Ancaman terhadap Para Pedagang Pasar Lewoleba
Oleh Frans Anggal
Para pedagang ikan dan sayur di Pasar Lewoleba diancam oleh seseorang bernama Osi Wejak. Dua kali ia datang mengancam, Selasa (24/8) dan Rabu (25/8). Kali kedua, ia didampingi anak Andeas Duli Manuk, Bupati Lembata. Namun anak bupati hanya berdiri diam. Osi Wejak-lah yang beraksi. “Kamu yang ikut demo itu, kamu lihat besok!” Ia menunding para pedagang sudah menerima uang dari keluarga Langoday.
Demo yang dirujuk Osi Wejak adalah demo Aliansi Keadilan dan Kebenaran Anti Kekerasan (Aldiras) di Lewoleba, Senin 24 Agustus 2009. Demo ini mendesak polisi dan jaksa serius, bersih, tegas, tuntas, dan adil menangani kasus kematian Yoakim Langoday. Para pendemo juga menyoroti kepemimpiann Bupati Manuk yang dinilai gagal.
Siapakah Osi Wejak? Warta Flores Pos Kamis 27 Agustus 2009 tidak menjelaskannya. Namun, siapa pun dia, aksinya khas preman. Melapor ke polisi merupakan langkah yang tepat. Seperti dilakukan forum Geram di Labuan Bajo, Mabar, Juli 2009.
Tiga kali Geram diancam preman.Pertama, 27 Juni. Yang dikejar adalah Theo Hamun, Ketua Arsita. Ini kelanjutan teror di lokasi tambang Batu Gosok 26 Juni. Kedua, dialami wartawan Kompas di Hotel Wisata yang didahului telepon pejabat bernada keras. Ketiga, teror ke rumah Kornelis Rahalaka, Sekretaris Geram, 6 Juli.
Ini negara hukum. Hukum diandalkan memutuskan mata rantai kekerasan, selain pendidikan dalam artian luas. Jika ancaman dibalas ancaman, mata rantai kekerasan tak akan putus. Darah tidak bisa dibersihkan dengan darah.
Aldiras dan Geram berbeda. Perjuangan mereka pun berbeda. Namun pihak yang mereka hadapi sama: penguasa. Fenomena yang terjadi dalam penghadapan itu pun sama pula. Seolah-olah, menghadapi penguasa berarti menghadapi para kaki tangan. Terlepas dari apakah kaki tangan itu bergerak refleks ataukah digerakkan terencana oleh otak.
Fenomena seperti ini lahir dari pola hubungan ‘bapak-anak buah’ (patron client relationship). Biar lebih rendah derajatnya, kita namakan saja pola ‘gembala-domba‘. Si ‘bapak buah’ gembalanya, si ‘anak buah’ dombanya. Dalam pola ini, seni mengelola kekuasaan adalah ‘seni menggembala’ (art of shepherding). Menggembala demi keuntungan si gembala.
Gembala yang ‘baik’ selalu menggiring dombanya ke padang rumput yang hijau dan sumber air yang segar. Tujuannya hanya satu, agar piaraannya menjadi tambun. Kalau sudah tambun, untuk siapakah gerangan domba-domba itu? Tidak lain tidak bukan, untuk si gembala sendiri. Domba dipelihara supaya bisa dimanfaatkan.
“Kamu yang ikut demo itu, kamu lihat besok!” Begitu ancaman Osi Wejak kepada para pedagang di Pasar Lewoleba. Apakah ia ‘kaki tangan’ perintahan ‘otak’, ‘anak buah’ suruhan ‘bapak buah’, dan ‘domba’ giringan ‘gembala’? Entahlah. Proses hukum laporan para pedagang akan membuktikannya.
Yang menarik, tudingannya. Ia menuding para pedagang sudah dibayar keluarga Langoday. Yang belajar teori psikologi Gestalt segera dapat melihat ini sebagai ‘proyeksi’. Proyeksi terjadi dalam diri orang yang tidak dapat menghadapi kelemahannya, yang direpresikannya. Seorang pencuri, misalnya, mencurigai kejujuran orang lain. Prinsipnya: ‘Dia adalah seperti aku’.
Patut dapat diduga, fenomena Osi Wejak adalah fenomena ‘proyeksi kaki tangan’, ‘proyeksi anak buah’, ‘proyeksi domba’.
“Bentara” FLORES POS, Senin 31 Agustus 2009
30 Agustus 2009
Lembata: Fenomena Osi Wejak
Label:
ancaman terhadap geram,
ancaman terhadap pedagang pasar lewoleba,
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus kematian yoakim langoday,
lembata,
premnisme
28 Agustus 2009
Rabies: Cegahnya Bersama
Agar Flores Bebas Rabies
Oleh Frans Anggal
Direktur RSUD Maumere Dokter Asep Purnomo mengibaratkan penanggulangan rabies di Flores dan Lembata (Floresta) sebagai pemadam kebakaran yang kehabisan air. Dalam emailnya Selasa 18 Agustus 2009, ia menjelaskan maksudnya. Kita keliru dalam fokus. Kita fokus pada pengobatan, bukan pada pencegahan. Padahal, pencegahan lebih baik daripada pengobatan.
Bayangkan saja seperti yang diibaratkan itu. Kita tidak mencegah kebakaran. Karena tidak dicegah, kebakaran pun terjadi. Dan ketika sudah terjadi, kita tidak bisa pula memadamkannya karena kita kehabisan air. Seperti itulah penanggulangan rabies. Pencegahan tidak berjalan dengan baik. Ketika kasus terjadi, penanganannya pun tidak dilakukan dengan baik karena kita selalu kehabisan vaksin anti rabies (VAR).
Kenapa selalu kehabisan? Dana terbatas, kata Dokter Asep. Di Sikka, misalnya, APBD-nya Rp400 miliar, PAD-nya hanya Rp20 miliar. Jadi, kemandiriannya hanya 5%. Miskin. Sementara, VAR mahal, Rp150 ribu per suntik. Harus empat kali suntik. Total per orang Rp600 ribu. Di sisi lain, yang harus diurus bukan hanya rabies. Masih banyak isi “supermarket penyakit” di NTT: malaria, TBC, HIV, frambusia, filariasis, demam berdarah, antraks, dll.
Di daerah kita yang miskin, mengandalkan VAR semata merupakan kekeliruan. Selain mahal, VAR itu upaya pengobatan (kuratif). Padahal, ada cara yang jauh lebih ekonomis, efektif, dan efisien. Yaitu upaya pencegahan (preventif). Ironinya, yang ini justru kita abaikan.
Kalau ada yang digigit anjing, kita sibuk minta VAR. Langkah kita hanya itu dan berhenti di situ. Kenapa tidak mengatur supaya tidak ada anjing rabies yang menggigit? Caranya? Pertama, upayakan tidak ada anjing rabies. Maka: anjing harus divaksinasi. Kalau tidak (mau) divaksinasi ya dieliminasi. Kedua, upayakan tidak ada anjing yang menggigit. Caranya: anjing diikat atau moncongnya ditutup.
Sudahkah upaya pencegahan ini dilaksanakan secara konsisten, berkesinambungan, dan tuntas? Belum! Buktinya, sudah satu dasawarsa lebih, rabies belum hilang-hilang dari Flores. Patah tumbuh, hilang berganti. Hilang di sini, muncul di sana. Tiap kabupaten akan mendapat giliran, seperti ‘arisan rabies’ saja.
Inilah yang justru menjadi inti keprihatinan Bupati Nagekeo Johanes Samping Aoh ketika melontarkan desakan perlunya gerakan bersama memberantas rabies, seperti diwartakan Flores Pos Kamis 27 Agustus 2009. Rabies hanya bisa lenyap dari Flores kalau ada gerakan bersama. Apalah artinya kalau satu kabupaten memberantas, sementara kabupaten lain membiarkan. “Perlu gerakan bersama melakukan vaksinasi. Jika ada HPR yang tidak tertib, dibasmi saja.”
Dengan menyebutkan vaksinasi HPR (hewan penular rabies), Bupati Aoh menekankan pentingnya pencegahan ketimbang pengobatan. Pendapatnya nyambung dengan pandangan Dokter Asep. Lebih jauh, Bupati Aoh menggarisbawahi satu hal penting. Pencegahan mesti dilakukan sebagai gerakan bersama. Ia menamakannya ‘gerakan vaksin bersama’.
Gerakan ini , kata Bupati Aoh, harus berlangsung sporadis dan berkelanjutan. Dimulai dari Kabupaten Lembata hingga Kabupaten Mabar. Untuk itu, semua kepala daerah perlu duduk bersama. Gagasan yang bagus.
Kalau semua kepala daerah mau duduk bersama, ini awal yang baik. Tapi kalau masing-masing suka terpasung dalam ‘ghettoisme’ daerah, sinyalemen Velens Daki-Soo pun terbukti. Masyarakat Flores adalah ‘masyarakat yang terpecah’ (disintegrated community). Aduh!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 29 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Direktur RSUD Maumere Dokter Asep Purnomo mengibaratkan penanggulangan rabies di Flores dan Lembata (Floresta) sebagai pemadam kebakaran yang kehabisan air. Dalam emailnya Selasa 18 Agustus 2009, ia menjelaskan maksudnya. Kita keliru dalam fokus. Kita fokus pada pengobatan, bukan pada pencegahan. Padahal, pencegahan lebih baik daripada pengobatan.
Bayangkan saja seperti yang diibaratkan itu. Kita tidak mencegah kebakaran. Karena tidak dicegah, kebakaran pun terjadi. Dan ketika sudah terjadi, kita tidak bisa pula memadamkannya karena kita kehabisan air. Seperti itulah penanggulangan rabies. Pencegahan tidak berjalan dengan baik. Ketika kasus terjadi, penanganannya pun tidak dilakukan dengan baik karena kita selalu kehabisan vaksin anti rabies (VAR).
Kenapa selalu kehabisan? Dana terbatas, kata Dokter Asep. Di Sikka, misalnya, APBD-nya Rp400 miliar, PAD-nya hanya Rp20 miliar. Jadi, kemandiriannya hanya 5%. Miskin. Sementara, VAR mahal, Rp150 ribu per suntik. Harus empat kali suntik. Total per orang Rp600 ribu. Di sisi lain, yang harus diurus bukan hanya rabies. Masih banyak isi “supermarket penyakit” di NTT: malaria, TBC, HIV, frambusia, filariasis, demam berdarah, antraks, dll.
Di daerah kita yang miskin, mengandalkan VAR semata merupakan kekeliruan. Selain mahal, VAR itu upaya pengobatan (kuratif). Padahal, ada cara yang jauh lebih ekonomis, efektif, dan efisien. Yaitu upaya pencegahan (preventif). Ironinya, yang ini justru kita abaikan.
Kalau ada yang digigit anjing, kita sibuk minta VAR. Langkah kita hanya itu dan berhenti di situ. Kenapa tidak mengatur supaya tidak ada anjing rabies yang menggigit? Caranya? Pertama, upayakan tidak ada anjing rabies. Maka: anjing harus divaksinasi. Kalau tidak (mau) divaksinasi ya dieliminasi. Kedua, upayakan tidak ada anjing yang menggigit. Caranya: anjing diikat atau moncongnya ditutup.
Sudahkah upaya pencegahan ini dilaksanakan secara konsisten, berkesinambungan, dan tuntas? Belum! Buktinya, sudah satu dasawarsa lebih, rabies belum hilang-hilang dari Flores. Patah tumbuh, hilang berganti. Hilang di sini, muncul di sana. Tiap kabupaten akan mendapat giliran, seperti ‘arisan rabies’ saja.
Inilah yang justru menjadi inti keprihatinan Bupati Nagekeo Johanes Samping Aoh ketika melontarkan desakan perlunya gerakan bersama memberantas rabies, seperti diwartakan Flores Pos Kamis 27 Agustus 2009. Rabies hanya bisa lenyap dari Flores kalau ada gerakan bersama. Apalah artinya kalau satu kabupaten memberantas, sementara kabupaten lain membiarkan. “Perlu gerakan bersama melakukan vaksinasi. Jika ada HPR yang tidak tertib, dibasmi saja.”
Dengan menyebutkan vaksinasi HPR (hewan penular rabies), Bupati Aoh menekankan pentingnya pencegahan ketimbang pengobatan. Pendapatnya nyambung dengan pandangan Dokter Asep. Lebih jauh, Bupati Aoh menggarisbawahi satu hal penting. Pencegahan mesti dilakukan sebagai gerakan bersama. Ia menamakannya ‘gerakan vaksin bersama’.
Gerakan ini , kata Bupati Aoh, harus berlangsung sporadis dan berkelanjutan. Dimulai dari Kabupaten Lembata hingga Kabupaten Mabar. Untuk itu, semua kepala daerah perlu duduk bersama. Gagasan yang bagus.
Kalau semua kepala daerah mau duduk bersama, ini awal yang baik. Tapi kalau masing-masing suka terpasung dalam ‘ghettoisme’ daerah, sinyalemen Velens Daki-Soo pun terbukti. Masyarakat Flores adalah ‘masyarakat yang terpecah’ (disintegrated community). Aduh!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 29 Agustus 2009
Label:
bentara,
bupati johanes samping aoh,
dokter asep purnomo,
flores,
flores pos,
kesehatan,
pencegahan rabies,
rabies
27 Agustus 2009
Cerita Rabies, Cerita Flores
Flores Belum Jadi Kawasan Terpadu
Oleh Frans Anggal
Bupati Nagekeo Johanes Samping Aoh berpendapat, rabies hanya bisa lenyap dari Flores kalau ada gerakan bersama. Untuk itu, semua kepala daerah perlu duduk bersama. Apalah artinya kalau satu kabupaten memberantas, sementara kabupaten lain membiarkan. “Perlu gerakan bersama melakukan vaksinasi. Jika ada HPR yang tidak tertib, dibasmi saja.” Demikian diwartakan Flores Pos Kamis 27 Agustus 2009.
Yang dikatakan Bupati Aoh itu tepat. Bukan sesuatu yang baru pula. Sudah lama, tapi selalu mendek. Di atas ‘kertas’ tampak mudah karena Flores satu pulau. Di atas ‘tanah’, itu yang sulit. Karena, dalam satu Pulau Flores terdapat begitu banyak ‘pulau kecil’. Ada ‘pulau geopolitik’, ‘pulau sub-etnik’, ‘pulau kultur’, ‘pulau sosial’, ‘pulau ekonomi’, dst.
Aneka ‘pulau’ itu seakan-akan tertutup. Tidak saling memedulikan, tidak saling membutuhkan. Penanganan rabies hanya satu contoh dari begitu banyak problem bersama Flores yang justru tidak ditangani secara bersama-sama. Dalam bidang perhubungan, misalnya, tiap daerah berlomba membangun dan meningkatkan bandara. Apa perlu dan apa efisien sebanyak itu?
Ketika orang-orang Flores menyelenggarakan mubes Flores provinisi di Ruteng beberapa tahun silam, banyaknya ‘pulau’ di atas Pulau Flores begitu mencuat. Tiap ‘pulau’ menutup diri. Untuk menentukan calon ibu kota provinsinya saja, mereka tidak mampu bersepakat. Sejak itu, perjuangan Flores provinsi pun berantakan dan tak jelas lagi rimbanya.
Dalam membangun diri sendiri, Flores belum bisa bersatu. “Secara konkret, ketika orang berbicara tentang ‘pembangunan Flores’, yang dimaksud bukanlah suatu visi dan konsep pembangunan terpadu-menyeluruh (integrated) dengan skema besar (grand design) dan pola yang sistematis. Yang terjadi hanyalah ‘pembangunan Manggarai di Flores’, ‘pembangunan Ngada di Flores’ dst, bukan ‘pembangunan Flores DI Manggarai’, ’pembangunan Flores DI Ngada’ dst yang berbeda secara implikatif.”
Begitu lontaran seorang putra Flores di tanah rantau, Valens Daki-Soo, melalui SMS-nya 20 Juni 2009. Ia benar. Kenyataan, masyarakat Flores adalah ‘masyarakat yang terpecah’ (disintegrated community). Ego daerah dan ego sektor begitu kencang. Tiap daerah berjalan sendiri-sendiri. Di bawah otonomi daerah, gejala ini semakin menjadi-jadi.
Akibatnya, roda pembangunan tiap daerah menderu tanpa visi dan arah yang sama. Atau, arahnya sama, namun karena tidak berbasis pada platform dan visi yang sama, maka yang terjadi adalah inefisiensi yang meluber dalam pembangunan.
Cerita tentang rebies yang sudah satu dasawarsa lebih tapi belum hilang-hilang dari Flores adalah cerita tentang Flores yang terpecah-pecah itu. Flores yang sulit bersatu. Flores yang berjalan sendiri-sendiri. Flores seperti itu pula yang tampak dalam penanggulangan HIV/AIDS, perdagangan manusia, dll.
Keprihatinan seperti inilah yang ada di balik anjuran Bupati Aoh memberantas rabies melalui gerakan bersama. Seandainya semua kepala daerah memiliki keprihatinan seperti ini, mereka akan mudah duduk bersama dan mencapai kata sepakat. Bukan tidak mungkin, kebersamaan yang berawal dari pemberantasan rabies akan berkembang ke hal yang lebih luas.
Yang kita maksudkan di sini adalah ‘pembangunan Flores’. Pembangunan Flores di Nagekeo, dst. Bukan lagi pembangunan Nagekeo di Flores, dst. Flores sebagai sebuah entitas. Flores sebagai sebuah kawasan terpadu. Kenapa tidak!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 28 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Bupati Nagekeo Johanes Samping Aoh berpendapat, rabies hanya bisa lenyap dari Flores kalau ada gerakan bersama. Untuk itu, semua kepala daerah perlu duduk bersama. Apalah artinya kalau satu kabupaten memberantas, sementara kabupaten lain membiarkan. “Perlu gerakan bersama melakukan vaksinasi. Jika ada HPR yang tidak tertib, dibasmi saja.” Demikian diwartakan Flores Pos Kamis 27 Agustus 2009.
Yang dikatakan Bupati Aoh itu tepat. Bukan sesuatu yang baru pula. Sudah lama, tapi selalu mendek. Di atas ‘kertas’ tampak mudah karena Flores satu pulau. Di atas ‘tanah’, itu yang sulit. Karena, dalam satu Pulau Flores terdapat begitu banyak ‘pulau kecil’. Ada ‘pulau geopolitik’, ‘pulau sub-etnik’, ‘pulau kultur’, ‘pulau sosial’, ‘pulau ekonomi’, dst.
Aneka ‘pulau’ itu seakan-akan tertutup. Tidak saling memedulikan, tidak saling membutuhkan. Penanganan rabies hanya satu contoh dari begitu banyak problem bersama Flores yang justru tidak ditangani secara bersama-sama. Dalam bidang perhubungan, misalnya, tiap daerah berlomba membangun dan meningkatkan bandara. Apa perlu dan apa efisien sebanyak itu?
Ketika orang-orang Flores menyelenggarakan mubes Flores provinisi di Ruteng beberapa tahun silam, banyaknya ‘pulau’ di atas Pulau Flores begitu mencuat. Tiap ‘pulau’ menutup diri. Untuk menentukan calon ibu kota provinsinya saja, mereka tidak mampu bersepakat. Sejak itu, perjuangan Flores provinsi pun berantakan dan tak jelas lagi rimbanya.
Dalam membangun diri sendiri, Flores belum bisa bersatu. “Secara konkret, ketika orang berbicara tentang ‘pembangunan Flores’, yang dimaksud bukanlah suatu visi dan konsep pembangunan terpadu-menyeluruh (integrated) dengan skema besar (grand design) dan pola yang sistematis. Yang terjadi hanyalah ‘pembangunan Manggarai di Flores’, ‘pembangunan Ngada di Flores’ dst, bukan ‘pembangunan Flores DI Manggarai’, ’pembangunan Flores DI Ngada’ dst yang berbeda secara implikatif.”
Begitu lontaran seorang putra Flores di tanah rantau, Valens Daki-Soo, melalui SMS-nya 20 Juni 2009. Ia benar. Kenyataan, masyarakat Flores adalah ‘masyarakat yang terpecah’ (disintegrated community). Ego daerah dan ego sektor begitu kencang. Tiap daerah berjalan sendiri-sendiri. Di bawah otonomi daerah, gejala ini semakin menjadi-jadi.
Akibatnya, roda pembangunan tiap daerah menderu tanpa visi dan arah yang sama. Atau, arahnya sama, namun karena tidak berbasis pada platform dan visi yang sama, maka yang terjadi adalah inefisiensi yang meluber dalam pembangunan.
Cerita tentang rebies yang sudah satu dasawarsa lebih tapi belum hilang-hilang dari Flores adalah cerita tentang Flores yang terpecah-pecah itu. Flores yang sulit bersatu. Flores yang berjalan sendiri-sendiri. Flores seperti itu pula yang tampak dalam penanggulangan HIV/AIDS, perdagangan manusia, dll.
Keprihatinan seperti inilah yang ada di balik anjuran Bupati Aoh memberantas rabies melalui gerakan bersama. Seandainya semua kepala daerah memiliki keprihatinan seperti ini, mereka akan mudah duduk bersama dan mencapai kata sepakat. Bukan tidak mungkin, kebersamaan yang berawal dari pemberantasan rabies akan berkembang ke hal yang lebih luas.
Yang kita maksudkan di sini adalah ‘pembangunan Flores’. Pembangunan Flores di Nagekeo, dst. Bukan lagi pembangunan Nagekeo di Flores, dst. Flores sebagai sebuah entitas. Flores sebagai sebuah kawasan terpadu. Kenapa tidak!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 28 Agustus 2009
Label:
bentara,
bupati nagekeo johanes samping aoh,
flores,
flores pos,
flores sebagai entitas,
flores sebagai kawasan terpadu,
kesehatan,
pembangunan flores,
rabies
Polres Sikka koq Lamban?
Korban Perkosaan Adukan Anggota DPRD Sikka
Oleh Frans Anggal
Korban perkosaan di bawah umur mengadukan anggota DPRD Sikka terlantik, Sunarin, ke polres dan kejari di Maumere, Selasa 25 Agustus 2009. Pengaduan dilakukan sehari setelah ‘anggota dewan terhormat’ dilantik. Perkosaan terjadi 17 Oktober 2008 di kos korban yang adalah rumah pelaku di Nangahale. Selanjutnya berulang, seluruhnya delapan kali.
Pengaduan ini bukan yang pertama. Kasusnya sudah duluan dilaporkan. Hanya, polresnya lamban. Korban dan para pendamping mendesak segera tahan pelaku. Didesak begini, barulah polres gopo-gapa. Pada hari itu juga dibikin gelar perkara bersama kejari.
Lambannya kerja polres membawa akibat: untung dan rugi. Untung bagi si pelaku. Rugi bagi si korban. Pelaku diuntungkan karena pelantikannya menjadi ‘anggota dewan terhormat’ berjalan mulus. Sebaliknya, korban dirugikan. Haknya atas pelayanan hukum yang cepat, mudah, dan murah tidak segera ia peroleh. Ini perkosaan juga. Perkosaan hak sekaligus perkosaan psikologis, setelah perkosaan fisik.
Mengapa polres lamban? Apakah karena si pelaku adalah ‘anggota dewan terhormat’? Apakah karena si korban cuma anak orang kebanyakan, anak orang kampung, anak orang miskin? Atau karena faktor lain yang tidak perlu disebutkan tapi sudah menjadi rahasia umum penegakan hukum di republik amburadul ini?
Apa pun itu, lambannya penanganan mengesankan satu hal. Polres memandang perkosaan terhadap anak di bawah umur (di bawah 18 tahun) sebagai kasus biasa-biasa saja. Padahal, semestinya, ini kasus luar biasa. Perkosaan terhadap anak di bawah umur harus dipandang sebagai kejahatan serius. Karena sifatnya itu, kejahatan ini tidak termasuk delik aduan.
Oleh sifatnya yang bukan delik aduan maka asalkan diketahui oleh polisi, kasus perkosaan anak di bawah umur harus diproses hukum, meskipun tidak ada pengaduan dari korban. Proses hukumnya pun harus sampai tuntas, meskipun korban atau orangtua korban meminta menghentikannya atau menarik kembali pengaduan.
Dasar dari kategorisasi ini adalah anggapan bahwa anak di bawah umur tidak mampu memberi penilaian dan memahami akibat dari pilihan dan persetujuannya sendiri, terutama mengenai tindakan-tindakan seksual. Karena itu, dalih ‘suka sama suka’ atau yang lebih kasar ‘dia jual pisang, saya beli pisang’ tidak dapat diterima. Sebagaimana umumnya anak-anak, anak di bawah umur harus dianggap tidak mengerti secara keseluruhan sifat dasar seksual dari tindakan tertentu, dan karena itu pula ia tidak mampu memberikan persetujuan sendiri.
Karena itulah, dalam kasus si ‘anggota dewan yang terhormat’ yang adalah bapak kos, si korban yang adalah anak kos yang masih di bawah umur itu harus dipandang sebagai korban tidak berdaya. Ia tidak punya kemampuan melindungi diri sendiri. Ia juga tidak dalam posisi mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Olehnya, ia mudah dieksploitasi, ditipu, dipaksa.
Dengan cara pandang ini, kasus perkosaan terhadap anak di bawah umur tidak boleh diperlakukan sebagai kasus biasa seperti terkesan dipertontonkan Polres Sikka. Koq lamban? Ini kasus luar biasa. Penanganannya pun harus luar biasa. Harus cepat dan tepat. Cepat, karena keberlama-lamaan hanya akan memperparah trauma anak. Tepat, karena bukan tidak mungkin korban ‘diperkosa’ berkali-kali lewat penyidikan, persidangan, dan pemberitaan ngawur.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 27 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Korban perkosaan di bawah umur mengadukan anggota DPRD Sikka terlantik, Sunarin, ke polres dan kejari di Maumere, Selasa 25 Agustus 2009. Pengaduan dilakukan sehari setelah ‘anggota dewan terhormat’ dilantik. Perkosaan terjadi 17 Oktober 2008 di kos korban yang adalah rumah pelaku di Nangahale. Selanjutnya berulang, seluruhnya delapan kali.
Pengaduan ini bukan yang pertama. Kasusnya sudah duluan dilaporkan. Hanya, polresnya lamban. Korban dan para pendamping mendesak segera tahan pelaku. Didesak begini, barulah polres gopo-gapa. Pada hari itu juga dibikin gelar perkara bersama kejari.
Lambannya kerja polres membawa akibat: untung dan rugi. Untung bagi si pelaku. Rugi bagi si korban. Pelaku diuntungkan karena pelantikannya menjadi ‘anggota dewan terhormat’ berjalan mulus. Sebaliknya, korban dirugikan. Haknya atas pelayanan hukum yang cepat, mudah, dan murah tidak segera ia peroleh. Ini perkosaan juga. Perkosaan hak sekaligus perkosaan psikologis, setelah perkosaan fisik.
Mengapa polres lamban? Apakah karena si pelaku adalah ‘anggota dewan terhormat’? Apakah karena si korban cuma anak orang kebanyakan, anak orang kampung, anak orang miskin? Atau karena faktor lain yang tidak perlu disebutkan tapi sudah menjadi rahasia umum penegakan hukum di republik amburadul ini?
Apa pun itu, lambannya penanganan mengesankan satu hal. Polres memandang perkosaan terhadap anak di bawah umur (di bawah 18 tahun) sebagai kasus biasa-biasa saja. Padahal, semestinya, ini kasus luar biasa. Perkosaan terhadap anak di bawah umur harus dipandang sebagai kejahatan serius. Karena sifatnya itu, kejahatan ini tidak termasuk delik aduan.
Oleh sifatnya yang bukan delik aduan maka asalkan diketahui oleh polisi, kasus perkosaan anak di bawah umur harus diproses hukum, meskipun tidak ada pengaduan dari korban. Proses hukumnya pun harus sampai tuntas, meskipun korban atau orangtua korban meminta menghentikannya atau menarik kembali pengaduan.
Dasar dari kategorisasi ini adalah anggapan bahwa anak di bawah umur tidak mampu memberi penilaian dan memahami akibat dari pilihan dan persetujuannya sendiri, terutama mengenai tindakan-tindakan seksual. Karena itu, dalih ‘suka sama suka’ atau yang lebih kasar ‘dia jual pisang, saya beli pisang’ tidak dapat diterima. Sebagaimana umumnya anak-anak, anak di bawah umur harus dianggap tidak mengerti secara keseluruhan sifat dasar seksual dari tindakan tertentu, dan karena itu pula ia tidak mampu memberikan persetujuan sendiri.
Karena itulah, dalam kasus si ‘anggota dewan yang terhormat’ yang adalah bapak kos, si korban yang adalah anak kos yang masih di bawah umur itu harus dipandang sebagai korban tidak berdaya. Ia tidak punya kemampuan melindungi diri sendiri. Ia juga tidak dalam posisi mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Olehnya, ia mudah dieksploitasi, ditipu, dipaksa.
Dengan cara pandang ini, kasus perkosaan terhadap anak di bawah umur tidak boleh diperlakukan sebagai kasus biasa seperti terkesan dipertontonkan Polres Sikka. Koq lamban? Ini kasus luar biasa. Penanganannya pun harus luar biasa. Harus cepat dan tepat. Cepat, karena keberlama-lamaan hanya akan memperparah trauma anak. Tepat, karena bukan tidak mungkin korban ‘diperkosa’ berkali-kali lewat penyidikan, persidangan, dan pemberitaan ngawur.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 27 Agustus 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus perkosaan anak di bawah umur,
sikka
Piagam Kapolres Lembata
Demo Aldiras tentang Kematian Langoday
Oleh Frans Anggal
Massa yang tergabung dalam Aliansi Keadilan dan Perdamaian Anti Kekerasn (Aldiras) berdemo di Lewoleba, Lembata, Senin 24 Agustus 2009. Mereka mendesak polisi dan jaksa serius, bersih, tegas, tuntas, dan adil menangani kasus kematian Yoakim Langoday.
Yoakim Langoday adalah Kabid Pengawasan, Pengolahan, dan Pemasaran pada Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata. Ia korban pembunuhan berencana. Ditemukan tewas di hutan bakau Pantai Lamahora, 19 Mei 2009.
Saat mendatangi mapolres, wakil demonstran menyerahkan piagam penghargaan kepada Kapolres Marthen Johannis atas komitmennya mengungkapkan kasus ini. Mereka berharap kapolres tetap menegakkan kebenaran, keadilan, dan hukum di Lembata.
Ini adegan langka. Karena itu, si penerima piagam, Kapolres Johannis, pantas disebut ‘makhluk langka’. Di banyak tempat di republik ini, kebanyakan kapolres menerima kecaman bahkan caci maki. Memang banyak juga yang menerima piagam penghargaan, tapi piagam kedinasan. Biasanya, diserahterimakan dulu baru dipajang di ruang kerja.
Yang satu ini, lain. Piagamnya dari demonstran. Yang lebih dahulu ‘terpajang’ di hati masyarakat, untuk kemudian diserahterimakan kepada kapolres. Dengan ini kita hendak mengatakan, penyerahan ini tulus, ikhlas, jujur, yang lahir dari getaran nurani masyarakat. Yang menyerahkannya, dua lelaki lanjut usia. Muhammad Ali Raybelen dan Petrus Gute Betekeneng. Keduanya deklarator otonomi Lembata. Tak ada yang meragukan integritas kepribadian tokoh ini.
Orang Flores-Lembata dikenal blakblakan. Keris tidak mereka ‘sembunyikan’ di belakang punggung. Keris mereka ‘perlihatkan’ di depan perut. Kegembiraan dan kemarahan tidak mereka telan. Mereka ungkapkan. Dalam berucap, artikulasi mereka terang dan jelas. Dari psikologi masyarakat seperti itulah piagam penghargaan ini lahir. Tanpa topeng. Sungguh, ini sebuah penghormatan.
Bagi Kapolres Johannis, bukan hanya penghormatan, piagam ini adalah tugas. Sebab, dalam pernyataan penyerahan piagam, masyarakat tidak hanya ‘memuji’ tapi juga ‘berharap’. Mereka memuji komitmen kapolres dalam mengungkapkan kasus kematian Langoday. Mereka juga berharap kapolres tetap menegakkan kebenaran, keadilan, dan hukum di Lembata. Maka, piagam ini bukan hanya ‘piagam karena’, tapi juga ‘piagam untuk’.
Kita sepakat, Kapolres Johannis pantas menerima itu. Baru di tangan dialah, penanganan kasus mulai memasuki titik terang. Sebelumnya, pada masa pendahulunya, Geradus Bata Besu, lidik kasus begitu lamban. Keluarga tidak puas, lalu mendesak Polda NTT mengambil alih penanganan. Desakan keluarga dipenuhi. Bukan hanya mengambil alih kasus, polda juga mencopot Bata Besu. Ia diganti Marthen Johannis. Johannis pun berjanji, akhir Juli tersangka pelaku diumumkan. Terbukti, ia tepat janji.
Bukan hanya diumumkan, para tersangka juga ditahan. Terdiri dari eksekutor: Lambertus Bedy Langoday (adik kandung korban), Mathias Bala, dan Muhamad Kapitan. Sedangkan perencana: Erni Manuk (putri Bupati Andreas Duli Manuk) dan mitranya Bambang Triantara.
Untuk yang sudah, Kapolres Johannis pantas dipuji. Untuk yang belum, ia pantas didorong. Karena itu, piagam ini bukan hanya ‘piagam penghargaan’, tapi juga ‘piagam tantangan’. Tantangan yang didesakkan adalah ini: periksa Bupati Manuk sebagai saksi. Bupati sepertinya tahu motif pembunuhan, hal yang justru sedang dilidik oleh polisi. Kata bupati, kematian itu ada kaitan dengan proyek di Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata. Nah!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 26 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Massa yang tergabung dalam Aliansi Keadilan dan Perdamaian Anti Kekerasn (Aldiras) berdemo di Lewoleba, Lembata, Senin 24 Agustus 2009. Mereka mendesak polisi dan jaksa serius, bersih, tegas, tuntas, dan adil menangani kasus kematian Yoakim Langoday.
Yoakim Langoday adalah Kabid Pengawasan, Pengolahan, dan Pemasaran pada Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata. Ia korban pembunuhan berencana. Ditemukan tewas di hutan bakau Pantai Lamahora, 19 Mei 2009.
Saat mendatangi mapolres, wakil demonstran menyerahkan piagam penghargaan kepada Kapolres Marthen Johannis atas komitmennya mengungkapkan kasus ini. Mereka berharap kapolres tetap menegakkan kebenaran, keadilan, dan hukum di Lembata.
Ini adegan langka. Karena itu, si penerima piagam, Kapolres Johannis, pantas disebut ‘makhluk langka’. Di banyak tempat di republik ini, kebanyakan kapolres menerima kecaman bahkan caci maki. Memang banyak juga yang menerima piagam penghargaan, tapi piagam kedinasan. Biasanya, diserahterimakan dulu baru dipajang di ruang kerja.
Yang satu ini, lain. Piagamnya dari demonstran. Yang lebih dahulu ‘terpajang’ di hati masyarakat, untuk kemudian diserahterimakan kepada kapolres. Dengan ini kita hendak mengatakan, penyerahan ini tulus, ikhlas, jujur, yang lahir dari getaran nurani masyarakat. Yang menyerahkannya, dua lelaki lanjut usia. Muhammad Ali Raybelen dan Petrus Gute Betekeneng. Keduanya deklarator otonomi Lembata. Tak ada yang meragukan integritas kepribadian tokoh ini.
Orang Flores-Lembata dikenal blakblakan. Keris tidak mereka ‘sembunyikan’ di belakang punggung. Keris mereka ‘perlihatkan’ di depan perut. Kegembiraan dan kemarahan tidak mereka telan. Mereka ungkapkan. Dalam berucap, artikulasi mereka terang dan jelas. Dari psikologi masyarakat seperti itulah piagam penghargaan ini lahir. Tanpa topeng. Sungguh, ini sebuah penghormatan.
Bagi Kapolres Johannis, bukan hanya penghormatan, piagam ini adalah tugas. Sebab, dalam pernyataan penyerahan piagam, masyarakat tidak hanya ‘memuji’ tapi juga ‘berharap’. Mereka memuji komitmen kapolres dalam mengungkapkan kasus kematian Langoday. Mereka juga berharap kapolres tetap menegakkan kebenaran, keadilan, dan hukum di Lembata. Maka, piagam ini bukan hanya ‘piagam karena’, tapi juga ‘piagam untuk’.
Kita sepakat, Kapolres Johannis pantas menerima itu. Baru di tangan dialah, penanganan kasus mulai memasuki titik terang. Sebelumnya, pada masa pendahulunya, Geradus Bata Besu, lidik kasus begitu lamban. Keluarga tidak puas, lalu mendesak Polda NTT mengambil alih penanganan. Desakan keluarga dipenuhi. Bukan hanya mengambil alih kasus, polda juga mencopot Bata Besu. Ia diganti Marthen Johannis. Johannis pun berjanji, akhir Juli tersangka pelaku diumumkan. Terbukti, ia tepat janji.
Bukan hanya diumumkan, para tersangka juga ditahan. Terdiri dari eksekutor: Lambertus Bedy Langoday (adik kandung korban), Mathias Bala, dan Muhamad Kapitan. Sedangkan perencana: Erni Manuk (putri Bupati Andreas Duli Manuk) dan mitranya Bambang Triantara.
Untuk yang sudah, Kapolres Johannis pantas dipuji. Untuk yang belum, ia pantas didorong. Karena itu, piagam ini bukan hanya ‘piagam penghargaan’, tapi juga ‘piagam tantangan’. Tantangan yang didesakkan adalah ini: periksa Bupati Manuk sebagai saksi. Bupati sepertinya tahu motif pembunuhan, hal yang justru sedang dilidik oleh polisi. Kata bupati, kematian itu ada kaitan dengan proyek di Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata. Nah!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 26 Agustus 2009
Label:
bentara,
demo aldiras,
flores,
flores pos,
hukum,
kapolres marthen johannis,
kasus kematian yoakim langoday,
lembata
Bupati Manuk Perlu Diperiksa
Kasus Kematian Yoakim Langoday di Lembata
Oleh Frans Anggal
Polres Lembata didesak agar memeriksa Bupati Andreas Duli Manuk sebagai saksi dalam kasus pembunuhan berencana Yoakim Langoday. Desakan datang dari keluarga Langoday seperti dilansir Flores Pos Kamis 20 Agustus 2009. Desakan lain, dari Aliansi Keadilan dan Perdamaian Anti Kekerasan (Aldiras) sebagaimana diberitakan Pos Kupang Senin 24 Agustus 2009.
Desakan dipicu pernyataan Bupati Manuk sendiri dalam rapat paripurna DPRD Lembata, Selasa 18 Agustus 2009. Kata bupati, kematian Langoday ada kaitannya dengan proyek di Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata. Langoday adalah kabid pengawasan, pengolahan, dan pemasaran di dinas itu. Ia ditemukan tewas di hutan bakau Pantai Lamahora, 19 Mei 2009.
Pernyataan bupati dalam rapat paripurna DPRD harus dipandang sebagai pernyatan resmi. Pernyataannya berkaitan dengan kasus besar yang disoroti publik. Olehnya, tidak hanya resmi, pernyataannya juga serius. Pernyataan resmi dan serius ini menyebutkan motif kasus yang justru belum ditemukan polisi. Maka, tidak hanya resmi dan serius, pernyataannya juga penting dan berguna.
Resmi, serius, penting, dan berguna. Kualifikasi pernyataannya ini sudah cukup kuat sebagai dasar untuk memeriksa si pembuat pernyataan. Kalau kualifikasi itu dinilai belum cukup, masih ada satu lagi. Selain resmi, serius, penting, dan berguna, pernyaatan itu masuk akal pula.
Beberapa dari tersangka adalah kontraktor. Mereka sangat berkepentingan dengan proyek pemerintah. Proyek pada Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata milaran rupiah nilainya. Proyek besar, untungnya besar bagi yang menang tender. Sebaliknya, ruginya besar bagi yang kalah. Persaingan, taktik, intrik, iri, dengki, dendam, dan amarah tak jarang berjalin berkelindan. Bukan tidak mungkin, Langoday korban dari hal-hal seperti ini.
Karena itulah, pernyataan Bupati Manuk masuk akal, selain resmi, serius, penting, dan berguna. Pertanyaan kita: mengapa Polres Lembata belum memeriksa bupati sebagai saksi? Takut? Segan? Tidak tega? Atau karena polres memandangnya tidak perlu karena pernyataannya dinilai tidak resmi, tidak serius, tidak penting, tidak berguna, dan tidak masuk akal? Biarlah polres sendirilah yang menjawab.
Apa pun jawaban polres, satu kenyataan ini tidak boleh diabaikan. Salah satu yang menjadi tersangka dalam kasus ini adalah putri sang bupati, Erni Manuk, yang adalah seorang kontraktor. Fakta ini membuat pernyataan bupati tidak hanya resmi, serius, penting, berguna, dan masuk akal, tapi juga menarik. Kata bupati, kematian Langodaya ada kaitannya dengan proyek di dinas kelautan dan perikanan. Bukankah salah satu pemangku kepentingan dalam proyek pemerintah adalah kontraktor?
Dengan ini kita hendak menegaskan bahwa begitu banyaknya kualifikasi pernyataan Bupati Manuk yang membuatnya tidak boleh dianggap angin lalu. Tidak ada alasan bagi polres untuk tidak mengindahkannya. Oleh kualifikasinya, pernyatan Bupati Manuk bisa membuka akses bagi semakin banyaknya penemuan fakta hukum. Termasuk, penemuan motif pembunuhan.
Karena itulah, desakan keluarga Langoday dan Aldiras perlu segera ditindaklanjuti. Bupati Manuk perlu diperiksa. Jangan lihat bupatinya. Lihatlah pernyataannya yang resmi, serius, penting, berguna, masuk akal, dan menarik itu. Dasarkan tindakan pada ‘pokok soal’ (ad rem), bukan pada ‘pokok orang’ (ad hominem). Hukum hanya mengenal “barang siapa”. Artinya: siapa pun dia!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 25 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Polres Lembata didesak agar memeriksa Bupati Andreas Duli Manuk sebagai saksi dalam kasus pembunuhan berencana Yoakim Langoday. Desakan datang dari keluarga Langoday seperti dilansir Flores Pos Kamis 20 Agustus 2009. Desakan lain, dari Aliansi Keadilan dan Perdamaian Anti Kekerasan (Aldiras) sebagaimana diberitakan Pos Kupang Senin 24 Agustus 2009.
Desakan dipicu pernyataan Bupati Manuk sendiri dalam rapat paripurna DPRD Lembata, Selasa 18 Agustus 2009. Kata bupati, kematian Langoday ada kaitannya dengan proyek di Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata. Langoday adalah kabid pengawasan, pengolahan, dan pemasaran di dinas itu. Ia ditemukan tewas di hutan bakau Pantai Lamahora, 19 Mei 2009.
Pernyataan bupati dalam rapat paripurna DPRD harus dipandang sebagai pernyatan resmi. Pernyataannya berkaitan dengan kasus besar yang disoroti publik. Olehnya, tidak hanya resmi, pernyataannya juga serius. Pernyataan resmi dan serius ini menyebutkan motif kasus yang justru belum ditemukan polisi. Maka, tidak hanya resmi dan serius, pernyataannya juga penting dan berguna.
Resmi, serius, penting, dan berguna. Kualifikasi pernyataannya ini sudah cukup kuat sebagai dasar untuk memeriksa si pembuat pernyataan. Kalau kualifikasi itu dinilai belum cukup, masih ada satu lagi. Selain resmi, serius, penting, dan berguna, pernyaatan itu masuk akal pula.
Beberapa dari tersangka adalah kontraktor. Mereka sangat berkepentingan dengan proyek pemerintah. Proyek pada Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata milaran rupiah nilainya. Proyek besar, untungnya besar bagi yang menang tender. Sebaliknya, ruginya besar bagi yang kalah. Persaingan, taktik, intrik, iri, dengki, dendam, dan amarah tak jarang berjalin berkelindan. Bukan tidak mungkin, Langoday korban dari hal-hal seperti ini.
Karena itulah, pernyataan Bupati Manuk masuk akal, selain resmi, serius, penting, dan berguna. Pertanyaan kita: mengapa Polres Lembata belum memeriksa bupati sebagai saksi? Takut? Segan? Tidak tega? Atau karena polres memandangnya tidak perlu karena pernyataannya dinilai tidak resmi, tidak serius, tidak penting, tidak berguna, dan tidak masuk akal? Biarlah polres sendirilah yang menjawab.
Apa pun jawaban polres, satu kenyataan ini tidak boleh diabaikan. Salah satu yang menjadi tersangka dalam kasus ini adalah putri sang bupati, Erni Manuk, yang adalah seorang kontraktor. Fakta ini membuat pernyataan bupati tidak hanya resmi, serius, penting, berguna, dan masuk akal, tapi juga menarik. Kata bupati, kematian Langodaya ada kaitannya dengan proyek di dinas kelautan dan perikanan. Bukankah salah satu pemangku kepentingan dalam proyek pemerintah adalah kontraktor?
Dengan ini kita hendak menegaskan bahwa begitu banyaknya kualifikasi pernyataan Bupati Manuk yang membuatnya tidak boleh dianggap angin lalu. Tidak ada alasan bagi polres untuk tidak mengindahkannya. Oleh kualifikasinya, pernyatan Bupati Manuk bisa membuka akses bagi semakin banyaknya penemuan fakta hukum. Termasuk, penemuan motif pembunuhan.
Karena itulah, desakan keluarga Langoday dan Aldiras perlu segera ditindaklanjuti. Bupati Manuk perlu diperiksa. Jangan lihat bupatinya. Lihatlah pernyataannya yang resmi, serius, penting, berguna, masuk akal, dan menarik itu. Dasarkan tindakan pada ‘pokok soal’ (ad rem), bukan pada ‘pokok orang’ (ad hominem). Hukum hanya mengenal “barang siapa”. Artinya: siapa pun dia!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 25 Agustus 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus kematian yoakim langoday,
lembata,
pernyataan bupati manuk
Kapolres Mabar, Tunggu Apa?
Kasus Ekplorasi Tambang Emas di Tebedo
Oleh Frans Anggal
Ekplorasi tambang emas di Tebedo, Mabar, dihentikan sementara. Dalam warta Flores Pos Sabtu 22 Agustus 2009, Bupati Fidelis Pranda mengemukakannya dengan cara berikut. Eksplorasi dihentikan karena tidak ada koordinasi antar-instansi terkait. Langkah ini diambil setelah ada laporan dari dishut. Penghentian hanya 30 persen, pada areal yang masuk kawasan hutan.
Tampak, alasan Bupati Pranda tidak menohok ke inti masalah. Ia berputar-putar ke persoalan tidak adanya koordinasi. Seolah-olah itulah yang ditemukan dan dilaporkan dishut. Seolah-olah tatkala staf dishut ke lokasi, yang mereka temukan adalah hal yang abstrak itu: masalah koordinasi.
Aneh kalau staf dishut tidak menemukan lubang-lubang parit uji. Aneh kalau staf dishut tidak menemukan pohon bertumbangan. Sebagian kegiatan dan akibat ekplorasi itu menimpa kawasan hutan tutupan Nggorang Bowosie RTK 108. Aneh kalau hal-hal sekonkret ini diabstrakkan menjadi masalah koordinasi.
Kita berkeyakinan, laporan dishut tidak seperti itu. Ini hanya ‘laporan’ Bupati Pranda kepada pers. Dengan tidak menohok ke substansi, ia terkesan menggiring dan membatasi alasan penghentian eksplorasi hanya pada persoalan teknis prosedural: tidak adanya koordinasi.
Patut dapat diduga, ini taktik ‘penghindaran’ (avoidance). Perhitungannya: karena cuma masalah teknis antar-instansi maka penyelesaiannya pun cukup secara teknis kepemerintahan. Seakan-akan persoalan ini mau dilokalisasi menjadi persoalan intern kedinasan semata. Dengan demikian, tak ada tempat bagi intervensi hukum dan segala dampaknya.
Di republik sialan ini, cara basi ini tetap saja digunakan. Tindak pidana korupsi, misalnya, direduksi menjadi sekadar kesalahan prosedural. Ingat kasus Jamsostek? Kasus ini dihentikan penyidikannya karena, menurut kejaksaan, tidak terbukti merugikan negara. Sebab, dana Rp7,1 miliar yang dikeluarkan di masa Menaker Abdul Latief sebagai biaya membahas undang-undang ketenagakerjaan oleh DPR, sudah dikembalikan lagi ke kas Jamsostek.
Logika elementer hukum pidana diinjak habis. Sejumlah uang diambil, dipakai oleh seorang pejabat, dikembalikan, lalu tak ada soal lagi. Padahal, seharusnya, perbuatan pidana tidak hapus hanya karena akibat-akibatnya telah dipulihkan.
Kita khawatir, kasus ekplorasi tambang emas Tebedo mau dibikin seperti ini. Kita tidak rela. Karena itu, kita luruskan dulu logika Bupati Pranda. Eksplorasi tambang emas Tebedo dihentikan bukan karena tidak ada koordinasi antar-instansi terkait, tapi karena ekplorasi itu sudah memasuki hutan tutupan Nggorang Bowosie RTK 108.
Inti masalahnya adalah perambahan hutan. Ini sudah merupakan tindak pidana. Fakta hukumnya jelas, meski tidak ditonjolkan oleh Bupati Pranda. Ia mengatakan penghentian hanya 30 persen yakni pada areal yang masuk kawasan hutan. Kata ‘hanya’ di sini tidak menyusutkan fakta hukum. Biar cuma 1 persen, yang namanya rambah hutan ya tetaplah tindak pidana. Yang namanya tindak pidana ya haruslah diproses hukum.
Pada titik inilah langkah Geram melaporkan Bupati Pranda dan kuasa pertambangan PT Sejahtera Prima Nusa Mining sangat tepat. Geram melapor ke polres Rabu 19 Agustus. Anehnya, hingga Jumat 21 Agustus laporan itu belum diterima Kapolres Samsuri. Jujurkah kapolres?
Semoga ini juga bukan taktik ‘penghindaran’. Segera tindak lanjuti laporan Geram. Fakta hukumnya jelas. Semakin diperjelas oleh keputusan bupati menghentikan sementara ekplorasi. Tunggu apa lagi?
“Bentara” FLORES POS, Senin 24 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Ekplorasi tambang emas di Tebedo, Mabar, dihentikan sementara. Dalam warta Flores Pos Sabtu 22 Agustus 2009, Bupati Fidelis Pranda mengemukakannya dengan cara berikut. Eksplorasi dihentikan karena tidak ada koordinasi antar-instansi terkait. Langkah ini diambil setelah ada laporan dari dishut. Penghentian hanya 30 persen, pada areal yang masuk kawasan hutan.
Tampak, alasan Bupati Pranda tidak menohok ke inti masalah. Ia berputar-putar ke persoalan tidak adanya koordinasi. Seolah-olah itulah yang ditemukan dan dilaporkan dishut. Seolah-olah tatkala staf dishut ke lokasi, yang mereka temukan adalah hal yang abstrak itu: masalah koordinasi.
Aneh kalau staf dishut tidak menemukan lubang-lubang parit uji. Aneh kalau staf dishut tidak menemukan pohon bertumbangan. Sebagian kegiatan dan akibat ekplorasi itu menimpa kawasan hutan tutupan Nggorang Bowosie RTK 108. Aneh kalau hal-hal sekonkret ini diabstrakkan menjadi masalah koordinasi.
Kita berkeyakinan, laporan dishut tidak seperti itu. Ini hanya ‘laporan’ Bupati Pranda kepada pers. Dengan tidak menohok ke substansi, ia terkesan menggiring dan membatasi alasan penghentian eksplorasi hanya pada persoalan teknis prosedural: tidak adanya koordinasi.
Patut dapat diduga, ini taktik ‘penghindaran’ (avoidance). Perhitungannya: karena cuma masalah teknis antar-instansi maka penyelesaiannya pun cukup secara teknis kepemerintahan. Seakan-akan persoalan ini mau dilokalisasi menjadi persoalan intern kedinasan semata. Dengan demikian, tak ada tempat bagi intervensi hukum dan segala dampaknya.
Di republik sialan ini, cara basi ini tetap saja digunakan. Tindak pidana korupsi, misalnya, direduksi menjadi sekadar kesalahan prosedural. Ingat kasus Jamsostek? Kasus ini dihentikan penyidikannya karena, menurut kejaksaan, tidak terbukti merugikan negara. Sebab, dana Rp7,1 miliar yang dikeluarkan di masa Menaker Abdul Latief sebagai biaya membahas undang-undang ketenagakerjaan oleh DPR, sudah dikembalikan lagi ke kas Jamsostek.
Logika elementer hukum pidana diinjak habis. Sejumlah uang diambil, dipakai oleh seorang pejabat, dikembalikan, lalu tak ada soal lagi. Padahal, seharusnya, perbuatan pidana tidak hapus hanya karena akibat-akibatnya telah dipulihkan.
Kita khawatir, kasus ekplorasi tambang emas Tebedo mau dibikin seperti ini. Kita tidak rela. Karena itu, kita luruskan dulu logika Bupati Pranda. Eksplorasi tambang emas Tebedo dihentikan bukan karena tidak ada koordinasi antar-instansi terkait, tapi karena ekplorasi itu sudah memasuki hutan tutupan Nggorang Bowosie RTK 108.
Inti masalahnya adalah perambahan hutan. Ini sudah merupakan tindak pidana. Fakta hukumnya jelas, meski tidak ditonjolkan oleh Bupati Pranda. Ia mengatakan penghentian hanya 30 persen yakni pada areal yang masuk kawasan hutan. Kata ‘hanya’ di sini tidak menyusutkan fakta hukum. Biar cuma 1 persen, yang namanya rambah hutan ya tetaplah tindak pidana. Yang namanya tindak pidana ya haruslah diproses hukum.
Pada titik inilah langkah Geram melaporkan Bupati Pranda dan kuasa pertambangan PT Sejahtera Prima Nusa Mining sangat tepat. Geram melapor ke polres Rabu 19 Agustus. Anehnya, hingga Jumat 21 Agustus laporan itu belum diterima Kapolres Samsuri. Jujurkah kapolres?
Semoga ini juga bukan taktik ‘penghindaran’. Segera tindak lanjuti laporan Geram. Fakta hukumnya jelas. Semakin diperjelas oleh keputusan bupati menghentikan sementara ekplorasi. Tunggu apa lagi?
“Bentara” FLORES POS, Senin 24 Agustus 2009
Potret Ende, Potret Indonesia
Perayaan HUT Ke-46 RI di Ende
Oleh Frans Anggal
Perayaan HUT Ke-64 Kemerdekaan RI 17 Agustus 2009 di Kabupaten Ende meriah. Di kota Ende digelar aneka kegiatan menjelang dan saat hari puncak. Ada defile, apel bendera, marching band, panjat pinang, dll.
Dibanding tahun sebelumnya, perayaan kali ini lebih semarak. Mungkin karena serba-baru. Bupati dan wabupnya baru. Sekdanya baru. Para kepala SKPD-nya baru. Muka baru, semangat baru, gaya baru. Meskipun, masalah pokoknya tidaklah baru. Masih yang itu-itu juga.
Dalam pidato pelantikannya Selasa 7 April 2009, Bupati Don Bosco M Wangge menyebut masalah pokok itu ada tiga. Rendahnya tingkat kesejahteraan. Rendahnya mutu pendidikan. Rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Sudah 64 tahun RI, Ende masih ‘serba-rendah’. Belum sepenuhnya merdeka.
Dalam keadaan ‘serba-rendah’ itulah masyarakat menyambut HUT kemerdekaan. Meriah. Semarak. Mereka terhibur sejenak. Namun tidak semua dari mereka. Banyak yang masih terpuruk dalam derita. Salah satunya, seorang perempuan. Ia janda, 23 tahun, yang tertahan di RSUD Maumere karena tak ada uang untuk biaya rumah sakit.
Warga Ende ini penderita HIV/AIDS. Dirawat di RSUD Maumere sejak 6 Agustus. “Saya sudah minta untuk pulang, tapi petugas belum izin karena biaya administrasi tidak ada. Saya tidak punya uang untuk membayar administrasi.” Itu ia katakan ke wartawan Flores Pos Wall Abulat, Selasa 18 Agustus, sehari setelah HUT kemerdekaan, yang di kabupaten asalnya, Ende, dirayakan semarak meriah.
Apa gerangan yang dapat ia katakan kalau kepadanya diberi tahu bahwa di ibukota kabupatennya HUT proklamasi diramaikan dengan defile, marching band, panjat pinang, dll? Mungkin, seraya menarik napas panjang, ia hanya mendesahkan kata-kata seperti diucapannya kepada sang wartawan: “Saya merasa sendirian di sini.”
Inilah ‘potret kecil’ 64 tahun Indonesia merdeka. Namun ia menceritakan hal yang sama seperti diperlihatkan banyak ‘potret besar’ di Tanah Air. Dari Sabang sampai Marauke, ceritanya selalu berulang, seperti dilukiskan Daoed Joesoef dalam sebuah renungan HUT kemerdekaan.
Di Aceh, warga setempat hanya menjadi penonton bagaimana gas dan minyak buminya disedot terus-menerus oleh perusahaan asing. Di Kalimantan, suku Dayak dipersilakan menonton hutan alamnya dibabat, dan ketika mereka menebang sendiri pohon untuk keperluan hidupnya, mereka dikejar seperti pencuri di atas tanah ulayatnya sendiri. Suku Melayu di situ dipersulit mendulang emas dan batu mulia di tepian sungai-sungai tradisionalnya, dengan dalih merusak lingkungan, sedangkan maskapai asing dipermudah dan dilindungi beroperasi di tempat yang sama.
Di Papua, penduduk asli terpaksa menonton saja bagaimana bukit-bukit digali hingga berlubang bagai danau. Bila malam hari kompleks permukiman para penambang terang-benderang bagai surga, sedangkan orang-orang Papua di sekitarnya tetap tinggal di hutan dalam kegelapan seperti sediakala.
Semuanya menceritakan ketidakadilan! Setiap tahun, HUT kemerdekaan kita dirayakan dalam ketidakadilan itu. Seandainya Nabi Amos masih hidup, ia pasti akan mengulangi teksnya yang terkenal (Am 5:21-24):
“Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. ... Jauhkanlah daripada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.”
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 22 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Perayaan HUT Ke-64 Kemerdekaan RI 17 Agustus 2009 di Kabupaten Ende meriah. Di kota Ende digelar aneka kegiatan menjelang dan saat hari puncak. Ada defile, apel bendera, marching band, panjat pinang, dll.
Dibanding tahun sebelumnya, perayaan kali ini lebih semarak. Mungkin karena serba-baru. Bupati dan wabupnya baru. Sekdanya baru. Para kepala SKPD-nya baru. Muka baru, semangat baru, gaya baru. Meskipun, masalah pokoknya tidaklah baru. Masih yang itu-itu juga.
Dalam pidato pelantikannya Selasa 7 April 2009, Bupati Don Bosco M Wangge menyebut masalah pokok itu ada tiga. Rendahnya tingkat kesejahteraan. Rendahnya mutu pendidikan. Rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Sudah 64 tahun RI, Ende masih ‘serba-rendah’. Belum sepenuhnya merdeka.
Dalam keadaan ‘serba-rendah’ itulah masyarakat menyambut HUT kemerdekaan. Meriah. Semarak. Mereka terhibur sejenak. Namun tidak semua dari mereka. Banyak yang masih terpuruk dalam derita. Salah satunya, seorang perempuan. Ia janda, 23 tahun, yang tertahan di RSUD Maumere karena tak ada uang untuk biaya rumah sakit.
Warga Ende ini penderita HIV/AIDS. Dirawat di RSUD Maumere sejak 6 Agustus. “Saya sudah minta untuk pulang, tapi petugas belum izin karena biaya administrasi tidak ada. Saya tidak punya uang untuk membayar administrasi.” Itu ia katakan ke wartawan Flores Pos Wall Abulat, Selasa 18 Agustus, sehari setelah HUT kemerdekaan, yang di kabupaten asalnya, Ende, dirayakan semarak meriah.
Apa gerangan yang dapat ia katakan kalau kepadanya diberi tahu bahwa di ibukota kabupatennya HUT proklamasi diramaikan dengan defile, marching band, panjat pinang, dll? Mungkin, seraya menarik napas panjang, ia hanya mendesahkan kata-kata seperti diucapannya kepada sang wartawan: “Saya merasa sendirian di sini.”
Inilah ‘potret kecil’ 64 tahun Indonesia merdeka. Namun ia menceritakan hal yang sama seperti diperlihatkan banyak ‘potret besar’ di Tanah Air. Dari Sabang sampai Marauke, ceritanya selalu berulang, seperti dilukiskan Daoed Joesoef dalam sebuah renungan HUT kemerdekaan.
Di Aceh, warga setempat hanya menjadi penonton bagaimana gas dan minyak buminya disedot terus-menerus oleh perusahaan asing. Di Kalimantan, suku Dayak dipersilakan menonton hutan alamnya dibabat, dan ketika mereka menebang sendiri pohon untuk keperluan hidupnya, mereka dikejar seperti pencuri di atas tanah ulayatnya sendiri. Suku Melayu di situ dipersulit mendulang emas dan batu mulia di tepian sungai-sungai tradisionalnya, dengan dalih merusak lingkungan, sedangkan maskapai asing dipermudah dan dilindungi beroperasi di tempat yang sama.
Di Papua, penduduk asli terpaksa menonton saja bagaimana bukit-bukit digali hingga berlubang bagai danau. Bila malam hari kompleks permukiman para penambang terang-benderang bagai surga, sedangkan orang-orang Papua di sekitarnya tetap tinggal di hutan dalam kegelapan seperti sediakala.
Semuanya menceritakan ketidakadilan! Setiap tahun, HUT kemerdekaan kita dirayakan dalam ketidakadilan itu. Seandainya Nabi Amos masih hidup, ia pasti akan mengulangi teksnya yang terkenal (Am 5:21-24):
“Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. ... Jauhkanlah daripada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.”
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 22 Agustus 2009
Label:
bentara,
derita hiv/aids,
ende,
flores,
flores pos,
hut ke-46 ri
Beranikah Kadishut Mabar?
Eksplorasi Tambang Rambah Hutan Tutupan
Oleh Frans Anggal
Di tengah kesemarakan HUT Proklamasi 17 Agustus 2009, ‘kesemarakan’ lain berlangsung di Tebedo, Mabar. Di sana, jauh dari pantauan umum, ekonomi sedang memangsa ekologi. Melalui monster pertambangan, lingkungan hidup kawasan itu sedang dirusakkan.
Minggu 16 Agustus, tim investigasi Geram bersama JPIC SVD Ruteng melakukan investigasi. Temuannya? Pertama, eksplorasi tambang emas sudah berjalan. Sudah digali sekitar 12 parit uji dengan panjang 7-100 meter, lebar 4-10 meter, dalam 4-10 meter. Kedua, penggalian parit sudah sampai memunculkan 3-4 sumber mata air. Ketiga, eksplorasi sudah merambah 500-700 meter hutan tutupan Nggorang Bowosie RTK 108.
Ini mengejutkan tim investigasi. Mengejutkan Koordinator JPIC SVD Ruteng P Simon Suban Tukan SVD. Mengejutkan Wakil Ketua Umum Geram Fery Adu. Mengejutkan Tu’a Golo Tebedo Damianus Sati. Kerusakan sudah parah. Padahal, baru ekplorasi, belum eksploitasi. Apa sikap mereka?
Damianus Sati menyatakan, tidak akan mengizinkan sejengkal pun tanah ulayatnya dieksploitasi. Pater Simon dan Fery Adu bertekad akan terus mendorong pemkab menghentikan aktivitas tambang yang jelas-jelas merusak lingkungan dan mengancam keselamatan kehidupan di sekitarnya. Aktivis Geram Pater Marsel Agot SVD melontarkan pertanyaan ke Kadis Kehutanan Edward via sebaran SMS pada momen HUT kemerdekaan Senin 17 Agustus:
“Pertama, apa tindakan dinas kehutanan terhadap pelanggaran yang sudah dan sedang dilakukan investor tambang? Sebagai bahan perbandingan, warga yang kedapatan memotong sebatang pohon di wilayah hutan tutupan dihukum berat. Kedua, bagaimana usaha dinas kehutanan Mabar menyelamatkan sumber air baik untuk Tebedo maupun untuk kebutuhan masyarakat sekitar termasuk Labuan Bajo?”
Seandainya Kadishut Edward bersedia menjawab, apa kira-kira yang dapat ia katakan? Entahlah. Jangan-jangan ia berkelit, sebagaimana dilakukannya dengan ‘sukses’ di hadapan Menhut MS Kaban di Labuan Bajo, Jumat 17 Juli. Saat itu menhut menanyaankan letak lokasi tambang mangan di Nggilat yang menurut laporan Geram sudah masuk ke wilayah hutan. Apa jawaban Edward? Lokasi tambang itu 50 meter di luar hutan! Terkesan, jarak sebegini dianggapnya tidak apa-apa, tidak mengancam hutan. Satu sentimeter sekalipun, yang penting di luar hutan.
Kemungkinan lain, jawabannya akan mengulangi jawabannya dalam rapat paripurna DPRD Jumat 7 Agustus: “... Jika betul (eksplorasi tambang emas di Tebedo sudah merambah hutan), langkah yang kita tempuh tidak keluar dari aturan.” Maksudnya apa, tidak jelas. Mudah-mudahan maksudnya itu seperti penegasan Menhut MS Kaban di Labuan Bajo, Jumat 17 Juli. “Kalau tambang masuk dalam kawasan hutan, itu langsung diproses hukum oleh pihak kehutanan, karena itu sudah pidana.”
Pertanyaan sekarang: beranikah Edward? Beranikah ia mempidana investor perambah hutan? Sebagaimana ia gagah berani memproses hukum warga yang kedapatan memotong sebatang pohon di wilayah hutan tutupan? Cuma dia yang tahu jawabannya.
Yang kita khawatirkan, dia akan memilih diam ala Kepala Badan Lingkungan Hidup Rafael Arhat. Arhat tidak mau berpendapat dan bersikap tentang tambang karena merupakan kebijakan atasan. Lagipula, sang atasan, Bupati Fidelis Pranda, sudah menyatakan dalam rapat dengar pendapat dengan DPRD Selasa 23 Juni bahwa tambang itu bukan monster. Bawahan mana yang berani beda?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 20 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Di tengah kesemarakan HUT Proklamasi 17 Agustus 2009, ‘kesemarakan’ lain berlangsung di Tebedo, Mabar. Di sana, jauh dari pantauan umum, ekonomi sedang memangsa ekologi. Melalui monster pertambangan, lingkungan hidup kawasan itu sedang dirusakkan.
Minggu 16 Agustus, tim investigasi Geram bersama JPIC SVD Ruteng melakukan investigasi. Temuannya? Pertama, eksplorasi tambang emas sudah berjalan. Sudah digali sekitar 12 parit uji dengan panjang 7-100 meter, lebar 4-10 meter, dalam 4-10 meter. Kedua, penggalian parit sudah sampai memunculkan 3-4 sumber mata air. Ketiga, eksplorasi sudah merambah 500-700 meter hutan tutupan Nggorang Bowosie RTK 108.
Ini mengejutkan tim investigasi. Mengejutkan Koordinator JPIC SVD Ruteng P Simon Suban Tukan SVD. Mengejutkan Wakil Ketua Umum Geram Fery Adu. Mengejutkan Tu’a Golo Tebedo Damianus Sati. Kerusakan sudah parah. Padahal, baru ekplorasi, belum eksploitasi. Apa sikap mereka?
Damianus Sati menyatakan, tidak akan mengizinkan sejengkal pun tanah ulayatnya dieksploitasi. Pater Simon dan Fery Adu bertekad akan terus mendorong pemkab menghentikan aktivitas tambang yang jelas-jelas merusak lingkungan dan mengancam keselamatan kehidupan di sekitarnya. Aktivis Geram Pater Marsel Agot SVD melontarkan pertanyaan ke Kadis Kehutanan Edward via sebaran SMS pada momen HUT kemerdekaan Senin 17 Agustus:
“Pertama, apa tindakan dinas kehutanan terhadap pelanggaran yang sudah dan sedang dilakukan investor tambang? Sebagai bahan perbandingan, warga yang kedapatan memotong sebatang pohon di wilayah hutan tutupan dihukum berat. Kedua, bagaimana usaha dinas kehutanan Mabar menyelamatkan sumber air baik untuk Tebedo maupun untuk kebutuhan masyarakat sekitar termasuk Labuan Bajo?”
Seandainya Kadishut Edward bersedia menjawab, apa kira-kira yang dapat ia katakan? Entahlah. Jangan-jangan ia berkelit, sebagaimana dilakukannya dengan ‘sukses’ di hadapan Menhut MS Kaban di Labuan Bajo, Jumat 17 Juli. Saat itu menhut menanyaankan letak lokasi tambang mangan di Nggilat yang menurut laporan Geram sudah masuk ke wilayah hutan. Apa jawaban Edward? Lokasi tambang itu 50 meter di luar hutan! Terkesan, jarak sebegini dianggapnya tidak apa-apa, tidak mengancam hutan. Satu sentimeter sekalipun, yang penting di luar hutan.
Kemungkinan lain, jawabannya akan mengulangi jawabannya dalam rapat paripurna DPRD Jumat 7 Agustus: “... Jika betul (eksplorasi tambang emas di Tebedo sudah merambah hutan), langkah yang kita tempuh tidak keluar dari aturan.” Maksudnya apa, tidak jelas. Mudah-mudahan maksudnya itu seperti penegasan Menhut MS Kaban di Labuan Bajo, Jumat 17 Juli. “Kalau tambang masuk dalam kawasan hutan, itu langsung diproses hukum oleh pihak kehutanan, karena itu sudah pidana.”
Pertanyaan sekarang: beranikah Edward? Beranikah ia mempidana investor perambah hutan? Sebagaimana ia gagah berani memproses hukum warga yang kedapatan memotong sebatang pohon di wilayah hutan tutupan? Cuma dia yang tahu jawabannya.
Yang kita khawatirkan, dia akan memilih diam ala Kepala Badan Lingkungan Hidup Rafael Arhat. Arhat tidak mau berpendapat dan bersikap tentang tambang karena merupakan kebijakan atasan. Lagipula, sang atasan, Bupati Fidelis Pranda, sudah menyatakan dalam rapat dengar pendapat dengan DPRD Selasa 23 Juni bahwa tambang itu bukan monster. Bawahan mana yang berani beda?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 20 Agustus 2009
Geram Laporkan Bapak Buah
Eksplorasi Tambang Emas Tebedo di Mabar
Oleh Frans Anggal
Bupati Mabar Fidelis Pranda dan kuasa pertambangan PT Sejahtera Prima Nusa Mining dilaporkan ke polisi oleh forum Geram di Labuan Bajo, Rabu 19 Agustus 2009. Laporan ini terkait eksplorasi tambang emas di Tebedo yang sudah merambah hutan lindung Nggorang Bowosie RTK 108.
Dalam investigasi Geram ke lokasi Minggu 16 Agustus, ditemukan: 66% areal yang sudah dieksplorasi merupakan hutan lindung. Sebanyak 7 dari 12 parit uji yang sudah digali terletak dalam hutan itu. Ribuan pohon tumbang.
Langkah Geram tepat: proses hukum. Ini sudah tindak pidana. Tidak melaporkannya sama dengan membiarkan kejahatan berlangsung terus. Dan itu berarti hutan dirusakkan terus.
Merusak hutan tidak hanya menghilangkan banyak pohon, tapi juga memusnahkan semua makhluk hidup di dalamnya. Jadi, bukan hanya pidana, ini juga dosa. Dosa pembunuhan. Pembunuhan terhadap kehidupan (biocide). Pembunuhan terhadap lingkungan (ecocide). Pembunhan terhadap bumi (geocide). Tidak langsung, pembunuhan terhadap manusia (homocide), bahkan pembunuhan terhadap diri sendiri (suicide).
Geram terdorong tanggung jawab hukum dan moral itu. Mereka bekerja tanpa digaji. Suatu keanggunan. Kita patut angkat topi. Sedangkan untuk yang lain, yang ditugasi negara menjaga hutan, yang digaji pakai uang rakyat, kita berbelasungkawa. Mereka sepertinya sudah mati semua.
Di manakah dinas kehutanan? Di manakah kadishut? Warga yang tebang satu pohon di hutan lindung kamu tangkap. Kapan kamu bekuk orang tambang yang tumbangkan ribuan pohon itu?
Kasus Tebedo sudah lama disinyalir oleh Geram. Yang terakhir diangkat oleh Fraksi Golkar Plus di DPRD Mabar dalam rapat paripurna Jumat 7 Agustus 2009. Waktu itu Kadishut Edward menjawab, “Kita sudah dengar itu. Dan sejak kemarin staf saya berada di Tebedo. Hasilnya belum tahu. Jika betul, langkah yang kita tempuh tidak keluar dari aturan.”
Seminggu lewat, apa hasil kerja dishut? Aman-aman saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa di Tebedo. Beda dengan Geram. Pergi sehari, hasil investigasinya jelas dan tegas: hutan lindung sudah dan sedang dirusakkan. Kalau tunggu dishut bergerak, kapan tempo? Geram berinisiatif justru karena instrumen negara yang digaji pakai uang rakyat sudah mandek, tidak berdaya, kecut, pasrah.
Kita maklum. Seorang kadis sulit ‘berbeda’ dari bupatinya. Berpendapat pun begitu. Tentang hal ‘berisiko’, sering digunakan rumusan halus sopan lemah-gemulai sehingga menjadi kabur samar-samar tak jelas lagi apa maksudnya. Contohnya, jawaban Kadishut Edward dalam rapat paripurna itu. “Jika betul (eksplorasi tambang emas Tebedo merambah hutan), langkah yang kita tempuh tidak keluar dari aturan.” Ketika ditanyai DPRD apa konkretnya, Edward tetap menjawab, “Pokoknya kita tidak keluar dari aturan.”
Jangan-jangan ‘aturan’ itu hanya nama lain dari ‘budaya politik’. Budaya asal bapak senang. Yang bapak senang, itulah aturan. Hutan dirusak ekplorasi, tidak apa-apa, kan bapak sudah kasih izin eksplorasi. Masa ‘anak buah’ melawan ‘bapak buah’? Itu sudah keluar dari aturan. “Pokoknya kita tidak keluar dari aturan.”
Dilihat dari budaya politik seperti ini, Geram tepat: melaporkan si ‘bapak buah’, bukannya si ‘anak buah’. Tinggal, kerja polisi. Gawatnya, kalau kapolres juga rela menjadi ‘anak buah’. Hancurlah Mabar.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 21 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Bupati Mabar Fidelis Pranda dan kuasa pertambangan PT Sejahtera Prima Nusa Mining dilaporkan ke polisi oleh forum Geram di Labuan Bajo, Rabu 19 Agustus 2009. Laporan ini terkait eksplorasi tambang emas di Tebedo yang sudah merambah hutan lindung Nggorang Bowosie RTK 108.
Dalam investigasi Geram ke lokasi Minggu 16 Agustus, ditemukan: 66% areal yang sudah dieksplorasi merupakan hutan lindung. Sebanyak 7 dari 12 parit uji yang sudah digali terletak dalam hutan itu. Ribuan pohon tumbang.
Langkah Geram tepat: proses hukum. Ini sudah tindak pidana. Tidak melaporkannya sama dengan membiarkan kejahatan berlangsung terus. Dan itu berarti hutan dirusakkan terus.
Merusak hutan tidak hanya menghilangkan banyak pohon, tapi juga memusnahkan semua makhluk hidup di dalamnya. Jadi, bukan hanya pidana, ini juga dosa. Dosa pembunuhan. Pembunuhan terhadap kehidupan (biocide). Pembunuhan terhadap lingkungan (ecocide). Pembunhan terhadap bumi (geocide). Tidak langsung, pembunuhan terhadap manusia (homocide), bahkan pembunuhan terhadap diri sendiri (suicide).
Geram terdorong tanggung jawab hukum dan moral itu. Mereka bekerja tanpa digaji. Suatu keanggunan. Kita patut angkat topi. Sedangkan untuk yang lain, yang ditugasi negara menjaga hutan, yang digaji pakai uang rakyat, kita berbelasungkawa. Mereka sepertinya sudah mati semua.
Di manakah dinas kehutanan? Di manakah kadishut? Warga yang tebang satu pohon di hutan lindung kamu tangkap. Kapan kamu bekuk orang tambang yang tumbangkan ribuan pohon itu?
Kasus Tebedo sudah lama disinyalir oleh Geram. Yang terakhir diangkat oleh Fraksi Golkar Plus di DPRD Mabar dalam rapat paripurna Jumat 7 Agustus 2009. Waktu itu Kadishut Edward menjawab, “Kita sudah dengar itu. Dan sejak kemarin staf saya berada di Tebedo. Hasilnya belum tahu. Jika betul, langkah yang kita tempuh tidak keluar dari aturan.”
Seminggu lewat, apa hasil kerja dishut? Aman-aman saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa di Tebedo. Beda dengan Geram. Pergi sehari, hasil investigasinya jelas dan tegas: hutan lindung sudah dan sedang dirusakkan. Kalau tunggu dishut bergerak, kapan tempo? Geram berinisiatif justru karena instrumen negara yang digaji pakai uang rakyat sudah mandek, tidak berdaya, kecut, pasrah.
Kita maklum. Seorang kadis sulit ‘berbeda’ dari bupatinya. Berpendapat pun begitu. Tentang hal ‘berisiko’, sering digunakan rumusan halus sopan lemah-gemulai sehingga menjadi kabur samar-samar tak jelas lagi apa maksudnya. Contohnya, jawaban Kadishut Edward dalam rapat paripurna itu. “Jika betul (eksplorasi tambang emas Tebedo merambah hutan), langkah yang kita tempuh tidak keluar dari aturan.” Ketika ditanyai DPRD apa konkretnya, Edward tetap menjawab, “Pokoknya kita tidak keluar dari aturan.”
Jangan-jangan ‘aturan’ itu hanya nama lain dari ‘budaya politik’. Budaya asal bapak senang. Yang bapak senang, itulah aturan. Hutan dirusak ekplorasi, tidak apa-apa, kan bapak sudah kasih izin eksplorasi. Masa ‘anak buah’ melawan ‘bapak buah’? Itu sudah keluar dari aturan. “Pokoknya kita tidak keluar dari aturan.”
Dilihat dari budaya politik seperti ini, Geram tepat: melaporkan si ‘bapak buah’, bukannya si ‘anak buah’. Tinggal, kerja polisi. Gawatnya, kalau kapolres juga rela menjadi ‘anak buah’. Hancurlah Mabar.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 21 Agustus 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
kasus ekplorasi tambang emas tebedo,
mabar,
perambahan hutan tutupan nggorang bowosie rtk 108,
pertambangan
18 Agustus 2009
Kejari Maumere Keliru Besar
Tidak Laksanakan Putusan PT Kupang
Oleh Frans Anggal
Seorang terdakwa kasus shabu-shabu di Maumere, Indra Lae, menjalani masa tahanan melampaui putusan hakim. Seharusnya ia sudah bebas 13 Agustus 2009. Nyatanya, ia belum kunjung dibebaskan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Maumere.
Oleh Pengadilan Negeri (PN) Maumere, Indra Lae divonis dua tahun penjara, lebih ringan dua tahun dari tuntutan jaksa. Hukuman itu ia jalani sambil mengupayakan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Kupang. Oleh PT Kupang, hukumannya diperingan menjadi tujuh bulan. Dihitung dengan masa tahanannya sejak 13 Janari 2009 maka per 13 Agustus 2009 masa hukumannya genap tujuah bulan. Artinya, sejak tanggal itu semestinya ia sudah dibebaskan, sebagai konsekuensi putusan PT yang harus dilaksanakan oleh Kejari Maumere. Nyatanya tidak.
Mengapa bisa begitu? Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Maumere Acep Sudarman bikin alasan. “Putusan PT Kupang belum dieksekusi karena jaksa mengajukan kasasi. Jadi, putusan itu belum inkrah,” katanya. Belum inkrah berarti belum berkekuatan hukum tetap.
Yang menjadi pertanyaan kita: kapan sebuah putusan berkekuatan hukum tetap? Tidak jelas. Sebab, putusan PN masih bisa dibanding ke PT. Putusan PT masih bisa dikasasi ke Mahkamah Agung (MA). Putusan MA pun masih bisa digoyang dengan peninjauan kembali (PK). Durasi dari keseluruhan proses ini bisa berbulan-bulan. Bisa pula bertahun-tahun seperti dalam kasus para terpidana mati. Ada yang mendekam di penjara 10 tahun sebelum akhirnya meregang nyawa di hadapan regu tembak. Artinya, yang bersangkutan dihukum mati plus 10 tahun penjara.
Dengan gradasi yang lain, nasib terdakwa kasus shabu-shabu di Maumere seolah-olah mau dibuat seperti itu oleh jaksa. Ini tidak dapat dibenarkan. Terutama kalau ditinjau dari asas kesetaraan dan keseimbangan. Dalam negara hukum, kedudukan negara bukanlah di atas individu, tetapi setara dengan individu. Jaksa selaku instrumen negara serta terdakwa selaku individu sama di hadapan hukum. Punya hak, punya kewajiban. Hak itu diklaim, kewajiban itu dilaksanakan.
Dalam kasus Maumere, terdakwa dan jaksa sama-sama punya hak: mengajukan banding. Terdakwa banding ke PT Kupang, jaksa banding (kasasi) ke MA. Keduanya juga sama-sama punya kewajiban: melaksanakan putusan pengadilan. Lucunya justru di sini. Ketika terdakwa sudah selesai menjalani kewajiban hukuman, jaksa malah tidak melaksanakan kewajiban membebaskan terdakwa. Sebaliknya, hak si terdakwa untuk bebas ia batalkan dengan berdalihkan haknya untuk mengajukan kasasi.
Tampak jelas di sini, asas kesetaraan dan kesimbangan itu dilanggar habis oleh jaksa. Ia menempatkan dirinya di atas terdakwa. Keliru besar dia. Tidak tahu diri dia. Ini bukan negara totaliter. Ini negara hukum. Di hadapan hukum, negara dan individu itu sejajar (equality before the law).
Kalau menghargai asas kesetaran dan keseimbangan, tak perlulah jaksa berpikir dan bertindak yang janggal-janggal. Sederhana saja persoalannya: engkau dengan hakmu, terdakwa dengan haknya. Hakmu mengajukan kasasi, silakan, tidak dihalangi-halangi oleh terdakwa. Demikian sebaliknya, hak terdawa untuk bebas, hargailah, jangan pula kau halang-halangi. Itu baru namanya setara dan seimbang.
Kita berharap, Kejari Maumere menyadari kekeliruannya. Juga menyadari dampak kekeliruannya. Kejari telah melahirkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Juga telah merampas kemerdekaan seseorang.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 19 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Seorang terdakwa kasus shabu-shabu di Maumere, Indra Lae, menjalani masa tahanan melampaui putusan hakim. Seharusnya ia sudah bebas 13 Agustus 2009. Nyatanya, ia belum kunjung dibebaskan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Maumere.
Oleh Pengadilan Negeri (PN) Maumere, Indra Lae divonis dua tahun penjara, lebih ringan dua tahun dari tuntutan jaksa. Hukuman itu ia jalani sambil mengupayakan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Kupang. Oleh PT Kupang, hukumannya diperingan menjadi tujuh bulan. Dihitung dengan masa tahanannya sejak 13 Janari 2009 maka per 13 Agustus 2009 masa hukumannya genap tujuah bulan. Artinya, sejak tanggal itu semestinya ia sudah dibebaskan, sebagai konsekuensi putusan PT yang harus dilaksanakan oleh Kejari Maumere. Nyatanya tidak.
Mengapa bisa begitu? Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Maumere Acep Sudarman bikin alasan. “Putusan PT Kupang belum dieksekusi karena jaksa mengajukan kasasi. Jadi, putusan itu belum inkrah,” katanya. Belum inkrah berarti belum berkekuatan hukum tetap.
Yang menjadi pertanyaan kita: kapan sebuah putusan berkekuatan hukum tetap? Tidak jelas. Sebab, putusan PN masih bisa dibanding ke PT. Putusan PT masih bisa dikasasi ke Mahkamah Agung (MA). Putusan MA pun masih bisa digoyang dengan peninjauan kembali (PK). Durasi dari keseluruhan proses ini bisa berbulan-bulan. Bisa pula bertahun-tahun seperti dalam kasus para terpidana mati. Ada yang mendekam di penjara 10 tahun sebelum akhirnya meregang nyawa di hadapan regu tembak. Artinya, yang bersangkutan dihukum mati plus 10 tahun penjara.
Dengan gradasi yang lain, nasib terdakwa kasus shabu-shabu di Maumere seolah-olah mau dibuat seperti itu oleh jaksa. Ini tidak dapat dibenarkan. Terutama kalau ditinjau dari asas kesetaraan dan keseimbangan. Dalam negara hukum, kedudukan negara bukanlah di atas individu, tetapi setara dengan individu. Jaksa selaku instrumen negara serta terdakwa selaku individu sama di hadapan hukum. Punya hak, punya kewajiban. Hak itu diklaim, kewajiban itu dilaksanakan.
Dalam kasus Maumere, terdakwa dan jaksa sama-sama punya hak: mengajukan banding. Terdakwa banding ke PT Kupang, jaksa banding (kasasi) ke MA. Keduanya juga sama-sama punya kewajiban: melaksanakan putusan pengadilan. Lucunya justru di sini. Ketika terdakwa sudah selesai menjalani kewajiban hukuman, jaksa malah tidak melaksanakan kewajiban membebaskan terdakwa. Sebaliknya, hak si terdakwa untuk bebas ia batalkan dengan berdalihkan haknya untuk mengajukan kasasi.
Tampak jelas di sini, asas kesetaraan dan kesimbangan itu dilanggar habis oleh jaksa. Ia menempatkan dirinya di atas terdakwa. Keliru besar dia. Tidak tahu diri dia. Ini bukan negara totaliter. Ini negara hukum. Di hadapan hukum, negara dan individu itu sejajar (equality before the law).
Kalau menghargai asas kesetaran dan keseimbangan, tak perlulah jaksa berpikir dan bertindak yang janggal-janggal. Sederhana saja persoalannya: engkau dengan hakmu, terdakwa dengan haknya. Hakmu mengajukan kasasi, silakan, tidak dihalangi-halangi oleh terdakwa. Demikian sebaliknya, hak terdawa untuk bebas, hargailah, jangan pula kau halang-halangi. Itu baru namanya setara dan seimbang.
Kita berharap, Kejari Maumere menyadari kekeliruannya. Juga menyadari dampak kekeliruannya. Kejari telah melahirkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Juga telah merampas kemerdekaan seseorang.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 19 Agustus 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus shabu-shabu,
sikka
17 Agustus 2009
Samba: Dahulukan Persuasi
Kasus Penambangan Batu dan Pasir di Ende
Oleh Frans Anggal
Para penambang pasir di Samba, Kabupaten Ende, tetap menggali dan menjual pasir dan batu pada beberap titik ruas jalan Woloare-Nuabosi. Padahal, bupati sudah keluarkan SK 5 Mei 2009 yang melarang penambangan di lokasi itu.
Dilarang, namun tetap dilanggar. Para penambang punya alasan. Pertama, ini sumber nafkah mereka sejak lama. Dulu pernah dibikin kebun, namun pada 1983 ditutup oleh dinas kehutanan. Sebagai gantinya, mereka menambang. Sekarang dilarang lagi. Bagaimana bisa cari makan? Kedua, mereka kecewa. Pelarangan ini sepihak, tanpa sosialisasi. Penancapan tanda larang tidak diketahui pemilik lahan. Karena itu, mereka mengambil sikap: tetap menambang.
Sikap para penambang merupakan sikap warga terhadap negara. Sikap ini dapat digolongkan sebagai ‘ketidaktaatan sipil’ (civil disobedience). Secara hukum, sikap mereka ini tidak dapat dibenarkan karena melanggar SK bupati dan aturan-aturan terkait yang dirujuk SK dalam konsideransnya. Yang menjadi pertanyaan: apakah sikap ini juga merupakan pelanggaran moral?
Sekilas, alasan para penambang cukup meyakinkan secara moral. Tanah itu tanah mereka. Penambangan itu sumber nafkah mereka. Mereka menambang demi mempertahankan hidup. Menyemai kehidupan dan memelihara kehidupan, bukankah itu sikap dan tindakan moral terpuji?
Sampai di situ, mereka benar. Dan rupanya pertimbangan mereka hanya sampai di situ. Hanya sampai pada pertimbangan kepentingan diri sendiri. Diri sendiri dijadikan pusat. Ini sikap egosentrik. Salahkah? Jawabannya: tergantung dari dampaknya bagi orang lain atau kepentingan umum (bonum commune). Kalau merugikan, jelas salah. Kalau tetap tikam kepala dalam kesalahan, itu bukan lagi egosentrik, tapi egoistik.
Kasus penambang pasir di Samba bukan kasus baru. Dampak buruknya bagi kepentingan umum sudah lama dirasakan. Jalan raya rusak karena longsoran dan tumpukan material. Lalu lintas menjadi tidak aman dan tidak nyaman. Nyawa penambang pun sudah melayang karena mati tertimbun. Permukiman sekitar yang letaknya lebih rendah terancam tanah longsor dan banjir.
Itulah kepentingan umum yang jelas-jelas dirugikan. Olehnya, sikap dan tindakan para penambang tidak hanya tidak dapat dibenarkan secara hukum, tapi juga tidak dapat dibenarkan secara moral. Mereka mempertahankan kepentingan diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Pemerintah sudah menawarkan lokasi baru, namun mereka tolak. SK bupati 5 Mei 2009 hanyalah tindakan kesekian, yang dipicu kasus kematian penambang beberapa hari sebelumnya.
Kita berharap pemerintah tetap dahulukan persuasi, memberikan pemahaman, sebelum mengambil langkah hukum. Persuasi penting karena tampaknya langkah ini belum optimal dilakukan. Ini kentara dari keluhan para penambang. Mereka kecewa pemerintah bertindak sepihak. Kenyataan ini mengejutkan Bupati Don Bosco Wangge karena sebelumnya camat sudah menjamin akan mengamankan SK bupati.
Pesan kita: sebelum menindak tegas para penambang, tindak dulu camat yang berjanji muluk tapi tidak jalankan tugas. Bupati berjanji memanggil dia. Itu tepat. Pada banyak kasus, kebijakan atasan tidak berterima di masyarakat bukan karena tidak bijaksana, tapi karena lemahnya para ujung tombak. Mereka menjalankan politik belah bambu: angkat yang di atas, injak yang di bawah. Atau bermental perangko: jilat ke atas, tekan ke bawah. Mental ‘asal bapak senang’ belum sepenuhnya hilang.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 18 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Para penambang pasir di Samba, Kabupaten Ende, tetap menggali dan menjual pasir dan batu pada beberap titik ruas jalan Woloare-Nuabosi. Padahal, bupati sudah keluarkan SK 5 Mei 2009 yang melarang penambangan di lokasi itu.
Dilarang, namun tetap dilanggar. Para penambang punya alasan. Pertama, ini sumber nafkah mereka sejak lama. Dulu pernah dibikin kebun, namun pada 1983 ditutup oleh dinas kehutanan. Sebagai gantinya, mereka menambang. Sekarang dilarang lagi. Bagaimana bisa cari makan? Kedua, mereka kecewa. Pelarangan ini sepihak, tanpa sosialisasi. Penancapan tanda larang tidak diketahui pemilik lahan. Karena itu, mereka mengambil sikap: tetap menambang.
Sikap para penambang merupakan sikap warga terhadap negara. Sikap ini dapat digolongkan sebagai ‘ketidaktaatan sipil’ (civil disobedience). Secara hukum, sikap mereka ini tidak dapat dibenarkan karena melanggar SK bupati dan aturan-aturan terkait yang dirujuk SK dalam konsideransnya. Yang menjadi pertanyaan: apakah sikap ini juga merupakan pelanggaran moral?
Sekilas, alasan para penambang cukup meyakinkan secara moral. Tanah itu tanah mereka. Penambangan itu sumber nafkah mereka. Mereka menambang demi mempertahankan hidup. Menyemai kehidupan dan memelihara kehidupan, bukankah itu sikap dan tindakan moral terpuji?
Sampai di situ, mereka benar. Dan rupanya pertimbangan mereka hanya sampai di situ. Hanya sampai pada pertimbangan kepentingan diri sendiri. Diri sendiri dijadikan pusat. Ini sikap egosentrik. Salahkah? Jawabannya: tergantung dari dampaknya bagi orang lain atau kepentingan umum (bonum commune). Kalau merugikan, jelas salah. Kalau tetap tikam kepala dalam kesalahan, itu bukan lagi egosentrik, tapi egoistik.
Kasus penambang pasir di Samba bukan kasus baru. Dampak buruknya bagi kepentingan umum sudah lama dirasakan. Jalan raya rusak karena longsoran dan tumpukan material. Lalu lintas menjadi tidak aman dan tidak nyaman. Nyawa penambang pun sudah melayang karena mati tertimbun. Permukiman sekitar yang letaknya lebih rendah terancam tanah longsor dan banjir.
Itulah kepentingan umum yang jelas-jelas dirugikan. Olehnya, sikap dan tindakan para penambang tidak hanya tidak dapat dibenarkan secara hukum, tapi juga tidak dapat dibenarkan secara moral. Mereka mempertahankan kepentingan diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Pemerintah sudah menawarkan lokasi baru, namun mereka tolak. SK bupati 5 Mei 2009 hanyalah tindakan kesekian, yang dipicu kasus kematian penambang beberapa hari sebelumnya.
Kita berharap pemerintah tetap dahulukan persuasi, memberikan pemahaman, sebelum mengambil langkah hukum. Persuasi penting karena tampaknya langkah ini belum optimal dilakukan. Ini kentara dari keluhan para penambang. Mereka kecewa pemerintah bertindak sepihak. Kenyataan ini mengejutkan Bupati Don Bosco Wangge karena sebelumnya camat sudah menjamin akan mengamankan SK bupati.
Pesan kita: sebelum menindak tegas para penambang, tindak dulu camat yang berjanji muluk tapi tidak jalankan tugas. Bupati berjanji memanggil dia. Itu tepat. Pada banyak kasus, kebijakan atasan tidak berterima di masyarakat bukan karena tidak bijaksana, tapi karena lemahnya para ujung tombak. Mereka menjalankan politik belah bambu: angkat yang di atas, injak yang di bawah. Atau bermental perangko: jilat ke atas, tekan ke bawah. Mental ‘asal bapak senang’ belum sepenuhnya hilang.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 18 Agustus 2009
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
lingkungan,
penambangan batu dan pasir,
samba
VAR: Mari Pelototi APBD
Habisnya Persediaan VAR di Ngada
Oleh Frans Anggal
Di Ngada, sebulan terakhir ini, jumlah kasus gigitan anjing tersangka rabies cukup tinggi. Namun, stok vaksin anti rabies (VAR) kosong, baik di rumah sakit maupun di puskesmas. Akibatnya, banyak korban gigitan tidak divaksin. Paling-paling diberi pertolongan pertama. Luka gigitan dibersihkan dengan deterjen untuk kemudian diobati.
Keadaan ini diakui Direktris RSUD Bajawa Maria BS Nenu dan Kadis Kesehatan Ngada Hildegardis Bhoko. Kata kadis, dalam APBD Ngada 2009, dana pengadaan VAR sebesar Rp100 juta. Dipakai beli VAR 800 flakon. Semuanya sudah habis. Pada perubahan APBD 2009, diskes ajukan lagi Rp50 juta. VAR-nya baru dipesan. Sementara itu, kasus gigitan terus bertambah.
VAR kosong karena habis terpakai. Habis terpakai karena ketersediaannya tidak memadai atau tidak mengantisipasi jumlah kasus. Letak masalahnya di mana? Apakah pada eksekutif (dikses) atau legislatif (DPRD)? Apakah diskes kurang prediktif-antisipatif sehingga ajuan anggarannya terlalu kurang? Ataukah ajuannya sudah prediktif-antisipaif namun dipangkas habis-habisan oleh DPRD?
Di mana pun letak biang keroknya, APBD sudah dibahas dan ditetapkan oleh eksekutif dan legislatif. Jejak, wajah, hati, kiblat, dan keberpihakan mereka sudah tergambar di sana. Juga, peduli atau tidak, peka atau tidaknya mereka pada kebutuhan masyarakat.
APBD 2009 Ngada mengalokasikan dana VAR Rp100 juta. Bagaimana bisa serendah ini? Flores ini endemik rabies. Usia rabies di pulau ini sudah satu dasawarsa lebih. VAR kurang, VAR habis, berulang hampir tiap tahun. Bagaimana bisa tidak belajar dari keberulangan seperti ini? Ini pertanda apa?
Dokter Johanes Don Bosco Do, mantan birokrat, mengakarkan keberulangan itu pada nihilnya kepedulian para elite. “Kalau elite terus mempertontonkan ketidakpekaannya pada kebutuhan masyarakat, hal-hal seperti ini tetap berulang.” Ia mengirim SMS 8 Agustus 2009, menanggapi “Bentara” hari itu tentang habisnya VAR di Kabupaten Sikka.
“Kaum profesional yang berada di front-line service tetap akan dibuat frustrasi kalau ketersediaan vaksin dan serum tidak terjamin di setiap pusksmas. Hari-hari yang akan datang perlu kita pelototi perencanaan APBD dan alokasinya,” tulis mantan kadiskes dan mantan dirut rumah sakit ini.
Pelototi APBD. Tepat! Sebab, jejak, wajah, hati, kiblat, dan keberpihakan para elite tergambar di sana. Semuanya ada di sana dan berawal dari sana. Bahkan, korupsi pun sudah dimulai dari sana, dari awal perencanaan APBD, yang dibalut rapi-jali atau disingkapkan dengan negosiasi, di bawah semangat tahu sama tahu dan untung sama untung.
Atas cara seperti itulah terjadi korupsi diskresi, korupsi terabsahkan, korupsi berjemaah, yang penetapannya selalu diawali formula suci: “Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa”. Semestinya diganti: “Dengan Khianati Tuhan yang Maha Esa”. Atau lebih tepat: “Dengan Restu Iblis yang Maha Rakus”.
Kalau APBD-lah yang harus dipelototi, janganlah lagi gampang mempercayai para elite yang bilang peduli dan peka pada kebutuhan masyarakat. Pelototi dulu APBD-nya. Benarkah peduli dan peka mereka terefleksi di sana? Soal kesehatan, rabies, VAR, sama halnya. Seberapa besar anggarannya dalam APBD? Kalau dana VAR cuma sekian persen dari anggaran perjalanan dinas bupati, apa yang dapat kita katakan tentang semua kebohongan mereka?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 14 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Di Ngada, sebulan terakhir ini, jumlah kasus gigitan anjing tersangka rabies cukup tinggi. Namun, stok vaksin anti rabies (VAR) kosong, baik di rumah sakit maupun di puskesmas. Akibatnya, banyak korban gigitan tidak divaksin. Paling-paling diberi pertolongan pertama. Luka gigitan dibersihkan dengan deterjen untuk kemudian diobati.
Keadaan ini diakui Direktris RSUD Bajawa Maria BS Nenu dan Kadis Kesehatan Ngada Hildegardis Bhoko. Kata kadis, dalam APBD Ngada 2009, dana pengadaan VAR sebesar Rp100 juta. Dipakai beli VAR 800 flakon. Semuanya sudah habis. Pada perubahan APBD 2009, diskes ajukan lagi Rp50 juta. VAR-nya baru dipesan. Sementara itu, kasus gigitan terus bertambah.
VAR kosong karena habis terpakai. Habis terpakai karena ketersediaannya tidak memadai atau tidak mengantisipasi jumlah kasus. Letak masalahnya di mana? Apakah pada eksekutif (dikses) atau legislatif (DPRD)? Apakah diskes kurang prediktif-antisipatif sehingga ajuan anggarannya terlalu kurang? Ataukah ajuannya sudah prediktif-antisipaif namun dipangkas habis-habisan oleh DPRD?
Di mana pun letak biang keroknya, APBD sudah dibahas dan ditetapkan oleh eksekutif dan legislatif. Jejak, wajah, hati, kiblat, dan keberpihakan mereka sudah tergambar di sana. Juga, peduli atau tidak, peka atau tidaknya mereka pada kebutuhan masyarakat.
APBD 2009 Ngada mengalokasikan dana VAR Rp100 juta. Bagaimana bisa serendah ini? Flores ini endemik rabies. Usia rabies di pulau ini sudah satu dasawarsa lebih. VAR kurang, VAR habis, berulang hampir tiap tahun. Bagaimana bisa tidak belajar dari keberulangan seperti ini? Ini pertanda apa?
Dokter Johanes Don Bosco Do, mantan birokrat, mengakarkan keberulangan itu pada nihilnya kepedulian para elite. “Kalau elite terus mempertontonkan ketidakpekaannya pada kebutuhan masyarakat, hal-hal seperti ini tetap berulang.” Ia mengirim SMS 8 Agustus 2009, menanggapi “Bentara” hari itu tentang habisnya VAR di Kabupaten Sikka.
“Kaum profesional yang berada di front-line service tetap akan dibuat frustrasi kalau ketersediaan vaksin dan serum tidak terjamin di setiap pusksmas. Hari-hari yang akan datang perlu kita pelototi perencanaan APBD dan alokasinya,” tulis mantan kadiskes dan mantan dirut rumah sakit ini.
Pelototi APBD. Tepat! Sebab, jejak, wajah, hati, kiblat, dan keberpihakan para elite tergambar di sana. Semuanya ada di sana dan berawal dari sana. Bahkan, korupsi pun sudah dimulai dari sana, dari awal perencanaan APBD, yang dibalut rapi-jali atau disingkapkan dengan negosiasi, di bawah semangat tahu sama tahu dan untung sama untung.
Atas cara seperti itulah terjadi korupsi diskresi, korupsi terabsahkan, korupsi berjemaah, yang penetapannya selalu diawali formula suci: “Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa”. Semestinya diganti: “Dengan Khianati Tuhan yang Maha Esa”. Atau lebih tepat: “Dengan Restu Iblis yang Maha Rakus”.
Kalau APBD-lah yang harus dipelototi, janganlah lagi gampang mempercayai para elite yang bilang peduli dan peka pada kebutuhan masyarakat. Pelototi dulu APBD-nya. Benarkah peduli dan peka mereka terefleksi di sana? Soal kesehatan, rabies, VAR, sama halnya. Seberapa besar anggarannya dalam APBD? Kalau dana VAR cuma sekian persen dari anggaran perjalanan dinas bupati, apa yang dapat kita katakan tentang semua kebohongan mereka?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 14 Agustus 2009
12 Agustus 2009
Amuk Massa di Soa
Perusakan Mapolsek dan Rumah Warga
Oleh Frans Anggal
Massa dari Desa Loa, Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada, mengamuk. Mereka merusak Mapolsek Soa dan membakar rumah Petrus Duka.
Kata Kapolres Dadang Suhendar, kasus bermula dari lokasi pacuan kuda di Desa Seso. Saat itu Yulius Muga melihat kakeknya dipukul oleh Alexander Andi. Membela kakeknya, Muga mengambil parang milik orang lain. Ia bacok Andi di pelipis dan dana. Andi tersungkur. Muga lari ke Mapolsek Soa. Mendengar massa mendatangi mapolsek, Muga lari bersembunyi di hutan. Mapolsek pun jadi sasaran amuk massa. Selanjutnya massa ke Masu. Di sana mereka bakar rumah Petrus Duka, ayah pelaku.
Rumah hangus. Dua sepeda motor ikut terbakar. Yang selamat hanya padi dua ton. Itu pun atas bantuan polisi yang terlambat tiba. Kerugian sekitar Rp75 juta. Pelaku pembacokan sudah ditangkap. Sedangkan korban bacokan dilarikan ke RSUD Ruteng, Manggarai. Sebab, dokter bedah di RSUD Bajawa belum datang.
Mudahnya warga mengamuk! Maklum, kata sosiologi. Begitulah kalau terlalu banyak kelas bawah: miskin, kurang berpendidikan, dll. Kelas bawah cenderung kurang pakai otak, lebih ikut emosi, kurang mengerti hukum. Masyarakat seperti ini mudah dihasut. Apalagi dalam kerumunan. Mudah lahir amuk massa.
Menurut kajian psikologi, dalam kerumunan, amuk massa lebih dikendalikan oleh jiwa kolektif (collective mind) ketimbang jiwa masing-masing individu (individual mind). Akibatnya, setiap individu dalam kerumunan berpikir, merasa, dan bertindak serupa. Gawatnya, sifatnya kekanak-kanakan, emosional, irasional, dan agresif-destruktif.
Dalam kerumunan, identitas individu tenggelam oleh anonimitas. Di dalam anonimitas, individu merasa ‘aman’. Buat apa saja, ia tidak merasa terbebani tanggung jawab. Sebab, tanggung jawabnya sudah diserahkan kepada atau diambil alih oleh kawanan. Bisa dibayangkan agresif dan destruktifnya jika aksi mereka dibakar oleh dendam, kebencian, dan permusuhan.
Dalam amuk massa di Soa, mapolsek dan rumah ayah pelaku pembacokan jadi sasaran. Ini cuma sasaran pengganti atau sasaran pelengkap. Sasaran utamanya adalah pelaku pembacokan. Kalau ia tidak melarikan diri dan tertangkap, apakah jiwanya masih selamat? Kemungkinan tidak. Dalam banyak kasus amuk massa, penyebab kejadian dan akibatnya sering tidak seimbang. Bukan sekadar ‘gigi ganti gigi’, tapi ‘banyak gigi ganti satu gigi’.
Kita berharap kasus Soa ditangani lengkap, adil, dan tuntas. Jangan seperti di Ende dalam kasus Minggu malam 10 Mei 2009. Saat itu, dua ledakan diduga bom ikan menggelegar di kompleks Dolog. Tempat pengetikan dan tambal ban Thomas A Senda berantakan. Ia tak ada sangkut-pautnya. Sehari sebelumnya, terjadi pengeroyokan terhadap seorang warga Paupanda oleh tiga pelaku kompleks Dolog. Sebagai balasan, tempat ini jadi sasaran. Rupanya karena para pelaku pengeroyokan biasa mangkal di sini.
Bagaimana penyelesaiannya oleh Polres Ende? Kasus pengeroyokannya diproses. Kasus penyerbuan dan pengebomannya tidak. Alasan: ini aksi massa, tidak bisa diidentifikasi. Alasan ini berbahaya. Preseden buruk ke depan. Orang bisa bikin kacau terus pakai aksi massa. Apa benar pelaku aksi massa tidak bisa diidentifikasi? Yang benar saja.
Kita berharap Polres Ngada tidak ikut-ikutan seperti itu. Jangan cari gampang lalu berdalih macam-macam. Masyarakat tidak bodoh dan tidak mudah dikibuli.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 13 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Massa dari Desa Loa, Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada, mengamuk. Mereka merusak Mapolsek Soa dan membakar rumah Petrus Duka.
Kata Kapolres Dadang Suhendar, kasus bermula dari lokasi pacuan kuda di Desa Seso. Saat itu Yulius Muga melihat kakeknya dipukul oleh Alexander Andi. Membela kakeknya, Muga mengambil parang milik orang lain. Ia bacok Andi di pelipis dan dana. Andi tersungkur. Muga lari ke Mapolsek Soa. Mendengar massa mendatangi mapolsek, Muga lari bersembunyi di hutan. Mapolsek pun jadi sasaran amuk massa. Selanjutnya massa ke Masu. Di sana mereka bakar rumah Petrus Duka, ayah pelaku.
Rumah hangus. Dua sepeda motor ikut terbakar. Yang selamat hanya padi dua ton. Itu pun atas bantuan polisi yang terlambat tiba. Kerugian sekitar Rp75 juta. Pelaku pembacokan sudah ditangkap. Sedangkan korban bacokan dilarikan ke RSUD Ruteng, Manggarai. Sebab, dokter bedah di RSUD Bajawa belum datang.
Mudahnya warga mengamuk! Maklum, kata sosiologi. Begitulah kalau terlalu banyak kelas bawah: miskin, kurang berpendidikan, dll. Kelas bawah cenderung kurang pakai otak, lebih ikut emosi, kurang mengerti hukum. Masyarakat seperti ini mudah dihasut. Apalagi dalam kerumunan. Mudah lahir amuk massa.
Menurut kajian psikologi, dalam kerumunan, amuk massa lebih dikendalikan oleh jiwa kolektif (collective mind) ketimbang jiwa masing-masing individu (individual mind). Akibatnya, setiap individu dalam kerumunan berpikir, merasa, dan bertindak serupa. Gawatnya, sifatnya kekanak-kanakan, emosional, irasional, dan agresif-destruktif.
Dalam kerumunan, identitas individu tenggelam oleh anonimitas. Di dalam anonimitas, individu merasa ‘aman’. Buat apa saja, ia tidak merasa terbebani tanggung jawab. Sebab, tanggung jawabnya sudah diserahkan kepada atau diambil alih oleh kawanan. Bisa dibayangkan agresif dan destruktifnya jika aksi mereka dibakar oleh dendam, kebencian, dan permusuhan.
Dalam amuk massa di Soa, mapolsek dan rumah ayah pelaku pembacokan jadi sasaran. Ini cuma sasaran pengganti atau sasaran pelengkap. Sasaran utamanya adalah pelaku pembacokan. Kalau ia tidak melarikan diri dan tertangkap, apakah jiwanya masih selamat? Kemungkinan tidak. Dalam banyak kasus amuk massa, penyebab kejadian dan akibatnya sering tidak seimbang. Bukan sekadar ‘gigi ganti gigi’, tapi ‘banyak gigi ganti satu gigi’.
Kita berharap kasus Soa ditangani lengkap, adil, dan tuntas. Jangan seperti di Ende dalam kasus Minggu malam 10 Mei 2009. Saat itu, dua ledakan diduga bom ikan menggelegar di kompleks Dolog. Tempat pengetikan dan tambal ban Thomas A Senda berantakan. Ia tak ada sangkut-pautnya. Sehari sebelumnya, terjadi pengeroyokan terhadap seorang warga Paupanda oleh tiga pelaku kompleks Dolog. Sebagai balasan, tempat ini jadi sasaran. Rupanya karena para pelaku pengeroyokan biasa mangkal di sini.
Bagaimana penyelesaiannya oleh Polres Ende? Kasus pengeroyokannya diproses. Kasus penyerbuan dan pengebomannya tidak. Alasan: ini aksi massa, tidak bisa diidentifikasi. Alasan ini berbahaya. Preseden buruk ke depan. Orang bisa bikin kacau terus pakai aksi massa. Apa benar pelaku aksi massa tidak bisa diidentifikasi? Yang benar saja.
Kita berharap Polres Ngada tidak ikut-ikutan seperti itu. Jangan cari gampang lalu berdalih macam-macam. Masyarakat tidak bodoh dan tidak mudah dikibuli.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 13 Agustus 2009
Label:
amuk massa di soa,
bentara,
flores,
flores pos,
hukum dan kriminalitas,
ngada,
polres ngada,
polsek soa,
soa
11 Agustus 2009
Nasibmu Sumpah Adat
Sumpah Adat di Palue dan Solor Barat
Oleh Frans Anggal
Warga Desa Lidi di Pulau Palue, Kabupaten Sikka, bikin sumpah adat secara massal. Tujuannya: menghentikan pengeboman ikan. Ritus ini dibuat akhir Juli 2009, disaksikan Wabup Wera Damianus, muspida, pencam, pemdes, tokoh masyarakat, tokoh agama, dll.
Sumpah ditandai dengan penyembelihan hewan korban. “Melalui darah babi, warga bersumpah demi langit dan bumi dan para leluhur,” kata Camat Palue Fernandes Woda. Yang melanggar diyakini akan dikutuk oleh leluhur, juga didenda oleh masyarakat berupa satu ekor babi ‘delapan ikat’ (ukuran terbesar).
Mengapa pakai sumpah adat, ada alasannya. “Warga sangat takut langgar sumpah adat,” kata tokoh masyarakat Darius Ware. “Itu berarti dapat mengurangi pengeboman ikan.” Sudah ada buktinya. Sumpah adat pernah dilakukan empat desa lain. Hasilnya, pengeboman ikan sudah jarang. “Bahkan dalam setahun terakhir sudah tidak ada lagi,” kata camat.
Enak to? Mantap to? Ya, dalam hasil atau manfaat. “Abusus non tollit usum”, kata ungkapan Latin. “Kemungkinan penyalahgunaan tidak menghalangi manfaat”. Korupsi, misalnya. Ini penyalahgunaan wewenang, jelas-jelas tidak baik, tapi bukan berarti tidak bermanfaat. Uang korupsi tetap bermanfaat: bisa buat ongkos sekolah anak, manjakan istri, kasih sedekah orang miskin, bahkan didermakan di gereja.
Patut dapat dikhawatirkan, sumpah adat di Paule dan tempat lain di Flores kurang lebih seperti itulah. Penjelasan camat dan tokoh masyarakat Palue itu memberi kesan bahwa sumpah ini bertujuan menimbulan rasa takut, dan rasa takut itu akan bermanfaat bagi pelestarian lingkungan. Apa benar begitu? Kalau ya maka ini sudah termasuk abusus, penyalahgunaan, penyalahgunaan adat.
Bukan tidak boleh bersumpah adat. Boleh saja, malah luhur, sejauh sebagai ikrar penyadaran, bukan ritus penakutan. Itu berarti, sumpah hanyalah mahkota dari proses penyadaran. Proses ini mengasah sifat moral dan merangsang tindakan etis untuk menghargai dan memelihara lingkungan hidup. Dengannya, orang tidak mengebom ikan bukan karena takut, tapi karena sadar.
Rasa takut itu sifat psikologis, bukan sifat moral. Sifat psikologis mudah hilang, tidak terkecuali yang dilahirkan dari sumpah adat. Sekali kutukan leluhur tidak terbukti, rasa takut akan hilang. Selanjutnya, hilangnya rasa takut menjadi dasar untuk terus-menerus melanggar sumpah.
Sebuah kasus. Pada 1 Juli 2009, warga Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flotim, melakukan sumpah adat di Desa Nusadani. Tujuannya: menghilangkan kebiasaan membakar hutan. Hasilnya: dua minggu kemudian kebakaran terjadi lagi. Camat Yoseph Dasi Muda kesal warganya tidak menaati sumpah adat. Ia pun berujar, “Pemerintah harapkan warga di Solor Barat takut dengan sumpah yang sudah diucapkan.”
Mirip dengan ucapan camat dan tokoh masyarakat Palue, ucapan camat Solor Barat ini menjunjung tinggi rasa takut. Sifat psikologis ini lebih ditonjolkan ketimbang sifat moral baik atau buruknya tindakan. Sekarang kita tunggu, kapan si pelaku kena kutuk. Kalau tidak terjadi? Sumpah adat itu kehilangan legitimasi.
Nasib sumpah adat akan selalu begitu manakala sifat psikologis rasa takut ditonjolkan. Nasibnya tidak banyak beda dengan nasib sumpah jabatan. Kalau disaksikan, efek psikologisnya aduhai mengharukan. Sumpahnya Pakai Kitab Suci segala. Sesudah itu? Kita semua tahu. Banyak sumpah menjadi sampah.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 12 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Warga Desa Lidi di Pulau Palue, Kabupaten Sikka, bikin sumpah adat secara massal. Tujuannya: menghentikan pengeboman ikan. Ritus ini dibuat akhir Juli 2009, disaksikan Wabup Wera Damianus, muspida, pencam, pemdes, tokoh masyarakat, tokoh agama, dll.
Sumpah ditandai dengan penyembelihan hewan korban. “Melalui darah babi, warga bersumpah demi langit dan bumi dan para leluhur,” kata Camat Palue Fernandes Woda. Yang melanggar diyakini akan dikutuk oleh leluhur, juga didenda oleh masyarakat berupa satu ekor babi ‘delapan ikat’ (ukuran terbesar).
Mengapa pakai sumpah adat, ada alasannya. “Warga sangat takut langgar sumpah adat,” kata tokoh masyarakat Darius Ware. “Itu berarti dapat mengurangi pengeboman ikan.” Sudah ada buktinya. Sumpah adat pernah dilakukan empat desa lain. Hasilnya, pengeboman ikan sudah jarang. “Bahkan dalam setahun terakhir sudah tidak ada lagi,” kata camat.
Enak to? Mantap to? Ya, dalam hasil atau manfaat. “Abusus non tollit usum”, kata ungkapan Latin. “Kemungkinan penyalahgunaan tidak menghalangi manfaat”. Korupsi, misalnya. Ini penyalahgunaan wewenang, jelas-jelas tidak baik, tapi bukan berarti tidak bermanfaat. Uang korupsi tetap bermanfaat: bisa buat ongkos sekolah anak, manjakan istri, kasih sedekah orang miskin, bahkan didermakan di gereja.
Patut dapat dikhawatirkan, sumpah adat di Paule dan tempat lain di Flores kurang lebih seperti itulah. Penjelasan camat dan tokoh masyarakat Palue itu memberi kesan bahwa sumpah ini bertujuan menimbulan rasa takut, dan rasa takut itu akan bermanfaat bagi pelestarian lingkungan. Apa benar begitu? Kalau ya maka ini sudah termasuk abusus, penyalahgunaan, penyalahgunaan adat.
Bukan tidak boleh bersumpah adat. Boleh saja, malah luhur, sejauh sebagai ikrar penyadaran, bukan ritus penakutan. Itu berarti, sumpah hanyalah mahkota dari proses penyadaran. Proses ini mengasah sifat moral dan merangsang tindakan etis untuk menghargai dan memelihara lingkungan hidup. Dengannya, orang tidak mengebom ikan bukan karena takut, tapi karena sadar.
Rasa takut itu sifat psikologis, bukan sifat moral. Sifat psikologis mudah hilang, tidak terkecuali yang dilahirkan dari sumpah adat. Sekali kutukan leluhur tidak terbukti, rasa takut akan hilang. Selanjutnya, hilangnya rasa takut menjadi dasar untuk terus-menerus melanggar sumpah.
Sebuah kasus. Pada 1 Juli 2009, warga Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flotim, melakukan sumpah adat di Desa Nusadani. Tujuannya: menghilangkan kebiasaan membakar hutan. Hasilnya: dua minggu kemudian kebakaran terjadi lagi. Camat Yoseph Dasi Muda kesal warganya tidak menaati sumpah adat. Ia pun berujar, “Pemerintah harapkan warga di Solor Barat takut dengan sumpah yang sudah diucapkan.”
Mirip dengan ucapan camat dan tokoh masyarakat Palue, ucapan camat Solor Barat ini menjunjung tinggi rasa takut. Sifat psikologis ini lebih ditonjolkan ketimbang sifat moral baik atau buruknya tindakan. Sekarang kita tunggu, kapan si pelaku kena kutuk. Kalau tidak terjadi? Sumpah adat itu kehilangan legitimasi.
Nasib sumpah adat akan selalu begitu manakala sifat psikologis rasa takut ditonjolkan. Nasibnya tidak banyak beda dengan nasib sumpah jabatan. Kalau disaksikan, efek psikologisnya aduhai mengharukan. Sumpahnya Pakai Kitab Suci segala. Sesudah itu? Kita semua tahu. Banyak sumpah menjadi sampah.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 12 Agustus 2009
Label:
flores,
flores pos,
lingkungan hidup,
palue,
solor barat,
sumpah adat
10 Agustus 2009
Berkantor Sambil Berjudi
Penangkapan Ketua KPU Flotim
Oleh Frans Anggal
Di Ruteng, Manggarai, empat pengusaha dan dua PNS ditangkap saat sedang bermain judi di rumah salah seorang pelaku. Penangkapan dilakukan Minggu 9 Agustus 2009, pukul 00.30. Barang bukti yang disita: uang Rp9 juta, kartu remi, dan selimut.
Dua hari sebelumnya, di Larantuka, Flotim, Katua KPU Flotim Abdul Kadir H Yahya bersama empat stafnya ditangkap ketika sedang asyik berjudi di belakang kantor KPU. Pencidukan dilakukan pukul 15.000. Barang bukti yang disita: uang Rp1,5 juta dan kartu.
Merunut berita selengkapnya, dua kasus ini memiliki beberapa kesamaan. Para pelakunya tertangkap tangan, tertangkap basah. Barang buktinya sangat kuat, yaitu kartu (bukti mereka bermain), uang (bukti mereka bertaruh), dan lain-lain alat bukti pendukung. Mereka dibekuk polisi berdasarkan informasi dari masyarakat.
Selain ada kesamaan, juga ada perbedaan. Yang di Ruteng judinya malam hari. Yang di Flotim siang hari. Yang di Ruteng judinya di kediaman pelaku. Yang di Flotim di (belakang) kantor pelaku. Yang di Ruteng pelakunya beragam profesi: pengusaha dan PNS. Yang di Flotim seragam profesi, dari satu kantor, KPU. Yang di Ruteng pelakunya sejajar. Yang di Flotim atasan dan bawahan, ketua dan staf KPU.
Dilihat dari waktu, tempat, dan pelakunya, yang di Flotim sungguh luar biasa. Pertama, waktunya: siang-siang, pada jam kerja. Mereka bukan mengisi waktu luang, tapi meluangkan waktu berisi. Jam kerja menjadi jam bermain. Kedua, tempatnya: di (belakang) kantor. Areal kantor menjadi areal judi. Ketiga, pelakunya: orang satu kantor. Kepala kantor menjadi kepala judi.
Mereka melanggar hukum dan moral, sudah jelas. Mereka menodai citra lembaga, sudah pasti. Karena itu, sorotan hukum dan moral, untuk sejenak, kita ‘lupakan’. Kita simak sisi lain. Sisi budaya. Bukan budaya judinya, tapi budaya waktu, budaya penggunaan waktu.
Ada dua cara penggunaan waktu, kata Edward T Hall. Yaitu monokronik dan polikronik. Dalam cara monokronik, waktu terbagi-bagi dan orang menjadwalkan suatu kegiatan untuk waktu tertentu. Orang jadi bingung jika harus menangani berbagai kegiatan pada waktu yang sama. Di situlah bedanya dengan cara polikronik. Dalam cara polikronik, pemanfaatan waktu itu mengatur beberapa kegiatan yang berlangsung pada waktu yang sama.
Kita di Indonesia menggunakan waktu secara polikronik. Ungkapan bahasa kita menunjukkannya. Sebab, bahasa menunjukkan bangsa, bukan? Kita mengenal ungkapan: sambil menyelam, minum air. Juga: sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Dalam praktik, memang seperti itulah yang terjadi. Yang dilakukan orang KPU Flotim, itulah contohnya. Sambil bekerja, bermain. Sambil berkantor, berjudi.
Istilah umumnya, mereka tidak disiplin. Tidak “tepat”. Yang disebut disiplin adalah tepat tindakan, tepat tempat, tepat waktu. Tindakan mereka justru tidak tepat: mereka berjudi. Tempatnya tidak tepat: di (areal) kantor. Waktunya pun tidak tepat: pada jam kerja.
Istilah psikologinya, mereka kekanak-kanakan. Belum matang, belum dewasa, meski sudah besar, sudah tua. Alasannya: mereka masih campur-adukkan bekerja dan bermain. Anak-anak memang tidak (tahu) membedakan antara bekerja dan bermain. Karena itulah, anak-anak bermain sambil bekerja. Yang dilakukan ‘anak-anak berkumis’ itu sama: berkantor sambil berjudi.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 11 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Di Ruteng, Manggarai, empat pengusaha dan dua PNS ditangkap saat sedang bermain judi di rumah salah seorang pelaku. Penangkapan dilakukan Minggu 9 Agustus 2009, pukul 00.30. Barang bukti yang disita: uang Rp9 juta, kartu remi, dan selimut.
Dua hari sebelumnya, di Larantuka, Flotim, Katua KPU Flotim Abdul Kadir H Yahya bersama empat stafnya ditangkap ketika sedang asyik berjudi di belakang kantor KPU. Pencidukan dilakukan pukul 15.000. Barang bukti yang disita: uang Rp1,5 juta dan kartu.
Merunut berita selengkapnya, dua kasus ini memiliki beberapa kesamaan. Para pelakunya tertangkap tangan, tertangkap basah. Barang buktinya sangat kuat, yaitu kartu (bukti mereka bermain), uang (bukti mereka bertaruh), dan lain-lain alat bukti pendukung. Mereka dibekuk polisi berdasarkan informasi dari masyarakat.
Selain ada kesamaan, juga ada perbedaan. Yang di Ruteng judinya malam hari. Yang di Flotim siang hari. Yang di Ruteng judinya di kediaman pelaku. Yang di Flotim di (belakang) kantor pelaku. Yang di Ruteng pelakunya beragam profesi: pengusaha dan PNS. Yang di Flotim seragam profesi, dari satu kantor, KPU. Yang di Ruteng pelakunya sejajar. Yang di Flotim atasan dan bawahan, ketua dan staf KPU.
Dilihat dari waktu, tempat, dan pelakunya, yang di Flotim sungguh luar biasa. Pertama, waktunya: siang-siang, pada jam kerja. Mereka bukan mengisi waktu luang, tapi meluangkan waktu berisi. Jam kerja menjadi jam bermain. Kedua, tempatnya: di (belakang) kantor. Areal kantor menjadi areal judi. Ketiga, pelakunya: orang satu kantor. Kepala kantor menjadi kepala judi.
Mereka melanggar hukum dan moral, sudah jelas. Mereka menodai citra lembaga, sudah pasti. Karena itu, sorotan hukum dan moral, untuk sejenak, kita ‘lupakan’. Kita simak sisi lain. Sisi budaya. Bukan budaya judinya, tapi budaya waktu, budaya penggunaan waktu.
Ada dua cara penggunaan waktu, kata Edward T Hall. Yaitu monokronik dan polikronik. Dalam cara monokronik, waktu terbagi-bagi dan orang menjadwalkan suatu kegiatan untuk waktu tertentu. Orang jadi bingung jika harus menangani berbagai kegiatan pada waktu yang sama. Di situlah bedanya dengan cara polikronik. Dalam cara polikronik, pemanfaatan waktu itu mengatur beberapa kegiatan yang berlangsung pada waktu yang sama.
Kita di Indonesia menggunakan waktu secara polikronik. Ungkapan bahasa kita menunjukkannya. Sebab, bahasa menunjukkan bangsa, bukan? Kita mengenal ungkapan: sambil menyelam, minum air. Juga: sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Dalam praktik, memang seperti itulah yang terjadi. Yang dilakukan orang KPU Flotim, itulah contohnya. Sambil bekerja, bermain. Sambil berkantor, berjudi.
Istilah umumnya, mereka tidak disiplin. Tidak “tepat”. Yang disebut disiplin adalah tepat tindakan, tepat tempat, tepat waktu. Tindakan mereka justru tidak tepat: mereka berjudi. Tempatnya tidak tepat: di (areal) kantor. Waktunya pun tidak tepat: pada jam kerja.
Istilah psikologinya, mereka kekanak-kanakan. Belum matang, belum dewasa, meski sudah besar, sudah tua. Alasannya: mereka masih campur-adukkan bekerja dan bermain. Anak-anak memang tidak (tahu) membedakan antara bekerja dan bermain. Karena itulah, anak-anak bermain sambil bekerja. Yang dilakukan ‘anak-anak berkumis’ itu sama: berkantor sambil berjudi.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 11 Agustus 2009
Label:
abdul kadir h yahya,
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
judi,
judi kartu,
ketua kpu flotim ditangkap
Skandal Manggarai Timur
Kasus Gaji Tenaga Harian Lepas Dinas P dan K
Oleh Frans Anggal
Tenaga harian lepas di Dinas P dan K Manggarai Timur mengeluh. Upah mereka selama empat bulan belum dibayar. Jumlah mereka 50-an orang. Gaji per bulan Rp725 ribu. Itu berarti tunggakan gaji sekitar Rp145 juta. Kadis P dan K Wilhelmus Deo mengakui masalah ini. Dia bilang, pembayaran sedang diproses, dalam beberapa waktu akan dituntaskan.
Menarik sekali jawaban sang kadis. Apalagi kalau dibandingkan dengan jawaban kadis lain di daerah lain dalam kasus yang kurang lebih sama. Segera akan terlihat, ada semacam ‘formula baku’ dalam jawaban.
Sekadar perbandingan, kita ambil contoh dari kabupaten induk Manggarai. Yaitu, jawaban Kadis Kesehatan Yulianus Weng menanggapi pengaduan para tenaga harian lepas bidang kesehatan yang belum menerima honor Januari-April 2009. Apa kata sang kadis? Bukan tidak bayar, tapi belum, karena masih diproses. Bandingkan dengan jawaban Kadis Deo: pembayaran sedang diproses, dalam beberapa waktu akan dituntaskan.
Bedanya apa? Tak ada. Formulanya sama: “masih diproses”, “sedang diproses”. Biasanya secara tersurat atau tersirat disertai dengan janji: “akan dituntaskan”, “akan dibereskan”, “akan dibayar”.
Jawaban dengan formula seragam ini mau mengesankan satu hal. Bahwa, pemimpin selalu bekerja maksimal, optimal, bahkan total. Kalau ada masalah, itu pasti bukan dari pemimpin, tapi dari pihak lain. Dalam kasus Manggarai Timur, pihak lain tidak disebutkan. Sedangkan dalam kasus Manggarai dinyatakan dengan jelas: dinas pendapatan dan keuangan.
Biasanya, kalau sudah melontarkan jawaban dengan formula baku tadi, seraya mencuci tangan seperti Pontius Pilatus dari segala cacat cela karena segala kesalahan sudah dilemparkan ke pihak lain, si pemimpin akan segera menepati janjinya. Di Manggarai, dua minggu setelah kasusnya diangkat, honor para tenaga harian lepas (mulai) dibayar. Di Manggarai Timur pun akan begitu. Ini menunjukkan apa? Sesungguhnya, letak masalah bukan pada siapa-siapa, bukan pada pihak lain, tapi pada diri si pemimpin sendiri.
Dalam dua contoh kasus di atas, juga pada banyak kasus lain, ada semacam kesamaan pada diri para pemimpin. Mereka barulah menganggap sesuatu itu masalah kalau sesuatu itu mulai dipermasalahkan orang lain. Dan setelah dipermasalahkan orang lain, barulah sesuatu itu mereka selesaikan.
Dalam hal rasa bersalah pun, mereka demikian. Yang menentukan rasa bersalahnya adalah orang lain, bukan perbuatannya sendiri. Penentunya: apakah orang lain tahu atau tidak perbuatan itu, bukan apakah perbuatan itu melanggar atau tidak hukum/moral. Makan uang, sejauh tidak diketahui orang lain, takut apa. Menahan atau tidak memperjuangkan gaji bawahan, kalau tidak dipermasalahkan, sibuk apa. Tapi kalau sudah dipublikasikan, yang membuat banyak orang tahu, maka semuanya segera dibereskan. Soalnya, mau simpan di mana ini muka. Malu. Muka, fasade, citra, nama, itulah yang penting. Budaya malu (shame culture) masih menang atas budaya rasa bersalah (guilt culture).
Bagi Manggarai Timur, hal seperti ini harus dipandang sebagai skandal besar. Besarnya, bukan karena jumlah korbannya 50-an atau jumlah uangnya Rp145 juta, tapi karena bobot moralitasnya. Belum apa-apa, sudah apa-apa. Baru dua tahun usia kabupaten ini, gelagat buruknya sudah hampir seperti kabupaten tua saja.
“Bentara” FLORES POS, Senin 10 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Tenaga harian lepas di Dinas P dan K Manggarai Timur mengeluh. Upah mereka selama empat bulan belum dibayar. Jumlah mereka 50-an orang. Gaji per bulan Rp725 ribu. Itu berarti tunggakan gaji sekitar Rp145 juta. Kadis P dan K Wilhelmus Deo mengakui masalah ini. Dia bilang, pembayaran sedang diproses, dalam beberapa waktu akan dituntaskan.
Menarik sekali jawaban sang kadis. Apalagi kalau dibandingkan dengan jawaban kadis lain di daerah lain dalam kasus yang kurang lebih sama. Segera akan terlihat, ada semacam ‘formula baku’ dalam jawaban.
Sekadar perbandingan, kita ambil contoh dari kabupaten induk Manggarai. Yaitu, jawaban Kadis Kesehatan Yulianus Weng menanggapi pengaduan para tenaga harian lepas bidang kesehatan yang belum menerima honor Januari-April 2009. Apa kata sang kadis? Bukan tidak bayar, tapi belum, karena masih diproses. Bandingkan dengan jawaban Kadis Deo: pembayaran sedang diproses, dalam beberapa waktu akan dituntaskan.
Bedanya apa? Tak ada. Formulanya sama: “masih diproses”, “sedang diproses”. Biasanya secara tersurat atau tersirat disertai dengan janji: “akan dituntaskan”, “akan dibereskan”, “akan dibayar”.
Jawaban dengan formula seragam ini mau mengesankan satu hal. Bahwa, pemimpin selalu bekerja maksimal, optimal, bahkan total. Kalau ada masalah, itu pasti bukan dari pemimpin, tapi dari pihak lain. Dalam kasus Manggarai Timur, pihak lain tidak disebutkan. Sedangkan dalam kasus Manggarai dinyatakan dengan jelas: dinas pendapatan dan keuangan.
Biasanya, kalau sudah melontarkan jawaban dengan formula baku tadi, seraya mencuci tangan seperti Pontius Pilatus dari segala cacat cela karena segala kesalahan sudah dilemparkan ke pihak lain, si pemimpin akan segera menepati janjinya. Di Manggarai, dua minggu setelah kasusnya diangkat, honor para tenaga harian lepas (mulai) dibayar. Di Manggarai Timur pun akan begitu. Ini menunjukkan apa? Sesungguhnya, letak masalah bukan pada siapa-siapa, bukan pada pihak lain, tapi pada diri si pemimpin sendiri.
Dalam dua contoh kasus di atas, juga pada banyak kasus lain, ada semacam kesamaan pada diri para pemimpin. Mereka barulah menganggap sesuatu itu masalah kalau sesuatu itu mulai dipermasalahkan orang lain. Dan setelah dipermasalahkan orang lain, barulah sesuatu itu mereka selesaikan.
Dalam hal rasa bersalah pun, mereka demikian. Yang menentukan rasa bersalahnya adalah orang lain, bukan perbuatannya sendiri. Penentunya: apakah orang lain tahu atau tidak perbuatan itu, bukan apakah perbuatan itu melanggar atau tidak hukum/moral. Makan uang, sejauh tidak diketahui orang lain, takut apa. Menahan atau tidak memperjuangkan gaji bawahan, kalau tidak dipermasalahkan, sibuk apa. Tapi kalau sudah dipublikasikan, yang membuat banyak orang tahu, maka semuanya segera dibereskan. Soalnya, mau simpan di mana ini muka. Malu. Muka, fasade, citra, nama, itulah yang penting. Budaya malu (shame culture) masih menang atas budaya rasa bersalah (guilt culture).
Bagi Manggarai Timur, hal seperti ini harus dipandang sebagai skandal besar. Besarnya, bukan karena jumlah korbannya 50-an atau jumlah uangnya Rp145 juta, tapi karena bobot moralitasnya. Belum apa-apa, sudah apa-apa. Baru dua tahun usia kabupaten ini, gelagat buruknya sudah hampir seperti kabupaten tua saja.
“Bentara” FLORES POS, Senin 10 Agustus 2009
Rabies dan Logika Vaksin
Korban Rabies di RSUD Maumere
Oleh Frans Anggal
Setelah merenggut nyawa seorang bocah 7 tahun pada Senin 3 Agustus 2009, rabies kembali memakan korban. Kali ini seorang pria 39 tahun. Ia masuk RSUD Maumere Senin petang 3 Agustus ketika kondisinya sudah kritis. Rabu 5 Agustus ia meninggal. Selama dua hari dirawat, ia tidak diberi suntikan vaksin anti rabies (VAR) ataupun serum. Ada apa?
Kata korban, mengutip info dari pihak rumah sakit, persediaan vaksin habis. “Saya takut Pak. Saya diberitahu tidak ada vaksin. Saya belum divaksin oleh petugas.” Ia tidak divaksin karena tidak ada vaksinnya. Ketika pihak rumah sakit ditanyai wartawan, jawabannya lain lagi.
“Dalam kondisi pasien seperti ini, petugas tidak bisa memberikan vaksin atau serum. Vaksin hanya bisa diberikan di saat awal kasus gigitan.” Begitu kata Dokter Kandida. Maksudnya, pemberian vaksin atau serum tak ada gunanya lagi karena sudah terlambat.
Tampak, terjadi pergeseran jawaban. Dari tidak divaksin karena tidak ada vaksinnya ke tidak divaksin karena tidak ada gunanya. Dari alasan teknis, jawaban beralih ke alasan medis. Peralihan argumentasi ini terjadi ketika publik, diwakili wartawan, melakukan kontrol.
Mana alasan yang sebenarnya, alasan teknis ataukah alasan medis, cuma rumah sakit yang tahu. Kita tidak ingin terjebak dalam mekanisme pertahanan diri ini. Karena itu, lupakan dulu alasan teknis atau alasan medis itu. Mari tatap wajah sang pasien. Wajah sesama manusia yang menderita. Wajah yang gelisah, cemas, takut oleh bayang-bayang kematian semenjak kepadanya diberitahukan vaksin telah habis. Baginya: habisnya vaksin sama dengan habisnya harapan.
Ini yang menyedihkan, sekaligus mengerikan kita. Secara medis mungkin benar, ada atau tidaknya vaksin tidak penting. Kalaupun ada, tidak harus diberikan. Kalaupun diberikan, tidak ada gunanya, sudah terlambat, virus sudah sampai di otak dan memangsa syaraf otak, nyawa tidak mungkin tertolong. Jadi? Pasien itu dibiarkan saja sampai mati sendiri?
Tampaknya, seperti diberitakan, begitu. Sendiri, sendirian, dan sebatang kara. Hakikat kematian memang begitu, menurut filosof Martin Heidegger. Dalam menghadapi kematian, tak ada orang lain yang berpartisipasi. Namun bukan berarti tak boleh ada orang lain di sampingnya bukan?
Di ruang saat pasien itu mengembuskan napas terakhir, tidak ada siapa-siapa. Tidak keluarganya. Tidak juga petugas medis. Di lorongi unit perawatan pun tak ada seorang pun. Bukankah ini indikasi pembiaran? Pasien itu dibiarkan sampai mati sendiri?
Patut dapat diduga begitu. Coba simak ‘logika vaksin’ tadi. Pasien tidak divaksin karena tidak ada gunanya. Ada semacam paralelisme. Sebagaimana vaksin tidak diberikan karena tidak ada gunanya, demikian pula perhatian tidak diberikan karena juga tidak ada gunanya, pasien itu toh mau mati.
Kalau benar demikian, mengerikan. Argumentasi medis telah membawa implikasi etis yang luas. Betapa tidak, jika konsisten dengan ‘logika vaksin’ itu maka harus juga dapat dikatakan: kita tidak usah lagi berjuang hidup di dunia ini, tidak ada gunanya, karena kita semua akan mati.
Dengan logika seperti itu, kematian tidak lagi memberi makna pada kehidupan, tetapi sebaliknya, menyingkirkannya. Sungguh, ini ancaman sangat serius terhadap budaya kehidupan.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 8 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Setelah merenggut nyawa seorang bocah 7 tahun pada Senin 3 Agustus 2009, rabies kembali memakan korban. Kali ini seorang pria 39 tahun. Ia masuk RSUD Maumere Senin petang 3 Agustus ketika kondisinya sudah kritis. Rabu 5 Agustus ia meninggal. Selama dua hari dirawat, ia tidak diberi suntikan vaksin anti rabies (VAR) ataupun serum. Ada apa?
Kata korban, mengutip info dari pihak rumah sakit, persediaan vaksin habis. “Saya takut Pak. Saya diberitahu tidak ada vaksin. Saya belum divaksin oleh petugas.” Ia tidak divaksin karena tidak ada vaksinnya. Ketika pihak rumah sakit ditanyai wartawan, jawabannya lain lagi.
“Dalam kondisi pasien seperti ini, petugas tidak bisa memberikan vaksin atau serum. Vaksin hanya bisa diberikan di saat awal kasus gigitan.” Begitu kata Dokter Kandida. Maksudnya, pemberian vaksin atau serum tak ada gunanya lagi karena sudah terlambat.
Tampak, terjadi pergeseran jawaban. Dari tidak divaksin karena tidak ada vaksinnya ke tidak divaksin karena tidak ada gunanya. Dari alasan teknis, jawaban beralih ke alasan medis. Peralihan argumentasi ini terjadi ketika publik, diwakili wartawan, melakukan kontrol.
Mana alasan yang sebenarnya, alasan teknis ataukah alasan medis, cuma rumah sakit yang tahu. Kita tidak ingin terjebak dalam mekanisme pertahanan diri ini. Karena itu, lupakan dulu alasan teknis atau alasan medis itu. Mari tatap wajah sang pasien. Wajah sesama manusia yang menderita. Wajah yang gelisah, cemas, takut oleh bayang-bayang kematian semenjak kepadanya diberitahukan vaksin telah habis. Baginya: habisnya vaksin sama dengan habisnya harapan.
Ini yang menyedihkan, sekaligus mengerikan kita. Secara medis mungkin benar, ada atau tidaknya vaksin tidak penting. Kalaupun ada, tidak harus diberikan. Kalaupun diberikan, tidak ada gunanya, sudah terlambat, virus sudah sampai di otak dan memangsa syaraf otak, nyawa tidak mungkin tertolong. Jadi? Pasien itu dibiarkan saja sampai mati sendiri?
Tampaknya, seperti diberitakan, begitu. Sendiri, sendirian, dan sebatang kara. Hakikat kematian memang begitu, menurut filosof Martin Heidegger. Dalam menghadapi kematian, tak ada orang lain yang berpartisipasi. Namun bukan berarti tak boleh ada orang lain di sampingnya bukan?
Di ruang saat pasien itu mengembuskan napas terakhir, tidak ada siapa-siapa. Tidak keluarganya. Tidak juga petugas medis. Di lorongi unit perawatan pun tak ada seorang pun. Bukankah ini indikasi pembiaran? Pasien itu dibiarkan sampai mati sendiri?
Patut dapat diduga begitu. Coba simak ‘logika vaksin’ tadi. Pasien tidak divaksin karena tidak ada gunanya. Ada semacam paralelisme. Sebagaimana vaksin tidak diberikan karena tidak ada gunanya, demikian pula perhatian tidak diberikan karena juga tidak ada gunanya, pasien itu toh mau mati.
Kalau benar demikian, mengerikan. Argumentasi medis telah membawa implikasi etis yang luas. Betapa tidak, jika konsisten dengan ‘logika vaksin’ itu maka harus juga dapat dikatakan: kita tidak usah lagi berjuang hidup di dunia ini, tidak ada gunanya, karena kita semua akan mati.
Dengan logika seperti itu, kematian tidak lagi memberi makna pada kehidupan, tetapi sebaliknya, menyingkirkannya. Sungguh, ini ancaman sangat serius terhadap budaya kehidupan.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 8 Agustus 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
kesehatan,
korban tewas rabies,
rabies,
rsud maumere,
var
Flores, Flores, Quo Vadis?
Atas Selebrasi, Bawah Frustrasi
Oleh Frans Anggal
Seorang bocah 10 tahun dirawat di RSUD Maumere, Kabupaten Sikka. Ia busung lapar. Berat badannya tinggal 15 kg atau 50 persen di bawah berat ideal. Lainnya, 449 balita, menderita gizi buruk.
Si bocah dan ratusan balita tidak tahu apa yang terjadi di Maumere dua pekan sebelumnya. Nasib mereka turut dibicarakan dalam sebuah pertemuan pastoral (perpas). Perpas VIII Regio Nusra, “Gereja Nusra Peduli Petani Membangun Kedaulatan Pangan”.
Si bocah dan ratusan balita tidak tahu juga, yang hadiri perpas adalah semua uskup bersama perwakilan 8 keuskupan dari wilayah gerejawi Nusra yang meliputi NTT, NTB, dan Bali. Mereka juga tidak tahu, kegiatan sepekan itu berlangsung di sebuah hotel baru, hotel berbintang, yang disebut-sebut sebagai hotel terbaik di NTT. Mereka pun tidak tahu, awal perpas ditandai misa syukur peresmian hotel tersebut.
Seandainya mereka tahu, apa yang mungkin dapat mereka katakan? Sulit ditebak. Sekadar mengira-ngira, boleh jadi mereka berkata seperti ini. Senangnya kamu peserta perpas: sehat-sehat , gemuk-gemuk, makmur-makmur. Tidak seperti kami: sakit-sakit, kurus-kurus, miskin-miskin. Enaknya kamu peserta perpas: pergi-pulang pakai pesawat, pakai mobil pribadi. Tidak seperti kami: bersesak-sesak dengan angkot, nungging sana-sini pakai ojek. Bahagianya kamu peserta perpas: di hotel megah bersidang, makan-minum, dan tidur. Tidak seperti kami: di rumah sakit, berderet di ruang kelas paling buncit.
Sekadar mengira-ngira, boleh jadi mereka masih akan membanding-bandingkan. Kita sama dalam satu hal: pangan. Semua kita butuh makan bukan? Namun kita tetap berbeda. Kamu berkecukupan dan mungkin berkelimpahan, kami berkekurangan dan selalu kehabisan. Kamu bertanya dapat makan apakah hari ini, kami bertanya apakah dapat makan hari ini.
Dan soal gizi makanan itu, sekadar mengira-ngira, boleh jadi mereka akan berkata lagi. Kamu bahas gizi buruk tapi tidak mengalaminya. Kami alami gizi buruk tapi tidak membahasnya. Kamu teorinya, kami pengalamannya. Kamu seksi omong, kami seksi rasakan. Kamu unggul bicara, kami ulet menderita. Kamu busung dada, kami busung lapar.
Kalau benar mereka akan berkata begitu, sekadar mengira-ngira, itu bukan karena benci, iri, atau dengki. Tapi karena merasa ‘tidak enak’. Kurang lebih seperti perasaan seorang bocah lain di RSUD Ruteng, Manggarai. Ia dirawat karena gizi buruk ketika pejabat pemkab dan para tokoh masyarakatnya sibuk dengan ritus adat peresmian kantor baru bupati yang berlangsung lama, akbar, dan mahal.
Kisah Maumere, kisah Ruteng, cerminan kisah Flores. Kisah penuh kontras. Yang di bawah penuh frustrasi. Yang di atas penuh selebrasi. Orang pemerintah, orang Gereja, tak ada bedanya dalam hal ini. Lihatlah gedungnya, sama megahnya. Lihatlah perayaannya, sama borosnya.
Dengan hanya melihat itu, Flores terkesan makmur. Benar kata Tacitus, “Major e longinquo reverentia.” Dari kejauhan, semua hal terlihat indah. Tapi coba, penuhi amanat Injil, “Duc in altum!” Bertolaklah lebih ke dalam! Apa yang terlihat? Sama-sama miskinnya. Yang di bawah miskin harta, kesehatan, pendidikan. Yang di atas miskin rasa, bahkan mati rasa. Tak ada sense of crisis. Tak ada sense of urgency. Flores, Flores, quo vadis?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 7 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Seorang bocah 10 tahun dirawat di RSUD Maumere, Kabupaten Sikka. Ia busung lapar. Berat badannya tinggal 15 kg atau 50 persen di bawah berat ideal. Lainnya, 449 balita, menderita gizi buruk.
Si bocah dan ratusan balita tidak tahu apa yang terjadi di Maumere dua pekan sebelumnya. Nasib mereka turut dibicarakan dalam sebuah pertemuan pastoral (perpas). Perpas VIII Regio Nusra, “Gereja Nusra Peduli Petani Membangun Kedaulatan Pangan”.
Si bocah dan ratusan balita tidak tahu juga, yang hadiri perpas adalah semua uskup bersama perwakilan 8 keuskupan dari wilayah gerejawi Nusra yang meliputi NTT, NTB, dan Bali. Mereka juga tidak tahu, kegiatan sepekan itu berlangsung di sebuah hotel baru, hotel berbintang, yang disebut-sebut sebagai hotel terbaik di NTT. Mereka pun tidak tahu, awal perpas ditandai misa syukur peresmian hotel tersebut.
Seandainya mereka tahu, apa yang mungkin dapat mereka katakan? Sulit ditebak. Sekadar mengira-ngira, boleh jadi mereka berkata seperti ini. Senangnya kamu peserta perpas: sehat-sehat , gemuk-gemuk, makmur-makmur. Tidak seperti kami: sakit-sakit, kurus-kurus, miskin-miskin. Enaknya kamu peserta perpas: pergi-pulang pakai pesawat, pakai mobil pribadi. Tidak seperti kami: bersesak-sesak dengan angkot, nungging sana-sini pakai ojek. Bahagianya kamu peserta perpas: di hotel megah bersidang, makan-minum, dan tidur. Tidak seperti kami: di rumah sakit, berderet di ruang kelas paling buncit.
Sekadar mengira-ngira, boleh jadi mereka masih akan membanding-bandingkan. Kita sama dalam satu hal: pangan. Semua kita butuh makan bukan? Namun kita tetap berbeda. Kamu berkecukupan dan mungkin berkelimpahan, kami berkekurangan dan selalu kehabisan. Kamu bertanya dapat makan apakah hari ini, kami bertanya apakah dapat makan hari ini.
Dan soal gizi makanan itu, sekadar mengira-ngira, boleh jadi mereka akan berkata lagi. Kamu bahas gizi buruk tapi tidak mengalaminya. Kami alami gizi buruk tapi tidak membahasnya. Kamu teorinya, kami pengalamannya. Kamu seksi omong, kami seksi rasakan. Kamu unggul bicara, kami ulet menderita. Kamu busung dada, kami busung lapar.
Kalau benar mereka akan berkata begitu, sekadar mengira-ngira, itu bukan karena benci, iri, atau dengki. Tapi karena merasa ‘tidak enak’. Kurang lebih seperti perasaan seorang bocah lain di RSUD Ruteng, Manggarai. Ia dirawat karena gizi buruk ketika pejabat pemkab dan para tokoh masyarakatnya sibuk dengan ritus adat peresmian kantor baru bupati yang berlangsung lama, akbar, dan mahal.
Kisah Maumere, kisah Ruteng, cerminan kisah Flores. Kisah penuh kontras. Yang di bawah penuh frustrasi. Yang di atas penuh selebrasi. Orang pemerintah, orang Gereja, tak ada bedanya dalam hal ini. Lihatlah gedungnya, sama megahnya. Lihatlah perayaannya, sama borosnya.
Dengan hanya melihat itu, Flores terkesan makmur. Benar kata Tacitus, “Major e longinquo reverentia.” Dari kejauhan, semua hal terlihat indah. Tapi coba, penuhi amanat Injil, “Duc in altum!” Bertolaklah lebih ke dalam! Apa yang terlihat? Sama-sama miskinnya. Yang di bawah miskin harta, kesehatan, pendidikan. Yang di atas miskin rasa, bahkan mati rasa. Tak ada sense of crisis. Tak ada sense of urgency. Flores, Flores, quo vadis?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 7 Agustus 2009
Rabies dan Perbuatan Iblis
Satu Dasawarsa Lebih Rabies di Flores
Oleh Frans Anggal
Rabies makan korban lagi. Di Kabupaten Sikka, bocah 7 tahun meninggal di RSUD Maumere, Jumat 31 Juli 2009. Korban digigit anjing rabies sepuluh bulan sebelumnya. Sementara itu, sejak Senin 3 Agustus 2009, seorang lagi korban 39 tahun dirawat di RSUD Maumere. Ia digigit sebulan sebelumnya.
Dua pekan sebelumnya, di Kabupaten Manggarai. Rabu 19 Juli seorang warga digigit anjing saat kembali dari kebun. Ia segera ke RSUD Ruteng guna mendapat VAR. Mengecewakan. Persediaan VAR kosong.
Kalau dirunut sejak rabies masuk Flores, kasus seperti ini bukan kasus baru. Kasus gigitan, kasus terlambatnya pertolongan, kasus kosongnya VAR, kasus matinya korban, hanyalah kasus perulangan. Kasusnya yang itu-itu, selama 12 tahun, sejak pertama kali rabies masuk Flores melalui Flotim, November 1997.
Kita jadi bingung. Sudah satu dasawarsa lebih di Flores, rabies tidak hilang-hilang. Bupati boleh datang dan pergi, DPRD boleh naik dan turun, rabies tetap tinggal di tempat. Sudah begitu banyak pertemuan, lokakarya, program, anggaran, dan kegiatan pemberantasan, rabies tidak beranjak. Pulau Flores sudah menjadi semacam pulau rabies.
Julukan itu tidak berlebihan. Bukan hanya karena fenomena rabies yang hilang muncul silih berganti, diberantas di satu kabupaten tapi muncul di kabupaten lain, tapi juga karena sepertinya fenomena ini sudah dianggap biasa. Di awal-awal, kasus gigitan, kasus terlambatnya pertolongan, kasus kosongnya VAR, dan kasus matinya korban, begitu menggemparkan. Sekarang tidak lagi. Rabies dianggap biasa, dianggap bagian dari Flores.
Rupanya karena itulah kasus gigitan dicatat dan diperlakukan lebih sebagai data administratif ketimbang rekaman untuk segera diatasi. Tak mengherankan kalau terjadi seperti yang di Manggarai itu. Pasien gigitan datang, VAR kosong. Katanya, sudah diminta ke provinsi, tapi belum dikirim.
Kadar keterpercayaan dari pernyataan seperti ini sangatlah rendah. Bagaimana bisa begitu. Flores ini daerah endemik rabies. Rabies di sini sudah berusia 12 tahun. Kasus gigitan di Manggarai per Juni 2009 sudah 173. Dalam kondisi menggenting ini, bisa-bisanya persediaan VAR kosong.
Apa pun dalih, kondisi seperti ini tidak dapat dibenarkan. Sebab, pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan atau rumah sakit tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Ini ‘dosa pembiaran’ (sin of omission). Akibatnya, masyarakat tidak hanya menjadi korban dari penyakit, tapi juga korban dari kekurangpedulian pemerintah.
Perihal kekurangpedulian itu, indikasinya jelas dari sejarah rabies Flores 12 tahun. Sejarah itu ditandai kasus perulangan. Seperti kasus lainnya, kosongnya VAR merupakan kasus yang selalu berulang. Itu berarti ini bukan sekadar masalah teknis lagi. Ini sudah masalah rendahnya kepedulian. Ya, mungkin karena rabies dianggap biasa, dianggap bagian dari Flores.
Soal keberulangan, pepatah Latin mengingatkan, “Bis repetita non placent”. Pengulangan dua kali tidak menyenangkan. Bayangkan. Pengulangan dua kali saja sudah begitu, apalagi yang terus-menerus. Lebih-lebih pula kalau yang berulang itu justru kesalahan yang sama.
Tentang kesalahan yang sama, pepatah Latin menasihatkan begini. “Errare humanum est. Perseverare diabolicum”. Berbuat kesalahan, itu manusiawi. Mengulangi kesalahan, itu sudah perbuatan iblis. Kita mengakui, perbuatan iblis itulah yang terjadi selama ini.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 6 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Rabies makan korban lagi. Di Kabupaten Sikka, bocah 7 tahun meninggal di RSUD Maumere, Jumat 31 Juli 2009. Korban digigit anjing rabies sepuluh bulan sebelumnya. Sementara itu, sejak Senin 3 Agustus 2009, seorang lagi korban 39 tahun dirawat di RSUD Maumere. Ia digigit sebulan sebelumnya.
Dua pekan sebelumnya, di Kabupaten Manggarai. Rabu 19 Juli seorang warga digigit anjing saat kembali dari kebun. Ia segera ke RSUD Ruteng guna mendapat VAR. Mengecewakan. Persediaan VAR kosong.
Kalau dirunut sejak rabies masuk Flores, kasus seperti ini bukan kasus baru. Kasus gigitan, kasus terlambatnya pertolongan, kasus kosongnya VAR, kasus matinya korban, hanyalah kasus perulangan. Kasusnya yang itu-itu, selama 12 tahun, sejak pertama kali rabies masuk Flores melalui Flotim, November 1997.
Kita jadi bingung. Sudah satu dasawarsa lebih di Flores, rabies tidak hilang-hilang. Bupati boleh datang dan pergi, DPRD boleh naik dan turun, rabies tetap tinggal di tempat. Sudah begitu banyak pertemuan, lokakarya, program, anggaran, dan kegiatan pemberantasan, rabies tidak beranjak. Pulau Flores sudah menjadi semacam pulau rabies.
Julukan itu tidak berlebihan. Bukan hanya karena fenomena rabies yang hilang muncul silih berganti, diberantas di satu kabupaten tapi muncul di kabupaten lain, tapi juga karena sepertinya fenomena ini sudah dianggap biasa. Di awal-awal, kasus gigitan, kasus terlambatnya pertolongan, kasus kosongnya VAR, dan kasus matinya korban, begitu menggemparkan. Sekarang tidak lagi. Rabies dianggap biasa, dianggap bagian dari Flores.
Rupanya karena itulah kasus gigitan dicatat dan diperlakukan lebih sebagai data administratif ketimbang rekaman untuk segera diatasi. Tak mengherankan kalau terjadi seperti yang di Manggarai itu. Pasien gigitan datang, VAR kosong. Katanya, sudah diminta ke provinsi, tapi belum dikirim.
Kadar keterpercayaan dari pernyataan seperti ini sangatlah rendah. Bagaimana bisa begitu. Flores ini daerah endemik rabies. Rabies di sini sudah berusia 12 tahun. Kasus gigitan di Manggarai per Juni 2009 sudah 173. Dalam kondisi menggenting ini, bisa-bisanya persediaan VAR kosong.
Apa pun dalih, kondisi seperti ini tidak dapat dibenarkan. Sebab, pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan atau rumah sakit tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Ini ‘dosa pembiaran’ (sin of omission). Akibatnya, masyarakat tidak hanya menjadi korban dari penyakit, tapi juga korban dari kekurangpedulian pemerintah.
Perihal kekurangpedulian itu, indikasinya jelas dari sejarah rabies Flores 12 tahun. Sejarah itu ditandai kasus perulangan. Seperti kasus lainnya, kosongnya VAR merupakan kasus yang selalu berulang. Itu berarti ini bukan sekadar masalah teknis lagi. Ini sudah masalah rendahnya kepedulian. Ya, mungkin karena rabies dianggap biasa, dianggap bagian dari Flores.
Soal keberulangan, pepatah Latin mengingatkan, “Bis repetita non placent”. Pengulangan dua kali tidak menyenangkan. Bayangkan. Pengulangan dua kali saja sudah begitu, apalagi yang terus-menerus. Lebih-lebih pula kalau yang berulang itu justru kesalahan yang sama.
Tentang kesalahan yang sama, pepatah Latin menasihatkan begini. “Errare humanum est. Perseverare diabolicum”. Berbuat kesalahan, itu manusiawi. Mengulangi kesalahan, itu sudah perbuatan iblis. Kita mengakui, perbuatan iblis itulah yang terjadi selama ini.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 6 Agustus 2009
Interupsi Komodo, Cerdas
Interupsi Anggota DPR RI Cyprianus Aur
Oleh Frans Anggal
Anggota DPR RI Cyprianus Aur melakukan ‘interupsi komodo’ dalam sidang paripurna di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 3 Agustus 2009. Saat Ketua DPR Agung Laksono baru memulai sidang, Cypri berdiri. “Interupsi, Pak Ketua. Tentang pemindahan komodo ke Pulau Bali. Saya sebagai warga NTT minta SK Menhut itu dicabut.”
Cypri terus berdiri sampai Ketua DPR menanggap. “Nanti surat itu akan ditindaklanjuti,” kata Laksono. Itu baru Cypri duduk. Rapat paripurna tentang susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD pun dilanjutkan.
Interupsi ini mendapat beragam reaksi. Wajar. Banyak kepala, banyak pendapat. Seperti dilansir detic.com: beberapa anggota dewan tersenyum. Lainnya tertawa terbahak-bahak. Apa arti senyum dan tawa mereka?
Wartawan detik.com yang meliput dan merasakan atmosfer ruang rapat rupanya bisa menangkapnya. Ini tampak dari judul dan terutama teras berita yang kental memuat opini si wartawan. Opininya memberi latar bagi senyum dan tawa ngakak itu. Dengannya, pembaca mudah mengartikannya sebagai penertawaan sesama anggota dewan terhadap si pelaku interupsi.
Coba simak judul beritanya: “Ada Interupsi ‘Komodo’ di Paripurna Susduk”. Teras beritanya: “Interupsi memang sudah menjadi kebiasaan dalam rapat-rapat paripurna di gedung DPR. Namun terkadang topik interupsi anggota dewan itu tidak sesuai dengan materi yang dibahas. Misalnya saja pertanyaan tentang komodo dalam paripurna susduk.”
Teras berita adalah alinea awal berita yang adalah juga inti berita. Justru pada bagian inilah si wartawan memberikan penilaiannya terhada peristiwa, sekaligus memprakondisikan agar penilaian pembaca sejalan dengan peniliannya itu. Bahwa: pelaku interupsi itu konyol. Agenda sidangnya lain, nyerocosnya lain. Agendanya susduk, ngomongnya komodo. Karenanya, ia pantas ditertawakan.
Dari sisi jurnalistik, berita seperti ini tidak fair. Si wartawan mencampuradukkan fakta dan opini pribadi serta menggiring opini pembaca. Selain itu, pihak yang dirugikan, dalam hal ini Cypri Aur sebagai pelaku interupsi dan objek pemberitaan, tidak diberi hak jawab guna menjelaskan posisinya. Ia sungguh dirugikan. Oleh berita seperti ini ia seakan-akan begitu konyolnya.
Pertanyaan kita sekarang: apa benar ia konyol seperti yang dicitrakan itu? Justru sebaliknya! Ia cerdas. Cypri Aur akomodatif dan aspiratif. Ia tangkap kegelisahan konstituen dan sampaikan tuntutan mereka: cabut SK Menhut tentang pemindahan komodo Flores ke Bali. Itu ia sampaikan pada waktu dan tempat yang tepat: di awal sidang paripurna DPR. Sehingga, resonansinya kuat (makanya diberitakan) dan dampaknya nyata karena langsung dijawab oleh ketua DPR: akan ditindaklanjuti.
Bahwa materi interupsi tidak sesuai dengan agenda paripurna, itu tidak salah, karena tidak ada aturan yang mewajibkannya sesuai. Justru karena tidak sesuai itulah maka interupsi dilakukan awal-awal sebelum mulai dibahasnya agenda sidang. Kalau tunggu sesuai dulu baru interupsi, itu mimpi. Kapan DPR gelar paripurna dengan agenda komodo Flores? Tunggu komodo bertanduk.
Oleh karena itu, ‘interupsi komodo’ yang dilakukan Cypri Aur sangatlah tepat. Ia tidak konyol. Yang konyol justru si wartawan karena beritanya ngawur. Juga sesama wakil rakyat yang tertawa terbahak-bahak itu. Pepatah Latin bilang, “Risus abundat in ore stultorum”. Gelak tawa berlebihan ada pada mulut orang-orang bodoh.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 5 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Anggota DPR RI Cyprianus Aur melakukan ‘interupsi komodo’ dalam sidang paripurna di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 3 Agustus 2009. Saat Ketua DPR Agung Laksono baru memulai sidang, Cypri berdiri. “Interupsi, Pak Ketua. Tentang pemindahan komodo ke Pulau Bali. Saya sebagai warga NTT minta SK Menhut itu dicabut.”
Cypri terus berdiri sampai Ketua DPR menanggap. “Nanti surat itu akan ditindaklanjuti,” kata Laksono. Itu baru Cypri duduk. Rapat paripurna tentang susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD pun dilanjutkan.
Interupsi ini mendapat beragam reaksi. Wajar. Banyak kepala, banyak pendapat. Seperti dilansir detic.com: beberapa anggota dewan tersenyum. Lainnya tertawa terbahak-bahak. Apa arti senyum dan tawa mereka?
Wartawan detik.com yang meliput dan merasakan atmosfer ruang rapat rupanya bisa menangkapnya. Ini tampak dari judul dan terutama teras berita yang kental memuat opini si wartawan. Opininya memberi latar bagi senyum dan tawa ngakak itu. Dengannya, pembaca mudah mengartikannya sebagai penertawaan sesama anggota dewan terhadap si pelaku interupsi.
Coba simak judul beritanya: “Ada Interupsi ‘Komodo’ di Paripurna Susduk”. Teras beritanya: “Interupsi memang sudah menjadi kebiasaan dalam rapat-rapat paripurna di gedung DPR. Namun terkadang topik interupsi anggota dewan itu tidak sesuai dengan materi yang dibahas. Misalnya saja pertanyaan tentang komodo dalam paripurna susduk.”
Teras berita adalah alinea awal berita yang adalah juga inti berita. Justru pada bagian inilah si wartawan memberikan penilaiannya terhada peristiwa, sekaligus memprakondisikan agar penilaian pembaca sejalan dengan peniliannya itu. Bahwa: pelaku interupsi itu konyol. Agenda sidangnya lain, nyerocosnya lain. Agendanya susduk, ngomongnya komodo. Karenanya, ia pantas ditertawakan.
Dari sisi jurnalistik, berita seperti ini tidak fair. Si wartawan mencampuradukkan fakta dan opini pribadi serta menggiring opini pembaca. Selain itu, pihak yang dirugikan, dalam hal ini Cypri Aur sebagai pelaku interupsi dan objek pemberitaan, tidak diberi hak jawab guna menjelaskan posisinya. Ia sungguh dirugikan. Oleh berita seperti ini ia seakan-akan begitu konyolnya.
Pertanyaan kita sekarang: apa benar ia konyol seperti yang dicitrakan itu? Justru sebaliknya! Ia cerdas. Cypri Aur akomodatif dan aspiratif. Ia tangkap kegelisahan konstituen dan sampaikan tuntutan mereka: cabut SK Menhut tentang pemindahan komodo Flores ke Bali. Itu ia sampaikan pada waktu dan tempat yang tepat: di awal sidang paripurna DPR. Sehingga, resonansinya kuat (makanya diberitakan) dan dampaknya nyata karena langsung dijawab oleh ketua DPR: akan ditindaklanjuti.
Bahwa materi interupsi tidak sesuai dengan agenda paripurna, itu tidak salah, karena tidak ada aturan yang mewajibkannya sesuai. Justru karena tidak sesuai itulah maka interupsi dilakukan awal-awal sebelum mulai dibahasnya agenda sidang. Kalau tunggu sesuai dulu baru interupsi, itu mimpi. Kapan DPR gelar paripurna dengan agenda komodo Flores? Tunggu komodo bertanduk.
Oleh karena itu, ‘interupsi komodo’ yang dilakukan Cypri Aur sangatlah tepat. Ia tidak konyol. Yang konyol justru si wartawan karena beritanya ngawur. Juga sesama wakil rakyat yang tertawa terbahak-bahak itu. Pepatah Latin bilang, “Risus abundat in ore stultorum”. Gelak tawa berlebihan ada pada mulut orang-orang bodoh.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 5 Agustus 2009
Label:
bentara,
cyprianus aur,
flores,
flores pos,
komodo wae wuul,
ntt,
sk menhut tetang pemindahan komodo
Apa Setelah Congo Lokap?
Ritus Peresmian Kantor Baru Bupati Manggarai
Oleh Frans Anggal
Acara adat peresmian kantor baru bupati Manggarai di Ruteng telah berakhir. Perhelatannya lama, dua minggu, karena harus melewati semua tahapan ritus sebelum sampai pada acara puncak congko lokap. Selain lama, juga akbar. Maka, sudah pasti mahal. Ratusan juta rupiah amblas.
Ini hajatan pemkab di bawah Bupati Chris Rotok dan Wabup Kamilus Deno. Mengapa dan untuk apa tatacaranya seperti ini, Rotok dan Deno memberikan jawaban berbeda.
Kata Rotok, tatacara ini usulan tetua adat. Kata Deno, ini semacam cas budaya. Dua jawaban, dua kesan. Jawaban Rotok, meski menjelaskan dasarnya, namun mengesankan tetua adatlah penginisiatif, sedangkan pemkab tinggal menyesuaikan diri. Jawaban Deno sebaliknya, meski menjelaskan tujuannya, namun mengesankan pemkablah penginisiatif.
Siapa pun penginisiatif, hajatan sudah terlaksana dengan lancar, tertib, aman, dan sukes. Sukses di sini tentulah sukses penyelengaraan. Sedangkan sukses tujuan penyelenggaraan itu sendiri, yaitu cas budaya tadi, masih harus dilihat. Lazimnya, yang masih harus dilihat terlupakan bersama berlalunya kemeriahan.
Kita tidak menginginkan seperti itu. Acara adat yang lama, akbar, dan mahal ini tidak boleh mubazir sekadar sebagai tontonan. Ia harus menjadi tuntunan. Itu berarti menjadi bagian dari strategi kebudayaan menuju hari depan Manggarai yang lebih bermartabat.
Kebudayaan itu sendiri merupakan suatu strategi atau rencana yang dibuat oleh manusia dan yang diarahkan kepada hari depan. Begitu kata filosof C A van Peursen. Apa dan bagaimana persisnya rencana induk kebudayaan di balik perhelatan di Ruteng, belumlah terekspose. Jangan-jangan tidak ada. Dan jika tidak ada maka perhelatan tadi tak lebih dari tontonan belaka.
Itu yang tidak boleh. Perhelatan itu, sesuai dengan ‘kecap’ yang dilontarkan bupati dan wabup serta simpatisannya, harus terbukti menjadi bagian dari masterplan strategi kebudayaan Manggarai. Tidak cukup dan amat mubazir juga tersesat jikalau semua ini hanya menjadi tindakan nostalgik, mengenang apa yang dilakukan nenek moyang dahulu kala.
Kalau benar seperti kata Wabup Deno bahwa ini semacam cas budaya, maka perhelatan ini mesti menjadi ‘mekanisme pelatuk’ yang membawa efek luas secara budaya dan etik. Kalau tidak, semua itu hanyalah omong kosong yang sangat mahal. Efek pelatuk hanya terjadi seperti pada permainan catur. Menggeser satu bidak hanya membawa efek bila pemain sungguh tahu aturan main. Demikain pula, hanya orang yang sungguh tahu akan struktur sosial dapat mengaitkan perbuatannya dengan keadaan sekitarnya dan mengubah keadaan sekitarnya itu.
Pidato Martin Luther King, “I Had a Dream”, yang kemudian menjadi tersohor, menarik sebuah pelatuk dalam situasi politik yang sudah menjadi beku. Dalam kasus ini, perbuatan satu orang bisa jauh melampaui lingkupnya. Orang lain yang melakukan cara yang sama kemudian belum tentu menimbulkan efek yang sama.
Tentang ini, van Peursen menekankan, bukan perbuatan saja yang penting, melainkan perbuatan yang berkaitan dengan struktur yang ingin dirombak. Dan perbuatan itu baru dapat relevan bila muncul dari rasa tanggung jawab moril serta pengetahuan tepat mengenai struktur yang ada.
Apakah yang ini juga terjadi dalam perhelatan di Ruteng? Apa setelah congko lokap?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 4 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Acara adat peresmian kantor baru bupati Manggarai di Ruteng telah berakhir. Perhelatannya lama, dua minggu, karena harus melewati semua tahapan ritus sebelum sampai pada acara puncak congko lokap. Selain lama, juga akbar. Maka, sudah pasti mahal. Ratusan juta rupiah amblas.
Ini hajatan pemkab di bawah Bupati Chris Rotok dan Wabup Kamilus Deno. Mengapa dan untuk apa tatacaranya seperti ini, Rotok dan Deno memberikan jawaban berbeda.
Kata Rotok, tatacara ini usulan tetua adat. Kata Deno, ini semacam cas budaya. Dua jawaban, dua kesan. Jawaban Rotok, meski menjelaskan dasarnya, namun mengesankan tetua adatlah penginisiatif, sedangkan pemkab tinggal menyesuaikan diri. Jawaban Deno sebaliknya, meski menjelaskan tujuannya, namun mengesankan pemkablah penginisiatif.
Siapa pun penginisiatif, hajatan sudah terlaksana dengan lancar, tertib, aman, dan sukes. Sukses di sini tentulah sukses penyelengaraan. Sedangkan sukses tujuan penyelenggaraan itu sendiri, yaitu cas budaya tadi, masih harus dilihat. Lazimnya, yang masih harus dilihat terlupakan bersama berlalunya kemeriahan.
Kita tidak menginginkan seperti itu. Acara adat yang lama, akbar, dan mahal ini tidak boleh mubazir sekadar sebagai tontonan. Ia harus menjadi tuntunan. Itu berarti menjadi bagian dari strategi kebudayaan menuju hari depan Manggarai yang lebih bermartabat.
Kebudayaan itu sendiri merupakan suatu strategi atau rencana yang dibuat oleh manusia dan yang diarahkan kepada hari depan. Begitu kata filosof C A van Peursen. Apa dan bagaimana persisnya rencana induk kebudayaan di balik perhelatan di Ruteng, belumlah terekspose. Jangan-jangan tidak ada. Dan jika tidak ada maka perhelatan tadi tak lebih dari tontonan belaka.
Itu yang tidak boleh. Perhelatan itu, sesuai dengan ‘kecap’ yang dilontarkan bupati dan wabup serta simpatisannya, harus terbukti menjadi bagian dari masterplan strategi kebudayaan Manggarai. Tidak cukup dan amat mubazir juga tersesat jikalau semua ini hanya menjadi tindakan nostalgik, mengenang apa yang dilakukan nenek moyang dahulu kala.
Kalau benar seperti kata Wabup Deno bahwa ini semacam cas budaya, maka perhelatan ini mesti menjadi ‘mekanisme pelatuk’ yang membawa efek luas secara budaya dan etik. Kalau tidak, semua itu hanyalah omong kosong yang sangat mahal. Efek pelatuk hanya terjadi seperti pada permainan catur. Menggeser satu bidak hanya membawa efek bila pemain sungguh tahu aturan main. Demikain pula, hanya orang yang sungguh tahu akan struktur sosial dapat mengaitkan perbuatannya dengan keadaan sekitarnya dan mengubah keadaan sekitarnya itu.
Pidato Martin Luther King, “I Had a Dream”, yang kemudian menjadi tersohor, menarik sebuah pelatuk dalam situasi politik yang sudah menjadi beku. Dalam kasus ini, perbuatan satu orang bisa jauh melampaui lingkupnya. Orang lain yang melakukan cara yang sama kemudian belum tentu menimbulkan efek yang sama.
Tentang ini, van Peursen menekankan, bukan perbuatan saja yang penting, melainkan perbuatan yang berkaitan dengan struktur yang ingin dirombak. Dan perbuatan itu baru dapat relevan bila muncul dari rasa tanggung jawab moril serta pengetahuan tepat mengenai struktur yang ada.
Apakah yang ini juga terjadi dalam perhelatan di Ruteng? Apa setelah congko lokap?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 4 Agustus 2009
DPRD Lembata Memalukan
Kontroversi Pengambilan Paksa Mobil di Rujab Bupati
Oleh Frans Anggal
Wakil rakyat di DPRD Lembata bereaksi keras terhadap pengambilan paksa mobil Escudo merah EB 50 DI oleh polisi di rujab bupati di Lewoleba, Minggu 26 Juli 2009. Mereka, Ketua Fraksi Partai Golkar Yohanes Vianey K Burin dan Wakil Ketua DPRD Frans Making.
Mereka menyatakan penyesalan mendalam lewat interupsi pada sidang paripurna penyampaian hasil pembahasan perhitungan APBD 2008, Jumat 31 Juli 2009.
Kata mereka, rujab bupati adalah simbol kekuasaan dan kepemimpinan daerah. Pengambilan paksa mobil di rujab sangat memalukan. Peristiwa itu disaksikan banyak orang. Rujab tidak bisa diamankan karena polisi pamong praja tak ada di tempat. Mereka harus diberi sanksi. Gara-gara mereka tidak di tempat, Bupati Andreas Duli Manuk sendirilah yang turun tangan, dalam pakaian tidak patut. Adegan ini disiarkan televisi. “Kita terkejut, bupati dengan celana pendek dan singlet mengusir masyarakat. Memalukan daerah ini,” kata Making.
Apa sebenarnya yang dipersoalkan Burin dan Making? Rujab bupati yang jadi lokasi pengambilpaksaan mobil? Pengambilpaksaan itu sendiri ? Banyaknya masyarakat yang nonton? Tidak bertugasnya polisi pamong praja? Atau, bupati yang pakai celana pendek dan singlet?
Rujab jadi lokasi pengambilpaksaan mobil. Wajar. Mobilnya ada di situ. Jadi, jangan persoalkan mengapa rujab jadi lokasi pengambilpaksaan. Persoalkanlah, mengapa mobil pribadi sang anak diparkir di halaman rujab sang bupati. Kita sepakat, rujab itu simbol kekuasaan dan kepemimpinan daerah. Justru karena itu, jangan jadikan halamannya lokasi parkir sembarang mobil. Salahnya di situ. Lagipula, kapolres sudah sampaikan, suatu saat mobil itu akan disita.
Soal pengambilpaksaan. Sebenarnya tak perlu pakai paksa kalau pemilik mobil Erni Manuk, putri Ande Manuk, berada di tempat. Kunci mobil dia bawa, ban depan gembos. Maka, untuk bisa dibawa, mobil ditarik pakai mobil Dalmas. Tidak salah. Yang salah, pemilik mobil, kenapa tidak titip kuncinya.
Soal banyaknya masyarakat yang nonton. Juga wajar. Ini terkait dengan orang besar. Kasusnya, pembunuhan seorang pejabat publik. Sarana pengangkutnya, mobil anak bupati. Tempat parkirnya, rujab bupati. Di rujablah pengambilpaksaan dilakukan. Mana tidak heboh? Massa datang nonton. Larang bikin apa? Sebagaimana persidangan nanti, tindakan ini terbuka untuk umum.
Soal tidak bertugasnya polisi pamong praja. Silakan ditindak kalau mereka indisipliner. Yang perlu diingat, kalaupun bertugas saat itu, mereka tidak berhak melarang polisi yang melakukan tindakan pro iustitia. Sebaliknya, mereka harus membantu kelancarannya.
Soal bupati yang hanya pakai celana pendek dan singlet. Siapa suruh? Itu pilihannya berpakaian. Gus Dur juga begitu saat meninggalkan istana. Ia hanya bercelana pendek. Tindakannya dikecam karena dinilai mendramatisasi situasi dengan cara mencitrakan diri sebagai orang teraniaya guna mendapat simpati.
Apa yang tidak diperoleh Gus Dus justru dituai Ande Manuk. Ia mendapat simpati dari Vian Burin dan Frans Making. Kedua wakil rakyat ini terharu, lalu menyatakan penyesalan mendalam. Mereka menilai peristiwa ini memalukan daerah.
Mereka lupa, penilaian mereka juga bikin malu daerah. Apalagi kalau DPRD sampai membahas peristiwa ini secara khusus. Berlebihan. Masih banyak hal lain yang jauh lebih penting dan mendesak.
“Bentara” FLORES POS, Senin 3 Agustus 2009
Oleh Frans Anggal
Wakil rakyat di DPRD Lembata bereaksi keras terhadap pengambilan paksa mobil Escudo merah EB 50 DI oleh polisi di rujab bupati di Lewoleba, Minggu 26 Juli 2009. Mereka, Ketua Fraksi Partai Golkar Yohanes Vianey K Burin dan Wakil Ketua DPRD Frans Making.
Mereka menyatakan penyesalan mendalam lewat interupsi pada sidang paripurna penyampaian hasil pembahasan perhitungan APBD 2008, Jumat 31 Juli 2009.
Kata mereka, rujab bupati adalah simbol kekuasaan dan kepemimpinan daerah. Pengambilan paksa mobil di rujab sangat memalukan. Peristiwa itu disaksikan banyak orang. Rujab tidak bisa diamankan karena polisi pamong praja tak ada di tempat. Mereka harus diberi sanksi. Gara-gara mereka tidak di tempat, Bupati Andreas Duli Manuk sendirilah yang turun tangan, dalam pakaian tidak patut. Adegan ini disiarkan televisi. “Kita terkejut, bupati dengan celana pendek dan singlet mengusir masyarakat. Memalukan daerah ini,” kata Making.
Apa sebenarnya yang dipersoalkan Burin dan Making? Rujab bupati yang jadi lokasi pengambilpaksaan mobil? Pengambilpaksaan itu sendiri ? Banyaknya masyarakat yang nonton? Tidak bertugasnya polisi pamong praja? Atau, bupati yang pakai celana pendek dan singlet?
Rujab jadi lokasi pengambilpaksaan mobil. Wajar. Mobilnya ada di situ. Jadi, jangan persoalkan mengapa rujab jadi lokasi pengambilpaksaan. Persoalkanlah, mengapa mobil pribadi sang anak diparkir di halaman rujab sang bupati. Kita sepakat, rujab itu simbol kekuasaan dan kepemimpinan daerah. Justru karena itu, jangan jadikan halamannya lokasi parkir sembarang mobil. Salahnya di situ. Lagipula, kapolres sudah sampaikan, suatu saat mobil itu akan disita.
Soal pengambilpaksaan. Sebenarnya tak perlu pakai paksa kalau pemilik mobil Erni Manuk, putri Ande Manuk, berada di tempat. Kunci mobil dia bawa, ban depan gembos. Maka, untuk bisa dibawa, mobil ditarik pakai mobil Dalmas. Tidak salah. Yang salah, pemilik mobil, kenapa tidak titip kuncinya.
Soal banyaknya masyarakat yang nonton. Juga wajar. Ini terkait dengan orang besar. Kasusnya, pembunuhan seorang pejabat publik. Sarana pengangkutnya, mobil anak bupati. Tempat parkirnya, rujab bupati. Di rujablah pengambilpaksaan dilakukan. Mana tidak heboh? Massa datang nonton. Larang bikin apa? Sebagaimana persidangan nanti, tindakan ini terbuka untuk umum.
Soal tidak bertugasnya polisi pamong praja. Silakan ditindak kalau mereka indisipliner. Yang perlu diingat, kalaupun bertugas saat itu, mereka tidak berhak melarang polisi yang melakukan tindakan pro iustitia. Sebaliknya, mereka harus membantu kelancarannya.
Soal bupati yang hanya pakai celana pendek dan singlet. Siapa suruh? Itu pilihannya berpakaian. Gus Dur juga begitu saat meninggalkan istana. Ia hanya bercelana pendek. Tindakannya dikecam karena dinilai mendramatisasi situasi dengan cara mencitrakan diri sebagai orang teraniaya guna mendapat simpati.
Apa yang tidak diperoleh Gus Dus justru dituai Ande Manuk. Ia mendapat simpati dari Vian Burin dan Frans Making. Kedua wakil rakyat ini terharu, lalu menyatakan penyesalan mendalam. Mereka menilai peristiwa ini memalukan daerah.
Mereka lupa, penilaian mereka juga bikin malu daerah. Apalagi kalau DPRD sampai membahas peristiwa ini secara khusus. Berlebihan. Masih banyak hal lain yang jauh lebih penting dan mendesak.
“Bentara” FLORES POS, Senin 3 Agustus 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus kematian yoakim langoday,
lembata
Langganan:
Postingan (Atom)