Ketika Hasil UASBN SD 2009 Nol Persen
Oleh Frans Anggal
Pengumuman hasil UASBN pada SDI Woang, Ruteng, Kabupaten Manggarai, ditandai amuk orangtua murid. Anak kasek mereka hajar. Mereka kecewa SD ini nol persen. Mengapa nol persen? Kasek Maria Mude mengatakan, pencapaian para murid di bawah standar.
Yang jelas, hasil nol merupakan akumulasi dari banyak faktor. Namun, untuk sementara, kita batasi perbincangan hanya pada satu hal karena hanya hal itu yang didalihkan kasek: standar kelulusan.
Siapa yang tetapkan standar? Sekolah. Namun, katanya, penetapan itu berdasarkan kesepakatan dengan orangtua murid. Untuk Bahasa Indonesia 3,75, Matematika 2,85, dan IPA 3,50.
Kalau benar atas kesepakatan dengan orangtua murid, ini kejanggalan. Mungkin kejanggalan pertama dan satu-satunya di Indonesia. Sebab, aturannya sudah ada, jelas, tegas, resmi, dan seragam di seluruh Indonesia. Standar kelulusan ditetapkan melalui rapat dewan guru. Ini bedanya, sekaligus untungnya, jika dibandingkan dengan standar kelulusan SLTP dan SLTA yang ditentukan sepihak dan sewenang-wenang oleh mendiknas.
Yang berlaku bagi SD klop dengan UU No 20/2003 tentang Sisdiknas dan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. UU Siskdiknas mengamanatkan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses kemampuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Sedangkan UU Guru dan Dosen menyatakan, guru dan dosen memiliki hak dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan. Berbeda dengan SD, pada SLTP dan SLTA hak ini dirampas oleh mendiknas.
Dalam hal penentuan standar kelulusan, SD lebih otonom. Lebih bebas dan karena itu harus lebih tanggung jawab. Kebebasan dan tanggung jawab mesti mengejawantah sedemikian rupa sehingga dalam menentukan standar kelulusan UASBN, misalnya, kasek dan guru tidak mengorbankan peserta didik yang notabene sudah mereka dampingi selama enam tahun. Kasek dan guru dituntut memegang teguh prinsip patiha (patut, teliti, hati-hati).
Boleh jadi, kasek dan guru SDI Woang kurang patiha. Apalagi kalau benar penentuan standar kelulusan didasarkan pada kesepakatan dengan orangtua murid. Selain ini menyalahi aturan, tahu apa orangtua murid sehingga harus dimintai kesepakatannya mematok standar kelulusan?
Ada dua kemungkinan. Kesek dan guru tidak tahu aturan sehingga bikin kesepakatan bodok. Bisa juga, mereka sengaja menyimpangi aturan agar luput dari tanggung jawab. Kalau gagal, tinggal dibilang ini kan hasil kesepakatan kita, jangan (hanya) persalahkan kami. Kesepakatan bodok lahirkan standar bodok. Standar bodok lahirkan hasil bodok (nol persen). Hasil bodok lahirkan tindakan bodok (amuk orangtua). Tindakan bodok, apakah akan lahirkan solusi bodok?
“Bentara” FLORES POS, Senin 29 Juni 2009
28 Juni 2009
SDI Woang, Hasil “Bodok”
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
manggrai,
pendidikan,
sdi woang nol persen,
uasbn 2009
26 Juni 2009
Labuan Bajo, Kota Kontras
Kawin-paksakan Tambang dengan Pariwisata
Oleh Frans Anggal
Melalui berbagai publikasi, Labuan Bajo ibu kota Kabupaten Mabar dibabtis sebagai kota multi-predikat. Kota pemerintahan, kota pariwisata, kota pendidikan, kota bisnis. Yang baik-baik ini terucap di media, biasanya oleh pejabat. Maka, terciptalah realitas media. Ilmu komunikasi mengingatkan, realitas media tidak sama dan sebangun dengan realitas empirik.
Bagaimana yang empirik, yang senyatanya, datanglah ke Labuan Bajo. Amatilah Labuan Bajo. Kalau boleh, tempatkan diri dalam posisi dan situasi warganya. Lihatlah dari sudut pandang mereka. Dengarkan rintihan mereka. Ikutlah tergetar oleh sedu-sedan mereka. Turutlah tersayat oleh kepedihan mereka. Maka, apa itu Labuan Bajo? Bukan hanya kota pemerintahan, pariwisata, pendidikan, dan bisnis. Labuan Bajo adalah juga kota penuh kontras.
Kontras paling mencolok terlihat antara ‘katanya’ dan ‘nyatanya’ sebagai kota pariwisata. Di mana-mana pariwisata butuh air bersih memadai. Di Labuan Bajo, justru ini yang sulit atau mungkin dipersulit (sampai sekarang Mabar tak punya PDAM, air masih diurus dinas PU). Dalih klisenya: anggaran terbatas maka pembangunan harus bertahap. Itu benar, tapi bukan pokok soal. Keterbatasan anggaran itu kenyataan. Kebertahapan pembangunan itu keharusan. Namun, intinya bukan itu, tetapi pilihan kebijakan mendahulukan yang mana. Bangun ini itu, bisa. Beli ini itu, bisa. Ada uangnya. Kenapa mencukupkan air bersih bagi warga kota tidak, dan tidak pula menjadikannya prioritas kepedulian?
Di mana-mana pariwisata butuh kebersihan dan ketertiban. Di Labuan Bajo, ini juga sulit. Sampah mekar berkembang di mana-mana. Seperti turis, ternak bebas pesiar ke mana-mana pula. Beda dengan PNS, sapi tidak takut sama bupati. Bisa melintas sambil buang apa yang perlu dibuang di ruas jalan depan kantor yang terhormat. Soal tertibkan ternak, sudah ada perdanya, tapi ompong. Sudah ada petugasnya tapi nongkrong. Sudah ada sanksinya tapi omong kosong. Semua itu tidak jalan. Yang belum dicoba, sosialisasi perda langsung kepada sapi, kerbau, dan kambing. Kalau ternak-ternak ini sadar, baru aman.
Di mana-mana pariwisata butuh lingkungan lestari. Di Labuan Bajo, yang ini pun mulai sulit. Di Batu Gosok, yang masih termasuk kawasan kota dan jalur hijau, tak jauh dari bibir pantai, kini berlangsung eksplorasi tambang emas. Dengan izin yang kontroversialnya, bupati mau kawin-paksakan pariwisata yang mengharuskan pelestarian lingkungan dengan tambang terbuka yang justru akan menghancurkannya. Yang bakal terjadi nanti: kekerasan dalam rumah tangga. Pariwisata yang feminin akan teraniaya oleh pertambangan yang maskulin.
Itulah Labuan Bajo. Penuh kontras. Biang keroknya, siapa lagi, pemkab selaku regulator. Dengan kawin-paksakan sejoli tak jodoh, pemkab lakukan dua gerak berlawanan. Gerak sentrifugal, ke luar: mempromosikan pariwisata. Bersamaan dengan itu, gerak sentripetal, ke dalam: menghancurkannya. Apa ini waras? DPRD dan masyarakat jangan biarkan. Akhiri kawin paksa ini. Cepat ceraikan.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 27 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Melalui berbagai publikasi, Labuan Bajo ibu kota Kabupaten Mabar dibabtis sebagai kota multi-predikat. Kota pemerintahan, kota pariwisata, kota pendidikan, kota bisnis. Yang baik-baik ini terucap di media, biasanya oleh pejabat. Maka, terciptalah realitas media. Ilmu komunikasi mengingatkan, realitas media tidak sama dan sebangun dengan realitas empirik.
Bagaimana yang empirik, yang senyatanya, datanglah ke Labuan Bajo. Amatilah Labuan Bajo. Kalau boleh, tempatkan diri dalam posisi dan situasi warganya. Lihatlah dari sudut pandang mereka. Dengarkan rintihan mereka. Ikutlah tergetar oleh sedu-sedan mereka. Turutlah tersayat oleh kepedihan mereka. Maka, apa itu Labuan Bajo? Bukan hanya kota pemerintahan, pariwisata, pendidikan, dan bisnis. Labuan Bajo adalah juga kota penuh kontras.
Kontras paling mencolok terlihat antara ‘katanya’ dan ‘nyatanya’ sebagai kota pariwisata. Di mana-mana pariwisata butuh air bersih memadai. Di Labuan Bajo, justru ini yang sulit atau mungkin dipersulit (sampai sekarang Mabar tak punya PDAM, air masih diurus dinas PU). Dalih klisenya: anggaran terbatas maka pembangunan harus bertahap. Itu benar, tapi bukan pokok soal. Keterbatasan anggaran itu kenyataan. Kebertahapan pembangunan itu keharusan. Namun, intinya bukan itu, tetapi pilihan kebijakan mendahulukan yang mana. Bangun ini itu, bisa. Beli ini itu, bisa. Ada uangnya. Kenapa mencukupkan air bersih bagi warga kota tidak, dan tidak pula menjadikannya prioritas kepedulian?
Di mana-mana pariwisata butuh kebersihan dan ketertiban. Di Labuan Bajo, ini juga sulit. Sampah mekar berkembang di mana-mana. Seperti turis, ternak bebas pesiar ke mana-mana pula. Beda dengan PNS, sapi tidak takut sama bupati. Bisa melintas sambil buang apa yang perlu dibuang di ruas jalan depan kantor yang terhormat. Soal tertibkan ternak, sudah ada perdanya, tapi ompong. Sudah ada petugasnya tapi nongkrong. Sudah ada sanksinya tapi omong kosong. Semua itu tidak jalan. Yang belum dicoba, sosialisasi perda langsung kepada sapi, kerbau, dan kambing. Kalau ternak-ternak ini sadar, baru aman.
Di mana-mana pariwisata butuh lingkungan lestari. Di Labuan Bajo, yang ini pun mulai sulit. Di Batu Gosok, yang masih termasuk kawasan kota dan jalur hijau, tak jauh dari bibir pantai, kini berlangsung eksplorasi tambang emas. Dengan izin yang kontroversialnya, bupati mau kawin-paksakan pariwisata yang mengharuskan pelestarian lingkungan dengan tambang terbuka yang justru akan menghancurkannya. Yang bakal terjadi nanti: kekerasan dalam rumah tangga. Pariwisata yang feminin akan teraniaya oleh pertambangan yang maskulin.
Itulah Labuan Bajo. Penuh kontras. Biang keroknya, siapa lagi, pemkab selaku regulator. Dengan kawin-paksakan sejoli tak jodoh, pemkab lakukan dua gerak berlawanan. Gerak sentrifugal, ke luar: mempromosikan pariwisata. Bersamaan dengan itu, gerak sentripetal, ke dalam: menghancurkannya. Apa ini waras? DPRD dan masyarakat jangan biarkan. Akhiri kawin paksa ini. Cepat ceraikan.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 27 Juni 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
labuan bajo,
manggarai barat
25 Juni 2009
Manggarai: Ramen Wedol
Kontroversi Penetapan 40 Kursi DPRD Manggarai
Oleh Frans Anggal
Kasus penetapan 40 kursi DPRD Manggarai memasuki gesekan baru. KPUD berkonsultasi ke KPU Pusat. Isinya: sebagian anggota DPRD 2004-2009 adalah juga caleg terpilih 2009. Dengan menolak penetapan 40 kursi, apakah dapat diartikan mereka undur diri dari caleg terpilih? “Seperti apa hasil konsultasi dan apa perintah KPU Pusat, kita siap jalankan,“ kata Ketua KPUD Frans Aci.
Anggota DPRD Blasius Mempong menilai langkah KPUD tak masuk akal. Yang tanda tangani keputusan tolak penetapan kursi adalah DPRD, bukan caleg terpilih. Kapasitas mereka jelas. Blasius Mempong dudukkan soal secara tepat.
Ilmu logika mengenal himpunan (class). Yaitu, kumpulan apa saja yang miliki ciri-ciri sama. Yang tergabung dalam himpunan adalah anggota (member). DPRD Manggarai 2004-2009 dan caleg terpilih 2009-2014 adalah dua himpunan berbeda. Masing-masingnya juga merupakan himpunan tertutup (closed class). Artinya, anggotanya dapat nyata dikenal atau disebutkan satu per satu. Oleh ciri tertutup ini, anggota masing-masing himpunan tidak dapat dipersamakan dan dipertukarkan, meskipun orangnya sama.
Sesatpikir (fallacy) KPUD justru terletak di sini. Keanggotaan himpunan dipersamakan dengan orangnya. KPUD tidak berpangkal pikir pada pokok-soal (ad rem), tapi pada pokok-orang (ad hominem). Ini bisa lahirkan sesatpikir lain, sebagai berikut:
KPUD melemahkan pendapat orang dengan memasukkan pertimbangan mengenai diri orang itu yang secara logis tidak bersangkut-paut dengan pokok-soal (abusive ad hominem). Serempak sebaliknya, KPUD menarik dukungan dari orang lain karena salah satu pangkal pikirnya menunjukkan bahwa yang dilakukannya adalah demi kepentingan orang itu (circumstantial ad hominem).
Yang mencolok: KPUD membenarkan tindakannya dengan alasan bahwa penolakan orang atas keputusannya dapat membawa akibat buruk bagi si penolak. Anggota DPRD yang menolak penetapan kursi bisa dicoret dari caleg terpilih jika tindakannya itu dianggap sebagai pengunduran diri. Argumentasinya mengandung ancaman (argumentum ad baculum). Nanti, kalau yang diancamkannya benar terjadi, KPUD mudah mencuci tangan dengan menyebutkannya sebagai keputusan KPU Pusat. Dasarnya bukan rasionalitas, tapi otoritas (argumentum ad auctoritatem).
Itulah sesatpikir KPUD. Disengajakan atau tidak, cuma KPUD yang tahu. Kalau disengajakan, bertujuan menyesatkan, itu sofisme. Kalau tidak disengajakan, karena memang tersesat, itu paralogisme. Sofisme sudah termasuk kejahatan.
Mudah-mudahan, ini hanya paralogisme KPUD. Kalau paralogisme, tinggal diluruskan saja logikanya, selesai. Tak perlu konsultasi ke KPU Pusat. Kalau yang di sana juga sesatpikir, bagaimana? Yang lahir nanti bukan lagi demokrasi, tapi demo-crazy. Orang Manggarai punya istilahnya: ramen wedol.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 26 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Kasus penetapan 40 kursi DPRD Manggarai memasuki gesekan baru. KPUD berkonsultasi ke KPU Pusat. Isinya: sebagian anggota DPRD 2004-2009 adalah juga caleg terpilih 2009. Dengan menolak penetapan 40 kursi, apakah dapat diartikan mereka undur diri dari caleg terpilih? “Seperti apa hasil konsultasi dan apa perintah KPU Pusat, kita siap jalankan,“ kata Ketua KPUD Frans Aci.
Anggota DPRD Blasius Mempong menilai langkah KPUD tak masuk akal. Yang tanda tangani keputusan tolak penetapan kursi adalah DPRD, bukan caleg terpilih. Kapasitas mereka jelas. Blasius Mempong dudukkan soal secara tepat.
Ilmu logika mengenal himpunan (class). Yaitu, kumpulan apa saja yang miliki ciri-ciri sama. Yang tergabung dalam himpunan adalah anggota (member). DPRD Manggarai 2004-2009 dan caleg terpilih 2009-2014 adalah dua himpunan berbeda. Masing-masingnya juga merupakan himpunan tertutup (closed class). Artinya, anggotanya dapat nyata dikenal atau disebutkan satu per satu. Oleh ciri tertutup ini, anggota masing-masing himpunan tidak dapat dipersamakan dan dipertukarkan, meskipun orangnya sama.
Sesatpikir (fallacy) KPUD justru terletak di sini. Keanggotaan himpunan dipersamakan dengan orangnya. KPUD tidak berpangkal pikir pada pokok-soal (ad rem), tapi pada pokok-orang (ad hominem). Ini bisa lahirkan sesatpikir lain, sebagai berikut:
KPUD melemahkan pendapat orang dengan memasukkan pertimbangan mengenai diri orang itu yang secara logis tidak bersangkut-paut dengan pokok-soal (abusive ad hominem). Serempak sebaliknya, KPUD menarik dukungan dari orang lain karena salah satu pangkal pikirnya menunjukkan bahwa yang dilakukannya adalah demi kepentingan orang itu (circumstantial ad hominem).
Yang mencolok: KPUD membenarkan tindakannya dengan alasan bahwa penolakan orang atas keputusannya dapat membawa akibat buruk bagi si penolak. Anggota DPRD yang menolak penetapan kursi bisa dicoret dari caleg terpilih jika tindakannya itu dianggap sebagai pengunduran diri. Argumentasinya mengandung ancaman (argumentum ad baculum). Nanti, kalau yang diancamkannya benar terjadi, KPUD mudah mencuci tangan dengan menyebutkannya sebagai keputusan KPU Pusat. Dasarnya bukan rasionalitas, tapi otoritas (argumentum ad auctoritatem).
Itulah sesatpikir KPUD. Disengajakan atau tidak, cuma KPUD yang tahu. Kalau disengajakan, bertujuan menyesatkan, itu sofisme. Kalau tidak disengajakan, karena memang tersesat, itu paralogisme. Sofisme sudah termasuk kejahatan.
Mudah-mudahan, ini hanya paralogisme KPUD. Kalau paralogisme, tinggal diluruskan saja logikanya, selesai. Tak perlu konsultasi ke KPU Pusat. Kalau yang di sana juga sesatpikir, bagaimana? Yang lahir nanti bukan lagi demokrasi, tapi demo-crazy. Orang Manggarai punya istilahnya: ramen wedol.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 26 Juni 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
kontroversi 40 kursi dprd manggarai,
kpud manggarai,
manggarai,
pemilu,
politik
24 Juni 2009
Bupati Pranda Perlu Dikritik
Kontroversi Tambang Manggarai Barat
Oleh Frans Anggal
Dalam dengar pendapat dengan DPRD Mabar di Labuan Bajo, Selasa 23 Juni 2009, Bupati Fidelis Pranda mengatakan, soal tambang itu belum final. Oleh karena itu, perlu didiskusikan terus-menerus secara santun dan berbudaya. Pemerintah tidak otoriter, katanya, karena semuanya dilakukan secara demokratis sesuai dengan aturan, dari Pancasila, UUD 1945, UU, hingga perda.
Dengan rumusan ini, Bupati Pranda menyiratkan dirinya sebagai pemimpin demokratis, bukan pemimpin otoriter. Menurut teori, pemimpin demokratis adalah pemimpin yang menghargai musyawarah. Sebaliknya, pemimpin otoriter menafikannya dan hanya menghargai kehendaknya sendiri.
Pemimpin demokratis menghargai lonto leok padir wa’i rentu sa’i. Ungkapan Manggarai ini sering digunakan Bupati Pranda. Juga ketika dimintai tanggapannya di Labuan Bajo, Jumat 19 Juni 2009, perihal penolakan sejumlah elemen masyarakat terhadap tambang. “Kita di Mabar ini sampai sekarang masih junjung tinggi budaya setempat. Kita selesaikan segala permasalahan dengan baik secara bersama-sama.”
Pernyataannya terdengar indah bak nyanyian surga. Kenyataannya, dalam kasus tambang, indah kata dari rupa. Satu contoh saja. Bupati Pranda sudah mengeluarkan izin eksplorasi tambang emas di Batu Gosok. Izin dikeluarkannya tanpa lonto leok padir wa’i rentu sa’i dengan DPRD dan masyarakat pemilih tanah. Cara yang tidak demokratis inilah yang antara lain ditolak masyarakat.
Karena itu, dengan getir kita harus mengatakan, dalam kasus tambang, kata-kata indah sang bupati hanyalah omdo (omong doang), asbun (asal bunyi), astaga (asal statement gagah). Ilmu sosial menggolongkannya sebagai pembohongan publik. Ilmu logika menyebutnya sebagai factually empty, istilah untuk suatu keterangan yang tidak mempunyai isi kenyataan (factual content).
Kita perlu segera menyampaikan ini sebagai kritik. Bukan karena tidak suka pada seorang Pranda, tapi sebaliknya karena gembira lantaran ia sudah menyiratkan diri sebagai pemimpin demokratis. Pemimpin demokratis adalah pemimpin yang menghargai kritik sebagai bentuk kontrol. Kontrol diperlukan karena pemimpin memiliki kekuasaan. Dan kekuasaan selalu cenderung menyeleweng. Power tends to corrupt, kata Lord Acton.
Perihal kecenderungan itu, psikologi kekuasaan di mana-mana sama. Kecenderungan kekuasaan untuk memperbesar diri jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi diri. Kecenderungan kekuasaan untuk membenarkan diri juga berkali-kali lebih besar daripada kemampuannya mengritik dan mengawasi diri . Karena itulah, pengawasan, kritik, perlu datang dari luar diri pemimpin, tidak cukup hanya dari dalam dirinya sendiri
Harapan kita, dengan kritik dari luar, Bupati Pranda menyadari kesalahannya. Cabut itu izin tambang. Mulailah, lonto leok padir wa’i rentu sa’i.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 25 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Dalam dengar pendapat dengan DPRD Mabar di Labuan Bajo, Selasa 23 Juni 2009, Bupati Fidelis Pranda mengatakan, soal tambang itu belum final. Oleh karena itu, perlu didiskusikan terus-menerus secara santun dan berbudaya. Pemerintah tidak otoriter, katanya, karena semuanya dilakukan secara demokratis sesuai dengan aturan, dari Pancasila, UUD 1945, UU, hingga perda.
Dengan rumusan ini, Bupati Pranda menyiratkan dirinya sebagai pemimpin demokratis, bukan pemimpin otoriter. Menurut teori, pemimpin demokratis adalah pemimpin yang menghargai musyawarah. Sebaliknya, pemimpin otoriter menafikannya dan hanya menghargai kehendaknya sendiri.
Pemimpin demokratis menghargai lonto leok padir wa’i rentu sa’i. Ungkapan Manggarai ini sering digunakan Bupati Pranda. Juga ketika dimintai tanggapannya di Labuan Bajo, Jumat 19 Juni 2009, perihal penolakan sejumlah elemen masyarakat terhadap tambang. “Kita di Mabar ini sampai sekarang masih junjung tinggi budaya setempat. Kita selesaikan segala permasalahan dengan baik secara bersama-sama.”
Pernyataannya terdengar indah bak nyanyian surga. Kenyataannya, dalam kasus tambang, indah kata dari rupa. Satu contoh saja. Bupati Pranda sudah mengeluarkan izin eksplorasi tambang emas di Batu Gosok. Izin dikeluarkannya tanpa lonto leok padir wa’i rentu sa’i dengan DPRD dan masyarakat pemilih tanah. Cara yang tidak demokratis inilah yang antara lain ditolak masyarakat.
Karena itu, dengan getir kita harus mengatakan, dalam kasus tambang, kata-kata indah sang bupati hanyalah omdo (omong doang), asbun (asal bunyi), astaga (asal statement gagah). Ilmu sosial menggolongkannya sebagai pembohongan publik. Ilmu logika menyebutnya sebagai factually empty, istilah untuk suatu keterangan yang tidak mempunyai isi kenyataan (factual content).
Kita perlu segera menyampaikan ini sebagai kritik. Bukan karena tidak suka pada seorang Pranda, tapi sebaliknya karena gembira lantaran ia sudah menyiratkan diri sebagai pemimpin demokratis. Pemimpin demokratis adalah pemimpin yang menghargai kritik sebagai bentuk kontrol. Kontrol diperlukan karena pemimpin memiliki kekuasaan. Dan kekuasaan selalu cenderung menyeleweng. Power tends to corrupt, kata Lord Acton.
Perihal kecenderungan itu, psikologi kekuasaan di mana-mana sama. Kecenderungan kekuasaan untuk memperbesar diri jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi diri. Kecenderungan kekuasaan untuk membenarkan diri juga berkali-kali lebih besar daripada kemampuannya mengritik dan mengawasi diri . Karena itulah, pengawasan, kritik, perlu datang dari luar diri pemimpin, tidak cukup hanya dari dalam dirinya sendiri
Harapan kita, dengan kritik dari luar, Bupati Pranda menyadari kesalahannya. Cabut itu izin tambang. Mulailah, lonto leok padir wa’i rentu sa’i.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 25 Juni 2009
Label:
bupati fidelis pranda,
flores,
flores pos,
kasus pertambangan,
mabar,
pemimpin demokratis,
pertambangan
23 Juni 2009
Orangtua Jadi Sapi Perah
Pungutan di SMAK Setiawan Nangaroro
Oleh Frans Anggal
SMAK Setiawan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, memungut Rp200 ribu per siswa saat ambil ijazah. Orangtua mengeluh. Mereka juga tak tahu peruntukannya. Menurut Kasek Siprianus Laki Lay, ini untuk pembangunan ruang kelas baru dan administrasi urus ijazah. Sudah disepakati komite dalam rapat sebelum pengumuman UN. “Namanya juga sumbangan, berapa yang diberikan, itulah yang diterima sekolah.” SMAK Setiawan sekolah swasta dan benar-benar terapkan otonomi sekolah, kata kasek. Tahun ini sekolah dapat block grand Rp110 juta. Tapi ada juga kontribusi sekolah 25 persen. “Ini otonomi sekolah. Bantuan pemerintah memang ada, tetapi sering datang terlambat.”
Pungutan selalu punya dasar, punya tujuan. Pada kasus ini, dasarnya otonomi sekolah dan kesepakatan komite. Tujuannya bangun ruang kelas baru dan biaya urus ijazah. Di mana-mana begitu. Dasar dan tujuannya selalu jelas. Menjadi soal: apakah ‘jelas’ itu juga berarti ‘benar’?
Kasek pakai dasar otonomi sekolah. Apakah maksudnya adalah otonomi pendidikan (otdik)? Otdik merupakan sintesis antara kebijakan makro (visi dan kebijakan menteri pendidikan tentang tujuan pendidikan nasional dan perangkat praktisnya) dan kebijakan mikro (sistem organisasi sekolah, pengayaan kurikulum, tanggung jawab sekolah atas program formasi, dan lain-lain). Dalam level mikro ini, orangtua dan komite dilibatkan sebagai partner.
Dengannya, otdik mengandung 3 dimensi. Dimensi partisipatif: kesinambungan pendampingan orangtua pada anak didik pascasekolah. Dimensi komunikatif: sistem kontrol serta transparansi keuangan dan perencanaan program formatif sekolah. Dimensi konsiliatif: keterbukaan sekolah menerima masukan masyarakat berkaitan dengan program pendidikan yang ditawarkan.
Bagimana dimensi ini pada pungutan SMAK Setiawan Nangaroro? Pertama, orangtua keluhkan besarannya. Artinya apa? Dimensi konsiliatif otdik tidak beres. Sekolah tidak terbuka menerima masukan orangtua dan tidak peka terhadap keadaan ekonomi mereka. Setelah orangtua mengeluh, barulah sekolah putar kata: ini bukan pungutan, tapi sumbangan, kasih berapa saja boleh. Kedua, orangtua tidak tahu peruntukan pungutan. Artinya apa? Dimensi komunikatif otdik juga tidak beres. Yang ini penyakit umum. Bikin pungutan kaget pakai dasar kesepakatan komite.
Pungutan jenis ini ‘disepakati’ tidak pada awal tahun atau awal semester. Munculnya kagetan jelang terima amplop UN. Sekolah tunggu di tikungan terakhir, sehingga orangtua terpaksa ikut saja karena dijadikan semacam syarat terima ijazah. Peran komite? Komite bagai kerbau dicocok hidung. Mudah didikte sehingga sekadar jadi tukang stempel kesewenang-wenangan sekolah. Stempel komitelah yang dipakai sekolah sebagai dasar pungutan kaget.
Otdik telah direduksi jadi otsek (otonomi sekolah), direduksi lagi jadi otpungsek (otonomi pungutan sekolah). Orangtua bukan partner, tapi sapi perah.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 24 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
SMAK Setiawan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, memungut Rp200 ribu per siswa saat ambil ijazah. Orangtua mengeluh. Mereka juga tak tahu peruntukannya. Menurut Kasek Siprianus Laki Lay, ini untuk pembangunan ruang kelas baru dan administrasi urus ijazah. Sudah disepakati komite dalam rapat sebelum pengumuman UN. “Namanya juga sumbangan, berapa yang diberikan, itulah yang diterima sekolah.” SMAK Setiawan sekolah swasta dan benar-benar terapkan otonomi sekolah, kata kasek. Tahun ini sekolah dapat block grand Rp110 juta. Tapi ada juga kontribusi sekolah 25 persen. “Ini otonomi sekolah. Bantuan pemerintah memang ada, tetapi sering datang terlambat.”
Pungutan selalu punya dasar, punya tujuan. Pada kasus ini, dasarnya otonomi sekolah dan kesepakatan komite. Tujuannya bangun ruang kelas baru dan biaya urus ijazah. Di mana-mana begitu. Dasar dan tujuannya selalu jelas. Menjadi soal: apakah ‘jelas’ itu juga berarti ‘benar’?
Kasek pakai dasar otonomi sekolah. Apakah maksudnya adalah otonomi pendidikan (otdik)? Otdik merupakan sintesis antara kebijakan makro (visi dan kebijakan menteri pendidikan tentang tujuan pendidikan nasional dan perangkat praktisnya) dan kebijakan mikro (sistem organisasi sekolah, pengayaan kurikulum, tanggung jawab sekolah atas program formasi, dan lain-lain). Dalam level mikro ini, orangtua dan komite dilibatkan sebagai partner.
Dengannya, otdik mengandung 3 dimensi. Dimensi partisipatif: kesinambungan pendampingan orangtua pada anak didik pascasekolah. Dimensi komunikatif: sistem kontrol serta transparansi keuangan dan perencanaan program formatif sekolah. Dimensi konsiliatif: keterbukaan sekolah menerima masukan masyarakat berkaitan dengan program pendidikan yang ditawarkan.
Bagimana dimensi ini pada pungutan SMAK Setiawan Nangaroro? Pertama, orangtua keluhkan besarannya. Artinya apa? Dimensi konsiliatif otdik tidak beres. Sekolah tidak terbuka menerima masukan orangtua dan tidak peka terhadap keadaan ekonomi mereka. Setelah orangtua mengeluh, barulah sekolah putar kata: ini bukan pungutan, tapi sumbangan, kasih berapa saja boleh. Kedua, orangtua tidak tahu peruntukan pungutan. Artinya apa? Dimensi komunikatif otdik juga tidak beres. Yang ini penyakit umum. Bikin pungutan kaget pakai dasar kesepakatan komite.
Pungutan jenis ini ‘disepakati’ tidak pada awal tahun atau awal semester. Munculnya kagetan jelang terima amplop UN. Sekolah tunggu di tikungan terakhir, sehingga orangtua terpaksa ikut saja karena dijadikan semacam syarat terima ijazah. Peran komite? Komite bagai kerbau dicocok hidung. Mudah didikte sehingga sekadar jadi tukang stempel kesewenang-wenangan sekolah. Stempel komitelah yang dipakai sekolah sebagai dasar pungutan kaget.
Otdik telah direduksi jadi otsek (otonomi sekolah), direduksi lagi jadi otpungsek (otonomi pungutan sekolah). Orangtua bukan partner, tapi sapi perah.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 24 Juni 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
nagekeo,
otonomi pendidikan,
otonomi pungutan sekolah,
otonomi sekolah,
pendidikan,
pungutan sekolah,
smak setiawan nangaroro
Halo, Pemkab Nagekeo?
Tiga Tahun Skabies di Desa Waekokak
Oleh Frans Anggal
Sudah 3 tahun skabies menyerang penduduk dan ternak kambing di Desa Waekokak, Kec. Aesesa, Kab. Nagekeo. “Sejak 2007 skabies menyerang kambing sampai berkandang-kandang mati. Juga menyerang manusia yang sampai sekarang belum sembuh-sembuh,” kata Sekdes Andreas Tay di Waekokak, Kamis 18 Juni 2009. Penyuluh pernah datang ambil sampel, tetapi seperti apa hasilnya tidak diketahui masyarakat. Belum ada petunjuk dari pertugas tentang cara mencegah dan mengatasi penyakit kulit ini.
Tiga tahun! Begitu lamanya warga menderita. Mereka tidak dapat mengaktulisasikan seluruh potensinya untuk mengembangkan diri sebagai manusia berharkat dan bermartabat. Mereka terpuruk ke taraf sub-human.
Kondisi mereka menyingkapkan satu hal. Mereka bukan hanya korban skabies, tapi juga dan ini yang utama: korban ketidakpedulian pemerintah selaku pengemban kekuasaan negara. Pemerintah tidak “berbuat sesuatu”, apalagi “berbuat banyak”. Padahal, “berbuat banyak” itu kewajibannya di hadapan hak asasi warga atas kesehatan dan standar pelayanan kesehatan tertinggi.
Di sinilah bedanya hak asasi bidang kesehatan (economic, social and cultural rights) dengan hak asasi bidang politik (political and civil rights). Di bidang politik, hak warga mewajibkan negara berperan minimal. Semakin minimal intervensi dan kontrol negara, samakin terjamin hak politik warga. Di bidang kesehatan, sebaliknya. Hak warga mewajibkan negara berperan maksimal. Semakin maksimal intervensi dan kontrol negara, semakin terjamin hak kesehatan warga. Di bidang ini, pemerintah dituntut aktif dan proaktif “berbuat sebanyak-banyaknya”.
Ini yang tidak terjadi dalam kasus skabies di Waekokak. Jangankan “berbuat sebanyak-banyaknya”, “berbuat sesuatu” saja tidak. Kalaupun ada, paling-paling pengambilan sampel oleh penyuluh. Habis ambil sampel, penyuluh hilang. Tiga tahun tak ada kabar, tak ada tindak lanjut. Tiga tahun pula warga bergulat dengan skabies, sendirian, dalam ketidaktahuan, tanpa penyuluhan, tanpa pengobatan. Seakan tidak ada pemerintah, tak ada Pemkab Nagekeo.
Tidak berlebihan, pemkab telah melakukan pelanggran HAM. Pelanggaran by omission (pembiaran). Bisa jadi juga pelanggaran by commission (kesengajaan) kalau pemkab diskriminatif dalam alokasi dana publik yang mengakibatkan kecilnya dana layanan kesehatan, khususnya bagi golongan tidak mampu.
Beli mobil dinas berujung masalah, pemkab mau dan mampu. Kenapa untuk tangani skabies tidak? Elie Wiesel penerima Nobel Perdamaian 1986 mengatakan, kesehatan warga takkan dapat dibangun tanpa memperhatikan aspek dan komponennya berupa HAM. Jangan-jangan masalahnya di situ. Pemkab belum menganggap kesehatan warga sebagai hak asasi yang harus dipenuhinya secara aktif, proaktif, dan maksimal. Halo, Pemkab Nagekeo?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 23 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Sudah 3 tahun skabies menyerang penduduk dan ternak kambing di Desa Waekokak, Kec. Aesesa, Kab. Nagekeo. “Sejak 2007 skabies menyerang kambing sampai berkandang-kandang mati. Juga menyerang manusia yang sampai sekarang belum sembuh-sembuh,” kata Sekdes Andreas Tay di Waekokak, Kamis 18 Juni 2009. Penyuluh pernah datang ambil sampel, tetapi seperti apa hasilnya tidak diketahui masyarakat. Belum ada petunjuk dari pertugas tentang cara mencegah dan mengatasi penyakit kulit ini.
Tiga tahun! Begitu lamanya warga menderita. Mereka tidak dapat mengaktulisasikan seluruh potensinya untuk mengembangkan diri sebagai manusia berharkat dan bermartabat. Mereka terpuruk ke taraf sub-human.
Kondisi mereka menyingkapkan satu hal. Mereka bukan hanya korban skabies, tapi juga dan ini yang utama: korban ketidakpedulian pemerintah selaku pengemban kekuasaan negara. Pemerintah tidak “berbuat sesuatu”, apalagi “berbuat banyak”. Padahal, “berbuat banyak” itu kewajibannya di hadapan hak asasi warga atas kesehatan dan standar pelayanan kesehatan tertinggi.
Di sinilah bedanya hak asasi bidang kesehatan (economic, social and cultural rights) dengan hak asasi bidang politik (political and civil rights). Di bidang politik, hak warga mewajibkan negara berperan minimal. Semakin minimal intervensi dan kontrol negara, samakin terjamin hak politik warga. Di bidang kesehatan, sebaliknya. Hak warga mewajibkan negara berperan maksimal. Semakin maksimal intervensi dan kontrol negara, semakin terjamin hak kesehatan warga. Di bidang ini, pemerintah dituntut aktif dan proaktif “berbuat sebanyak-banyaknya”.
Ini yang tidak terjadi dalam kasus skabies di Waekokak. Jangankan “berbuat sebanyak-banyaknya”, “berbuat sesuatu” saja tidak. Kalaupun ada, paling-paling pengambilan sampel oleh penyuluh. Habis ambil sampel, penyuluh hilang. Tiga tahun tak ada kabar, tak ada tindak lanjut. Tiga tahun pula warga bergulat dengan skabies, sendirian, dalam ketidaktahuan, tanpa penyuluhan, tanpa pengobatan. Seakan tidak ada pemerintah, tak ada Pemkab Nagekeo.
Tidak berlebihan, pemkab telah melakukan pelanggran HAM. Pelanggaran by omission (pembiaran). Bisa jadi juga pelanggaran by commission (kesengajaan) kalau pemkab diskriminatif dalam alokasi dana publik yang mengakibatkan kecilnya dana layanan kesehatan, khususnya bagi golongan tidak mampu.
Beli mobil dinas berujung masalah, pemkab mau dan mampu. Kenapa untuk tangani skabies tidak? Elie Wiesel penerima Nobel Perdamaian 1986 mengatakan, kesehatan warga takkan dapat dibangun tanpa memperhatikan aspek dan komponennya berupa HAM. Jangan-jangan masalahnya di situ. Pemkab belum menganggap kesehatan warga sebagai hak asasi yang harus dipenuhinya secara aktif, proaktif, dan maksimal. Halo, Pemkab Nagekeo?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 23 Juni 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
kesehatan,
nagekeo,
pemkab nagekeo langgar ham,
skabies di dewa waekokak
21 Juni 2009
Pernyataan Bupati Pranda
Kontroversi Tambang di Manggarai Barat
Oleh Frans Anggal
Bupati Mabar Fidelis Pranda mengatakan, dalam pembangunan, bidang satu tidak boleh bertentangan dengan bidang lain. Sebab, tiap bidang saling terkait. Pertambangan, misalnya, perlu sejalan dengan tata ruang, tapi tidak boleh bertantangan dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini dikatakannya di Labuan Bajo, Jumat 19 Juni 2009, ketika ditanyai tanggapannya atas penolakan sejumlah elemen masyarakat terhadap tambang Mabar. “Kita di Mabar ini sampai sekarang masih junjung tinggi budaya setempat secara penuh, seperti budaya lonto leok padir wa’i rentu sa’i. Kita selesaikan segala permasalahan dengan baik secara bersama-sama,” kata Pranda.
Sebagai hal yang seharusnya (das Sollen), pernyataan Bupati Pranda itu benar. Sebaliknya, sebagai hal yang nyata terjadi (das Sein), pernyataannya bukanlah kenyataan. Mari kita simak tiga poin pernyataannya.
Pertama, soal budaya setempat. Bupati Pranda sudah keluarkan izin eksplorasi tambang untuk 8 titik. Di Tebedo, Batu Gosok, dll. Izin ini tidak sepengetahuan dan/atau sepersetujuan DPRD. Di lokasi tambang emas Batu Gosok, ekplorasinya tanpa pendekatan dan/atau persetujuan masyarakat pemilik tanah. Nah, di mana itu budaya setempat lonto leok padir wa’i rentu sa’i (musyawarah untuk mufakat) yang katanya masih dijunjung tinggi di Mabar?
Kedua, soal bidang satu tidak boleh bertentangan dengan bidang lain. Ambil contoh Batu Gosok. Menurut Perda NTT No 9/2005, Bau Gosok masuk wilayah kota nasional, seperti halnya Kupang, Atambua, dan Waingapu. Sedangkan menurut Perda Mabar No 30/2005, Batu Gosok masuk wilayah pariwisata. Jadi, Batu Gosok itu ‘kota’, ‘kota pariwisata’ pula. Apa waras buka tambang terbuka dalam kota? Apa masuk akal sanding-sepelaminkan tambang yang merusak lingkungan dengan pariwisata yang mengharuskan pelestariannya? Ini namanya pembangunan kawin paksa.
Begitu juga di Tebedo. Ini wilayah pertanian subur. Bisa hidup semua jenis buah-buahan seperti durian, salak, rambutan. Sumber air minum yang dekat kampung hanya satu. Agak jauh, ada 6 sumber mata air yang mengalir ke arah Labuan Bajo. Kalau Tebedo ditambangkan, yang jadi korban bukan hanya warga dan wilayah ini, tapi juga kota pariwisata Labuan Bajo dan sekitarnya.
Ketiga, soal tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Tambang Batu Gosok itu sudah melanggar perda NTT dan perda Mabar. Juga melanggar UU Mineral dan Batu Bara yang mengharuskan adanya persetujuan dari pemegang hak atas tanah. Yang terjadi di Batu Gosok itu penyerobotan. Ini sudah termasuk delik. Belum lagi kalau diwawas pakai UU lain seperti UU HAM, UU Lingkungan Hidup, hingga konstitusi UUD 1945.
Kita berharap, ketiga pernyataan indah Bupati Pranda itu (das Sollen) menjadi kenyataan (das Sein). Jangan, sendiri omong, sendiri bantah. Sendiri junjung, sendiri injak.
“Bentara” FLORES POS, Senin 22 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Bupati Mabar Fidelis Pranda mengatakan, dalam pembangunan, bidang satu tidak boleh bertentangan dengan bidang lain. Sebab, tiap bidang saling terkait. Pertambangan, misalnya, perlu sejalan dengan tata ruang, tapi tidak boleh bertantangan dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini dikatakannya di Labuan Bajo, Jumat 19 Juni 2009, ketika ditanyai tanggapannya atas penolakan sejumlah elemen masyarakat terhadap tambang Mabar. “Kita di Mabar ini sampai sekarang masih junjung tinggi budaya setempat secara penuh, seperti budaya lonto leok padir wa’i rentu sa’i. Kita selesaikan segala permasalahan dengan baik secara bersama-sama,” kata Pranda.
Sebagai hal yang seharusnya (das Sollen), pernyataan Bupati Pranda itu benar. Sebaliknya, sebagai hal yang nyata terjadi (das Sein), pernyataannya bukanlah kenyataan. Mari kita simak tiga poin pernyataannya.
Pertama, soal budaya setempat. Bupati Pranda sudah keluarkan izin eksplorasi tambang untuk 8 titik. Di Tebedo, Batu Gosok, dll. Izin ini tidak sepengetahuan dan/atau sepersetujuan DPRD. Di lokasi tambang emas Batu Gosok, ekplorasinya tanpa pendekatan dan/atau persetujuan masyarakat pemilik tanah. Nah, di mana itu budaya setempat lonto leok padir wa’i rentu sa’i (musyawarah untuk mufakat) yang katanya masih dijunjung tinggi di Mabar?
Kedua, soal bidang satu tidak boleh bertentangan dengan bidang lain. Ambil contoh Batu Gosok. Menurut Perda NTT No 9/2005, Bau Gosok masuk wilayah kota nasional, seperti halnya Kupang, Atambua, dan Waingapu. Sedangkan menurut Perda Mabar No 30/2005, Batu Gosok masuk wilayah pariwisata. Jadi, Batu Gosok itu ‘kota’, ‘kota pariwisata’ pula. Apa waras buka tambang terbuka dalam kota? Apa masuk akal sanding-sepelaminkan tambang yang merusak lingkungan dengan pariwisata yang mengharuskan pelestariannya? Ini namanya pembangunan kawin paksa.
Begitu juga di Tebedo. Ini wilayah pertanian subur. Bisa hidup semua jenis buah-buahan seperti durian, salak, rambutan. Sumber air minum yang dekat kampung hanya satu. Agak jauh, ada 6 sumber mata air yang mengalir ke arah Labuan Bajo. Kalau Tebedo ditambangkan, yang jadi korban bukan hanya warga dan wilayah ini, tapi juga kota pariwisata Labuan Bajo dan sekitarnya.
Ketiga, soal tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Tambang Batu Gosok itu sudah melanggar perda NTT dan perda Mabar. Juga melanggar UU Mineral dan Batu Bara yang mengharuskan adanya persetujuan dari pemegang hak atas tanah. Yang terjadi di Batu Gosok itu penyerobotan. Ini sudah termasuk delik. Belum lagi kalau diwawas pakai UU lain seperti UU HAM, UU Lingkungan Hidup, hingga konstitusi UUD 1945.
Kita berharap, ketiga pernyataan indah Bupati Pranda itu (das Sollen) menjadi kenyataan (das Sein). Jangan, sendiri omong, sendiri bantah. Sendiri junjung, sendiri injak.
“Bentara” FLORES POS, Senin 22 Juni 2009
Label:
batu gosok,
bentara,
bupati fidelis pranda,
eksplorasi tambang,
flores,
flores pos,
manggarai barat,
pertambangan,
tebedo
19 Juni 2009
Pilpres & Logika Bengkok
Mengkritik Pernyataan Tim Pemenangan Pilpres
Oleh Frans Anggal
Gabriel Suku Kotan mengatakan, masyarakat harus memilih paket capres-cawapres yang berpeluang menang pada pilpres 8 Juli 2009. Paket SBY-Budiono. Peluang menang paket ini didasarkan pada tingkat elektabilitasnya sebesar 71 persen, menurut hasil survei LSI. “Kalau masyarakat NTT umumnya dan Flores-Lembata khususnya tidak memilih SBY maka suara yang diberikan nanti sia-sia. Dengan demikian, NTT akan tetap terkebelakang seperti sekarang,“ kata Suku Kotan di Kupang, Selasa 16 Juni 2009. Dia Koordinator Pemenangan SBY-Budiono untuk Kabupaten Lembata, Alor, Flotim.
Itulah propaganda musim kampanye. Hal yang sama dilakukan tim Mega-Pro dan JK-Win. Berapi-api, mau meyakinkan. Segala jenis argumentasi pun digunakan, termasuk yang menyalahi logika. Logika bengkok. Apa yang bengkok dari pernyataan Suku Kotan?
Pertama, ia mengatakan, SBY-Budiono berpeluang menang karena begitulah hasil survei LSI. Ini namanya argumentum ad auctoritatem (Latin: auctoritas = kewibawaan). Nilai penalaran ditentukan oleh otoritas atau kewibawaan pihak yang mengemukakannya. Seolah-olah, karena LSI yang omong maka otomatis benar. Padahal, belum tentu.
Yang disampaikan LSI itu hasil survei, bukan hasil pilpres. Survei itu sendiri dibuat atas pesanan tim SBY-Budiono untuk tujuan pencitraan. Kalau tujuannya pencitraan maka hasil survei bisa lain bahkan harus lain jika yang memesan adalah paket lain. Hasil survei tergantung dari banyak faktor. Metodologinya, waktu dan tempatnya, respondennya, pemesannya, tujuannya, dan ongkosnya.
Kedua, Suku Kotan mengatakan, kalau masyarakat NTT tidak memilih SBY maka suara yang diberikan nanti sia-sia. Dengan demikian, NTT akan tetap terkebelakang seperti sekarang. Ini namanya argumentum ad baculum (Latin: baculus = pentungan). Argumen ancaman yang mendesak orang agar menerima simpulan dengan alasan bahwa jika ditolak maka muncul akibat buruk. Seakan-akan, tanpa SBY-Budiono, NTT hancur terus. Padahal, belum tentu.
Yang sekarang memerintah, siapa? SBY! Hasilnya? Suku Kotan sendiri sebenarnya sudah menjawab dengan mengatakan, “NTT tetap terkebelakang seperti sekarang.” Artinya, tetap terkebelakang seperti pada masa pemerintahan SBY sekarang ini. Kalau pada masa pemerintahannya sekarang NTT tetap terkebelakang, mengapa harus pilih lagi dia? Untuk apa memilih kembali yang sudah terbukti dan teruji gagal melepaskan NTT dari keterbelakangan?
Yang kita kritik di sini bukan SBY-nya, tapi logika yang digunakan timnya. Logika bengkok. Logika serupa dipakai tim Mega-Pro dan JK-Win dalam kasus lain, bahkan oleh ketiga paket itu sendiri. Ini tidak mencerdaskan masyarakat.
Kita citakan pilpres bermutu. Salah satu cirinya, tertib berpikir, sahih bernalar. Tanpa itu, masyarakat selalu jadi korban. Disesatkan dan dibodohkan.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 20 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Gabriel Suku Kotan mengatakan, masyarakat harus memilih paket capres-cawapres yang berpeluang menang pada pilpres 8 Juli 2009. Paket SBY-Budiono. Peluang menang paket ini didasarkan pada tingkat elektabilitasnya sebesar 71 persen, menurut hasil survei LSI. “Kalau masyarakat NTT umumnya dan Flores-Lembata khususnya tidak memilih SBY maka suara yang diberikan nanti sia-sia. Dengan demikian, NTT akan tetap terkebelakang seperti sekarang,“ kata Suku Kotan di Kupang, Selasa 16 Juni 2009. Dia Koordinator Pemenangan SBY-Budiono untuk Kabupaten Lembata, Alor, Flotim.
Itulah propaganda musim kampanye. Hal yang sama dilakukan tim Mega-Pro dan JK-Win. Berapi-api, mau meyakinkan. Segala jenis argumentasi pun digunakan, termasuk yang menyalahi logika. Logika bengkok. Apa yang bengkok dari pernyataan Suku Kotan?
Pertama, ia mengatakan, SBY-Budiono berpeluang menang karena begitulah hasil survei LSI. Ini namanya argumentum ad auctoritatem (Latin: auctoritas = kewibawaan). Nilai penalaran ditentukan oleh otoritas atau kewibawaan pihak yang mengemukakannya. Seolah-olah, karena LSI yang omong maka otomatis benar. Padahal, belum tentu.
Yang disampaikan LSI itu hasil survei, bukan hasil pilpres. Survei itu sendiri dibuat atas pesanan tim SBY-Budiono untuk tujuan pencitraan. Kalau tujuannya pencitraan maka hasil survei bisa lain bahkan harus lain jika yang memesan adalah paket lain. Hasil survei tergantung dari banyak faktor. Metodologinya, waktu dan tempatnya, respondennya, pemesannya, tujuannya, dan ongkosnya.
Kedua, Suku Kotan mengatakan, kalau masyarakat NTT tidak memilih SBY maka suara yang diberikan nanti sia-sia. Dengan demikian, NTT akan tetap terkebelakang seperti sekarang. Ini namanya argumentum ad baculum (Latin: baculus = pentungan). Argumen ancaman yang mendesak orang agar menerima simpulan dengan alasan bahwa jika ditolak maka muncul akibat buruk. Seakan-akan, tanpa SBY-Budiono, NTT hancur terus. Padahal, belum tentu.
Yang sekarang memerintah, siapa? SBY! Hasilnya? Suku Kotan sendiri sebenarnya sudah menjawab dengan mengatakan, “NTT tetap terkebelakang seperti sekarang.” Artinya, tetap terkebelakang seperti pada masa pemerintahan SBY sekarang ini. Kalau pada masa pemerintahannya sekarang NTT tetap terkebelakang, mengapa harus pilih lagi dia? Untuk apa memilih kembali yang sudah terbukti dan teruji gagal melepaskan NTT dari keterbelakangan?
Yang kita kritik di sini bukan SBY-nya, tapi logika yang digunakan timnya. Logika bengkok. Logika serupa dipakai tim Mega-Pro dan JK-Win dalam kasus lain, bahkan oleh ketiga paket itu sendiri. Ini tidak mencerdaskan masyarakat.
Kita citakan pilpres bermutu. Salah satu cirinya, tertib berpikir, sahih bernalar. Tanpa itu, masyarakat selalu jadi korban. Disesatkan dan dibodohkan.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 20 Juni 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
logika,
logika tim pemenangan pilpres 2009,
ntt,
pilpres 2009,
politik
18 Juni 2009
Siapa Dulu Bupatinya
Pemberlakukan UPTSP di Kabupaten Flotim
Oleh Frans Anggal
Kabupaten Flotim maju selangkah lagi. Setelah beberapa tahun lalu merampingkan struktur birokrasi, kini Selasa 16 Juni 2009 kabupaten Simon Hayon dan Yoseph Lagadoni Herin ini memberlakukan Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPTSP).
Tempo hari, dengan merampingkan birokrasi, Flotim menghemat Rp6 miliar setahun. Dana ini digelontorkan ke desa untuk membangun berbagai infrastruktur vital. Sekarang, dengan UPTSP, apa yang akan didapat? Banyak, dilihat dari tujuannya.
UPTSP betujuan (1) menyederhanakan perizinan (debirokratisasi dan deregulasi); (2) meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat umumnya dan dunia usaha khususnya; (3) menciptakan transparansi perizinan serta memberikan pelayanan yang mudah, cepat, dan murah; (4) memberikan jaminan kepastian hukum; (5) merangsang pertumbuhan ekonomi; (6) memberikan peluang investasi demi meningkatkan perekonomian daerah.
Semua tujuan itu bersifat kualitatif. Kata kuncinya: “pelayanan” yang “memuaskan masyarakat” sehingga meningkatkan “kepercayaan masyarakat” kepada pemerintah. Pencapaian ini akan membawa dampak finansial juga. Kabupaten Serdang Bedagai sudah buktikan. Pendapatan retribusi dari 8 jenis perizinan melalui UPTSP meningkat tajam dibandingkan periode yang sama tahun sebelum UPTSP diberlakukan. Januari-April 2006 (sebelum UPTSP) retribusinya Rp202 juta. Januari-April 2007 (setelah UPTSP) menjadi Rp516 juta. Naik 155 persen!
Bagi Flotim yang sudah memulai UPTSP, pencapaian kualitatif dan kuantitatif ini sudah di depan mata. Beda dengan kabupaten lain, lamban! Permendagri No 20/2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tatakerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah sudah memberikan tenggat 1 tahun sejak penetapannya 13 Maret 2008. Hari ini 19 Juni 2009, sudah 1 tahun 3 bulan lewat. Namun, di Indonesia baru 72 daerah punya UPTSP. Di NTT, Flotim yang ketiga.
Kenapa daerah lain lamban? Jawabannya: mental birokrat dan kemauan politik (pilitical will) kepala daerah. Dalam pelayanan publik, birokrokrat mengidap sebuah ‘penyakit keturunan’. Birokratisasi panjang, berbelit, lama, dan mahal. Makin panjang, lama , dan banyak persinggahan, makin banyak duit masyarakat terkuras. Masyarakat rugi. Justru karena itu birokat untung. Pokoknya, kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat? Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah? Kalau bisa mahal, kenapa harus murah? Kalau bisa curang, kenapa harus jujur? UPTSP hanya bikin semua keuntungan itu hilang. Birokrat pun resisten. Maka, kalau UPTSP bisa tahun depan, kenapa harus tahun ini?
Di hadapan resistensi birokrat, kepemimpinan kepala daerah sangat menentukan. Kuncinya dia. Cepat atau lamban tergantung dari ada tidak kemauan politiknya. Jadi, perihal UPTSP, tergantung: siapa dulu bupatinya.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 19 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Kabupaten Flotim maju selangkah lagi. Setelah beberapa tahun lalu merampingkan struktur birokrasi, kini Selasa 16 Juni 2009 kabupaten Simon Hayon dan Yoseph Lagadoni Herin ini memberlakukan Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPTSP).
Tempo hari, dengan merampingkan birokrasi, Flotim menghemat Rp6 miliar setahun. Dana ini digelontorkan ke desa untuk membangun berbagai infrastruktur vital. Sekarang, dengan UPTSP, apa yang akan didapat? Banyak, dilihat dari tujuannya.
UPTSP betujuan (1) menyederhanakan perizinan (debirokratisasi dan deregulasi); (2) meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat umumnya dan dunia usaha khususnya; (3) menciptakan transparansi perizinan serta memberikan pelayanan yang mudah, cepat, dan murah; (4) memberikan jaminan kepastian hukum; (5) merangsang pertumbuhan ekonomi; (6) memberikan peluang investasi demi meningkatkan perekonomian daerah.
Semua tujuan itu bersifat kualitatif. Kata kuncinya: “pelayanan” yang “memuaskan masyarakat” sehingga meningkatkan “kepercayaan masyarakat” kepada pemerintah. Pencapaian ini akan membawa dampak finansial juga. Kabupaten Serdang Bedagai sudah buktikan. Pendapatan retribusi dari 8 jenis perizinan melalui UPTSP meningkat tajam dibandingkan periode yang sama tahun sebelum UPTSP diberlakukan. Januari-April 2006 (sebelum UPTSP) retribusinya Rp202 juta. Januari-April 2007 (setelah UPTSP) menjadi Rp516 juta. Naik 155 persen!
Bagi Flotim yang sudah memulai UPTSP, pencapaian kualitatif dan kuantitatif ini sudah di depan mata. Beda dengan kabupaten lain, lamban! Permendagri No 20/2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tatakerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah sudah memberikan tenggat 1 tahun sejak penetapannya 13 Maret 2008. Hari ini 19 Juni 2009, sudah 1 tahun 3 bulan lewat. Namun, di Indonesia baru 72 daerah punya UPTSP. Di NTT, Flotim yang ketiga.
Kenapa daerah lain lamban? Jawabannya: mental birokrat dan kemauan politik (pilitical will) kepala daerah. Dalam pelayanan publik, birokrokrat mengidap sebuah ‘penyakit keturunan’. Birokratisasi panjang, berbelit, lama, dan mahal. Makin panjang, lama , dan banyak persinggahan, makin banyak duit masyarakat terkuras. Masyarakat rugi. Justru karena itu birokat untung. Pokoknya, kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat? Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah? Kalau bisa mahal, kenapa harus murah? Kalau bisa curang, kenapa harus jujur? UPTSP hanya bikin semua keuntungan itu hilang. Birokrat pun resisten. Maka, kalau UPTSP bisa tahun depan, kenapa harus tahun ini?
Di hadapan resistensi birokrat, kepemimpinan kepala daerah sangat menentukan. Kuncinya dia. Cepat atau lamban tergantung dari ada tidak kemauan politiknya. Jadi, perihal UPTSP, tergantung: siapa dulu bupatinya.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 19 Juni 2009
Label:
bentara,
birokrasi,
birokrasi flotim,
flores,
flores pos,
flotim,
simon hayon dan yoseph lagadoni herin,
uptsp,
uptsp flotim
17 Juni 2009
Biang Kerok, Pemerintah
Kasus Ketidaklulusan UN di Sikka
Oleh Frans Anggal
Salah satu orangtua siswa SMA Alvares Paga, Kabupaten Sikka, yang anaknya tidak lulus ujian nasional (UN) 2009 mengancam membakar dan melempar sekolah. Aksinya menimbulkan ketakutan pihak sekolah. Kasek dan para guru tidak bisa keluar selama empat jam. Situasi baru teratasi setelah polisi datang.
Kepala SMA Alvares Paga Romo Carolus Sola O.Carm mengakui kelulusan UN pada sekolahnya tahun ini memang rendah, hanya 64,60 persen. Dari 61 peserta, 40 lulus, 21 tidak lulus. Nasib serupa menimpa rata-rata SMA di Kabupaten Sikka. Dibandingkan tahun lalu, tahun ini persentase kelulusan menurun tajam, dua digit, dari 58 persen menjadi hanya 44,87 persen.
Persentase itu adalah angka.Dan angka itu hanya menunjukkan pencapaian: sukses atau gagal. Bagaimana pencapaian itu dihadapi, bukan perkara angka lagi. Ini perkara manusia. Manusia bisa menerima, bisa juga menolaknya. Itu bukan soal. Yang sering jadi soal adalah caranya.
Dalam kasus SMA Alvares Paga, cara si orangtua siswa jelas salah. Mengancam membakar dan melempar sekolah tidak dapat dibenarkan. Tentang ini, tak perlu diuraikan panjang lebar. Sudah jelas. Justru karena itu, kita perlu beranjak dengan empati: mengapa si orangtua sampai mengamuk. Mungkin ia mengalami depresi. Ongkos sekolah mahal-mahal, hasilnya nol. Ia kecewa, marah. Ia lampiaskan semuanya kepada sekolah. Kasihan sekolah, selalu jadi korban. Padahal ia bukan biang kerok. Biang keroknya adalah pemerintah.
Pemerintah mencaplok otonomi sekolah dan kewenangan pendidik. UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas menyebutkan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan, guru dan dosen berhak memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan.
Praktiknya? Omong kosong. Hak sekolah dan guru masih tetap saja dirampas oleh pemerintah melalui sistem standar nilai kelulusan UN. Sistem penilaiannya sendiri pincang. Masa, hanya menilai kemampuan intelektual, dari beberapa mata pelajaran saja, untuk menentukan kelulusan. Ini sudah menyalahi UU Sisdiknas yang jelas-jelas menegaskan, kompetensi kelulusan merupakan kualifikasi kemampauan kelulusan yang mencakup tidak hanya pengetahuan, tapi juga sikap dan keterampilan.
Kita tidak menolak UN. UN itu bagus dan diperlukan sejauh sebagai sarana akreditasi sekolah, bukan sebagai penentu kelulusan. Yang menentukan kelulusan tetaplah sekolah. Tugas pemerintah hanya membantu dengan sarana, prasarana, buku, dan pendidik bermutu.
Sudah saatnya penyelenggaraan pendidikan sentralistik diakhiri. UN hanya membuat sekolah terpasung dan tergantung pada birokrasi. UN mematikan otonomi, kemandirian, motivasi, dan inisiastif sekolah.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 18 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Salah satu orangtua siswa SMA Alvares Paga, Kabupaten Sikka, yang anaknya tidak lulus ujian nasional (UN) 2009 mengancam membakar dan melempar sekolah. Aksinya menimbulkan ketakutan pihak sekolah. Kasek dan para guru tidak bisa keluar selama empat jam. Situasi baru teratasi setelah polisi datang.
Kepala SMA Alvares Paga Romo Carolus Sola O.Carm mengakui kelulusan UN pada sekolahnya tahun ini memang rendah, hanya 64,60 persen. Dari 61 peserta, 40 lulus, 21 tidak lulus. Nasib serupa menimpa rata-rata SMA di Kabupaten Sikka. Dibandingkan tahun lalu, tahun ini persentase kelulusan menurun tajam, dua digit, dari 58 persen menjadi hanya 44,87 persen.
Persentase itu adalah angka.Dan angka itu hanya menunjukkan pencapaian: sukses atau gagal. Bagaimana pencapaian itu dihadapi, bukan perkara angka lagi. Ini perkara manusia. Manusia bisa menerima, bisa juga menolaknya. Itu bukan soal. Yang sering jadi soal adalah caranya.
Dalam kasus SMA Alvares Paga, cara si orangtua siswa jelas salah. Mengancam membakar dan melempar sekolah tidak dapat dibenarkan. Tentang ini, tak perlu diuraikan panjang lebar. Sudah jelas. Justru karena itu, kita perlu beranjak dengan empati: mengapa si orangtua sampai mengamuk. Mungkin ia mengalami depresi. Ongkos sekolah mahal-mahal, hasilnya nol. Ia kecewa, marah. Ia lampiaskan semuanya kepada sekolah. Kasihan sekolah, selalu jadi korban. Padahal ia bukan biang kerok. Biang keroknya adalah pemerintah.
Pemerintah mencaplok otonomi sekolah dan kewenangan pendidik. UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas menyebutkan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan, guru dan dosen berhak memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan.
Praktiknya? Omong kosong. Hak sekolah dan guru masih tetap saja dirampas oleh pemerintah melalui sistem standar nilai kelulusan UN. Sistem penilaiannya sendiri pincang. Masa, hanya menilai kemampuan intelektual, dari beberapa mata pelajaran saja, untuk menentukan kelulusan. Ini sudah menyalahi UU Sisdiknas yang jelas-jelas menegaskan, kompetensi kelulusan merupakan kualifikasi kemampauan kelulusan yang mencakup tidak hanya pengetahuan, tapi juga sikap dan keterampilan.
Kita tidak menolak UN. UN itu bagus dan diperlukan sejauh sebagai sarana akreditasi sekolah, bukan sebagai penentu kelulusan. Yang menentukan kelulusan tetaplah sekolah. Tugas pemerintah hanya membantu dengan sarana, prasarana, buku, dan pendidik bermutu.
Sudah saatnya penyelenggaraan pendidikan sentralistik diakhiri. UN hanya membuat sekolah terpasung dan tergantung pada birokrasi. UN mematikan otonomi, kemandirian, motivasi, dan inisiastif sekolah.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 18 Juni 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hasil un 2009,
kasus sma alvares paga,
pendidikan,
sikka
Geram yang Bikin Geram
Kontroversi Pertambangan di Manggarai Barat
Oleh Frans Anggal
Para aktivis Gerakan Masyarakat Anti Tambang (Geram) di Mabar sering diteror melalui HP oleh orang tak dikenal. Ini diutarakan Pater Marsel Agot SVD saat dialog Geram dengan DPRD di Labuan Bajo, Sabtu 13 Juni 2009.
Pater Marsel menduga peneror itu preman. Geram tidak gentar, karena perjuangkan kebenaran dan keadilan. Juga karena selalu minta perlindungan polisi. Polisi sudah lacak dan tahu beberapa pelaku. Ketua DPRD Mateus Hamsi beri peneguhan. “Yang namanya preman saya tahu, dia juga takut mati. Kerenanya, tidak perlu takut, kan ada keamanan, ada polisi.”
Benar. Takut bikin apa. Para pelaku telepon atau SMS gelap itu pengecut. Masa takut sama pengecut. Selain kecut, mereka juga tidak bertanggung jawab atau lebih tepat takut untuk bertanggung jawab. Justru karena takutnya itulah, mereka memilih anonimitas, dengan menyembunyikan identitas.
Ini gejala sosial umum. Anonimitas menghilangkan tanggung jawab. Dalam anonimitas, orang mudah lempar batu sembunyi tangan. Mereka merasa tak terbebani tanggung-jawab moral apa pun. Sebab, mereka cuma siluman, bukan pribadi nyata. Tak mengherankan, telepon atau SMS anonim lazim berisi kata-kata tak patut, jorok, kotor, melecehkan, menghina, dan mengancam.
Menjadi pertanyaan: kenapa teror gelap justru ke Geram? Jawabannya ada pada namanya: anti tambang. Juga pada perjuangannya. Geram mendesak pemkab mencabut izin tambang, khususnya tambang emas Batu Gosok. Proses pemberian izinnya melanggar UU Petambangan, mengangkangi Perda No. 30/2005, dan melecehkan masyarakat adat.
Dalam dua kali aksi damai, kekuatan forum ini semakin nyata. Kini Geram merangkul 43 elemen masyarakat. Jumlahnya terus bertambah seiring dengan semakin pahamnya masyarakat akan dampak buruk pertambangan. Semakin banyak yang sadar, pariwisata tidak bisa sepelaminan dengan pertambangan.
Peserta aksi 13 Juni 2009 lima kali lebih besar daripada aksi pertama 29 Mei 2009. Mereka tidak terprovokasi oleh ulah preman. Malah semakin kompak. Pelamar dari kecamatan yang ingin bergabung semakin banyak. Muncul banyak orator yang rasional dan berkarakter serta berwawasan luas.
Geram semakin kuat sebagai kelompok civil society yang mengontrol kekuasaan. Karena perannya ini, ia dibutuhkan sebagai advocatus diaboli yang memainkan peranan setan yang menyelamatkan penguasa justru dengan mengganggunya terus-menerus. Ia mengkritik dan menolak kebijakan bila kebijakan itu akan mendatangkan malapetaka bagi kepentingan umum. Dengan demikian, semestinya ia lebih dipandang sebagai advocatus (pembela), bukan sekadar diabolus (setan).
Tapi, di mata orang bodok, tidak begitu. Geram hanya bikin geram saja. Cara bodok khas pengecut pun mereka tempuh: teror gelap.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 17 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Para aktivis Gerakan Masyarakat Anti Tambang (Geram) di Mabar sering diteror melalui HP oleh orang tak dikenal. Ini diutarakan Pater Marsel Agot SVD saat dialog Geram dengan DPRD di Labuan Bajo, Sabtu 13 Juni 2009.
Pater Marsel menduga peneror itu preman. Geram tidak gentar, karena perjuangkan kebenaran dan keadilan. Juga karena selalu minta perlindungan polisi. Polisi sudah lacak dan tahu beberapa pelaku. Ketua DPRD Mateus Hamsi beri peneguhan. “Yang namanya preman saya tahu, dia juga takut mati. Kerenanya, tidak perlu takut, kan ada keamanan, ada polisi.”
Benar. Takut bikin apa. Para pelaku telepon atau SMS gelap itu pengecut. Masa takut sama pengecut. Selain kecut, mereka juga tidak bertanggung jawab atau lebih tepat takut untuk bertanggung jawab. Justru karena takutnya itulah, mereka memilih anonimitas, dengan menyembunyikan identitas.
Ini gejala sosial umum. Anonimitas menghilangkan tanggung jawab. Dalam anonimitas, orang mudah lempar batu sembunyi tangan. Mereka merasa tak terbebani tanggung-jawab moral apa pun. Sebab, mereka cuma siluman, bukan pribadi nyata. Tak mengherankan, telepon atau SMS anonim lazim berisi kata-kata tak patut, jorok, kotor, melecehkan, menghina, dan mengancam.
Menjadi pertanyaan: kenapa teror gelap justru ke Geram? Jawabannya ada pada namanya: anti tambang. Juga pada perjuangannya. Geram mendesak pemkab mencabut izin tambang, khususnya tambang emas Batu Gosok. Proses pemberian izinnya melanggar UU Petambangan, mengangkangi Perda No. 30/2005, dan melecehkan masyarakat adat.
Dalam dua kali aksi damai, kekuatan forum ini semakin nyata. Kini Geram merangkul 43 elemen masyarakat. Jumlahnya terus bertambah seiring dengan semakin pahamnya masyarakat akan dampak buruk pertambangan. Semakin banyak yang sadar, pariwisata tidak bisa sepelaminan dengan pertambangan.
Peserta aksi 13 Juni 2009 lima kali lebih besar daripada aksi pertama 29 Mei 2009. Mereka tidak terprovokasi oleh ulah preman. Malah semakin kompak. Pelamar dari kecamatan yang ingin bergabung semakin banyak. Muncul banyak orator yang rasional dan berkarakter serta berwawasan luas.
Geram semakin kuat sebagai kelompok civil society yang mengontrol kekuasaan. Karena perannya ini, ia dibutuhkan sebagai advocatus diaboli yang memainkan peranan setan yang menyelamatkan penguasa justru dengan mengganggunya terus-menerus. Ia mengkritik dan menolak kebijakan bila kebijakan itu akan mendatangkan malapetaka bagi kepentingan umum. Dengan demikian, semestinya ia lebih dipandang sebagai advocatus (pembela), bukan sekadar diabolus (setan).
Tapi, di mata orang bodok, tidak begitu. Geram hanya bikin geram saja. Cara bodok khas pengecut pun mereka tempuh: teror gelap.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 17 Juni 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
geram,
manggarai barat,
pertambangan,
pertambangan manggarai barat,
tolak tambang
15 Juni 2009
Ende, Korupsi Diskresi
Kasus Alat Uji Kendaraan di Dishub Ende
Oleh Frans Anggal
Sudah 6-7 tahun alat uji kendaraan di Dihub Ende menjadi barang ‘rongsokan’. Alat uji kendaraan roda empat. Dibeli tahun 2002, seharga Rp1 miliar lebih. Sempat digunakan sebentar lalu rusak dan tidak bisa digunakan lagi. Diduga, ini barang rakitan, bukan asli (built in) dari pabrik. Bisa jadi juga barang bekas.
Lain lagi ceritanya alat uji kendaraan roda dua. Dibeli 2003, juga Rp1 miliar lebih. Belum diketahui asli, rakitan, ataukah barang bekas karena belum pernah diuji coba. Belum diuji coba karena belum ada perdanya. Belum ada perda karena belum ada acuan hukum yang lebih tinggi.
Pengadaan kedua alat ini pun tidak sesuai dengan nomenklatur. Pengguna anggarannya Dishub. Semestinya Dishub yang mengadakan barang. Ini tidak. Yang mengadakan barang, Bagian Umum.
Kasus ini sempat diproses hukum. Mampir di polisi sejenak lalu senyap. Kandas karena ‘konon’ saksi kunci di Surakarta, pihak yang bertransaksi dengan Bagian Umum, sakit berat. Selanjutnya, ‘konon’ pula, pabriknya sudah bangkrut.
Apa lalu kasus ini layak didiamkan? Tidak! Kabid Perhubungan Darat Lodovikus Robiyanto She dan anggota DPRD Ende Heribertus Gani mendesakkan evaluasi. Tepat dan wajar. Apa pun kegiatan perlu evaluasi. Kalau sudah menyangkut pemanfaatan keuangan negara, evaluasi haruslah berupa audit. Hasil audit akan menentukan langkah hukum.
Keharusan evaluasi kini ada di pundak bupati-wabup baru Don Bosco M Wangge dan Achmad Mochdar. Publik percaya, di tangan Wangge-Mochdar kasus ini akan tuntas. Dasar kepercayaan publik adalah perubahan konfigurasi politik di Ende. Menurut tesis Prof Machfud MD (2001), karakter produk hukum sangat dipengaruhi watak (elite) pemegang kekuasaan (negara). Eksistensi produk hukum akan selalu berubah seiring dengan berubahnya konfigurasi politik (negara). Jika konfigurasi politik (negara) tampil demokratis, hukum jadi responsif. Namun, ketika konfigurasi politik (negara) berwatak otoriter, hukum pun konservatif, tak jarang menjadi alat legitimasi watak dominan para aktornya.
Di era Orde Baru, di mana konfigurasi politik (negara) berwatak otoriter, produk hukum kerap melegalkan praktik korupsi (discrecy corruption). Keppres, misalnya, dibuat untuk melindungi korupsi. Korupsi diskresi adalah korupsi berbalut keputusan hukum. November 1998, Masyarakat Transparansi Indonesia menemukan 79 keppres berindikasi KKN. Mantan Ketua MA Bagir Manan pun mengingatkan para hakim agar cermat karena sejak awal, putusan administrasi pun bisa dibuat dengan tujuan korupsi.
Simaklah pengadaan alat uji kendaraan Dishub Ende. Pengadaannya oleh Bagian Umum, bukan oleh Dishub pengguna anggaran. Kebijakan administrasi ini jelas mengindikasikan korupsi diskresi. Lalu, mau didiamkan terus?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 16 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Sudah 6-7 tahun alat uji kendaraan di Dihub Ende menjadi barang ‘rongsokan’. Alat uji kendaraan roda empat. Dibeli tahun 2002, seharga Rp1 miliar lebih. Sempat digunakan sebentar lalu rusak dan tidak bisa digunakan lagi. Diduga, ini barang rakitan, bukan asli (built in) dari pabrik. Bisa jadi juga barang bekas.
Lain lagi ceritanya alat uji kendaraan roda dua. Dibeli 2003, juga Rp1 miliar lebih. Belum diketahui asli, rakitan, ataukah barang bekas karena belum pernah diuji coba. Belum diuji coba karena belum ada perdanya. Belum ada perda karena belum ada acuan hukum yang lebih tinggi.
Pengadaan kedua alat ini pun tidak sesuai dengan nomenklatur. Pengguna anggarannya Dishub. Semestinya Dishub yang mengadakan barang. Ini tidak. Yang mengadakan barang, Bagian Umum.
Kasus ini sempat diproses hukum. Mampir di polisi sejenak lalu senyap. Kandas karena ‘konon’ saksi kunci di Surakarta, pihak yang bertransaksi dengan Bagian Umum, sakit berat. Selanjutnya, ‘konon’ pula, pabriknya sudah bangkrut.
Apa lalu kasus ini layak didiamkan? Tidak! Kabid Perhubungan Darat Lodovikus Robiyanto She dan anggota DPRD Ende Heribertus Gani mendesakkan evaluasi. Tepat dan wajar. Apa pun kegiatan perlu evaluasi. Kalau sudah menyangkut pemanfaatan keuangan negara, evaluasi haruslah berupa audit. Hasil audit akan menentukan langkah hukum.
Keharusan evaluasi kini ada di pundak bupati-wabup baru Don Bosco M Wangge dan Achmad Mochdar. Publik percaya, di tangan Wangge-Mochdar kasus ini akan tuntas. Dasar kepercayaan publik adalah perubahan konfigurasi politik di Ende. Menurut tesis Prof Machfud MD (2001), karakter produk hukum sangat dipengaruhi watak (elite) pemegang kekuasaan (negara). Eksistensi produk hukum akan selalu berubah seiring dengan berubahnya konfigurasi politik (negara). Jika konfigurasi politik (negara) tampil demokratis, hukum jadi responsif. Namun, ketika konfigurasi politik (negara) berwatak otoriter, hukum pun konservatif, tak jarang menjadi alat legitimasi watak dominan para aktornya.
Di era Orde Baru, di mana konfigurasi politik (negara) berwatak otoriter, produk hukum kerap melegalkan praktik korupsi (discrecy corruption). Keppres, misalnya, dibuat untuk melindungi korupsi. Korupsi diskresi adalah korupsi berbalut keputusan hukum. November 1998, Masyarakat Transparansi Indonesia menemukan 79 keppres berindikasi KKN. Mantan Ketua MA Bagir Manan pun mengingatkan para hakim agar cermat karena sejak awal, putusan administrasi pun bisa dibuat dengan tujuan korupsi.
Simaklah pengadaan alat uji kendaraan Dishub Ende. Pengadaannya oleh Bagian Umum, bukan oleh Dishub pengguna anggaran. Kebijakan administrasi ini jelas mengindikasikan korupsi diskresi. Lalu, mau didiamkan terus?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 16 Juni 2009
Label:
bentara,
dishub ende,
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus alat uji kendaraan dishub ende,
korupsi,
korupsi dikresi
Untuk DPRD Manggarai
Kontroversi Kuota Kursi DPRD Manggarai
Oleh Frans Anggal
DPRD Manggarai menolak hasil rapat pleno KPUD tentang penetapan perolehan kursi dan caleg terpilih hasil Pemilu 9 Meret 2009. Dalam plenonya KPUD telah menetapkan nama-nama caleg terpilih yang akan menduduki 40 kursi dewan. Ini ditolak oleh DPRD melalui keputusan 11 Juni 2009.
Dasar penolakan itu adalah UU No. 10/2008 tentang Pemilu. Pasal 26 ayat 3 huruf c telah mengatur jelas kuota kursi DPRD kabupaten/kota berdasarkan jumlah penduduk. Yang berpenduduk 200.000-300.000 jiwa mendapat kuota 30 kursi. Jumlah penduduk kabupaten induk Manggarai pasca-pembentukan daerah otonom baru Manggarai Timur adalah 266.157 jiwa. Dengan demikian, kuota kursinya 30, bukan 40. DPRD menilai KPUD melanggar UU. DPRD mendesak aparat penegak hukum mengusut tuntas penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dilakukan KPUD.
Wakil Ketua DPRD Jack Mut Naur mengatakan, “Keputusan dewan (ini) tidak dilakukan begitu saja, melainkan adanya desakan dan aspirasi dari masyarakat karena penetapan yang ada itu melanggar (UU).” Itu benar. Penolakan kuota 40 kursi DPRD pertama kali disuarakan oleh elemen masyarakat, antara lain Siram Demokrasi, dalam demo berkali-kali di Ruteng.
Atas sikap mengakmodasi aspirasi masyarakat, DPRD Manggarai patut dipuji. Yang disayangkan, dalam keputusannya, para wakil rakyat ini belum sungguh-sungguh menyerap substansi aspirasi masyarakat. Ada dua substansi yang selama ini diangkat masyarakat. Yaitu, substansi legalistik dan substansi etik.
Substansi legalistik menyata dalam pemersoalan kuota kursi berdasarkan UU. Penetapan KPUD dinilai melanggar ketentuan pasal 26 ayat 3 huruf c UU No. 10/2008. Substansi ini diakomodasi penuh oleh DPRD. Dalam diktum keputusannya, DPRD menyebut dasar hukum ini secara jelas dan tegas.
Akan halnya substansi etik, menyata dalam pengaitan kuota kursi dengan dampaknya terhadap APBD. ‘Kelebihan’ 10 kursi akan membebankan keuangan daerah. Lebih baik gaji dan tunjangan 10 kursi itu dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat miskin. Sayang, subtstansi etik ini tidak diakomodasi oleh DPRD dalam keputusannya. Tak satu diktum pun dalam empat butir keputusannya menyinggung beban anggaran.
Dengan demikian, bukan hanya kurang aspiratif, keputusan DPRD Manggarai belum mengejahwantahkan fungsi budget yang melekat pada dirinya. Yang dijalankannya hanyalah fungsi legislasi, karena hanya persoalkan leges, dasar hukum yang dilanggar KPUD. Dengan begitu, DPRD sama dengan KPUD yang juga hanya memeluk leges. Keduanya, dalam posisi bertentangan, sama: hanya persoalkan substansi legalistik. Tidak menyentuh substansi etik. Hanya persoalkan legalitas, lalai permasalahkan legitimasi. Seolah-olah negara ini hanya negara hukum. Mereka lupa, negara ini ini juga negara demokrasi.
“Bentara” FLORES POS, Senin 15 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
DPRD Manggarai menolak hasil rapat pleno KPUD tentang penetapan perolehan kursi dan caleg terpilih hasil Pemilu 9 Meret 2009. Dalam plenonya KPUD telah menetapkan nama-nama caleg terpilih yang akan menduduki 40 kursi dewan. Ini ditolak oleh DPRD melalui keputusan 11 Juni 2009.
Dasar penolakan itu adalah UU No. 10/2008 tentang Pemilu. Pasal 26 ayat 3 huruf c telah mengatur jelas kuota kursi DPRD kabupaten/kota berdasarkan jumlah penduduk. Yang berpenduduk 200.000-300.000 jiwa mendapat kuota 30 kursi. Jumlah penduduk kabupaten induk Manggarai pasca-pembentukan daerah otonom baru Manggarai Timur adalah 266.157 jiwa. Dengan demikian, kuota kursinya 30, bukan 40. DPRD menilai KPUD melanggar UU. DPRD mendesak aparat penegak hukum mengusut tuntas penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dilakukan KPUD.
Wakil Ketua DPRD Jack Mut Naur mengatakan, “Keputusan dewan (ini) tidak dilakukan begitu saja, melainkan adanya desakan dan aspirasi dari masyarakat karena penetapan yang ada itu melanggar (UU).” Itu benar. Penolakan kuota 40 kursi DPRD pertama kali disuarakan oleh elemen masyarakat, antara lain Siram Demokrasi, dalam demo berkali-kali di Ruteng.
Atas sikap mengakmodasi aspirasi masyarakat, DPRD Manggarai patut dipuji. Yang disayangkan, dalam keputusannya, para wakil rakyat ini belum sungguh-sungguh menyerap substansi aspirasi masyarakat. Ada dua substansi yang selama ini diangkat masyarakat. Yaitu, substansi legalistik dan substansi etik.
Substansi legalistik menyata dalam pemersoalan kuota kursi berdasarkan UU. Penetapan KPUD dinilai melanggar ketentuan pasal 26 ayat 3 huruf c UU No. 10/2008. Substansi ini diakomodasi penuh oleh DPRD. Dalam diktum keputusannya, DPRD menyebut dasar hukum ini secara jelas dan tegas.
Akan halnya substansi etik, menyata dalam pengaitan kuota kursi dengan dampaknya terhadap APBD. ‘Kelebihan’ 10 kursi akan membebankan keuangan daerah. Lebih baik gaji dan tunjangan 10 kursi itu dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat miskin. Sayang, subtstansi etik ini tidak diakomodasi oleh DPRD dalam keputusannya. Tak satu diktum pun dalam empat butir keputusannya menyinggung beban anggaran.
Dengan demikian, bukan hanya kurang aspiratif, keputusan DPRD Manggarai belum mengejahwantahkan fungsi budget yang melekat pada dirinya. Yang dijalankannya hanyalah fungsi legislasi, karena hanya persoalkan leges, dasar hukum yang dilanggar KPUD. Dengan begitu, DPRD sama dengan KPUD yang juga hanya memeluk leges. Keduanya, dalam posisi bertentangan, sama: hanya persoalkan substansi legalistik. Tidak menyentuh substansi etik. Hanya persoalkan legalitas, lalai permasalahkan legitimasi. Seolah-olah negara ini hanya negara hukum. Mereka lupa, negara ini ini juga negara demokrasi.
“Bentara” FLORES POS, Senin 15 Juni 2009
Label:
bentara,
dprd manggarai,
flores,
flores pos,
kontroversi kuota kursi dprd manggarai,
kpud manggarai,
manggarai,
politik
12 Juni 2009
Untuk Dua Kapolres Baru
Kapolres Ngada dan Kapolres Lembata
Oleh Frans Anggal
Dua kapolres di Flores-Lembata diganti. Kapolres Ngada dan kapolres Lembata. Di Ngada, Erdy Swaharyadi diganti Dadang Suhendar. Di Lembata, Geradus Bata Besu diganti Marthen Johanes.
Penggantian Swaharyadi berlangsung di tengah proses hukum kasus kematian Romo Faistin Sega Pr. Penggantian Bata Besu berjalan di tengah kabut kasus kematian Yoakim Langoday, Kabid Pengawasan Pengelolaan dan Pemasaran Dinas Perikanan Lembata.
Romo Faustin dan Langoday mati tidak wajar. Visum dan autopsi menunjukkan adanya tindak kekerasan. Kuat dugaan, keduanya korban pembunuhan berencana. Siapa pelakunya, apa motifnya, bagaimana modusnya, dan lain-lain, sedang dalam penyelidikan dan penyidikan (lidik) polisi.
Pada kasus Langoday, lidiknya lamban. Keluarga mendesak kasus ini diambil alih Polda NTT. Tersirat, mereka tidak mempercayai Bata Besu. Pada kasus Romo Faustin, tidak hanya lamban, lidiknya penuh rekayasa dan kebohongan. Atas desakan publik, Polda NTT mengambil alih penanganannya. Tersurat, publik tidak mempercayai Swaharyadi.
Kedua kapolres pun diganti. Diganti ‘setelah’ munculnya kedua kasus. Apakah berarti juga ‘karena’ kedua kasus? Ini yang tidak jelas. Di negeri penuh ketertutupan, mendapat jawaban saja sudah sulit, apalagi mendapat jawaban jujur. Jawaban selalu klise: mutasi itu wajar demi penyegaran dan promosi.
Bagi yang dikecewakan kapolres lama, wajar tidaknya penggantian itu tidak penting. Yang penting kapolresnya sudah diganti. Lebih penting, penggantian itu bermanfaat. Baik secara umum bagi kepentingan masyarakat maupun secara khusus bagi penyelesaian kasus yang sedang dikeluhkan masyarakat.
Apakah manfaat ini akan menyata di Lembata di bawah kapolres baru Marthen Johanes dan di Ngada di bawah Dadang Suhendar? Kita lihat saja. Test case awalnya sudah ada. Dua kasus itu. Kasus Langoday dan kasus Romo Faustin. Tentangnya, kedua kapolres sudah lontarkan janji. Apakah kita harus mempercayainya begitu saja?
Janji adalah utang. Utang itu bukan untuk dipercaya, tapi untuk dilunasi. Kepercayaan, kalaupun ada, hanyalah buah dari pelunasan. Ada pelunasan, ada kepercayaan. Makin cepat dan tepat pelunasan, makin besar pula kepercayaan. Begitu juga sebaliknya.
Karena itu, untuk kedua kapolres baru, pesan kita cuma ini: lunasi cepat dan tepat dua utang kasus yang dinggalkan pendahulumu. Ini utang besar karena menyangkut nyawa manusia. Ini utang besar karena menyedot perhatian publik. Ini juga utang besar karena mempertaruhkan reputasimu dan citra Polri. Selamat berkarya. Selamat memenuhi janji. Selamat melunasi utang.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 13 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Dua kapolres di Flores-Lembata diganti. Kapolres Ngada dan kapolres Lembata. Di Ngada, Erdy Swaharyadi diganti Dadang Suhendar. Di Lembata, Geradus Bata Besu diganti Marthen Johanes.
Penggantian Swaharyadi berlangsung di tengah proses hukum kasus kematian Romo Faistin Sega Pr. Penggantian Bata Besu berjalan di tengah kabut kasus kematian Yoakim Langoday, Kabid Pengawasan Pengelolaan dan Pemasaran Dinas Perikanan Lembata.
Romo Faustin dan Langoday mati tidak wajar. Visum dan autopsi menunjukkan adanya tindak kekerasan. Kuat dugaan, keduanya korban pembunuhan berencana. Siapa pelakunya, apa motifnya, bagaimana modusnya, dan lain-lain, sedang dalam penyelidikan dan penyidikan (lidik) polisi.
Pada kasus Langoday, lidiknya lamban. Keluarga mendesak kasus ini diambil alih Polda NTT. Tersirat, mereka tidak mempercayai Bata Besu. Pada kasus Romo Faustin, tidak hanya lamban, lidiknya penuh rekayasa dan kebohongan. Atas desakan publik, Polda NTT mengambil alih penanganannya. Tersurat, publik tidak mempercayai Swaharyadi.
Kedua kapolres pun diganti. Diganti ‘setelah’ munculnya kedua kasus. Apakah berarti juga ‘karena’ kedua kasus? Ini yang tidak jelas. Di negeri penuh ketertutupan, mendapat jawaban saja sudah sulit, apalagi mendapat jawaban jujur. Jawaban selalu klise: mutasi itu wajar demi penyegaran dan promosi.
Bagi yang dikecewakan kapolres lama, wajar tidaknya penggantian itu tidak penting. Yang penting kapolresnya sudah diganti. Lebih penting, penggantian itu bermanfaat. Baik secara umum bagi kepentingan masyarakat maupun secara khusus bagi penyelesaian kasus yang sedang dikeluhkan masyarakat.
Apakah manfaat ini akan menyata di Lembata di bawah kapolres baru Marthen Johanes dan di Ngada di bawah Dadang Suhendar? Kita lihat saja. Test case awalnya sudah ada. Dua kasus itu. Kasus Langoday dan kasus Romo Faustin. Tentangnya, kedua kapolres sudah lontarkan janji. Apakah kita harus mempercayainya begitu saja?
Janji adalah utang. Utang itu bukan untuk dipercaya, tapi untuk dilunasi. Kepercayaan, kalaupun ada, hanyalah buah dari pelunasan. Ada pelunasan, ada kepercayaan. Makin cepat dan tepat pelunasan, makin besar pula kepercayaan. Begitu juga sebaliknya.
Karena itu, untuk kedua kapolres baru, pesan kita cuma ini: lunasi cepat dan tepat dua utang kasus yang dinggalkan pendahulumu. Ini utang besar karena menyangkut nyawa manusia. Ini utang besar karena menyedot perhatian publik. Ini juga utang besar karena mempertaruhkan reputasimu dan citra Polri. Selamat berkarya. Selamat memenuhi janji. Selamat melunasi utang.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 13 Juni 2009
Label:
flores pos,
hukum,
kapolres lembata,
kapolres ngada,
kasus kematian rm faustin sega pr,
kasus kematian yoakim langoday,
lembata,
ngada,
ntt,
polda ntt
11 Juni 2009
Salut, Siram Demokrasi
Kontroversi Kuota Kursi DPRD Manggarai
Oleh Frans Anggal
Siram Demokrasi Manggarai berdemo lagi ke KPUD di Ruteng, Rabu 10 Mei 2009. Mereka tetap menolak penetapan 40 kursi DPRD. Semestinya cukup 30, berdasarkan jumlah penduduk Manggarai pasca-terbentuknya darah otonom baru Manggarai Timur. Kuota ini sudah diatur dalam UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Karena itu, ‘penambahan’ 10 kursi melanggar UU. Juga, membebankan keuangan daerah.
KPUD tetap pada keputusannya, 40 kursi. Rujukannya, UU yang sama, yang disinkronkan dengan UU lain. Intinya: jumlah kursi DPRD kabupaten induk sama dengan jumlah kursi pada pemilu sebelumnya. Ini berlaku di seluruh Indonesia. Jadi, 40 kursi itu sudah final, tak dapat diutak-atik lagi.
Sudah final. Apakah itu berarti KPUD menang dan Siram Demokrasi kalah? Ya! Dengan tetapinya. KPUD menang tetapi bukan berarti benar, dan Siram Demokrasi kalah tetapi bukan berarti salah. Dari sisi rasionalitas dan moralitas, perjuangan Siram Demokrasi itu benar dan baik.
Benar, karena jumlah kursi yang mereka desakkan didasarkan pada jumlah riil penduduk, hal yang justru sudah diatur jelas dalam UU. Bagaimana bisa, ketentuan yang sudah jelas ini dikecualikan lagi oleh ketentuan lain bagi kabupaten induk? Ini mencederai asas kejelasan, ketegasan, kesamaan, dan keadilan hukum.
Perjuangan Siram Demokrasi juga baik, karena mereka mempertimbangkan kepentingan umum. Menurut mereka, ‘kelebihan’ 10 kursi itu hanya akan membebankan keuangan daerah. Lebih baik gaji dan tunjangan 10 anggota dewan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat miskin.
Dengan dasar seperti itu, perjuangan mereka mendapat legitimasi. Karena, sangat aspiratif, menyerap kebutuhan nyata rakyat. Sisi ini serentak membedakan mereka dari KPUD yang memeluk erat legalitas sedemikian erat sampai mengorbankan aspirasi rakyat. Legalitas yang dipeluk KPUD mengalahkan legitimasi yang diperjuangkan Siram Demokrasi. Dengan begitu, KPUD mengorbankan demokrasi, nilai yang justru menjadi dasar untuk apa KPUD itu ada.
Demokrasi adalah sistem politik yang didasarkan pada aspirasi rakyat dan bertujuan mewujudkan aspirasi rakyat. Atas dasar dan demi tujuan itu, watak demokrasi harus tercermin juga dalam hukum. Dengan kata lain, hukum harus didasarkan juga pada aspirasi rakyat dan bertujuan mewujudkan aspirasi rakyat, bukan malahan menghalanginya. Mengubah pasal UU tidak akan menyebabkan UU dikhianati. Sebaliknya, mengorbankan aspirasi rakyat pasti menyebabkan rakyat merasa dikhianati.
Rakyat Manggarai telah merasa dikhianati. Keputusan KPUD tidak rasional dan tidak aspiratif. Bahwa mereka menang, ya. Namun itu cuma kemenangan legalitas, bukan kemenangan legitimiasi. Salut kita tetap buat Siram Demokrasi.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 12 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Siram Demokrasi Manggarai berdemo lagi ke KPUD di Ruteng, Rabu 10 Mei 2009. Mereka tetap menolak penetapan 40 kursi DPRD. Semestinya cukup 30, berdasarkan jumlah penduduk Manggarai pasca-terbentuknya darah otonom baru Manggarai Timur. Kuota ini sudah diatur dalam UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Karena itu, ‘penambahan’ 10 kursi melanggar UU. Juga, membebankan keuangan daerah.
KPUD tetap pada keputusannya, 40 kursi. Rujukannya, UU yang sama, yang disinkronkan dengan UU lain. Intinya: jumlah kursi DPRD kabupaten induk sama dengan jumlah kursi pada pemilu sebelumnya. Ini berlaku di seluruh Indonesia. Jadi, 40 kursi itu sudah final, tak dapat diutak-atik lagi.
Sudah final. Apakah itu berarti KPUD menang dan Siram Demokrasi kalah? Ya! Dengan tetapinya. KPUD menang tetapi bukan berarti benar, dan Siram Demokrasi kalah tetapi bukan berarti salah. Dari sisi rasionalitas dan moralitas, perjuangan Siram Demokrasi itu benar dan baik.
Benar, karena jumlah kursi yang mereka desakkan didasarkan pada jumlah riil penduduk, hal yang justru sudah diatur jelas dalam UU. Bagaimana bisa, ketentuan yang sudah jelas ini dikecualikan lagi oleh ketentuan lain bagi kabupaten induk? Ini mencederai asas kejelasan, ketegasan, kesamaan, dan keadilan hukum.
Perjuangan Siram Demokrasi juga baik, karena mereka mempertimbangkan kepentingan umum. Menurut mereka, ‘kelebihan’ 10 kursi itu hanya akan membebankan keuangan daerah. Lebih baik gaji dan tunjangan 10 anggota dewan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat miskin.
Dengan dasar seperti itu, perjuangan mereka mendapat legitimasi. Karena, sangat aspiratif, menyerap kebutuhan nyata rakyat. Sisi ini serentak membedakan mereka dari KPUD yang memeluk erat legalitas sedemikian erat sampai mengorbankan aspirasi rakyat. Legalitas yang dipeluk KPUD mengalahkan legitimasi yang diperjuangkan Siram Demokrasi. Dengan begitu, KPUD mengorbankan demokrasi, nilai yang justru menjadi dasar untuk apa KPUD itu ada.
Demokrasi adalah sistem politik yang didasarkan pada aspirasi rakyat dan bertujuan mewujudkan aspirasi rakyat. Atas dasar dan demi tujuan itu, watak demokrasi harus tercermin juga dalam hukum. Dengan kata lain, hukum harus didasarkan juga pada aspirasi rakyat dan bertujuan mewujudkan aspirasi rakyat, bukan malahan menghalanginya. Mengubah pasal UU tidak akan menyebabkan UU dikhianati. Sebaliknya, mengorbankan aspirasi rakyat pasti menyebabkan rakyat merasa dikhianati.
Rakyat Manggarai telah merasa dikhianati. Keputusan KPUD tidak rasional dan tidak aspiratif. Bahwa mereka menang, ya. Namun itu cuma kemenangan legalitas, bukan kemenangan legitimiasi. Salut kita tetap buat Siram Demokrasi.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 12 Juni 2009
Label:
bentara,
dprd manggarai,
flores,
flores pos,
kontroversi kuota kursi dprd manggarai,
kpud manggarai,
manggarai,
politik
10 Juni 2009
Lelucon Kasus PDAM Ende
Ketika Berkas Dikembalikan Pihak Kejaksaan
Oleh Frans Anggal
Kejari Ende kembalikan lagi ke polisi berkas kasus dugaan korupsi pembelian mesin pompa air PDAM, dengan petunjuk untuk dilengkapi. Kapolres Bambang Sugiarto menilainya mengada-ada. Enam kejanggalan.
Satu, jaksa mengembalikan berkas pada hari ke-13 atau 1 hari sebelum batas akhir. Kepepet. Dalam 1 hari polisi harus penuhi semua petunjuk. Dua, jaksa meminta lagi unsur-unsur yang sudah ada dalam berkas-berkas belumnya, seperti SK pengangkatan direktur PDAM, surat penunjukan seorang plt, kronologi kejadian, dan peran masing-masing tersangka. Tiga, jaksa meminta cabut kembali keterangan saksi ahli BPKP yang pertama, cukup masukkan yang kedua. Padahal, keterangan dua saksi ini saling terkait. Empat, jaksa meminta lampirkan kuitansi pengeluaran dana oleh para tersangka. Padahal, kasusnya justru di situ: transkasi tanpa kuitansi. Lima, jaksa minta polisi tidak terlalu mengacu pada petunjuk jaksa. Enam, jaksa minta polisi menanyai para tersangka apakah mereka sadar lakukan korupsi.
Itu beberan kapolres. Tanggapan Kajari Marihot Silalahi? Singkat. Berkas belum lengkap. Dari yang diminta, baru unsur kerugian negara yang dipenuhi. Yang belum, kejelasan peran tiap tersangka dan kepastian keterangan saksi ahli yang saling bertolak belakang.
Benarkah berkas belum lengkap? Siapa yang tahu! Mereka yang pegang berkas. Maka, belum jelas juga, siapa jujur siapa bohong, siapa pahlawan siapa bandit. Namun gambaran samar-samarnya mulai tampak.
Simak saja enam kejanggalan itu. Sayang, ruang ini terbatas untuk mengulasnya satu-satu. Kita ambil saja yang terakhir, yang janggalnya 24 karat, dan bagus sebagai lelucon. Jaksa minta polisi menanyai para tersangka apakah mereka sadar lakukan korupsi. Hmmm. Kalau mereka jawab ”tidak sadar”, mau apa?
Dunia hukum mengenal adagium klasik Latin, Ignorantia iuris nocet. ‘Ketidaktahuan akan hukum mencelakakan’. Maksudnya, ketidaktahuan akan hukum dan peraturan tidak dapat dijadikan alasan di pengadilan. Oleh karena itu, Ignorantia legis non excusat. ‘Pengabaian hukum tidak dapat dimaafkan’. Jadi, tidak perlu tanya tersangka sadar atau tidak. Ini pertanyaan tolol.
Tapi ... mungkin jaksa punya dasar. Siapa tahu ia miliki bukti bahwa para tersangka melakukan korupsi tanpa sadar. Misalnya, korupsi sambil tidur nyenyak. Jika benar begitu, mereka bisa luput, karena “korupsi nyenyak” bukanlah delik. Qui dormit non peccat. ‘Barang siapa tidur, ia tidak berdosa’.
Nah. Adakah yang percaya, yang terjadi di PDAM Ende itu cuma “korupsi nyenyak”? Bila tak seorang pun, mari kita jadikan ia lelucon. Lelucon Kasus PDAM Ende. Daripada stres bodoh menyaksikan bolak-balik dan balik-bolak berkas kasus yang sudah enam kali berulang tahun di kejaksaan, lebih baik kita nikmati juga leluconnya. Bagus sebagai penawar stres.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 11 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Kejari Ende kembalikan lagi ke polisi berkas kasus dugaan korupsi pembelian mesin pompa air PDAM, dengan petunjuk untuk dilengkapi. Kapolres Bambang Sugiarto menilainya mengada-ada. Enam kejanggalan.
Satu, jaksa mengembalikan berkas pada hari ke-13 atau 1 hari sebelum batas akhir. Kepepet. Dalam 1 hari polisi harus penuhi semua petunjuk. Dua, jaksa meminta lagi unsur-unsur yang sudah ada dalam berkas-berkas belumnya, seperti SK pengangkatan direktur PDAM, surat penunjukan seorang plt, kronologi kejadian, dan peran masing-masing tersangka. Tiga, jaksa meminta cabut kembali keterangan saksi ahli BPKP yang pertama, cukup masukkan yang kedua. Padahal, keterangan dua saksi ini saling terkait. Empat, jaksa meminta lampirkan kuitansi pengeluaran dana oleh para tersangka. Padahal, kasusnya justru di situ: transkasi tanpa kuitansi. Lima, jaksa minta polisi tidak terlalu mengacu pada petunjuk jaksa. Enam, jaksa minta polisi menanyai para tersangka apakah mereka sadar lakukan korupsi.
Itu beberan kapolres. Tanggapan Kajari Marihot Silalahi? Singkat. Berkas belum lengkap. Dari yang diminta, baru unsur kerugian negara yang dipenuhi. Yang belum, kejelasan peran tiap tersangka dan kepastian keterangan saksi ahli yang saling bertolak belakang.
Benarkah berkas belum lengkap? Siapa yang tahu! Mereka yang pegang berkas. Maka, belum jelas juga, siapa jujur siapa bohong, siapa pahlawan siapa bandit. Namun gambaran samar-samarnya mulai tampak.
Simak saja enam kejanggalan itu. Sayang, ruang ini terbatas untuk mengulasnya satu-satu. Kita ambil saja yang terakhir, yang janggalnya 24 karat, dan bagus sebagai lelucon. Jaksa minta polisi menanyai para tersangka apakah mereka sadar lakukan korupsi. Hmmm. Kalau mereka jawab ”tidak sadar”, mau apa?
Dunia hukum mengenal adagium klasik Latin, Ignorantia iuris nocet. ‘Ketidaktahuan akan hukum mencelakakan’. Maksudnya, ketidaktahuan akan hukum dan peraturan tidak dapat dijadikan alasan di pengadilan. Oleh karena itu, Ignorantia legis non excusat. ‘Pengabaian hukum tidak dapat dimaafkan’. Jadi, tidak perlu tanya tersangka sadar atau tidak. Ini pertanyaan tolol.
Tapi ... mungkin jaksa punya dasar. Siapa tahu ia miliki bukti bahwa para tersangka melakukan korupsi tanpa sadar. Misalnya, korupsi sambil tidur nyenyak. Jika benar begitu, mereka bisa luput, karena “korupsi nyenyak” bukanlah delik. Qui dormit non peccat. ‘Barang siapa tidur, ia tidak berdosa’.
Nah. Adakah yang percaya, yang terjadi di PDAM Ende itu cuma “korupsi nyenyak”? Bila tak seorang pun, mari kita jadikan ia lelucon. Lelucon Kasus PDAM Ende. Daripada stres bodoh menyaksikan bolak-balik dan balik-bolak berkas kasus yang sudah enam kali berulang tahun di kejaksaan, lebih baik kita nikmati juga leluconnya. Bagus sebagai penawar stres.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 11 Juni 2009
Label:
bentara,
dugaan korupsi,
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus dugaan koruspi pdam ende
“HIV Angka” di Manggarai
Lebih Penting Tonjolkan Penyadaran
Oleh Frans Anggal
Di Manggarai, persentase kerentanan penularan HIV/AIDS di kalangan pelajar dan mahasiswa mencapai 12,55 persen. Pelajar dan mahasiswa merupakan satu dari banyak kelompok rentan seperti petani, buruh pelabuhan, awak kapal, dan eks TKI. Dari semua kelompok, eks TKI-lah yang paling rentan, 50 persen. Begitu kata Ketua KPAD Manggarai Kamelus Deno (wabup) dalam rapat koordinasi HIV/AIDS di Ruteng, Sabtu 6 Juni 2009.
Itu adalah angka. Angka ini bisa menyesatkan kalau hanya angka surveilans dengan metode ‘tes kilat’ (rapid test) untuk dijadikan data studi kasus (case study) HIV/AIDS. Rapid test sendiri bukan studi kasus. Tujuannya bukan memastikan kasus dan mengetahui jumlah kasus, tapi hanya untuk memperoleh gambaran besarnya masalah epidemi HIV/AIDS. Untuk studi kasus, hasil rapid test harus dikonfirmasi melalui tes-tes lain seperti elisa, latex agglutination, dan western blot. Sebab, bisa terjadi, seseorang yang semula diduga positif HIV dalam rapid test, ternyata negatif dalam tes-tes lain.
Karena itu, perlu berhati-hati dengan “HIV angka”. Makna angka harus dipahami agar dapat dijelaskan dengan tepat kepada masyarakat. Angka surveilans yang biasanya besar-besar, jika tidak dijelaskan secara akurat maknanya, bisa menimbulkan efek menyeramkan. Efek ini menyuburkan diskriminasi dan stigmatisasi terhadap penderita HIV/AIDS, bahkan terhadap kelompok rentan tertentu jika angka survelainsnya paling tinggi.
Jika itu yang terjadi, persoalannya sudah mencederai etika. Ada tiga prinsip etika yang harus dipegang dalam menghadapi HIV/AIDS. Empati: ikut merasakan penderitaan sesama termasuk ODHA dengan penuh simpati, kasih sayang, dan kesediaan saling menolong. Solidaritas: bahu-membahu meringankan penderitaan dan melawan ketidakadilan yang diakibatkan oleh HIV/AIDS. Tanggung jawab: setiap individu, masyarakat, lembaga atau bangsa berusaha secara nyata mencegah penyebaran HIV dan memberikan perawatan kepada para pengidap.
Dalam bingkai etika ini, di hadapan masyarakat, hal terpenting bukan lagi penonjolan angka-angka, tapi penyadaran agar mereka mau melakukan tes HIV. Tes itu harus sukarela. Ini yang sulit. Kini dialami, tes sukarela kurang efektif. Voluntary Testing and Counseling (VTC) sudah harus diganti dengan Provider Initiated Testing and Counseling (PITC). Pada VTC, dokter pasif menunggu pasien. Pada PITC, dokter yang mendiagnosis pasien bisa aktif menganjurkan tes HIV. Dalam Konferensi AIDS Internasional Ke-17 di Mexico 3-8 Agustus 2008, PITC telah disepakati oleh negara-negara peserta.
Jumlah penderita HIV AIDS di Indonesia saat ini sekitar 270 ribu orang. Tapi baru 10 persen yang terlaporkan. Kurang dari 14 ribu menjalani pemeriksaan dan pengobatan. Dengan PITC, jumlah yang terdeteksi akan mendekati angka 270 ribu.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 10 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Di Manggarai, persentase kerentanan penularan HIV/AIDS di kalangan pelajar dan mahasiswa mencapai 12,55 persen. Pelajar dan mahasiswa merupakan satu dari banyak kelompok rentan seperti petani, buruh pelabuhan, awak kapal, dan eks TKI. Dari semua kelompok, eks TKI-lah yang paling rentan, 50 persen. Begitu kata Ketua KPAD Manggarai Kamelus Deno (wabup) dalam rapat koordinasi HIV/AIDS di Ruteng, Sabtu 6 Juni 2009.
Itu adalah angka. Angka ini bisa menyesatkan kalau hanya angka surveilans dengan metode ‘tes kilat’ (rapid test) untuk dijadikan data studi kasus (case study) HIV/AIDS. Rapid test sendiri bukan studi kasus. Tujuannya bukan memastikan kasus dan mengetahui jumlah kasus, tapi hanya untuk memperoleh gambaran besarnya masalah epidemi HIV/AIDS. Untuk studi kasus, hasil rapid test harus dikonfirmasi melalui tes-tes lain seperti elisa, latex agglutination, dan western blot. Sebab, bisa terjadi, seseorang yang semula diduga positif HIV dalam rapid test, ternyata negatif dalam tes-tes lain.
Karena itu, perlu berhati-hati dengan “HIV angka”. Makna angka harus dipahami agar dapat dijelaskan dengan tepat kepada masyarakat. Angka surveilans yang biasanya besar-besar, jika tidak dijelaskan secara akurat maknanya, bisa menimbulkan efek menyeramkan. Efek ini menyuburkan diskriminasi dan stigmatisasi terhadap penderita HIV/AIDS, bahkan terhadap kelompok rentan tertentu jika angka survelainsnya paling tinggi.
Jika itu yang terjadi, persoalannya sudah mencederai etika. Ada tiga prinsip etika yang harus dipegang dalam menghadapi HIV/AIDS. Empati: ikut merasakan penderitaan sesama termasuk ODHA dengan penuh simpati, kasih sayang, dan kesediaan saling menolong. Solidaritas: bahu-membahu meringankan penderitaan dan melawan ketidakadilan yang diakibatkan oleh HIV/AIDS. Tanggung jawab: setiap individu, masyarakat, lembaga atau bangsa berusaha secara nyata mencegah penyebaran HIV dan memberikan perawatan kepada para pengidap.
Dalam bingkai etika ini, di hadapan masyarakat, hal terpenting bukan lagi penonjolan angka-angka, tapi penyadaran agar mereka mau melakukan tes HIV. Tes itu harus sukarela. Ini yang sulit. Kini dialami, tes sukarela kurang efektif. Voluntary Testing and Counseling (VTC) sudah harus diganti dengan Provider Initiated Testing and Counseling (PITC). Pada VTC, dokter pasif menunggu pasien. Pada PITC, dokter yang mendiagnosis pasien bisa aktif menganjurkan tes HIV. Dalam Konferensi AIDS Internasional Ke-17 di Mexico 3-8 Agustus 2008, PITC telah disepakati oleh negara-negara peserta.
Jumlah penderita HIV AIDS di Indonesia saat ini sekitar 270 ribu orang. Tapi baru 10 persen yang terlaporkan. Kurang dari 14 ribu menjalani pemeriksaan dan pengobatan. Dengan PITC, jumlah yang terdeteksi akan mendekati angka 270 ribu.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 10 Juni 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hiv/aids,
kesehatan,
kpad,
kpad manggarai,
manggarai
08 Juni 2009
Manohara, Prita, dan Kita
Bahaya yang Ditebar UU ITE
Oleh Frans Anggal
Di tengah berita hangat Manohara Odelia Pinot, muncul berita lain: Prita Mulyasari. Dua figur dengan dua nasib. Manohara istri pangeran Klantan Malaysia. Prita istri orang kebanyakan. Manohara korban KDRT. Prita korban tindakan medis rumah sakit. Manohara hendak memproses hukum pelakunya sang suami. Prita justru diproses hukum pelakunya RS Omni International. Manohara masuk keluar studio tv sebagai selebritis untuk diwawancarai. Prita masuk (lalu) keluar tahanan sebagai tersangka untuk disidik. Mungkin nanti: Manohara jadi artis sinetron. Prita jadi pesakitan meja hijau. Manohara figur publik entertain. Prita figur bilik jeruji besi.
Prita digugat RS Omni International gara-gara email curhat. Curhatnya berjudul “RS Omni Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif”. Di luar dugaannya, curhat ke sebuah milis itu tersebar luas. Ia dikenai delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, menurut pasal 27 ayat 3 UU ITE. Ancaman penjaranya di atas 5 tahun. Karena itu, ia ditahan. Atas tekanan publik, ia dibebaskan. Namun, proses hukum jalan terus.
Kasus Prita heboh karena baru dan bisa jadi preseden buruk. Tindak pidana dalam pasal 27 UU ITE mengatur mengenai larangan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik terhadap 4 muatan yaitu: muatan yang melanggar kesusilaan, muatan perjudian, muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
UU ini berbahaya. Pertama, rumusan pasalnya, terutama pasal 27, tidak akurat sehingga melahirkan banyak penafsiran. Ini menyalahi asas lex certa. Akibatnya, lahir ketidakpastian hukum. Tidak jelas lagi, misalnya, apakah protes, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan.
Kedua, UU ITE membuka peluang kriminalisasi besar-besaran. Hampir semua perbuatan tak patut (secara agama, moral, etika) atau tidak disukai digolongkan sebagai kejahatan. Kita tidak bisa bedakan lagi mana pelanggaran kesopanan dan mana yang merupakan delik. Overkriminalisasi akan mengarah pada penyalahgunaan sanksi kriminal (the misuse of criminal sanction). Hukum pidana dijadikan alat penekan atau pembalas.
Ketiga, UU ITE berpotensi langgar HAM: menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran lisan, tulisan, dan ekspresi.
Ketiga bahaya itu menggumpal nyata dalam kasus Prita. Bayangkan, Prita sang korban tindakan medis dijadikan pula korban tindakan hukum. Oleh rumah sakit itu, ia ‘disalibkan’ dua kali. UU ITE memungkinkannya.
Nasib Prita bisa menjadi nasib kita, para pengguna internet. Selagi UU ITE belum disempurnakan, akan muncul Prita-Prita lain. UU ini harus direvisi.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 9 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Di tengah berita hangat Manohara Odelia Pinot, muncul berita lain: Prita Mulyasari. Dua figur dengan dua nasib. Manohara istri pangeran Klantan Malaysia. Prita istri orang kebanyakan. Manohara korban KDRT. Prita korban tindakan medis rumah sakit. Manohara hendak memproses hukum pelakunya sang suami. Prita justru diproses hukum pelakunya RS Omni International. Manohara masuk keluar studio tv sebagai selebritis untuk diwawancarai. Prita masuk (lalu) keluar tahanan sebagai tersangka untuk disidik. Mungkin nanti: Manohara jadi artis sinetron. Prita jadi pesakitan meja hijau. Manohara figur publik entertain. Prita figur bilik jeruji besi.
Prita digugat RS Omni International gara-gara email curhat. Curhatnya berjudul “RS Omni Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif”. Di luar dugaannya, curhat ke sebuah milis itu tersebar luas. Ia dikenai delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, menurut pasal 27 ayat 3 UU ITE. Ancaman penjaranya di atas 5 tahun. Karena itu, ia ditahan. Atas tekanan publik, ia dibebaskan. Namun, proses hukum jalan terus.
Kasus Prita heboh karena baru dan bisa jadi preseden buruk. Tindak pidana dalam pasal 27 UU ITE mengatur mengenai larangan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik terhadap 4 muatan yaitu: muatan yang melanggar kesusilaan, muatan perjudian, muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
UU ini berbahaya. Pertama, rumusan pasalnya, terutama pasal 27, tidak akurat sehingga melahirkan banyak penafsiran. Ini menyalahi asas lex certa. Akibatnya, lahir ketidakpastian hukum. Tidak jelas lagi, misalnya, apakah protes, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan.
Kedua, UU ITE membuka peluang kriminalisasi besar-besaran. Hampir semua perbuatan tak patut (secara agama, moral, etika) atau tidak disukai digolongkan sebagai kejahatan. Kita tidak bisa bedakan lagi mana pelanggaran kesopanan dan mana yang merupakan delik. Overkriminalisasi akan mengarah pada penyalahgunaan sanksi kriminal (the misuse of criminal sanction). Hukum pidana dijadikan alat penekan atau pembalas.
Ketiga, UU ITE berpotensi langgar HAM: menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran lisan, tulisan, dan ekspresi.
Ketiga bahaya itu menggumpal nyata dalam kasus Prita. Bayangkan, Prita sang korban tindakan medis dijadikan pula korban tindakan hukum. Oleh rumah sakit itu, ia ‘disalibkan’ dua kali. UU ITE memungkinkannya.
Nasib Prita bisa menjadi nasib kita, para pengguna internet. Selagi UU ITE belum disempurnakan, akan muncul Prita-Prita lain. UU ini harus direvisi.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 9 Juni 2009
Label:
bentara,
flores pos,
hukum,
kasus prita mulyasari,
kasus rs omni international,
nasional,
uu ite
07 Juni 2009
Bupati Ngada Inkonsisten
Soal Rencana Tambang Batu Bara di Riung
Oleh Frans Anggal
Bupati Ngada Piet Jos Nuwa Wea dinilai tidak konsisten soal rencana tambang batu bara di Riung. Pada 21 Agustus 2008, di Bajawa, dalam dengar pendapat JPIC Keuskupan Agung Ende dengan Pemkab dan DPRD Ngada, disepakati urusan tambang di Riung dipending. Kata bupati, kalau rakyat tolak, jangan.
Desember 2008, di Riung, di hadapan Persekutuan Riung Sariwu yang menolak tambang, bupati mengatakan, kalau masyarakat menolak, tambang di Riung tidak boleh dilanjutkan. Apa yang terjadi kemudian?
Masyarakat Riung masih konsisten dengan sikapnya, sedangkan bupatinya tidak lagi. Bupati sudah berikan izin kuasa pertambangan (KP) ekplorasi kepada PT Graha Kencana Perkasa. Dengan begitu, kuasa pertambangan berhak lakukan tiga kegiatan: penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
Satu dari tiga kegiatan itu sudah dijalankan: penyelidikan umum. Sampel sudah diambil, ditandai dengan penggalian tanah yang notabene berjarak hanya empat meter dari rumah seorang warga. Sekarang mau eksplorasi, itu baru bikin sosialisasi, Rabu 3 Juni 2009. Hasilnya? Masyarakat konsisten menolak.
Yang menjadi pertanyaan: mengapa jelang eksplorasi baru bikin sosialisasi? UU Minerba pasal 135 menyatakan, "Pemegang Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi atau Izin Usaha Pertambangan Khusus hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah." Yang dimaksudkan dengan “kegiatannya” dalam UU ini mencakup penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
Yang terjadi di Riung? Penyelidikan umum sudah dilakukan oleh kuasa pertambangan, tanpa persetujuan masyarakat pemilik tanah. Mereka masuk tanah orang tanpa permisi. Saat mau eksplorasi baru datang baik-baik, bersama tim investasi pemkab, bikin sosialisasi. Langkah yang sudah ditempuh sudah menyalahi aturan main.
Bisa-bisanya ya, masuk tanpa permisi? Ya jelas-lah, sudah dapat izin dari bupati koq! Bupati sudah keluarkan izin KP eksplorasi. Dalam benak PT Graha Kencana Perkasa, itu berarti sudah oke. Masyarakat Riung pasti sudah setuju. Gila apa bupati keluarkan izin kalau masyarakatnya tolak? Lagipula, bupati sudah nyatakan sikap: jangan paksakan tambang kalau masyarakat menolak.
Semoga PT Graha Kencana Perkasa (GKP) tidak terkejut atau tidak pura-pura tekejut kalau tahu atau pura-pura baru tahu bahwa izin KP eksplorasi itu ternyata dikeluarkan bupati tanpa sepersetujuan masyarakat. Semoga PT GKP juga tidak terkejut atau tidak pura-pura tekejut kalau tahu atau pura-pura baru tahu bahwa cara seperti itu menunjukkan sikap inkonsisten seorang bupati. Semoga PT GKP pun tidak terkejut atau tidak pura-pura tekejut kalau tahu atau pura-pura baru tahu bahwa masyarakat Riung merasa telah dibohongi oleh bupatinya.
“Bentara” FLORES POS, Senin 8 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Bupati Ngada Piet Jos Nuwa Wea dinilai tidak konsisten soal rencana tambang batu bara di Riung. Pada 21 Agustus 2008, di Bajawa, dalam dengar pendapat JPIC Keuskupan Agung Ende dengan Pemkab dan DPRD Ngada, disepakati urusan tambang di Riung dipending. Kata bupati, kalau rakyat tolak, jangan.
Desember 2008, di Riung, di hadapan Persekutuan Riung Sariwu yang menolak tambang, bupati mengatakan, kalau masyarakat menolak, tambang di Riung tidak boleh dilanjutkan. Apa yang terjadi kemudian?
Masyarakat Riung masih konsisten dengan sikapnya, sedangkan bupatinya tidak lagi. Bupati sudah berikan izin kuasa pertambangan (KP) ekplorasi kepada PT Graha Kencana Perkasa. Dengan begitu, kuasa pertambangan berhak lakukan tiga kegiatan: penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
Satu dari tiga kegiatan itu sudah dijalankan: penyelidikan umum. Sampel sudah diambil, ditandai dengan penggalian tanah yang notabene berjarak hanya empat meter dari rumah seorang warga. Sekarang mau eksplorasi, itu baru bikin sosialisasi, Rabu 3 Juni 2009. Hasilnya? Masyarakat konsisten menolak.
Yang menjadi pertanyaan: mengapa jelang eksplorasi baru bikin sosialisasi? UU Minerba pasal 135 menyatakan, "Pemegang Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi atau Izin Usaha Pertambangan Khusus hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah." Yang dimaksudkan dengan “kegiatannya” dalam UU ini mencakup penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
Yang terjadi di Riung? Penyelidikan umum sudah dilakukan oleh kuasa pertambangan, tanpa persetujuan masyarakat pemilik tanah. Mereka masuk tanah orang tanpa permisi. Saat mau eksplorasi baru datang baik-baik, bersama tim investasi pemkab, bikin sosialisasi. Langkah yang sudah ditempuh sudah menyalahi aturan main.
Bisa-bisanya ya, masuk tanpa permisi? Ya jelas-lah, sudah dapat izin dari bupati koq! Bupati sudah keluarkan izin KP eksplorasi. Dalam benak PT Graha Kencana Perkasa, itu berarti sudah oke. Masyarakat Riung pasti sudah setuju. Gila apa bupati keluarkan izin kalau masyarakatnya tolak? Lagipula, bupati sudah nyatakan sikap: jangan paksakan tambang kalau masyarakat menolak.
Semoga PT Graha Kencana Perkasa (GKP) tidak terkejut atau tidak pura-pura tekejut kalau tahu atau pura-pura baru tahu bahwa izin KP eksplorasi itu ternyata dikeluarkan bupati tanpa sepersetujuan masyarakat. Semoga PT GKP juga tidak terkejut atau tidak pura-pura tekejut kalau tahu atau pura-pura baru tahu bahwa cara seperti itu menunjukkan sikap inkonsisten seorang bupati. Semoga PT GKP pun tidak terkejut atau tidak pura-pura tekejut kalau tahu atau pura-pura baru tahu bahwa masyarakat Riung merasa telah dibohongi oleh bupatinya.
“Bentara” FLORES POS, Senin 8 Juni 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
masyarakat riung tolak tambang batu bara,
ngada,
pertambangan,
rencana tambang batu bara di riung,
riung
05 Juni 2009
Riung, Kompak dan Tolak!
Rencana Tambang Batu Bara
Oleh Frans Anggal
Warga Riung, Ngada, menolak tambang batu bara. Selain karena tambang merusak lingkungan hidup, calon lokasinya permukiman warga, lahan pertanian, perkebunan, dan peternakan. Kalau Pemkab Ngada berpihak pada masyarakat miskin, datangkan investor pertanian, pariwisata, dan lain-lain. Bukan tambang.
Sikap ini disampaikan dalam dialog sosialisasi tambang di Riung, Rabu 3 Juni 2009. Hadir, tim investasi Pemkab Ngada, kuasa pertambangan PT Graha Kencana Perkasa, kepala desa, tokoh masyarakat, pemuda, dan tokoh agama.
Tangkis tim pemkab, kuasa pertambangan belum eksploitasi. Ini baru eksplorasi. Belum merusak lingkungan. Hmmm. Pernyataan ini bisa mengecoh masyarakat.
Eksplorasi merupakan tahapan setelah penyelidikan umum, untuk kemudian dilanjutkan dengan studi kelayakan sebelum operasi produksi yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Jelas, eksplorasi bukanlah tahap awal, tapi tahap tengah menjelang eksploitasi. Titik tolak dan titik tujunya sudah jelas. Eksplorasi itu penyelidikan lanjutan yang ‘mengukuhkan’ hasil penyelidikan umum (titik tolak), sekaligus ‘melempangkan jalan’ eksploitasi (titik tuju). Dalam praktiknya, eskplorasi sudah merupakan babak pertama eksploitasi.
Karena itu, tidak tepat dikatakan “Ini baru ekplorasi.” Yang benar: “Ini sudah eksplorasi.” Artinya apa? Eksploitasi sudah pasti jadi. Perusakan pun sudah dimulai. Lihat, calon lokasi tambang emas Batu Gosok, Mabar. Tahapnya eksplorasi, tapi tanahnya sudah mulai dibongkar, dst. Eksplorasinya dua tahun. Bayangkan seperti apa dampaknya. Hampir tak ada bedanya dengan eksploitasi.
Di Lembata, Mabar, dan kini di Ngada, pemkab memakai bahasa seragam: “Ini baru eksplorasi”. Masyarakat bisa terkecoh. Pada banyak kasus, eksplorasi sering dijadikan kamuflase eksploitasi. Dalam taktik meloloskan tambang, modus operandi seperti ini bukan hal baru.
Namun, secanggih apa pun kamuflase, tambang akan kandas kalau masyarakat pemilik tanah menolak. UU Minerba yg baru menyatakan, pemegang izin usaha pertambangan hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah.
Untuk Riung, lolos tidaknya tambang batu bara tergantung dari masyarakat Riung sendiri. Kalau konsisten menolak dan tetap kompak menolak, tambang itu batal. Selanjutnya, waspada. Sosialisasi yang kandas biasanya diteruskan dengan politik adu domba. Kalau rela jadi domba, silakan. Namun betapa menyedihkan. Masyarakat Riung itu tuan atas buminya berpijak. Investor pertama, utama, dan terlama atas tanah tumpah darahnya. Jangan gadaikan kepada tamu yang numpang lewat. Hutan telah diambil, sekarang jantung, hati, paru-paru, ginjal, dan empedu bumimu. Jangan kau relakan. Kompak dan tolak!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 6 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Warga Riung, Ngada, menolak tambang batu bara. Selain karena tambang merusak lingkungan hidup, calon lokasinya permukiman warga, lahan pertanian, perkebunan, dan peternakan. Kalau Pemkab Ngada berpihak pada masyarakat miskin, datangkan investor pertanian, pariwisata, dan lain-lain. Bukan tambang.
Sikap ini disampaikan dalam dialog sosialisasi tambang di Riung, Rabu 3 Juni 2009. Hadir, tim investasi Pemkab Ngada, kuasa pertambangan PT Graha Kencana Perkasa, kepala desa, tokoh masyarakat, pemuda, dan tokoh agama.
Tangkis tim pemkab, kuasa pertambangan belum eksploitasi. Ini baru eksplorasi. Belum merusak lingkungan. Hmmm. Pernyataan ini bisa mengecoh masyarakat.
Eksplorasi merupakan tahapan setelah penyelidikan umum, untuk kemudian dilanjutkan dengan studi kelayakan sebelum operasi produksi yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Jelas, eksplorasi bukanlah tahap awal, tapi tahap tengah menjelang eksploitasi. Titik tolak dan titik tujunya sudah jelas. Eksplorasi itu penyelidikan lanjutan yang ‘mengukuhkan’ hasil penyelidikan umum (titik tolak), sekaligus ‘melempangkan jalan’ eksploitasi (titik tuju). Dalam praktiknya, eskplorasi sudah merupakan babak pertama eksploitasi.
Karena itu, tidak tepat dikatakan “Ini baru ekplorasi.” Yang benar: “Ini sudah eksplorasi.” Artinya apa? Eksploitasi sudah pasti jadi. Perusakan pun sudah dimulai. Lihat, calon lokasi tambang emas Batu Gosok, Mabar. Tahapnya eksplorasi, tapi tanahnya sudah mulai dibongkar, dst. Eksplorasinya dua tahun. Bayangkan seperti apa dampaknya. Hampir tak ada bedanya dengan eksploitasi.
Di Lembata, Mabar, dan kini di Ngada, pemkab memakai bahasa seragam: “Ini baru eksplorasi”. Masyarakat bisa terkecoh. Pada banyak kasus, eksplorasi sering dijadikan kamuflase eksploitasi. Dalam taktik meloloskan tambang, modus operandi seperti ini bukan hal baru.
Namun, secanggih apa pun kamuflase, tambang akan kandas kalau masyarakat pemilik tanah menolak. UU Minerba yg baru menyatakan, pemegang izin usaha pertambangan hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah.
Untuk Riung, lolos tidaknya tambang batu bara tergantung dari masyarakat Riung sendiri. Kalau konsisten menolak dan tetap kompak menolak, tambang itu batal. Selanjutnya, waspada. Sosialisasi yang kandas biasanya diteruskan dengan politik adu domba. Kalau rela jadi domba, silakan. Namun betapa menyedihkan. Masyarakat Riung itu tuan atas buminya berpijak. Investor pertama, utama, dan terlama atas tanah tumpah darahnya. Jangan gadaikan kepada tamu yang numpang lewat. Hutan telah diambil, sekarang jantung, hati, paru-paru, ginjal, dan empedu bumimu. Jangan kau relakan. Kompak dan tolak!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 6 Juni 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
masyarakat riung tolak tambang batu bara,
ngada,
pertambangan,
rencana tambang batu bara riung,
riung,
tambang batu bara
04 Juni 2009
DPRD Ende Mau Pansus??
Kontroversi Mutasi Aparatur Pemkab Ende
Oleh Frans Anggal
Beberapa anggota DPRD Ende mau mem-pansus-kan mutasi pejabat di lingkup Pemkab Ende. Mereka menilai mutasi kali ini tidak profesional. Anggota lain tidak sependapat. Ketua komisi A, Agil Parera Ambuwaru, misalnya, ingin menguji dulu dasarnya: apakah mutasi ini merugikan negara dan daerah atau tidak. Kalau mutasi tidak merugikan negara dan darah, tak perlu bikin pansus.
Di mata Agil, mutasi yang dilakukan Bupati Don Bosco M Wangge dan Wabup Achmad Mochdar merupakan langkah maju dalam reformasi birokrasi. Masyarakat sudah tahu, administrasi kantor Pemkab Ende sangat bobrok, dan itu bisa dibuktikan, katanya. Apa persisnya, tidak ia beberkan.
Yang kasat mata, Ende dililit banyak kasus dugaan korupsi. Kalaupun bukan bukti kebobrokan, kasus-kasus ini indikasi ketidakberesan birokrasi. Bupati Don Wangge sendiri melihat birokrasi sebagai kunci permasalahan. Meningkatnya angka kemiskinan, jebloknya mutu pendidikan, dan rendahnya derajat kesehatan masyarakat tidak dikarenakan oleh kurangnya dana. Dana cukup. Biang keroknya: salah urus birokrasi. Karena itu, birokrasi harus ditata. Salah satu langkahnya, mutasi.
Karena biang keroknya salah urus birokrasi, apalagi jika terencana, tersistem, dan sudah berlangsung lama, maka penataan tambal sulam tidaklah cukup. Penataan birokrasi mesti seakar-akarnya (radikal), utuh, menyeluruh, meski harus bertahap. Ini mengharuskan pembongkaran yang lama (dekonstruksi) dan pembangunan kembali yang baru (rekonstruksi).
Bahwa muncul reaksi tidak puas, wajar. Sulit memuaskan semua pihak. Sejauh ini, reaksi itu perseorangan. Maka, seyogianya penyelesaiannya pun perseorangan pula. Birokrasi sudah punya mekanisme untuk itu. Yang mengagetkan, belum pada tahap penyelesaian oleh birokrasi, beberapa anggota DPRD mendesakkan pansus. Gegabah.
Selain harus cermat, pansus semestinya memperjuangkan kepentingan umum . Bukan kepentingan orang per orang. Oleh karena itu, untuk pansus mutasi, dasar yang digugat Agil Ambuwaru sangat tepat: apakah mutasi itu merugikan negara dan daerah? Jika tidak, pansus kehilangan legitimasi.
Secara apriori, legitimasi pansus mutasi sangatlah lemah. Karena, secara apriori, mutasi kali ini menguntungkan negara dan daerah, khususnya publik yang dilayani birokrasi. Judul pidato Wangge-Mochdar saat dilantik, “Kepuasan Masyarakat adalah Kunci Keberhasilan Birokrasi”. Titik tujunya kepuasan masyarakat, bukan kepuasan birokrasi. Karena itu, semestinya tunggu dan lihat, sejauh mana birokrasi memuaskan masyarakat. Ini, belum apa-apa, pansus.
Selain gegabah, aneh. Pada masa bupati-wabup Domi-Gadobani, banyak kasus dugaan korupsi, mana ada pansus? Sebulan sebelum turun takhta, Domi-Gadobani lakukan mutasi, mana ada pansus?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 5 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Beberapa anggota DPRD Ende mau mem-pansus-kan mutasi pejabat di lingkup Pemkab Ende. Mereka menilai mutasi kali ini tidak profesional. Anggota lain tidak sependapat. Ketua komisi A, Agil Parera Ambuwaru, misalnya, ingin menguji dulu dasarnya: apakah mutasi ini merugikan negara dan daerah atau tidak. Kalau mutasi tidak merugikan negara dan darah, tak perlu bikin pansus.
Di mata Agil, mutasi yang dilakukan Bupati Don Bosco M Wangge dan Wabup Achmad Mochdar merupakan langkah maju dalam reformasi birokrasi. Masyarakat sudah tahu, administrasi kantor Pemkab Ende sangat bobrok, dan itu bisa dibuktikan, katanya. Apa persisnya, tidak ia beberkan.
Yang kasat mata, Ende dililit banyak kasus dugaan korupsi. Kalaupun bukan bukti kebobrokan, kasus-kasus ini indikasi ketidakberesan birokrasi. Bupati Don Wangge sendiri melihat birokrasi sebagai kunci permasalahan. Meningkatnya angka kemiskinan, jebloknya mutu pendidikan, dan rendahnya derajat kesehatan masyarakat tidak dikarenakan oleh kurangnya dana. Dana cukup. Biang keroknya: salah urus birokrasi. Karena itu, birokrasi harus ditata. Salah satu langkahnya, mutasi.
Karena biang keroknya salah urus birokrasi, apalagi jika terencana, tersistem, dan sudah berlangsung lama, maka penataan tambal sulam tidaklah cukup. Penataan birokrasi mesti seakar-akarnya (radikal), utuh, menyeluruh, meski harus bertahap. Ini mengharuskan pembongkaran yang lama (dekonstruksi) dan pembangunan kembali yang baru (rekonstruksi).
Bahwa muncul reaksi tidak puas, wajar. Sulit memuaskan semua pihak. Sejauh ini, reaksi itu perseorangan. Maka, seyogianya penyelesaiannya pun perseorangan pula. Birokrasi sudah punya mekanisme untuk itu. Yang mengagetkan, belum pada tahap penyelesaian oleh birokrasi, beberapa anggota DPRD mendesakkan pansus. Gegabah.
Selain harus cermat, pansus semestinya memperjuangkan kepentingan umum . Bukan kepentingan orang per orang. Oleh karena itu, untuk pansus mutasi, dasar yang digugat Agil Ambuwaru sangat tepat: apakah mutasi itu merugikan negara dan daerah? Jika tidak, pansus kehilangan legitimasi.
Secara apriori, legitimasi pansus mutasi sangatlah lemah. Karena, secara apriori, mutasi kali ini menguntungkan negara dan daerah, khususnya publik yang dilayani birokrasi. Judul pidato Wangge-Mochdar saat dilantik, “Kepuasan Masyarakat adalah Kunci Keberhasilan Birokrasi”. Titik tujunya kepuasan masyarakat, bukan kepuasan birokrasi. Karena itu, semestinya tunggu dan lihat, sejauh mana birokrasi memuaskan masyarakat. Ini, belum apa-apa, pansus.
Selain gegabah, aneh. Pada masa bupati-wabup Domi-Gadobani, banyak kasus dugaan korupsi, mana ada pansus? Sebulan sebelum turun takhta, Domi-Gadobani lakukan mutasi, mana ada pansus?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 5 Juni 2009
Label:
bentara,
birokrasi ende,
ende,
flores,
flores pos,
mutasi pemkab ende,
pansus mutasi dprd ende
03 Juni 2009
Ketika PDAM Ende Disidak
Unit Pelayanan Publik yang Terlantarkan
Oleh Frans Anggal
Dalam sidak ke PDAM Ende, Senin 1 Juni 2009, Wabup Achmad Mochdar meminta perusahaan daerah air minum itu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan maksimal dimungkinkan oleh sarana dan prasarana memadai. Karena itu, wabup meminta PDAM memberikan informasi terbaik tentang berbagai kebutuhan. Dirut PDAM Ayub Waka pun membeberkannya.
Sidak ke PDAM penting dan mendesak. Tak ada unit pelayanan publik sevital PDAM. Listrik boleh tidak ada, asal jangan air bersih. Air sudah identik dengan kehidupan. Enam puluh persen dari tubuh manusia adalah air. Manusia butuhkan 2-10 liter air per hari. Manusia dapat bertahan tanpa makanan selama 7 minggu, tapi tidak bisa tanpa air hanya dalam beberapa hari.
Sebegitu vitalnya air, sebegitu vitalnya PDAM. Bukan hanya vital, PDAM juga unit pelayanan publik paling langsung menyentuh hajat hidup orang banyak. Jalan raya boleh rusak, asal jangan pipa air. Warga yang melintasi jalan raya dalam sehari hanya sekian persen dari populasi manusia. Tanpa bepergian, orang tetap hidup. Tidak demikian tanpa air.
Sedemikian vital bagi kehidupan, sedemikian menyentuh langsung hajat hidup orang banyak, apa lantas PDAM diperhatikan serius oleh pemerintah? Justru tidak. Bangun kantor megah, bisa. Beli mobil mewah, bisa. Bikin perjalanan dinas jauh dan lama, bisa. Semuanya bisa. Selalu ada uangnya. Coba, untuk perbanyakan sumber air, perluasan jaringan pipa , atau penggantian pipa karatan warisan Belanda, selalu dibilang dana tidak cukup.
Apa benar tidak cukup? Dalih klise ini sudah dibantah Bupati Don Wangge seperti dilansir situs www.aktualita-ntt.com beberapa waktu lalu. “Uang untuk Kabupaten Ende itu cukup. Tetapi karena selama ini birokrasi salah urus maka keadaannya tetap seperti itu. Dana yang demikian banyak lebih diperuntukkan bagi hal-hal yang tidak penting. Termasuk pemborosan yang dilakukan selama ini untuk kendaraan dinas seperti mobil. Hal itu praktis mengabaikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat kecil.”
Kalau dana cukup, mengapa untuk PDAM selalu kurang? Ironis bila beri ke PDAM-nya kurang, ambil dari PDAM-nya banyak. Bukan rahasia, di banyak daerah, PDAM itu sapi perahnya pejabat. Sudah tidak diberi gizi cukup, susunya disedot terus. Kasus dugaan korupsi di PDAM Ende merupakan satu contoh.
Bupati-wabup Ende sudah berganti. Wangge-Mochdar pun sudah beri janji. Dan janji mereka terangkum dalam judul pidato saat keduanya dilantik Selasa 7 April 2009: “Kepuasan Masyarakat adalah Kunci Keberhasilan Birokrasi”. Untuk PDAM tentu: Kepuasan Pelanggan adalah Kunci Keberhasilan PDAM.
Kini tinggal bukti. Sidak Wabup Mochdar ke PDAM kiranya menjadi awal yang baik. PDAM harus ‘baru’. Kalau tetap yang ‘lama’, balikkan dulu judul pidato itu: “Kepuasan Birokrasi adalah Kunci Keberhasilan Masyarakat”.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 4 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Dalam sidak ke PDAM Ende, Senin 1 Juni 2009, Wabup Achmad Mochdar meminta perusahaan daerah air minum itu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan maksimal dimungkinkan oleh sarana dan prasarana memadai. Karena itu, wabup meminta PDAM memberikan informasi terbaik tentang berbagai kebutuhan. Dirut PDAM Ayub Waka pun membeberkannya.
Sidak ke PDAM penting dan mendesak. Tak ada unit pelayanan publik sevital PDAM. Listrik boleh tidak ada, asal jangan air bersih. Air sudah identik dengan kehidupan. Enam puluh persen dari tubuh manusia adalah air. Manusia butuhkan 2-10 liter air per hari. Manusia dapat bertahan tanpa makanan selama 7 minggu, tapi tidak bisa tanpa air hanya dalam beberapa hari.
Sebegitu vitalnya air, sebegitu vitalnya PDAM. Bukan hanya vital, PDAM juga unit pelayanan publik paling langsung menyentuh hajat hidup orang banyak. Jalan raya boleh rusak, asal jangan pipa air. Warga yang melintasi jalan raya dalam sehari hanya sekian persen dari populasi manusia. Tanpa bepergian, orang tetap hidup. Tidak demikian tanpa air.
Sedemikian vital bagi kehidupan, sedemikian menyentuh langsung hajat hidup orang banyak, apa lantas PDAM diperhatikan serius oleh pemerintah? Justru tidak. Bangun kantor megah, bisa. Beli mobil mewah, bisa. Bikin perjalanan dinas jauh dan lama, bisa. Semuanya bisa. Selalu ada uangnya. Coba, untuk perbanyakan sumber air, perluasan jaringan pipa , atau penggantian pipa karatan warisan Belanda, selalu dibilang dana tidak cukup.
Apa benar tidak cukup? Dalih klise ini sudah dibantah Bupati Don Wangge seperti dilansir situs www.aktualita-ntt.com beberapa waktu lalu. “Uang untuk Kabupaten Ende itu cukup. Tetapi karena selama ini birokrasi salah urus maka keadaannya tetap seperti itu. Dana yang demikian banyak lebih diperuntukkan bagi hal-hal yang tidak penting. Termasuk pemborosan yang dilakukan selama ini untuk kendaraan dinas seperti mobil. Hal itu praktis mengabaikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat kecil.”
Kalau dana cukup, mengapa untuk PDAM selalu kurang? Ironis bila beri ke PDAM-nya kurang, ambil dari PDAM-nya banyak. Bukan rahasia, di banyak daerah, PDAM itu sapi perahnya pejabat. Sudah tidak diberi gizi cukup, susunya disedot terus. Kasus dugaan korupsi di PDAM Ende merupakan satu contoh.
Bupati-wabup Ende sudah berganti. Wangge-Mochdar pun sudah beri janji. Dan janji mereka terangkum dalam judul pidato saat keduanya dilantik Selasa 7 April 2009: “Kepuasan Masyarakat adalah Kunci Keberhasilan Birokrasi”. Untuk PDAM tentu: Kepuasan Pelanggan adalah Kunci Keberhasilan PDAM.
Kini tinggal bukti. Sidak Wabup Mochdar ke PDAM kiranya menjadi awal yang baik. PDAM harus ‘baru’. Kalau tetap yang ‘lama’, balikkan dulu judul pidato itu: “Kepuasan Birokrasi adalah Kunci Keberhasilan Masyarakat”.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 4 Juni 2009
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
pdam ende,
sidak pdam ende,
wabup achmad mochdar
02 Juni 2009
Beranikah Bupati Pranda?
Cabut atau Tidak Izin Tambang Emas di Mabar
Oleh Frans Anggal
Gerakan Masyarakat Anti-Tambang (Geram) di Mabar menilai tim survei tambang tidak beretika. Tim memasuki lahan masyarakat tanpa permisi. “Karena mereka masuk tanpa etika, kita tolak mereka,” kata Wil Warung saat dialog dengan pemkab dan DPRD di Labuan Bajo, Jumat 29 Mei 2009.
Dalam dialog terungkap, ternyata bukan hanya masyarakat pemilik lahan yang tidak diberi tahu, tapi DPRD juga. DPRD tidak pernah diberi tahu oleh pemkab tentang rencana tambang di daerah ini. Tanpa sepengetahuan DPRD, Bupati Fidelis Pranda ternyata sudah mengeluarkan dua izin eksplorasi tambang emas. Di Batu Gosok dan di Tebedo.
Maka, bukan cuma Geram yang geram. DPRD pun ikut geram. DPRD akan memanggil pemkab. Tidak segera tentunya, karena Bupati Pranda sedang studi banding di Jerman bersama dua bupati lain dari Flores.
Apa sikap Bupati Pranda nanti menghadapi tuntutan masyarakat dan DPRD? Entahlah. Kalau diekstremkan, pilihannya cuma dua: pilih rakyat atau pilih investor. Soal pilihan seperti ini, mantan bupati Ende Paulinus Domi layak menjadi contoh.
Tahun 2007, masyarakat adat Lise Tana Telu menolak rencana tambang biji besi di Kecamatan Lio Timur, Wolowaru, dan Maurole. Mereka mendesak bupati mencabut izin yang sudah diberikan kepada PT Anugerah Persada Mining tanpa sepengetahuan DPRD. Apa jawaban bupati? “Kalau mau cabut sekarang juga bisa!” Izin pun ia cabut. Sikapnya dipuji dan dikenang. Ia seorang pemberani.
Beraninya itu berani yang benar. Berani demi rakyat, bukan demi investor. Berani membela rakyat meski harus mengecewakan investor, bukan berani membela investor meski harus mengorbankan rakyat. Dengan begitu, ia bupatinya rakyat, bukan jongosnya investor.
Mengapa ia seberani itu? Jawabannya sederhana. Ia tidak punya beban, karena tidak atau belum menerima ‘beban’ dari investor. Kalau sudah terima ‘apa-apa’, ya susahlah. Apalagi kalau, misalnya, ikut menjadi salah satu pemegang saham (saham good will alias saham cek kosong) dalam usaha pertambangan itu.
Contoh keberanian terpuji lainnya dilakoni Bupati Manggarai Chris Rotok. Maret 2009 ia mencabut izin usaha pertambangan PT Sumber Jaya Asia yang menambang mangan di kawasan hutan lindung di Kecamatan Reok. Kini ia digugat di PTUN oleh kuasa pertambangan. Demi rakyat, siapa takut!
Sekarang giliran Bupati Pranda. Beranikah ia mencabut izin tambang? Tambang emas itu tanpa sepengetahuan dan sepersetujuan masyarakat dan DPRD. Di Batu Gosok, eksplorasinya malah melanggar jalur hijau, tata ruang, dan perda.
Mudah-mudahan ia bisa seberani Bupati Domi dan Bupati Rotok. Dan semoga, ini penting, ia belum menerima ‘beban’ alias lowang kope dari investor.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 3 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Gerakan Masyarakat Anti-Tambang (Geram) di Mabar menilai tim survei tambang tidak beretika. Tim memasuki lahan masyarakat tanpa permisi. “Karena mereka masuk tanpa etika, kita tolak mereka,” kata Wil Warung saat dialog dengan pemkab dan DPRD di Labuan Bajo, Jumat 29 Mei 2009.
Dalam dialog terungkap, ternyata bukan hanya masyarakat pemilik lahan yang tidak diberi tahu, tapi DPRD juga. DPRD tidak pernah diberi tahu oleh pemkab tentang rencana tambang di daerah ini. Tanpa sepengetahuan DPRD, Bupati Fidelis Pranda ternyata sudah mengeluarkan dua izin eksplorasi tambang emas. Di Batu Gosok dan di Tebedo.
Maka, bukan cuma Geram yang geram. DPRD pun ikut geram. DPRD akan memanggil pemkab. Tidak segera tentunya, karena Bupati Pranda sedang studi banding di Jerman bersama dua bupati lain dari Flores.
Apa sikap Bupati Pranda nanti menghadapi tuntutan masyarakat dan DPRD? Entahlah. Kalau diekstremkan, pilihannya cuma dua: pilih rakyat atau pilih investor. Soal pilihan seperti ini, mantan bupati Ende Paulinus Domi layak menjadi contoh.
Tahun 2007, masyarakat adat Lise Tana Telu menolak rencana tambang biji besi di Kecamatan Lio Timur, Wolowaru, dan Maurole. Mereka mendesak bupati mencabut izin yang sudah diberikan kepada PT Anugerah Persada Mining tanpa sepengetahuan DPRD. Apa jawaban bupati? “Kalau mau cabut sekarang juga bisa!” Izin pun ia cabut. Sikapnya dipuji dan dikenang. Ia seorang pemberani.
Beraninya itu berani yang benar. Berani demi rakyat, bukan demi investor. Berani membela rakyat meski harus mengecewakan investor, bukan berani membela investor meski harus mengorbankan rakyat. Dengan begitu, ia bupatinya rakyat, bukan jongosnya investor.
Mengapa ia seberani itu? Jawabannya sederhana. Ia tidak punya beban, karena tidak atau belum menerima ‘beban’ dari investor. Kalau sudah terima ‘apa-apa’, ya susahlah. Apalagi kalau, misalnya, ikut menjadi salah satu pemegang saham (saham good will alias saham cek kosong) dalam usaha pertambangan itu.
Contoh keberanian terpuji lainnya dilakoni Bupati Manggarai Chris Rotok. Maret 2009 ia mencabut izin usaha pertambangan PT Sumber Jaya Asia yang menambang mangan di kawasan hutan lindung di Kecamatan Reok. Kini ia digugat di PTUN oleh kuasa pertambangan. Demi rakyat, siapa takut!
Sekarang giliran Bupati Pranda. Beranikah ia mencabut izin tambang? Tambang emas itu tanpa sepengetahuan dan sepersetujuan masyarakat dan DPRD. Di Batu Gosok, eksplorasinya malah melanggar jalur hijau, tata ruang, dan perda.
Mudah-mudahan ia bisa seberani Bupati Domi dan Bupati Rotok. Dan semoga, ini penting, ia belum menerima ‘beban’ alias lowang kope dari investor.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 3 Juni 2009
Label:
bentara,
bupati fidelis pranda,
flores,
flores pos,
manggarai barat,
pertambangan,
tambang emas
01 Juni 2009
Riak Reaksi Mutasi Ende
Mutasi Besar-besaran di Tubuh Birokrasi
Oleh Frans Anggal
Wabup Ende Achmad Mochdar melantik 118 pejabat eselon IV, Sabtu 30 Mei 2009. Ada yang naik eselon, ada yang turun. Sebelumnya, Jumat 22 Mei 2009, Bupati Don Bosco M Wangge melantik pejabat eselon II dan III. Lima pejabat dijadikan staf ahli, 3 non-job, 3 turun eselon. Sekda Moh Iskandar Mberu pun diganti oleh Plt Sekda Bernadus Guru yang juga Asisten III Setda.
Mutasi besar bergelombang ini menuai beragam reaksi. Ada yang melalui SMS. Salah satunya berkomentar, “Saya sangat mendukung penataan birokrasi yang dilakukan oleh bupati Ende pada instansi. Sudah bagus. Tapi kenapa ketua dan stafnya yang ditempatkan di bappeda berprofesi dokter? Yang sebenarnya mereka bertugas melayani masyarakat. Kok lucu ya?”
Berbeda dengan pengirim SMS yang kebanyakan anonim, pembuat pernyataan pers jauh lebih berani, apalagi dia PNS. Mustaqim Mad Mberu. Sebelum mutasi, jabatannya Kabid Perhubungan Darat pada Dishubkominfo. Kini jabatan itu ditempati orang baru. Ia sendiri belum kebagian jabatan baru. Pangkatnya pun turun dari IIIb ke IVa. Mustaqim heran, ia tidak pernah melakukan perbuatan indisipliner sampai ‘layak’ mendapat ‘hukuman’ seperti ini. Ia sudah surati bupati, minta klarifikasi, sebelum mengambil langkah lain.
Riak reaksi yang wajar. llmu fisika mengenal istilah ‘kelembaman’ (inertia). Benda yang diam cenderung tetap diam sejauh tidak digerakkan. Benda yang bergerak cenderung tetap bergerak sejauh tidak didiamkan. Menggerakkan benda diam dan mendiamkan benda bergerak membutuhkan energi.
Dalam birokrasi, energi itu keberanian. Keberanian perlu karena struktur birokrasi pun cenderung lembam. Itulah ‘kelembaman struktur’ (inertia of the structure). Struktur birokrasi cenderung bertahan dan dipertahankan (status quo) oleh orang yang merasa sedang diuntungkan.
Mengubah kelembaman birokrasi membutuhkan keberanian pemimpin. Wangge-Mochdar miliki itu. Selain berani, keduanya relatif bersih. Kualifikasi inilah yang membuat mereka menang mutlak pilkada hanya dalam satu putaran. Keduanya dicitrakan sebagai pemimpin yang berani dan bersih. Dua kualifikasi ini dipercaya bisa mengubah Ende menjadi lebih baik.
Keberanian keduanya mengubah kelembaman birokrasi mulai terbukti. Yang dipertanyakan, apakah keduanya juga masih bersih, termasuk bersih dari jasa dan dendam politik, sehingga benar-benar menempatkan the right man on the right place? Kenapa kepala dan staf bappeda mesti dokter? Kenapa Mustaqim Mad Mberu ‘dibegitukan’? Apakah karena dia putra mantan sekda Iskandar Mberu, rival politik Wangge-Mochdar?
Riak reaksi itu wajar dan berguna kalau dipetik hikmahnya. Sejauh tidak menumbangkan pohon, badai sekalipun bermanfaat. Menggugurkan daun-daun kering agar pohon kembali hijau oleh tunas-tunas muda.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 2 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Wabup Ende Achmad Mochdar melantik 118 pejabat eselon IV, Sabtu 30 Mei 2009. Ada yang naik eselon, ada yang turun. Sebelumnya, Jumat 22 Mei 2009, Bupati Don Bosco M Wangge melantik pejabat eselon II dan III. Lima pejabat dijadikan staf ahli, 3 non-job, 3 turun eselon. Sekda Moh Iskandar Mberu pun diganti oleh Plt Sekda Bernadus Guru yang juga Asisten III Setda.
Mutasi besar bergelombang ini menuai beragam reaksi. Ada yang melalui SMS. Salah satunya berkomentar, “Saya sangat mendukung penataan birokrasi yang dilakukan oleh bupati Ende pada instansi. Sudah bagus. Tapi kenapa ketua dan stafnya yang ditempatkan di bappeda berprofesi dokter? Yang sebenarnya mereka bertugas melayani masyarakat. Kok lucu ya?”
Berbeda dengan pengirim SMS yang kebanyakan anonim, pembuat pernyataan pers jauh lebih berani, apalagi dia PNS. Mustaqim Mad Mberu. Sebelum mutasi, jabatannya Kabid Perhubungan Darat pada Dishubkominfo. Kini jabatan itu ditempati orang baru. Ia sendiri belum kebagian jabatan baru. Pangkatnya pun turun dari IIIb ke IVa. Mustaqim heran, ia tidak pernah melakukan perbuatan indisipliner sampai ‘layak’ mendapat ‘hukuman’ seperti ini. Ia sudah surati bupati, minta klarifikasi, sebelum mengambil langkah lain.
Riak reaksi yang wajar. llmu fisika mengenal istilah ‘kelembaman’ (inertia). Benda yang diam cenderung tetap diam sejauh tidak digerakkan. Benda yang bergerak cenderung tetap bergerak sejauh tidak didiamkan. Menggerakkan benda diam dan mendiamkan benda bergerak membutuhkan energi.
Dalam birokrasi, energi itu keberanian. Keberanian perlu karena struktur birokrasi pun cenderung lembam. Itulah ‘kelembaman struktur’ (inertia of the structure). Struktur birokrasi cenderung bertahan dan dipertahankan (status quo) oleh orang yang merasa sedang diuntungkan.
Mengubah kelembaman birokrasi membutuhkan keberanian pemimpin. Wangge-Mochdar miliki itu. Selain berani, keduanya relatif bersih. Kualifikasi inilah yang membuat mereka menang mutlak pilkada hanya dalam satu putaran. Keduanya dicitrakan sebagai pemimpin yang berani dan bersih. Dua kualifikasi ini dipercaya bisa mengubah Ende menjadi lebih baik.
Keberanian keduanya mengubah kelembaman birokrasi mulai terbukti. Yang dipertanyakan, apakah keduanya juga masih bersih, termasuk bersih dari jasa dan dendam politik, sehingga benar-benar menempatkan the right man on the right place? Kenapa kepala dan staf bappeda mesti dokter? Kenapa Mustaqim Mad Mberu ‘dibegitukan’? Apakah karena dia putra mantan sekda Iskandar Mberu, rival politik Wangge-Mochdar?
Riak reaksi itu wajar dan berguna kalau dipetik hikmahnya. Sejauh tidak menumbangkan pohon, badai sekalipun bermanfaat. Menggugurkan daun-daun kering agar pohon kembali hijau oleh tunas-tunas muda.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 2 Juni 2009
Label:
bentara,
birokrasi,
birokrasi ende,
ende,
flores,
flores pos,
mutasi birokrasi ende,
reaksi atas mutasi birokrasi ende
Kajari Ende, Ini Ada Apa?
Tolak Sebut Identitas Tersangka Kasus PLTU Ropa
Oleh Frans Anggal
Kejari Ende telah menetapkan dua tersangka kasus PLTU Ropa dengan dugaan kerugian keuangan negara Rp3 milar lebih. Kedua tersangka akan dikenai UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dijanjikan, Juli 2009 kasus ini sudah dilimpahkan ke pengadilan.
Siapa dua tersangka itu? Kajari Marihot Silalahi hanya menyebutnya AD dan KD. “Kita sepakat saja ya, cukup menyebutkan inisialnya saja. Kalian pasti tahulah,” katanya dalam konferensi pers Jumat 9 Mei 2009. Ketika dihubungi kembali oleh wartawan Flores Pos untuk memintanya minimal menyebutkan jabatan atau posisi kedua tersangka, ia tetap tidak mau. “Sebut saja oknum PLN. Nanti pada saat pemanggilan yang bersangkutan, akan diberitahukan lagi.”
Langkah Kejari Ende menetapkan tersangka patut dipuji. Sayangnya, tidak disertai transparansi. Kajari tidak berterus terang menyebutkan siapa persisnya kedua oknum PLN itu. Sebagai pejabat publik, ia telah mengabaikan kewajiban memenuhi salah satu hak dasar publik. Hak untuk tahu (right to know).
Kasus PLTU Ropa itu kasus pidana korupsi. Apa pun definisinya dan dalam perspektif apa pun pengertiannya, korupsi selalu masuk dalam ranah publik. Dari segi akibatnya, korupsi dapat menghilangkan kepercayaan publik terhadap negara. Secara politik, merusak tatanan demokrasi dan tata kelola negara. Secara ekonomi, merusak pembangunan melalui penyimpangan dan inefisiensi sumber daya publik.
Di sisi lain, kasus PLTU Ropa juga kasus BUMN, dalam hal ini PT PLN (Persero). UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memposisikan BUMN Persero masuk dalam tataran hukum publik. Maka, lengkaplah sudah ke-publik-an kasus PLTU Ropa, atas dasar ranah dan tataran hukumnya.
Atas dasar itulah publik berhak untuk tahu segala hal berkaitan dengan proses hukumnya. Tidak hanya perihal kerugian keuangan negara dan ancaman hukuman, tapi juga tersangka pelakunya, waktu dan tempat kejadian, serta motif dan modus tindakannya. Hak ini yang justru tidak dipenuhi seluruhnya oleh Kajari Silalahi selaku pejabat publik.
Tampaknya, kajari merasa sudah cukup hanya dengan mengandaikan publik tahu. Pengandaian dipersamakan dengan pemberitahuan. Padahal, keduanya berbeda. Pengandaian boleh subjektif dan mana suka. Pemberitahuan, tidak. Di hadapan hak publik untuk tahu, pemberitahuan itu wajib dan harus objektif. Karena itu, yang bisa memenuhi hak publik untuk tahu adalah pemberitahuan, bukan pengandaian. Ini yang justru tidak dilakukan Kajari Silalahi.
Janggalnya, ia masih merahasiakan subjek tindak pidana korupsi justru ketika subjek itu sudah ditetapkannya menjadi tersangka. Kasusnya sudah maju, sikap kajarinya malah mundur, seakan-akan ke tahap pulbaket lagi. Ini ada apa?
“Bentara” FLORES POS, Senin 1 Juni 2009
Oleh Frans Anggal
Kejari Ende telah menetapkan dua tersangka kasus PLTU Ropa dengan dugaan kerugian keuangan negara Rp3 milar lebih. Kedua tersangka akan dikenai UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dijanjikan, Juli 2009 kasus ini sudah dilimpahkan ke pengadilan.
Siapa dua tersangka itu? Kajari Marihot Silalahi hanya menyebutnya AD dan KD. “Kita sepakat saja ya, cukup menyebutkan inisialnya saja. Kalian pasti tahulah,” katanya dalam konferensi pers Jumat 9 Mei 2009. Ketika dihubungi kembali oleh wartawan Flores Pos untuk memintanya minimal menyebutkan jabatan atau posisi kedua tersangka, ia tetap tidak mau. “Sebut saja oknum PLN. Nanti pada saat pemanggilan yang bersangkutan, akan diberitahukan lagi.”
Langkah Kejari Ende menetapkan tersangka patut dipuji. Sayangnya, tidak disertai transparansi. Kajari tidak berterus terang menyebutkan siapa persisnya kedua oknum PLN itu. Sebagai pejabat publik, ia telah mengabaikan kewajiban memenuhi salah satu hak dasar publik. Hak untuk tahu (right to know).
Kasus PLTU Ropa itu kasus pidana korupsi. Apa pun definisinya dan dalam perspektif apa pun pengertiannya, korupsi selalu masuk dalam ranah publik. Dari segi akibatnya, korupsi dapat menghilangkan kepercayaan publik terhadap negara. Secara politik, merusak tatanan demokrasi dan tata kelola negara. Secara ekonomi, merusak pembangunan melalui penyimpangan dan inefisiensi sumber daya publik.
Di sisi lain, kasus PLTU Ropa juga kasus BUMN, dalam hal ini PT PLN (Persero). UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memposisikan BUMN Persero masuk dalam tataran hukum publik. Maka, lengkaplah sudah ke-publik-an kasus PLTU Ropa, atas dasar ranah dan tataran hukumnya.
Atas dasar itulah publik berhak untuk tahu segala hal berkaitan dengan proses hukumnya. Tidak hanya perihal kerugian keuangan negara dan ancaman hukuman, tapi juga tersangka pelakunya, waktu dan tempat kejadian, serta motif dan modus tindakannya. Hak ini yang justru tidak dipenuhi seluruhnya oleh Kajari Silalahi selaku pejabat publik.
Tampaknya, kajari merasa sudah cukup hanya dengan mengandaikan publik tahu. Pengandaian dipersamakan dengan pemberitahuan. Padahal, keduanya berbeda. Pengandaian boleh subjektif dan mana suka. Pemberitahuan, tidak. Di hadapan hak publik untuk tahu, pemberitahuan itu wajib dan harus objektif. Karena itu, yang bisa memenuhi hak publik untuk tahu adalah pemberitahuan, bukan pengandaian. Ini yang justru tidak dilakukan Kajari Silalahi.
Janggalnya, ia masih merahasiakan subjek tindak pidana korupsi justru ketika subjek itu sudah ditetapkannya menjadi tersangka. Kasusnya sudah maju, sikap kajarinya malah mundur, seakan-akan ke tahap pulbaket lagi. Ini ada apa?
“Bentara” FLORES POS, Senin 1 Juni 2009
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
kajari ende,
kasus pltu ropa
Langganan:
Postingan (Atom)