Pada kasus pertama, 1988, pelaku bertindak sebagai petugas ukur dalam penyertifikatan tanah milik Andreas Redo 20 x 80 meter persegi. Tanah ini ia kapling jadi dua. Terbitlah dua sertifikat, 1992. Sertifikat atas nama Andreas Redo, untuk bidang lebih besar, 20 x 65 meter persegi. Dan atas namanya sendiri, untuk bidang lebih kecil, 20 x 15 meter persegi.
Penyelesaian ke dalam pernah diupayakan. Tahun 2002 keduanya bersepakat: pelaku membayar Rp30 ribu per meter. Tak ada realisasi. Maka, 10 Juni 2010, Andreas Redo melapor ke polisi. Pada 17 Juli 2010, pelaku membuat surat pernyataan: Agustus 2010 ia serahkan sertifikat yang sudah dibalik nama. Juga tak ada realisasi. Maka, Sabtu 9 Juli 2011, Andreas Redo melapor lagi. Senin 11 Juli 2011, pelaku ditahan.
Pada kasus kedua, 2006, pelaku menerima ongkos proses sertifkasi tanah milik Siti Hadiah. Lima tahun berlalu, hasilnya berupa sertifikat tidak muncul-muncul. Siti Hadiah pun melapor ke polisi.
Pada kasus pertama, duduk masalahnya cukup jelas. Tidak demikian halnya pada kasus kedua. Yang cukup jelas pada kasus kedua hanyalah ini. Biaya sertifikasi sudah diserahterimakan. Sedangkan sertifikatnya belum muncul-muncul. Kenapa? Bisa saja, karena proses sertifikasinya tidak diurus. Berarti pelaku makan uangnya. Bisa juga, sertifikatnya sudah ada, tapi tidak atas nama pemilik tanah. Pelaku makan tanahnya. Benar-benar tukang makan.
Yang terakhir itu mungkin saja terjadi. Pada kasus pertama, pelaku mengambil sebagian tanah. Pada kasus kedua, kenapa tidak, pelaku mengambil seluruh tanah. Tanah itu disertifikasi atas namanya. Tentu tidak untuk segera dikuasainya. Tapi untuk digunakannya bagi kepentingan lain. Presedennya sudah ada, pada kasus pertama.
Simaklah alasan pelaku belum bisa memenuhi janjinya, menyerahkan sertifikat yang sudah dibalik nama kepada Andreas Redo. Sertifikat itu, kata dia, sudah ia pinjamkan kepada temannya. Untuk dijadikan jaminan kredit di BRI Bajawa. Sudah 10 tahun sertifikat itu belum dikembalikan.
Patut dapat diduga, hal yang sama ia lakukan pada kasus kedua. Patut dapat diduga pula, korbannya bukan hanya Andreas Redo dan Siti Hadiah. Karena itu, imbauan Kapolsek Aesesa Hendrikus Djawa Maku tepat. "Saya minta, kalau ada masyarakat yang merasa dirugikan oleh oknum ini, segeralah melapor."
Segera melapor? Inilah yang seringkali sulit pada masyarakat yang belum tahu dan belum berani memperjuangkan hak-haknya. Mereka ini perlu dibantu. DPRD harus menjadi yang terdepan. Demikian pula BPN Ngada. Jangan hanya diam. Diam berarti setuju. Lembaga negara bukanlah sarang penyamun. Abdi negara bukanlah tukang makan. Urus uang, makan uang. Urus tanah, makan tanah.
”Bentara” FLORES POS, Kamis 14 Juli 2011
Label:
bentara,
bpn ngada,
flores,
flores pos,
hukum,
ngada,
sertifikasi tanah
13 Juli 2011
Diamnya Manggarai & Matim
Rekelame Pestisida di Hutan Lindung
Oleh Frans Anggal
Pohon sepanjang jalan di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur (Matim) ditempeli reklame pestisida. Tidak terkecuali di kawasan hutan lindung Taman Wisata Alam (TWA) Rana Mese (Matim) dan TWA Golo Lusang (Manggarai). Ini mengundang protes masyarakat, khususnya pencinta lingkungan hidup. Mereka mendesak reklame dicabut dan para pelaku diproses hukum (Flores Pos Selasa 12 Juli 2011).
"Atas izin siapa mereka lakukan itu? Saya protes. Reklame ini bertentangan dengan semangat konservasi dan pelestarian keanekaragaman hayati. Sekarang masyarakat dianjurkan tidak menggunakan sarana produksi berbahan kimia," kata Rofino Kant. Ia pencinta lingkungan.
"Mereka tidak bertanggung jawab. Reklame pestisida ditempelkan begitu saja di pohon-pohon. Di tengah hutan konservasi lagi. Ini bertentangan dengan upaya melestarikan lingkungan dengan tidak menggunakan bahan-bahan kimia," kata Petrus Enggong. Ia sedang menikmati panorama sekitar danau Rana Mese.
"Obat Rumput, ROUNDUP, 486 SL, HANDAL DAN TAHAN HUJAN". Begitu bunyi sebuah papan reklame yang ditempel (baca: dipaku) pada pohon di kawasan hutan lindung Rana Mese. Ukuran, jenis, dan warna hurufnya eye catching. Mencolok menyedot perhatian. Membuat para pelintas sulit untuk tidak menoleh sejenak dan membacanya.
Karenanya, sulit dipercaya juga pejabat pemkab dan petugas TWA tidak membacanya. Lagi pula, ini bukan yang pertama. Dan, sesungguhnya tidak hanya di Manggarai. Pohon sepanjang jalan negara lintas Flores adalah pohon reklame sarana produksi (saprodi) kimiawi. Kali ini ROUNDUP. Sebelumnya, saprodi lain. Sesudahnya, entahlah.
Jadi, pejabat dan petugas bukannya tidak tahu. Mereka tahu, tapi tidak mau tahu. Mereka tahu, pemakuan reklame pada pohon itu merusak pohon. Mereka tahu, itu melanggar aturan. Mereka tahu, dengan cara itu tukang reklame mau cari gampang. Tidak minta izin dan tidak bayar pajak. Tahu, tapi masa bodoh. Mereka bersikap indiferen. Tidak peduli. Cuek.
Sikap ini sangat berbahaya. Apalagi kalau ini sikap mayoritas masyarakat juga. Sikap mayoritas yang diam akan sangat menguntungkan minoritas pencari untung. Dalam kasus ini, segelintir produsen, agen, dan pengecer saprodi. Diamnya pejabat, petugas, dan masyarakat dianggap sebagai restu. Maka, reklame di pohon pun jalan terus.
Pada tahun-tahun sebelumnya, reklamenya berupa stiker. Dilekatkan pada pohon sepanjang jalan. Pejabat dan petugas hanya diam. Diam dianggap sebagai restu. Belakangan, dengan "restu" itu, reklame "naik pangkat", dari stikter ke papan. Papan tidak bisa dilekatkan ke pohon. Maka harus dipakukan. Mula-mula di luar kawasan hutan lindung. Pejabat dan petugas hanya diam. Sekarang dalam kawasan hutan lindung. Eh, pejabat dan petugas juga hanya diam. DPRD? Sama saja. Hanya diam.
Utang masih ada segilintir elemen masyarakat. Mereka melihat adanya ketidakberesan ini, seperti yang juga dilihat para pejabat dan petugas. Bedanya, mereka tidak mendiamkannya. Mereka angkat bicara. Mengajukan protes. Menuntut penanganan segera. Protes mereka diwartakan media.
Kita mau lihat, apa yang terjadi setelah protes dan tuntutan itu diwartakan. Apakah para pejabat dan petugas tetap diam? Kalau mereka tetap diam, harap maklum. Mereka tertidur. Lelap, karena kebesingan. Kenyang, karena telah disuap. Ck, ck, ck.
”Bentara” FLORES POS, Rabu 13 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Pohon sepanjang jalan di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur (Matim) ditempeli reklame pestisida. Tidak terkecuali di kawasan hutan lindung Taman Wisata Alam (TWA) Rana Mese (Matim) dan TWA Golo Lusang (Manggarai). Ini mengundang protes masyarakat, khususnya pencinta lingkungan hidup. Mereka mendesak reklame dicabut dan para pelaku diproses hukum (Flores Pos Selasa 12 Juli 2011).
"Atas izin siapa mereka lakukan itu? Saya protes. Reklame ini bertentangan dengan semangat konservasi dan pelestarian keanekaragaman hayati. Sekarang masyarakat dianjurkan tidak menggunakan sarana produksi berbahan kimia," kata Rofino Kant. Ia pencinta lingkungan.
"Mereka tidak bertanggung jawab. Reklame pestisida ditempelkan begitu saja di pohon-pohon. Di tengah hutan konservasi lagi. Ini bertentangan dengan upaya melestarikan lingkungan dengan tidak menggunakan bahan-bahan kimia," kata Petrus Enggong. Ia sedang menikmati panorama sekitar danau Rana Mese.
"Obat Rumput, ROUNDUP, 486 SL, HANDAL DAN TAHAN HUJAN". Begitu bunyi sebuah papan reklame yang ditempel (baca: dipaku) pada pohon di kawasan hutan lindung Rana Mese. Ukuran, jenis, dan warna hurufnya eye catching. Mencolok menyedot perhatian. Membuat para pelintas sulit untuk tidak menoleh sejenak dan membacanya.
Karenanya, sulit dipercaya juga pejabat pemkab dan petugas TWA tidak membacanya. Lagi pula, ini bukan yang pertama. Dan, sesungguhnya tidak hanya di Manggarai. Pohon sepanjang jalan negara lintas Flores adalah pohon reklame sarana produksi (saprodi) kimiawi. Kali ini ROUNDUP. Sebelumnya, saprodi lain. Sesudahnya, entahlah.
Jadi, pejabat dan petugas bukannya tidak tahu. Mereka tahu, tapi tidak mau tahu. Mereka tahu, pemakuan reklame pada pohon itu merusak pohon. Mereka tahu, itu melanggar aturan. Mereka tahu, dengan cara itu tukang reklame mau cari gampang. Tidak minta izin dan tidak bayar pajak. Tahu, tapi masa bodoh. Mereka bersikap indiferen. Tidak peduli. Cuek.
Sikap ini sangat berbahaya. Apalagi kalau ini sikap mayoritas masyarakat juga. Sikap mayoritas yang diam akan sangat menguntungkan minoritas pencari untung. Dalam kasus ini, segelintir produsen, agen, dan pengecer saprodi. Diamnya pejabat, petugas, dan masyarakat dianggap sebagai restu. Maka, reklame di pohon pun jalan terus.
Pada tahun-tahun sebelumnya, reklamenya berupa stiker. Dilekatkan pada pohon sepanjang jalan. Pejabat dan petugas hanya diam. Diam dianggap sebagai restu. Belakangan, dengan "restu" itu, reklame "naik pangkat", dari stikter ke papan. Papan tidak bisa dilekatkan ke pohon. Maka harus dipakukan. Mula-mula di luar kawasan hutan lindung. Pejabat dan petugas hanya diam. Sekarang dalam kawasan hutan lindung. Eh, pejabat dan petugas juga hanya diam. DPRD? Sama saja. Hanya diam.
Utang masih ada segilintir elemen masyarakat. Mereka melihat adanya ketidakberesan ini, seperti yang juga dilihat para pejabat dan petugas. Bedanya, mereka tidak mendiamkannya. Mereka angkat bicara. Mengajukan protes. Menuntut penanganan segera. Protes mereka diwartakan media.
Kita mau lihat, apa yang terjadi setelah protes dan tuntutan itu diwartakan. Apakah para pejabat dan petugas tetap diam? Kalau mereka tetap diam, harap maklum. Mereka tertidur. Lelap, karena kebesingan. Kenyang, karena telah disuap. Ck, ck, ck.
”Bentara” FLORES POS, Rabu 13 Juli 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
hutan lindung,
manggarai,
manggrai timur,
pertanian,
pestisida,
reklame,
saprodi kimiawi
12 Juli 2011
Dari Lepembusu untuk Ende
Gerakan Swasembada Pangan
Oleh Frans Anggal
Kecamatan Lepembusu Kelisoke dijadikan lumbung pangan lokal Kabupaten Ende.Deklarasinya dilakukan Bupati Don Bosco M Wangge bersama lembaga pangan lokal More Manggo, camat, dan tokoh masyarakat. Deklarasi ini menandai 1 tahun rumah makan pangan lokal Sint Revill yang dikelola SMKK Muctyaca Ende milik kongregasi CIJ di Jalan Melati (Flores Pos Senin 11 Juli 2011).
Setahun Sint Revill. Yang jadi masalah, ketersediaan pangan lokal. Pangan warisan nenek moyang. Yang organik. Yang bibitnya non-transgenik dan pemupukannya non-sintetik. Ini perlahan hilang.
Pertanyaan wisatawan mancanegara yang mampir di Sint Revill pun sekitar itu. "Dari sekian banyak pertanyaan ini, kami terinspirasi untuk memiliki daerah sumber pangan lokal di Kabupaten Ende," kata Ketua Lembaga Pangan Lokal Kabupaten Ende Yakobus Mbira. Maka dipilihlah Kecamatan Lepembusu Kelisoke. Dibentuklah 10 kelompok tani. More Manggo namanya. Di atas lahan 100 ha, kelompok ini akan kembangakan pangan lokal seperti pega, lolo, keo, mbape, nggoli, wete, rose, dan suja. Targetnya, 2012 panen raya.
Kenapa "harus" 2012? Ada kaitan dengan Gerakan Swasembada Pangan (GSP) 2012, programnya Bupati Don Bosco M Wangge dan Waup Achmad Mochdar. Yakobus Mbira bahkan menyebut GSP 2012 itu roh dari deklarasi lumbungan pangan lokal.
Timbal balik peran. GSP 2012 menjiwai deklarasi lumbung pangan lokal, setelah sebelumnya menginspirasi lahirnya rumah makan pangan lokal Sint Revill. Sebaliknya, lumbung pangan lokal dan Sint Revill mendukung keberhasilan GSP 2012. Tahun 2012 momentumnya. Mementum legitimasi kelompok tani More Manggo. Sekaligus momentum legitimasi kepemimpinan Wangge-Mochdar.
Sukses-gagalnya GSP 2012 akan menentukan menguat-melemahnya legitimasi itu. Kalau GSP 2012 sukses, legitimasi kepemimpinan Wangge-Mochdar menguat. Sebaliknya, kalau GSP 2012 gagal, legitimasi keduanya melemah, meski legalitasnya tetap diakui sampai masa jabatan berakhir.
Yang jadi pertanyaan: apa makna berhasil dan gagal di sini? GSP 2012 itu "gerakan". Bukan "instruksi”. Ia harus tumbuh dari bawah (masyarakat), meski tetap butuhkan siraman dari atas (pemerintah). Siraman itu berupa sosialisasi (pemasyarakatan) yang mesti mengandung konsientisasi (penyadaran) dan persuasi (ajakan). Dengannya, lahirlah motivasi (dorongan dari dalam diri) untuk lakukan aksi (tindakan).
Atas cara begitu, gerakan membutuhkan proses. Dan proses membutuhkan waktu. GSP 2012 dimulai 2009. Apakah dalam 3 tahun, gerakan ini bisa berhasil? Jawabannya tergantung dari kriterianya. Apanya yang mau dilihat. Kalau fokusnya "swasemba", 3 tahun jelas tidak cukup. Tapi kalau fokusnya "gerakan", kenapa tidak.
Artinya, pada 2012, meski masyarakatnya masih mengonsumsi pangan dari luar, Kabupaten Ende telah punya sesuatu yang boleh dianggap sebagai tonggak. Tonggak yang tidak ditancapkan dari atas, tapi yang tumbuh dari bawah. Sint Revill dan lumbung pangan lokal, itulah tonggak itu. Ke depan, lumbung ini menjadi sumber pangan dan benih lokal.
Dengan cara wawas ini maka, kalau pada 2012 More Manggo bisa panen raya tanaman pangan lokal di atas lahan 100 ha, GSP 2012 sebagai "gerakan" harus diakui berhasil. Berhasil sebagai tonggak awal. Selanjutnya, dari Lepembusu untuk seluruh Ende.
”Bentara” FLORES POS, Selasa 12 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Kecamatan Lepembusu Kelisoke dijadikan lumbung pangan lokal Kabupaten Ende.Deklarasinya dilakukan Bupati Don Bosco M Wangge bersama lembaga pangan lokal More Manggo, camat, dan tokoh masyarakat. Deklarasi ini menandai 1 tahun rumah makan pangan lokal Sint Revill yang dikelola SMKK Muctyaca Ende milik kongregasi CIJ di Jalan Melati (Flores Pos Senin 11 Juli 2011).
Setahun Sint Revill. Yang jadi masalah, ketersediaan pangan lokal. Pangan warisan nenek moyang. Yang organik. Yang bibitnya non-transgenik dan pemupukannya non-sintetik. Ini perlahan hilang.
Pertanyaan wisatawan mancanegara yang mampir di Sint Revill pun sekitar itu. "Dari sekian banyak pertanyaan ini, kami terinspirasi untuk memiliki daerah sumber pangan lokal di Kabupaten Ende," kata Ketua Lembaga Pangan Lokal Kabupaten Ende Yakobus Mbira. Maka dipilihlah Kecamatan Lepembusu Kelisoke. Dibentuklah 10 kelompok tani. More Manggo namanya. Di atas lahan 100 ha, kelompok ini akan kembangakan pangan lokal seperti pega, lolo, keo, mbape, nggoli, wete, rose, dan suja. Targetnya, 2012 panen raya.
Kenapa "harus" 2012? Ada kaitan dengan Gerakan Swasembada Pangan (GSP) 2012, programnya Bupati Don Bosco M Wangge dan Waup Achmad Mochdar. Yakobus Mbira bahkan menyebut GSP 2012 itu roh dari deklarasi lumbungan pangan lokal.
Timbal balik peran. GSP 2012 menjiwai deklarasi lumbung pangan lokal, setelah sebelumnya menginspirasi lahirnya rumah makan pangan lokal Sint Revill. Sebaliknya, lumbung pangan lokal dan Sint Revill mendukung keberhasilan GSP 2012. Tahun 2012 momentumnya. Mementum legitimasi kelompok tani More Manggo. Sekaligus momentum legitimasi kepemimpinan Wangge-Mochdar.
Sukses-gagalnya GSP 2012 akan menentukan menguat-melemahnya legitimasi itu. Kalau GSP 2012 sukses, legitimasi kepemimpinan Wangge-Mochdar menguat. Sebaliknya, kalau GSP 2012 gagal, legitimasi keduanya melemah, meski legalitasnya tetap diakui sampai masa jabatan berakhir.
Yang jadi pertanyaan: apa makna berhasil dan gagal di sini? GSP 2012 itu "gerakan". Bukan "instruksi”. Ia harus tumbuh dari bawah (masyarakat), meski tetap butuhkan siraman dari atas (pemerintah). Siraman itu berupa sosialisasi (pemasyarakatan) yang mesti mengandung konsientisasi (penyadaran) dan persuasi (ajakan). Dengannya, lahirlah motivasi (dorongan dari dalam diri) untuk lakukan aksi (tindakan).
Atas cara begitu, gerakan membutuhkan proses. Dan proses membutuhkan waktu. GSP 2012 dimulai 2009. Apakah dalam 3 tahun, gerakan ini bisa berhasil? Jawabannya tergantung dari kriterianya. Apanya yang mau dilihat. Kalau fokusnya "swasemba", 3 tahun jelas tidak cukup. Tapi kalau fokusnya "gerakan", kenapa tidak.
Artinya, pada 2012, meski masyarakatnya masih mengonsumsi pangan dari luar, Kabupaten Ende telah punya sesuatu yang boleh dianggap sebagai tonggak. Tonggak yang tidak ditancapkan dari atas, tapi yang tumbuh dari bawah. Sint Revill dan lumbung pangan lokal, itulah tonggak itu. Ke depan, lumbung ini menjadi sumber pangan dan benih lokal.
Dengan cara wawas ini maka, kalau pada 2012 More Manggo bisa panen raya tanaman pangan lokal di atas lahan 100 ha, GSP 2012 sebagai "gerakan" harus diakui berhasil. Berhasil sebagai tonggak awal. Selanjutnya, dari Lepembusu untuk seluruh Ende.
”Bentara” FLORES POS, Selasa 12 Juli 2011
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
gsp 2012,
pangan lokal,
pertanian
11 Juli 2011
GOR Mabar & Krisis Air
Menyoal Skala Prioritas Pembangunan
Oleh Frans Anggal
Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) akan segera miliki gedung olahraga (GOR) di ibu kota Labuaan Bajo. Gedungnya sedang dibangun di atas lahan kurang lebih 1 ha dari total 6 ha. Berukuran 28 x 38 meter persegi. Menelan biaya Rp5 miliar, dari APBN Dipa Kementerian Pemuda dan Olahraga tahun anggaran 2011. Pembanganannya harus tuntas tahun 2011, kata Kadis Pendidikan dan Olahraga Mabar Adrianus Durhaman (Flores Pos Jumat 8 Juli 2011).
Ini berita gembira. Dalam dunia olahraga, stadion atau minimal GOR itu unsur penting. Semakin besar ukurannya, semakin besar daya tampungnya. Melalui tarif yang dipungut, penggunaan atau penyelenggaran kegiatannya dapat menggemukkan pundi-pundi daerah. Ini semua akan mendukung kemajuan dunia olahraga.
Itu cakaran di atas kertas. Kenyataannya bisa meleset. Contoh, Stadion Golo Dukal di Kabupaten Manggarai. Dibangun 2005 dengan dana APBD miliaran rupiah. Daya tampung 10 ribu penonton. Dengan daya tampung sebesar ini, seberapa besar sumbangannya bagi pundi-pundi daerah? Seberapa besar pula kemajuan dunia olahraganya?
Jawabannya dapat tergambar. Terbetik berita, Stadion Golo Dukal sudah beralih fungsi jadi tempat mesum (Timor Express Jumat 20 Mar 2009). Sejumlah fasilitasnya rusak. Tembok kamar penuh coretan. Toiletnya bau busuk. Air pipa tidak mengalir. Tidak ada perawatan. Dibiarkan begitu saja.
Ini pemubaziran aset daerah. Sumbangannya bagi pundi-pundi daerah dipertanyakan. Demikian pula dampaknya bagi kemajuan olahraga. Stadionnya wah, prestasi olahraganya parah. Menuju nasib yang samakah GOR di Mabar? Pertanyaan ini makin penting karena, menurut rencana, selain lapangan sepakbola, akan dibangun wisma atlet, gelanggang renang, lapangan futsal, dll.
Pembangunan dan pemubaziran aset daerah yang tidak vital semakin menyakitkan apabila, di sisi lain, yang lebih vital bagi hajat hidup orang banyak justru tidak diperhatikan. Di Mabar, itu adalah fasilitas air bersih. Beberapa bulan terakhir air di Labuan Bajo tidak keluar (Flores Pos Rabu 6 Juli 2011).
Labuan Bajo itu pusat pemerintahan, pendidikan, perdagangan, dan pariwisata. Pariwisata bahkan dijadikan leading sector. Bisa dibayangkan ambu¬radul¬nya kota pariwisata yang berbulan-bulan dilanda krisis air bersih. Ini terjadi hingga di bandara, gerbang masuk pariwisata.
"Mengenai ketersediaan air di Labuan Bajo, saya punya pengalaman," tulis Ronsi B Daur di Face Book, menanggapi “Bentara” Flores Pos Kamis 7 Juli 2011. "Saat turun dari pesawat, saya bergegas ke kamar kecil. Di pintu WC banyak yang antre. Selang berapa lama, antrean begitu panjang cepat berlalu. Raut wajah setiap orang yang keluar dari kamar WC hampir sama: kelihatan ada rasa mual .... Saya pun tidak jadi buang air kecil (karena tidak ada air)."
Itu di bandara. Bagaimana di GOR nantinya? GOR akan menjadi gedung jorok. Demikian pula wisma atletnya. Lalu, untuk gelanggang renangnya, ambil air dari mana? Mungkin menyuling air laut. Nah, kalau untuk itu ketersediaan air dipikirkan, kenapa tidak untuk kebutuhan harian warga Labuan Bajo?
Mungkin akan dijawab, ini kan pakai dana APBN, bukan dana APBD. Itu benar. Tapi, dalam penggunaan dana APBD pun, skala prioritas itu tidak tampak. Bayangkan, untuk bangun pagar dan halaman parkir gedung DPRD, APBD 2011 siapkan Rp2 milliar lebih. Dan, DPRD-nya tenang-tenang saja. Rupanya juga senang-sanang saja. Hmmm.
”Bentara” FLORES POS, Senin 11 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) akan segera miliki gedung olahraga (GOR) di ibu kota Labuaan Bajo. Gedungnya sedang dibangun di atas lahan kurang lebih 1 ha dari total 6 ha. Berukuran 28 x 38 meter persegi. Menelan biaya Rp5 miliar, dari APBN Dipa Kementerian Pemuda dan Olahraga tahun anggaran 2011. Pembanganannya harus tuntas tahun 2011, kata Kadis Pendidikan dan Olahraga Mabar Adrianus Durhaman (Flores Pos Jumat 8 Juli 2011).
Ini berita gembira. Dalam dunia olahraga, stadion atau minimal GOR itu unsur penting. Semakin besar ukurannya, semakin besar daya tampungnya. Melalui tarif yang dipungut, penggunaan atau penyelenggaran kegiatannya dapat menggemukkan pundi-pundi daerah. Ini semua akan mendukung kemajuan dunia olahraga.
Itu cakaran di atas kertas. Kenyataannya bisa meleset. Contoh, Stadion Golo Dukal di Kabupaten Manggarai. Dibangun 2005 dengan dana APBD miliaran rupiah. Daya tampung 10 ribu penonton. Dengan daya tampung sebesar ini, seberapa besar sumbangannya bagi pundi-pundi daerah? Seberapa besar pula kemajuan dunia olahraganya?
Jawabannya dapat tergambar. Terbetik berita, Stadion Golo Dukal sudah beralih fungsi jadi tempat mesum (Timor Express Jumat 20 Mar 2009). Sejumlah fasilitasnya rusak. Tembok kamar penuh coretan. Toiletnya bau busuk. Air pipa tidak mengalir. Tidak ada perawatan. Dibiarkan begitu saja.
Ini pemubaziran aset daerah. Sumbangannya bagi pundi-pundi daerah dipertanyakan. Demikian pula dampaknya bagi kemajuan olahraga. Stadionnya wah, prestasi olahraganya parah. Menuju nasib yang samakah GOR di Mabar? Pertanyaan ini makin penting karena, menurut rencana, selain lapangan sepakbola, akan dibangun wisma atlet, gelanggang renang, lapangan futsal, dll.
Pembangunan dan pemubaziran aset daerah yang tidak vital semakin menyakitkan apabila, di sisi lain, yang lebih vital bagi hajat hidup orang banyak justru tidak diperhatikan. Di Mabar, itu adalah fasilitas air bersih. Beberapa bulan terakhir air di Labuan Bajo tidak keluar (Flores Pos Rabu 6 Juli 2011).
Labuan Bajo itu pusat pemerintahan, pendidikan, perdagangan, dan pariwisata. Pariwisata bahkan dijadikan leading sector. Bisa dibayangkan ambu¬radul¬nya kota pariwisata yang berbulan-bulan dilanda krisis air bersih. Ini terjadi hingga di bandara, gerbang masuk pariwisata.
"Mengenai ketersediaan air di Labuan Bajo, saya punya pengalaman," tulis Ronsi B Daur di Face Book, menanggapi “Bentara” Flores Pos Kamis 7 Juli 2011. "Saat turun dari pesawat, saya bergegas ke kamar kecil. Di pintu WC banyak yang antre. Selang berapa lama, antrean begitu panjang cepat berlalu. Raut wajah setiap orang yang keluar dari kamar WC hampir sama: kelihatan ada rasa mual .... Saya pun tidak jadi buang air kecil (karena tidak ada air)."
Itu di bandara. Bagaimana di GOR nantinya? GOR akan menjadi gedung jorok. Demikian pula wisma atletnya. Lalu, untuk gelanggang renangnya, ambil air dari mana? Mungkin menyuling air laut. Nah, kalau untuk itu ketersediaan air dipikirkan, kenapa tidak untuk kebutuhan harian warga Labuan Bajo?
Mungkin akan dijawab, ini kan pakai dana APBN, bukan dana APBD. Itu benar. Tapi, dalam penggunaan dana APBD pun, skala prioritas itu tidak tampak. Bayangkan, untuk bangun pagar dan halaman parkir gedung DPRD, APBD 2011 siapkan Rp2 milliar lebih. Dan, DPRD-nya tenang-tenang saja. Rupanya juga senang-sanang saja. Hmmm.
”Bentara” FLORES POS, Senin 11 Juli 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
gor mabar,
kesra,
krisis air,
manggarai barat,
olahraga
09 Juli 2011
Tepat, Sikap Bupati Sosi
Kasus Utang Pihak Ketiga di Sikka
Oleh Frans Anggal
Bupati Sikka Sosimus Mitang mengambil sikap: tidak membayar utang pihak ketiga sampai ada kepastian hukum dari kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang status utang itu. Sikap ini disampaikannya dalam rapat dengar pendapat dengan DPRD Sikka, Rabu 6 Juli 2011 (Flores Pos Jumat 8 Juli 2011).
"Bagaimana saya bayar? Harus ada pengakuan bersama tentang status utang ini utang siapa. Ini harus jelas secara hukum setelah berurusan dengan KPK atau kejaksaan," katanya.
Pihak ketiga yang dimaksud adalah Usaha Dagang (UD) 2000 milik Suitbertus Amandus. Besarnya pinjaman Rp7,4 miliar. Digunakan Bagian Kesra Setda Sikka sebagai dana bansos 2009. Telah dikembalikan Rp3 miliar, sisa Rp4,4 miliar. Belakangan BPK Perwakilan NTT mengungkapkan adanya dugaan korupsi dalam pengelolaan dana bansos 2009 senilai Rp10,7 miliar. Termasuk di dalamnya, utang-piutang dengan pihak ketiga.
Utang-piutang ini tidak prosedural. Tidak atas persetujuan DPRD. Juga, menurut Bupati Sosi Mitang, tidak atas pengetahuan dan persetujuannya. Demikian pula halnya dengan pengembalian Rp3 miliar kepada UD 2000 dari total pijaman Rp7,4 miliaran. Tidak atas pengetahuannya.
Pernyataan bupati ini berbeda dengan temuan pansus DPRD. Meski prosedural (tidak sepersetujuan DPRD), kata pansus, peminjaman dari pihak ketiga ini nyata dilakukan Yosef Otu selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu pada Bagian Kesra. Peminjaman itu atas nama Bagian Kesra Kabupaten Sikka. Peminjaman itu pun atas pengetahuan dan persetujuan bupati.
Mana yang benar? Pernyataan bupati ataukah pernyataan pansus? Ini yang perlu dipastikan jawabannya. Karena kasus ini sudah masuk dalam proses hukum, maka pemastian yang dinantikan adalah pemastian hukum. Apakah benar atau terbukti secara sah dan meyakin utang-piutang dangan pihak ketiga itu sepersetujuan bupati?
Kalau jawabannya: benar/terbukti secara sah dan meyakinkan utang-piutang itu sepersetujuan bupati, maka pertanyaan berikutnya adalah ini. Apakah dapat dibenarkan, bupati/pemkab harus melunasi utang pihak ketiga hanya karena utang-piutang itu disetujui bupati meski tanpa persetujuan DPRD?
Kalau jawabannya: tidak benar atau tidak terbukti secara sah dan meyakinkan utang-piutang itu sepersetujuan bupati, maka pertanyaan berikutnya adalah ini. Apakah dapat dibenarkan, bupati/pemkab harus melunasi utang pihak ketiga meski utang-piutang itu tanpa persetujuan bupati dan DPRD?
Kepastian jawaban atas pertanyaan itulah yang ditunggu. Bupati menunggunya dari proses hukum di kejakasan atau KPK. Dari kejaksaan, karena kasus dana bansos, termasuk di dalamnya utang pihak ketiga, telah dilaporkannya ke Kejari Maumere, akhir Mei 2011. Penanganan oleh kejari sudah sampai pada tahap penyelidikan. Penanganan selanjutnya diambil alih oleh Kejati NTT.
Bupati juga menunggu kepastian hukum dari KPK, karena DPRD Sikka telah berkeputusan merekomen¬dasikan penanganan kasus dana bansos diambil alih KPK. Senin 11 Juli 2011, sebanyak 11 anggota DPRD dan beberapa staf sekretariat dewan ke Jakarta, menyerahkan rekomendasi ke KPK.
Tampak di sini, Bupati Sosi cermat. Ia tidak gegabah melunasi utang pihak ketiga, yang statusnya belum jelas secara hukum, karena sedang diproses secara hukum. Sebuah sikap yang tepat.
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 9 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Bupati Sikka Sosimus Mitang mengambil sikap: tidak membayar utang pihak ketiga sampai ada kepastian hukum dari kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang status utang itu. Sikap ini disampaikannya dalam rapat dengar pendapat dengan DPRD Sikka, Rabu 6 Juli 2011 (Flores Pos Jumat 8 Juli 2011).
"Bagaimana saya bayar? Harus ada pengakuan bersama tentang status utang ini utang siapa. Ini harus jelas secara hukum setelah berurusan dengan KPK atau kejaksaan," katanya.
Pihak ketiga yang dimaksud adalah Usaha Dagang (UD) 2000 milik Suitbertus Amandus. Besarnya pinjaman Rp7,4 miliar. Digunakan Bagian Kesra Setda Sikka sebagai dana bansos 2009. Telah dikembalikan Rp3 miliar, sisa Rp4,4 miliar. Belakangan BPK Perwakilan NTT mengungkapkan adanya dugaan korupsi dalam pengelolaan dana bansos 2009 senilai Rp10,7 miliar. Termasuk di dalamnya, utang-piutang dengan pihak ketiga.
Utang-piutang ini tidak prosedural. Tidak atas persetujuan DPRD. Juga, menurut Bupati Sosi Mitang, tidak atas pengetahuan dan persetujuannya. Demikian pula halnya dengan pengembalian Rp3 miliar kepada UD 2000 dari total pijaman Rp7,4 miliaran. Tidak atas pengetahuannya.
Pernyataan bupati ini berbeda dengan temuan pansus DPRD. Meski prosedural (tidak sepersetujuan DPRD), kata pansus, peminjaman dari pihak ketiga ini nyata dilakukan Yosef Otu selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu pada Bagian Kesra. Peminjaman itu atas nama Bagian Kesra Kabupaten Sikka. Peminjaman itu pun atas pengetahuan dan persetujuan bupati.
Mana yang benar? Pernyataan bupati ataukah pernyataan pansus? Ini yang perlu dipastikan jawabannya. Karena kasus ini sudah masuk dalam proses hukum, maka pemastian yang dinantikan adalah pemastian hukum. Apakah benar atau terbukti secara sah dan meyakin utang-piutang dangan pihak ketiga itu sepersetujuan bupati?
Kalau jawabannya: benar/terbukti secara sah dan meyakinkan utang-piutang itu sepersetujuan bupati, maka pertanyaan berikutnya adalah ini. Apakah dapat dibenarkan, bupati/pemkab harus melunasi utang pihak ketiga hanya karena utang-piutang itu disetujui bupati meski tanpa persetujuan DPRD?
Kalau jawabannya: tidak benar atau tidak terbukti secara sah dan meyakinkan utang-piutang itu sepersetujuan bupati, maka pertanyaan berikutnya adalah ini. Apakah dapat dibenarkan, bupati/pemkab harus melunasi utang pihak ketiga meski utang-piutang itu tanpa persetujuan bupati dan DPRD?
Kepastian jawaban atas pertanyaan itulah yang ditunggu. Bupati menunggunya dari proses hukum di kejakasan atau KPK. Dari kejaksaan, karena kasus dana bansos, termasuk di dalamnya utang pihak ketiga, telah dilaporkannya ke Kejari Maumere, akhir Mei 2011. Penanganan oleh kejari sudah sampai pada tahap penyelidikan. Penanganan selanjutnya diambil alih oleh Kejati NTT.
Bupati juga menunggu kepastian hukum dari KPK, karena DPRD Sikka telah berkeputusan merekomen¬dasikan penanganan kasus dana bansos diambil alih KPK. Senin 11 Juli 2011, sebanyak 11 anggota DPRD dan beberapa staf sekretariat dewan ke Jakarta, menyerahkan rekomendasi ke KPK.
Tampak di sini, Bupati Sosi cermat. Ia tidak gegabah melunasi utang pihak ketiga, yang statusnya belum jelas secara hukum, karena sedang diproses secara hukum. Sebuah sikap yang tepat.
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 9 Juli 2011
Label:
bentara,
bupati sikka sosimus mitang,
dana bansos sikka 2009,
dugaan korupsi,
flores,
flores pos,
hukum,
sikka,
ud 2000,
utang pihak ketiga
08 Juli 2011
“Ke-11-an” DPRD Sikka
Ke KPK Kenapa Harus Ramai-Ramai?
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 11 anggota DPRD Sikka dan beberapa staf sekretariat DPRD (setwan) ke Jakarta, Senin 11 Juli 2011. Mereka ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mengantar keputusan DPRD yang merekomendasikan kasus dana bansos Sikka tahun 2009 senilai Rp10,7 miliar ditangani KPK (Flores Pos Kamis 7 Juli 2011).
"Kesebelasan" DPRD ini terdiri ketua, wakil, dan utusan dari enam fraksi. Koq sebanyak itu? "Saya pikir angka itu berlebihan," kata E P da Gomez, politikus senior PDI-P Kabupaten Sikka. "Yang berangkat cukup ketua DPRD, seorang staf sekretariat dewan. Dan, kalau anggaran memungkinkan, dengan utusan fraksi," katanya.
Anggaran pasti memungkinkan. Kalaupun tidak, bisa dimungkin-mungkinkan. Semuanya bisa diatur koq. "Soal biaya, ada pos pembiayaan konsultasi," kata Ketua DPRD Rafael Raga. Kentara di sini, pos anggaran dihadapi dengan logika pemakaian, bukan logika pemanfaatan atau logika penggunaan.
Logika pemakaian mengandung kata dasar "pakai". Pemakaian atas cara apa, bukan soal. Boros atau hemat, bukan masalah. Yang penting ada nomenklaturnya. Ini berbeda dengan logika pemanfaatan atau logika penggunaan yang mengandung kata dasar "manfaat" atau "guna". Keber-manfaat-an atau keber-guna-an menjadi unsur penting tindakan. Nomenklatur saja tidaklah cukup.
Dengan logika pemakaian atas pos pembiayaan konsultasi itulah Rafael Raga dkk berangkat ke Jakarta. Rombongan ini sudah pasti habiskan ratusan juta rupiah. Uang negara dipakai begitu banyak hanya untuk antar sebuah rekomendasi. Padahal, semestinya, menurut keber-manfaat-an atau keber-guna-annya, yang berangkat cukup ketua dan seorang staf setwan. Selebihnya, pemborosan.
Menanggapi sorotan pemborosan ini, yang antara lain disampaikan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Pusat Petrus Salestinus, jawaban Rafael Raga mengejutkan. "Jangan dilihat dari banyaknya anggota dewan yang pergi (ke Jakarta)," katanya. "Ini sebagai salah satu bentuk keseriusan DPRD dan masyarakat Sikka untuk tuntaskan (kasus) dana bansos."
Wah, wah. Banyaknya anggota dewan yang berangkat merupakan wujud keseriusan penuntasan kasus. Berarti, semakin banyak yang berangkat, semakin seriuslah DPRD. Kalau begitu, 11 orang itu masih kurang dong. Semestinya, demi keseriusan paripurna, seluruh anggoa dewan berangkat. Makin lama di Jakarta, makin seriuslah mereka.
"Ini sebagai salah satu bentuk keseriusan DPRD dan masyarakat Sikka …." Sebut masyarakat Sikka? Ini manipulasi. Kalau DPRD dengarkan masyarakat, dalam pengertian mempertimbangkan kepentingan umum, kenapa sebanyak itu yang berangkat? Akal sehat masyarakat akan menyetujui E P da Gomez. Yang berangkat cukup ketua dewan dan seorang staf setwan.
Ke Jakarta, antar rekomendasi ke KPK, "… untuk tuntaskan (kasus) dana bansos." Itu bukan langkah yang menuntaskan kasus. KPK tidak bodoh mene¬rima rekomendasi pengalihan penanganan sebuah kasus yang sedang gencar ditangani kejaksaan.
Jadi? Jauh dari menuntaskan kasus, keberangkatan kesebelasan DPRD itu hanya melahirkan kasus baru. TPDI mengadukan 11 anggota DPRD ke KPK. Mereka dinilai menghalang-halangi dan mengintimidasi kejaksaan. Juga, tentunya, memboroskan uang negara dengan alasan yang rapuh. Hmmm, kesebelasan DPRD Sikka.
”Bentara” FLORES POS, Jumat 8 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 11 anggota DPRD Sikka dan beberapa staf sekretariat DPRD (setwan) ke Jakarta, Senin 11 Juli 2011. Mereka ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mengantar keputusan DPRD yang merekomendasikan kasus dana bansos Sikka tahun 2009 senilai Rp10,7 miliar ditangani KPK (Flores Pos Kamis 7 Juli 2011).
"Kesebelasan" DPRD ini terdiri ketua, wakil, dan utusan dari enam fraksi. Koq sebanyak itu? "Saya pikir angka itu berlebihan," kata E P da Gomez, politikus senior PDI-P Kabupaten Sikka. "Yang berangkat cukup ketua DPRD, seorang staf sekretariat dewan. Dan, kalau anggaran memungkinkan, dengan utusan fraksi," katanya.
Anggaran pasti memungkinkan. Kalaupun tidak, bisa dimungkin-mungkinkan. Semuanya bisa diatur koq. "Soal biaya, ada pos pembiayaan konsultasi," kata Ketua DPRD Rafael Raga. Kentara di sini, pos anggaran dihadapi dengan logika pemakaian, bukan logika pemanfaatan atau logika penggunaan.
Logika pemakaian mengandung kata dasar "pakai". Pemakaian atas cara apa, bukan soal. Boros atau hemat, bukan masalah. Yang penting ada nomenklaturnya. Ini berbeda dengan logika pemanfaatan atau logika penggunaan yang mengandung kata dasar "manfaat" atau "guna". Keber-manfaat-an atau keber-guna-an menjadi unsur penting tindakan. Nomenklatur saja tidaklah cukup.
Dengan logika pemakaian atas pos pembiayaan konsultasi itulah Rafael Raga dkk berangkat ke Jakarta. Rombongan ini sudah pasti habiskan ratusan juta rupiah. Uang negara dipakai begitu banyak hanya untuk antar sebuah rekomendasi. Padahal, semestinya, menurut keber-manfaat-an atau keber-guna-annya, yang berangkat cukup ketua dan seorang staf setwan. Selebihnya, pemborosan.
Menanggapi sorotan pemborosan ini, yang antara lain disampaikan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Pusat Petrus Salestinus, jawaban Rafael Raga mengejutkan. "Jangan dilihat dari banyaknya anggota dewan yang pergi (ke Jakarta)," katanya. "Ini sebagai salah satu bentuk keseriusan DPRD dan masyarakat Sikka untuk tuntaskan (kasus) dana bansos."
Wah, wah. Banyaknya anggota dewan yang berangkat merupakan wujud keseriusan penuntasan kasus. Berarti, semakin banyak yang berangkat, semakin seriuslah DPRD. Kalau begitu, 11 orang itu masih kurang dong. Semestinya, demi keseriusan paripurna, seluruh anggoa dewan berangkat. Makin lama di Jakarta, makin seriuslah mereka.
"Ini sebagai salah satu bentuk keseriusan DPRD dan masyarakat Sikka …." Sebut masyarakat Sikka? Ini manipulasi. Kalau DPRD dengarkan masyarakat, dalam pengertian mempertimbangkan kepentingan umum, kenapa sebanyak itu yang berangkat? Akal sehat masyarakat akan menyetujui E P da Gomez. Yang berangkat cukup ketua dewan dan seorang staf setwan.
Ke Jakarta, antar rekomendasi ke KPK, "… untuk tuntaskan (kasus) dana bansos." Itu bukan langkah yang menuntaskan kasus. KPK tidak bodoh mene¬rima rekomendasi pengalihan penanganan sebuah kasus yang sedang gencar ditangani kejaksaan.
Jadi? Jauh dari menuntaskan kasus, keberangkatan kesebelasan DPRD itu hanya melahirkan kasus baru. TPDI mengadukan 11 anggota DPRD ke KPK. Mereka dinilai menghalang-halangi dan mengintimidasi kejaksaan. Juga, tentunya, memboroskan uang negara dengan alasan yang rapuh. Hmmm, kesebelasan DPRD Sikka.
”Bentara” FLORES POS, Jumat 8 Juli 2011
Label:
bentara,
dana bansos sikka 2011,
dprd sikka,
dugaan korupsi,
flores,
flores pos,
hukum,
sikka
07 Juli 2011
Bangunkan Bupati Mabar
Krsis Air Bersih di Labuan Bajo
Oleh Frans Anggal
Pelanggan air bersih di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), mengeluh. Beberapa bulan terakhir air tidak keluar. Biaya beban jalan terus. Tiap bulan Rp10.000. Berani tidak bayar, meteran air dicabut oleh Pengelola Air Minum (PAM), unit pelaksana teknis pada Dinas Pekerjaan Umum alias PU (Flores Pos Rabu 6 Juli 2011).
Sebagian warga terpaksa beli air dari mobil tangki. Harganya duilah. Rp100 ribu per tangki 200 liter. Itu berarti Rp5 ribu per liter. Ini benar-benar gila. Air lebih mahal daripada bensin. Warga Labuan Bajo seakan hidup di Gurun Sahara puluhan abad silam.
Siapa yang diuntungkan? Pebisnis air. Siapa mereka? Kalau ditelusuri, mereka orang dalam Dinas PU dan/atau yang bekerja sama dengan orang PU. Mereka melanggan air PAM untuk ditampung di bak besar. Air tampungan inilah yang mereka jual.
"Investigasi saya bersama Andre Durung (wartawan Flores Pos) mendapatkan dua buah bak besar di wilayah Kaper, 2 kilometer dari Labuan Bajo," tulis Chelluz Pahun dalam Grup Face Book "Pemimpin Manggarai Masa Depan". Ia menanggapi "Bentara" Flores Pos Senin 4 Juli 2011, "PDAM Maya di Mabar".
Menurut pemred wartasemesta.com ini, dua bak besar itu milik orang PU dan pemilik penginapan. Keduanya bayar rekening air yang dialirkan ke bak itu. Ketika Labuan Bajo krisis air bersih, mereka ambil air dari bak itu dan menjualnya dalam bentuk tangki kepada warga, pemilik hotel, dan restauran di wilayah Gorontalo yang rata-rata tak punya fasilitas air bersih.
Pihak PU tahu akan hal ini. Bupati Agus Ch Dula juga. Maka dibentuklah tim normalisasi air. Lucunya, orang PU si pedagang air itu juga dilibatkan. Hasil kerja tim ini pun tidak jelas. Labuan Bajo tetap krisis air bersih. Maka, mobil tangki air itu tetap beroperasi. Para pebisnis air itu tetap menangguk untung. Belinya murah, jualnya mahal.
Tampaknya, bisnis ilegal ini menjadi salah satu penyebab berlarutnya PAM dikelola Dinas PU. Padahal perda tentang PDAM sudah ada. Lengkap dengan namanya: PDAM Wae Mbeliling. Semestinya PDAM-nya segera dibentuk. Kog tersendat-sendat? Kenapa? Salah satu jawabannya, itu tadi. Kalau PDAM Wae Mbeliling dibentuk, orang dalam PU dkk tidak leluasa lagi berbisnis ilegal.
Yang mengherankan, meski bisnis ilegal ini diketahui bupati, koq tidak ada tindakan. Yang dilakukan bupati hanyalah melantik tim normalisasi air. Habis itu ya habis. Seolah-olah, dengan dilantiknya tim normalisasi air maka dengan sendirinya pula normallah ketersedian air bersih, meski timnya hanya le-lau (hilir-mudik) tidak jelas.
Mentalitas apa di balik sikap bupati ini? Mentalitas magis. Formulasi konsep dan ritual performance (pelantikan tim normalisasi air), itulah yang dianggap penting. Sedangkan kenyataannya (apakah ketersediaan air bersih sudah normal atau belum), itu tidak soal, karena nanti air bersih akan "datang dengan sendirinya", ex opere operato. Efek magis.
Terperangkap lelap dalam kurungan magis, bupati perlu segera dibangunkan. Jurnalis P.Y. Don Bosco Wahi dalam Grup Face Book "Pemimpin Manggarai Masa Depan" mengusulkan class action. Masyarakat menggu¬gat pemkab ke pengadilan negeri atau pengadilan HAM karena terlalu lama menelantarkan rakyat.
Itu langkah yuridis. Langkah praktisnya? Demo besar-besaran. Libatkan ibu-ibu rumah tangga. Pergi minta air di kantor bupati dan DPRD. Bawa serta ember, jeriken, baskom, periuk, dandang. Bunyikan semua alat itu sekeras-kerasnya sebagai orkes kengko lemot. Bangunkan bupati dan DPRD dari lelap.
”Bentara” FLORES POS, Kamis 7 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Pelanggan air bersih di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), mengeluh. Beberapa bulan terakhir air tidak keluar. Biaya beban jalan terus. Tiap bulan Rp10.000. Berani tidak bayar, meteran air dicabut oleh Pengelola Air Minum (PAM), unit pelaksana teknis pada Dinas Pekerjaan Umum alias PU (Flores Pos Rabu 6 Juli 2011).
Sebagian warga terpaksa beli air dari mobil tangki. Harganya duilah. Rp100 ribu per tangki 200 liter. Itu berarti Rp5 ribu per liter. Ini benar-benar gila. Air lebih mahal daripada bensin. Warga Labuan Bajo seakan hidup di Gurun Sahara puluhan abad silam.
Siapa yang diuntungkan? Pebisnis air. Siapa mereka? Kalau ditelusuri, mereka orang dalam Dinas PU dan/atau yang bekerja sama dengan orang PU. Mereka melanggan air PAM untuk ditampung di bak besar. Air tampungan inilah yang mereka jual.
"Investigasi saya bersama Andre Durung (wartawan Flores Pos) mendapatkan dua buah bak besar di wilayah Kaper, 2 kilometer dari Labuan Bajo," tulis Chelluz Pahun dalam Grup Face Book "Pemimpin Manggarai Masa Depan". Ia menanggapi "Bentara" Flores Pos Senin 4 Juli 2011, "PDAM Maya di Mabar".
Menurut pemred wartasemesta.com ini, dua bak besar itu milik orang PU dan pemilik penginapan. Keduanya bayar rekening air yang dialirkan ke bak itu. Ketika Labuan Bajo krisis air bersih, mereka ambil air dari bak itu dan menjualnya dalam bentuk tangki kepada warga, pemilik hotel, dan restauran di wilayah Gorontalo yang rata-rata tak punya fasilitas air bersih.
Pihak PU tahu akan hal ini. Bupati Agus Ch Dula juga. Maka dibentuklah tim normalisasi air. Lucunya, orang PU si pedagang air itu juga dilibatkan. Hasil kerja tim ini pun tidak jelas. Labuan Bajo tetap krisis air bersih. Maka, mobil tangki air itu tetap beroperasi. Para pebisnis air itu tetap menangguk untung. Belinya murah, jualnya mahal.
Tampaknya, bisnis ilegal ini menjadi salah satu penyebab berlarutnya PAM dikelola Dinas PU. Padahal perda tentang PDAM sudah ada. Lengkap dengan namanya: PDAM Wae Mbeliling. Semestinya PDAM-nya segera dibentuk. Kog tersendat-sendat? Kenapa? Salah satu jawabannya, itu tadi. Kalau PDAM Wae Mbeliling dibentuk, orang dalam PU dkk tidak leluasa lagi berbisnis ilegal.
Yang mengherankan, meski bisnis ilegal ini diketahui bupati, koq tidak ada tindakan. Yang dilakukan bupati hanyalah melantik tim normalisasi air. Habis itu ya habis. Seolah-olah, dengan dilantiknya tim normalisasi air maka dengan sendirinya pula normallah ketersedian air bersih, meski timnya hanya le-lau (hilir-mudik) tidak jelas.
Mentalitas apa di balik sikap bupati ini? Mentalitas magis. Formulasi konsep dan ritual performance (pelantikan tim normalisasi air), itulah yang dianggap penting. Sedangkan kenyataannya (apakah ketersediaan air bersih sudah normal atau belum), itu tidak soal, karena nanti air bersih akan "datang dengan sendirinya", ex opere operato. Efek magis.
Terperangkap lelap dalam kurungan magis, bupati perlu segera dibangunkan. Jurnalis P.Y. Don Bosco Wahi dalam Grup Face Book "Pemimpin Manggarai Masa Depan" mengusulkan class action. Masyarakat menggu¬gat pemkab ke pengadilan negeri atau pengadilan HAM karena terlalu lama menelantarkan rakyat.
Itu langkah yuridis. Langkah praktisnya? Demo besar-besaran. Libatkan ibu-ibu rumah tangga. Pergi minta air di kantor bupati dan DPRD. Bawa serta ember, jeriken, baskom, periuk, dandang. Bunyikan semua alat itu sekeras-kerasnya sebagai orkes kengko lemot. Bangunkan bupati dan DPRD dari lelap.
”Bentara” FLORES POS, Kamis 7 Juli 2011
Label:
bentara,
bupati agus ch dula,
dinas pu mabar,
flores,
flores pos,
kesra,
krisis air bersih,
labuan bajo,
mabar,
pdam wae mbeliling
06 Juli 2011
Bansos Sikka Di-KPK-kan?
Mempertimbangakn Alasan DPRD Sikka
Oleh Frans Anggal
DPRD Sikka memutuskan, kasus dana bantuan sosial (bansos) tahun 2009 yang dikelola Bagian Kesra Setda Sikka senilai Rp10,7 miliar ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu tertuang dalam SK Nomor 22/DPRD/2011 tanggal 4 Juli 2011. DPRD sendiri akan mengantarnya ke KPK. Dasar keputusannya adalah rekomendasi pansus DPRD, pendapat akhir fraksi, dan desakan elemen masyarakat (Flores Pos Selasa 5 Juli 2011).
Menurut hasil kerja pansus, pengeloaan dana bansos Rp10,7 miliar ditandai pembuatan kuitansi fiktif, pencairan dana yang tidak sesuai dengan prosedur, dan utang pihak ketiga. Apabila ditambah dengan total utang pihak ketiga Rp8,7 miliar, perkiraan kerugian negara mencapai Rp19,7 miliar.
Utang pihak ketiga, kata pansus, walau tidak prosedural, nyata dilakukan oleh Yosef Otu selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu pada Bagian Kesra, atas nama Bagian Kesra Kabupaten Sikka, serta atas pengetahuan dan persetujuan bupati.
Ini poin penting: atas pengetahuan dan persetujuan bupati! Poin inilah yang sesungguhnya menentukan mengapa kasus dana bansos harus ditangani oleh KPK, bukan oleh Kejari Maumere. Kejari sendiri sedang menangani kasus ini setelah adanya laporan dari Bupati Sosimus Mitang akhir Mei 2011.
UU Nomor 30 Tahun 2002, Pasal 9, menyatakan pengambialihan penyidikan dan penuntutan dilakukan KPK manakala laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian dan kejaksaan, dan proses penanganannya berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Itukah yang sedang terjadi di Sikka? Tidak! Sejak kasus dana bansos dilaporkan oleh bupati, kejari langsung bekerja. Saat ini sedang dalam tahap penyelidikan untuk meningkat ke tahap penyidikan. Para calon tersangka sudah ada di saku kejari.
Jadi, laporan bupati bukannya tidak ditindakanjuti kejari. Juga, belum ada indikasi penanganannya berlarut-larut. Itu bukanlah sesuatu yang faktual pada kejari. Tapi, semata-mata, sesuatu yang psikologis pada diri DPRD dan elemen masyarakat. Mereka khawatir kejari akan melarut-larutkan penanganan kasus.
Kenapa mereka khawatir? Pertama, sudah ada presedennya. Ada 12 kasus dugaan korupsi yang hingga kini tidak tuntas-tuntas ditangani kejari dan kepolisian. Dikhawatirkan, nasib kasus dana bansos pun seperti itu. Kedua, dalam kasus bansos, bupati terlibat. Khususnya dalam utang pihak ketiga yang, menurut temuan pansus, dilakukan atas pengetahuan dan persetujuan bupati. Dikhawatirkan, terlibatnya bupati membuat kejari sungkan.
Ini sesungguhnya alasan DPRD dan elemen masyarakat. Tapi, mereka tidak jujur mengungkapkannya. Kenapa? Karena dasarnya tidak kuat. Kenapa disebut tidak kuat? Karena mereka berdiri di atas dasar psikologis (kekhawatiran), bukan di atas dasar yuridis (UU). Mereka berpijak pada sesuatu yang subjektif, bukan pada sesuatu yang objektif.
Semestinya tidak demikian. Berpijaklah pada UU. Maka, berikan dulu kesempatan kepada kejari. Kontrollah kejari. Desakkanlah penanganan segera dan tuntas. Kalau kejarinya tidak jalan, barulah kasus ini di-KPK-kan.
Pertanyaan kita: apakah KPK akan menerima keputusan DPRD Sikka? Menerima begitu saja penanganan kasus yang justru sedang gencar ditangani kejari? Hmm. Kita tunggu dan lihat.
”Bentara” FLORES POS, Rabu 6 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
DPRD Sikka memutuskan, kasus dana bantuan sosial (bansos) tahun 2009 yang dikelola Bagian Kesra Setda Sikka senilai Rp10,7 miliar ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu tertuang dalam SK Nomor 22/DPRD/2011 tanggal 4 Juli 2011. DPRD sendiri akan mengantarnya ke KPK. Dasar keputusannya adalah rekomendasi pansus DPRD, pendapat akhir fraksi, dan desakan elemen masyarakat (Flores Pos Selasa 5 Juli 2011).
Menurut hasil kerja pansus, pengeloaan dana bansos Rp10,7 miliar ditandai pembuatan kuitansi fiktif, pencairan dana yang tidak sesuai dengan prosedur, dan utang pihak ketiga. Apabila ditambah dengan total utang pihak ketiga Rp8,7 miliar, perkiraan kerugian negara mencapai Rp19,7 miliar.
Utang pihak ketiga, kata pansus, walau tidak prosedural, nyata dilakukan oleh Yosef Otu selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu pada Bagian Kesra, atas nama Bagian Kesra Kabupaten Sikka, serta atas pengetahuan dan persetujuan bupati.
Ini poin penting: atas pengetahuan dan persetujuan bupati! Poin inilah yang sesungguhnya menentukan mengapa kasus dana bansos harus ditangani oleh KPK, bukan oleh Kejari Maumere. Kejari sendiri sedang menangani kasus ini setelah adanya laporan dari Bupati Sosimus Mitang akhir Mei 2011.
UU Nomor 30 Tahun 2002, Pasal 9, menyatakan pengambialihan penyidikan dan penuntutan dilakukan KPK manakala laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian dan kejaksaan, dan proses penanganannya berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Itukah yang sedang terjadi di Sikka? Tidak! Sejak kasus dana bansos dilaporkan oleh bupati, kejari langsung bekerja. Saat ini sedang dalam tahap penyelidikan untuk meningkat ke tahap penyidikan. Para calon tersangka sudah ada di saku kejari.
Jadi, laporan bupati bukannya tidak ditindakanjuti kejari. Juga, belum ada indikasi penanganannya berlarut-larut. Itu bukanlah sesuatu yang faktual pada kejari. Tapi, semata-mata, sesuatu yang psikologis pada diri DPRD dan elemen masyarakat. Mereka khawatir kejari akan melarut-larutkan penanganan kasus.
Kenapa mereka khawatir? Pertama, sudah ada presedennya. Ada 12 kasus dugaan korupsi yang hingga kini tidak tuntas-tuntas ditangani kejari dan kepolisian. Dikhawatirkan, nasib kasus dana bansos pun seperti itu. Kedua, dalam kasus bansos, bupati terlibat. Khususnya dalam utang pihak ketiga yang, menurut temuan pansus, dilakukan atas pengetahuan dan persetujuan bupati. Dikhawatirkan, terlibatnya bupati membuat kejari sungkan.
Ini sesungguhnya alasan DPRD dan elemen masyarakat. Tapi, mereka tidak jujur mengungkapkannya. Kenapa? Karena dasarnya tidak kuat. Kenapa disebut tidak kuat? Karena mereka berdiri di atas dasar psikologis (kekhawatiran), bukan di atas dasar yuridis (UU). Mereka berpijak pada sesuatu yang subjektif, bukan pada sesuatu yang objektif.
Semestinya tidak demikian. Berpijaklah pada UU. Maka, berikan dulu kesempatan kepada kejari. Kontrollah kejari. Desakkanlah penanganan segera dan tuntas. Kalau kejarinya tidak jalan, barulah kasus ini di-KPK-kan.
Pertanyaan kita: apakah KPK akan menerima keputusan DPRD Sikka? Menerima begitu saja penanganan kasus yang justru sedang gencar ditangani kejari? Hmm. Kita tunggu dan lihat.
”Bentara” FLORES POS, Rabu 6 Juli 2011
Label:
2009,
bansos sikka,
bentara,
bupati sosimus mitang,
dprd sikka,
dugaan korupsi,
flores,
flores pos,
pansus dprd sikka,
sikka
05 Juli 2011
Matim dan Raskin Itu
Tersendatnya Penyaluran Raskin 6 Bulan
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 75 dari 144 desa dan kelurahan di Kabupaten Manggarai Timur (Matim) belum ajukan permintaan penyaluran raskin selama Januari-Juni 2011. "Kita sendiri telah lakukan pelbagai upaya untuk percepatan penyaluran sesuai dengan jadwal setiap bulannya. Tetapi, pelbagai upaya itu sepertinya belum berhasil menggerakkan para kades untuk segera menyelesaikan urusan raskinnya," kata Kasubdivre Perum Bulog Ruteng, Umbu Mangu Gadung (Flores Pos Senin 4 Juli 2011).
Data mempelihatkan, mayoritas desa pada tiap kecamatan di Matim belum mengambil raskin. Kecamatan Borong, 15 dari 21 desa. Kota Komba, 12 dari 17 desa. Sambi Rampas, 8 dari 11 desa. Poco Ranaka, 20 dari 28 desa. Elar, 14 dari 21 desa. Lamba Leda, 7 dari 16 desa.
Apakah desa-desa itu tidak punya rumah tangga miskin (RTM)? Sehingga tidak butuhkan raskin? BPS NTT memang menyebutkan, jumlah penduduk miskin di NTT menurun. Pada Maret 2010 jumlahnya 23,03 persen atau 1,014 juta orang dari total penduduk NTT 4,6 juta jiwa. Pada Maret 2011, jumlahnya 21,23 persen atau 1,012 juta orang. Jadi, dalam setahun, penurun-annya 1.200 lebih orang (Flores Pos Sabtu 2 Juli 2011).
Apakah itu jawabannya? Tidak. "RTM" dan "penduduk miskin" itu dua entitas berbeda. Kriterianya pun berbeda. Maka, kalaupun 1.200 lebih orang NTT yang bukan lagi penduduk miski itu adalah warga Matim, tidak serta merta Matim bebas dari RTM. Jadi?
Tidak diurusnya raskin oleh 75 desa di Matim bukan karena desa-desa itu sudah tidak punya RTM. Tapi, karena ke-75 desa seolah-olah tidak punya kades lagi. Semestinya raskin diurus kades tiap bulan. Yang terjadi, raskin menumpuk hingga 6 bulan di Bulog. Kalau saat diambil berasnya lapuk, ya, jangan heran.
Mempersalahkan kades saja tentu tidak tepat. Pengambilan raskin itu tidak gratis. Pengangkutannya ke desa-desa pun tidak cuma-cuma. Sangat boleh jadi, desa-desa kurang atau tidak miliki dana. Pada banyak kasus di Flores, karena tidak ada dana, kades bekerja sama dengan pihak ketiga. Raskin pun habis terbeli. Bukan oleh RTM, tapi oleh pengusaha. Selanjutnya, kades berurusan dengan hukum.
Kesulitan makin terasa ketika mekanisme penyaluran raskin diubah oleh pemerintah pusat. Uang tebusan harus dibayar di muka. Dulu uang bisa dibayar tujuh hari setelah terima beras (H+7). Sekarang tidak lagi. Harus dibayar satu hari sebelum terima beras (H-1). Maka, desa harus bayar dulu dana talangan.
Yang jadi soal, desa ambil uang dari mana? Andalkan alokasi dana desa (ADD)? Seringkali jumlahnya tidak memadai. Kalau ini jalannya maka tidak ada cara lain: ADD ditambah. Atau, pemkab anggarkan khusus dana talangan bagi desa guna membeli raskin. Tanpa kebijakan seperti ini, desa akan terus-menerus kekurangan dana. Penyaluran raskin pun akan selalu tersendat-sendat.
Bagi Matim, ini tidak mudah. Kabupaten ini relatif masih baru. Usianya baru jelang empat tahun, sejak terbentuk 17 Juli 2007. Banyak hal yang perlu dibangun dan dibenah. Di sisi lain, dana begitu terbatas. Itu kenyataan. Tapi, RTM juga kenyataan, bukan? Raskin sangat dibutuhkan RTM juga kenyataan, bukan?
Terhadap kenyataan satu ini, dalih keterbatasan dana tidak pantas dipakai. Itu hanya cocok untuk pembangunan fisik, yang karena terbatasnya anggaran mau tidak mau harus dilakukan bertahap. Tidak untuk orang yang sedang butuhkan makanan. Sebab, tidak makan ya lapar. Ujung-ujungnya mati.
”Bentara” FLORES POS, Selasa 5 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 75 dari 144 desa dan kelurahan di Kabupaten Manggarai Timur (Matim) belum ajukan permintaan penyaluran raskin selama Januari-Juni 2011. "Kita sendiri telah lakukan pelbagai upaya untuk percepatan penyaluran sesuai dengan jadwal setiap bulannya. Tetapi, pelbagai upaya itu sepertinya belum berhasil menggerakkan para kades untuk segera menyelesaikan urusan raskinnya," kata Kasubdivre Perum Bulog Ruteng, Umbu Mangu Gadung (Flores Pos Senin 4 Juli 2011).
Data mempelihatkan, mayoritas desa pada tiap kecamatan di Matim belum mengambil raskin. Kecamatan Borong, 15 dari 21 desa. Kota Komba, 12 dari 17 desa. Sambi Rampas, 8 dari 11 desa. Poco Ranaka, 20 dari 28 desa. Elar, 14 dari 21 desa. Lamba Leda, 7 dari 16 desa.
Apakah desa-desa itu tidak punya rumah tangga miskin (RTM)? Sehingga tidak butuhkan raskin? BPS NTT memang menyebutkan, jumlah penduduk miskin di NTT menurun. Pada Maret 2010 jumlahnya 23,03 persen atau 1,014 juta orang dari total penduduk NTT 4,6 juta jiwa. Pada Maret 2011, jumlahnya 21,23 persen atau 1,012 juta orang. Jadi, dalam setahun, penurun-annya 1.200 lebih orang (Flores Pos Sabtu 2 Juli 2011).
Apakah itu jawabannya? Tidak. "RTM" dan "penduduk miskin" itu dua entitas berbeda. Kriterianya pun berbeda. Maka, kalaupun 1.200 lebih orang NTT yang bukan lagi penduduk miski itu adalah warga Matim, tidak serta merta Matim bebas dari RTM. Jadi?
Tidak diurusnya raskin oleh 75 desa di Matim bukan karena desa-desa itu sudah tidak punya RTM. Tapi, karena ke-75 desa seolah-olah tidak punya kades lagi. Semestinya raskin diurus kades tiap bulan. Yang terjadi, raskin menumpuk hingga 6 bulan di Bulog. Kalau saat diambil berasnya lapuk, ya, jangan heran.
Mempersalahkan kades saja tentu tidak tepat. Pengambilan raskin itu tidak gratis. Pengangkutannya ke desa-desa pun tidak cuma-cuma. Sangat boleh jadi, desa-desa kurang atau tidak miliki dana. Pada banyak kasus di Flores, karena tidak ada dana, kades bekerja sama dengan pihak ketiga. Raskin pun habis terbeli. Bukan oleh RTM, tapi oleh pengusaha. Selanjutnya, kades berurusan dengan hukum.
Kesulitan makin terasa ketika mekanisme penyaluran raskin diubah oleh pemerintah pusat. Uang tebusan harus dibayar di muka. Dulu uang bisa dibayar tujuh hari setelah terima beras (H+7). Sekarang tidak lagi. Harus dibayar satu hari sebelum terima beras (H-1). Maka, desa harus bayar dulu dana talangan.
Yang jadi soal, desa ambil uang dari mana? Andalkan alokasi dana desa (ADD)? Seringkali jumlahnya tidak memadai. Kalau ini jalannya maka tidak ada cara lain: ADD ditambah. Atau, pemkab anggarkan khusus dana talangan bagi desa guna membeli raskin. Tanpa kebijakan seperti ini, desa akan terus-menerus kekurangan dana. Penyaluran raskin pun akan selalu tersendat-sendat.
Bagi Matim, ini tidak mudah. Kabupaten ini relatif masih baru. Usianya baru jelang empat tahun, sejak terbentuk 17 Juli 2007. Banyak hal yang perlu dibangun dan dibenah. Di sisi lain, dana begitu terbatas. Itu kenyataan. Tapi, RTM juga kenyataan, bukan? Raskin sangat dibutuhkan RTM juga kenyataan, bukan?
Terhadap kenyataan satu ini, dalih keterbatasan dana tidak pantas dipakai. Itu hanya cocok untuk pembangunan fisik, yang karena terbatasnya anggaran mau tidak mau harus dilakukan bertahap. Tidak untuk orang yang sedang butuhkan makanan. Sebab, tidak makan ya lapar. Ujung-ujungnya mati.
”Bentara” FLORES POS, Selasa 5 Juli 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
kesra,
matim,
penyaluran raskin tersendat,
raskin
04 Juli 2011
“PDAM Maya” di Mabar
Krisis Air Bersih di Labuan Bajo
Oleh Frans Anggal
Pemkab Manggarai Barat (Mabar) perlu segera membentuk perusahaan daerah air minum (PDAM). Perdanya sudah ada. Jika air minum tidak dikelola instansi khusus ini, krisis air bersih tetap terjadi. Desakan itu disampaikan mantan anggota DPRD Mabar Laurensius Barus di Labuan Bajo (Flores Pos Sabtu 2 Juli 2011).
Desakan yang sama pernah dilontarkan anggota DPRD Mabar, Vitus Usu dan Daniel Ganggur. Jika air minum tetap dikelola dinas lingkup pemkab, kata kedua wakil rakyat, krisis air bersih tidak akan habis. Khususnya di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Mabar.
Fakta: pada beberapa wilayah di kabupaten seluas 9.450 km persegi ini, air bersih melimpah. Sedangkan pada beberapa wilayah lain, kurang. Jelas, persoalanya adalah distribusi. Dana untuk itu ada. Malah miliaran rupiah telah dihabiskan. Kalau begitu? Ini bukan hanya soal debit air dan dana, tapi juga dan malah terutama soal manajemen.
Sejak Mabar jadi daerah otonom, disapih dari kabupaten induk Manggarai melalui UU Nomor 8 Tahun 2003, pengelolaan air bersih ditangani unit pelaksana teknis pada Dinas Pekerjaan Umum (PU). Merangkap banyak pekerjaan membuat PU tidak fokus urus air. Belum lagi konflik kepentingan, birokrasi berbelit, dan berbagai bentuk penyimpangan. Ini semua membuat krisis air tidak habis-habisnya.
Kenyataan ini bukan tidak disadari. PU urus air minum itu hanya sementara. Proyeksinya, akan ditangani PDAM.. Perdanya sudah ada. Namanya sudah diberikan: PDAM Wae Mbeliling. Tunggu apa lagi? Tahun 2009, Sekda Benediktus Ngete bilang, masih tunggu persiapkan segala sesuatunya. Termasuk, menemukan pemimpin yang cocok untuk mengelola perusahaan daerah ini.
Dua tahun lewat. PDAM Wae Mbeliling masih hanya ada di atas kertas (perda). Belum hadir di atas tanah. Maka, yang mengalir adalah wacana, bukan air. Dengan demikian, "PDAM Wae Mbeliling" itu sebetulnya belum ada. Dia masih berupa "PDAM Maya". Belum menjadi "PDAM Nyata". Di bawah "PDAM Maya" inilah Mabar tetap kekurangan air bersih.
Bagi bupati, wabup, sekda, dan petinggi kabupaten, tampaknya, yang disebut kekurangan itu sesuatu yang maya pula. Bukan sesuatu yang nyata. Sebab, mereka sendiri tidak berkekurangan. Mereka yang berduit ini bisa membeli air isi ulang dengan mutu terjamin. Tidak demikian halnya dengan masyarakat kebanyakan. Mereka harus berkorban berjaga malam-malam kalau mau mendapat air. Itu pun kalau airnya keluar.
Kelihatan sekali, pemkab tidak punya sense of crisis. Sudah delapan tahun Mabar jadi daerah otonom. Selama itu pula pengelolaan air bersih tidak beres-beres. Disadari, pengelolaan oleh PU hanya sementara. Namun kesementaraan itu tetap berlangsung. Perda PDAM sudah ada. Namun realisasinya masih sebatas rencana.
Kentara pula, pemkab tidak punya skala prioritas. Tidak mendahulukan mana yang lebih penting dan mendesak. Bangun kantor, bisa: tempat segelintir pegawai bekerja. Bangun rumah jabatan, bisa: tempat segelintir pejabat dan keluarga berdiam. Beli mobil dinas, bisa: kendaraan segelintir petinggi ke mana-mana. Tapi, bangun sarana air bersih yang bagus, tidak bisa: kebutuhan vital bagi semua orang.
Kita berharap Pemkab Mabar "bertobat". Segera wujudkan "PDAM Wae Mbeliling" dari "PDAM Maya" menjadi "PDAM Nyata". Dari atas kertas ke atas tanah. Dengan demikian, mudah-mudahan, yang lancar mengalir bukan lagi wacana, tapi air bersih.
”Bentara” FLORES POS, Senin 4 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Pemkab Manggarai Barat (Mabar) perlu segera membentuk perusahaan daerah air minum (PDAM). Perdanya sudah ada. Jika air minum tidak dikelola instansi khusus ini, krisis air bersih tetap terjadi. Desakan itu disampaikan mantan anggota DPRD Mabar Laurensius Barus di Labuan Bajo (Flores Pos Sabtu 2 Juli 2011).
Desakan yang sama pernah dilontarkan anggota DPRD Mabar, Vitus Usu dan Daniel Ganggur. Jika air minum tetap dikelola dinas lingkup pemkab, kata kedua wakil rakyat, krisis air bersih tidak akan habis. Khususnya di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Mabar.
Fakta: pada beberapa wilayah di kabupaten seluas 9.450 km persegi ini, air bersih melimpah. Sedangkan pada beberapa wilayah lain, kurang. Jelas, persoalanya adalah distribusi. Dana untuk itu ada. Malah miliaran rupiah telah dihabiskan. Kalau begitu? Ini bukan hanya soal debit air dan dana, tapi juga dan malah terutama soal manajemen.
Sejak Mabar jadi daerah otonom, disapih dari kabupaten induk Manggarai melalui UU Nomor 8 Tahun 2003, pengelolaan air bersih ditangani unit pelaksana teknis pada Dinas Pekerjaan Umum (PU). Merangkap banyak pekerjaan membuat PU tidak fokus urus air. Belum lagi konflik kepentingan, birokrasi berbelit, dan berbagai bentuk penyimpangan. Ini semua membuat krisis air tidak habis-habisnya.
Kenyataan ini bukan tidak disadari. PU urus air minum itu hanya sementara. Proyeksinya, akan ditangani PDAM.. Perdanya sudah ada. Namanya sudah diberikan: PDAM Wae Mbeliling. Tunggu apa lagi? Tahun 2009, Sekda Benediktus Ngete bilang, masih tunggu persiapkan segala sesuatunya. Termasuk, menemukan pemimpin yang cocok untuk mengelola perusahaan daerah ini.
Dua tahun lewat. PDAM Wae Mbeliling masih hanya ada di atas kertas (perda). Belum hadir di atas tanah. Maka, yang mengalir adalah wacana, bukan air. Dengan demikian, "PDAM Wae Mbeliling" itu sebetulnya belum ada. Dia masih berupa "PDAM Maya". Belum menjadi "PDAM Nyata". Di bawah "PDAM Maya" inilah Mabar tetap kekurangan air bersih.
Bagi bupati, wabup, sekda, dan petinggi kabupaten, tampaknya, yang disebut kekurangan itu sesuatu yang maya pula. Bukan sesuatu yang nyata. Sebab, mereka sendiri tidak berkekurangan. Mereka yang berduit ini bisa membeli air isi ulang dengan mutu terjamin. Tidak demikian halnya dengan masyarakat kebanyakan. Mereka harus berkorban berjaga malam-malam kalau mau mendapat air. Itu pun kalau airnya keluar.
Kelihatan sekali, pemkab tidak punya sense of crisis. Sudah delapan tahun Mabar jadi daerah otonom. Selama itu pula pengelolaan air bersih tidak beres-beres. Disadari, pengelolaan oleh PU hanya sementara. Namun kesementaraan itu tetap berlangsung. Perda PDAM sudah ada. Namun realisasinya masih sebatas rencana.
Kentara pula, pemkab tidak punya skala prioritas. Tidak mendahulukan mana yang lebih penting dan mendesak. Bangun kantor, bisa: tempat segelintir pegawai bekerja. Bangun rumah jabatan, bisa: tempat segelintir pejabat dan keluarga berdiam. Beli mobil dinas, bisa: kendaraan segelintir petinggi ke mana-mana. Tapi, bangun sarana air bersih yang bagus, tidak bisa: kebutuhan vital bagi semua orang.
Kita berharap Pemkab Mabar "bertobat". Segera wujudkan "PDAM Wae Mbeliling" dari "PDAM Maya" menjadi "PDAM Nyata". Dari atas kertas ke atas tanah. Dengan demikian, mudah-mudahan, yang lancar mengalir bukan lagi wacana, tapi air bersih.
”Bentara” FLORES POS, Senin 4 Juli 2011
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
kesra,
krisis air bersih,
mabar,
pdam wae mbeliling
02 Juli 2011
Tunggu Ribuan Tertipu?
Penipuan Berkedok LSM di Ngada
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 27 kepala keluarga (KK) di Desa Naru, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, tertipu. Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) janjikan bantuan Rp15 juta per KK. Persyaratannya: fotokopi kartu keluarga, pasfoto 3 x 4, fotokopi KTP, map, dan uang Rp100 ribu. Diserahkan November 2010. Janji dana akan cair Desember 2010, paling lambat Januari 2011. Enam bulan berlalu, janji tinggal janji (Flores Pos Jumat 1 Juli 2011).
Berita dari Ngada ini turun hanya tiga hari setelah berita dari Nagekeo. Sebuah lembaga yang menyebut diri Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTT Unit Nagekeo buka kantor di Mbay. Lalu rekrut pegawai dengan pungutan. Untuk pengadaan seragam Rp250 ribu. Pengadaan ID Card Rp150 ribu. Tes kesehatan Rp450 ribu (Flores Pos Selasa 28 Juni 2011).
Ada beberapa kesamaan pada kedua kasus ini. (1) Aksinya mengatasnamakan lembaga. Di Nagekeo, lembaga negara. Di Ngada, lembaga swasta. (2) Keberadan dan kegiatannya tidak diketahui pemerintah setempat karena tidak melapor. (3) Pendekatan ke sasaran dilakukan dari rumah ke rumah. Tidak diumumkan secara luas. (4) Fasilitatornya orang-orang setempat agar janji mudah dipercaya. (5) Ujung-ujungnya duit. Menyedot dana segar masyarakat.
Ciri yang sama melekat pada rekrutmen TKI dan TKW ilegal di Flores selama ini. Dengan perbedaan mendasar, tentu. Pada rekrutmen TKI dan TKW, bukan hanya duit masyarakat yang diboyong. Tapi juga anggota masyarakat itu sendiri, calon TKI dan TKW. Mereka dibawa ke luar untuk diperdagangkan. Seba¬gian¬nya dijadikan budak di daerah atau negara lain.
Ketiga kasus di atas menunjukkan satu hal. Betapa rentannya masyarakat kita. Mudah ditipu. Mudah termakan janji. Mudah diming-imingi. Mudah disogok. Ini ciri masyarakat tidak cerdas. Di tarik ke ranah politik, kondisi ini antara lain melahirkan "kecelakaan" pemilu. Konstituen tidak cerdas cenderung melahirkan wakil rakyat tidak cerdas pula. Tidak heran, banyak anggota DPRD di Flores ngawur.
Ketidakcerdasan ini belum teratasi ketika era keterbukaan semakin nyata. Masyarakat pun semakin rentan. Mereka terbuka tetapi tidak kritis. Salah satu cirinya, tidak gemar melakukan pengujian kebenaran (verifikasi) atas informasi yang diterima. Cepat telan bulat. Mudah percaya kabar burung. Rumor pun disamakan dengan berita. Katanya dianggap sebagai nyatanya. Langsung dijadikan dasar untuk bersikap dan bertindak.
Contoh, rumor penggal kepala di Kabupaten Sikka. Ribuan warga Kewapante menahan sebuah mobil Panther yang sedang parkir di salah satu ruas jalan, Jumat petang 18 Februari 2011. Mobil berpelat Surabaya ini nyaris dibakar massa karena diduga membawa kepala korban manusia, sebagaimana rumor yang beredar. Polisi cek. Hasilnya? Mobil itu ternyata hanya membawa boneka dan barang jualan lainnya (Flores Pos Sabtu 19 Februari 2011).
Masyarakat yang tidak cerdas, yang terbuka tapi tidak kritis, sangat empuk dijadikan korban hasutan dan penipuan. Mereka semakin riskan terhasut dan tertipu ketika pemerintah yang mengemban fungsi perlindungan masyarakat (linmas) juga lemah. Lengah. Tidak awas. Tidak kontrol. Tunggu di tempat. Tunggu ada laporan. Dan baru bangkit dari lelap ketika korban berjatuhan.
Pada kasus di Ngada, korban LSM itu kemungkinan besar bukan hanya 27 orang. Itu baru di satu desa. Belum di desa lain. Apakah pemkab tunggu ribuan orang tertipu baru bangkit dan bertindak?
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 2 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 27 kepala keluarga (KK) di Desa Naru, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, tertipu. Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) janjikan bantuan Rp15 juta per KK. Persyaratannya: fotokopi kartu keluarga, pasfoto 3 x 4, fotokopi KTP, map, dan uang Rp100 ribu. Diserahkan November 2010. Janji dana akan cair Desember 2010, paling lambat Januari 2011. Enam bulan berlalu, janji tinggal janji (Flores Pos Jumat 1 Juli 2011).
Berita dari Ngada ini turun hanya tiga hari setelah berita dari Nagekeo. Sebuah lembaga yang menyebut diri Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTT Unit Nagekeo buka kantor di Mbay. Lalu rekrut pegawai dengan pungutan. Untuk pengadaan seragam Rp250 ribu. Pengadaan ID Card Rp150 ribu. Tes kesehatan Rp450 ribu (Flores Pos Selasa 28 Juni 2011).
Ada beberapa kesamaan pada kedua kasus ini. (1) Aksinya mengatasnamakan lembaga. Di Nagekeo, lembaga negara. Di Ngada, lembaga swasta. (2) Keberadan dan kegiatannya tidak diketahui pemerintah setempat karena tidak melapor. (3) Pendekatan ke sasaran dilakukan dari rumah ke rumah. Tidak diumumkan secara luas. (4) Fasilitatornya orang-orang setempat agar janji mudah dipercaya. (5) Ujung-ujungnya duit. Menyedot dana segar masyarakat.
Ciri yang sama melekat pada rekrutmen TKI dan TKW ilegal di Flores selama ini. Dengan perbedaan mendasar, tentu. Pada rekrutmen TKI dan TKW, bukan hanya duit masyarakat yang diboyong. Tapi juga anggota masyarakat itu sendiri, calon TKI dan TKW. Mereka dibawa ke luar untuk diperdagangkan. Seba¬gian¬nya dijadikan budak di daerah atau negara lain.
Ketiga kasus di atas menunjukkan satu hal. Betapa rentannya masyarakat kita. Mudah ditipu. Mudah termakan janji. Mudah diming-imingi. Mudah disogok. Ini ciri masyarakat tidak cerdas. Di tarik ke ranah politik, kondisi ini antara lain melahirkan "kecelakaan" pemilu. Konstituen tidak cerdas cenderung melahirkan wakil rakyat tidak cerdas pula. Tidak heran, banyak anggota DPRD di Flores ngawur.
Ketidakcerdasan ini belum teratasi ketika era keterbukaan semakin nyata. Masyarakat pun semakin rentan. Mereka terbuka tetapi tidak kritis. Salah satu cirinya, tidak gemar melakukan pengujian kebenaran (verifikasi) atas informasi yang diterima. Cepat telan bulat. Mudah percaya kabar burung. Rumor pun disamakan dengan berita. Katanya dianggap sebagai nyatanya. Langsung dijadikan dasar untuk bersikap dan bertindak.
Contoh, rumor penggal kepala di Kabupaten Sikka. Ribuan warga Kewapante menahan sebuah mobil Panther yang sedang parkir di salah satu ruas jalan, Jumat petang 18 Februari 2011. Mobil berpelat Surabaya ini nyaris dibakar massa karena diduga membawa kepala korban manusia, sebagaimana rumor yang beredar. Polisi cek. Hasilnya? Mobil itu ternyata hanya membawa boneka dan barang jualan lainnya (Flores Pos Sabtu 19 Februari 2011).
Masyarakat yang tidak cerdas, yang terbuka tapi tidak kritis, sangat empuk dijadikan korban hasutan dan penipuan. Mereka semakin riskan terhasut dan tertipu ketika pemerintah yang mengemban fungsi perlindungan masyarakat (linmas) juga lemah. Lengah. Tidak awas. Tidak kontrol. Tunggu di tempat. Tunggu ada laporan. Dan baru bangkit dari lelap ketika korban berjatuhan.
Pada kasus di Ngada, korban LSM itu kemungkinan besar bukan hanya 27 orang. Itu baru di satu desa. Belum di desa lain. Apakah pemkab tunggu ribuan orang tertipu baru bangkit dan bertindak?
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 2 Juli 2011
01 Juli 2011
BPKP Unit Nagekeo?
Dugaan Penipuan Rekrutmen Pegawai
Oleh Frans Anggal
Tiba-tiba saja, sebuah instansi pemerintah berada di Kabupaten Nagekeo. Namanya, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTT Unit Nagekeo. Alamat kantornya di Mbay, ibu kota kabu¬paten, Gang II Kolibali, Kelurahan Danga. Kehadiran instansi ini tanpa sepengetahun pemkab. Keber¬adaan-nya dipertanyakan (Flores Pos Selasa 28 Juni 2011).
Tidak hanya itu. Kegiatannya meresahkan. Kantor yang konon sudah berdiri sejak tiga bulan lalu itu telah merekrut pegawai. Jumlahnya 14 orang. Yang melamar wajib setor duit. Untuk pengadaan seragam BPKP Rp250 ribu. Pengadaan ID Card Rp150 ribu. "Setelah kumpul itu uang, sekarang minta lagi Rp450 ribu untuk tes kesehatan," kata Kris Buu. Ia menceri¬takan pengalaman istrinya.
Uang-uang itu diserahkan ke Maria Emilia Bara. Tansaksinya lengkap dengan kuitansi bercap BPKP Nagekeo. Maria Emilia Bara mengakui adanya pungutan itu. "Saya ini pegawai baru 80 persen di Departemen Keungan dan tugas di Unit BPKP Nage¬keo sebagai bendahara," katanya. Lalu, siapa kepala unitnya?
John Eldedis Oematan, SE, MPH. Di manakah dia? Entahlah. Menurut beberapa pegawainya, sejak kantor itu hadir di Nagekeo tiga bulan lalu, mereka tidak pernah bertemu si bos. "Kami punya gaji juga, sudah tiga bulan kami kerja, belum dibayar," kata Ancelmus Goa Ea. Ia direkrut Maria Emilia Bara dan ditempatkan sebagai Koordinator Bidang Investigasi.
Hampir senasib dengan para pegawai itu adalah pemilik rumah. Ia mengontrakkan rumahnya untuk dijadikan kantor BPKP Unit Nagekeo. Nilainya Rp24 juta per tahun. Namun yang baru dibayar oleh kantor seperduapuluhempatnya, Rp1 juta.
Yang menjadi pertanyaan: benarkah telah dibentuk BPKP NTT Unit Nagekeo? Benarkah instansi itu berkedudukan di Mbay? Benar pulakah kepalanya John Eldedis Oematan? Jawaban atas pertanyaan ini hanya satu: tidak. "Sudah kita cek semuanya, dan ternyata tidak ada unit BPKP di kabupaten," kata Kepala Kesbangpol-Linmas Nagekeo Simon Fino (Flores Pos Kamis 30 Juni 2011).
Wabup Paulus Kadju sudah tanyakan langsung hal ini kepada Kepala BPKP Provinsi NTT di Kupang. Jawabannya: BPKP NTT tidak pernah membuka unit di Nagekeo. Adapun John Edeldis Oematan, yang katanya kepala unit Nagekeo itu, ternyata bukanlah pegawai di lingkup BPKP NTT.
Simpulannya? "Ada indikasi penipuan," kata Kepala Kesbangpol-Linmas Nagekeo Simon Fino. Kalau benar ini penipuan, siapa yang tertipu? Perta¬ma, 14 pegawai, yang sudah bekerja tiga bulan tapi belum digaji. Kedua, para pencari kerja atau pelamar yang entah berapa jumlahnya.
Kepada anggota masyarakat yang telah menjadi korban, Kepala Kesbangpol-Linmas mengimbau segera melapor ke pihak berwajib. Imbauan yang bagus. Tapi tidak cukup. Kesbangpol-Linmas menyan¬dang fungsi perlindungan masyarakat (linmas). Sebagai pelindung masyarakat, semestinya Kesbangpol-Linmas menjadi yang terdepan dalam memperjuangkan keadilan bagi para korban.
Kalau mau jujur, ini kesalahan pemkab juga. Lengah mati punya. Tiga bulan instansi ilegal itu berkiprah, di kota kecil yang belum padat dan belum ramai karena relatif masih baru, koq bisa tidak terpantau. Kerja apa saja sampai tidak sempat tengok-tengok dunia sekitar?
Kejahatan terjadi tidak hanya karena adanya niat pelaku, tapi juga karena adanya peluang. Di Nagekeo, kelangahan pemkab itulah peluangnya. Catatan buat bupati dan wabup.
”Bentara” FLORES POS, Jumat 1 Juli 2011
Oleh Frans Anggal
Tiba-tiba saja, sebuah instansi pemerintah berada di Kabupaten Nagekeo. Namanya, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTT Unit Nagekeo. Alamat kantornya di Mbay, ibu kota kabu¬paten, Gang II Kolibali, Kelurahan Danga. Kehadiran instansi ini tanpa sepengetahun pemkab. Keber¬adaan-nya dipertanyakan (Flores Pos Selasa 28 Juni 2011).
Tidak hanya itu. Kegiatannya meresahkan. Kantor yang konon sudah berdiri sejak tiga bulan lalu itu telah merekrut pegawai. Jumlahnya 14 orang. Yang melamar wajib setor duit. Untuk pengadaan seragam BPKP Rp250 ribu. Pengadaan ID Card Rp150 ribu. "Setelah kumpul itu uang, sekarang minta lagi Rp450 ribu untuk tes kesehatan," kata Kris Buu. Ia menceri¬takan pengalaman istrinya.
Uang-uang itu diserahkan ke Maria Emilia Bara. Tansaksinya lengkap dengan kuitansi bercap BPKP Nagekeo. Maria Emilia Bara mengakui adanya pungutan itu. "Saya ini pegawai baru 80 persen di Departemen Keungan dan tugas di Unit BPKP Nage¬keo sebagai bendahara," katanya. Lalu, siapa kepala unitnya?
John Eldedis Oematan, SE, MPH. Di manakah dia? Entahlah. Menurut beberapa pegawainya, sejak kantor itu hadir di Nagekeo tiga bulan lalu, mereka tidak pernah bertemu si bos. "Kami punya gaji juga, sudah tiga bulan kami kerja, belum dibayar," kata Ancelmus Goa Ea. Ia direkrut Maria Emilia Bara dan ditempatkan sebagai Koordinator Bidang Investigasi.
Hampir senasib dengan para pegawai itu adalah pemilik rumah. Ia mengontrakkan rumahnya untuk dijadikan kantor BPKP Unit Nagekeo. Nilainya Rp24 juta per tahun. Namun yang baru dibayar oleh kantor seperduapuluhempatnya, Rp1 juta.
Yang menjadi pertanyaan: benarkah telah dibentuk BPKP NTT Unit Nagekeo? Benarkah instansi itu berkedudukan di Mbay? Benar pulakah kepalanya John Eldedis Oematan? Jawaban atas pertanyaan ini hanya satu: tidak. "Sudah kita cek semuanya, dan ternyata tidak ada unit BPKP di kabupaten," kata Kepala Kesbangpol-Linmas Nagekeo Simon Fino (Flores Pos Kamis 30 Juni 2011).
Wabup Paulus Kadju sudah tanyakan langsung hal ini kepada Kepala BPKP Provinsi NTT di Kupang. Jawabannya: BPKP NTT tidak pernah membuka unit di Nagekeo. Adapun John Edeldis Oematan, yang katanya kepala unit Nagekeo itu, ternyata bukanlah pegawai di lingkup BPKP NTT.
Simpulannya? "Ada indikasi penipuan," kata Kepala Kesbangpol-Linmas Nagekeo Simon Fino. Kalau benar ini penipuan, siapa yang tertipu? Perta¬ma, 14 pegawai, yang sudah bekerja tiga bulan tapi belum digaji. Kedua, para pencari kerja atau pelamar yang entah berapa jumlahnya.
Kepada anggota masyarakat yang telah menjadi korban, Kepala Kesbangpol-Linmas mengimbau segera melapor ke pihak berwajib. Imbauan yang bagus. Tapi tidak cukup. Kesbangpol-Linmas menyan¬dang fungsi perlindungan masyarakat (linmas). Sebagai pelindung masyarakat, semestinya Kesbangpol-Linmas menjadi yang terdepan dalam memperjuangkan keadilan bagi para korban.
Kalau mau jujur, ini kesalahan pemkab juga. Lengah mati punya. Tiga bulan instansi ilegal itu berkiprah, di kota kecil yang belum padat dan belum ramai karena relatif masih baru, koq bisa tidak terpantau. Kerja apa saja sampai tidak sempat tengok-tengok dunia sekitar?
Kejahatan terjadi tidak hanya karena adanya niat pelaku, tapi juga karena adanya peluang. Di Nagekeo, kelangahan pemkab itulah peluangnya. Catatan buat bupati dan wabup.
”Bentara” FLORES POS, Jumat 1 Juli 2011
Label:
bentara,
bpkp ntt,
flores,
flores pos,
hukum,
nagekeo,
pemerintahan,
penipuan,
politik
Langganan:
Postingan (Atom)