Kasus Polisi Menganiaya Warga
Oleh Frans Anggal
Anggota Polres Ende, Bripka Hasbullah, menganiaya warga Paupire Antris Muda Makin. Antris ke mapolres hendak laporkan ia merasa difitnah karena dituduh masuk ke rumah orang. Di sana, bukannya dilayani , ia malah dipaksa mengaku oleh Bripka Hasbullah. Ditampar kiri kanan. Perutnya ditinju sampai ia muntah-muntah. Konon Hasbullah sedang mabuk karena baru habis minum alkohol di sel bersama beberapa orang.
Kapolres Bambang Sugiarto sudah memerintahkan Kanit P3D memeriksa Bripka Hasbullah. Jika terbukti menganiaya, Hasbullah akan ditindak, apalagi kalau benar ia melakukannya dalam keadaan mabuk.
Perbuatan Hasbullah tidak hanya merugikan masyarakat (korban), tapi juga kepolisian. Korban melapor karena merasa difitnah. Langkahnya benar. Juga terpuji, karena ia dan keluarga tidak memilih main hakim sendiri. Alamat laporannya pun tepat, kantor polisi. Sayangnya, yang didapatnya justru kebalikan dari yang diharapkan.
Putusannya melapor ke polisi menunjukkan adanya kepercayaan bahwa polisi bisa diandalkan. Polisi bisa memberi rasa aman dan rasa nyaman. Dengan melapor, yang ingin didapatkan adalah keadilan (justice), kepastian hukum (sureness), kedamaian (peace), rasa aman terlindungi (safety), serta rasa bebas dari gangguan, bahaya, rasa takut, dan khawatir (security). Betapa mengecewakan ketika hal sebaliknya yang didapatkan.
Pengalaman buruk ini justru terjadi di mapolres, markas pusatnya kepolisian resor. Mapolres di sini tidak hanya mengandung ‘makna lokatif’ sebagai pusat organisasi, tetapi juga ‘makna simbolis’ sebagai pusat keteladanan. Bagaimana bisa diteladani kalau pusatnya sudah bercitra buruk.
Ulah Bripka Hasbullah mencitrakan seakan-akan Mapolres Ende markas algojo. Apalagi kalau benar Hasbullah menganiaya dalam keadaan mabuk, setelah menanggak alkohol di sel. Bertambah satu citra lagi: Mapolres Ende menjadi markas miras. Jangan kaget kalau masyarakat mencurigai miras yang disita polisi saat operasi tidak semuanya dimusnahkan. Sebagiannya disembunyikan untuk ditenggak polisi.
Lebih buruk lagi, tenggaknya dalam sel. Sel itu ‘penjara kecil’, tempat hukuman sekaligus ‘penyucian’ bagi pelanggar hukum. Bisa-bisanya penegak hukum ‘mengotori’ lagi tempat itu. Menenggak minuman terlarang di tempat terlarang untuk kemudian melakukan perbuatan terlarang. Sudah mabuk, pukul orang.
Kita berharap, Kapolres Bambang Sugiarto melihat hal ini sebagai masalah serius. Menindak Hasbullah, bila terbukti bersalah, perlu. Tapi, itu saja tidak cukup. Mapolres perlu steril dari semua personel dan tindakan tak terpuji. Mapolres itu pusat keteladanan, bukan sekadar pusat organisasi.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 29 Mei 2009
29 Mei 2009
Mapolres Ende, Teladan?
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
penganiayaan oleh polisi
DPRD Mabar, Melanggar
Eksplorasi Tambang Emas di Batu Gosok
Oleh Frans Anggal
Fraksi Golkar dan PDIP di DPRD Mabar menolak tambang. Tambang merusak lingkungan hidup dan masyarakat, termasuk pariwisata. Demikian ketua fraksi Blasius Jeramun dan Ambros Djanggat menanggapi ekplorasi tambang emas di Batu Gosok. Hanya begitu. Sebatas sikap fraksi. Belum jadi sikap DPRD. Sebab, belum ada pengaduan dari masyarakat.
Tunggu masyarakat mengadu dulu baru DPRD Mabar ambil sikap. Tidak ada pengaduan, tidak ada sikap. Sikap DPRD bergantung penuh pada ada tidaknya pengaduan. Seandainya warga satu kampung mati semua karena keracunan air minum sehingga tak tersisa seorang pun yang bisa datang mengadu ke DPRD, lembaga terhormat ini akan tetap tenang di tempat. Tahunya cuma menunggu. Maka, supaya DPRD bisa mengambil sikap, mayat sekampung itu harus datang mengadu. Sebab, yang menentukan adalah adanya pengaduan, bukan adanya masalah. Segawat apa pun masalah, kalau tidak diadukan, tidak akan disikapi.
Kasus eksplorasi tambang emas di Batu Gosok kini diperhadapkan dengan sikap dewan seperti ini. Masalah sudah di depan mata, sudah genting, DPRD masih saja menunggu pengaduan masyarakat untuk bisa mengambil sikap. Kalau tidak ada yang mengadu, apakah berarti tidak ada masalah? Lupakan pengaduan itu! Mari dan lihatlah masalah.
Menjadikan Batu Gosok lokasi tambang emas, sudah masalah. Melanggar Perda Nomor 30 Tahun 2005. Dalam penjabaran berupa Penyusunan Rencana Teknik Tata Ruang Kota Labuan Bajo, Batu Gosok merupakan kawasan wisata. Bagaimana mungkin kawasan wisata yang mengharuskan pelestarian lingkungan hidup serempak menjadi kawasan pertambangan yang justru merusak dan menghancurkannya?
Perusakan dan penghancuran sudah di depan mata. Rm Robert Pelita Pr di Labuan Bajo bersama puluhan rekannya sempat ke Batu Gosok pada Minggu 24 Mei 2009. Ia kabarkan via SMS: “Betapa kami terkejut karena aktivitas pertambangan sudah mulai berjalan. Kami saksikan, ada satu alat berat (loder), dua tower sudah dibangun, ada beberapa parit lebar 1-2 meter, dalam 2-3 meter, panjang puluhan meter. Parit tersebut ke utara (mengarah) ke Perusahaan Ikan Loh Mbongi dan ada yang ke arah Hotel Anam Emeral. Kami juga bertemu satu pegawai lapangan investor tambang. P Marsel Agot SVD sempat dialog dengan dia. Dia beri keterangan bahwa rencananya akan dieksplorasi 2.000 ha. Saya juga dapat SMS dari pegawai Hotel Anam Emeral beberapa hari lalu bahwa dua wisatawan asal Swedia terpaksa evakuasi ke Hotel Bintang Flores karena terganggu oleh aktivitas di lokasi pertambangan.”
Dalam pelanggaran sebesar ini, DPRD Mabar masih main tunggu dan main tunda. Periculum in mora, kata ungkapan Latin. Bahaya mengintai dalam penundaan. Menunggu, menunda, berarti membiarkan pelanggaran tetap berlangsung. Pembiaran merupakan pelanggaran. Pelanggaran by omission. Dengan sikapnya, DPRD Mabar melakukan pelanggaran juga.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 29 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Fraksi Golkar dan PDIP di DPRD Mabar menolak tambang. Tambang merusak lingkungan hidup dan masyarakat, termasuk pariwisata. Demikian ketua fraksi Blasius Jeramun dan Ambros Djanggat menanggapi ekplorasi tambang emas di Batu Gosok. Hanya begitu. Sebatas sikap fraksi. Belum jadi sikap DPRD. Sebab, belum ada pengaduan dari masyarakat.
Tunggu masyarakat mengadu dulu baru DPRD Mabar ambil sikap. Tidak ada pengaduan, tidak ada sikap. Sikap DPRD bergantung penuh pada ada tidaknya pengaduan. Seandainya warga satu kampung mati semua karena keracunan air minum sehingga tak tersisa seorang pun yang bisa datang mengadu ke DPRD, lembaga terhormat ini akan tetap tenang di tempat. Tahunya cuma menunggu. Maka, supaya DPRD bisa mengambil sikap, mayat sekampung itu harus datang mengadu. Sebab, yang menentukan adalah adanya pengaduan, bukan adanya masalah. Segawat apa pun masalah, kalau tidak diadukan, tidak akan disikapi.
Kasus eksplorasi tambang emas di Batu Gosok kini diperhadapkan dengan sikap dewan seperti ini. Masalah sudah di depan mata, sudah genting, DPRD masih saja menunggu pengaduan masyarakat untuk bisa mengambil sikap. Kalau tidak ada yang mengadu, apakah berarti tidak ada masalah? Lupakan pengaduan itu! Mari dan lihatlah masalah.
Menjadikan Batu Gosok lokasi tambang emas, sudah masalah. Melanggar Perda Nomor 30 Tahun 2005. Dalam penjabaran berupa Penyusunan Rencana Teknik Tata Ruang Kota Labuan Bajo, Batu Gosok merupakan kawasan wisata. Bagaimana mungkin kawasan wisata yang mengharuskan pelestarian lingkungan hidup serempak menjadi kawasan pertambangan yang justru merusak dan menghancurkannya?
Perusakan dan penghancuran sudah di depan mata. Rm Robert Pelita Pr di Labuan Bajo bersama puluhan rekannya sempat ke Batu Gosok pada Minggu 24 Mei 2009. Ia kabarkan via SMS: “Betapa kami terkejut karena aktivitas pertambangan sudah mulai berjalan. Kami saksikan, ada satu alat berat (loder), dua tower sudah dibangun, ada beberapa parit lebar 1-2 meter, dalam 2-3 meter, panjang puluhan meter. Parit tersebut ke utara (mengarah) ke Perusahaan Ikan Loh Mbongi dan ada yang ke arah Hotel Anam Emeral. Kami juga bertemu satu pegawai lapangan investor tambang. P Marsel Agot SVD sempat dialog dengan dia. Dia beri keterangan bahwa rencananya akan dieksplorasi 2.000 ha. Saya juga dapat SMS dari pegawai Hotel Anam Emeral beberapa hari lalu bahwa dua wisatawan asal Swedia terpaksa evakuasi ke Hotel Bintang Flores karena terganggu oleh aktivitas di lokasi pertambangan.”
Dalam pelanggaran sebesar ini, DPRD Mabar masih main tunggu dan main tunda. Periculum in mora, kata ungkapan Latin. Bahaya mengintai dalam penundaan. Menunggu, menunda, berarti membiarkan pelanggaran tetap berlangsung. Pembiaran merupakan pelanggaran. Pelanggaran by omission. Dengan sikapnya, DPRD Mabar melakukan pelanggaran juga.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 29 Mei 2009
Label:
bentara,
eksplorasi tambang emas batu gosok,
flores,
flores pos,
manggarai barat,
pertambangan emas
27 Mei 2009
DPRD Mabar, Penunggu
Eksplorasi Tambang Emas di Batu Gosok
Oleh Frans Anggal
Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Masyarakat Mabar boleh protes, Bupati Fidelis Pranda jalan terus. Investor Cina sudah masuk ke lokasi tambang emas di Batu Gosok, Kelurahan Labuan Bajo. Lengkap dengan peralatan berat. Sudah mulai eksplorasi pula, menggusur, dan seterusnya.
Batu Gosok di bibir Laut Sawu, tak jauh dari Labuan Bajo. Kawasan ini masuk jalur hijau. Kawasan yang diperuntukkan bagi pengembangan pariwisata. Sudah ditetapkan dalam Perda Nomor 30 Tahun 2005. Karena peruntukannya jelas dan tegas, pengembangannya sudah tampak. Sudah ada hotel di sana.
Atas dasar apa dan seizin siapa investor tambang masuk? Atas dasar apa dan seizin siapa ia menyerobot jalur hijau, merusak tata ruang, dan mengangkangi perda? Patut dapat diduga, atas dasar kesepakatan dengan bupati dan atas izin sang bupati. Kapan, di mana, dan bagaimananya, itu yang tidak jelas. DPRD juga tidak tahu. Baru tahu dan terkejut-kejut ketika Batu Gosok mulai digusur.
Masyarakat resah. Gereja prihatin. Administrator Keuskupan Ruteng Rm Laurens Sopang Pr mengirim SMS. “Saya dan para imam Keuskupan Ruteng sedih dan menyatakan turut berduka atas gejala kematian pariwisata Mabar, akibat kerusakan lingkungan hidup di Batu Gosok karena sudah mulai digusur alat-alat berat dari Cina untuk pertambangan emas. Pariwisata Mabar hancur oleh kerakusan pemda. Betapa surammya dunia pariwisata kita ke depan. Padahal, pariwisata itu emas yang tidak akan pernah habis.”
SMS dari Rm Edy Manori Pr menohok langsung Bupati Pranda. “Sebagai pemimpin Mabar, Bapak katanya punya kehendak baik untuk sejahterakan rakyat. Bapak menegaskan pariwisata merupakan aset Mabar. Semua setuju. Akhir-akhir ini sepertinya Bapak berubah konsep alias tidak konsisten. Tiba-tiba tambang jadi primadona, padahal risikonya untuk merusak lingkungan dan pariwisata sangat besar. Apalagi lokasi tambang tepat di daerah pariwisata seperti Batu Gosok. Prosedur hadirnya juga bermasalah, tidak transparan .... Kebijakan sepihak tanpa melibatkan rakyat bahkan merampas hak milik rakyat menggambarkan kepemimpinan yang tidak demokratis, melainkan diktator ....”
Di tengah keresahan ini, anehnya, DPRD Mabar duduk manis. Wakil Ketua Ambros Djanggat beralasan, “DPRD belum bisa mengambil sikap karena masih menunggu pengaduan masyarakat.” Wuih, macam polisi saja dalam delik aduan murni. DPRD itu wakil rakyat. Mata, telinga, hati, dan mulutnya rakyat. Seharusnya peka, menyerap, membahasakan, dan memperjuangkan aspirasi rakyat, termasuk yang tidak dapat dan tidak berani diungkapkan rakyat.
Tambang Batu Gosok itu di depan hidung. Eksplorasinya jelas-jelas mengancam lingkungan hidup dan pariwisata, menyerobot jalur hijau, merusak tata ruang, dan mengangkangi perda. Koq DPRD tunggu pengaduan dulu baru bertindak? Di mana perannya sebagai mata, telinga, hati, dan mulut rakyat? Kalau cuma tunggu, sekalian saja ganti nama: Dewan Penunggu Rakyat Daerah Mabar.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 28 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Masyarakat Mabar boleh protes, Bupati Fidelis Pranda jalan terus. Investor Cina sudah masuk ke lokasi tambang emas di Batu Gosok, Kelurahan Labuan Bajo. Lengkap dengan peralatan berat. Sudah mulai eksplorasi pula, menggusur, dan seterusnya.
Batu Gosok di bibir Laut Sawu, tak jauh dari Labuan Bajo. Kawasan ini masuk jalur hijau. Kawasan yang diperuntukkan bagi pengembangan pariwisata. Sudah ditetapkan dalam Perda Nomor 30 Tahun 2005. Karena peruntukannya jelas dan tegas, pengembangannya sudah tampak. Sudah ada hotel di sana.
Atas dasar apa dan seizin siapa investor tambang masuk? Atas dasar apa dan seizin siapa ia menyerobot jalur hijau, merusak tata ruang, dan mengangkangi perda? Patut dapat diduga, atas dasar kesepakatan dengan bupati dan atas izin sang bupati. Kapan, di mana, dan bagaimananya, itu yang tidak jelas. DPRD juga tidak tahu. Baru tahu dan terkejut-kejut ketika Batu Gosok mulai digusur.
Masyarakat resah. Gereja prihatin. Administrator Keuskupan Ruteng Rm Laurens Sopang Pr mengirim SMS. “Saya dan para imam Keuskupan Ruteng sedih dan menyatakan turut berduka atas gejala kematian pariwisata Mabar, akibat kerusakan lingkungan hidup di Batu Gosok karena sudah mulai digusur alat-alat berat dari Cina untuk pertambangan emas. Pariwisata Mabar hancur oleh kerakusan pemda. Betapa surammya dunia pariwisata kita ke depan. Padahal, pariwisata itu emas yang tidak akan pernah habis.”
SMS dari Rm Edy Manori Pr menohok langsung Bupati Pranda. “Sebagai pemimpin Mabar, Bapak katanya punya kehendak baik untuk sejahterakan rakyat. Bapak menegaskan pariwisata merupakan aset Mabar. Semua setuju. Akhir-akhir ini sepertinya Bapak berubah konsep alias tidak konsisten. Tiba-tiba tambang jadi primadona, padahal risikonya untuk merusak lingkungan dan pariwisata sangat besar. Apalagi lokasi tambang tepat di daerah pariwisata seperti Batu Gosok. Prosedur hadirnya juga bermasalah, tidak transparan .... Kebijakan sepihak tanpa melibatkan rakyat bahkan merampas hak milik rakyat menggambarkan kepemimpinan yang tidak demokratis, melainkan diktator ....”
Di tengah keresahan ini, anehnya, DPRD Mabar duduk manis. Wakil Ketua Ambros Djanggat beralasan, “DPRD belum bisa mengambil sikap karena masih menunggu pengaduan masyarakat.” Wuih, macam polisi saja dalam delik aduan murni. DPRD itu wakil rakyat. Mata, telinga, hati, dan mulutnya rakyat. Seharusnya peka, menyerap, membahasakan, dan memperjuangkan aspirasi rakyat, termasuk yang tidak dapat dan tidak berani diungkapkan rakyat.
Tambang Batu Gosok itu di depan hidung. Eksplorasinya jelas-jelas mengancam lingkungan hidup dan pariwisata, menyerobot jalur hijau, merusak tata ruang, dan mengangkangi perda. Koq DPRD tunggu pengaduan dulu baru bertindak? Di mana perannya sebagai mata, telinga, hati, dan mulut rakyat? Kalau cuma tunggu, sekalian saja ganti nama: Dewan Penunggu Rakyat Daerah Mabar.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 28 Mei 2009
Label:
batu gosok,
bentara,
dprd manggarai barat,
eksplorasi tambang emas,
flores,
flores pos,
manggarai barat,
pertambangan
Demolah ke Panwaslu
Dugaan Tindak Pidana Pemilu KPUD Flotim
Oleh Frans Anggal
Forum Penegak Demokrasi Indonesia Flores Timur (FPDI-Flotim) demo ke Sekretariat KPUD Flotim, Selasa 5 Mei 2009. Mereka menunut proses hukum pelanggaran pemilu. Pelaku pelanggaran itu bukan siapa-siapa, KPUD juga. KPUD dinilai telah melakukan tindak pidana pemalsuan, penggelembungan, dan penghilangan secara sengaja jumlah suara PPRN di Dapil Flotim 1 sebanyak 170 suara. KPUD memberikannya ke caleg nomor 1 PPRN Fransiskus Juan Hadjon sehingga perolehannya menggelembung dari 325 menjadi 506 suara, melampaui perolehan Hendrikus Belang Koten yang meraih suara terbanyak, 439. Atas desakan Panwaslu Flotim, KPUD NTT melakukan penelusuran data yang telah disahkan KPUD Flotim. Benar, ada temuan. Data diperbaiki. Hendrikus Belang Koten pun ditetapkan jadi anggota DPRD Flotim.
Selesai? Belum, kata FPDI-Flotim. Perbaikan data setelah penelusuran oleh KPUD NTT itu tidak menghilangkan perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan KPUD Flotim. Benar sekali. Jangan gampang tertular ‘penyakit keturunan’ Indonesia yang gemar diidap para jaksa.
Masih ingat kasus Jamsostek? Kasus ini dihentikan penyidikannya karena, menurut jaksa, tidak terbukti merugikan negara. Sebab, dana Rp7,1 miliar yang dikeluarkan di masa Menaker Abdul Latief sebagai biaya membahas undang-undang ketenagakerjaan oleh DPR itu sudah dikembalikan ke kas Jamsostek.
Ini gila. Logika elementer hukum pidana diinjak habis. Sejumlah uang diambil, dipakai oleh seorang pejabat, dikembalikan, lalu habis perkara. Padahal, perbuatan pidana itu tidak hapus hanya karena akibat-akibatnya telah dipulihkan.
Begitu juga dalam kasus KPUD Flotim. Akibat yang ditimbulkan memang sudah dipulihkan. Data sudah diperbaiki. Suara ‘hilang’ sudah dikembalikan. Hendrikus Belang Koten sudah ditetapkan menjadi anggota DPRD Flotim. Meski begitu, perbuatan KPUD Flotim tidak otomatis hapus. Juga tidak hapus hanya karena Ketua Abdul Kadir H Yahya membantahnya sebagai kesengajaan.
Yang menarik, untuk buktikan kejujuran, FPDI-Flotim memaksa KPUD melakukan sumpah adat Lamaholot, bao lolong. Selesai? Entahlah.
Yang jelas, pernyataan FPDI-Flotim dalam demonya sarat dengan delik hukum. Kutip-kutip pasal segala. Lucu, kalau ujungnya hanya sampai di sumpah adat. Semestinya ada tindak lanjut. Proses hukumkan KPUD!
Kenapa tidak demo ke panwaslu? Desak panwaslu lapor ke polisi. Kalau panwaslunya nga-ngi-ngu, forum harus bisa maju sendiri. Dan, Hendrikus Belang Koten mesti tunjuk muka. Jangan ‘sembunyi’ di belakang punggung forum. Dialah yang semestinya menjadi yang terdepan. Sebab, dialah pihak, sekaligus wakil pihak (konstituen) yang merasa telah dirugikan.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 27 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Forum Penegak Demokrasi Indonesia Flores Timur (FPDI-Flotim) demo ke Sekretariat KPUD Flotim, Selasa 5 Mei 2009. Mereka menunut proses hukum pelanggaran pemilu. Pelaku pelanggaran itu bukan siapa-siapa, KPUD juga. KPUD dinilai telah melakukan tindak pidana pemalsuan, penggelembungan, dan penghilangan secara sengaja jumlah suara PPRN di Dapil Flotim 1 sebanyak 170 suara. KPUD memberikannya ke caleg nomor 1 PPRN Fransiskus Juan Hadjon sehingga perolehannya menggelembung dari 325 menjadi 506 suara, melampaui perolehan Hendrikus Belang Koten yang meraih suara terbanyak, 439. Atas desakan Panwaslu Flotim, KPUD NTT melakukan penelusuran data yang telah disahkan KPUD Flotim. Benar, ada temuan. Data diperbaiki. Hendrikus Belang Koten pun ditetapkan jadi anggota DPRD Flotim.
Selesai? Belum, kata FPDI-Flotim. Perbaikan data setelah penelusuran oleh KPUD NTT itu tidak menghilangkan perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan KPUD Flotim. Benar sekali. Jangan gampang tertular ‘penyakit keturunan’ Indonesia yang gemar diidap para jaksa.
Masih ingat kasus Jamsostek? Kasus ini dihentikan penyidikannya karena, menurut jaksa, tidak terbukti merugikan negara. Sebab, dana Rp7,1 miliar yang dikeluarkan di masa Menaker Abdul Latief sebagai biaya membahas undang-undang ketenagakerjaan oleh DPR itu sudah dikembalikan ke kas Jamsostek.
Ini gila. Logika elementer hukum pidana diinjak habis. Sejumlah uang diambil, dipakai oleh seorang pejabat, dikembalikan, lalu habis perkara. Padahal, perbuatan pidana itu tidak hapus hanya karena akibat-akibatnya telah dipulihkan.
Begitu juga dalam kasus KPUD Flotim. Akibat yang ditimbulkan memang sudah dipulihkan. Data sudah diperbaiki. Suara ‘hilang’ sudah dikembalikan. Hendrikus Belang Koten sudah ditetapkan menjadi anggota DPRD Flotim. Meski begitu, perbuatan KPUD Flotim tidak otomatis hapus. Juga tidak hapus hanya karena Ketua Abdul Kadir H Yahya membantahnya sebagai kesengajaan.
Yang menarik, untuk buktikan kejujuran, FPDI-Flotim memaksa KPUD melakukan sumpah adat Lamaholot, bao lolong. Selesai? Entahlah.
Yang jelas, pernyataan FPDI-Flotim dalam demonya sarat dengan delik hukum. Kutip-kutip pasal segala. Lucu, kalau ujungnya hanya sampai di sumpah adat. Semestinya ada tindak lanjut. Proses hukumkan KPUD!
Kenapa tidak demo ke panwaslu? Desak panwaslu lapor ke polisi. Kalau panwaslunya nga-ngi-ngu, forum harus bisa maju sendiri. Dan, Hendrikus Belang Koten mesti tunjuk muka. Jangan ‘sembunyi’ di belakang punggung forum. Dialah yang semestinya menjadi yang terdepan. Sebab, dialah pihak, sekaligus wakil pihak (konstituen) yang merasa telah dirugikan.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 27 Mei 2009
Label:
bentara,
dugaan tindak pidana pemilu,
flores,
flores pos,
flotim,
hukum,
kpud flotim,
pemilu 2009,
politik
26 Mei 2009
Mengadili Padju Leok
Dugaan Penyimpangan Dana Kabupaten Manggarai Timur
Oleh Frans Anggal
Asisten I Tata Pemerintahan Setdaprov NTT Yoseph Aman Mamulak dan anggota DPRD NTT Vinsensius Pata bicara tentang mantan penjabat bupati Manggarai Timur Frans Padju Leok. Kata mereka, Padju Leok meninggalkan jabatan tanpa pertanggungjawaban. Selama menjabat, akhir 2007 hingga awal 2009, ia habiskan Rp22,5 miliar. Dana berasal dari APBD kabupaten induk Manggarai Rp12,5 miliar dan APBD Provinsi NTT Rp10 miliar.
Konon ada indikasi penyimpangan pula. Begitu temuan BPK Perwakilan NTT. Dana hibah provinsi Rp5 miliar yang seharusnya disalurkan tahun 2009, dimajukan penyetorannya ke tahun 2008 atas permintaan sang penjabat, untuk kepentingan pilkada. Namun, dana ini tidak dilaporkannya sebagai realisasi anggaran 2008. Indikasi penyimpangan ini perlu ditindaklanjuti.
Terlepas dari benar-tidaknya, ‘tudingan’ ini mengukuhkan Padju Leok sebagai sosok sarat masalah. Sejak dicalonkan dan jelang dilantik jadi penjabat bupati 23 November 2007, ia ditolak sebagian masyarakat. Paguyuban Masyarakat Manggarai Timur Jakarta (PMMT) berdemo ke Depdagri. Menolak. Figur ini bermasalah, berstatus tersangka dalam kasus korupsi dan pemalsuan surat.
Saat ia menjabat, Manggarai Timur sempat ‘panas’. Pemerintahannya dicap KCL: Kerajaan Cibal Lambaleda. Ia promosikan banyak pejabat dari kecamatan asalnya Cibal dan Lambaleda. Soal dana, ratusan juta habis untuk beli mobil dinas. Soal tambang, ia berjuang loloskan tambang pasir besi yang ditolak masyarakat. Soal pilkada, nyaris terancam batal karena tak ada dana. Begitu dana ada, bukannya hemat, malah boros. KPUD yang lemah gemulai meloloskan begitu banyak paket. Pilkada pun dua putaran. Miliaran rupiah amblas. Kini litaninya diperpanjang. Sang penjabat melepaskan jabatan tanpa pertanggungjawaban. Terindikasi pula melakukan penyimpangan dana.
Benarkah ‘tudingan’ itu? Bagaimana bisa dijawab, belum ada klarifikasi. Bagaimana bisa diklarifikasi, belum ada proses hukum. Proses hukum penting guna membuktikannya. Menuding saja sama artinya dengan menghukum tanpa proses hukum.
Karena itu, pilihan terbaik: proses hukum. Adili Padju Leok. Mengabaikan ini, secara apriori berarti melakukan ketidakadilan terhadap dua pihak. Ketidakadilan terhadap negara yang mungkin menderita kerugian keuangan akibat penyimpangan (jika hal itu terbukti), sekaligus ketidakadilan terhadap Padju Leok sendiri (jika dugaan mengenai penyimpangan itu justru tidak terbukti).
Mamulak dan Pata sudah lontarkan ‘tudingan’. So what? Cuma ‘tuding’? Tidak cukup, selain keji karena menghukum seseorang tanpa proses hukum. Tak bedanya dengan fitnah. Pembunuhan karakter. Lalu?
Mamulak dan Pata harus punya nyali. Mengupayakan proses hukum. Kalau cuma tuding, siapa tidak bisa. Padju Leok juga bisa tuding balik. Apa susahnya.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 26 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Asisten I Tata Pemerintahan Setdaprov NTT Yoseph Aman Mamulak dan anggota DPRD NTT Vinsensius Pata bicara tentang mantan penjabat bupati Manggarai Timur Frans Padju Leok. Kata mereka, Padju Leok meninggalkan jabatan tanpa pertanggungjawaban. Selama menjabat, akhir 2007 hingga awal 2009, ia habiskan Rp22,5 miliar. Dana berasal dari APBD kabupaten induk Manggarai Rp12,5 miliar dan APBD Provinsi NTT Rp10 miliar.
Konon ada indikasi penyimpangan pula. Begitu temuan BPK Perwakilan NTT. Dana hibah provinsi Rp5 miliar yang seharusnya disalurkan tahun 2009, dimajukan penyetorannya ke tahun 2008 atas permintaan sang penjabat, untuk kepentingan pilkada. Namun, dana ini tidak dilaporkannya sebagai realisasi anggaran 2008. Indikasi penyimpangan ini perlu ditindaklanjuti.
Terlepas dari benar-tidaknya, ‘tudingan’ ini mengukuhkan Padju Leok sebagai sosok sarat masalah. Sejak dicalonkan dan jelang dilantik jadi penjabat bupati 23 November 2007, ia ditolak sebagian masyarakat. Paguyuban Masyarakat Manggarai Timur Jakarta (PMMT) berdemo ke Depdagri. Menolak. Figur ini bermasalah, berstatus tersangka dalam kasus korupsi dan pemalsuan surat.
Saat ia menjabat, Manggarai Timur sempat ‘panas’. Pemerintahannya dicap KCL: Kerajaan Cibal Lambaleda. Ia promosikan banyak pejabat dari kecamatan asalnya Cibal dan Lambaleda. Soal dana, ratusan juta habis untuk beli mobil dinas. Soal tambang, ia berjuang loloskan tambang pasir besi yang ditolak masyarakat. Soal pilkada, nyaris terancam batal karena tak ada dana. Begitu dana ada, bukannya hemat, malah boros. KPUD yang lemah gemulai meloloskan begitu banyak paket. Pilkada pun dua putaran. Miliaran rupiah amblas. Kini litaninya diperpanjang. Sang penjabat melepaskan jabatan tanpa pertanggungjawaban. Terindikasi pula melakukan penyimpangan dana.
Benarkah ‘tudingan’ itu? Bagaimana bisa dijawab, belum ada klarifikasi. Bagaimana bisa diklarifikasi, belum ada proses hukum. Proses hukum penting guna membuktikannya. Menuding saja sama artinya dengan menghukum tanpa proses hukum.
Karena itu, pilihan terbaik: proses hukum. Adili Padju Leok. Mengabaikan ini, secara apriori berarti melakukan ketidakadilan terhadap dua pihak. Ketidakadilan terhadap negara yang mungkin menderita kerugian keuangan akibat penyimpangan (jika hal itu terbukti), sekaligus ketidakadilan terhadap Padju Leok sendiri (jika dugaan mengenai penyimpangan itu justru tidak terbukti).
Mamulak dan Pata sudah lontarkan ‘tudingan’. So what? Cuma ‘tuding’? Tidak cukup, selain keji karena menghukum seseorang tanpa proses hukum. Tak bedanya dengan fitnah. Pembunuhan karakter. Lalu?
Mamulak dan Pata harus punya nyali. Mengupayakan proses hukum. Kalau cuma tuding, siapa tidak bisa. Padju Leok juga bisa tuding balik. Apa susahnya.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 26 Mei 2009
24 Mei 2009
Apanya Lagi, Pak Kajari?
Mutasi dan Promosi di Birokrasi Ende
Oleh Frans Anggal
Sebulan setelah dilantik menjadi bupati dan wabup Ende, Don Bosco M Wangge dan Achmad Mochdar mulai merombak birokrasi. Perombakan ditandai mutasi, promosi, dan pelantikan pejabat eselon II dan III, Jumat 22 Mei 2009. Ada 5 pejabat selon II dijadikan staf ahli, 3 berstatus non-job, 3 lainnya turun eselon. Sekda pun diberhentikan, diganti plt sekda yang juga asisten III.
Dalam sambutannya, Bupati Don Wangge menegaskan mutasi dan promosi ini bagian dari reformasi birokrasi, yang akan segera disusul dengan perampingan birokrasi dan penyesuaian jabatan.
Wangge-Mochdar mulai penuhi janjinya, yang dilontarkan saat dilantik 7 April 2009. Menurut keduanya, masalah pokok Ende adalah kemiskinan yang meningkat, mutu pendidikan yang jeblok, dan derajat kesehatan masyarakat yang rendah. Penyebab utamanya, salah urus birokrasi. Maka, pembenahan dimulai dari birokrasi. Mutasi dan promosi salah satu langkahnya.
Seperti apa birokrasi Ende selama ini, Bupati Don memberikan gambaran. “Mutasi kali ini disesuaikan dengan DUK, daftar urutan kepangkatan, bukan daftar urutan keluarga atau daftar urutan kedekatan. Jadi, kepala jangan taruh di kaki, dan kaki taruh di kepala. Soal jabatan, tak ada tempat basah dan tempat kering. Basah kecuali disirami atau dikencingi sendiri.” Kita menangkapnya: birokrasi Ende kental korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Publik tahu itu. “Kalau mau belajar korupsi, datanglah ke Ende.” Begitu SMS seorang warga usai membaca “Bentara” Sabtu 18 April 2009 berjudul “Ende dan Pesta Makan”. Terlalu banyak yang dimakan dan begitu banyak yang ikut makan, jadinya seperti pesta makan saja, bukan korupsi. Kalau korupsi, mana koruptornya? Tidak ada.
Pesta makan ini turut disuburkan oleh kinerja kejaksaan. Mana ada kasus dugaan korupsi yang sampai ke persidangan? Tidak ada. Kasus-kasus itu malah berultah di kejaksaan. Di bawah kajari baru Marihot Silalahi, boleh jadi ultah itu masih akan berlangsung. Sudah ada presedennya.
Pada Senin 28 Juli 2008, Marihot Silalahi menyatakan kepada pers, ia tidak mau mengusut kasus korupsi lama karena sedang dalam suasana pilkada. Takutnya, kasus-kasus itu menjadi alat politik pihak tertentu. Gawat. Penegakan hukum dipolitikkan. Ini menyalahi prinsip paling hakiki dunia hukum. Fiat justitia ruat caelum. Hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh. Kalimat ini diucapkan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM).
Pilkada sudah selesai. Nakhoda sudah berganti. Birokrasi sudah dirombak. Wangge-Mochdar sudah berjanji dan bertekad membersihkan birokrasinya dari segala bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jadi, iklimnya sudah sangat kondusif. Nah, apanya lagi, Pak Kajari? Kapan kasus-kasus dugaan korupsi dibawa ke persidangan?
“Bentara” FLORES POS, Senin 25 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Sebulan setelah dilantik menjadi bupati dan wabup Ende, Don Bosco M Wangge dan Achmad Mochdar mulai merombak birokrasi. Perombakan ditandai mutasi, promosi, dan pelantikan pejabat eselon II dan III, Jumat 22 Mei 2009. Ada 5 pejabat selon II dijadikan staf ahli, 3 berstatus non-job, 3 lainnya turun eselon. Sekda pun diberhentikan, diganti plt sekda yang juga asisten III.
Dalam sambutannya, Bupati Don Wangge menegaskan mutasi dan promosi ini bagian dari reformasi birokrasi, yang akan segera disusul dengan perampingan birokrasi dan penyesuaian jabatan.
Wangge-Mochdar mulai penuhi janjinya, yang dilontarkan saat dilantik 7 April 2009. Menurut keduanya, masalah pokok Ende adalah kemiskinan yang meningkat, mutu pendidikan yang jeblok, dan derajat kesehatan masyarakat yang rendah. Penyebab utamanya, salah urus birokrasi. Maka, pembenahan dimulai dari birokrasi. Mutasi dan promosi salah satu langkahnya.
Seperti apa birokrasi Ende selama ini, Bupati Don memberikan gambaran. “Mutasi kali ini disesuaikan dengan DUK, daftar urutan kepangkatan, bukan daftar urutan keluarga atau daftar urutan kedekatan. Jadi, kepala jangan taruh di kaki, dan kaki taruh di kepala. Soal jabatan, tak ada tempat basah dan tempat kering. Basah kecuali disirami atau dikencingi sendiri.” Kita menangkapnya: birokrasi Ende kental korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Publik tahu itu. “Kalau mau belajar korupsi, datanglah ke Ende.” Begitu SMS seorang warga usai membaca “Bentara” Sabtu 18 April 2009 berjudul “Ende dan Pesta Makan”. Terlalu banyak yang dimakan dan begitu banyak yang ikut makan, jadinya seperti pesta makan saja, bukan korupsi. Kalau korupsi, mana koruptornya? Tidak ada.
Pesta makan ini turut disuburkan oleh kinerja kejaksaan. Mana ada kasus dugaan korupsi yang sampai ke persidangan? Tidak ada. Kasus-kasus itu malah berultah di kejaksaan. Di bawah kajari baru Marihot Silalahi, boleh jadi ultah itu masih akan berlangsung. Sudah ada presedennya.
Pada Senin 28 Juli 2008, Marihot Silalahi menyatakan kepada pers, ia tidak mau mengusut kasus korupsi lama karena sedang dalam suasana pilkada. Takutnya, kasus-kasus itu menjadi alat politik pihak tertentu. Gawat. Penegakan hukum dipolitikkan. Ini menyalahi prinsip paling hakiki dunia hukum. Fiat justitia ruat caelum. Hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh. Kalimat ini diucapkan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM).
Pilkada sudah selesai. Nakhoda sudah berganti. Birokrasi sudah dirombak. Wangge-Mochdar sudah berjanji dan bertekad membersihkan birokrasinya dari segala bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jadi, iklimnya sudah sangat kondusif. Nah, apanya lagi, Pak Kajari? Kapan kasus-kasus dugaan korupsi dibawa ke persidangan?
“Bentara” FLORES POS, Senin 25 Mei 2009
Label:
bentara,
birokrasi ende,
bupati don wangge,
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
korupsi di ende,
mutasi dan promosi birokrasi ende,
politik
22 Mei 2009
Di Ende, Kasus Berultah
Mentoknya Kasus Dugaan Koruspi di Kejari
Oleh Frans Anggal
GMNI Ende memperingati Harkitnas 20 Mei 2009 dengan caranya sendiri. Mendatangi Kejari Ende, mendesak mengusut tuntas semua kasus dugaan korupsi. Di antaranya: pengadaan mesin pompa air PDAM, pembangunan kantor bupati, pembelian sepeda motor para kades, pembelian mobil mewah bupati, dan dana purnabakti DPRD 1999-2004.
Semuanya melibatkan pejabat publik. Namun belum seorang pun yang diseret ke meja hijau. Ambil contoh, kasus pembelian mesin pompa air PDAM dengan dugaan kerugian negara Rp279 juta. Kasus sejak 2003. Sudah enam tahun, belum masuk ruang persidangan. BAP-nya masih bolak-balik jaksa-polisi.
Itu baru satu kasus. Kasus-kasus lain? Proyek perluasan kantor bupati. Proyek TA 2002. Bernilai Rp21 miliar. Proyek multiyears ini diduga tidak melalui tender, tapi penunjukan langsung. Itu berarti menyalahi Keppres Nomor 80 Tahun 2003 yang mengharuskan setiap proyek di atas Rp50 juta ditenderkan, kecuali dalam keadaan darurat atau bencana alam.
Singkat cerita, banyak kasusnya, satu nasibnya. Tak satu pun yang sampai di persidangan. Ini menunjukkan buruknya kinerja Kejari Ende. Penilaian ini tidak mengada-ada. Indikator Kinerja Kejaksaan sendiri mengharuskan setiap jajaran kejaksaan mampu menangani kasus korupsi sampai ke ruang persidangan dengan pola 5-3-1: kejati 5 kasus, kejari 3 kasus, dan kecabjari 1 kasus. Indikator ini telah dipadukan dengan 11 indikator lain dan ditetapkan di Ciloto 7 Desember 2005 dan telah dibakukan dengan Surat Jampidus No. B-11/FD/F.1/02/2006 tertanggal 10 Februari 2006.
Di Ende, jangankan tiga kasus, satu saja tidak. Dalam Catatan Akhir Tahun 2008 PIAR NTT, Kejari Ende satu dari empat kejari di NTT yang belum sekali pun membawa perkara korupsi ke pengadilan. Banyak kasus berulang tahun di kejaksaan. Tahun ini, kasus PDAM “merayakan” ultah keenam.
Buruknya kinerja, gemanya ke Jakarta. Tahun 2008, Kajari Ende Marangin Butar Butar bersama 24 kajari di Indonesia dicopot dan ditarik ke Kejagung untuk diberi pembinaan khusus. Pencopotan tertuang dalam Surat Keputusan Jaksa Agung Hendarman Supandji Nomor Kep.045/A/JA/ 06/ 2008 tanggal 3 Juni 2008.
Marangin Butar Butar diganti oleh Marihot Silalahi. Hasilnya? Belum kelihatan. Belum senyata kinerja Kajari Ruteng Timbul Tamba. Di Ende, baru satu kasus yang menyeret pejabat publik ke persidangan. Itu pun bukan kasus korupsi. Cuma perbuatan tak menyenangkan oleh mantan sekda Iskandar Mberu terhadap anggota DPRD Heribertus Gani. Kapan kasus ‘berat’ korupsi?
Kita tunggu sambil menuntut: secepatnya! Jangan biarkan kasus berultah di kejaksaan. Timbul Tamba bisa. Kenapa Marihot Silalahi tidak?
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 23 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
GMNI Ende memperingati Harkitnas 20 Mei 2009 dengan caranya sendiri. Mendatangi Kejari Ende, mendesak mengusut tuntas semua kasus dugaan korupsi. Di antaranya: pengadaan mesin pompa air PDAM, pembangunan kantor bupati, pembelian sepeda motor para kades, pembelian mobil mewah bupati, dan dana purnabakti DPRD 1999-2004.
Semuanya melibatkan pejabat publik. Namun belum seorang pun yang diseret ke meja hijau. Ambil contoh, kasus pembelian mesin pompa air PDAM dengan dugaan kerugian negara Rp279 juta. Kasus sejak 2003. Sudah enam tahun, belum masuk ruang persidangan. BAP-nya masih bolak-balik jaksa-polisi.
Itu baru satu kasus. Kasus-kasus lain? Proyek perluasan kantor bupati. Proyek TA 2002. Bernilai Rp21 miliar. Proyek multiyears ini diduga tidak melalui tender, tapi penunjukan langsung. Itu berarti menyalahi Keppres Nomor 80 Tahun 2003 yang mengharuskan setiap proyek di atas Rp50 juta ditenderkan, kecuali dalam keadaan darurat atau bencana alam.
Singkat cerita, banyak kasusnya, satu nasibnya. Tak satu pun yang sampai di persidangan. Ini menunjukkan buruknya kinerja Kejari Ende. Penilaian ini tidak mengada-ada. Indikator Kinerja Kejaksaan sendiri mengharuskan setiap jajaran kejaksaan mampu menangani kasus korupsi sampai ke ruang persidangan dengan pola 5-3-1: kejati 5 kasus, kejari 3 kasus, dan kecabjari 1 kasus. Indikator ini telah dipadukan dengan 11 indikator lain dan ditetapkan di Ciloto 7 Desember 2005 dan telah dibakukan dengan Surat Jampidus No. B-11/FD/F.1/02/2006 tertanggal 10 Februari 2006.
Di Ende, jangankan tiga kasus, satu saja tidak. Dalam Catatan Akhir Tahun 2008 PIAR NTT, Kejari Ende satu dari empat kejari di NTT yang belum sekali pun membawa perkara korupsi ke pengadilan. Banyak kasus berulang tahun di kejaksaan. Tahun ini, kasus PDAM “merayakan” ultah keenam.
Buruknya kinerja, gemanya ke Jakarta. Tahun 2008, Kajari Ende Marangin Butar Butar bersama 24 kajari di Indonesia dicopot dan ditarik ke Kejagung untuk diberi pembinaan khusus. Pencopotan tertuang dalam Surat Keputusan Jaksa Agung Hendarman Supandji Nomor Kep.045/A/JA/ 06/ 2008 tanggal 3 Juni 2008.
Marangin Butar Butar diganti oleh Marihot Silalahi. Hasilnya? Belum kelihatan. Belum senyata kinerja Kajari Ruteng Timbul Tamba. Di Ende, baru satu kasus yang menyeret pejabat publik ke persidangan. Itu pun bukan kasus korupsi. Cuma perbuatan tak menyenangkan oleh mantan sekda Iskandar Mberu terhadap anggota DPRD Heribertus Gani. Kapan kasus ‘berat’ korupsi?
Kita tunggu sambil menuntut: secepatnya! Jangan biarkan kasus berultah di kejaksaan. Timbul Tamba bisa. Kenapa Marihot Silalahi tidak?
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 23 Mei 2009
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus korupsi,
kejari
21 Mei 2009
UU Rabun, Semua Rabun
Kasus Tindak Pidana Pemilu 2009 di Ngada
Oleh Frans Anggal
Di Ngada, Kecamatan Soa, Desa Tarawaja, TPS 4, Pemilu 2009 membawa bencana bagi ketua KPPS dan ketua panwaslu. Vinsen A Ligo dan Maksimus Adam divonis 16 bulan penjara dan denda Rp12 juta subsider 4 bulan oleh PN Bajawa. Keduanya bersalah bersama-sama dengan sengaja menyebabkan hilangnya hak pilih pemilih dalam Pemilu 9 April 2009.
Pemilih yang dirujuk putusan ini, Bernadus Gili dan Nikolaus Liu. Niko tunanetra. Sedangkan Bernadus Gili buta huruf, mata rabun, dan lanjut usia. Menurut UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, pasal 156, pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih.
Kata hakim, keinginan kedua pemilih untuk didampingi tidak diakomodasi KPPS dan panwaslu. Ini mengakibatkan hak pilih mereka hilang. Menurut pasal 260 UU Pemilu, setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp12 juta dan paling banyak Rp24 juta.
KPUD Ngada menilai putusan ini kontroversial. Pertama, yang boleh dibantu hanya pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain. Yang dimaksudkan halangan fisik lain adalah sakit yang menyebabkan tangan tak bisa mencontreng. Buta aksara dan mata rabun tidak termasuk. Kedua, bantuan diberikan sejauh diminta si pemilih. Kedua pemilih justru tidak meminta.
Kedua terdakwa sudah menyatakan naik banding ke PT Kupang. Jaksa juga begitu. Kini tinggal menunggu putusan. Putusan PT bersifat final. Tak ada lagi peluang upaya hukum lebih tinggi. Oleh karena itu, putusan final diharapkan adil.
Terlepas dari siapa benar dan siapa salah, rumusan pasal 156 memang bermasalah. Di satu sisi, terlalu sempit, karena hanya mempersyaratkan halangan fisik. Bagaimana dengan buta aksara (buta huruf) yang jelas-jelas bukan halangan fisik tapi menjadi halangan saat memilih? Karena rumusan sempit atau tidak akomodatif itu, UU Pemilu sendiri sudah berpeluang menghilangkan hak pilih warga.
Di sisi lain, rumusan pasal 156 juga kabur. Frasa “halangan fisik lain”, misalnya. Apa persisnya? Apakah rabun juga termasuk? Dalam bagian penjelasan, tentang pasal ini dinyatakan “sudah jelas”. Padahal, tidak jelas. Diharapkan, dijelaskan dalam Peraturan KPU No 3 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS. Eh, tidak juga. Frasa “halangan fisik lain” malah diulang-ulang lagi, tanpa diuraikan persisnya apa. Ini menimbulkan beragam tafsir. Biang keroknya, UU itu sendiri. Rabun. Kabur.
Nah. Kasus tindak pidana pemilu di atas berakar juga dari kerabunan UU ini. UU rabun, semuanya ikut rabun. KPUD, panswalu, jaksa, hakim. Putusan final PT Kupang perlu mempertimbangkan kerabunan ini.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 22 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Di Ngada, Kecamatan Soa, Desa Tarawaja, TPS 4, Pemilu 2009 membawa bencana bagi ketua KPPS dan ketua panwaslu. Vinsen A Ligo dan Maksimus Adam divonis 16 bulan penjara dan denda Rp12 juta subsider 4 bulan oleh PN Bajawa. Keduanya bersalah bersama-sama dengan sengaja menyebabkan hilangnya hak pilih pemilih dalam Pemilu 9 April 2009.
Pemilih yang dirujuk putusan ini, Bernadus Gili dan Nikolaus Liu. Niko tunanetra. Sedangkan Bernadus Gili buta huruf, mata rabun, dan lanjut usia. Menurut UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, pasal 156, pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih.
Kata hakim, keinginan kedua pemilih untuk didampingi tidak diakomodasi KPPS dan panwaslu. Ini mengakibatkan hak pilih mereka hilang. Menurut pasal 260 UU Pemilu, setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp12 juta dan paling banyak Rp24 juta.
KPUD Ngada menilai putusan ini kontroversial. Pertama, yang boleh dibantu hanya pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain. Yang dimaksudkan halangan fisik lain adalah sakit yang menyebabkan tangan tak bisa mencontreng. Buta aksara dan mata rabun tidak termasuk. Kedua, bantuan diberikan sejauh diminta si pemilih. Kedua pemilih justru tidak meminta.
Kedua terdakwa sudah menyatakan naik banding ke PT Kupang. Jaksa juga begitu. Kini tinggal menunggu putusan. Putusan PT bersifat final. Tak ada lagi peluang upaya hukum lebih tinggi. Oleh karena itu, putusan final diharapkan adil.
Terlepas dari siapa benar dan siapa salah, rumusan pasal 156 memang bermasalah. Di satu sisi, terlalu sempit, karena hanya mempersyaratkan halangan fisik. Bagaimana dengan buta aksara (buta huruf) yang jelas-jelas bukan halangan fisik tapi menjadi halangan saat memilih? Karena rumusan sempit atau tidak akomodatif itu, UU Pemilu sendiri sudah berpeluang menghilangkan hak pilih warga.
Di sisi lain, rumusan pasal 156 juga kabur. Frasa “halangan fisik lain”, misalnya. Apa persisnya? Apakah rabun juga termasuk? Dalam bagian penjelasan, tentang pasal ini dinyatakan “sudah jelas”. Padahal, tidak jelas. Diharapkan, dijelaskan dalam Peraturan KPU No 3 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS. Eh, tidak juga. Frasa “halangan fisik lain” malah diulang-ulang lagi, tanpa diuraikan persisnya apa. Ini menimbulkan beragam tafsir. Biang keroknya, UU itu sendiri. Rabun. Kabur.
Nah. Kasus tindak pidana pemilu di atas berakar juga dari kerabunan UU ini. UU rabun, semuanya ikut rabun. KPUD, panswalu, jaksa, hakim. Putusan final PT Kupang perlu mempertimbangkan kerabunan ini.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 22 Mei 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
ngada,
pemilu 2009,
tindak pidana pemilu 2009
19 Mei 2009
Sikka, Perjalanan Dinas Itu
91 Perjalanan Dinas Bupati-Wabup Telan Rp1,4 Milar
Oleh Frans Anggal
Forum Masyarakat Sikka Menggugat mempertanyakan biaya perjalanan dinas bupati dan wabup Sikka selama 2008 dan 2009. Untuk 91 kali perjalanan di dalam dan keluar daerah, mereka habiskan Rp1,4 miliar. Forum sudah melapor ke Kejari Maumere, 3 April 2009. Saat ditanyakan tindak lanjutnya, kejari mengatakan sedang melakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket). Mesti ada bukti awal yang cukup sebelum sebuah dugaan korupsi mulai diproses hukum. Kejari meminta forum membantu dengan pelbagai data. Forum siap.
Sebaiknya kita tidak keburu nafsu menduga ini tindak pidana korupsi. Awas, bisa stres bodoh-bodoh. Dulu, mungkin. Sekarang, sulit. Terutama sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam putusannya, MK menyatakan perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi harus memenuhi delik formil. Artinya, hanya menyangkut perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan tertulis, seperti UU. Ketentuan tidak tertulis seperti asas kepatutan, rasa keadilan di masyarakat, dan norma kehidupan sosial lainnya (delik materiil) tidak diperhitungan lagi.
Nah. Andaikata benar bupati-wabup Sikka habiskan Rp1,4 miliar untuk 91 kali perjalanan dinas, pertanyaan kita: korupsikah mereka? Belum tentu! Kalau tak satu pun peraturan tertulis yang mereka langgar (delik formil), mereka luput. Sekarang ini, untuk buktikan seseorang melakukan korupsi, harus dibuktikan terlebih dahulu apakah perbuatannya bertentangan dengan UU. Kalau tak ada UU-nya, ya luput bulat-bulat. Perjalanan dinas, kan tidak ada ketentuan tertulisnya soal batas maksimal berapa kali, berapa jauh, berapa lama, dan berapa duit boleh dihabiskan. Ukur kuat juga boleh.
Begitulah jadinya ketika korupsi direduksi ke delik formil semata. Tidak heran, perjalanan dinas menjadi modus korupsi paling laris dan paling telanjang. Memanipulasinya gampang. Peluang luputnya besar. Maka ramai-ramailah pejabat melakukannya. Ada yang saking rajinnya, jumlah hari perjalanan dinas setahunnya melebihi jumlah hari dalam setahun itu.
Perjalanan dinas bupati-wabup Sikka tidak sebanyak itu. Tapi, menghabiskan Rp1,4 miliar. Kalau benar seperti dilaporkan Forum Masyarakat Sikka Menggugat, kita tercengang. Dirata-ratakan, satu kali jalan habiskan Rp153 juta. Hebat. Seakan-akan ke luar negeri, naik pesawat kelas eksekutif, tidur di hotel bintang tujuh, makan di restoran mahal, belanja barang mewah, dst.
Kalau benar seperti dilaporkan, kita kecewa. Bupati-wabup sudah jauh dan semakin jauh dari Sikka miskin yang saat kelaparan sebagian warganya lari ke hutan mencari ubi hutan, magar. Bupati-wabup ini dikenal, dan mungkin karena itu juga dipilih, karena motonya: “Membangun dari Desa”. Kita khawatir, moto itu perlahan-lahan tegelincir sesat: “Membangun dari Dosa”.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 20 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Forum Masyarakat Sikka Menggugat mempertanyakan biaya perjalanan dinas bupati dan wabup Sikka selama 2008 dan 2009. Untuk 91 kali perjalanan di dalam dan keluar daerah, mereka habiskan Rp1,4 miliar. Forum sudah melapor ke Kejari Maumere, 3 April 2009. Saat ditanyakan tindak lanjutnya, kejari mengatakan sedang melakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket). Mesti ada bukti awal yang cukup sebelum sebuah dugaan korupsi mulai diproses hukum. Kejari meminta forum membantu dengan pelbagai data. Forum siap.
Sebaiknya kita tidak keburu nafsu menduga ini tindak pidana korupsi. Awas, bisa stres bodoh-bodoh. Dulu, mungkin. Sekarang, sulit. Terutama sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam putusannya, MK menyatakan perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi harus memenuhi delik formil. Artinya, hanya menyangkut perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan tertulis, seperti UU. Ketentuan tidak tertulis seperti asas kepatutan, rasa keadilan di masyarakat, dan norma kehidupan sosial lainnya (delik materiil) tidak diperhitungan lagi.
Nah. Andaikata benar bupati-wabup Sikka habiskan Rp1,4 miliar untuk 91 kali perjalanan dinas, pertanyaan kita: korupsikah mereka? Belum tentu! Kalau tak satu pun peraturan tertulis yang mereka langgar (delik formil), mereka luput. Sekarang ini, untuk buktikan seseorang melakukan korupsi, harus dibuktikan terlebih dahulu apakah perbuatannya bertentangan dengan UU. Kalau tak ada UU-nya, ya luput bulat-bulat. Perjalanan dinas, kan tidak ada ketentuan tertulisnya soal batas maksimal berapa kali, berapa jauh, berapa lama, dan berapa duit boleh dihabiskan. Ukur kuat juga boleh.
Begitulah jadinya ketika korupsi direduksi ke delik formil semata. Tidak heran, perjalanan dinas menjadi modus korupsi paling laris dan paling telanjang. Memanipulasinya gampang. Peluang luputnya besar. Maka ramai-ramailah pejabat melakukannya. Ada yang saking rajinnya, jumlah hari perjalanan dinas setahunnya melebihi jumlah hari dalam setahun itu.
Perjalanan dinas bupati-wabup Sikka tidak sebanyak itu. Tapi, menghabiskan Rp1,4 miliar. Kalau benar seperti dilaporkan Forum Masyarakat Sikka Menggugat, kita tercengang. Dirata-ratakan, satu kali jalan habiskan Rp153 juta. Hebat. Seakan-akan ke luar negeri, naik pesawat kelas eksekutif, tidur di hotel bintang tujuh, makan di restoran mahal, belanja barang mewah, dst.
Kalau benar seperti dilaporkan, kita kecewa. Bupati-wabup sudah jauh dan semakin jauh dari Sikka miskin yang saat kelaparan sebagian warganya lari ke hutan mencari ubi hutan, magar. Bupati-wabup ini dikenal, dan mungkin karena itu juga dipilih, karena motonya: “Membangun dari Desa”. Kita khawatir, moto itu perlahan-lahan tegelincir sesat: “Membangun dari Dosa”.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 20 Mei 2009
PLN, Penyakit Padam Kaget
Memburuknya Pelayanan PLN Flores Bagian Barat
Oleh Frans Anggal
Masyarakat kota Ende mengeluh. Akhir-akhir ini listrik PLN padam sembarang waktu. Tanpa pemberitahuan pula. Satu hari bisa sampai dua kali. Kebiasaan buruk ini mengingkari janji PLN sendiri.
Masyarakat masih ingat janji-janji yang dilontarkan. Januari-Maret 2009 pemadaman bergilir. Alasannya, daya mesin terbatas. Pelanggan mengerti. April dijanjikan beres.Pelanggan percaya. Nyatanya? April lewat, Mei mau habis, janji belum terpenuhi. Malah semakin memburuk saja. Dulu, pemadamannya terjadwal dan selalu diumumkan. Dengan begitu, konsumen bisa melakukan antisipasi dan penyesuaian. Sekarang, penyakit baru: padam kaget, nyala kaget, tanpa pengumuman, tanpa permohonan maaf.
Cara seperti ini memberi kesan PLN tidak menghargai konsumen dan tidak memperhitungkan kerugian yang ditanggung konsumen. Sulit dipercaya, PT PLN (Persero) yang mengenal ‘budaya perusahaan yang baik’ (good corporate culture) bisa memperlakukan konsumen seperti ini.
Ini baru soal cara. Belum lagi kalau kita menghitung semua kerugian materiil dan imateriil yang ditimbulkannya. Kalau dirupiahkan, tidak sedikit. Pertanyaan kita: bersediakah PLN mengganti semua kerugian itu? Semestinya iya dan harus, demi asas keadilan. Bandingkan ketika PLN dirugikan oleh konsumen. Ketika pelanggan terlambat membayar rekening listrik, misalnya.
Simak diktum di balik rekening itu. PLN berhak memutus sementara listrik apabila pelanggan belum melunasi rekening dalam jangka waktu yang ditentukan. Pelanggan yang terlambat membayar dikenakan denda sesuai dengan golongan tarif. Penyambungan kembali akan dilakukan apabila pelanggan telah melunasi rekening ditambah denda. Apabila dalam 60 hari sejak pemutusan sementara pelanggan belum juga membayar maka PLN berhak memutus rampung dengan mengambil sebagian atau seluruh instalasi PLN. Penyambungan kembali diperlakukan sebagai penyambungan baru, dan peminta wajib melunasi tunggakan dan tagihan susulan (bila ada).
Sanksinya jelas, tegas. Tapi, sepihak. Dalam diktum ini tak ada kesejajaran dan keseimbangan hak dan kewajiban antara PLN selaku produsen dan pelanggan selaku konsumen. PLN memosisikan diri hanya sebagai pemegang hak, sedangkan pelanggan hanya sebagai pengemban kewajiban. PLN punya hak, tanpa kewajiban. Pelanggan punya kewajiban, tanpa hak. Ini tidak adil.
Meski begitu, konsumen sabaaar melulu. Mungkin karena itu, PLN lupa daratan. Padam sembarang waktu, tanpa jadwal, tanpa pemberitahuan, tanpa permohonan maaf. Sadarkah, pelanggan juga bisa bersikap lain? Misalnya, demo dan mogok massal bayar rekening sampai tuntutan ganti rugi terpenuhi?
Kita mendesak PLN segera berbenah. Kesabaran pelanggan ada batasnya. Kini mereka mulai mengeluh. Jangan tunggu cadangan kesabaran mereka habis.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 19 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Masyarakat kota Ende mengeluh. Akhir-akhir ini listrik PLN padam sembarang waktu. Tanpa pemberitahuan pula. Satu hari bisa sampai dua kali. Kebiasaan buruk ini mengingkari janji PLN sendiri.
Masyarakat masih ingat janji-janji yang dilontarkan. Januari-Maret 2009 pemadaman bergilir. Alasannya, daya mesin terbatas. Pelanggan mengerti. April dijanjikan beres.Pelanggan percaya. Nyatanya? April lewat, Mei mau habis, janji belum terpenuhi. Malah semakin memburuk saja. Dulu, pemadamannya terjadwal dan selalu diumumkan. Dengan begitu, konsumen bisa melakukan antisipasi dan penyesuaian. Sekarang, penyakit baru: padam kaget, nyala kaget, tanpa pengumuman, tanpa permohonan maaf.
Cara seperti ini memberi kesan PLN tidak menghargai konsumen dan tidak memperhitungkan kerugian yang ditanggung konsumen. Sulit dipercaya, PT PLN (Persero) yang mengenal ‘budaya perusahaan yang baik’ (good corporate culture) bisa memperlakukan konsumen seperti ini.
Ini baru soal cara. Belum lagi kalau kita menghitung semua kerugian materiil dan imateriil yang ditimbulkannya. Kalau dirupiahkan, tidak sedikit. Pertanyaan kita: bersediakah PLN mengganti semua kerugian itu? Semestinya iya dan harus, demi asas keadilan. Bandingkan ketika PLN dirugikan oleh konsumen. Ketika pelanggan terlambat membayar rekening listrik, misalnya.
Simak diktum di balik rekening itu. PLN berhak memutus sementara listrik apabila pelanggan belum melunasi rekening dalam jangka waktu yang ditentukan. Pelanggan yang terlambat membayar dikenakan denda sesuai dengan golongan tarif. Penyambungan kembali akan dilakukan apabila pelanggan telah melunasi rekening ditambah denda. Apabila dalam 60 hari sejak pemutusan sementara pelanggan belum juga membayar maka PLN berhak memutus rampung dengan mengambil sebagian atau seluruh instalasi PLN. Penyambungan kembali diperlakukan sebagai penyambungan baru, dan peminta wajib melunasi tunggakan dan tagihan susulan (bila ada).
Sanksinya jelas, tegas. Tapi, sepihak. Dalam diktum ini tak ada kesejajaran dan keseimbangan hak dan kewajiban antara PLN selaku produsen dan pelanggan selaku konsumen. PLN memosisikan diri hanya sebagai pemegang hak, sedangkan pelanggan hanya sebagai pengemban kewajiban. PLN punya hak, tanpa kewajiban. Pelanggan punya kewajiban, tanpa hak. Ini tidak adil.
Meski begitu, konsumen sabaaar melulu. Mungkin karena itu, PLN lupa daratan. Padam sembarang waktu, tanpa jadwal, tanpa pemberitahuan, tanpa permohonan maaf. Sadarkah, pelanggan juga bisa bersikap lain? Misalnya, demo dan mogok massal bayar rekening sampai tuntutan ganti rugi terpenuhi?
Kita mendesak PLN segera berbenah. Kesabaran pelanggan ada batasnya. Kini mereka mulai mengeluh. Jangan tunggu cadangan kesabaran mereka habis.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 19 Mei 2009
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
pln flores bagian barat
Flotim, BBM Gayung Blik
Pelayanan BBM di APMS Waiwerang
Oleh Frans Anggal
Masyarakat Adonara mengadu ke Disperindag Flotim. Mereka dirugikan oleh cara takar BBM di Agen Premium Minyak Tanah dan Solar (APMS) Waiwerang. Agen gunakan alat manual, gayung blik. Tidak tepat takar. Beli 10 liter, susut 1 liter. Cara ini sudah berlangsung sejak 1980-an. Begitu ada pengaduan, barulah agen mulai mengusahakan alat ukur modern. Alat itu sendri belum tiba.
Susut 1 liter per 10 liter itu tidak sedikit. Aturan batas toleransinya hanya 5 persen. Di APMS Waiwerang, penyusutannya dua kali lipat. Agen untung, masyarakat buntung. Sudah puluhan tahun, koq sekarang baru mengadu?
Masyarakat masih sederhana. Belum tahu betul hak-haknya sebagai konsumen. Padahal, kita sudah punya UUPerlindungan Konsumen, 1999. Sebelum itu, 1981, sudah ada UU Metrologi Legal yang mengatur hal-hal berkaitan dengan ukuran, timbangan, takaran, dan pelengkapan (UTTP). Satuan metrik UTTP sendiri sudah diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1938. Sistem satuan ini menggantikan sistem satuan tradisional seperti elo, kati, kaki, dsb. Sedangkan istilah metrologi lahir seabad sebelumnya, 20 Mei 1875, di Paris, Prancis, ketika utusan 17 negara menandatangani Konvensi Meter.
Di Waiwerang? Sudah tahun 2009, abad 21, satuan metriknya masih abad 19. Tertinggal dua abad. Agen jual BBM pakai gayung blik. Kalau itu minyak tanah maka dari agen mampir dulu ke distributor, dan di tangan distributor alat takarnya lain lagi, pakai botol. Volumenya pun tambah susut. Sedangkan harganya tetap, malah naik, mahal. Sudah mahal, langka pula. Kasihan masyarakat. Perdagangan adil (fair trade) masih sebatas mimpi.
Apa saja kerjanya pemkab sampai ketidakadilan ini tetap berlangsung puluhan tahun? Apa pula kerjanya bidang metrologi dan perlindungan konsumen? Sepertinya tidak baca UU. Baik UU No 2 Thn 1981 tentang Metrologi Legal maupun UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
UU Metrologi Legal pasal 30 menegaskan, dilarang menjual, menawarkan untuk dibeli atau memperdagangkan dengan cara apa pun juga semua barang menurut ukuran, takaran, timbangan, atau jumlah selain menurut ukuran yang sebenarnya, isi bersih, berat, atau jumlah yang sebenarnya. UU Perlindungan Konsumen pasal 8 ayat 1c menandasakan, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya. Jika melanggar dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.
Hebatnya, nama dua UU ini diambil lurus-lurus menjadi nama bidang yang dibawahkan oleh Disperindag Flotim: Bidang Metrologi dan Perlindungan Konsumen. Nama mentereng. Hasilnya? Alat takar BBM di APMS Waiwerang masih pakai gayung blik. Konsumen pun tidak dilindungi.
Masyarakat Waiwerang sudah mengadu. Disperindag, bangunlah!
“Bentara” FLORES POS, Senin 18 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Masyarakat Adonara mengadu ke Disperindag Flotim. Mereka dirugikan oleh cara takar BBM di Agen Premium Minyak Tanah dan Solar (APMS) Waiwerang. Agen gunakan alat manual, gayung blik. Tidak tepat takar. Beli 10 liter, susut 1 liter. Cara ini sudah berlangsung sejak 1980-an. Begitu ada pengaduan, barulah agen mulai mengusahakan alat ukur modern. Alat itu sendri belum tiba.
Susut 1 liter per 10 liter itu tidak sedikit. Aturan batas toleransinya hanya 5 persen. Di APMS Waiwerang, penyusutannya dua kali lipat. Agen untung, masyarakat buntung. Sudah puluhan tahun, koq sekarang baru mengadu?
Masyarakat masih sederhana. Belum tahu betul hak-haknya sebagai konsumen. Padahal, kita sudah punya UUPerlindungan Konsumen, 1999. Sebelum itu, 1981, sudah ada UU Metrologi Legal yang mengatur hal-hal berkaitan dengan ukuran, timbangan, takaran, dan pelengkapan (UTTP). Satuan metrik UTTP sendiri sudah diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1938. Sistem satuan ini menggantikan sistem satuan tradisional seperti elo, kati, kaki, dsb. Sedangkan istilah metrologi lahir seabad sebelumnya, 20 Mei 1875, di Paris, Prancis, ketika utusan 17 negara menandatangani Konvensi Meter.
Di Waiwerang? Sudah tahun 2009, abad 21, satuan metriknya masih abad 19. Tertinggal dua abad. Agen jual BBM pakai gayung blik. Kalau itu minyak tanah maka dari agen mampir dulu ke distributor, dan di tangan distributor alat takarnya lain lagi, pakai botol. Volumenya pun tambah susut. Sedangkan harganya tetap, malah naik, mahal. Sudah mahal, langka pula. Kasihan masyarakat. Perdagangan adil (fair trade) masih sebatas mimpi.
Apa saja kerjanya pemkab sampai ketidakadilan ini tetap berlangsung puluhan tahun? Apa pula kerjanya bidang metrologi dan perlindungan konsumen? Sepertinya tidak baca UU. Baik UU No 2 Thn 1981 tentang Metrologi Legal maupun UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
UU Metrologi Legal pasal 30 menegaskan, dilarang menjual, menawarkan untuk dibeli atau memperdagangkan dengan cara apa pun juga semua barang menurut ukuran, takaran, timbangan, atau jumlah selain menurut ukuran yang sebenarnya, isi bersih, berat, atau jumlah yang sebenarnya. UU Perlindungan Konsumen pasal 8 ayat 1c menandasakan, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya. Jika melanggar dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.
Hebatnya, nama dua UU ini diambil lurus-lurus menjadi nama bidang yang dibawahkan oleh Disperindag Flotim: Bidang Metrologi dan Perlindungan Konsumen. Nama mentereng. Hasilnya? Alat takar BBM di APMS Waiwerang masih pakai gayung blik. Konsumen pun tidak dilindungi.
Masyarakat Waiwerang sudah mengadu. Disperindag, bangunlah!
“Bentara” FLORES POS, Senin 18 Mei 2009
Label:
apms waiwerang,
bentara,
ekonomi,
flores,
flores pos,
flotim,
pelayanan bbm
15 Mei 2009
Mabar, Proyek Siluman
Pengadaan Bibit Tanaman dan Ternak Rp1,1 Milaar
Oleh Frans Anggal
Sebuah kejutan dari Mabar. Dalam sidang DPRD di Labuan Bajo, Rabu 13 Mei 2009, tim monitoring melaporkan, 4 dari 7 proyek Dinas Tanaman Pangan, Perkebunan, dan Peternakan (TP3) di Kecamatan Boleng TA 2008 adalah proyek siluman. Pengadaan bibit unggul mangga okulasi Rp225 juta. Pengadaan bibit cengkeh Rp172,6 juta. Pengadaan bibit ternak sapi Rp600 juta. Pengadaan bibit rambutan okulasi Rp150 juta. Total Rp1.147.600.000.
Kalau hasil monitoring itu benar, ini mengerikan. Satu miliar lebih habis tanpa bekas untuk sesuatu yang tidak ada.
Menarik. Empat proyek itu pakai nama yang sama: “proyek pengadaan bibit”. Bibit mangga, cengkeh, rambutan, sapi. Namanya juga bibit, seperti halnya bayi, rentan. Rentan terhadap penyakit, cuaca, iklim, perusakan, dll. Boleh jadi, oleh berbagai sebab itu, semua bibit ini sudah mati sehingga ketika tim DPRD ke lokasi, tak satu pun yang bisa ditemukan.
Soal bibit, bandingkan dengan proyek aldira yang bikin mantan kepala dinas TP3 Mabar jadi tersangka dan masuk tahanan. Kasus aldira itu kan soal bibit juga. Jauh-jauh dari Jawa, sebagiannya rusak di jalan. Sebagian lainnya mati setelah ditanam akibat panjangnya kemarau dan rakusnya ternak. Kasihan iklim dan ternak, dijadikan kambing hitam. Tapi jaksa toh tidak bodoh menjadikan iklim dan ternak sebagai tersangka. Tetap saja manusianya, pimpronya.
Pada banyak kasus, yang namanya proyek pengadana barang dan jasa, termasuk proyek pengadaan bibit, rentan terhadap korupsi. Modusnya macam-macam. Di antaranya, pengusaha menyogok pejabat daerah agar menang tender atau ditunjuk langsung dan harga barang dinaikkan. Panitia pengadaan bentukan pemda membuat spesifikasi barang yang mengarah pada merek produk atau spesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanan tertentu serta melakukan penggelembungan harga barang dan nilai kontrak. Pejabat, keluarga, ataupun kelompoknya membeli lebih dulu barang dengan harga murah untuk kemudian dijual kembali ke pemda dengan harga yang sudah digelembungkan. Banyak lagi modus lain. KPK mengidentifikasi 18 modus korupsi oleh pemerintah. Belum yang dilakukan DPR(D) dengan korupsi berjemaahnya.
Dari modusnya, kalau laporan tim DPRD itu benar, empat kasus terbaru dinas TP3 Mabar sungguh luar biasa. Kasus aldira kalah jauh. Dalam kasus aldira, barangnya berupa bibit atau setek ubi terbukti ada dan ditanam. Dalam empat kasus terbaru, tak ada satu pun. Ini mengerikan.
Perlu diselidiki. Apakah bibit mangga, cengkeh, rambutan, dan sapi itu pernah ada lalu mati seperti kisah adira? Ataukah memang tidak pernah ada? Itu berarti, modusnya: pejabat memerintahkan bawahan mencairkan dan menggunakan anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian membuat laporan pertangungjawaban fiktif. Proyek siluman!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 16 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Sebuah kejutan dari Mabar. Dalam sidang DPRD di Labuan Bajo, Rabu 13 Mei 2009, tim monitoring melaporkan, 4 dari 7 proyek Dinas Tanaman Pangan, Perkebunan, dan Peternakan (TP3) di Kecamatan Boleng TA 2008 adalah proyek siluman. Pengadaan bibit unggul mangga okulasi Rp225 juta. Pengadaan bibit cengkeh Rp172,6 juta. Pengadaan bibit ternak sapi Rp600 juta. Pengadaan bibit rambutan okulasi Rp150 juta. Total Rp1.147.600.000.
Kalau hasil monitoring itu benar, ini mengerikan. Satu miliar lebih habis tanpa bekas untuk sesuatu yang tidak ada.
Menarik. Empat proyek itu pakai nama yang sama: “proyek pengadaan bibit”. Bibit mangga, cengkeh, rambutan, sapi. Namanya juga bibit, seperti halnya bayi, rentan. Rentan terhadap penyakit, cuaca, iklim, perusakan, dll. Boleh jadi, oleh berbagai sebab itu, semua bibit ini sudah mati sehingga ketika tim DPRD ke lokasi, tak satu pun yang bisa ditemukan.
Soal bibit, bandingkan dengan proyek aldira yang bikin mantan kepala dinas TP3 Mabar jadi tersangka dan masuk tahanan. Kasus aldira itu kan soal bibit juga. Jauh-jauh dari Jawa, sebagiannya rusak di jalan. Sebagian lainnya mati setelah ditanam akibat panjangnya kemarau dan rakusnya ternak. Kasihan iklim dan ternak, dijadikan kambing hitam. Tapi jaksa toh tidak bodoh menjadikan iklim dan ternak sebagai tersangka. Tetap saja manusianya, pimpronya.
Pada banyak kasus, yang namanya proyek pengadana barang dan jasa, termasuk proyek pengadaan bibit, rentan terhadap korupsi. Modusnya macam-macam. Di antaranya, pengusaha menyogok pejabat daerah agar menang tender atau ditunjuk langsung dan harga barang dinaikkan. Panitia pengadaan bentukan pemda membuat spesifikasi barang yang mengarah pada merek produk atau spesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanan tertentu serta melakukan penggelembungan harga barang dan nilai kontrak. Pejabat, keluarga, ataupun kelompoknya membeli lebih dulu barang dengan harga murah untuk kemudian dijual kembali ke pemda dengan harga yang sudah digelembungkan. Banyak lagi modus lain. KPK mengidentifikasi 18 modus korupsi oleh pemerintah. Belum yang dilakukan DPR(D) dengan korupsi berjemaahnya.
Dari modusnya, kalau laporan tim DPRD itu benar, empat kasus terbaru dinas TP3 Mabar sungguh luar biasa. Kasus aldira kalah jauh. Dalam kasus aldira, barangnya berupa bibit atau setek ubi terbukti ada dan ditanam. Dalam empat kasus terbaru, tak ada satu pun. Ini mengerikan.
Perlu diselidiki. Apakah bibit mangga, cengkeh, rambutan, dan sapi itu pernah ada lalu mati seperti kisah adira? Ataukah memang tidak pernah ada? Itu berarti, modusnya: pejabat memerintahkan bawahan mencairkan dan menggunakan anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian membuat laporan pertangungjawaban fiktif. Proyek siluman!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 16 Mei 2009
Polres Lembata: Komit atau Cuma Komat-kamit?
Ketika Polisi Memukul Pegawai PLN
Oleh Frans Anggal
Seorang pegawai PLN Ranting Lewoleba Damianus Wadan dipukul aparat Polres Lembata Aiptu Kons Pole dan anaknya karena hendak membongkar Kwh meter di kediaman pelaku, 25 Meret 2009. Pembongkaran dilakukan karena pelanggan menunggak rekening empat bulan. Ini pembongkaran sementara. Bisa dipasang lagi kalau lunas dalam 60 hari. Kalau tidak, meteran dicabut terus. Untuk pasang kembali, harus ikut aturan pemasangan baru.
Reaksi sang polisi berbeda dengan pelanggan lain. Dua pelanggan, meterannya tak jadi dibongkar karena bayar lunas saat itu juga. Sedangkan satu pelanggan, karena tetap belum bayar, meterannya dibongkar. Aman. Tidak demikian dengan si polisi. Sudah tidak bayar, dia pukul lagi petugas. Anaknya ikut ‘membantu’, melemparkan pot bunga ke wajah korban hingga hidungnya luka berdarah.
Kasus ini sudah dilaporkan ke Polres Lembata. Hari itu juga rumah sakit mengambil visum. Korban pun sudah dimintai keterangan. Juga para saksi. Tapi, satu setengah bulan berlalu, kelanjutannya tidak ada. Ketika korban mengadu ke wartawan dan wartawan melakukan kroscek ke polres, baru mulai tanda-tanda kelanjutan. “Kita tetap komit untuk teruskan kasus ini,” kata Kasat Reskrim AKP Gede Putra Yase. Komit?
Kata Inggris commitment yang kemudian diindonesikan menjadi “komitmen” mengandung dua makna yang saling terkait. Janji dan tanggung jawab. Dimaknakan lebih khusus, komitmen itu janji yang harus disertai tanggung jawab. Janji yang harus ditepati. Bukan janji bohong. Luar biasa itu kasat reskrim, pakai kata sedahsyat ini sebagai ucapan bibir. Tindakan nyatanya?
Kalau benar komit, jangan tunggu pelapor mengeluh dan ribut di korban dulu baru bergegas. Polri sudah canangkan empat program unggulan Quick Wins. Salah satunya, transparansi penyidikan melalui SP2HP (surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan). SP2HP disampaikan kepada pelapor setiap lima belas hari. Penyidikan tak boleh ditunda-tunda. Kasus mudah harus selesai dalam 30 hari, kasus sedang 60 hari, kasus sulit (mungkin tersangkanya belum diketahui) 90 hari, dan kasus sangat sulit 120 hari.
Pemukulan pegawai PLN oleh aparat Polres Lembata itu kasus mudah. Semestinya dalam 30 hari, penyidikannya selesai dan berkasnya sudah dilimpahkan ke kejaksaan. Nyatanya? Jangankan selesai, tanda-tanda awal penyidikan saja tidak jelas. Apalagi SP2HP yang wajib disampaikan kepada pelapor setiap 15 hari. Ditunggu sampai ngantuk-ngantuk, tidak muncul-muncul. Untung korban ada akal mengeluh ke wartawan. Kalau tidak? Kasus ini bisa berulang tahun di polres. Apalagi, yang dilaporkan adalah polisi. Melaporkan jeruk kepada jeruk.
Hebatnya, dalam carut-marut ini, kasat reskrim enteng berucap: tetap komit meneruskan kasus ini. Mau lihat. Benar komit atau cuma komat-kamit.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 15 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Seorang pegawai PLN Ranting Lewoleba Damianus Wadan dipukul aparat Polres Lembata Aiptu Kons Pole dan anaknya karena hendak membongkar Kwh meter di kediaman pelaku, 25 Meret 2009. Pembongkaran dilakukan karena pelanggan menunggak rekening empat bulan. Ini pembongkaran sementara. Bisa dipasang lagi kalau lunas dalam 60 hari. Kalau tidak, meteran dicabut terus. Untuk pasang kembali, harus ikut aturan pemasangan baru.
Reaksi sang polisi berbeda dengan pelanggan lain. Dua pelanggan, meterannya tak jadi dibongkar karena bayar lunas saat itu juga. Sedangkan satu pelanggan, karena tetap belum bayar, meterannya dibongkar. Aman. Tidak demikian dengan si polisi. Sudah tidak bayar, dia pukul lagi petugas. Anaknya ikut ‘membantu’, melemparkan pot bunga ke wajah korban hingga hidungnya luka berdarah.
Kasus ini sudah dilaporkan ke Polres Lembata. Hari itu juga rumah sakit mengambil visum. Korban pun sudah dimintai keterangan. Juga para saksi. Tapi, satu setengah bulan berlalu, kelanjutannya tidak ada. Ketika korban mengadu ke wartawan dan wartawan melakukan kroscek ke polres, baru mulai tanda-tanda kelanjutan. “Kita tetap komit untuk teruskan kasus ini,” kata Kasat Reskrim AKP Gede Putra Yase. Komit?
Kata Inggris commitment yang kemudian diindonesikan menjadi “komitmen” mengandung dua makna yang saling terkait. Janji dan tanggung jawab. Dimaknakan lebih khusus, komitmen itu janji yang harus disertai tanggung jawab. Janji yang harus ditepati. Bukan janji bohong. Luar biasa itu kasat reskrim, pakai kata sedahsyat ini sebagai ucapan bibir. Tindakan nyatanya?
Kalau benar komit, jangan tunggu pelapor mengeluh dan ribut di korban dulu baru bergegas. Polri sudah canangkan empat program unggulan Quick Wins. Salah satunya, transparansi penyidikan melalui SP2HP (surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan). SP2HP disampaikan kepada pelapor setiap lima belas hari. Penyidikan tak boleh ditunda-tunda. Kasus mudah harus selesai dalam 30 hari, kasus sedang 60 hari, kasus sulit (mungkin tersangkanya belum diketahui) 90 hari, dan kasus sangat sulit 120 hari.
Pemukulan pegawai PLN oleh aparat Polres Lembata itu kasus mudah. Semestinya dalam 30 hari, penyidikannya selesai dan berkasnya sudah dilimpahkan ke kejaksaan. Nyatanya? Jangankan selesai, tanda-tanda awal penyidikan saja tidak jelas. Apalagi SP2HP yang wajib disampaikan kepada pelapor setiap 15 hari. Ditunggu sampai ngantuk-ngantuk, tidak muncul-muncul. Untung korban ada akal mengeluh ke wartawan. Kalau tidak? Kasus ini bisa berulang tahun di polres. Apalagi, yang dilaporkan adalah polisi. Melaporkan jeruk kepada jeruk.
Hebatnya, dalam carut-marut ini, kasat reskrim enteng berucap: tetap komit meneruskan kasus ini. Mau lihat. Benar komit atau cuma komat-kamit.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 15 Mei 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
lembata,
polres lembata,
tindak kekerasan polisi
14 Mei 2009
Ongge 2 Tahun, Jafar 4 Tahun, Ada Apa?
Korupsi Dana Kesehatan DPRD Manggarai 2007
Oleh Frans Anggal
Namanya, dana kesehatan DPRD Manggarai, tahun 2007. Ujungnya, bukan bikin sehat, tapi bikin sakit. Sakit korupsi. Pesakitannya, Ketua DPRD John Ongge dan Kepala AJB Bumiputera Perwakilan Kupang Abdul Jafar. Mereka yang tanda tangan kontrak (MoU) memperuntukkan dana itu bagi kesehatan 40 anggota dewan. Para anggota dewan luput. Yang kena, yang tanda tangan kontrak, Ongge dan Jafar. Kontrak merugikan keuangan negara Rp380 juta. Maka, oleh jaksa, keduanya dituntut 4 tahun penjara. Namun oleh hakim, nasib keduanya dibikin beda. Ongge 2 tahun, Jafar 4 tahun.
Meski vonisnya lebih ringan 2 tahun, Ongge naik banding. Di mata jaksa sebaliknya, 2 tahun itu terlalu ringan. Maka jaksa juga naik banding. Kisah pun masih panjang. Ujungnya, nanti lihat. Yang jelas, putusan akhir tetap berada di tangan hakim, apakah di pengadilan tinggi ataukah di mahkamah agung.
Bedanya vonis untuk Ongge dan Jafar bikin masyarakat bertanya-tanya. Ini ada apa? Selaku mitra yang bertransaksi, Ongge dan Jafar itu setara. Sama-sama memiliki dan menggunakan kewenangan membuat kontrak. Sama-sama membubuhkan tanda tangan di atas kontrak. Sama-sama juga dituntut 4 tahun penjara oleh jaksa. Lalu, kenapa vonisnya bisa beda?
Dipandang dari pemanfaatan keuangan negara, tanggung jawab Ongge lebih besar ketimbang tanggung jawab Jafar. Yang secara langsung menggunakan uang negara adalah Ongge, bukan Jafar. Selaku pihak asuransi dalam transaksi ini, Jafar menerima uang itu sebagai uang nasabah. Meski bersumber dari kas negara, uang itu tidak dipandang sebagai uang negara, tapi uang nasabah. Jafar tidak berhubungan langsung dengan keuangan negara. Yang berhubungan langsung adalah Ongge. Bahwa kemudian kontrak dan transaksi antar-keduanya merugikan keuangan negara, keduanya sama-sama bertanggung jawab, namun beban tanggung jawabnya berbeda. Ongge selaku pihak yang secara langsung mengggunakan keuangan negara lebih besar tangggung jawabnya. Maka, menjadi pertanyaan: mengapa hukuman bagi yang lebih besar tangggung jawabnya ini justru lebih ringan?
Hakim pasti mempunyai banyak pertimbangan. Pertimbangan objektif dan pertimbangan subjektif. Pertimbangan objektif berkenaan dengan hukum dan perundang-undangan: sah atau tidaknya dakwaan jaksa. Sedangkan pertimbangan subjektif berkenan dengan hati nuraninya sendiri: meyakinkan atau tidaknya dakwaan itu. Karena itu, dalam amar putusan sebelum menjatuhkan vonis, hakim selalu berucap dengan formula ini: “Terbukti secara sah dan meyakinkan”.
Pertanyaan kita: apa dasar keabsahan putusan dan dasar keyakinan hakim sampai vonisnya bisa jungkir balik seperti ini? Konkretnya: kenapa Ongge-nya cuma 2 tahun, sedangkan Jafar-nya tetap 4 tahun? Ini ada apa?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 14 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Namanya, dana kesehatan DPRD Manggarai, tahun 2007. Ujungnya, bukan bikin sehat, tapi bikin sakit. Sakit korupsi. Pesakitannya, Ketua DPRD John Ongge dan Kepala AJB Bumiputera Perwakilan Kupang Abdul Jafar. Mereka yang tanda tangan kontrak (MoU) memperuntukkan dana itu bagi kesehatan 40 anggota dewan. Para anggota dewan luput. Yang kena, yang tanda tangan kontrak, Ongge dan Jafar. Kontrak merugikan keuangan negara Rp380 juta. Maka, oleh jaksa, keduanya dituntut 4 tahun penjara. Namun oleh hakim, nasib keduanya dibikin beda. Ongge 2 tahun, Jafar 4 tahun.
Meski vonisnya lebih ringan 2 tahun, Ongge naik banding. Di mata jaksa sebaliknya, 2 tahun itu terlalu ringan. Maka jaksa juga naik banding. Kisah pun masih panjang. Ujungnya, nanti lihat. Yang jelas, putusan akhir tetap berada di tangan hakim, apakah di pengadilan tinggi ataukah di mahkamah agung.
Bedanya vonis untuk Ongge dan Jafar bikin masyarakat bertanya-tanya. Ini ada apa? Selaku mitra yang bertransaksi, Ongge dan Jafar itu setara. Sama-sama memiliki dan menggunakan kewenangan membuat kontrak. Sama-sama membubuhkan tanda tangan di atas kontrak. Sama-sama juga dituntut 4 tahun penjara oleh jaksa. Lalu, kenapa vonisnya bisa beda?
Dipandang dari pemanfaatan keuangan negara, tanggung jawab Ongge lebih besar ketimbang tanggung jawab Jafar. Yang secara langsung menggunakan uang negara adalah Ongge, bukan Jafar. Selaku pihak asuransi dalam transaksi ini, Jafar menerima uang itu sebagai uang nasabah. Meski bersumber dari kas negara, uang itu tidak dipandang sebagai uang negara, tapi uang nasabah. Jafar tidak berhubungan langsung dengan keuangan negara. Yang berhubungan langsung adalah Ongge. Bahwa kemudian kontrak dan transaksi antar-keduanya merugikan keuangan negara, keduanya sama-sama bertanggung jawab, namun beban tanggung jawabnya berbeda. Ongge selaku pihak yang secara langsung mengggunakan keuangan negara lebih besar tangggung jawabnya. Maka, menjadi pertanyaan: mengapa hukuman bagi yang lebih besar tangggung jawabnya ini justru lebih ringan?
Hakim pasti mempunyai banyak pertimbangan. Pertimbangan objektif dan pertimbangan subjektif. Pertimbangan objektif berkenaan dengan hukum dan perundang-undangan: sah atau tidaknya dakwaan jaksa. Sedangkan pertimbangan subjektif berkenan dengan hati nuraninya sendiri: meyakinkan atau tidaknya dakwaan itu. Karena itu, dalam amar putusan sebelum menjatuhkan vonis, hakim selalu berucap dengan formula ini: “Terbukti secara sah dan meyakinkan”.
Pertanyaan kita: apa dasar keabsahan putusan dan dasar keyakinan hakim sampai vonisnya bisa jungkir balik seperti ini? Konkretnya: kenapa Ongge-nya cuma 2 tahun, sedangkan Jafar-nya tetap 4 tahun? Ini ada apa?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 14 Mei 2009
Label:
bentara,
dprd manggarai,
flores,
flores pos,
john ongge,
kasus dana kesehatan dprd manggarai 2007,
manggarai
13 Mei 2009
Ende, dari Keroyok ke Bom
Ketika Polisi Lamban Tanggapi Laporan Korban
Oleh Frans Anggal
Dua ledakan yang diduga bom ikan menggelar di kompleks Dolog, Ende, Minggu malam 10 Mei 2009. Tempat pengetikan dan tambal ban milik Thomas A Senda berantakan. Pemilik tempat usaha ini tak ada sangkut-pautnya. Sehari sebelumnya, Sabtu malam, terjadi pengeroyokan terhadap seorang warga Paupanda oleh tiga pelaku kompleks Dolog. Sebagai balasan, tempat usaha ini jadi sasaran penyebuan. Rupanya karena para pelaku pengeroyokan biasa mangkal di sini. Tidak dapat orangnya, tempatnya disikat.
Thomas A Senda betul-betul murni sebagai korban. Kita berempati padanya seraya mengutuk tidak hanya amuk massa brutal itu, tapi juga pengeroyokan keji oleh ketiga pelaku. Awalnya memang dari sini. Mungkin juga dari hal lain sebelumnya. Yang pasti, penyerbuan pakai bom tidak terjadi tiba-tiba.
Dalam teorinya, konflik itu bermetamorfosis. Berawal dari benih sampai mencapai bentuknya yang paling matang. Intensitasnya muncul dalam empat tahapan. Mulanya, konflik itu tersembunyi (laten), lalu mencuat (emerging), selanjutnya terbuka (manifes), dan akhirnya meningkat (eskalasi).
Yang terjadi pada Minggu malam itu sudah eskalatif. Konfliknya sudah meningkat secara kuantitatif dan kualitatif. Lihat, dalam kasus awal pengeroyokan Sabtu malam, pelakunya hanya tiga orang. Dalam kasus balasan Minggu malam, pelakunya sudah massal. Dalam kasus awal, aksinya sebatas menggunakan tangan kosong. Dalam kasus balasan, serangannya sudah menggunakan benda tumpul, tajam, dan bom rakitan.
Eskalasi tidak terjadi tiba-tiba. Ada mata rantai proses dan tahapan. Mata rantai ini yang harus segera diputus. Kalau tidak, perkelahian dua ekor semut bisa menjadi pertarungan kawanan gajah. Banyak cara memutus mata rantai konflik. Salah satunya, penegakan hukum. Inilah yang justru lemah dalam kasus di atas kalau penuturan warga Paupanda benar.
Mohamad Daeng berkata: aksi penyerbuan ini dilakukan karena massa tidak puas. Ketiga pelaku pengeroyokan belum diamankan polisi. Penyerbuan ini sebagai bentuk presur karena selama ini warga kompleks Dolog tidak pernah disentuh proses hukum setiap kali melakukan aksi melawan hukum.
Memahami penuturan ini tidak berarti melemparkan semua kesalahan kepada polisi. Semua pihak bersalah. Baik pelaku pengeroyokan maupun pelaku penyerbuan. Begitu juga polisi. Polisi turut berandil meningkatkan konflik ketika lamban menanggapi laporan pengeroyokan. Polisi baru menangkap pelaku setelah massa menyerbu dan korban tak bersalah menanggung akibat .
Pelaku pengeroyokan sudah ditangkap. Bagus. Tinggal otak dan pelaku penyerbuan, serta pembuat, penyimpan, dan pengguna bom. Apakah tunggu amuk massa dulu baru ditangkap?
“Bentara” FLORES POS, Rabu 13 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Dua ledakan yang diduga bom ikan menggelar di kompleks Dolog, Ende, Minggu malam 10 Mei 2009. Tempat pengetikan dan tambal ban milik Thomas A Senda berantakan. Pemilik tempat usaha ini tak ada sangkut-pautnya. Sehari sebelumnya, Sabtu malam, terjadi pengeroyokan terhadap seorang warga Paupanda oleh tiga pelaku kompleks Dolog. Sebagai balasan, tempat usaha ini jadi sasaran penyebuan. Rupanya karena para pelaku pengeroyokan biasa mangkal di sini. Tidak dapat orangnya, tempatnya disikat.
Thomas A Senda betul-betul murni sebagai korban. Kita berempati padanya seraya mengutuk tidak hanya amuk massa brutal itu, tapi juga pengeroyokan keji oleh ketiga pelaku. Awalnya memang dari sini. Mungkin juga dari hal lain sebelumnya. Yang pasti, penyerbuan pakai bom tidak terjadi tiba-tiba.
Dalam teorinya, konflik itu bermetamorfosis. Berawal dari benih sampai mencapai bentuknya yang paling matang. Intensitasnya muncul dalam empat tahapan. Mulanya, konflik itu tersembunyi (laten), lalu mencuat (emerging), selanjutnya terbuka (manifes), dan akhirnya meningkat (eskalasi).
Yang terjadi pada Minggu malam itu sudah eskalatif. Konfliknya sudah meningkat secara kuantitatif dan kualitatif. Lihat, dalam kasus awal pengeroyokan Sabtu malam, pelakunya hanya tiga orang. Dalam kasus balasan Minggu malam, pelakunya sudah massal. Dalam kasus awal, aksinya sebatas menggunakan tangan kosong. Dalam kasus balasan, serangannya sudah menggunakan benda tumpul, tajam, dan bom rakitan.
Eskalasi tidak terjadi tiba-tiba. Ada mata rantai proses dan tahapan. Mata rantai ini yang harus segera diputus. Kalau tidak, perkelahian dua ekor semut bisa menjadi pertarungan kawanan gajah. Banyak cara memutus mata rantai konflik. Salah satunya, penegakan hukum. Inilah yang justru lemah dalam kasus di atas kalau penuturan warga Paupanda benar.
Mohamad Daeng berkata: aksi penyerbuan ini dilakukan karena massa tidak puas. Ketiga pelaku pengeroyokan belum diamankan polisi. Penyerbuan ini sebagai bentuk presur karena selama ini warga kompleks Dolog tidak pernah disentuh proses hukum setiap kali melakukan aksi melawan hukum.
Memahami penuturan ini tidak berarti melemparkan semua kesalahan kepada polisi. Semua pihak bersalah. Baik pelaku pengeroyokan maupun pelaku penyerbuan. Begitu juga polisi. Polisi turut berandil meningkatkan konflik ketika lamban menanggapi laporan pengeroyokan. Polisi baru menangkap pelaku setelah massa menyerbu dan korban tak bersalah menanggung akibat .
Pelaku pengeroyokan sudah ditangkap. Bagus. Tinggal otak dan pelaku penyerbuan, serta pembuat, penyimpan, dan pengguna bom. Apakah tunggu amuk massa dulu baru ditangkap?
“Bentara” FLORES POS, Rabu 13 Mei 2009
Label:
amuk massa,
bentara,
bom rakitan,
ende,
flores,
flores pos,
hukum
Kengerian di Wolowona
Penemuan Orok Bayi Tanpa Kepala
Oleh Frans Anggal
Orok bayi ditemukan di bantaran kali Wolowona, Ende, Jumat 8 Mei 2009. Sudah tanpa kepala. Tangannya sudah copot, dimakan anjing. Kedua kaki masih ada. Ari-ari dan tali pusat masih melekat di tubuh. Darah masih berceceran. Polisi sudah mengambil data. Rumah sakit sudah melakukan visum. Jenazah pun sudah dikuburkan warga.
Siapa ibu sang bayi dan apa motifnya masih kabur. Polisi masih selidik. Demikian pula hasil visum, belum diumumkan. Sehingga, belum jelas bagi kita, apakah ini kasus aborsi (abortion) atukah kasus pembunuhan bayi (infanticide).
Secara medis, janin bisa hidup di luar kandungan pada umur 24 minggu. Mengeluarkannya di bawah umur 24 minggu dan mengakibatkan kematian, itulah aborsi. Sedangkan mengeluarkannya sesudah umur 24 minggu dan mengakibatkan kematian bukan lagi aborsi, tetapi pembunuhan bayi. Dalam terminologi moral dan hukum, aborsi berarti pengeluaran janin sejak adanya konsepsi sampai dengan kelahirannya yang mengakibatkan kematian.
Itu sekadar pembedaan. Hakikatnya tetap sama: penghilangan nyawa secara paksa. Baik janin maupun bayi mempunyai hak hidup. Hak ini wajib dihormati. Oleh karena itu, baik aborsi maupun pembunuhan bayi, yang pada hakikatnya menghilangkan hak hidup, tidak dapat dibenarkan. Dalam pandangan agama, hak itu hanya ada pada Tuhan.
Selain hakikatnya sama, kebrutalan caranya juga sama. Membayangkan orok bayi di bantaran kali Wolowona, kita ngeri. Kepalanya copot. Tangannya dimakan anjing. Sadarkah kita, di banyak tempat, mungkin di sekitar kita, terjadi hal yang sama brutalnya namun tersembunyi? Aborsi!
Pakai cara kuno atau cara moderen, aborsi sama brutalnya dengan pembunuhan bayi. Sama brutalnya dengan pembunuhan Tibo cs oleh negara yang katanya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Cara tertua aborsi adalah ‘D dan C’ (dilation and curettage). Leher rahim ibu diperlebar untuk memudahkan pemasukan alat yang mengikis dinding rahim sehingga janin hancur terpotong-potong. Cara lain, memasukkan tabung melaluinya janin disedot setelah tercabik-cabik dalam potongan-potongan kecil. Atau teknik penyuntikan racun melalui dinding perut ibu ke dalam kantung amniotik yang membungkus janin sehingga saat terkena racun, janin hangus lalu mati kemudian didorong ke luar secara spontan. Metode lain, histerotomi, semacam caesar tapi dengan tujuan membunuh. Lainnya, histerektomi lengkap, janin dan rahim diangkat untuk dihancurkan bersama-sama.Yang terakhir, teknik prostaglandin, dengan suatu hormon yang langsung mengakibatkan kelahiran prematur dengan tujuan mengakhiri kehidupan bayi.
Mengerikan. Tak kalah mengerikan dengan orok bayi di bantaran kali Wolowona. Di Wolowona, kengerian itu tersingkap. Di bilik-bilik rumah, kengerian itu masih tersembunyi. Apa yang harus kita lakukan?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 12 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Orok bayi ditemukan di bantaran kali Wolowona, Ende, Jumat 8 Mei 2009. Sudah tanpa kepala. Tangannya sudah copot, dimakan anjing. Kedua kaki masih ada. Ari-ari dan tali pusat masih melekat di tubuh. Darah masih berceceran. Polisi sudah mengambil data. Rumah sakit sudah melakukan visum. Jenazah pun sudah dikuburkan warga.
Siapa ibu sang bayi dan apa motifnya masih kabur. Polisi masih selidik. Demikian pula hasil visum, belum diumumkan. Sehingga, belum jelas bagi kita, apakah ini kasus aborsi (abortion) atukah kasus pembunuhan bayi (infanticide).
Secara medis, janin bisa hidup di luar kandungan pada umur 24 minggu. Mengeluarkannya di bawah umur 24 minggu dan mengakibatkan kematian, itulah aborsi. Sedangkan mengeluarkannya sesudah umur 24 minggu dan mengakibatkan kematian bukan lagi aborsi, tetapi pembunuhan bayi. Dalam terminologi moral dan hukum, aborsi berarti pengeluaran janin sejak adanya konsepsi sampai dengan kelahirannya yang mengakibatkan kematian.
Itu sekadar pembedaan. Hakikatnya tetap sama: penghilangan nyawa secara paksa. Baik janin maupun bayi mempunyai hak hidup. Hak ini wajib dihormati. Oleh karena itu, baik aborsi maupun pembunuhan bayi, yang pada hakikatnya menghilangkan hak hidup, tidak dapat dibenarkan. Dalam pandangan agama, hak itu hanya ada pada Tuhan.
Selain hakikatnya sama, kebrutalan caranya juga sama. Membayangkan orok bayi di bantaran kali Wolowona, kita ngeri. Kepalanya copot. Tangannya dimakan anjing. Sadarkah kita, di banyak tempat, mungkin di sekitar kita, terjadi hal yang sama brutalnya namun tersembunyi? Aborsi!
Pakai cara kuno atau cara moderen, aborsi sama brutalnya dengan pembunuhan bayi. Sama brutalnya dengan pembunuhan Tibo cs oleh negara yang katanya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Cara tertua aborsi adalah ‘D dan C’ (dilation and curettage). Leher rahim ibu diperlebar untuk memudahkan pemasukan alat yang mengikis dinding rahim sehingga janin hancur terpotong-potong. Cara lain, memasukkan tabung melaluinya janin disedot setelah tercabik-cabik dalam potongan-potongan kecil. Atau teknik penyuntikan racun melalui dinding perut ibu ke dalam kantung amniotik yang membungkus janin sehingga saat terkena racun, janin hangus lalu mati kemudian didorong ke luar secara spontan. Metode lain, histerotomi, semacam caesar tapi dengan tujuan membunuh. Lainnya, histerektomi lengkap, janin dan rahim diangkat untuk dihancurkan bersama-sama.Yang terakhir, teknik prostaglandin, dengan suatu hormon yang langsung mengakibatkan kelahiran prematur dengan tujuan mengakhiri kehidupan bayi.
Mengerikan. Tak kalah mengerikan dengan orok bayi di bantaran kali Wolowona. Di Wolowona, kengerian itu tersingkap. Di bilik-bilik rumah, kengerian itu masih tersembunyi. Apa yang harus kita lakukan?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 12 Mei 2009
Label:
aborsi dan pembunuhan bayi,
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
hukum
Wabup Lembata Berlebihan
Larang PNS dan Keluarga ke Belanja di Pasar Dadakan
Oleh Frans Anggal
Pemkab Lembata bikin kejutan lewat surat 27 Februari 2009 yang ditandatangani Wabup Andreas Nula Liliweri. Isinya: melarang PNS, pegawai kontrak, dan keluarganya membeli barang di pasar dadakan. Yang melanggar akan ditindak.
Surat ini lahir dari kenyataan lapangan. Meski berkali-kali diimbau bahkan diusir, para pedagang ikan dan sayur tetap berjualan di lokasi bekas Pasar Inpres Lewoleba dan bahu jalan ibu kota. Mereka enggan ke Pasar Inpres Pada di barat kota yang jauh dari pusat keramaian, apalagi ke Pasar Inpres Lamahora di timur.
Sikap para pembeli setali tiga wang. Praktis dan pragmatis, serta memenuhi prinsip dasar pelayanan publik. Mau yang lebih cepat, lebih mudah, dan lebih murah. Di hadapan sikap seperti ini, pemkab kewalahan. Muncullah akal. Pemkab tidak hanya menertibkan penjual, tapi juga pembeli. Pegawai pemkab dan keluarganya dijadikan target terdekat. Pengandaiannya, dengan bekurangnya pembeli maka para penjual akan kapok sendiri dan akhirnya mau berpindah ke Pada atau Lamahora.
Pengandaian itu masuk akal. Sayang, surat wabup Lembata berlebihan. Pemkab bersibuk diri sampai ke urusan dapur rumah tangga PNS. Sibuk yang tidak perlu. Sibuk yang hanya mencitrakan kekuasaan hegemonik yang sembarang masuk ke ruang privat warga. Sebenarnya tidak perlu sejauh itu kalau pemkab mampu menertibkan penjual. Tidak perlu sejauh itu pula kalau penjual taat pada pemerintah. Di sinilah masalahnya. Dan masalah itu patut dirunut ke belakang.
Dulu, ada pasar tradisional, pasar tua, di tengah kota. Itulah Pasar Inpres Lewoleba. Nama “inpres” ditempelkan kemudian, jauh setelah pasar itu menjadi sentra penggerak kehidupan masyarakat yang mayoritasnya mengandalkan usaha kecil-menengah. Masih dalam fungsinya yang kuat itu, pasar ini mau dipindahkan ke Pada dan Lamahora yang saat itu sudah siap. Lokasi lama mau dijadikan lokasi ruko. Masyarakat menolak. Pasar pun dilalap api. Terbakar atau dibakar, entahlah. Di atas lokasi inilah para penjual tetap menjajakan dagangannya. Lokasi ini dicap pemkab sebagai pasar dadakan.
Kalau mau jujur, yang dadakan bukan pasarnya, tapi kebijakan pemkabnya. Pindahkan pasar tanpa konsultasi publik. Gusur lokasi pasar tradisional demi bangun ruko. Kejar PAD pakai regulasi yang tidak melindungi orang kecil.
Di negara kampiun kapitalisme dan pro-pasar bebas seperti AS saja, tak ada kebijakan sekeji ini. Hampir semua negara bagian memperhatikan pasar tradisional. Renovasi pasar saja, masyarakat, terutama pelaku UKM, dilibatkan dalam musyawarah. AS memang punya UU Small Act yang menjamin dan melindungi usaha rakyat.
Di Indonesia? Semuanya penuh konflik karena kental kolusi dan padat kepentingan kelompok tertentu. Merekalah yang diuntungkan oleh tender proyek dan pembebasan tanah. Maka, bakar pasar pun bukan cerita baru.
“Bentara” FLORES POS, Senin 11 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Pemkab Lembata bikin kejutan lewat surat 27 Februari 2009 yang ditandatangani Wabup Andreas Nula Liliweri. Isinya: melarang PNS, pegawai kontrak, dan keluarganya membeli barang di pasar dadakan. Yang melanggar akan ditindak.
Surat ini lahir dari kenyataan lapangan. Meski berkali-kali diimbau bahkan diusir, para pedagang ikan dan sayur tetap berjualan di lokasi bekas Pasar Inpres Lewoleba dan bahu jalan ibu kota. Mereka enggan ke Pasar Inpres Pada di barat kota yang jauh dari pusat keramaian, apalagi ke Pasar Inpres Lamahora di timur.
Sikap para pembeli setali tiga wang. Praktis dan pragmatis, serta memenuhi prinsip dasar pelayanan publik. Mau yang lebih cepat, lebih mudah, dan lebih murah. Di hadapan sikap seperti ini, pemkab kewalahan. Muncullah akal. Pemkab tidak hanya menertibkan penjual, tapi juga pembeli. Pegawai pemkab dan keluarganya dijadikan target terdekat. Pengandaiannya, dengan bekurangnya pembeli maka para penjual akan kapok sendiri dan akhirnya mau berpindah ke Pada atau Lamahora.
Pengandaian itu masuk akal. Sayang, surat wabup Lembata berlebihan. Pemkab bersibuk diri sampai ke urusan dapur rumah tangga PNS. Sibuk yang tidak perlu. Sibuk yang hanya mencitrakan kekuasaan hegemonik yang sembarang masuk ke ruang privat warga. Sebenarnya tidak perlu sejauh itu kalau pemkab mampu menertibkan penjual. Tidak perlu sejauh itu pula kalau penjual taat pada pemerintah. Di sinilah masalahnya. Dan masalah itu patut dirunut ke belakang.
Dulu, ada pasar tradisional, pasar tua, di tengah kota. Itulah Pasar Inpres Lewoleba. Nama “inpres” ditempelkan kemudian, jauh setelah pasar itu menjadi sentra penggerak kehidupan masyarakat yang mayoritasnya mengandalkan usaha kecil-menengah. Masih dalam fungsinya yang kuat itu, pasar ini mau dipindahkan ke Pada dan Lamahora yang saat itu sudah siap. Lokasi lama mau dijadikan lokasi ruko. Masyarakat menolak. Pasar pun dilalap api. Terbakar atau dibakar, entahlah. Di atas lokasi inilah para penjual tetap menjajakan dagangannya. Lokasi ini dicap pemkab sebagai pasar dadakan.
Kalau mau jujur, yang dadakan bukan pasarnya, tapi kebijakan pemkabnya. Pindahkan pasar tanpa konsultasi publik. Gusur lokasi pasar tradisional demi bangun ruko. Kejar PAD pakai regulasi yang tidak melindungi orang kecil.
Di negara kampiun kapitalisme dan pro-pasar bebas seperti AS saja, tak ada kebijakan sekeji ini. Hampir semua negara bagian memperhatikan pasar tradisional. Renovasi pasar saja, masyarakat, terutama pelaku UKM, dilibatkan dalam musyawarah. AS memang punya UU Small Act yang menjamin dan melindungi usaha rakyat.
Di Indonesia? Semuanya penuh konflik karena kental kolusi dan padat kepentingan kelompok tertentu. Merekalah yang diuntungkan oleh tender proyek dan pembebasan tanah. Maka, bakar pasar pun bukan cerita baru.
“Bentara” FLORES POS, Senin 11 Mei 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
kasus pasar lewoleba,
wabup lembata
08 Mei 2009
Aduh, KPUD Manggarai
Kontroversi Jumlah Kursi DPRD
Oleh Frans Anggal
Para pendemo Siram Demokrasi mempersoalkan penetapan jumlah kursi DPRD Manggarai oleh KPUD. KPUD menjatahkan 40 kursi. Ini melanggar UU No 10/2008 tentang Pemilu. Berdasarkan UU ini dan jumlah penduduk Manggarai, kuota yang tepat, 30 kursi. Tambahan 10 kursi hanya akan membebankan keuangan daerah.
Dalam dengar pendapat di DPRD yang dihadiri demonstran, pemkab, dan KPUD, disepakati pembentukan tim perumus simpulan dengar pendapat. Tim sudah buat simpulan, dan simpulan itu menjadi rekomendasi DPRD. Pertama, jumlah kursi untuk Manggara harus sesuai dengan ketentuan UU. Kedua, berdasarkan jumlah penduduk Manggarai 266.157 jiwa maka kuotanya 30 kursi.
KPUD tetap pada pendirian. Semua proses penetapan kursi sudah berjalan sesuai dengan ketentuan. Data jumlah penduduk sudah diserahkan ke KPU pusat. Merekalah yang menetapkan 40 kursi. “Kita hanya menjalankan apa yang diputuskan pusat,” kata Ketua KPUD Frans Aci.
Kalau patokannya jumlah penduduk maka biang keroknya di sana. Menjadi pertanyaan: siapa yang tidak becus? KPU pusat yang terima data ataukah KPUD yang kirim data? Jawabannya tergantung dari data mana yang dikirim. Boleh jadi, data yang dikirim adalah data penduduk sebelum Manggarai dimekarkan. Bila ini yang terjadi, KPUD harus bertanggung jawab atas ketidakcermatannya.
Kemungkinan lain, KPUD mengirimkan data mutakhir, data jumlah penduduk pasca-pemekaran. Kalau begitu maka KPU pusatlah yang tidak cermat. Namun ini tidak lantas meluputkan KPUD dari tanggung jawab. Selaku penyelenggara pemilu di daerah, KPUD semestinya tetap merujuk pada UU dan tidak membeo pada putusan KPU pusat yang tidak cermat.
Satu kemungkinan lagi, KPU pusat dengan tahu dan mau melanggar ketentuan demi kemaslahatan orang banyak. Ini yang disebut diskresi. Contoh kecil, di bidang lalu lintas. Di sebuah perempatan, jalan macet. Arus dari arah A terlalu padat, sementara dari arah sebaliknya lengang. Polantas memberi instruksi kepada pengendara dari arus A untuk terus berjalan meski lampu merah. Diskresi dilakukan demi mangatasi kemacetan.
Itu dalam kasus kecil. Dalam hal sepenting pemilu, diskresi harus memenuhi tiga syarat. Pertama, demi kepentingan umum. Kedua, masih dalam batas wilayah kewenangan. Ketiga, tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam kasus 40 kursi DPRD Manggarai, ketiga syarat diskresi sangatlah kabur. Malah sebaliknya, syarat terakhir justru dilanggar telak-telak. Bayangkan, APBD Manggarai harus menanggung gaji 10 anggota DPRD yang dipaksa masuk tanpa alasan yang kuat. Aduh, KPUD Manggarai!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 8 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Para pendemo Siram Demokrasi mempersoalkan penetapan jumlah kursi DPRD Manggarai oleh KPUD. KPUD menjatahkan 40 kursi. Ini melanggar UU No 10/2008 tentang Pemilu. Berdasarkan UU ini dan jumlah penduduk Manggarai, kuota yang tepat, 30 kursi. Tambahan 10 kursi hanya akan membebankan keuangan daerah.
Dalam dengar pendapat di DPRD yang dihadiri demonstran, pemkab, dan KPUD, disepakati pembentukan tim perumus simpulan dengar pendapat. Tim sudah buat simpulan, dan simpulan itu menjadi rekomendasi DPRD. Pertama, jumlah kursi untuk Manggara harus sesuai dengan ketentuan UU. Kedua, berdasarkan jumlah penduduk Manggarai 266.157 jiwa maka kuotanya 30 kursi.
KPUD tetap pada pendirian. Semua proses penetapan kursi sudah berjalan sesuai dengan ketentuan. Data jumlah penduduk sudah diserahkan ke KPU pusat. Merekalah yang menetapkan 40 kursi. “Kita hanya menjalankan apa yang diputuskan pusat,” kata Ketua KPUD Frans Aci.
Kalau patokannya jumlah penduduk maka biang keroknya di sana. Menjadi pertanyaan: siapa yang tidak becus? KPU pusat yang terima data ataukah KPUD yang kirim data? Jawabannya tergantung dari data mana yang dikirim. Boleh jadi, data yang dikirim adalah data penduduk sebelum Manggarai dimekarkan. Bila ini yang terjadi, KPUD harus bertanggung jawab atas ketidakcermatannya.
Kemungkinan lain, KPUD mengirimkan data mutakhir, data jumlah penduduk pasca-pemekaran. Kalau begitu maka KPU pusatlah yang tidak cermat. Namun ini tidak lantas meluputkan KPUD dari tanggung jawab. Selaku penyelenggara pemilu di daerah, KPUD semestinya tetap merujuk pada UU dan tidak membeo pada putusan KPU pusat yang tidak cermat.
Satu kemungkinan lagi, KPU pusat dengan tahu dan mau melanggar ketentuan demi kemaslahatan orang banyak. Ini yang disebut diskresi. Contoh kecil, di bidang lalu lintas. Di sebuah perempatan, jalan macet. Arus dari arah A terlalu padat, sementara dari arah sebaliknya lengang. Polantas memberi instruksi kepada pengendara dari arus A untuk terus berjalan meski lampu merah. Diskresi dilakukan demi mangatasi kemacetan.
Itu dalam kasus kecil. Dalam hal sepenting pemilu, diskresi harus memenuhi tiga syarat. Pertama, demi kepentingan umum. Kedua, masih dalam batas wilayah kewenangan. Ketiga, tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam kasus 40 kursi DPRD Manggarai, ketiga syarat diskresi sangatlah kabur. Malah sebaliknya, syarat terakhir justru dilanggar telak-telak. Bayangkan, APBD Manggarai harus menanggung gaji 10 anggota DPRD yang dipaksa masuk tanpa alasan yang kuat. Aduh, KPUD Manggarai!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 8 Mei 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
jumlah kursi dprd,
manggarai,
pemilu 2009,
politik
07 Mei 2009
Hari Ini Antasari, Besok?
Anomali Bisa Terjadi pada Siapa Saja
Oleh Frans Anggal
Negeri ini serasa terguncang ketika Ketua KPK Antasari Azhar disebut-sebut sebagai otak pembunuhan pimpinan PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Antasari adalah bintang yang tengah cemerlang. Di bawah kepemimpinannya, KPK semakin menunjukkan kemampuan dan keteguhan memberantas korupsi. Di bawah Antasari, KPK sungguh-sungguh independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan lembaga lain.
Kasus Nasrudin seakan mengakhiri segalanya. Bintang KPK tetap bersinar, namun kecerlangan Antasari dipastikan pudar. Begitu cepatnya, terlepas dari benar atau tidak, terbukti atau tidaknya sangkaan yang dikenakan.
Kecemerlangan itu tidak datang tiba-tiba. Meniti karier sejak 1981 di Departemen Kehakiman, Antasari menapaki satu per satu anak tangga sebagai jaksa karier sebelum akhirnya mencapai puncaknya 2007 ketika terpilih oleh DPR menjadi anggota untuk kemudian didaulat menjadi ketua KPK. Per aspera ad astra, kata ungkapan Latin. Menuju bintang, melalui jalan berbatu-batu. Namun ketika sudah di bintang, bahkan menjadi bintang itu sendiri, kecemerlangan cahayanya mendadak pudar. Begitu cepatnya.
Orang Romawi Kuno melukiskannya dengan sebuah ungkapan. Facilis descensus Averno. Begitu mudahnya turun ke dalam Averno. Averno adalah nama sebuah danau belerang di sebelah selatan Italia, dekat Laut Tirenia. Karena pekatnya uap belerang yang dihasilkan aktivitas vulkanik, tidak ada seekor unggas pun yang dapat bertahan hidup di daerah tersebut. Legenda Romawi Kuno menganggap Averno sebagai gerbang neraka.
Antasari sudah masuk Averno. Apakah ia didorong oleh tangan-tangan kuat? Ataukah ia masuk karena kemauan atau kelengahannya sendiri? Proses hukum akan membuktikannya. Boleh jadi semua ini hasil jebakan maut dari konspirasi tingkat tinggi. Gabungan pemilik kuasa, harta, dan senjata. Boleh jadi juga hanya karena kelemahan manusiawi semata. Atau paduan kedua-duanya.
Bagi yang kelewat mengagumi sosok Antasari, pelbagi kemungkinan ini kiranya menyentakkan kesadaran bahwa Antasari juga manusia. Perlu siap mental untuk hal yang bisa saja sangat mengejutkan. Presedennya sudah banyak. Satu contoh saja. Siapa pernah menyangka kasus korupsi proyek Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Dephukham akhirnya menyeret nama Prof Romli Atmasasmita? Siapa dia? Dia Dirjen Administrasi Hukum Umum, orang yang selama ini dikenal sebagai konseptor KPK, akademisi kritis, dan pakar hukum pidana yang gencar meneriakkan slogan antikorupsi.
Ini namanya anomali. Istilah fisika untuk keanehan sifat air. Pada suhu sebelum 4 derajat celcius volumenya mengembang, tepat 4 celcius mengecil, di bawah 4 celcius malah mengembang lagi. Anomali bisa terjadi pada siapa saja. Hodie mihi, cras tibi. Begitu kata ungkapan Latin. Hari ini saya, besok engkau. Hari ini Antasari. Besok?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 7 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Negeri ini serasa terguncang ketika Ketua KPK Antasari Azhar disebut-sebut sebagai otak pembunuhan pimpinan PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Antasari adalah bintang yang tengah cemerlang. Di bawah kepemimpinannya, KPK semakin menunjukkan kemampuan dan keteguhan memberantas korupsi. Di bawah Antasari, KPK sungguh-sungguh independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan lembaga lain.
Kasus Nasrudin seakan mengakhiri segalanya. Bintang KPK tetap bersinar, namun kecerlangan Antasari dipastikan pudar. Begitu cepatnya, terlepas dari benar atau tidak, terbukti atau tidaknya sangkaan yang dikenakan.
Kecemerlangan itu tidak datang tiba-tiba. Meniti karier sejak 1981 di Departemen Kehakiman, Antasari menapaki satu per satu anak tangga sebagai jaksa karier sebelum akhirnya mencapai puncaknya 2007 ketika terpilih oleh DPR menjadi anggota untuk kemudian didaulat menjadi ketua KPK. Per aspera ad astra, kata ungkapan Latin. Menuju bintang, melalui jalan berbatu-batu. Namun ketika sudah di bintang, bahkan menjadi bintang itu sendiri, kecemerlangan cahayanya mendadak pudar. Begitu cepatnya.
Orang Romawi Kuno melukiskannya dengan sebuah ungkapan. Facilis descensus Averno. Begitu mudahnya turun ke dalam Averno. Averno adalah nama sebuah danau belerang di sebelah selatan Italia, dekat Laut Tirenia. Karena pekatnya uap belerang yang dihasilkan aktivitas vulkanik, tidak ada seekor unggas pun yang dapat bertahan hidup di daerah tersebut. Legenda Romawi Kuno menganggap Averno sebagai gerbang neraka.
Antasari sudah masuk Averno. Apakah ia didorong oleh tangan-tangan kuat? Ataukah ia masuk karena kemauan atau kelengahannya sendiri? Proses hukum akan membuktikannya. Boleh jadi semua ini hasil jebakan maut dari konspirasi tingkat tinggi. Gabungan pemilik kuasa, harta, dan senjata. Boleh jadi juga hanya karena kelemahan manusiawi semata. Atau paduan kedua-duanya.
Bagi yang kelewat mengagumi sosok Antasari, pelbagi kemungkinan ini kiranya menyentakkan kesadaran bahwa Antasari juga manusia. Perlu siap mental untuk hal yang bisa saja sangat mengejutkan. Presedennya sudah banyak. Satu contoh saja. Siapa pernah menyangka kasus korupsi proyek Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Dephukham akhirnya menyeret nama Prof Romli Atmasasmita? Siapa dia? Dia Dirjen Administrasi Hukum Umum, orang yang selama ini dikenal sebagai konseptor KPK, akademisi kritis, dan pakar hukum pidana yang gencar meneriakkan slogan antikorupsi.
Ini namanya anomali. Istilah fisika untuk keanehan sifat air. Pada suhu sebelum 4 derajat celcius volumenya mengembang, tepat 4 celcius mengecil, di bawah 4 celcius malah mengembang lagi. Anomali bisa terjadi pada siapa saja. Hodie mihi, cras tibi. Begitu kata ungkapan Latin. Hari ini saya, besok engkau. Hari ini Antasari. Besok?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 7 Mei 2009
Label:
antasari azhar,
bentara,
flores pos,
hukum,
kasus pembunuhan nasrudin zulkarnaen,
KPK,
nasional
06 Mei 2009
Polisi Kotor Tolak Kuitansi
Kasus Tilang di Maumere
Oleh Frans Anggal
Warga Maumere yang ditilang polantas Polres Sikka protes. Tiap butir pelanggaran dikenai denda Rp75.000. Uangnya disetor ke polantas, namun tanpa kuitansi atau tanda bukti pembayaran. Muncul dugaan, polantas melakukan pungutuan liar. Polantas membantah.
Menurut Kasat Lantas Indra Wijatmiko, pihaknya hanya mengeluarkan blanko tilang, bukan kuitansi. Di dalamnya tercantum jenis pelanggaran dan nilai uang yang harus dibayar pelanggar. “Kami bukan jual kacang seperti di pasar sehingga bisa keluarkan kuitansi. Blanko tilang yang kami keluarkan sesuai kesepakatan tim terpadu.”
Ini gawat. Polantas tidak memisahkan dua tanda bukti yang hakikatnya berbeda. Blanko tilang itu tanda bukti penilangan. Pencantuman nilai uang di dalamnya hanya bersifat pemberitahuan, seperti halnya pencantuan nilai uang dalam surat penagihan. Pencantuman ini mewajibkan tindakan lain, tindakan transaksi, memberi dan menerima uang, yang harus disertai tanda bukti tersendiri. Itulah kuitansi.
Untuk instansi pelayanan publik, kuitansi itu wajib hukumnya. Malah, idealnya, rangkap empat! Kuitansi merupakan bukti akuntabilitas sebuah instansi. Tegasnya, akuntabilitas mengharuskan kuitansi. Karena itu, kewajibkan ini tidak hanya ditujukan kepada petugas selaku pelayan, tetapi juga kepada masyarakat yang dilayani. Masyarakat selalu diimbau: jangan takut minta kuitansi saat bertransaksi.
Dalam kasus tilang di Maumere, imbauan ini dilaksanakan oleh Yonanes Kia Nunang, salah seorang pelanggar. Ia minta kuitansi kepada polantas Yodi Sadipun saat membayar denda Rp150.000 untuk dua butir pelanggaran. Kuitansi ia butuhkan guna mempertanggungjawabkan uang yang ia keluarkan. Polantas tidak berikan kuitansi. Kia Nunang mempertanyakan, mengapa polisi tidak melakukan hal itu.
Pertanyaan ini dijawab enteng saja oleh kasat lantas. “Kami bukan jual kacang seperti di pasar sehingga bisa keluarkan kuitansi.” Ini jawaban ngawur yang tidak menunjukkan kelas yang pantas bagi seorang kasat lantas. Kuitansi itu wajib hukumnya. Nama lainnya “tanda bukti setor”, sebagaimana tercantum dalam Buku Petunjuk Teknis tentang Penggunaan Banko Tilang yang merupakan lampiran Skep Kapolri Tahun 1998.
Jadi, cukup jelas. Alasan yang dikemukakan kasat lantas hanyalah dalih, mencari-cari pembenaran untuk tindakan yang jelas-jelas salah. Kedoknya kelihatan. Kalau ada instansi yang bertransaksi tanpa kuitansi, patut dapat diduga ke mana uang akan lari. Bukan ke kas negara. Tolak kuitansi atau “tanda bukti setor” itu merupakan “tanda bukti kotor”. Polisi kotor tolak kuitansi.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 6 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Warga Maumere yang ditilang polantas Polres Sikka protes. Tiap butir pelanggaran dikenai denda Rp75.000. Uangnya disetor ke polantas, namun tanpa kuitansi atau tanda bukti pembayaran. Muncul dugaan, polantas melakukan pungutuan liar. Polantas membantah.
Menurut Kasat Lantas Indra Wijatmiko, pihaknya hanya mengeluarkan blanko tilang, bukan kuitansi. Di dalamnya tercantum jenis pelanggaran dan nilai uang yang harus dibayar pelanggar. “Kami bukan jual kacang seperti di pasar sehingga bisa keluarkan kuitansi. Blanko tilang yang kami keluarkan sesuai kesepakatan tim terpadu.”
Ini gawat. Polantas tidak memisahkan dua tanda bukti yang hakikatnya berbeda. Blanko tilang itu tanda bukti penilangan. Pencantuman nilai uang di dalamnya hanya bersifat pemberitahuan, seperti halnya pencantuan nilai uang dalam surat penagihan. Pencantuman ini mewajibkan tindakan lain, tindakan transaksi, memberi dan menerima uang, yang harus disertai tanda bukti tersendiri. Itulah kuitansi.
Untuk instansi pelayanan publik, kuitansi itu wajib hukumnya. Malah, idealnya, rangkap empat! Kuitansi merupakan bukti akuntabilitas sebuah instansi. Tegasnya, akuntabilitas mengharuskan kuitansi. Karena itu, kewajibkan ini tidak hanya ditujukan kepada petugas selaku pelayan, tetapi juga kepada masyarakat yang dilayani. Masyarakat selalu diimbau: jangan takut minta kuitansi saat bertransaksi.
Dalam kasus tilang di Maumere, imbauan ini dilaksanakan oleh Yonanes Kia Nunang, salah seorang pelanggar. Ia minta kuitansi kepada polantas Yodi Sadipun saat membayar denda Rp150.000 untuk dua butir pelanggaran. Kuitansi ia butuhkan guna mempertanggungjawabkan uang yang ia keluarkan. Polantas tidak berikan kuitansi. Kia Nunang mempertanyakan, mengapa polisi tidak melakukan hal itu.
Pertanyaan ini dijawab enteng saja oleh kasat lantas. “Kami bukan jual kacang seperti di pasar sehingga bisa keluarkan kuitansi.” Ini jawaban ngawur yang tidak menunjukkan kelas yang pantas bagi seorang kasat lantas. Kuitansi itu wajib hukumnya. Nama lainnya “tanda bukti setor”, sebagaimana tercantum dalam Buku Petunjuk Teknis tentang Penggunaan Banko Tilang yang merupakan lampiran Skep Kapolri Tahun 1998.
Jadi, cukup jelas. Alasan yang dikemukakan kasat lantas hanyalah dalih, mencari-cari pembenaran untuk tindakan yang jelas-jelas salah. Kedoknya kelihatan. Kalau ada instansi yang bertransaksi tanpa kuitansi, patut dapat diduga ke mana uang akan lari. Bukan ke kas negara. Tolak kuitansi atau “tanda bukti setor” itu merupakan “tanda bukti kotor”. Polisi kotor tolak kuitansi.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 6 Mei 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus tilang,
polantas,
sikka
Pornodiksi PDIP Mabar
Tolak Tambang dan Pilkada 2010
Oleh Frans Anggal
Fraksi PDIP Mabar menyatakan tolak tambang. Tambang merusak lingkungan dan kehidupan manusia. Mabar memiliki banyak sektor andalan yang sudah lama diakrabi masyarakat. Pertanian, kelautan, dan perikanan. Belakangan, pariwisata. Sektor-sektor inilah yang semestinya dikembangkan optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan PAD. Yang terjadi, sektor-sektor nonmineral ini belum dikembangkan optimal, sekarang mau urus tambang. Malah, ada pihak tertentu yang ngotot sekali. Ini ada apa?
Dalam sikapnya ini, Fraksi PDIP bermain bahasa. Siapa “pihak tertentu”, tidak disebutkan. Juga, “ini ada apa” tidak dijawabnya. Sengaja. Berkabur-kabur dengan pernyataan. Manfaatnya ganda. Pertama, dengan pernyataan kabur, publik tetap tahu siapa itu “pihak tertentu”. Sebab, yang dibaca publik bukan hanya teksnya tapi juga konteksnya. Kedua, dengan pernyataan kabur, Fraksi PDIP merasa bebas dari tanggung gugat.
Begitulah permainan bahasa politik. Santun, tapi sebenarnya tidak sopan. Mirip ketidaksopanan berpakaian. Berpakaian tidak sopan bukannya tidak berpakaian. Tetap berpakaian. Bukannya tidak menutupi aurat. Tetap menutup, namun dengan motivasi sebaliknya. Menutup untuk menonjolkan. Seandainya cara berpakaian seperti ini masuk pornoaksi, maka bertutur kata atas cara yang sama masuk pornodiksi. Pornodiksi politik.
Dalam soal tambang yang daya rusaknya luar biasa, semestinya Fraksi PDIP Mabar tidak bergenit-genit dengan pornodiksi politik. Mengapa tidak berterus terang saja? Misalnya, menyebut Bupati Fedelis Pranda sebagai “pihak tertentu” itu, dan langsung mengarahkan “ini ada apa” ke persiapan diri sang bupati menjelang pilkada Mabar. Bahwa, tambang emas bisa menjadi mesin uang yang dapat melempangkan jalannya untuk menang lagi pada periode kedua.
Berterus terang tidak ada salahnya, malah bermanfaat, termasuk bagi Bupati Pranda sendiri. Ia perlu tahu, wacana itu sudah berkembang. Wacana yang lahir dari berbagai preseden pada banyak daerah. Banyak bupati tikam kepala dengan tambang pada etape terakhir periode pertama untuk membekali diri ke periode kedua. Kalau investor masuk dengan modal Rp334 miliar misalnya, si bupati kebagian 10 persen, Rp33 milar. Tak heran, dia akan tikam kepala, tambang harus jadi, apa pun akibatnya bagi lingkungan.
Dalam hal sepenting ini, Fraksi PDIP Mabar tidak berani lugas, jelas, dan tegas. Masih berpornodiksi ‘menutup untuk menonjolkan’. Sementara dalam hal yang belum saatnya, ia begitu cepat buka-bukaan. Ia mengusung pasangan Agus Ch Dula dan Ambros Janggat untuk pilkada 2010. Ini memberi kesan: tolak tambang, karena ada maunya.
Yang kita inginkan: tolak tambang itu komitmen, bukan sekadar sarana merebut takhta. Kalau cuma untuk itu, apa bedanya dengan yang ngotot tambang yang juga kepingin takhta?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 5 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Fraksi PDIP Mabar menyatakan tolak tambang. Tambang merusak lingkungan dan kehidupan manusia. Mabar memiliki banyak sektor andalan yang sudah lama diakrabi masyarakat. Pertanian, kelautan, dan perikanan. Belakangan, pariwisata. Sektor-sektor inilah yang semestinya dikembangkan optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan PAD. Yang terjadi, sektor-sektor nonmineral ini belum dikembangkan optimal, sekarang mau urus tambang. Malah, ada pihak tertentu yang ngotot sekali. Ini ada apa?
Dalam sikapnya ini, Fraksi PDIP bermain bahasa. Siapa “pihak tertentu”, tidak disebutkan. Juga, “ini ada apa” tidak dijawabnya. Sengaja. Berkabur-kabur dengan pernyataan. Manfaatnya ganda. Pertama, dengan pernyataan kabur, publik tetap tahu siapa itu “pihak tertentu”. Sebab, yang dibaca publik bukan hanya teksnya tapi juga konteksnya. Kedua, dengan pernyataan kabur, Fraksi PDIP merasa bebas dari tanggung gugat.
Begitulah permainan bahasa politik. Santun, tapi sebenarnya tidak sopan. Mirip ketidaksopanan berpakaian. Berpakaian tidak sopan bukannya tidak berpakaian. Tetap berpakaian. Bukannya tidak menutupi aurat. Tetap menutup, namun dengan motivasi sebaliknya. Menutup untuk menonjolkan. Seandainya cara berpakaian seperti ini masuk pornoaksi, maka bertutur kata atas cara yang sama masuk pornodiksi. Pornodiksi politik.
Dalam soal tambang yang daya rusaknya luar biasa, semestinya Fraksi PDIP Mabar tidak bergenit-genit dengan pornodiksi politik. Mengapa tidak berterus terang saja? Misalnya, menyebut Bupati Fedelis Pranda sebagai “pihak tertentu” itu, dan langsung mengarahkan “ini ada apa” ke persiapan diri sang bupati menjelang pilkada Mabar. Bahwa, tambang emas bisa menjadi mesin uang yang dapat melempangkan jalannya untuk menang lagi pada periode kedua.
Berterus terang tidak ada salahnya, malah bermanfaat, termasuk bagi Bupati Pranda sendiri. Ia perlu tahu, wacana itu sudah berkembang. Wacana yang lahir dari berbagai preseden pada banyak daerah. Banyak bupati tikam kepala dengan tambang pada etape terakhir periode pertama untuk membekali diri ke periode kedua. Kalau investor masuk dengan modal Rp334 miliar misalnya, si bupati kebagian 10 persen, Rp33 milar. Tak heran, dia akan tikam kepala, tambang harus jadi, apa pun akibatnya bagi lingkungan.
Dalam hal sepenting ini, Fraksi PDIP Mabar tidak berani lugas, jelas, dan tegas. Masih berpornodiksi ‘menutup untuk menonjolkan’. Sementara dalam hal yang belum saatnya, ia begitu cepat buka-bukaan. Ia mengusung pasangan Agus Ch Dula dan Ambros Janggat untuk pilkada 2010. Ini memberi kesan: tolak tambang, karena ada maunya.
Yang kita inginkan: tolak tambang itu komitmen, bukan sekadar sarana merebut takhta. Kalau cuma untuk itu, apa bedanya dengan yang ngotot tambang yang juga kepingin takhta?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 5 Mei 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
manggarai barat,
pdip mabar,
pertambangan,
pilkada mabar 2010,
tolak tambang
04 Mei 2009
Olengnya Kapolres Sikka
Kontroversi Autopsi Jenazah Andri Heryanto
Oleh Frans Anggal
Mabes Polri heran dan meragukan mekanisme autopsi jenazah Andri Heryanto
yang dilakukan tim forensik yang didatangkan Polres Sikka. Mengapa hanya sampel otak dan hati yang diambil untuk diuji di laboratoriun forensik (labfor)? Hanya dengan dua sampel itu, penyebab kematian sulit diketahui. Mengapa hasil uji labfor juga tidak tranparan? Mengapa pula tidak disampaikan kepada keluarga Andri? Kini Mabes Polri sedang mencari waktu yang tepat untuk datang ke Maumere, mengevaluasi mekanisme autopsi yang sudah dilakukan itu. Tidak tertutup kemungkinan, mabes akan melakukan autopsi ulang.
Tanggapan Kapolres Agus Suryatno? Mekanisme autopsi sudah profesional. Autopsi dilakukan tim forensik independen. Anggota Komnas HAM hadir memantau dan mengawas. Soal mengapa hanya sampel hati dan otak yang diambil, itu kewenangan tim forensik, ”Jangan tanya saya. Yang pasti, autopsi sudah sesuai dengan mekanisme yang berlaku.”
Jawabannya mudah ditebak. Selalu begitu. Sebab, sikap dasarnya tetap yang itu-itu juga: menolak autopsi ulang karena polisi dan tim forensik sudah bekerja profesional. Malah ia pernah menilai autopsi ulang itu tidak etis karena melanggar kode etik kedokteran. “Bentara” edisi Sabtu 21 Maret 2009 menggolongkannya sebagai sesat pikir kapolres Sikka. Polisi yang punya kode etik sendiri koq mendasarkan sikap pada kode etik orang lain. Profesinya polisi, kode etiknya kedokteran. Polisi berlagak dokter.
Yang menarik, kapolres berbalik 180 derajat ketika Mabes Polri meragukan mekanisme autopsi yang hanya mengambil sampel otak dan hati. Itu kewenangan dokter forensik, katanya, ”Jangan tanya saya.” Kita bisa mengatakan, lho, Anda kan telah bersikap seolah-olah sebagai dokter ketika menolak autopsi ulang, mengapa sekarang tiba-tiba kembali menjadi polisi? Anda ini sebenarnya siapa? Kapolres Sikka ataukah Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia?
Dari sikap kukuh kapolres Sikka menolak autopsi ulang dan argumentasinya yang oleng-kemoleng, kita patut dapat menduga, ada yang disembunyikan secara sistematis oleh Polres Sikka dalam kematian Andri. Dugaan ini semakin kuat kalau dikaitkan dengan kasus dua hari sebelum Andri ditemukan mati tergantung di kosnya. Korban dianiaya seorang oknum Polres Sikka. Penganiayan ini sendiri tidak jelas lagi penanganannya. Saat ditemukan dan dimandikan keluarga, jenazah Andri tidak mencirikan kematian karena gantung diri. Lidahnya tidak menjulur, matanya tidak membelalak. Sebaliknya, pada sekujur tubuh ditemukan luka lebam. Satu giginya patah. Saat mengautopsi, tim forensik yang katanya independen itu hanya mengambil sampel otak dan hati. Hasilnya: murni mati gantung diri. Polres pun menyatakan menutup kasus ini.
Kalau kapolres tikam kepala menolak autopsi ulang dengan argumentasi oleng-kemoleng, itu bisa dimengerti dalam konteks ini. Mungkin ia sedang kelabakan. Itulah risikonya. Sendiri suka, sendiri rasa.
“Bentara” FLORES POS, Senin 4 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Mabes Polri heran dan meragukan mekanisme autopsi jenazah Andri Heryanto
yang dilakukan tim forensik yang didatangkan Polres Sikka. Mengapa hanya sampel otak dan hati yang diambil untuk diuji di laboratoriun forensik (labfor)? Hanya dengan dua sampel itu, penyebab kematian sulit diketahui. Mengapa hasil uji labfor juga tidak tranparan? Mengapa pula tidak disampaikan kepada keluarga Andri? Kini Mabes Polri sedang mencari waktu yang tepat untuk datang ke Maumere, mengevaluasi mekanisme autopsi yang sudah dilakukan itu. Tidak tertutup kemungkinan, mabes akan melakukan autopsi ulang.
Tanggapan Kapolres Agus Suryatno? Mekanisme autopsi sudah profesional. Autopsi dilakukan tim forensik independen. Anggota Komnas HAM hadir memantau dan mengawas. Soal mengapa hanya sampel hati dan otak yang diambil, itu kewenangan tim forensik, ”Jangan tanya saya. Yang pasti, autopsi sudah sesuai dengan mekanisme yang berlaku.”
Jawabannya mudah ditebak. Selalu begitu. Sebab, sikap dasarnya tetap yang itu-itu juga: menolak autopsi ulang karena polisi dan tim forensik sudah bekerja profesional. Malah ia pernah menilai autopsi ulang itu tidak etis karena melanggar kode etik kedokteran. “Bentara” edisi Sabtu 21 Maret 2009 menggolongkannya sebagai sesat pikir kapolres Sikka. Polisi yang punya kode etik sendiri koq mendasarkan sikap pada kode etik orang lain. Profesinya polisi, kode etiknya kedokteran. Polisi berlagak dokter.
Yang menarik, kapolres berbalik 180 derajat ketika Mabes Polri meragukan mekanisme autopsi yang hanya mengambil sampel otak dan hati. Itu kewenangan dokter forensik, katanya, ”Jangan tanya saya.” Kita bisa mengatakan, lho, Anda kan telah bersikap seolah-olah sebagai dokter ketika menolak autopsi ulang, mengapa sekarang tiba-tiba kembali menjadi polisi? Anda ini sebenarnya siapa? Kapolres Sikka ataukah Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia?
Dari sikap kukuh kapolres Sikka menolak autopsi ulang dan argumentasinya yang oleng-kemoleng, kita patut dapat menduga, ada yang disembunyikan secara sistematis oleh Polres Sikka dalam kematian Andri. Dugaan ini semakin kuat kalau dikaitkan dengan kasus dua hari sebelum Andri ditemukan mati tergantung di kosnya. Korban dianiaya seorang oknum Polres Sikka. Penganiayan ini sendiri tidak jelas lagi penanganannya. Saat ditemukan dan dimandikan keluarga, jenazah Andri tidak mencirikan kematian karena gantung diri. Lidahnya tidak menjulur, matanya tidak membelalak. Sebaliknya, pada sekujur tubuh ditemukan luka lebam. Satu giginya patah. Saat mengautopsi, tim forensik yang katanya independen itu hanya mengambil sampel otak dan hati. Hasilnya: murni mati gantung diri. Polres pun menyatakan menutup kasus ini.
Kalau kapolres tikam kepala menolak autopsi ulang dengan argumentasi oleng-kemoleng, itu bisa dimengerti dalam konteks ini. Mungkin ia sedang kelabakan. Itulah risikonya. Sendiri suka, sendiri rasa.
“Bentara” FLORES POS, Senin 4 Mei 2009
Mabar Kepingin ‘Kutukan’
Ketika Mulai Melirik Tambang Emas
Oleh Frans Anggal
Wakil Ketua DPRD Mabar Ambros Djanggat dan Lurah Labuan Bajo Abdul Ipur tersinggung, kecewa, menyesal, dan prihatin. Banyak media nasional tidak tahu letak Taman Nasional Komodo (TNK). Berita menyebutkan, TNK berada di Pulau Sumbawa. Lainnya, TNK masuk NTB. Media sudah begitu, orang per orang apalagi. Ada yang mengira TNK dekat dengan Ambon.
Sampai seperti itu, salah siapa? Ambros Djanggat dan Abdul Ipur menuding media. Media tidak akurat. Benar. Tapi tidak sepenuhnya. Mabar juga bersalah. Malah, kesalahannya paling besar dan menjadi biang kerok. Mau dikenal bagaimana kalau tidak diperkenalkan?
Tak ada kabupaten di NTT yang dikaruniai potensi pariwisata sekaya dan seindah pariwisata Mabar. Mabar punya banyak sekali. TNK hanya salah satunya, sekalgus jadi “ikon”-nya. Kalau sampai cuma TNK yang terkenal, Mabarnya tidak, ini ada apa? Ada yang belum beres. Pariwisatanya belum digenjot optimal. Salah siapa? Media? Lalu, bupatinya?
Yang banyak diharapkan dari Bupati Fidelis Pranda selaku bupati perdana Mabar justru, antara lain, peletakan fondasi, rancang bangun, dan pengembangan pariwisata sebagai leading sector yang menarik sektor-sektor lain. Di jelang senja kekuasaannya, sudahkah itu terwujud? Pasti dijawab sudah. Kalau sudah, mengapa TNK tenar sendirian sedangkan Mabar tidak?
Yang mencengangkan, ketika pariwisata belum sungguh-sungguh dikembangkan, perhatian sudah mulai ke tambang emas. Ini bahaya. Selain dahsyat daya rusaknya terhadap lingkungan, tambang emas membuat penguasa mengidap miopia (rabun jauh). Emas membawa rezeki nomplok (windfall profit) yang membuat penguasa gagal melihat jauh ke depan. Dalam jangka pendek, rezeki nomplok itu menguntungkannya, apalagi kalau mau menang pilkada. Dalam jangka panjang, lain ceritanya.
Dengan rezeki nomplok, penguasa jadi kaya mendadak. Ia tidak lagi bergantung pada rakyat sebagaimana laiknya pemimpin negara demokrasi yang hidup dari pajak. Sebaliknya, ia bisa “beli” rakyat. Keenakan oleh rezeki ini, ia abaikan investasi jangka panjang di sektor non-mineral seperti industri dan jasa. Padahal, emas akan habis. Akhir cerita: begitu emas habis, habislah semuanya.
Indonesia mengalami ini ketika terbuai rezeki nomplok minyak tahun 1970. Minyak mulai habis, Indonesia pun semakin miskin. Inilah yang disebut ‘kutukan sumber daya alam’ (resource curse). Sebaliknya, Jepang, Korea, Singapura. Miskin sumber alam, tapi maju pesat karena terpacu mengkompensasikan ketiadaan sumber alam melalui pengembangan sektor lain seperti teknologi dan jasa.
Sekarang, giliran Mabar. Mulai melirik tambang emas. Pariwisata terancam ditinggalkan. Rupanya kepingin ‘kutukan’ juga.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 2 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Wakil Ketua DPRD Mabar Ambros Djanggat dan Lurah Labuan Bajo Abdul Ipur tersinggung, kecewa, menyesal, dan prihatin. Banyak media nasional tidak tahu letak Taman Nasional Komodo (TNK). Berita menyebutkan, TNK berada di Pulau Sumbawa. Lainnya, TNK masuk NTB. Media sudah begitu, orang per orang apalagi. Ada yang mengira TNK dekat dengan Ambon.
Sampai seperti itu, salah siapa? Ambros Djanggat dan Abdul Ipur menuding media. Media tidak akurat. Benar. Tapi tidak sepenuhnya. Mabar juga bersalah. Malah, kesalahannya paling besar dan menjadi biang kerok. Mau dikenal bagaimana kalau tidak diperkenalkan?
Tak ada kabupaten di NTT yang dikaruniai potensi pariwisata sekaya dan seindah pariwisata Mabar. Mabar punya banyak sekali. TNK hanya salah satunya, sekalgus jadi “ikon”-nya. Kalau sampai cuma TNK yang terkenal, Mabarnya tidak, ini ada apa? Ada yang belum beres. Pariwisatanya belum digenjot optimal. Salah siapa? Media? Lalu, bupatinya?
Yang banyak diharapkan dari Bupati Fidelis Pranda selaku bupati perdana Mabar justru, antara lain, peletakan fondasi, rancang bangun, dan pengembangan pariwisata sebagai leading sector yang menarik sektor-sektor lain. Di jelang senja kekuasaannya, sudahkah itu terwujud? Pasti dijawab sudah. Kalau sudah, mengapa TNK tenar sendirian sedangkan Mabar tidak?
Yang mencengangkan, ketika pariwisata belum sungguh-sungguh dikembangkan, perhatian sudah mulai ke tambang emas. Ini bahaya. Selain dahsyat daya rusaknya terhadap lingkungan, tambang emas membuat penguasa mengidap miopia (rabun jauh). Emas membawa rezeki nomplok (windfall profit) yang membuat penguasa gagal melihat jauh ke depan. Dalam jangka pendek, rezeki nomplok itu menguntungkannya, apalagi kalau mau menang pilkada. Dalam jangka panjang, lain ceritanya.
Dengan rezeki nomplok, penguasa jadi kaya mendadak. Ia tidak lagi bergantung pada rakyat sebagaimana laiknya pemimpin negara demokrasi yang hidup dari pajak. Sebaliknya, ia bisa “beli” rakyat. Keenakan oleh rezeki ini, ia abaikan investasi jangka panjang di sektor non-mineral seperti industri dan jasa. Padahal, emas akan habis. Akhir cerita: begitu emas habis, habislah semuanya.
Indonesia mengalami ini ketika terbuai rezeki nomplok minyak tahun 1970. Minyak mulai habis, Indonesia pun semakin miskin. Inilah yang disebut ‘kutukan sumber daya alam’ (resource curse). Sebaliknya, Jepang, Korea, Singapura. Miskin sumber alam, tapi maju pesat karena terpacu mengkompensasikan ketiadaan sumber alam melalui pengembangan sektor lain seperti teknologi dan jasa.
Sekarang, giliran Mabar. Mulai melirik tambang emas. Pariwisata terancam ditinggalkan. Rupanya kepingin ‘kutukan’ juga.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 2 Mei 2009
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
manggarai barat,
pertambangan,
tambang emas
Mabar dan Keajaiban Itu
TNK dalam Poling The Seven Wonders Foundation
Oleh Frans Anggal
Taman Nasional Komodo (TNK) di Mabar kini di urutan ke-8 Keajaiban Dunia untuk kategori Grup E yang meliputi hutan dan taman nasional. Begitu hasil poling The Seven Wonders Foundation di Swiss. Poling dimulai 2008. Seleksinya bertahap. Desember 2009, seleksi terakhir menentukan yang terajaib dari setiap grup, seluruhnya tujuh grup, untuk kemudian ditetapkan sebagai Tujuh Keajaiban Dunia. Pengumumannya pada 2010.
Awalnya, dari Indonesai ada tiga: Gunung Krakatau, Danau Toba, dan TNK. Dalam perjalanan, tinggal TNK. TNK bersaing dengan 60 keajaiban dunia dari 6 benua. Semula ia di urutan 14, lalu naik ke urutan 10, dan sekarang di urutan 8.
Naiknya posisi bergantung dari banyaknya dukungan. Karena itu, Mabar mulai bergerak. Bupati Fidelis Pranda ajak masyarakat kirim dukungan via internet dan telepon ke Swiss. Wabup Agus Dula imbau pemilik warnet turunkan tarif internet. Wakil Ketua DPRD Ambros Djanggat desak pemkab siapkan internet gratis.
Secara ilmiah, poling seperti ini tidak valid dan dapat menyesatkan. Cacat metodologisnya: responden tidak ditentukan oleh penyelenggara, tapi oleh responden sendiri. Bahayanya: masyarakat akan mudah menganggap hasil poling sebagai kenyataan objektif. Kendati demikian, ada manfaatnya. Efek promosinya besar. Ini yang menguntungkan.
“Kalau TNK masuk tujuh besar maka masyarakat Mabar, Flores, NTT, dan Indonesia bangga. Kunjungan turis bakal meningkat. Dampaknya akan meningkatkan ekonomi masyarakat dan PAD Mabar.” Begitu kata Ambros Djanggat. Benar. Yang jadi pertanyaan: seberapa besar peningkatan itu?
Kita bisa pastikan, dampak ekonomis bagi masyarakat dan PAD tidak akan sebanding dengan ketenaran TNK, kalau pariwisata Mabar masih seperti sekarang. Pariwisatanya belum menjadi leading sector yang menggerakkan sektor-sektor lain. Lihat saja. Mabar boleh punya TNK, Bali yang raup untung. Kapal turis datang dari Bali langsung ke TNK, lalu balik lagi ke Bali. Mabarnya tidak dilirik. Bali makan duitnya, Mabar makan bangganya.
Kalau masih seperti itu, gerakan Mabar mengantar TNK masuk Tujuh Keajaiban Dunia tak lebih daripada ‘fenomena permen karet’ (bubble gum phenomenon). Menggelembung besar, isinya hampa. Tak ada pula yang bisa diangkatnya kecuali dirinya sendiri. Sebab, ia cuma permen karet, bukan balon udara.
Dalam dunia psikologi, ‘fenomena permen karet’ menggejalakan kelainan jiwa. Megalomania. Kelainan jiwa yang ditandai khayalan tentang kekuasaan dan kebesaran diri. Ekspresinya: ucapan dan tindakan. Gila yang besar-besar meski merusak. Tambang emas, gedung megah, mobil mewah, pesta meriah. Di tengah kemiskinan rakyat, bukankah ini termasuk “keajaiban dunia” juga?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 1 Mei 2009
Oleh Frans Anggal
Taman Nasional Komodo (TNK) di Mabar kini di urutan ke-8 Keajaiban Dunia untuk kategori Grup E yang meliputi hutan dan taman nasional. Begitu hasil poling The Seven Wonders Foundation di Swiss. Poling dimulai 2008. Seleksinya bertahap. Desember 2009, seleksi terakhir menentukan yang terajaib dari setiap grup, seluruhnya tujuh grup, untuk kemudian ditetapkan sebagai Tujuh Keajaiban Dunia. Pengumumannya pada 2010.
Awalnya, dari Indonesai ada tiga: Gunung Krakatau, Danau Toba, dan TNK. Dalam perjalanan, tinggal TNK. TNK bersaing dengan 60 keajaiban dunia dari 6 benua. Semula ia di urutan 14, lalu naik ke urutan 10, dan sekarang di urutan 8.
Naiknya posisi bergantung dari banyaknya dukungan. Karena itu, Mabar mulai bergerak. Bupati Fidelis Pranda ajak masyarakat kirim dukungan via internet dan telepon ke Swiss. Wabup Agus Dula imbau pemilik warnet turunkan tarif internet. Wakil Ketua DPRD Ambros Djanggat desak pemkab siapkan internet gratis.
Secara ilmiah, poling seperti ini tidak valid dan dapat menyesatkan. Cacat metodologisnya: responden tidak ditentukan oleh penyelenggara, tapi oleh responden sendiri. Bahayanya: masyarakat akan mudah menganggap hasil poling sebagai kenyataan objektif. Kendati demikian, ada manfaatnya. Efek promosinya besar. Ini yang menguntungkan.
“Kalau TNK masuk tujuh besar maka masyarakat Mabar, Flores, NTT, dan Indonesia bangga. Kunjungan turis bakal meningkat. Dampaknya akan meningkatkan ekonomi masyarakat dan PAD Mabar.” Begitu kata Ambros Djanggat. Benar. Yang jadi pertanyaan: seberapa besar peningkatan itu?
Kita bisa pastikan, dampak ekonomis bagi masyarakat dan PAD tidak akan sebanding dengan ketenaran TNK, kalau pariwisata Mabar masih seperti sekarang. Pariwisatanya belum menjadi leading sector yang menggerakkan sektor-sektor lain. Lihat saja. Mabar boleh punya TNK, Bali yang raup untung. Kapal turis datang dari Bali langsung ke TNK, lalu balik lagi ke Bali. Mabarnya tidak dilirik. Bali makan duitnya, Mabar makan bangganya.
Kalau masih seperti itu, gerakan Mabar mengantar TNK masuk Tujuh Keajaiban Dunia tak lebih daripada ‘fenomena permen karet’ (bubble gum phenomenon). Menggelembung besar, isinya hampa. Tak ada pula yang bisa diangkatnya kecuali dirinya sendiri. Sebab, ia cuma permen karet, bukan balon udara.
Dalam dunia psikologi, ‘fenomena permen karet’ menggejalakan kelainan jiwa. Megalomania. Kelainan jiwa yang ditandai khayalan tentang kekuasaan dan kebesaran diri. Ekspresinya: ucapan dan tindakan. Gila yang besar-besar meski merusak. Tambang emas, gedung megah, mobil mewah, pesta meriah. Di tengah kemiskinan rakyat, bukankah ini termasuk “keajaiban dunia” juga?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 1 Mei 2009
Langganan:
Postingan (Atom)