Kasus Sertifikasi Tanah di Nagekeo
Oleh Frans Anggal
Lukas Moreng (52), pegawai pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Ngada, ditahan di Polsek Aesesa, Kabupaten Nagekeo. Ia dijemput paksa dari kediamannya di Ngalisabu, Kelurahan Bajawa, Kabupaten Ngada, setelah dua kali tidak penuhi panggilan polisi. Ia tersangkut masalah sertifikasi tanah masyarakat Aesesa beberapa tahun lalu (Flores Pos 13 Juli 2011).
Pelaku tersandung pada dua kasus. Pertama, kasus penyertifikatkan tanah milik orang lain atas namanya sendiri. Kedua, kasus penerimaan biaya sertifikasi tanah milik orang lain tanpa hasil akhir. Pada kasus pertama, korbannya adalah Andreas Redo, warga Danga. Sedangkan pada kasus kedua, korbannya Siti Hadiah, juga warga Danga.
Pada kasus pertama, 1988, pelaku bertindak sebagai petugas ukur dalam penyertifikatan tanah milik Andreas Redo 20 x 80 meter persegi. Tanah ini ia kapling jadi dua. Terbitlah dua sertifikat, 1992. Sertifikat atas nama Andreas Redo, untuk bidang lebih besar, 20 x 65 meter persegi. Dan atas namanya sendiri, untuk bidang lebih kecil, 20 x 15 meter persegi.
Penyelesaian ke dalam pernah diupayakan. Tahun 2002 keduanya bersepakat: pelaku membayar Rp30 ribu per meter. Tak ada realisasi. Maka, 10 Juni 2010, Andreas Redo melapor ke polisi. Pada 17 Juli 2010, pelaku membuat surat pernyataan: Agustus 2010 ia serahkan sertifikat yang sudah dibalik nama. Juga tak ada realisasi. Maka, Sabtu 9 Juli 2011, Andreas Redo melapor lagi. Senin 11 Juli 2011, pelaku ditahan.
Pada kasus kedua, 2006, pelaku menerima ongkos proses sertifkasi tanah milik Siti Hadiah. Lima tahun berlalu, hasilnya berupa sertifikat tidak muncul-muncul. Siti Hadiah pun melapor ke polisi.
Pada kasus pertama, duduk masalahnya cukup jelas. Tidak demikian halnya pada kasus kedua. Yang cukup jelas pada kasus kedua hanyalah ini. Biaya sertifikasi sudah diserahterimakan. Sedangkan sertifikatnya belum muncul-muncul. Kenapa? Bisa saja, karena proses sertifikasinya tidak diurus. Berarti pelaku makan uangnya. Bisa juga, sertifikatnya sudah ada, tapi tidak atas nama pemilik tanah. Pelaku makan tanahnya. Benar-benar tukang makan.
Yang terakhir itu mungkin saja terjadi. Pada kasus pertama, pelaku mengambil sebagian tanah. Pada kasus kedua, kenapa tidak, pelaku mengambil seluruh tanah. Tanah itu disertifikasi atas namanya. Tentu tidak untuk segera dikuasainya. Tapi untuk digunakannya bagi kepentingan lain. Presedennya sudah ada, pada kasus pertama.
Simaklah alasan pelaku belum bisa memenuhi janjinya, menyerahkan sertifikat yang sudah dibalik nama kepada Andreas Redo. Sertifikat itu, kata dia, sudah ia pinjamkan kepada temannya. Untuk dijadikan jaminan kredit di BRI Bajawa. Sudah 10 tahun sertifikat itu belum dikembalikan.
Patut dapat diduga, hal yang sama ia lakukan pada kasus kedua. Patut dapat diduga pula, korbannya bukan hanya Andreas Redo dan Siti Hadiah. Karena itu, imbauan Kapolsek Aesesa Hendrikus Djawa Maku tepat. "Saya minta, kalau ada masyarakat yang merasa dirugikan oleh oknum ini, segeralah melapor."
Segera melapor? Inilah yang seringkali sulit pada masyarakat yang belum tahu dan belum berani memperjuangkan hak-haknya. Mereka ini perlu dibantu. DPRD harus menjadi yang terdepan. Demikian pula BPN Ngada. Jangan hanya diam. Diam berarti setuju. Lembaga negara bukanlah sarang penyamun. Abdi negara bukanlah tukang makan. Urus uang, makan uang. Urus tanah, makan tanah.
”Bentara” FLORES POS, Kamis 14 Juli 2011
2 komentar:
Jadi tau banyak permasalahan di Flores sana..
Menanti info selanjutnya:)
Terima kasih, Rose.
Salam dan sukses untuk Anda.
Posting Komentar