Penipuan Berkedok LSM di Ngada
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 27 kepala keluarga (KK) di Desa Naru, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, tertipu. Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) janjikan bantuan Rp15 juta per KK. Persyaratannya: fotokopi kartu keluarga, pasfoto 3 x 4, fotokopi KTP, map, dan uang Rp100 ribu. Diserahkan November 2010. Janji dana akan cair Desember 2010, paling lambat Januari 2011. Enam bulan berlalu, janji tinggal janji (Flores Pos Jumat 1 Juli 2011).
Berita dari Ngada ini turun hanya tiga hari setelah berita dari Nagekeo. Sebuah lembaga yang menyebut diri Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTT Unit Nagekeo buka kantor di Mbay. Lalu rekrut pegawai dengan pungutan. Untuk pengadaan seragam Rp250 ribu. Pengadaan ID Card Rp150 ribu. Tes kesehatan Rp450 ribu (Flores Pos Selasa 28 Juni 2011).
Ada beberapa kesamaan pada kedua kasus ini. (1) Aksinya mengatasnamakan lembaga. Di Nagekeo, lembaga negara. Di Ngada, lembaga swasta. (2) Keberadan dan kegiatannya tidak diketahui pemerintah setempat karena tidak melapor. (3) Pendekatan ke sasaran dilakukan dari rumah ke rumah. Tidak diumumkan secara luas. (4) Fasilitatornya orang-orang setempat agar janji mudah dipercaya. (5) Ujung-ujungnya duit. Menyedot dana segar masyarakat.
Ciri yang sama melekat pada rekrutmen TKI dan TKW ilegal di Flores selama ini. Dengan perbedaan mendasar, tentu. Pada rekrutmen TKI dan TKW, bukan hanya duit masyarakat yang diboyong. Tapi juga anggota masyarakat itu sendiri, calon TKI dan TKW. Mereka dibawa ke luar untuk diperdagangkan. Seba¬gian¬nya dijadikan budak di daerah atau negara lain.
Ketiga kasus di atas menunjukkan satu hal. Betapa rentannya masyarakat kita. Mudah ditipu. Mudah termakan janji. Mudah diming-imingi. Mudah disogok. Ini ciri masyarakat tidak cerdas. Di tarik ke ranah politik, kondisi ini antara lain melahirkan "kecelakaan" pemilu. Konstituen tidak cerdas cenderung melahirkan wakil rakyat tidak cerdas pula. Tidak heran, banyak anggota DPRD di Flores ngawur.
Ketidakcerdasan ini belum teratasi ketika era keterbukaan semakin nyata. Masyarakat pun semakin rentan. Mereka terbuka tetapi tidak kritis. Salah satu cirinya, tidak gemar melakukan pengujian kebenaran (verifikasi) atas informasi yang diterima. Cepat telan bulat. Mudah percaya kabar burung. Rumor pun disamakan dengan berita. Katanya dianggap sebagai nyatanya. Langsung dijadikan dasar untuk bersikap dan bertindak.
Contoh, rumor penggal kepala di Kabupaten Sikka. Ribuan warga Kewapante menahan sebuah mobil Panther yang sedang parkir di salah satu ruas jalan, Jumat petang 18 Februari 2011. Mobil berpelat Surabaya ini nyaris dibakar massa karena diduga membawa kepala korban manusia, sebagaimana rumor yang beredar. Polisi cek. Hasilnya? Mobil itu ternyata hanya membawa boneka dan barang jualan lainnya (Flores Pos Sabtu 19 Februari 2011).
Masyarakat yang tidak cerdas, yang terbuka tapi tidak kritis, sangat empuk dijadikan korban hasutan dan penipuan. Mereka semakin riskan terhasut dan tertipu ketika pemerintah yang mengemban fungsi perlindungan masyarakat (linmas) juga lemah. Lengah. Tidak awas. Tidak kontrol. Tunggu di tempat. Tunggu ada laporan. Dan baru bangkit dari lelap ketika korban berjatuhan.
Pada kasus di Ngada, korban LSM itu kemungkinan besar bukan hanya 27 orang. Itu baru di satu desa. Belum di desa lain. Apakah pemkab tunggu ribuan orang tertipu baru bangkit dan bertindak?
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 2 Juli 2011
2 komentar:
Artikel yang sangat menarik, dan penyuguhan yang sangat menarik, Pak Frans. Selain isi tulisan, saya salut dengan gaya bahasa yang selalu konsisten. Mantap!
Terima kasih banyak atas apresiasi. Salam dan sukses selalu.
Posting Komentar