Ketika Bahasa Mengaburkan Fakta
Oleh Frans Anggal
Di Flotim, tanaman jagung kering semua. Di Ende, ratusan hektare tanaman pangan gagal tumbuh. Penyebabnya, kemarau panjang atau curah hujan yang tidak menentu. Di Manggarai dan Manggarai Timur, nasib tanaman jagung tiada bedanya. Bukan karena kemarau, tapi karena hama belalang kembara. Dampak selanjutnya bisa ditebak. Menurut data sementara, 43 desa pada 6 kabupaten di NTT terancam rawan pangan (Flores Pos Kamis 25 Februari 2010).
Kemarau panjang. Hama. Ketika keduanya datang, sendiri-sendiri atau bersama-sama, serentetan akibat pun menimpa petani. Gagal tanam, gagal tumbuh, gagal panen, rawan pangan, gizi buruk, busung lapar, hingga kematian. Kisahnya selalu berulang, hampir setiap tahun. Sejalan dengannya, berulang pula berbagai bentuk pangaburan dan penguburan fakta.
Biasanya, fakta-fakta ‘memalukan’ itu dikaburkan dan dikuburkan dengan bahasa. Lazimnya, berupa bantahan. Ditandai dengan pemakaian “tidak”, “bukan”, “belum” terhadap hal ‘memalukan’ itu. Lainnya, berupa penjelasan yang justru tidak jelas. Atau, berupa penghalusan bahasa (eufemisme). Kelaparan (dikaburkan atau dikuburkan sehingga) disebut rawan pangan. Rawan pangan (dikaburkan atau dikuburkan sehingga) disebut rawan daya beli. Dst, dst.
Sekadar contoh. Ketika menyebutkan 43 desa pada 6 kabupaten di NTT terancam rawan pangan dalam jumpa pers di Kupang, Rabu 24 Februari 2010, Kepala Badan Bimas Ketahanan Pangan NTT Petrus Langoday memberikan penjelasan tambahan. “Gagal panen tidak identik dengan rawan pangan,” katanya.
Pertanyaan kita: siapa juga yang samakan gagal panen dengan rawan pangan? Gagal panen itu satu hal. Sedangkan rawan pangan itu hal lain. Gagal panen itu keadaan tanaman yang tidak memberikan hasil alias puso. Sedangkan rawan pangan, keadaan manusia yang tidak miliki cukup pangan. Keduanya sangat jelas tidaklah sama. Hanya yang tidak waras yang menyamakannya begitu saja.
Pertanyaan selanjutnya: kenapa hal yang sudah sangat jelas itu mesti dikatakan untuk ‘menjelaskan’ fakta 43 desa pada 6 kabupaten di NTT terancam rawan pangan? Adalah jauh lebih berguna mengatakan “Gagal panen dapat mengakibatkan rawan pangan” ketimbang mengatakan “Gagal panen tidak identik dengan rawan pangan.” Kenapa?
Pernyataan pertama itu berguna, karena dengannya orang dapat diingatkan untuk bersiaga mengantisipasi rawan pangan. Sebaliknya pernyataan kedua, selain tidak berguna, juga ‘berbahaya’. Orang bisa dininabobokan. Seolah-olah: gagal panen tidak apa-apa. Karena, “Gagal panen tidak identik dengan rawan pangan.”
Pertanyaan terkahir: kenapa pernyataan yang tidak berguna bahkan ‘berbahaya’ itu mesti diucapakan? Kita patut dapat menduga, ini salah satu bentuk pengaburan atau penguburan fakta. Rawan pangan, meski masih berupa potensi, jauh-jauh hari sudah dikaburkan atau dikuburkan. Padahal, itu dampak logis dan rutin di NTT, setiap tahun. Kalau sudah kemarau panjang dan serangan hama, fakta buruk ini menyusul: gagal tanam, gagal tumbuh, gagal panen, rawan pangan, gizi buruk, busung lapar, hingga kematian.
Semua fakta buruk itu tentu tidak bisa dicegah, diatasi, dan dihilangkan dengan retorika bantahan, penjelasan, dan penghalusan bahasa. Lalu, kenapa hal itu selalu diulang? Apakah ini penyakit bawaan setiap kekuasaan? Yang mereduksi nasib rakyat menjadi sekadar kertas dan angka-angka?
Penyair Dylan Thomas mungkin benar. Kekuasaan itu … The hands that signed the paper (tangan yang menandatangani kertas). Tangan tidak punya hati. Tangan tidak peka akan derita rakyat. Hands have no tears to flow (tangan tak punya airmata yang akan mengalir).
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 27 Februari 2010
28 Februari 2010
Kemarau dan Hama Datang
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
flotim,
gagal panen,
hama,
kemarau,
manggarai,
manggarai timur,
ntt,
pertanian,
rawan pangan
24 Februari 2010
Geram, Almadi, JPIC
Tolak Tambang di Mabar dan Manggarai
Oleh Frans Anggal
Dampak negatif tambang terbuka di Manggarai dan Mabar semakin mengkhawatirkan. Para aktivis yang terdiri dari berbagai elemen civil society terus berjuang, sebagaimana diwartakan Flores Pos Selasa 23 Februari 2010.
Di Mabar. Gerakan Masyarakat Anti Tambang (Geram) Flores Lembata sudah melaporkan ke Polri, Dephut, dan DPR RI dugaan pelanggaran hukum dalam eksplorasi tambang emas di Tebedo dan Batu Gosok. Eksplorasi di Batugosok melanggar perda tata ruang. Eksplorasi di Tebedo merambah hutan lindung.
Di Manggarai. Almadi NTT, JPIC Keuskupan Ruteng, JPIC SVD Ruteng, dan JPIC OFM datangi DPRD. Mereka tidak hanya bicara, tapi juga perlihatkan slide tentang dampak negatif yang sudah terjadi akibat eksploitasi tambang mangan di hutan lindung RTK 103 Torong Besi. Hutan hancur. Debit air turun. Udara terpolusi akibat debu mangan. Air laut tercemar oleh limbah buangan.
Kedua kasus ini sudah masuk proses hukum. Di Mabar, masih pada tahap penyidikan polisi. Itu pun tidak maju-maju dan makin tidak jelas. Polisi hanya panggil dan periksa orang-orang kecil: para kepala dinas terkait. Bupati dan kuasa pertambangannya belum. Sampai kapan, entahlah. Rupanya tidak dalam tahun ini. Soalnya, Mabar masuki musim pemilukada, dan bupati yang terbitkan izin eksplorasi itu maju sebagai incumbent.
Begitu di mana-mama. Persoalan politik dijadikan dalih untuk lupakan persoalan hukum. Di Ende, 2008, sekadar contoh. Kajari tidak memproses kasus dugaan korupsi yang libatkan bupati. Alasannya: pilkada. Tujuannya: demi kondusifnya pilkada. Artinya apa? Dalam otak kajari, penegakan hukum itu sama dengan gangguan kamtibmas. Demi pilkada, penegakan hukum harus diberantas. Ini petaka. Sendi negara hukum dilemahkan oleh aparat penegak hukum sendiri.
Di Mabar, karena proses hukum di tingkat bawah tidak bisa diandalkan, Geram tembak langsung ke Jakarta. Sedangkan di Manggarai, karena proses hukum di tingkat atas tidak bisa dipercaya, Almadi dan JPIC datangi DPRD. Kasusnya sendiri sudah sampai pada vonis tingkat banding peradilan tata usaha negara. Kuasa pertambangan menang melawan pemkab. Kuasa pertambangan dinilai tidak merambah hutan lindung karena penetapan hutan lindung tidak dituangkan dalam perda. Apakah pembuatan perda nantinya bisa jadi solusi? Kita tidak tahu. Hukum di negeri ini tidak jelas.
Di Mabar, dalam kasus eksplorasi tambang emas Batugosok, ada perda. Perda tata ruang. Perda itu dilanggar oleh bupati dan kuasa pertambangan. Dua pelanggar ini tidak ditangkap oleh polisi. Di Manggarai, dalam kasus hutan lindung RTK 103 Torong Besi, perdanya tidak ada. Karena itu, kuasa pertambangan yang eksploitasi mangan di situ dianggap tidak melanggar hukum. Namun ketika warga tebang kayu di lokasi yang sama, mereka ditangkap oleh polisi karena dianggap merambah hutan lindung.
Baik di Mabar maupun di Manggarai, penegakan hukumnya tebang pilih. Di Mabar, bupati dan kuasa pertambangan tidak tersentuh. Di Manggarai, kuasa pertambangan malah menang perkara. Prinsip ’persamaan di depan hukum’ (equality before the law) omong kosong. Penegak hukum belum berani ’maju tak gentar membela yang benar’. Hanya berani ’maju tak gentar membela orang besar’. Dan, ’maju tak gentar membela yang bayar’.
Kondisi begini bisa bikin para pejuang keadilan patah semangat. Syukurlah, Geram, Almadi, dan JPIC, tidak. Mereka tetap maju bertarung meski dipukul terus-menerus. Mereka tetap hidup dan berharap. Mereka percaya, akhirnya kebenaran dan keadilan akan tegak. Bukankah ini esensi dari setiap sikap religius?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 25 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Dampak negatif tambang terbuka di Manggarai dan Mabar semakin mengkhawatirkan. Para aktivis yang terdiri dari berbagai elemen civil society terus berjuang, sebagaimana diwartakan Flores Pos Selasa 23 Februari 2010.
Di Mabar. Gerakan Masyarakat Anti Tambang (Geram) Flores Lembata sudah melaporkan ke Polri, Dephut, dan DPR RI dugaan pelanggaran hukum dalam eksplorasi tambang emas di Tebedo dan Batu Gosok. Eksplorasi di Batugosok melanggar perda tata ruang. Eksplorasi di Tebedo merambah hutan lindung.
Di Manggarai. Almadi NTT, JPIC Keuskupan Ruteng, JPIC SVD Ruteng, dan JPIC OFM datangi DPRD. Mereka tidak hanya bicara, tapi juga perlihatkan slide tentang dampak negatif yang sudah terjadi akibat eksploitasi tambang mangan di hutan lindung RTK 103 Torong Besi. Hutan hancur. Debit air turun. Udara terpolusi akibat debu mangan. Air laut tercemar oleh limbah buangan.
Kedua kasus ini sudah masuk proses hukum. Di Mabar, masih pada tahap penyidikan polisi. Itu pun tidak maju-maju dan makin tidak jelas. Polisi hanya panggil dan periksa orang-orang kecil: para kepala dinas terkait. Bupati dan kuasa pertambangannya belum. Sampai kapan, entahlah. Rupanya tidak dalam tahun ini. Soalnya, Mabar masuki musim pemilukada, dan bupati yang terbitkan izin eksplorasi itu maju sebagai incumbent.
Begitu di mana-mama. Persoalan politik dijadikan dalih untuk lupakan persoalan hukum. Di Ende, 2008, sekadar contoh. Kajari tidak memproses kasus dugaan korupsi yang libatkan bupati. Alasannya: pilkada. Tujuannya: demi kondusifnya pilkada. Artinya apa? Dalam otak kajari, penegakan hukum itu sama dengan gangguan kamtibmas. Demi pilkada, penegakan hukum harus diberantas. Ini petaka. Sendi negara hukum dilemahkan oleh aparat penegak hukum sendiri.
Di Mabar, karena proses hukum di tingkat bawah tidak bisa diandalkan, Geram tembak langsung ke Jakarta. Sedangkan di Manggarai, karena proses hukum di tingkat atas tidak bisa dipercaya, Almadi dan JPIC datangi DPRD. Kasusnya sendiri sudah sampai pada vonis tingkat banding peradilan tata usaha negara. Kuasa pertambangan menang melawan pemkab. Kuasa pertambangan dinilai tidak merambah hutan lindung karena penetapan hutan lindung tidak dituangkan dalam perda. Apakah pembuatan perda nantinya bisa jadi solusi? Kita tidak tahu. Hukum di negeri ini tidak jelas.
Di Mabar, dalam kasus eksplorasi tambang emas Batugosok, ada perda. Perda tata ruang. Perda itu dilanggar oleh bupati dan kuasa pertambangan. Dua pelanggar ini tidak ditangkap oleh polisi. Di Manggarai, dalam kasus hutan lindung RTK 103 Torong Besi, perdanya tidak ada. Karena itu, kuasa pertambangan yang eksploitasi mangan di situ dianggap tidak melanggar hukum. Namun ketika warga tebang kayu di lokasi yang sama, mereka ditangkap oleh polisi karena dianggap merambah hutan lindung.
Baik di Mabar maupun di Manggarai, penegakan hukumnya tebang pilih. Di Mabar, bupati dan kuasa pertambangan tidak tersentuh. Di Manggarai, kuasa pertambangan malah menang perkara. Prinsip ’persamaan di depan hukum’ (equality before the law) omong kosong. Penegak hukum belum berani ’maju tak gentar membela yang benar’. Hanya berani ’maju tak gentar membela orang besar’. Dan, ’maju tak gentar membela yang bayar’.
Kondisi begini bisa bikin para pejuang keadilan patah semangat. Syukurlah, Geram, Almadi, dan JPIC, tidak. Mereka tetap maju bertarung meski dipukul terus-menerus. Mereka tetap hidup dan berharap. Mereka percaya, akhirnya kebenaran dan keadilan akan tegak. Bukankah ini esensi dari setiap sikap religius?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 25 Februari 2010
Label:
almadi,
bentara,
flores,
flores pos,
geram,
jpic,
manggarai,
manggarai barat,
tambang
23 Februari 2010
Yang Benar Saja, Polsek Aesesa!
Kekerasan Seksual terhadap Anak di Nagekeo
Oleh Frans Anggal
Seorang ketua RT di Watukesu, Kelurahan Danga, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, menghamili seorang siswi SMA. Korban masih trauma. Ia belum mau ke sekolah. Pelaku sudah ditahan di Polsek Aesesa sejak keluarga korban melaporkannya 2 Februari 2010 (Flores Pos Selasa 23 Februari 2010).
Kasus ini mulai terungkap ketika keluarga melihat gejala tertentu pada diri korban. Keluarga bawa dia ke RSUD Ende untuk diperiksa. Hasilnya, positif hamil. Ketika ditanya siapa ayah bayi, korban menyebut nama ketua RT. Semua tindakan seksual ketua RT terhadap dirinya ia catat di buku harian. Selain tidak sekali dua, kejadiannya sudah sejak korban masih duduk di bangku SD.
Sejak SD! Jelas, ini kekerasan seksual terhadap anak. Baru tersingkap, karena umumnya kekerasan seksual terhadap anak terdiri dari tiga fase. Fase perjanjian: pelaku iming-imingkan sesuatu kepada anak, berupa uang dll. Fase rahasia: “Jangan bilang siapa-siapa!” Biasanya disertai ancaman. Fase penyingkapan: biasanya terjadi tak disengaja. Pada kasus di atas, penyingkapan dimulai ketika orangtua melihat ada sesuatu yang ‘lain’ pada diri anak.
Dengan pola seperti itu, tidak heran, kekerasan seksual terhadap anak umumnya baru terungkap setelah terjadi berulang-ulang. Pada kasus di atas, terjadinya tidak hanya berkali-kali, tapi juga bertahun-tahun. Sejak korban masih SD. Dengan frekuensi dan durasi seperti itu, betapa (akan) besar dan panjangnya efek psikologis bagi si anak.
Menurut banyak kajian, hingga dewasa, anak korban kekerasan seksual biasanya akan memiliki rasa harga diri rendah. Menderita depresi. Memendam rasa bersalah. Sulit percayai orang lain. Kesepian. Sulit bangun dan jaga hubungan dengan orang lain. Tidak berminat terhadap seks. Ekstrem lain bisa terjadi: terjerumus ke pelacuran, alkohol, dan obat terlarang. Juga, yang laki-laki, cenderung lakukan kekerasan seksual juga kepada anak-anak.
Dengan efek psikologis seperti itu, sudah cukup bagi kita untuk katakan: betapa jahatnya tindak kekerasan seksual terhadap anak! Karenanya, masuk akal, hukum positif kita tidak menggolongkannya sebagai delik aduan. Artinya, asalkan diketahui kasusnya, polisi harus segera bertindak, tidak tunggu pengaduan dari korban atau keluarga korban. Dalam hal bukan sebagai delik aduan, kasus kekerasan seksual terhadap anak sama dengan kasus pembunuhan. Jangan tunggu ada laporan polisi dulu baru polisi bertindak.
Bagaimana dengan kasus di atas? Justru sebaliknyalah yang terjadi. Keluarga korban heran, Polsek Aesesa minta lagi surat pengaduan dari keluarga korban. Yang benar saja, Polsek Aesesa! Apa tidak tahu UU? Atau sengaja tidak mau tau karena sudah tau sama tau dengan pihak yang kita tidak tau?
Dari penuturan korban, jelas, ini kasus kekerasan seksual terhadap anak. Artinya, bukan delik aduan. Salain itu, kasusnya sudah di tangan polisi. Pelakunya pun sudah ditahan. Untuk apa lagi minta surat pengaduan dari keluarga korban? Apa mau ulur-ulur waktu? Agar diselesaikan oleh waktu?
Kalau tunggu diselesaikan waktu, buat apa ada hukum dan UU? UU-nya jelas: UU 23/2003 tentang Perlindungan Anak dan KUHP. Meski, kita tetap tidak puas dengan UU 23/2003 ini. Sebab, penyelesaian kasusnya hanya berurusan dengan pelaku. Korban tidak dapat perhatian yang cukup. Padahal, korban butuhkan keadilan dan pendampingan untuk pemulihan trauma psikologis.
Karena itu, demi si anak, tidak cukup penyelesaian pidana saja. Perlu penyelesaian perdata juga. Hukum pidana hanya menghukum pelaku. Bagaimana dengan nasib korban? Di sini perlunya hukum perdata. Perlu, menggugat ganti rugi atas penderitaan materiil dan immateriil.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 24 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Seorang ketua RT di Watukesu, Kelurahan Danga, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, menghamili seorang siswi SMA. Korban masih trauma. Ia belum mau ke sekolah. Pelaku sudah ditahan di Polsek Aesesa sejak keluarga korban melaporkannya 2 Februari 2010 (Flores Pos Selasa 23 Februari 2010).
Kasus ini mulai terungkap ketika keluarga melihat gejala tertentu pada diri korban. Keluarga bawa dia ke RSUD Ende untuk diperiksa. Hasilnya, positif hamil. Ketika ditanya siapa ayah bayi, korban menyebut nama ketua RT. Semua tindakan seksual ketua RT terhadap dirinya ia catat di buku harian. Selain tidak sekali dua, kejadiannya sudah sejak korban masih duduk di bangku SD.
Sejak SD! Jelas, ini kekerasan seksual terhadap anak. Baru tersingkap, karena umumnya kekerasan seksual terhadap anak terdiri dari tiga fase. Fase perjanjian: pelaku iming-imingkan sesuatu kepada anak, berupa uang dll. Fase rahasia: “Jangan bilang siapa-siapa!” Biasanya disertai ancaman. Fase penyingkapan: biasanya terjadi tak disengaja. Pada kasus di atas, penyingkapan dimulai ketika orangtua melihat ada sesuatu yang ‘lain’ pada diri anak.
Dengan pola seperti itu, tidak heran, kekerasan seksual terhadap anak umumnya baru terungkap setelah terjadi berulang-ulang. Pada kasus di atas, terjadinya tidak hanya berkali-kali, tapi juga bertahun-tahun. Sejak korban masih SD. Dengan frekuensi dan durasi seperti itu, betapa (akan) besar dan panjangnya efek psikologis bagi si anak.
Menurut banyak kajian, hingga dewasa, anak korban kekerasan seksual biasanya akan memiliki rasa harga diri rendah. Menderita depresi. Memendam rasa bersalah. Sulit percayai orang lain. Kesepian. Sulit bangun dan jaga hubungan dengan orang lain. Tidak berminat terhadap seks. Ekstrem lain bisa terjadi: terjerumus ke pelacuran, alkohol, dan obat terlarang. Juga, yang laki-laki, cenderung lakukan kekerasan seksual juga kepada anak-anak.
Dengan efek psikologis seperti itu, sudah cukup bagi kita untuk katakan: betapa jahatnya tindak kekerasan seksual terhadap anak! Karenanya, masuk akal, hukum positif kita tidak menggolongkannya sebagai delik aduan. Artinya, asalkan diketahui kasusnya, polisi harus segera bertindak, tidak tunggu pengaduan dari korban atau keluarga korban. Dalam hal bukan sebagai delik aduan, kasus kekerasan seksual terhadap anak sama dengan kasus pembunuhan. Jangan tunggu ada laporan polisi dulu baru polisi bertindak.
Bagaimana dengan kasus di atas? Justru sebaliknyalah yang terjadi. Keluarga korban heran, Polsek Aesesa minta lagi surat pengaduan dari keluarga korban. Yang benar saja, Polsek Aesesa! Apa tidak tahu UU? Atau sengaja tidak mau tau karena sudah tau sama tau dengan pihak yang kita tidak tau?
Dari penuturan korban, jelas, ini kasus kekerasan seksual terhadap anak. Artinya, bukan delik aduan. Salain itu, kasusnya sudah di tangan polisi. Pelakunya pun sudah ditahan. Untuk apa lagi minta surat pengaduan dari keluarga korban? Apa mau ulur-ulur waktu? Agar diselesaikan oleh waktu?
Kalau tunggu diselesaikan waktu, buat apa ada hukum dan UU? UU-nya jelas: UU 23/2003 tentang Perlindungan Anak dan KUHP. Meski, kita tetap tidak puas dengan UU 23/2003 ini. Sebab, penyelesaian kasusnya hanya berurusan dengan pelaku. Korban tidak dapat perhatian yang cukup. Padahal, korban butuhkan keadilan dan pendampingan untuk pemulihan trauma psikologis.
Karena itu, demi si anak, tidak cukup penyelesaian pidana saja. Perlu penyelesaian perdata juga. Hukum pidana hanya menghukum pelaku. Bagaimana dengan nasib korban? Di sini perlunya hukum perdata. Perlu, menggugat ganti rugi atas penderitaan materiil dan immateriil.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 24 Februari 2010
22 Februari 2010
Dari Kisah Sandra Modh
Soal Pangan Lokal
Oleh Frans Anggal
Mahasiswi Universitas Oxford, Inggris, Sandra Modh, suka ubi dan pisang rebus. Ia sedang lakukan penelitian di Pulau Palue. ”Saya sudah empat bulan lebih berada di tengah warga Palue. Selama di sana, saya sangat senang makanan lokal seperti ubi dan pisang rebus” (Flores Pos Sabtu 20 Fabruari 2010).
Ubi dan pisang, makanan harian warga Palue. Selaku peneliti yang live in di sana, Sandra Modh mau tidak mau ikut makan apa yang warga makan. Awalnya pasti tidak mudah. Butuhkan penyesuaian mulut, hidung, perut. Lama-lama bisa. Ala bisa karena biasa. Malah tidak hanya bisa, juga suka. Disukai karena dikenal. Dikenal maka disayang.
Yang dialami Sandra Modh sesungguhnya hal biasa. Yang menarik: kenapa hal yang objektif biasa saja ini dianggap luar biasa sehingga diberitakan di media? Rupanya, secara subjektif kita miliki mindset tertentu tentang makanan lokal kita. Bahwa, makanan lokal itu kuno, tidak peka zaman, tidak sesuai dengan kebudayaan tubuh modern. Karena itu, ketika orang dari dunia pertama menyukainya, kita bangga, kaget, dan menganggapnya luar biasa.
Dengan mindset yang mungkin sudah dicekoki pesan-pesan ekonomi global, kita mengenal makanan yang sesuai dengan kebudayaan tubuh modern. Yaitu, makanan yang, selain aman, juga efisien. Pengolahannya tidak seperti merebus ubi atau pisang di Palue. Persiapannya tidak perlukan waktu lama (ready to serve, ready to cook, ready to eat). Singkatnya, ’makanan cepat saji’ (fast food).
Tidak mengherankan, dari Sabang sampai Marauke, fast food mi instan masuk hingga ke kampung-kampung. Kisahnya sudah sejak awal Orde Baru, tulis Monika Eviandaru dkk dalam Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global (Kanisius 2001). Seandaianya Soeharto tidak meresmikan PT Boagasari Flour Mills milik Liem Sioe Liong, barangkali akan lain ceritanya. Bisa jadi, mi, roti, biskuit, dan bahkan gorengan, yang merupakan produk-produk turunan gandum, tidak akan dengan mudah dijumpai di mana-mana.
Bogasari, salah satu divisi utama PT Indofood Sukses Makmur yang mulai berproduksi tahun 1971, memang diharapkan menyediakan jenis makanan lain bagi perut orang Indonesia agar tidak tegantung pada beras, yang pada waktu itu diimpor besar-besaran. Demikianlah politik pangan Orde Baru membuka perkenalan perut Indonesia dengan ’cita rasa dunia pertama’ dan sekaligus berarti membuka diri terhadap peradaban dan aturan main ekonomi global.
Di dunia pertama seperti AS, kebudayaan makan(an) sudah jauh berubah. Semula, sajian utuh olahan daging hewan (kepala hingga ekor) dianggap biasa. Namun, kemudian dirasa, ini kurang beradab, seperti makan binatang saja. Maka, bagian tertentu dari hewan ditabukan. Dalam perkembangan selanjutnya, yang dimakan adalah sekerat daging anonim. Kini, bentuk daging pun tidak tampak. Cukup diimajinasikan. Yang penting rasanya. Maka lahirlah makanan cepat saji dengan rasa sapi, rasa ayam, dst.
Makanan seperti ini pun sudah masuk ke kampung-kampung kita. Mi instan rasa soto sapi, mi instan rasa ayam, dll. Tanpa disadari, kita sudah masuk dalam kebudayaan makan(an) global. Rupanya karena itulah, ketika Sandra Modh menyatakan sangat senang makanan lokal Palue seperti ubi dan pisang rebus, kita bangga bercampur kaget dan menganggapnya luar biasa.
Sayangnya, dengan bangga bercampur kaget itu, kita tidak lantas semakin mencintai makanan lokal kita. Kita terlanjur menganggapnya kuno, tidak peka zaman, tidak sesuai dengan kebudayaan tubuh modern. Seandainya kita bisa seperti Sandra Modh ....
“Bentara” FLORES POS, Selasa 23 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Mahasiswi Universitas Oxford, Inggris, Sandra Modh, suka ubi dan pisang rebus. Ia sedang lakukan penelitian di Pulau Palue. ”Saya sudah empat bulan lebih berada di tengah warga Palue. Selama di sana, saya sangat senang makanan lokal seperti ubi dan pisang rebus” (Flores Pos Sabtu 20 Fabruari 2010).
Ubi dan pisang, makanan harian warga Palue. Selaku peneliti yang live in di sana, Sandra Modh mau tidak mau ikut makan apa yang warga makan. Awalnya pasti tidak mudah. Butuhkan penyesuaian mulut, hidung, perut. Lama-lama bisa. Ala bisa karena biasa. Malah tidak hanya bisa, juga suka. Disukai karena dikenal. Dikenal maka disayang.
Yang dialami Sandra Modh sesungguhnya hal biasa. Yang menarik: kenapa hal yang objektif biasa saja ini dianggap luar biasa sehingga diberitakan di media? Rupanya, secara subjektif kita miliki mindset tertentu tentang makanan lokal kita. Bahwa, makanan lokal itu kuno, tidak peka zaman, tidak sesuai dengan kebudayaan tubuh modern. Karena itu, ketika orang dari dunia pertama menyukainya, kita bangga, kaget, dan menganggapnya luar biasa.
Dengan mindset yang mungkin sudah dicekoki pesan-pesan ekonomi global, kita mengenal makanan yang sesuai dengan kebudayaan tubuh modern. Yaitu, makanan yang, selain aman, juga efisien. Pengolahannya tidak seperti merebus ubi atau pisang di Palue. Persiapannya tidak perlukan waktu lama (ready to serve, ready to cook, ready to eat). Singkatnya, ’makanan cepat saji’ (fast food).
Tidak mengherankan, dari Sabang sampai Marauke, fast food mi instan masuk hingga ke kampung-kampung. Kisahnya sudah sejak awal Orde Baru, tulis Monika Eviandaru dkk dalam Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global (Kanisius 2001). Seandaianya Soeharto tidak meresmikan PT Boagasari Flour Mills milik Liem Sioe Liong, barangkali akan lain ceritanya. Bisa jadi, mi, roti, biskuit, dan bahkan gorengan, yang merupakan produk-produk turunan gandum, tidak akan dengan mudah dijumpai di mana-mana.
Bogasari, salah satu divisi utama PT Indofood Sukses Makmur yang mulai berproduksi tahun 1971, memang diharapkan menyediakan jenis makanan lain bagi perut orang Indonesia agar tidak tegantung pada beras, yang pada waktu itu diimpor besar-besaran. Demikianlah politik pangan Orde Baru membuka perkenalan perut Indonesia dengan ’cita rasa dunia pertama’ dan sekaligus berarti membuka diri terhadap peradaban dan aturan main ekonomi global.
Di dunia pertama seperti AS, kebudayaan makan(an) sudah jauh berubah. Semula, sajian utuh olahan daging hewan (kepala hingga ekor) dianggap biasa. Namun, kemudian dirasa, ini kurang beradab, seperti makan binatang saja. Maka, bagian tertentu dari hewan ditabukan. Dalam perkembangan selanjutnya, yang dimakan adalah sekerat daging anonim. Kini, bentuk daging pun tidak tampak. Cukup diimajinasikan. Yang penting rasanya. Maka lahirlah makanan cepat saji dengan rasa sapi, rasa ayam, dst.
Makanan seperti ini pun sudah masuk ke kampung-kampung kita. Mi instan rasa soto sapi, mi instan rasa ayam, dll. Tanpa disadari, kita sudah masuk dalam kebudayaan makan(an) global. Rupanya karena itulah, ketika Sandra Modh menyatakan sangat senang makanan lokal Palue seperti ubi dan pisang rebus, kita bangga bercampur kaget dan menganggapnya luar biasa.
Sayangnya, dengan bangga bercampur kaget itu, kita tidak lantas semakin mencintai makanan lokal kita. Kita terlanjur menganggapnya kuno, tidak peka zaman, tidak sesuai dengan kebudayaan tubuh modern. Seandainya kita bisa seperti Sandra Modh ....
“Bentara” FLORES POS, Selasa 23 Februari 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
makanan lokal,
palue,
sandra modh,
sikka
21 Februari 2010
Rabies dan Rabiestokrasi
Ketika Manusia Menggigit Sesamanya
Oleh Frans Anggal
Kasus rabies di Boganatar, Kabupaten Sikka, hebohkan warga. Tidak hanya anjing yang menggigit warga. Manusia juga menggigit sesamanya. Itu terjadi pada Marselina Rikardo, 9 tahun. Sebelum meninggal, pasien rabies ini menggigit tujuh warga setempat , termasuk ibu kandungnya (Flores Pos Sabtu 20 Februari 2010).
Begitulah rabies, kalau sudah sampai di otak. Manusia korbannya bertingkah mirip anjing. Galak, menyerang, menggigit. Karena itu, sebenarnya padanan tepat untuk rabies bukan penyakit anjing gila (karena yang gila bukan hanya anjing), tapi penyakit gila anjing (karena gilanya seperti gilanya anjing). Karena itu pula, yang harus ditakuti bukan hanya HPR (hewan penular rabies), tapi juga MPR (manusia penular rabies).
Dari caranya mempertahankan hidup, rabies itu virus paling cerdas di dunia. Bayangkan: makanan pokoknya saraf otak korban. Kalau otak mati (korban mati), virus itu juga mati. Maka, sebelum korban mati, si virus harus sudah berpindah ke korban (otak) lain. Caranya? Ini yang canggih. Si virus menguasai, mengendalikan, mendikte otak korban. Ia jadi bos pemberi instruksi.
Demi kelangsungan hidupnya, si virus instruksian beberapa hal ke otak korban. Instruksi pertama: produksilah air liur sebanyak-banyaknya! Maka, mulut korban berlelehan air liur. Kenapa? Air liur inilah kendaraan virus menuju korban berikutnya. Karena kendaraannya air liur, maka instruksi kedua: gigitlah korban berikut! Maka, (di mana-mana) HPR dan (di Boganatar) MPR pun menggigit.
Kenapa harus menggigit? Dengan menggigit, terjadi dua hal. Pertama, luka pada korban. Kedua, kontak antara luka dan air liur penggigit. Luka inilah gerbang bagi rabies, si penumpang air liur, menuju otak. Agar jalan ke otak lebih ringkas, penggigit selalu mengincar bagian wajah korban, kalau bisa.
Agar sukses menggigit, instruksi keempat: hindari cahaya! Maka, korban rabies takut akan cahaya. Kenapa? Cahaya hasilkan terang. Di bawah terang segala yang buruk mudah diketahui, dicegah, diakhiri. Si virus tidak mau mati bodoh gara-gara terang. Ia pilih gelap. Dalam gelap, serangan dan gigitan jadi mudah. Dalam gelap, korban sulit antispasi. Tak heran, gigitan sering terjadi malam hari.
Satu lagi, instruksi ketiga: hindari air! Maka, korban rabies takut akan air. Kenapa? Virus ini mudah terhanyut air. Makanya, petugas kesehatan kasih tip: setelah tergigit, segeralah cuci luka dengan air mengalir. Rabies tahu bahaya air. Ia lakukan cegah dini. Ia perintahkan otak agar korbannya menghindari air.
Kita membenci rabies. Ia perenggut jiwa. Tapi kita juga kagumi kecerdasannya, sambil ngeri dibuatnya. Ia bertakhta di otak, hidup dari otak, dengan memakan otak. Demi kelangsungan hidupnya, ia kuasai dan kendalikan otak. Ia tuan atas otak.
Tak ada virus sepintar busuk ini. Kecuali, yang satu ini. Virus pemerintahan. Yakni, pemerintahan (Yunani: cratos) yang cara kerjanya mirip cara rabies. Kita namakan saja ”rabiestokrasi”. Seperti rabies, demi kelanggengan kekuasaannya, rabiestokrasi kendalikan pikiran dan ingatan publik. Virusnya ditularkan lewat ’gigitan’ sosialisasi, instruksi, publikasi, pencitraan, dll . Seperti rabies, rabiestokrasi takut akan air: takut akan pembersihan. Seperti rabies, rabiestokrasi takut akan cahaya: takut akan transparansi. Sebaliknya, seperti rabies, rabiestokrasi doyani kegelapan. Sebab, dalam gelap, segala-galanya mudah diatur.
Di Flores, dua-duanya hidup. Rukun dan damai. Rabies, di tingkat bawah. Rabiestokrasi, di tingkat atas. Rabies dibiarkan terus. Rabiestokrasi dipelihara terus. Hasilnya luar biasa. Yang di bawah mati terus. Yang di atas hidup terus.
“Bentara” FLORES POS, Senin 22 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Kasus rabies di Boganatar, Kabupaten Sikka, hebohkan warga. Tidak hanya anjing yang menggigit warga. Manusia juga menggigit sesamanya. Itu terjadi pada Marselina Rikardo, 9 tahun. Sebelum meninggal, pasien rabies ini menggigit tujuh warga setempat , termasuk ibu kandungnya (Flores Pos Sabtu 20 Februari 2010).
Begitulah rabies, kalau sudah sampai di otak. Manusia korbannya bertingkah mirip anjing. Galak, menyerang, menggigit. Karena itu, sebenarnya padanan tepat untuk rabies bukan penyakit anjing gila (karena yang gila bukan hanya anjing), tapi penyakit gila anjing (karena gilanya seperti gilanya anjing). Karena itu pula, yang harus ditakuti bukan hanya HPR (hewan penular rabies), tapi juga MPR (manusia penular rabies).
Dari caranya mempertahankan hidup, rabies itu virus paling cerdas di dunia. Bayangkan: makanan pokoknya saraf otak korban. Kalau otak mati (korban mati), virus itu juga mati. Maka, sebelum korban mati, si virus harus sudah berpindah ke korban (otak) lain. Caranya? Ini yang canggih. Si virus menguasai, mengendalikan, mendikte otak korban. Ia jadi bos pemberi instruksi.
Demi kelangsungan hidupnya, si virus instruksian beberapa hal ke otak korban. Instruksi pertama: produksilah air liur sebanyak-banyaknya! Maka, mulut korban berlelehan air liur. Kenapa? Air liur inilah kendaraan virus menuju korban berikutnya. Karena kendaraannya air liur, maka instruksi kedua: gigitlah korban berikut! Maka, (di mana-mana) HPR dan (di Boganatar) MPR pun menggigit.
Kenapa harus menggigit? Dengan menggigit, terjadi dua hal. Pertama, luka pada korban. Kedua, kontak antara luka dan air liur penggigit. Luka inilah gerbang bagi rabies, si penumpang air liur, menuju otak. Agar jalan ke otak lebih ringkas, penggigit selalu mengincar bagian wajah korban, kalau bisa.
Agar sukses menggigit, instruksi keempat: hindari cahaya! Maka, korban rabies takut akan cahaya. Kenapa? Cahaya hasilkan terang. Di bawah terang segala yang buruk mudah diketahui, dicegah, diakhiri. Si virus tidak mau mati bodoh gara-gara terang. Ia pilih gelap. Dalam gelap, serangan dan gigitan jadi mudah. Dalam gelap, korban sulit antispasi. Tak heran, gigitan sering terjadi malam hari.
Satu lagi, instruksi ketiga: hindari air! Maka, korban rabies takut akan air. Kenapa? Virus ini mudah terhanyut air. Makanya, petugas kesehatan kasih tip: setelah tergigit, segeralah cuci luka dengan air mengalir. Rabies tahu bahaya air. Ia lakukan cegah dini. Ia perintahkan otak agar korbannya menghindari air.
Kita membenci rabies. Ia perenggut jiwa. Tapi kita juga kagumi kecerdasannya, sambil ngeri dibuatnya. Ia bertakhta di otak, hidup dari otak, dengan memakan otak. Demi kelangsungan hidupnya, ia kuasai dan kendalikan otak. Ia tuan atas otak.
Tak ada virus sepintar busuk ini. Kecuali, yang satu ini. Virus pemerintahan. Yakni, pemerintahan (Yunani: cratos) yang cara kerjanya mirip cara rabies. Kita namakan saja ”rabiestokrasi”. Seperti rabies, demi kelanggengan kekuasaannya, rabiestokrasi kendalikan pikiran dan ingatan publik. Virusnya ditularkan lewat ’gigitan’ sosialisasi, instruksi, publikasi, pencitraan, dll . Seperti rabies, rabiestokrasi takut akan air: takut akan pembersihan. Seperti rabies, rabiestokrasi takut akan cahaya: takut akan transparansi. Sebaliknya, seperti rabies, rabiestokrasi doyani kegelapan. Sebab, dalam gelap, segala-galanya mudah diatur.
Di Flores, dua-duanya hidup. Rukun dan damai. Rabies, di tingkat bawah. Rabiestokrasi, di tingkat atas. Rabies dibiarkan terus. Rabiestokrasi dipelihara terus. Hasilnya luar biasa. Yang di bawah mati terus. Yang di atas hidup terus.
“Bentara” FLORES POS, Senin 22 Februari 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
kesehatan,
politik,
rabies,
rabiestokrasi
Dua Bayi dan Vonis Itu
Kasus Pembuangan Bayi di Ruteng
Oleh Frans Anggal
Ruteng geger. Dua bayi ditemukan tak bernyawa. Tempatnya berbeda, dalam wilayah Kelurahan Karot, dengan selang waktu cuma tiga hari. Jumat 12 Februari 2010, seorang bayi ditemukan di pinggiran irigasi Wae Ces 3. Senin 15 Februari, seorang lagi ditemukan di kebun milik warga, terkubur tidak wajar, dengan kedalam hanya 10 cm. Kasus ini sedang dalam penyelidikan polisi. Pelakunya belum ditemukan (Flores Pos Kamis 18 Februari 2010).
Kalau polisi bekerja serius, tidak butuhkan waktu lama temukan pelaku. Ruteng kota kecil. Jumlah penduduknya tidak seberapa. Relatif homogen. Sosialitas masyarakatnya masih tinggi. Maka, yang namanya rahasia sulit berumur panjang. Lewat ”mulutgram”, semuanya mudah dan cepat tersiar menjadi ”rahasia umum”. Termasuk soal kehamilan. Apalagi kehamilan di luar nikah. Terlebih lagi kehamilan karena inses.
Pelaku pasti segera ditemukan. Siapakah dia? Pikiran kolektif masyarakat cenderung mengarah pada perempuan. Sang ibu. Dia yang mengandung. Dia yang melahirkan. Dia pula yang mengakhiri kehidupan. Entah kenapa, dia diperbandingkan dengan harimau. Hasilnya: harimau lebih baik. Sebab, induk harimau tidak memakan anaknya sendiri. Begitulah vonis itu.
Yang sering luput dari pikiran kolektif masyarakat adalah beban sang ibu sebelum, pada saat, dan setelah tindakan yang dikecam masyarakat itu ia lakukan. Ada kekalutan, ketercekaman, dan mungkin juga rasa bersalah yang dalam. Bukan karena ia suci. Bukan. Tapi karena ia manusia, yang pasti punya hati. Selebihnya, karena ia perempuan.
Dalam telaah psikologi fenomenologis, perempuan lebih berminat untuk memelihara. Memelihara adalah mempertahankan nilai-nilai. Mobil milik perempuan dipelihara sebagai nilai yang harus dipertahankan. Sedangkan mobil milik laki-laki hanya dipakai. Dijadikan alat untuk mencapai tujuan dalam bekerja.
Demikian halnya dengan anak. Bagi ibu, anak adalah ’buah tubuh’, ’buah kandungan’, ’buah hati’. Di pangkuannya, bayi itu dihiasi. Dibelai lembut. Ada kesedihan dalam kelembutan itu, karena si kecil mungil ini akan jadi besar, berpisah, dan menjauh. Berbeda dari ibu yang memelihara, ayah lebih cenderung ’memakai’ anaknya. Ayah akan memikirkan apakah sang anak bisa menolongnya dalam pekerjaan.
Dengan ini kita hendak membatinkan satu hal. Kalau perempuan yang dari sononya suka memelihara, berani membunuh buah kandungannya sendiri, sangat mungkin hal luar biasa telah terjadi. Dan yang luar biasa itu boleh jadi datang dari luar dirinya. Berupa kekuatan yang memaksanya tidak berdaya sebagai objek, untuk kemudian bertindak sebagai subjek (membunuh buah kandungannya sendiri), seakan-akan itu pilihan bebasnya. Dan ketika itu ia lakukan, ia tercekam, penuh rasa bersalah.
Pembatinan ini kiranya meluputkan kita dari kecenderungan sok moralis dan terlalu gegabah menjatuhkan vonis. Apalagi kalau sampai mambandingkan sang ibu dengan induk harimau. Bahwa membunuh bayi itu tidak dapat dibenarkan, jelas. Demikian pula halnya menggugurkan kandungan. Sebab, hidup dalam kandungan pun hidup manusia. Hidup harus dihormati dan dilindungi.
Maka, yang diperlukan bukanlah sumpah serapah. Bukan pula hanya penegakan hukum. Tapi pendidikan dalam arti luas, bagaimana agar hidup dihormati. Daripada mengutuk kepekatan malam, bukankah lebih baik menyalakan sebatang lilin? Gereja Keuskupan Ruteng dengan uskup baru kiranya terus menyalakan lilin itu. Tidak sebatang. Tapi sebanyak-banyaknya.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 20 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Ruteng geger. Dua bayi ditemukan tak bernyawa. Tempatnya berbeda, dalam wilayah Kelurahan Karot, dengan selang waktu cuma tiga hari. Jumat 12 Februari 2010, seorang bayi ditemukan di pinggiran irigasi Wae Ces 3. Senin 15 Februari, seorang lagi ditemukan di kebun milik warga, terkubur tidak wajar, dengan kedalam hanya 10 cm. Kasus ini sedang dalam penyelidikan polisi. Pelakunya belum ditemukan (Flores Pos Kamis 18 Februari 2010).
Kalau polisi bekerja serius, tidak butuhkan waktu lama temukan pelaku. Ruteng kota kecil. Jumlah penduduknya tidak seberapa. Relatif homogen. Sosialitas masyarakatnya masih tinggi. Maka, yang namanya rahasia sulit berumur panjang. Lewat ”mulutgram”, semuanya mudah dan cepat tersiar menjadi ”rahasia umum”. Termasuk soal kehamilan. Apalagi kehamilan di luar nikah. Terlebih lagi kehamilan karena inses.
Pelaku pasti segera ditemukan. Siapakah dia? Pikiran kolektif masyarakat cenderung mengarah pada perempuan. Sang ibu. Dia yang mengandung. Dia yang melahirkan. Dia pula yang mengakhiri kehidupan. Entah kenapa, dia diperbandingkan dengan harimau. Hasilnya: harimau lebih baik. Sebab, induk harimau tidak memakan anaknya sendiri. Begitulah vonis itu.
Yang sering luput dari pikiran kolektif masyarakat adalah beban sang ibu sebelum, pada saat, dan setelah tindakan yang dikecam masyarakat itu ia lakukan. Ada kekalutan, ketercekaman, dan mungkin juga rasa bersalah yang dalam. Bukan karena ia suci. Bukan. Tapi karena ia manusia, yang pasti punya hati. Selebihnya, karena ia perempuan.
Dalam telaah psikologi fenomenologis, perempuan lebih berminat untuk memelihara. Memelihara adalah mempertahankan nilai-nilai. Mobil milik perempuan dipelihara sebagai nilai yang harus dipertahankan. Sedangkan mobil milik laki-laki hanya dipakai. Dijadikan alat untuk mencapai tujuan dalam bekerja.
Demikian halnya dengan anak. Bagi ibu, anak adalah ’buah tubuh’, ’buah kandungan’, ’buah hati’. Di pangkuannya, bayi itu dihiasi. Dibelai lembut. Ada kesedihan dalam kelembutan itu, karena si kecil mungil ini akan jadi besar, berpisah, dan menjauh. Berbeda dari ibu yang memelihara, ayah lebih cenderung ’memakai’ anaknya. Ayah akan memikirkan apakah sang anak bisa menolongnya dalam pekerjaan.
Dengan ini kita hendak membatinkan satu hal. Kalau perempuan yang dari sononya suka memelihara, berani membunuh buah kandungannya sendiri, sangat mungkin hal luar biasa telah terjadi. Dan yang luar biasa itu boleh jadi datang dari luar dirinya. Berupa kekuatan yang memaksanya tidak berdaya sebagai objek, untuk kemudian bertindak sebagai subjek (membunuh buah kandungannya sendiri), seakan-akan itu pilihan bebasnya. Dan ketika itu ia lakukan, ia tercekam, penuh rasa bersalah.
Pembatinan ini kiranya meluputkan kita dari kecenderungan sok moralis dan terlalu gegabah menjatuhkan vonis. Apalagi kalau sampai mambandingkan sang ibu dengan induk harimau. Bahwa membunuh bayi itu tidak dapat dibenarkan, jelas. Demikian pula halnya menggugurkan kandungan. Sebab, hidup dalam kandungan pun hidup manusia. Hidup harus dihormati dan dilindungi.
Maka, yang diperlukan bukanlah sumpah serapah. Bukan pula hanya penegakan hukum. Tapi pendidikan dalam arti luas, bagaimana agar hidup dihormati. Daripada mengutuk kepekatan malam, bukankah lebih baik menyalakan sebatang lilin? Gereja Keuskupan Ruteng dengan uskup baru kiranya terus menyalakan lilin itu. Tidak sebatang. Tapi sebanyak-banyaknya.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 20 Februari 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
manggarai,
moral,
pembuangan bayi di ruteng
18 Februari 2010
Bupati Chris Rotok Keliru
Pemilukada dan Penundaan Bantuan Sosial
Oleh Frans Anggal
Bupati Manggarai Christian Rotok hentikan sementara pemberian bantuan sosial. Bantuan pemerintah itu baru akan diberikan kembali setelah pencoblosan pemilukada. Alasan: pemberian sekarang selalu dinilai oleh kelompok-kelompok tertentu sebagai ’politik uang’ dari paket Chris Rotok-Deno Kamilus (Credo) selaku incumbent. Padahal, bantuan sosial itu program rutin pemerintah.
”Saya minta instansi-instansi untuk sementara tidak mencairkan dahulu bantuan-bantuan sosial atau hibah tahun ini. Bantuan baru boleh diberikan usai pemilukada nantinya. Ini perlu diberitahukan terbuka. Karena kalau kita berikan saat-saat sekarang, jangan sampai dinilai money politics,” katanya via SMS ke wartawan Flores Pos Christo Lawudin (Flores Pos Kamis 18 Februari 2010).
Apa sebenarnya yang sedang terjadi pada diri Bupati Rotok? Sebagai incumbent, ia mengalami ’sengketa kepentingan’ (conflict of interest). Kepentingannya sebagai bupati di satu sisi, dan kepentingannya sebagai calon bupati di sisi lain.
Sebagai bupati, kepentingannya adalah menyukseskan program (rutin) pemerintah. Satu di antaranya, itu tadi, memberi bantuan sosial. Sedangkan sebagai calon bupati, kepentingannya adalah menyukseskan program Credo memenangkan pemilukada.
Dalam sengketa kepentingan ini, kepentingan mana yang ia nomorsatukan? Kepentingannya sebagai calon bupati! Simak alasannya. ”Kalau kita berikan (bantuan sosial) saat-saat sekarang, jangan sampai dinilai money politics.” Ini politik pencitraan. Demi menjaga citranya sebagai calon bupati, ia menunda program rutinnya sebagai bupati.
Dengan begitu, kepentingan sebagai bupati ia nomorduakan. Dan, karena kepentingan sebagai bupati itu berkenaan langsung dengan kepentingan umum, maka harus dikatakan pula: kepentingan umum ia nomorduakan. Demi menjaga citra Rotok-yang-calon-bupati maka Rotok-yang-bupati menunda program kepentingan umum. Yang umum ia korbankan demi yang khusus. Manggarai ia korbankan demi Credo.
Di sini, Bupati Rotok keliru. Selain salahi etika, ia melukai demokrasi sampai ke jantungnya. Dalam jantung demokrasi terkandung salah satu konsep penting. Kehendak rakyat harus menjadi satu-satunya dasar otoritas pemerintah. Pada keputusannya itu, sebaliknya yang terjadi. Dasarnya bukan kehendak rakyat, tapi kehendak pribadinya, entah sebagai bupati-yang-calon-bupati ataukah sebagai calon-bupati-yang-bupati.
Secara formal, penundaan bantuan sosial itu tidak atas konsultasi dengan DPRD. Secara informal, tidak mungkin juga atas konsultasi langsung dengan rakyat. Kalau toh dikonsultasikan, baik wakil rakyat maupun rakyat pasti tidak bakal setuju. Ini soal akal sehat saja: wakil rakyat dan rakyat mana yang senang bantuan sosial bagi masyarakat ditunda-tunda?
Kalau begitu, dengan siapakah Bupati Rotok berkonsultasi sehingga lahir keputusan keliru itu? Kita tidak tahu. Jangan-jangan ia tidak berkonsultasi. Tapi langsung bereaksi spontan personal saja, karena mungkin sudah tidak tahan lagi dengan berbagai rumor lawan politik. Kalau itu yang terjadi, kasihan. Ia menjauh, tidak hanya dari perbedaan pendapat, tapi juga dari kebenaran.
Menurut Glenn Tinder (1979), kebenaran tidak dapat digenggam oleh orang seorang sendirian. Kebenaran pada hakikatnya adalah ’sebuah realitas yang dimiliki bersama’ (a shared reality). Kebenaran kita masuki melalui dialog. Perbedaan pendapat, dengan demikian, adalah rahmat. Melaluinya, kebenaran muncul, dan matang, karena teruji.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 19 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Bupati Manggarai Christian Rotok hentikan sementara pemberian bantuan sosial. Bantuan pemerintah itu baru akan diberikan kembali setelah pencoblosan pemilukada. Alasan: pemberian sekarang selalu dinilai oleh kelompok-kelompok tertentu sebagai ’politik uang’ dari paket Chris Rotok-Deno Kamilus (Credo) selaku incumbent. Padahal, bantuan sosial itu program rutin pemerintah.
”Saya minta instansi-instansi untuk sementara tidak mencairkan dahulu bantuan-bantuan sosial atau hibah tahun ini. Bantuan baru boleh diberikan usai pemilukada nantinya. Ini perlu diberitahukan terbuka. Karena kalau kita berikan saat-saat sekarang, jangan sampai dinilai money politics,” katanya via SMS ke wartawan Flores Pos Christo Lawudin (Flores Pos Kamis 18 Februari 2010).
Apa sebenarnya yang sedang terjadi pada diri Bupati Rotok? Sebagai incumbent, ia mengalami ’sengketa kepentingan’ (conflict of interest). Kepentingannya sebagai bupati di satu sisi, dan kepentingannya sebagai calon bupati di sisi lain.
Sebagai bupati, kepentingannya adalah menyukseskan program (rutin) pemerintah. Satu di antaranya, itu tadi, memberi bantuan sosial. Sedangkan sebagai calon bupati, kepentingannya adalah menyukseskan program Credo memenangkan pemilukada.
Dalam sengketa kepentingan ini, kepentingan mana yang ia nomorsatukan? Kepentingannya sebagai calon bupati! Simak alasannya. ”Kalau kita berikan (bantuan sosial) saat-saat sekarang, jangan sampai dinilai money politics.” Ini politik pencitraan. Demi menjaga citranya sebagai calon bupati, ia menunda program rutinnya sebagai bupati.
Dengan begitu, kepentingan sebagai bupati ia nomorduakan. Dan, karena kepentingan sebagai bupati itu berkenaan langsung dengan kepentingan umum, maka harus dikatakan pula: kepentingan umum ia nomorduakan. Demi menjaga citra Rotok-yang-calon-bupati maka Rotok-yang-bupati menunda program kepentingan umum. Yang umum ia korbankan demi yang khusus. Manggarai ia korbankan demi Credo.
Di sini, Bupati Rotok keliru. Selain salahi etika, ia melukai demokrasi sampai ke jantungnya. Dalam jantung demokrasi terkandung salah satu konsep penting. Kehendak rakyat harus menjadi satu-satunya dasar otoritas pemerintah. Pada keputusannya itu, sebaliknya yang terjadi. Dasarnya bukan kehendak rakyat, tapi kehendak pribadinya, entah sebagai bupati-yang-calon-bupati ataukah sebagai calon-bupati-yang-bupati.
Secara formal, penundaan bantuan sosial itu tidak atas konsultasi dengan DPRD. Secara informal, tidak mungkin juga atas konsultasi langsung dengan rakyat. Kalau toh dikonsultasikan, baik wakil rakyat maupun rakyat pasti tidak bakal setuju. Ini soal akal sehat saja: wakil rakyat dan rakyat mana yang senang bantuan sosial bagi masyarakat ditunda-tunda?
Kalau begitu, dengan siapakah Bupati Rotok berkonsultasi sehingga lahir keputusan keliru itu? Kita tidak tahu. Jangan-jangan ia tidak berkonsultasi. Tapi langsung bereaksi spontan personal saja, karena mungkin sudah tidak tahan lagi dengan berbagai rumor lawan politik. Kalau itu yang terjadi, kasihan. Ia menjauh, tidak hanya dari perbedaan pendapat, tapi juga dari kebenaran.
Menurut Glenn Tinder (1979), kebenaran tidak dapat digenggam oleh orang seorang sendirian. Kebenaran pada hakikatnya adalah ’sebuah realitas yang dimiliki bersama’ (a shared reality). Kebenaran kita masuki melalui dialog. Perbedaan pendapat, dengan demikian, adalah rahmat. Melaluinya, kebenaran muncul, dan matang, karena teruji.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 19 Februari 2010
Label:
bantuan sosial,
bentara,
bupati christian rotok,
flores,
flores pos,
kesra,
manggarai,
pemilukada manggarai
17 Februari 2010
Sidang Tertutup Karena Malu?
Sidang Kasus Romo Faustin Sega Pr
Oleh Frans Anggal
Tim penasihat hukum terdakwa Theresia Tawa dan Anus Waja meminta kepada Ketua Majelis Hakim PN Bajawa Johanes Heru Sujaya agar persidangan kasus Romo Faustin Sega Pr dilakukan tertutup. Alasannya: ada beberapa hal yang membuat Theresia Tawa malu memberi keterangan di hadapan majelis hakim kalau persidangannya terbuka untuk umum. Permintaan ini ditolak. Sebab, tidak ada dasar hukum yang cukup (Flores Pos Rabu 17 Februari 2010).
Ini permintaan ketiga. Dua permintaan sebelumnya berkenaan dengan tempat sidang. Permintan pertama, jauh sebelum sidang digelar di PN Bajawa. Isinya, meminta sidang dilangsungkan di Kupang. Permintaan kedua, saat sidang sudah tiga kali di PN Bajawa. Isinya, meminta sidang dipindahkan ke Kupang. Alasan dua permintaan ini sama. Khawatir akan tekanan massa yang bisa mengakibatkan peradilan tidak fair.
Pada permintaan ketiga, tempat sidang tidak dipersoalkan. Artinya, ’boleh’ tetap di PN Bajawa, ’asalkan’ sidangnya tertutup. Alasannya pun berbeda. Bukan lagi tekanan massa, tapi rasa malu Theresia Tawa. Katanya, ada beberapa hal yang membuat ia malu kalau itu ia sampaikan dalam sidang terbuka. Sebaliknya, tentu, ia tidak malu kalau sidangnya tertutup.
Kata kuncinya di sini, ”rasa malu”. Pertanyaan kita: bolehkah rasa malu terdakwa dijadikan pembenaran untuk mengubah sidang dari terbuka menjadi tertutup? Kalau itu dibolehkan, dasar hukumnya apa? Ketua Majelis Hakim PN Bajawa Johanes Heru Sujaya mengatakan tidak ada dasar hukum yang cukup. Jawabannya kurang jelas dan kurang tegas. Sesungguhnya, bukan hanya tidak cukup, dasar hukumnya memang tidak ada.
Silakan bolak-balik semua kitab hukum positif kita. Tak satu pun yang menjadikan rasa malu terdakwa sebagai dasar sidang tertutup. Dalam KUHAP, sidang dinyatakan tertutup untuk umum hanya dalam perkara kesusilaan atau perkara dengan terdakwa anak-anak (di bawah 18 tahun). Meski demikian, putusan atas perkara tersebut tetap harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Jika tidak, putusan itu batal demi hukum.
Adanya pengecualian menunjukkan bahwa pada prinsipnya sidang itu terbuka untuk umum (openbaar). Artinya, setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan serta menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara. Ini ada kaitan dengan hak konstitusional warga. Yakni, hak untuk tahu (right to know) dan hak untuk hadiri pertemuan publik (right to attend public meeting).
Asas openbaar sendiri punya tiga tujuan. Pertama, menjamin pelaksanaan peradilan yang tidak memihak, dengan meletakkan peradilan di bawah penguasaan umum. Kedua, memberi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan. Ketiga, lebih menjamin objektivitas peradilan dengan pertanggungjawaban pemeriksaan yang fair serta putusan yang adil kepada masyarakat.
Melihat ketiga tujuan itu serta sifat kasus Romo Faustin dan usia terdakwa, tidak ada dasarnya sidang harus tertutup. Kasus Romo Faustin itu kasus pembunuhan berencana. Bukan kasus kesusilaan. Terdakwa Theresia Tawa pun bukan anak di bawah umur. Maka, sidang harus tetap terbuka. Tidak boleh dijadikan tertutup hanya karena rasa malu terdakwa.
Lagi pula, malu apanya lagi? Bukankah hal “memalukan” sudah dituturkannya, seenak perutnya, tanpa rasa malu, kepada sebuah media yang juga tanpa rasa malu mencatatnya lalu tanpa verifikasi (karena orangnya sudah meninggal) menerbitkan dan menyebarkannya, padahal publikasi itu tak bedanya dengan pornografi? Waktu itu dia tidak malu. Sekarang baru malu. Ada apa?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 18 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Tim penasihat hukum terdakwa Theresia Tawa dan Anus Waja meminta kepada Ketua Majelis Hakim PN Bajawa Johanes Heru Sujaya agar persidangan kasus Romo Faustin Sega Pr dilakukan tertutup. Alasannya: ada beberapa hal yang membuat Theresia Tawa malu memberi keterangan di hadapan majelis hakim kalau persidangannya terbuka untuk umum. Permintaan ini ditolak. Sebab, tidak ada dasar hukum yang cukup (Flores Pos Rabu 17 Februari 2010).
Ini permintaan ketiga. Dua permintaan sebelumnya berkenaan dengan tempat sidang. Permintan pertama, jauh sebelum sidang digelar di PN Bajawa. Isinya, meminta sidang dilangsungkan di Kupang. Permintaan kedua, saat sidang sudah tiga kali di PN Bajawa. Isinya, meminta sidang dipindahkan ke Kupang. Alasan dua permintaan ini sama. Khawatir akan tekanan massa yang bisa mengakibatkan peradilan tidak fair.
Pada permintaan ketiga, tempat sidang tidak dipersoalkan. Artinya, ’boleh’ tetap di PN Bajawa, ’asalkan’ sidangnya tertutup. Alasannya pun berbeda. Bukan lagi tekanan massa, tapi rasa malu Theresia Tawa. Katanya, ada beberapa hal yang membuat ia malu kalau itu ia sampaikan dalam sidang terbuka. Sebaliknya, tentu, ia tidak malu kalau sidangnya tertutup.
Kata kuncinya di sini, ”rasa malu”. Pertanyaan kita: bolehkah rasa malu terdakwa dijadikan pembenaran untuk mengubah sidang dari terbuka menjadi tertutup? Kalau itu dibolehkan, dasar hukumnya apa? Ketua Majelis Hakim PN Bajawa Johanes Heru Sujaya mengatakan tidak ada dasar hukum yang cukup. Jawabannya kurang jelas dan kurang tegas. Sesungguhnya, bukan hanya tidak cukup, dasar hukumnya memang tidak ada.
Silakan bolak-balik semua kitab hukum positif kita. Tak satu pun yang menjadikan rasa malu terdakwa sebagai dasar sidang tertutup. Dalam KUHAP, sidang dinyatakan tertutup untuk umum hanya dalam perkara kesusilaan atau perkara dengan terdakwa anak-anak (di bawah 18 tahun). Meski demikian, putusan atas perkara tersebut tetap harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Jika tidak, putusan itu batal demi hukum.
Adanya pengecualian menunjukkan bahwa pada prinsipnya sidang itu terbuka untuk umum (openbaar). Artinya, setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan serta menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara. Ini ada kaitan dengan hak konstitusional warga. Yakni, hak untuk tahu (right to know) dan hak untuk hadiri pertemuan publik (right to attend public meeting).
Asas openbaar sendiri punya tiga tujuan. Pertama, menjamin pelaksanaan peradilan yang tidak memihak, dengan meletakkan peradilan di bawah penguasaan umum. Kedua, memberi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan. Ketiga, lebih menjamin objektivitas peradilan dengan pertanggungjawaban pemeriksaan yang fair serta putusan yang adil kepada masyarakat.
Melihat ketiga tujuan itu serta sifat kasus Romo Faustin dan usia terdakwa, tidak ada dasarnya sidang harus tertutup. Kasus Romo Faustin itu kasus pembunuhan berencana. Bukan kasus kesusilaan. Terdakwa Theresia Tawa pun bukan anak di bawah umur. Maka, sidang harus tetap terbuka. Tidak boleh dijadikan tertutup hanya karena rasa malu terdakwa.
Lagi pula, malu apanya lagi? Bukankah hal “memalukan” sudah dituturkannya, seenak perutnya, tanpa rasa malu, kepada sebuah media yang juga tanpa rasa malu mencatatnya lalu tanpa verifikasi (karena orangnya sudah meninggal) menerbitkan dan menyebarkannya, padahal publikasi itu tak bedanya dengan pornografi? Waktu itu dia tidak malu. Sekarang baru malu. Ada apa?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 18 Februari 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
ngada,
pn bajawa,
sidang kasus romo faustin sega pr
Ketika Murid Itu Terluka
Guru SMA Ende Dikeroyok Keluarga Murid
Oleh Frans Anggal
Keluarga seorang siswi sebuah SMA di Ende mengeroyok seorang guru di sekolah. Kaca ruang kasek pun mereka pecahkan karena kasek berupaya lindungi gurunya di ruangan itu. Pengeroyok sudah di tangan polisi (Flores Pos Selasa 16 Februari 2010).
Awal kasus, seorang ibu guru nasihati muridnya dalam kelas. Isinya mempermalukan seorang siswi. ”Jangan seperti si anu, tidur di pangkuan laki-laki dalam kelas.” Siswi yang namanya disebutkan itu tidak terima baik. Ia mengadu ke keluarga. Keluarganya datang, masuk sampai ruang guru. Yang mereka hajar bukan si ibu guru, tapi seorang bapa guru. Karena, bapak guru inilah sumber cerita. Dari dialah si ibu guru tahu si anu tidur di paha laki-laki.
Datangi sekolah, itu tepat. Seandainya untuk minta klarifikasi, itu terhormat. Seandainya untuk cari jalan keluar, itu berguna. Ini tidak. Keluarga datang karena amarah dan bertujuan lampiaskan amarah. Mereka masuk tanpa permisi. Amarah mereka lampiaskan. Bapak guru mereka keroyok. Kaca ruang kasek mereka pecahkan. Mereka sudah tidak pakai otak. Ful pakai otot. Main hakim sendiri. Maka, wajar, mereka berurusan dengan hukum.
Kalau cara keluarga salah, apa lalu sekolah luput dari kesalahan? Tidak juga. Menasihati murid itu baik, malah harus. Sebab, guru bukan hanya pengajar. Dia juga pendidik. Bukan hanya penabur pengetahuan. Dia juga penyamai nilai-nilai. Karena itu, guru harus matang, dalam pengetahuan, sikap, dan kepribadian. Dia harus miliki kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
Dalam banyak kasus, yang sering parah itu kecerdasan emosional. Ujian terbesarnya, ketika guru hadapi murid bermasalah. Cara yang ditempuhnya menunjukkan tingkat kecerdasan emosionalnya. Guru yang cerdas secara emosional tidak memberikan teguran atau hukuman dengan cara mempermalukan murid di depan teman-temannya. Guru yang cerdas secara emosional tidak merendahkan murid dengan kata-kata memojokkan.
Yang terjadi dalam kasus kita justru yang ini. Bagaimanakah perasan seorang murid, remaja putri, ketika oleh gurunya ia dijadikan contoh buruk bagi teman-temannya? Di depan teman-temannya pula? “Jangan seperti si anu, tidur di paha laki-laki dalam kelas.” Ini cara nasihat yang salah, betapapun luhur tujuannya. Salah, karena cara ini justru membuat murid terluka. Padahal, masih banyak cara lain yang lebih berterima.
Pertanyakan kita: dengan menjadikan si anu contoh buruk bagi teman-temannya, apakah tidur di paha laki-laki itu sudah pernah ditangani dengan baik? Kalau itu dianggap kasus, apakah wali kelas atau guru BP sudah mengurusnya? Apakah orangtua si anu sudah diberi tahu? Kalau semua itu sudah, berarti sudah selesai to? Lha, kenapa yang sudah selesai masih dikorek-korek lagi sehingga timbulkan luka baru di atas bekas luka lama?
Atau, jangan-jangan, kasus itu tidak pernah diurus. Kalau begitu ceritanya, gawat. Dengan tidak diurus maka kasus ini diserahkan kepada kesewenang-wenangan buah bibir. Digosipkan di sekolah. Digosipkan di ruang guru. Dst.
Dengan digosipkan, apa yang sesungguhnya terjadi? Si murid diadili secara sosial. Peradilan sosial adalah ‘peradilan in absentia’. Peradilan tanpa kehadiran si ‘terdakwa’. Ini sangat keji. Karena, si ‘terdakwa’ tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan posisinya.
Bayangkan, seandainya sudah begitu, si ‘terdakwa’ tadi dijadikan contoh buruk pula bagi teman-temannya. Gadis remaja mana yang tidak terluka dengan cara seperti ini? Kalau di sekolah ia merasa sudah ditolak, wajarlah ia mengadu ke keluarga. Keluarga marah juga wajar. Asal, tidak pakai cara yang kurang ajar.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 17 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Keluarga seorang siswi sebuah SMA di Ende mengeroyok seorang guru di sekolah. Kaca ruang kasek pun mereka pecahkan karena kasek berupaya lindungi gurunya di ruangan itu. Pengeroyok sudah di tangan polisi (Flores Pos Selasa 16 Februari 2010).
Awal kasus, seorang ibu guru nasihati muridnya dalam kelas. Isinya mempermalukan seorang siswi. ”Jangan seperti si anu, tidur di pangkuan laki-laki dalam kelas.” Siswi yang namanya disebutkan itu tidak terima baik. Ia mengadu ke keluarga. Keluarganya datang, masuk sampai ruang guru. Yang mereka hajar bukan si ibu guru, tapi seorang bapa guru. Karena, bapak guru inilah sumber cerita. Dari dialah si ibu guru tahu si anu tidur di paha laki-laki.
Datangi sekolah, itu tepat. Seandainya untuk minta klarifikasi, itu terhormat. Seandainya untuk cari jalan keluar, itu berguna. Ini tidak. Keluarga datang karena amarah dan bertujuan lampiaskan amarah. Mereka masuk tanpa permisi. Amarah mereka lampiaskan. Bapak guru mereka keroyok. Kaca ruang kasek mereka pecahkan. Mereka sudah tidak pakai otak. Ful pakai otot. Main hakim sendiri. Maka, wajar, mereka berurusan dengan hukum.
Kalau cara keluarga salah, apa lalu sekolah luput dari kesalahan? Tidak juga. Menasihati murid itu baik, malah harus. Sebab, guru bukan hanya pengajar. Dia juga pendidik. Bukan hanya penabur pengetahuan. Dia juga penyamai nilai-nilai. Karena itu, guru harus matang, dalam pengetahuan, sikap, dan kepribadian. Dia harus miliki kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
Dalam banyak kasus, yang sering parah itu kecerdasan emosional. Ujian terbesarnya, ketika guru hadapi murid bermasalah. Cara yang ditempuhnya menunjukkan tingkat kecerdasan emosionalnya. Guru yang cerdas secara emosional tidak memberikan teguran atau hukuman dengan cara mempermalukan murid di depan teman-temannya. Guru yang cerdas secara emosional tidak merendahkan murid dengan kata-kata memojokkan.
Yang terjadi dalam kasus kita justru yang ini. Bagaimanakah perasan seorang murid, remaja putri, ketika oleh gurunya ia dijadikan contoh buruk bagi teman-temannya? Di depan teman-temannya pula? “Jangan seperti si anu, tidur di paha laki-laki dalam kelas.” Ini cara nasihat yang salah, betapapun luhur tujuannya. Salah, karena cara ini justru membuat murid terluka. Padahal, masih banyak cara lain yang lebih berterima.
Pertanyakan kita: dengan menjadikan si anu contoh buruk bagi teman-temannya, apakah tidur di paha laki-laki itu sudah pernah ditangani dengan baik? Kalau itu dianggap kasus, apakah wali kelas atau guru BP sudah mengurusnya? Apakah orangtua si anu sudah diberi tahu? Kalau semua itu sudah, berarti sudah selesai to? Lha, kenapa yang sudah selesai masih dikorek-korek lagi sehingga timbulkan luka baru di atas bekas luka lama?
Atau, jangan-jangan, kasus itu tidak pernah diurus. Kalau begitu ceritanya, gawat. Dengan tidak diurus maka kasus ini diserahkan kepada kesewenang-wenangan buah bibir. Digosipkan di sekolah. Digosipkan di ruang guru. Dst.
Dengan digosipkan, apa yang sesungguhnya terjadi? Si murid diadili secara sosial. Peradilan sosial adalah ‘peradilan in absentia’. Peradilan tanpa kehadiran si ‘terdakwa’. Ini sangat keji. Karena, si ‘terdakwa’ tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan posisinya.
Bayangkan, seandainya sudah begitu, si ‘terdakwa’ tadi dijadikan contoh buruk pula bagi teman-temannya. Gadis remaja mana yang tidak terluka dengan cara seperti ini? Kalau di sekolah ia merasa sudah ditolak, wajarlah ia mengadu ke keluarga. Keluarga marah juga wajar. Asal, tidak pakai cara yang kurang ajar.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 17 Februari 2010
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
pendidikan,
penyeroyokan guru di sekolah
Maju Terus, CIJ Ende!
Kegiatan Amal Jelang Yubileum 75 Tahun
Oleh Frans Anggal
Menyongsong yubileum 75 tahun berdirinya 23 Maret 2010, Biara CIJ Ende lakukan berbagai kegiatan amal pada 16 paroki dalam wilayah Kevikepan Ende. Satu di antaranya pelayanan kesehatan gratis. Untuk apa aksi amal ini? Koordinator yubileum Suster Elina CIJ memberi jawaban.
Tujuan aksi ini, kata Suster Elina, berada bersama umat. Selama ini, suster CIJ berkarya dalam komunitas semata. Sekarang saatnya berkarya di luar komunitas. Mendekatkan diri dengan umat dan bersama mengambil bagian dalam karya hidup umat (Flores Pos Jumat 12 Februari 2010).
Berada bersama umat. Berkarya bersama umat. Sesungguhnya sudah dijalankan CIJ Ende, dari dulu, sejak 75 tahun silam. Kalau tidak berada dan berkarya bersama umat, mana mungkin mereka bisa sukses di bidang pendidikan dan kesehatan, misalnya, yang buahnya sangat dirasakan oleh umat selama ini? Kalau begitu, untuk apa lagi mereka beraksi amal dengan tujuan yang sebenarnya sudah mereka raih?
Memaknai yubileum 75 tahun, tentu. Mereka telah menerima banyak cinta dari Tuhan. Kini mereka hendak besyukur secara lebih istimewa. Tidak hanya di sekeliling meja altar biara. Tapi juga di sekeliling meja altar kehidupan umat. Tidak hanya dengan ’liturgia’. Tapi juga dengan ’diakonia’. Dengan begitu, cinta Tuhan yang mereka terima, mereka teruskan, mereka amalkasihkan kepada umat.
Pengamalkasihan itu tidak hanya dengan memberikan sesuatu kepada umat, tapi juga dengan mendatangi umat, mendekati umat, berada bersama umat, yang notabene hidup di luar tembok biara. Ada gerakan sentrifugal di sini. Mengumpar dari pusat menuju pinggiran.
Sudah semestinyalah gerakan itu gerakan CIJ, gerakan Serikat Pengikut Yesus. Yesus sendiri sudah kasih teladan. Ia bergerak dari pusat menuju pinggiran. Dari Yerusalem menuju Kalvari. Lebih daripada sekadar menuju pinggiran, Yesus peduli pada kaum pinggiran, memihak kaum pinggiran, dan mati sebagai orang pinggiran. Disalib.
Kegiatan amal CIJ Ende sudah pasti diletakkan dalam spiritualitas seperti ini. Spiritualitas yang puluhan tahun silam menggerakkan Paus Paulus VI. ”Gereja tidak puas hanya merenung tentang alamnya sendiri dan tentang hubungan dengan Tuhan. Gereja juga harus memikirkan orang-orang yang hidup dalam kenyataan masa kini,” katanya.
Tak hanya berkata. Paus Paulus VI juga bertindak. Ia menyuruh menjual tiaranya, mahkota bersusun tiga, lambang kekuasaannya. Hasilnya ia bagikan kepada orang miskin. Ia pun keluar dari tembok Vatikan, jadi paus pertama yang keliling dunia. Tahun 1964 ia hadiri Kongres Ekaristi di Bombay, India. Ia berikan komuni pertama kepada 20 anak kaum pinggiran. Juga makan bersama mereka. Anak-anak ini bahagia. Padahal, hidangannya cuma roti, kentang, dan teh.
Betapa bahagianya CIJ Ende kalau amal kasihnya membahagiakan kaum pinggiran. ”Kami merasa sangat terbantu dengan adanya pelayanan kesehatan gratis ini,” kata Donatus Remi, Ketua Lingkungan 14 Paroki Katedral Ende. ”Sebagai umat dengan pendapatan pas-pasan, dengan adanya kegiatan ini, saya senang. Karena biasanya kalau mau berobat di puskesmas ataupun dokter, pasti kami keluarkan uang,” kata seorang pasien Yustina Tiwe.
Mereka merasa dipedulikan, diperhatikan, dibantu. Betapa kegiatan amal ini bermakna mendalam. Tidak hanya bagi umat, kaum pinggiran. Tapi juga bagi CIJ sendiri. Dengan bergerak ke pinggiran, mereka justru semakin menuju pusat. Sebab, Sang Pusat, dari dahulu, berada di pinggiran. Maju terus, CIJ Ende!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 16 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Menyongsong yubileum 75 tahun berdirinya 23 Maret 2010, Biara CIJ Ende lakukan berbagai kegiatan amal pada 16 paroki dalam wilayah Kevikepan Ende. Satu di antaranya pelayanan kesehatan gratis. Untuk apa aksi amal ini? Koordinator yubileum Suster Elina CIJ memberi jawaban.
Tujuan aksi ini, kata Suster Elina, berada bersama umat. Selama ini, suster CIJ berkarya dalam komunitas semata. Sekarang saatnya berkarya di luar komunitas. Mendekatkan diri dengan umat dan bersama mengambil bagian dalam karya hidup umat (Flores Pos Jumat 12 Februari 2010).
Berada bersama umat. Berkarya bersama umat. Sesungguhnya sudah dijalankan CIJ Ende, dari dulu, sejak 75 tahun silam. Kalau tidak berada dan berkarya bersama umat, mana mungkin mereka bisa sukses di bidang pendidikan dan kesehatan, misalnya, yang buahnya sangat dirasakan oleh umat selama ini? Kalau begitu, untuk apa lagi mereka beraksi amal dengan tujuan yang sebenarnya sudah mereka raih?
Memaknai yubileum 75 tahun, tentu. Mereka telah menerima banyak cinta dari Tuhan. Kini mereka hendak besyukur secara lebih istimewa. Tidak hanya di sekeliling meja altar biara. Tapi juga di sekeliling meja altar kehidupan umat. Tidak hanya dengan ’liturgia’. Tapi juga dengan ’diakonia’. Dengan begitu, cinta Tuhan yang mereka terima, mereka teruskan, mereka amalkasihkan kepada umat.
Pengamalkasihan itu tidak hanya dengan memberikan sesuatu kepada umat, tapi juga dengan mendatangi umat, mendekati umat, berada bersama umat, yang notabene hidup di luar tembok biara. Ada gerakan sentrifugal di sini. Mengumpar dari pusat menuju pinggiran.
Sudah semestinyalah gerakan itu gerakan CIJ, gerakan Serikat Pengikut Yesus. Yesus sendiri sudah kasih teladan. Ia bergerak dari pusat menuju pinggiran. Dari Yerusalem menuju Kalvari. Lebih daripada sekadar menuju pinggiran, Yesus peduli pada kaum pinggiran, memihak kaum pinggiran, dan mati sebagai orang pinggiran. Disalib.
Kegiatan amal CIJ Ende sudah pasti diletakkan dalam spiritualitas seperti ini. Spiritualitas yang puluhan tahun silam menggerakkan Paus Paulus VI. ”Gereja tidak puas hanya merenung tentang alamnya sendiri dan tentang hubungan dengan Tuhan. Gereja juga harus memikirkan orang-orang yang hidup dalam kenyataan masa kini,” katanya.
Tak hanya berkata. Paus Paulus VI juga bertindak. Ia menyuruh menjual tiaranya, mahkota bersusun tiga, lambang kekuasaannya. Hasilnya ia bagikan kepada orang miskin. Ia pun keluar dari tembok Vatikan, jadi paus pertama yang keliling dunia. Tahun 1964 ia hadiri Kongres Ekaristi di Bombay, India. Ia berikan komuni pertama kepada 20 anak kaum pinggiran. Juga makan bersama mereka. Anak-anak ini bahagia. Padahal, hidangannya cuma roti, kentang, dan teh.
Betapa bahagianya CIJ Ende kalau amal kasihnya membahagiakan kaum pinggiran. ”Kami merasa sangat terbantu dengan adanya pelayanan kesehatan gratis ini,” kata Donatus Remi, Ketua Lingkungan 14 Paroki Katedral Ende. ”Sebagai umat dengan pendapatan pas-pasan, dengan adanya kegiatan ini, saya senang. Karena biasanya kalau mau berobat di puskesmas ataupun dokter, pasti kami keluarkan uang,” kata seorang pasien Yustina Tiwe.
Mereka merasa dipedulikan, diperhatikan, dibantu. Betapa kegiatan amal ini bermakna mendalam. Tidak hanya bagi umat, kaum pinggiran. Tapi juga bagi CIJ sendiri. Dengan bergerak ke pinggiran, mereka justru semakin menuju pusat. Sebab, Sang Pusat, dari dahulu, berada di pinggiran. Maju terus, CIJ Ende!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 16 Februari 2010
Label:
74 tahun cij ende,
agama,
bentara,
cij ende,
ende,
flores,
flores pos
Paradigma Runggu-Rangga
Pemberantasan DBD di Flores
Oleh Frans Anggal
Di Flores, bukan hanya Sikka yang dilanda demam berdarah dengue (DBD). Ende juga. Namun, Ende tidak separah Sikka. DBD Sikka sudah masuk kejadian luar biasa (KLB). Ende? ”Belum dinyatakan KLB, masih dikatakan sebagai peningkatan kasus DBD”, kata Kadiskes Ende Agustinus Ngasu (Flores Pos Sabtu 13 Februari 2010).
Belum KLB, syukur alahamdulillah, dan insya Allah, tidak-lah. Namun, bercermin pada Sikka, Ende mesti waspada. Apalagi, mengutip kadiskes, status ”belum KLB” itu mengandung muatan tertentu. Berupa data dan tendensi. Datanya: sejak Januari hingga 12 Februari 2010, ’jumlah kesakitan’ (morbidity rate) 13, dan 12 di antaranya sembuh. Sedangkan ’jumlah kematian’ (mortality rate) nol. Tendensinya? Meningkat!
Kadiskes sendiri bilang, ”Belum dinyatakan KLB, masih dikatakan sebagai peningkatan kasus DBD.” Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ”peningkatan” sebagai ”proses meningkat”. Proses meningkat itu bisa lambat, bisa cepat, bisa terhenti, bisa terus, menuju puncak: KLB. Pada kasus Sikka, proses itu sangat cepat. Selasa 9 Februari, kadiskesnya bilang belum KLB. Keesokannya, Rabu 10 Februari, sudah KLB. Keesokannya lagi, Kamis 11 Februari, Maumere masuk zona merah DBD.
KLB punya kriterianya (Ditjen PPM & PLP 1987). Untuk daerah yang tidak pernah DBD, terjadinya kasus DBD pertama sudah merupakan KLB. Sedangkan untuk daerah yang pernah DBD, status KLB baru diberikan ketika terjadi peningkatan ’jumlah kesakitan’ dua kali atau lebih dibandingkan ‘jumlah kesakitan’ yang biasa terjadi pada kurun waktu yang sama tahun sebelumnya.
Ende sendiri pernah DBD. Sekarang kena lagi. Namun, belum masuk kategori KLB. Karena, ‘jumlah kesakitan’-nya belum dua kali lipat atau lebih dari ‘jumlah kesakitan’ pada kurun waktu yang sama tahun sebelumnya. Namun, tendesinya jelas, berdasarkan keterangan kadiskes. Terjadi peningkatan kasus! Ini perlu diwaspadai. Tidak boleh dianggap remeh. Kenapa? Data bisa menyesatkan.
Secara ‘parodi’, kita katakan begini. Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus itu kurang ajar. Mereka selalu luput dari sensus penduduk. Mereka tidak pernah lapor diri ke ketua RT: jumlahnya berapa, tinggalnya di mana. Setelah menggigit warga, mereka juga tidak bikin laporan ke petugas kesehatan setempat, apalagi ke kadiskes. Mereka takut kena foging, abate, dan 3M. Rupanya karena mereka tidak lapor, laporan juga tidak ada. Kalaupun ada, dianggap tidak ada. Ditutupi, direduksi, dibantah. Nanti, setelah banyak yang sakit dan mati, barulah runggu-rangga (kaget dan mulai hiruk-pikuk).
Ke-runggu-rangga-an menceminkan paradigma kesehatan seperti apa yang de facto kita anut. Terus terang, sebagian besar kebijakan pemberantasan DBD kita masih berkonteks retrospektif (setelah kejadian) dengan upaya kuratif (pengobatan). Belum berkonteks prospektif (sebelum kejadian) dengan upaya preventif (pencegahan).
Padahal, menurut WHO (2004), pemberantasan vektor DBD harus secara dini dan berkesinambungan. Konteksnya prospektif, upayanya preventif. Depkes (2003) juga bilang begitu. Paradigmanya keren: paradigma kesehatan yang baru. Pendekatannya lebih mengutamakan upaya preventif ketimbang upaya kuratif.
Tapi, siapa tidak tahu kelemahan bangsa kita. Tak nyambungnya ortodoksi (ajaran yang benar) dengan ortopraksi (praktik yang benar). Tak satunya kata dan perbuatan. De facto, upaya preventif yang mesti dini dan berkesinambungan belum mendapat penekanan. Kita masih menganut “paradigma runggu-rangga”. Suka kaget lalu hiruk-pikuk. Semoga Ende tidak begitu.
“Bentara” FLORES POS, Senin 15 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Di Flores, bukan hanya Sikka yang dilanda demam berdarah dengue (DBD). Ende juga. Namun, Ende tidak separah Sikka. DBD Sikka sudah masuk kejadian luar biasa (KLB). Ende? ”Belum dinyatakan KLB, masih dikatakan sebagai peningkatan kasus DBD”, kata Kadiskes Ende Agustinus Ngasu (Flores Pos Sabtu 13 Februari 2010).
Belum KLB, syukur alahamdulillah, dan insya Allah, tidak-lah. Namun, bercermin pada Sikka, Ende mesti waspada. Apalagi, mengutip kadiskes, status ”belum KLB” itu mengandung muatan tertentu. Berupa data dan tendensi. Datanya: sejak Januari hingga 12 Februari 2010, ’jumlah kesakitan’ (morbidity rate) 13, dan 12 di antaranya sembuh. Sedangkan ’jumlah kematian’ (mortality rate) nol. Tendensinya? Meningkat!
Kadiskes sendiri bilang, ”Belum dinyatakan KLB, masih dikatakan sebagai peningkatan kasus DBD.” Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ”peningkatan” sebagai ”proses meningkat”. Proses meningkat itu bisa lambat, bisa cepat, bisa terhenti, bisa terus, menuju puncak: KLB. Pada kasus Sikka, proses itu sangat cepat. Selasa 9 Februari, kadiskesnya bilang belum KLB. Keesokannya, Rabu 10 Februari, sudah KLB. Keesokannya lagi, Kamis 11 Februari, Maumere masuk zona merah DBD.
KLB punya kriterianya (Ditjen PPM & PLP 1987). Untuk daerah yang tidak pernah DBD, terjadinya kasus DBD pertama sudah merupakan KLB. Sedangkan untuk daerah yang pernah DBD, status KLB baru diberikan ketika terjadi peningkatan ’jumlah kesakitan’ dua kali atau lebih dibandingkan ‘jumlah kesakitan’ yang biasa terjadi pada kurun waktu yang sama tahun sebelumnya.
Ende sendiri pernah DBD. Sekarang kena lagi. Namun, belum masuk kategori KLB. Karena, ‘jumlah kesakitan’-nya belum dua kali lipat atau lebih dari ‘jumlah kesakitan’ pada kurun waktu yang sama tahun sebelumnya. Namun, tendesinya jelas, berdasarkan keterangan kadiskes. Terjadi peningkatan kasus! Ini perlu diwaspadai. Tidak boleh dianggap remeh. Kenapa? Data bisa menyesatkan.
Secara ‘parodi’, kita katakan begini. Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus itu kurang ajar. Mereka selalu luput dari sensus penduduk. Mereka tidak pernah lapor diri ke ketua RT: jumlahnya berapa, tinggalnya di mana. Setelah menggigit warga, mereka juga tidak bikin laporan ke petugas kesehatan setempat, apalagi ke kadiskes. Mereka takut kena foging, abate, dan 3M. Rupanya karena mereka tidak lapor, laporan juga tidak ada. Kalaupun ada, dianggap tidak ada. Ditutupi, direduksi, dibantah. Nanti, setelah banyak yang sakit dan mati, barulah runggu-rangga (kaget dan mulai hiruk-pikuk).
Ke-runggu-rangga-an menceminkan paradigma kesehatan seperti apa yang de facto kita anut. Terus terang, sebagian besar kebijakan pemberantasan DBD kita masih berkonteks retrospektif (setelah kejadian) dengan upaya kuratif (pengobatan). Belum berkonteks prospektif (sebelum kejadian) dengan upaya preventif (pencegahan).
Padahal, menurut WHO (2004), pemberantasan vektor DBD harus secara dini dan berkesinambungan. Konteksnya prospektif, upayanya preventif. Depkes (2003) juga bilang begitu. Paradigmanya keren: paradigma kesehatan yang baru. Pendekatannya lebih mengutamakan upaya preventif ketimbang upaya kuratif.
Tapi, siapa tidak tahu kelemahan bangsa kita. Tak nyambungnya ortodoksi (ajaran yang benar) dengan ortopraksi (praktik yang benar). Tak satunya kata dan perbuatan. De facto, upaya preventif yang mesti dini dan berkesinambungan belum mendapat penekanan. Kita masih menganut “paradigma runggu-rangga”. Suka kaget lalu hiruk-pikuk. Semoga Ende tidak begitu.
“Bentara” FLORES POS, Senin 15 Februari 2010
Drama Tiga Hari ala Sikka
Kasus DBD di Sikka
Oleh Frans Anggal
Kota Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, dinyatakan sebagai zona merah kasus demam berdarah dengue (DBD). Dari 283 kasus DBD, 5 orang meninggal selama Januari sampai dengan 10 Februari 2010 berasal dari kota Maumere. Begitu kata Kadiskes Sikka Delly Pasande (Flores Pos Jumat 12 Februari 2010).
Peningkatan status ini berlangsung begitu cepat. Hanya dalam seminggu. Bahkan hanya dalam tiga hari. Selasa 9 Februari, kadiskes bilang DBD di Sikka belum masuk kategori kejadian luar biasa (KLB). Keesokannya, Rabu 10 Februari, Sikka dinyatakan KLB DBD. Keesokannya lagi, Kamis 11 Februari, ibu kota kabupatennya, Maumere, dinyatakan masuk zona merah DBD.
Benar-benar ”drama tiga hari”. Ful ketoprak humor. Lucu dan penuh kejutan. Ini cerminan apa? Manajemen tidak becus. Dalam hal ini, manajemen risiko dan pengkomunikasian risiko (risk communication). Telah terjadi kekeliruan dalam persepsi risiko. Yaitu, penilaian tentang kemungkinan terjadinya kerugian kesehatan fisik atau mental. Khususnya, di sini, kemungkinan terjadinya KLB atau wabah penyakit menular demam berdarah.
Coba simak fakta dan data Selasa 9 Februari. Fakta: pasien DBD di RSUD Maumere membludak. Nyaris tidak tertampung. Data: dari Januari hingga 8 Februari, ’jumlah kesakitan’ (morbidity rate) sudah mencapai 130 lebih, ’jumlah kematian’ (mortality rate) sudah mencapai 7. Apa kata kadiskes? ”Sikka belum KLB DBD. Memang ada potensi KLB, tapi belum bisa dikatakan sebagai wabah.”
Eh, keesokannya, hanya berselang sehari, Sikka dinyatakan KLB DBD. Hari ini ”belum apa-apa”, besoknya ”sudah apa-apa”. Kadiskes ”tertangkap basah” lakukan kesalahan. Kesalahannya adalah pemerkiraan risiko yang terlalu kecil (under-estimate risk perception). Kenapa? Patut dapat diduga, ini karena laporan data tidak akurat atau tidak transparan.
Soal data ini, wartawan Flores Pos Wall Abulat dalam laporannya menyebutkan, jumlah kematian periode Januari sampai dengan 11 Februari berbeda antara data Flores Pos dan data dinas kesehatan. Menurut data Flores Pos, 8 meninggal. Menurut data dinas kesehatan, 5 meninggal. “Korting”-nya 3 orang memang! Kalau data dinas yang tepat, syukurlah. Berarti 3 orang itu masih hidup. Dan semoga mereka panjang umur setelah “vonis” mati yang keliru itu.
Namun, soal data-mendata, siapa tidak kenal “Indopahit” (Indonesia keturunan Majapahit, Indonesia penuh kepahitan). Bangsa kita, termasuk (atau terutama?) birokrasinya sangat menjaga roman muka, fasade, ritual performance. Wajah, bendera, citra, tidak boleh ketahuan cacat. Kalau sampai ketahuan orang, ”Di mana mukaku harus kusembunyikan?” Muka penting, lebih daripada otak dan hati. Malu penting, lebih daripada benar dan baik. Yang psikologis nomor satu. Yang etis nomor dua, bila perlu nomor buntut.
Dengan budaya seperti ini (‘budaya rasa malu’ shame culture mengalahkan ‘budaya rasa bersalah’ guilt culture), apa yang terjadi dengan DBD yang “memalukan” itu? Karena DBD memalukan pemerintah, mendatangkan kredit poin buruk bagi dinas kesehatan terutama kadisnya, maka pendataannya oleh anak buah harus “sedemikian rupa” memperhitungkan wajah, bendera, dan citra itu tadi. Caranya: temuan memalukan ditutupi, direduksi, dibantah. Sebab, ”Di mana muka kita harus kita sembunyikan” kalau daerah kita KLB DBD?
Kita berharap birokrasi jujur dengan fakta. Jujur dengan data. Dalam bidang kesehatan, apalagi. Risikonya nyawa manusia. Data yang akurat (baca: jujur) akan membantu akurasi persepsi risiko. Membantu manajemen risiko dan membantu pengkomunikasian risiko. Dengan begitu, “drama tiga hari” ala Sikka tidak perlu dipentas ulang.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 13 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Kota Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, dinyatakan sebagai zona merah kasus demam berdarah dengue (DBD). Dari 283 kasus DBD, 5 orang meninggal selama Januari sampai dengan 10 Februari 2010 berasal dari kota Maumere. Begitu kata Kadiskes Sikka Delly Pasande (Flores Pos Jumat 12 Februari 2010).
Peningkatan status ini berlangsung begitu cepat. Hanya dalam seminggu. Bahkan hanya dalam tiga hari. Selasa 9 Februari, kadiskes bilang DBD di Sikka belum masuk kategori kejadian luar biasa (KLB). Keesokannya, Rabu 10 Februari, Sikka dinyatakan KLB DBD. Keesokannya lagi, Kamis 11 Februari, ibu kota kabupatennya, Maumere, dinyatakan masuk zona merah DBD.
Benar-benar ”drama tiga hari”. Ful ketoprak humor. Lucu dan penuh kejutan. Ini cerminan apa? Manajemen tidak becus. Dalam hal ini, manajemen risiko dan pengkomunikasian risiko (risk communication). Telah terjadi kekeliruan dalam persepsi risiko. Yaitu, penilaian tentang kemungkinan terjadinya kerugian kesehatan fisik atau mental. Khususnya, di sini, kemungkinan terjadinya KLB atau wabah penyakit menular demam berdarah.
Coba simak fakta dan data Selasa 9 Februari. Fakta: pasien DBD di RSUD Maumere membludak. Nyaris tidak tertampung. Data: dari Januari hingga 8 Februari, ’jumlah kesakitan’ (morbidity rate) sudah mencapai 130 lebih, ’jumlah kematian’ (mortality rate) sudah mencapai 7. Apa kata kadiskes? ”Sikka belum KLB DBD. Memang ada potensi KLB, tapi belum bisa dikatakan sebagai wabah.”
Eh, keesokannya, hanya berselang sehari, Sikka dinyatakan KLB DBD. Hari ini ”belum apa-apa”, besoknya ”sudah apa-apa”. Kadiskes ”tertangkap basah” lakukan kesalahan. Kesalahannya adalah pemerkiraan risiko yang terlalu kecil (under-estimate risk perception). Kenapa? Patut dapat diduga, ini karena laporan data tidak akurat atau tidak transparan.
Soal data ini, wartawan Flores Pos Wall Abulat dalam laporannya menyebutkan, jumlah kematian periode Januari sampai dengan 11 Februari berbeda antara data Flores Pos dan data dinas kesehatan. Menurut data Flores Pos, 8 meninggal. Menurut data dinas kesehatan, 5 meninggal. “Korting”-nya 3 orang memang! Kalau data dinas yang tepat, syukurlah. Berarti 3 orang itu masih hidup. Dan semoga mereka panjang umur setelah “vonis” mati yang keliru itu.
Namun, soal data-mendata, siapa tidak kenal “Indopahit” (Indonesia keturunan Majapahit, Indonesia penuh kepahitan). Bangsa kita, termasuk (atau terutama?) birokrasinya sangat menjaga roman muka, fasade, ritual performance. Wajah, bendera, citra, tidak boleh ketahuan cacat. Kalau sampai ketahuan orang, ”Di mana mukaku harus kusembunyikan?” Muka penting, lebih daripada otak dan hati. Malu penting, lebih daripada benar dan baik. Yang psikologis nomor satu. Yang etis nomor dua, bila perlu nomor buntut.
Dengan budaya seperti ini (‘budaya rasa malu’ shame culture mengalahkan ‘budaya rasa bersalah’ guilt culture), apa yang terjadi dengan DBD yang “memalukan” itu? Karena DBD memalukan pemerintah, mendatangkan kredit poin buruk bagi dinas kesehatan terutama kadisnya, maka pendataannya oleh anak buah harus “sedemikian rupa” memperhitungkan wajah, bendera, dan citra itu tadi. Caranya: temuan memalukan ditutupi, direduksi, dibantah. Sebab, ”Di mana muka kita harus kita sembunyikan” kalau daerah kita KLB DBD?
Kita berharap birokrasi jujur dengan fakta. Jujur dengan data. Dalam bidang kesehatan, apalagi. Risikonya nyawa manusia. Data yang akurat (baca: jujur) akan membantu akurasi persepsi risiko. Membantu manajemen risiko dan membantu pengkomunikasian risiko. Dengan begitu, “drama tiga hari” ala Sikka tidak perlu dipentas ulang.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 13 Februari 2010
Adil Dulu Baru Damai
Pol PP Lembata Keroyok Wara
Oleh Frans Anggal
Di Lewoleba, Lembata, seorang pemuda, Flavianus Gevali alias Diki (21), dikeroyok Polisi Pamong Praja (Pol PP). Diki bersama temannya mengendarai sepeda motor. Mereka berpapasan dengan mobil patroli Pol PP. Salah seorang di mobil itu dikenal Diki, keluarganya, biasa disapa Polo. Diki pun menyapanya, ”Polo!” Anggota lain berang, lalu turun dari mobil. ”Kau omong apa tadi?” Belum sempat menjawab, Diki mereka hajar. Mereka salah dengar. ”Polo” mereka dengar sebagai ”Bodoh” (Flores Pos Kamis 11 Februari 2010).
Sapanya ”Polo”, dengarnya ”Bodoh”. Siapa yang bodoh? Bukan yang sapa, tentu. Bukan Diki. Tapi yang dengar atau, lebih tepat, yang salah dengar. Anggota Pol PP. Mereka tidak hanya bodoh dalam mendengar, tapi juga bodoh dalam bereaksi. Awalnya wajar, mereka minta klarifikasi: ”Kau omong apa tadi?” Sayang, ujungnya kurang ajar. Belum sempat menjawab, Diki mereka hajar, keroyok.
Kalau tidak bodoh, anggota Pol PP itu tentu tidak akan main hakim sendiri. Ada seribu satu cara selesaikan sengketa. Asal, pakai otak. Bukan pakai otot. Kalau pakai otot, kasus lama lahirkan kasus baru. Kasus kecil munculkan kasus besar. Itu yang terjadi. Awalnya hanya salah dengar. Kasus kecil. Tapi karena Pol PP pakai ’pendekatan otot’, yang kecil ini jadi besar. Kasus penganiayaan. Maka, dilaporkan ke polisi.
Karena anak buahnya dilaporkan ke polisi, si ’bapak buah’ Kasat Pol PP Markus Lela Udak dekati keluarga Diki. Ia minta penyelesaian kekeluargaan. ”Saya sudah melakukan pendekatan secara kekeluargaan, namun pihak keluarga korban belum pastikan apakah urus secara kekeluargaan atau proses hukum.”
Hak Diki dan orangtuanya, terima atau tolak permintaan itu. Kalau mereka terima, itu kerahiman. Kalau mereka tolak, itu keadilan. Keadilan hukum. Hak mereka. Karena ini negara hukum, bukan rimba raya binatang buas. Proses hukum perlu, demi tegaknya keadilan. Juga berguna, demi jelasnya persoalan. Siapa bersalah, apa bentuk kesalahannya, dan apa bentuk hukumannya.
Dengan begitu, perdamaian bukannya dinafikan. Perdamaian perlu dan berguna. Asalkan yang benar. Bukan murahan. Dua syarat harus dipenuhi. Adanya pengakuan kesalahan di satu sisi, dan pengampunan di sisi lain. Tanpa pengakuan, tak ada pengampunan. Sekadar analogi, grasi dari presiden hanya diberikan kepada orang yang oleh pengadilan telah ditetapkan bentuk kesalahan dan hukumannya. Grasi tidak mungkin diberikan kepada orang yang tidak jelas kesalahannya atau yang tidak bersalah sama sekali.
Prinsipnya di sini: adil dulu baru damai. Dalam kasus Diki vs Pol PP, prinsip ini perlu dimenangkan. Karena, kasus ini bukan sekadar kasus orang per orang. Bukan kasus warga vs warga. Ini kasus warga vs negara. Tepatnya, kasus kekerasan (aparat) negara terhadap warga. Ranah kasusnya ranah publik. Aneh bin janggal kalau kasus di ranah pubik ini dibawa masuk ke ranah privat untuk diselesaikan secara privat. Diselesiakan secara kekeluargaan.
Atas dasar inilah kita menyalahkan penyelesaian yang diperjuangkan si ’bapak buah’ Kasat Pol PP Markus Lela Udak. Damai oke-oke saja, tapi proses hukum dululah. Adil dulu baru bisa damai. Lagi pula, yang bikin hukum itu negara. Masa, (aparat) negara lagi yang kasih teladan buruk kepada warga untuk tidak hargai (proses) hukum. Yang benar saja.
Selain salah, si ’bapak buah’ ini juga aneh. Kepada pers dia bilang tidak tahu kasusnya apa. Sebab, saat kejadian, dia masih di Jakarta. Dia pun belum dapat laporannya dari staf. Aneh, dalam ketidaktahuannya, dia usahakan penyelesaian damai. Ini perdamaian macam apa? Perdamaian murahan. Ini kita tolak.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 12 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Di Lewoleba, Lembata, seorang pemuda, Flavianus Gevali alias Diki (21), dikeroyok Polisi Pamong Praja (Pol PP). Diki bersama temannya mengendarai sepeda motor. Mereka berpapasan dengan mobil patroli Pol PP. Salah seorang di mobil itu dikenal Diki, keluarganya, biasa disapa Polo. Diki pun menyapanya, ”Polo!” Anggota lain berang, lalu turun dari mobil. ”Kau omong apa tadi?” Belum sempat menjawab, Diki mereka hajar. Mereka salah dengar. ”Polo” mereka dengar sebagai ”Bodoh” (Flores Pos Kamis 11 Februari 2010).
Sapanya ”Polo”, dengarnya ”Bodoh”. Siapa yang bodoh? Bukan yang sapa, tentu. Bukan Diki. Tapi yang dengar atau, lebih tepat, yang salah dengar. Anggota Pol PP. Mereka tidak hanya bodoh dalam mendengar, tapi juga bodoh dalam bereaksi. Awalnya wajar, mereka minta klarifikasi: ”Kau omong apa tadi?” Sayang, ujungnya kurang ajar. Belum sempat menjawab, Diki mereka hajar, keroyok.
Kalau tidak bodoh, anggota Pol PP itu tentu tidak akan main hakim sendiri. Ada seribu satu cara selesaikan sengketa. Asal, pakai otak. Bukan pakai otot. Kalau pakai otot, kasus lama lahirkan kasus baru. Kasus kecil munculkan kasus besar. Itu yang terjadi. Awalnya hanya salah dengar. Kasus kecil. Tapi karena Pol PP pakai ’pendekatan otot’, yang kecil ini jadi besar. Kasus penganiayaan. Maka, dilaporkan ke polisi.
Karena anak buahnya dilaporkan ke polisi, si ’bapak buah’ Kasat Pol PP Markus Lela Udak dekati keluarga Diki. Ia minta penyelesaian kekeluargaan. ”Saya sudah melakukan pendekatan secara kekeluargaan, namun pihak keluarga korban belum pastikan apakah urus secara kekeluargaan atau proses hukum.”
Hak Diki dan orangtuanya, terima atau tolak permintaan itu. Kalau mereka terima, itu kerahiman. Kalau mereka tolak, itu keadilan. Keadilan hukum. Hak mereka. Karena ini negara hukum, bukan rimba raya binatang buas. Proses hukum perlu, demi tegaknya keadilan. Juga berguna, demi jelasnya persoalan. Siapa bersalah, apa bentuk kesalahannya, dan apa bentuk hukumannya.
Dengan begitu, perdamaian bukannya dinafikan. Perdamaian perlu dan berguna. Asalkan yang benar. Bukan murahan. Dua syarat harus dipenuhi. Adanya pengakuan kesalahan di satu sisi, dan pengampunan di sisi lain. Tanpa pengakuan, tak ada pengampunan. Sekadar analogi, grasi dari presiden hanya diberikan kepada orang yang oleh pengadilan telah ditetapkan bentuk kesalahan dan hukumannya. Grasi tidak mungkin diberikan kepada orang yang tidak jelas kesalahannya atau yang tidak bersalah sama sekali.
Prinsipnya di sini: adil dulu baru damai. Dalam kasus Diki vs Pol PP, prinsip ini perlu dimenangkan. Karena, kasus ini bukan sekadar kasus orang per orang. Bukan kasus warga vs warga. Ini kasus warga vs negara. Tepatnya, kasus kekerasan (aparat) negara terhadap warga. Ranah kasusnya ranah publik. Aneh bin janggal kalau kasus di ranah pubik ini dibawa masuk ke ranah privat untuk diselesaikan secara privat. Diselesiakan secara kekeluargaan.
Atas dasar inilah kita menyalahkan penyelesaian yang diperjuangkan si ’bapak buah’ Kasat Pol PP Markus Lela Udak. Damai oke-oke saja, tapi proses hukum dululah. Adil dulu baru bisa damai. Lagi pula, yang bikin hukum itu negara. Masa, (aparat) negara lagi yang kasih teladan buruk kepada warga untuk tidak hargai (proses) hukum. Yang benar saja.
Selain salah, si ’bapak buah’ ini juga aneh. Kepada pers dia bilang tidak tahu kasusnya apa. Sebab, saat kejadian, dia masih di Jakarta. Dia pun belum dapat laporannya dari staf. Aneh, dalam ketidaktahuannya, dia usahakan penyelesaian damai. Ini perdamaian macam apa? Perdamaian murahan. Ini kita tolak.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 12 Februari 2010
Label:
flores,
flores pos,
hukum,
lembata,
pengeroyokan,
pol pp lembata
Kadiskes Sikka, Jangan Keliru!
Kasus DBD di Sikka
Oleh Frans Anggal
Pasien demam berdarah dengue (DBD) di RSUD Maumere membludak. Nyaris tidak tertampung. Sejak Januari hingga 8 Februari 2010, kasus DBD sudah mencapai 130 lebih. Dari antaranya, 7 orang meninggal dunia. Sudah gawat.
Namun, simak apa kata Kadiskes Sikka Delly Pasande. ”Sikka belum KLB DBD. Memang ada potensi KLB, tapi belum bisa dikatakan sebagai wabah. Karena itu, warga jangan panik” (Flores Pos Rabu 10 Februari 2010). KLB, singkatan dari kejadian luar biasa.
Imbauannya benar. Jangan panik. Karena panik bisa bikin situasi tambah runyam. Mungkin ia khawatir, kalau itu tidak ia imbaukan, panik bisa menjadi histeria massa. Ia tidak mau masyarakat dilanda kecemasan berlebihan. Tapi, terus terang, tidak panik itu tidaklah gampang. Tidak semudah mengimbaukannya. Kadis gampang saja bilang jangan panik. Tapi, coba lihat kenyataan. Sudah gawat. Sudah bikin masyarat sulit untuk tidak panik.
Siapa tidak panik, hanya dalam sebulan, sudah 130 pasien DBD terkapar di rumah sakit. Siapa tidak panik, rumah sakit sudah kewalahan, nyaris tidak bisa tampung. Siapa tidak panik, hanya dalam sebulan, sudah 7 orang meninggal. Itulah situasinya. Dalam situasi itulah Kadis Delly Pasande kasih imbauan: jangan panik. Imbauannya benar. Motif dan tujuannya mungkin baik. Tapi, apakah perlu?
Kalau kita simak alasannya, imbauan itu tidak perlu ia ucapkan. Bahkan, tidak seharusnya ia ucapkan. Sebab, ia gunakan alasan yang patut dipertanyakan kebenarannya. Dia bilang, Sikka belum KLB DBD. Lho, 130 pasien dangan 7 meninggal itu apa? Ini bukan sekadar angka dengan jumlah sebegitu. Ini adalah fenomena gunung es. Angka itu hanyalah puncak yang tampak dari ’jumlah kesakitan’ (morbidity rate) dan ’jumlah kematian’ (mortality rate) yang sesungguhnya dalam masyarakat.
Sekadar gambaran, coba simak Laporan Pencapaian Indonesia Sehat (Depkes 2004). Angka penderita penyakit dalam laporan itu bersumber dari tempat pelayanan kesehatan (facility based data), yang diperoleh melalui pencatatan dan pelaporan. Persoalannya: tidak semua orang sakit berobat ke tempat pelayanan kesehatan. Biro Pusat Statistik (2004) menunjukkan, masih banyak penduduk Indonesia yang tidak pergi berobat ke tempat pelayanan kesehatan ketika mengalami gejala sakit fisik. Dengan demikian, sakit mereka tidak terdata. Hanya 38,21% dari penduduk yang disensus yang pergi berobat ke tempat pelayanan kesehatan.
Angka kasus demam berdarah pun ‘bernasib’ seperti itu. Yang tercatat hanyalah sejumlah kecil dari yang sesungguhnya. Dengan pemahaman inilah semestinya kita menilai dan menyikapi kasus DBD di Sikka. Bahwa, 130 pasien dangan 7 meninggal dalam sebulan itu hanyalah jumlah kecil dari yang sesungguhnya terjadi. Yang sesungguhnya itu sudah merupakan KLB.
Sayang, cara pandang ini bukan anutan Kadis Delly Pasande. Akibatnya bisa ditebak. Menghadapi kasus DBD, ia terperangkap dalam kekeliruan persepsi risiko. Ia salah menilai kemungkinan kerugian (potential of loss), yang mencakup baik kemungkinan terjadinya (vulnerability) maupun keparahannya (severity).
Tidak heranlah, meski sudah 130 pasien dan 7 meninggal dalam sebulan, DBD di Sikka masih ia anggap bukan KLB. Anggapan keliru inilah yang mendorongnya mengimbau masyarakat: ”... jangan panik. Sikka belum KLB DBD. Memang ada potensi KLB, tapi belum bisa dikatakan sebagai wabah.” Hmmm. Ini benar-benar ”KLB” (Komentar Luar Biasa). Maka, sepantasnya ia kita komentari secara luar biasa pula. ”Kadiskes Sikka, jangan keliru!”
“Bentara” FLORES POS, Kamis 11 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Pasien demam berdarah dengue (DBD) di RSUD Maumere membludak. Nyaris tidak tertampung. Sejak Januari hingga 8 Februari 2010, kasus DBD sudah mencapai 130 lebih. Dari antaranya, 7 orang meninggal dunia. Sudah gawat.
Namun, simak apa kata Kadiskes Sikka Delly Pasande. ”Sikka belum KLB DBD. Memang ada potensi KLB, tapi belum bisa dikatakan sebagai wabah. Karena itu, warga jangan panik” (Flores Pos Rabu 10 Februari 2010). KLB, singkatan dari kejadian luar biasa.
Imbauannya benar. Jangan panik. Karena panik bisa bikin situasi tambah runyam. Mungkin ia khawatir, kalau itu tidak ia imbaukan, panik bisa menjadi histeria massa. Ia tidak mau masyarakat dilanda kecemasan berlebihan. Tapi, terus terang, tidak panik itu tidaklah gampang. Tidak semudah mengimbaukannya. Kadis gampang saja bilang jangan panik. Tapi, coba lihat kenyataan. Sudah gawat. Sudah bikin masyarat sulit untuk tidak panik.
Siapa tidak panik, hanya dalam sebulan, sudah 130 pasien DBD terkapar di rumah sakit. Siapa tidak panik, rumah sakit sudah kewalahan, nyaris tidak bisa tampung. Siapa tidak panik, hanya dalam sebulan, sudah 7 orang meninggal. Itulah situasinya. Dalam situasi itulah Kadis Delly Pasande kasih imbauan: jangan panik. Imbauannya benar. Motif dan tujuannya mungkin baik. Tapi, apakah perlu?
Kalau kita simak alasannya, imbauan itu tidak perlu ia ucapkan. Bahkan, tidak seharusnya ia ucapkan. Sebab, ia gunakan alasan yang patut dipertanyakan kebenarannya. Dia bilang, Sikka belum KLB DBD. Lho, 130 pasien dangan 7 meninggal itu apa? Ini bukan sekadar angka dengan jumlah sebegitu. Ini adalah fenomena gunung es. Angka itu hanyalah puncak yang tampak dari ’jumlah kesakitan’ (morbidity rate) dan ’jumlah kematian’ (mortality rate) yang sesungguhnya dalam masyarakat.
Sekadar gambaran, coba simak Laporan Pencapaian Indonesia Sehat (Depkes 2004). Angka penderita penyakit dalam laporan itu bersumber dari tempat pelayanan kesehatan (facility based data), yang diperoleh melalui pencatatan dan pelaporan. Persoalannya: tidak semua orang sakit berobat ke tempat pelayanan kesehatan. Biro Pusat Statistik (2004) menunjukkan, masih banyak penduduk Indonesia yang tidak pergi berobat ke tempat pelayanan kesehatan ketika mengalami gejala sakit fisik. Dengan demikian, sakit mereka tidak terdata. Hanya 38,21% dari penduduk yang disensus yang pergi berobat ke tempat pelayanan kesehatan.
Angka kasus demam berdarah pun ‘bernasib’ seperti itu. Yang tercatat hanyalah sejumlah kecil dari yang sesungguhnya. Dengan pemahaman inilah semestinya kita menilai dan menyikapi kasus DBD di Sikka. Bahwa, 130 pasien dangan 7 meninggal dalam sebulan itu hanyalah jumlah kecil dari yang sesungguhnya terjadi. Yang sesungguhnya itu sudah merupakan KLB.
Sayang, cara pandang ini bukan anutan Kadis Delly Pasande. Akibatnya bisa ditebak. Menghadapi kasus DBD, ia terperangkap dalam kekeliruan persepsi risiko. Ia salah menilai kemungkinan kerugian (potential of loss), yang mencakup baik kemungkinan terjadinya (vulnerability) maupun keparahannya (severity).
Tidak heranlah, meski sudah 130 pasien dan 7 meninggal dalam sebulan, DBD di Sikka masih ia anggap bukan KLB. Anggapan keliru inilah yang mendorongnya mengimbau masyarakat: ”... jangan panik. Sikka belum KLB DBD. Memang ada potensi KLB, tapi belum bisa dikatakan sebagai wabah.” Hmmm. Ini benar-benar ”KLB” (Komentar Luar Biasa). Maka, sepantasnya ia kita komentari secara luar biasa pula. ”Kadiskes Sikka, jangan keliru!”
“Bentara” FLORES POS, Kamis 11 Februari 2010
16 Februari 2010
Experto Credite
Sidang Kasus Kematian Romo Faustin Sega Pr
Oleh Frans Anggal
Kapolres Ngada Moch Slamet menjamin persidangan kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr di PN Bajawa berjalan aman dan tertib. Tidak ada alasan mendasar untuk dipindahkan ke kupang. Ia menanggapi SMS Kadiv Advokasi Padma Indonesia Gabriel Goa (Flores Pos Senin 8 Februari 2010).
Isi SMS Gabriel Goa, pertama, meminta kapolda NTT mendesak kapolres Ngada mengusut tuntas pelaku dan otak penghinaan dan pelecehan terhadap martabat lembaga dan pribadi direktur Padma Indonesia serta pelemparan rumah orangtua staf Padma di Bajawa.
Kedua, meminta kajati, kepala PN NTT, dan muspida Ngada pertimbangkan peradilan di Kupang, demi peradilan yang fair tanpa tekanan massa, yang berakibat peradilan massa dan tidak menghargai HAM, bertindak anarkis, dan mengakibatkan pelanggaran HAM.
Poin kedua inilah yang ditanggapi kapolres. Tanggapannya berupa beberan fakta. Persidangan sudah tiga kali. Aman terkendali. Tak ada tekanan massa. Paling-paling teriakan spontan massa saat melihat terdakwa. Jadi, tak ada alasan mendasar pindahkan persidangan.
Dari redaksi SMS-nya, Gabriel Goa cemas, peradilan bisa tidak fair bila persidangan tetap dilangsungkan di Bajawa. Faktor yang dicemaskannya sebagai penyebab ke-tidak-fair-an itu adalah tekanan massa. Pertanyaan kita: apakah ada tekanan massa? Kapolres sudah menjawabnya: tidak ada.
Bahwa ada massa, ya. Ini sidang terbuka. Kasusnya pun ’menarik’. Karena itu, tidak mungkin tidak diminati. Hadirnya bahkan membludaknya massa harus dipandang sebagai hal wajar. Yang tidak wajar adalah: menganggap atau menyamakan kehadiran massa itu sebagai tekanan massa. Sama tidak wajarnya: menengarai kehadiran massa (yang dianggap atau disamakan dengan tekanan massa itu) akan mengakibatkan peradilan tidak fair.
Pada anggapan pertama, terjadi kelancangan bernalar. Pada anggapan kedua, terjadi peremehan terhadap lembaga pengadilan. Seakan-akan, majelis hakim PN Bajawa demikian bobroknya sehingga takluk taat penurut menghamba-hamba pada tekanan massa (kalau memang ada). Seakan-akan pula, masyarakat Ngada pengunjung sidang demikian tidak tahu dirinya sehingga mengintervensi sesukanya proses peradilan.
Dengan dua anggapan itu, segera terbayangkan dua hal berikut. Seolah-olah massa pengunjung sidang PN Bajawa sudah jadi mob. Yaitu, kerumunan (crowds) yang emosional, yang cenderung melakukan kekerasan (violence) dan tindakan destruktif. Yang juga terbayangkan di sini, seolah-olah kekuasaan PN Bajawa sudah jadi mobokrasi. Yakni, kekuasaan yang mudah saja dikendalikan oleh mob, oleh kerumunan yang emosional, irasional, dan anarkis.
Bahwa bisa terjadi seperti itu, bisa-bisa saja. Psikolog dan teoritikus Prancis Gustave Le Bon (1841-1931) punya teorinya. Menurut dia, perilaku agresif dan destruktif identik dengan eksistensi kerumunan. Dalam kerumunan, individualitas tenggelam dalam homogenitas. Rasionalitas individu juga melemah. Sebaliknya, kadar emosi dan irasionalitasnya menguat. Dalam kerumunan, individu cenderung berpikir, merasa, dan bertindak sama satu sama lain. Ini yang membuat mereka ‘kompak’ bertindak agresif dan destruktif.
Pertanyaan kita: sudah mengarah ke sanakah situasi di Bajawa? Sehingga, persidangan kasus Romo Faustin perlu dipindahkan ke Kupang? Kapolres sudah menjawanya: tidak. Ia beberkan fakta sebagai bukti. Nah. Experto credite, kata ungkapan Latin. ‘Percayalah pada yang telah terbukti’. Jangan percaya saja pada kecemasan. Kecemasan itu hanyalah nama lain dari ketakutan tidak berdasar.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 10 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Kapolres Ngada Moch Slamet menjamin persidangan kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr di PN Bajawa berjalan aman dan tertib. Tidak ada alasan mendasar untuk dipindahkan ke kupang. Ia menanggapi SMS Kadiv Advokasi Padma Indonesia Gabriel Goa (Flores Pos Senin 8 Februari 2010).
Isi SMS Gabriel Goa, pertama, meminta kapolda NTT mendesak kapolres Ngada mengusut tuntas pelaku dan otak penghinaan dan pelecehan terhadap martabat lembaga dan pribadi direktur Padma Indonesia serta pelemparan rumah orangtua staf Padma di Bajawa.
Kedua, meminta kajati, kepala PN NTT, dan muspida Ngada pertimbangkan peradilan di Kupang, demi peradilan yang fair tanpa tekanan massa, yang berakibat peradilan massa dan tidak menghargai HAM, bertindak anarkis, dan mengakibatkan pelanggaran HAM.
Poin kedua inilah yang ditanggapi kapolres. Tanggapannya berupa beberan fakta. Persidangan sudah tiga kali. Aman terkendali. Tak ada tekanan massa. Paling-paling teriakan spontan massa saat melihat terdakwa. Jadi, tak ada alasan mendasar pindahkan persidangan.
Dari redaksi SMS-nya, Gabriel Goa cemas, peradilan bisa tidak fair bila persidangan tetap dilangsungkan di Bajawa. Faktor yang dicemaskannya sebagai penyebab ke-tidak-fair-an itu adalah tekanan massa. Pertanyaan kita: apakah ada tekanan massa? Kapolres sudah menjawabnya: tidak ada.
Bahwa ada massa, ya. Ini sidang terbuka. Kasusnya pun ’menarik’. Karena itu, tidak mungkin tidak diminati. Hadirnya bahkan membludaknya massa harus dipandang sebagai hal wajar. Yang tidak wajar adalah: menganggap atau menyamakan kehadiran massa itu sebagai tekanan massa. Sama tidak wajarnya: menengarai kehadiran massa (yang dianggap atau disamakan dengan tekanan massa itu) akan mengakibatkan peradilan tidak fair.
Pada anggapan pertama, terjadi kelancangan bernalar. Pada anggapan kedua, terjadi peremehan terhadap lembaga pengadilan. Seakan-akan, majelis hakim PN Bajawa demikian bobroknya sehingga takluk taat penurut menghamba-hamba pada tekanan massa (kalau memang ada). Seakan-akan pula, masyarakat Ngada pengunjung sidang demikian tidak tahu dirinya sehingga mengintervensi sesukanya proses peradilan.
Dengan dua anggapan itu, segera terbayangkan dua hal berikut. Seolah-olah massa pengunjung sidang PN Bajawa sudah jadi mob. Yaitu, kerumunan (crowds) yang emosional, yang cenderung melakukan kekerasan (violence) dan tindakan destruktif. Yang juga terbayangkan di sini, seolah-olah kekuasaan PN Bajawa sudah jadi mobokrasi. Yakni, kekuasaan yang mudah saja dikendalikan oleh mob, oleh kerumunan yang emosional, irasional, dan anarkis.
Bahwa bisa terjadi seperti itu, bisa-bisa saja. Psikolog dan teoritikus Prancis Gustave Le Bon (1841-1931) punya teorinya. Menurut dia, perilaku agresif dan destruktif identik dengan eksistensi kerumunan. Dalam kerumunan, individualitas tenggelam dalam homogenitas. Rasionalitas individu juga melemah. Sebaliknya, kadar emosi dan irasionalitasnya menguat. Dalam kerumunan, individu cenderung berpikir, merasa, dan bertindak sama satu sama lain. Ini yang membuat mereka ‘kompak’ bertindak agresif dan destruktif.
Pertanyaan kita: sudah mengarah ke sanakah situasi di Bajawa? Sehingga, persidangan kasus Romo Faustin perlu dipindahkan ke Kupang? Kapolres sudah menjawanya: tidak. Ia beberkan fakta sebagai bukti. Nah. Experto credite, kata ungkapan Latin. ‘Percayalah pada yang telah terbukti’. Jangan percaya saja pada kecemasan. Kecemasan itu hanyalah nama lain dari ketakutan tidak berdasar.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 10 Februari 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
ngada,
sidang kasus romo fasutin sega pr
SMS dan Selebaran Itu
Provokasi terhadap Umat Beragama di Ende
Oleh Frans Anggal
Camat Ende Selatan Ismail Petorsila mengundang para tokoh agama, Kapolsek, Danramil, Depag, tokoh masyarakat, dan pihak terkait untuk bicarakan SMS dan selebaran gelap yang berisi provokasi terhadap umat beragama di Kabupaten Ende. Isi SMS dan selebaran itu terkait kasus dugaan korupsi Iskandar Mberu, mantan sekda Ende. Kasusnya akan disidangkan di PN Ende.
”Baik pesan gelap maupun selebaran ini menghasut umat beragama. Mengajak umat Islam untuk bersatu membakar areal pertokoan .... Pertemuan ini diadakan agar masyarakat Kecamatan Ende Selatan terutama para pemilik toko tidak terprovokasi dan tidak perlu cemas ataupun takut. Percayakan kepada pemerintah untuk meredamnya,” kata camat (Flores Pos Senin 8 Februari 2010).
Kita dukung langkah ini, juga imbauannya. Kita percaya, pemerintah bisa redam. Yang menggelitik kita: ada apa di balik SMS dan selebaran itu? Dari isinya, cukup jelas, ini politisasi agama. Isu agama dijadikan komoditas politik praktis. Seperti kata Wakil Ketua MUI Kabupaten Ende Djamal Humris, selebaran itu menyebutkan bahwa Iskandar Mberu sudah berbuat banyak bagi umat Islam, tapi ketika yang bersangkutan menghadapi proses hukum, tidak ada tindakan atau kepedulian dari umat Islam.
Dalam SMS, kasus Iskandar Mberu dikaitkan dengan Don Wangge-Achmad Mochdar, bupati-wabup saat ini. Bahwa, Wangge-Mochdar sedang membunuh karakter umat Islam yang duduk di pemerintahan. Bahwa, Wangge-Mochdar mengadu domba umat Islam. Bahwa, kasus Iskandar Mberu rekayasa belaka.
Tak perlu nalar canggih untuk simpulkan, ini SMS sampah. Yang begini ini tidak hanya di Ende. Di wilayah lain, pada pilpres 2009, beredar selebaran gelap. Isinya: istri Cawapres Boediono itu Katolik. Maka, dua kubu yang bersinggungan langsung, kubu SBY-Boediono dan JK-Wiranto, bikin kasus ini makin lebar. Bahkan jadi objek kampanye untuk saling serang. Betul-betul sampah!
Sampah ini juga ada di Amerika Serikat, yang katanya kampiun demokrasi. Capres Barack Obama disangkutpautkan dengan Islam. Obama terpaksa berikan klarifikasi tentang agama yang dianutnya. Padahal, selaku warga sebuah negara sekular, hal seperti ini tidak perlu ia lakukan. Tapi, begitulah politik praktis. Halalkan segala cara. Ini yang kita tolak.
Kita sepakat dengan Djamal Humris. Jasa baik Iskandar Mberu patut dihargai. Ia telah buat banyak bagi umat Islam. Namun, hargai jasanya tak boleh dengan halalkan segala cara. Apalagi dengan tumbalkan orang yang tak bersalah. Apa salah para pedagang dalam kasus Iskandar Mberu sehingga toko mereka harus dibakar? “Masalah Pak Iskandar itu sudah masuk ranah hukum,” kata Djamal Humris, “jadi mari kita hormati proses hukum.”
Ajakan yang tepat. Tidak hanya karena proporsional sesuai dengan ranahnya, tapi juga proporsional sesuai dengan hakikat keinsanian kita. Seperti kita, Iskandar Mberu itu manusia juga. Maka, meski berjasa banyak, ia tetap bisa punya salah. Membela seakan-akan dia tidak mungkin bersalah adalah bentuk kultus individu. Islam justru sangat menentang ini.
Prof Dr Hamka dalam bukunya Dari Hati ke Hati menulis sangat bagus tentang kultus individu. Rasulullah SAW menjaga dengan keras, jangan sampai cinta kepada dirinya menyebabkan kultus atau pemujaan. Dia boleh dicintai …. Tetapi cinta jangan sampai timbulkan pemujaan. Yang wajib dipuja dan disembah hanyalah Allah. “Sedangkan nabi kita tidak kita puja (sembah) dan tidak kita kultus-individukan, apalagi manusia lain, siapa pun dia!”
“Bentara” FLORES POS, Selasa 9 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Camat Ende Selatan Ismail Petorsila mengundang para tokoh agama, Kapolsek, Danramil, Depag, tokoh masyarakat, dan pihak terkait untuk bicarakan SMS dan selebaran gelap yang berisi provokasi terhadap umat beragama di Kabupaten Ende. Isi SMS dan selebaran itu terkait kasus dugaan korupsi Iskandar Mberu, mantan sekda Ende. Kasusnya akan disidangkan di PN Ende.
”Baik pesan gelap maupun selebaran ini menghasut umat beragama. Mengajak umat Islam untuk bersatu membakar areal pertokoan .... Pertemuan ini diadakan agar masyarakat Kecamatan Ende Selatan terutama para pemilik toko tidak terprovokasi dan tidak perlu cemas ataupun takut. Percayakan kepada pemerintah untuk meredamnya,” kata camat (Flores Pos Senin 8 Februari 2010).
Kita dukung langkah ini, juga imbauannya. Kita percaya, pemerintah bisa redam. Yang menggelitik kita: ada apa di balik SMS dan selebaran itu? Dari isinya, cukup jelas, ini politisasi agama. Isu agama dijadikan komoditas politik praktis. Seperti kata Wakil Ketua MUI Kabupaten Ende Djamal Humris, selebaran itu menyebutkan bahwa Iskandar Mberu sudah berbuat banyak bagi umat Islam, tapi ketika yang bersangkutan menghadapi proses hukum, tidak ada tindakan atau kepedulian dari umat Islam.
Dalam SMS, kasus Iskandar Mberu dikaitkan dengan Don Wangge-Achmad Mochdar, bupati-wabup saat ini. Bahwa, Wangge-Mochdar sedang membunuh karakter umat Islam yang duduk di pemerintahan. Bahwa, Wangge-Mochdar mengadu domba umat Islam. Bahwa, kasus Iskandar Mberu rekayasa belaka.
Tak perlu nalar canggih untuk simpulkan, ini SMS sampah. Yang begini ini tidak hanya di Ende. Di wilayah lain, pada pilpres 2009, beredar selebaran gelap. Isinya: istri Cawapres Boediono itu Katolik. Maka, dua kubu yang bersinggungan langsung, kubu SBY-Boediono dan JK-Wiranto, bikin kasus ini makin lebar. Bahkan jadi objek kampanye untuk saling serang. Betul-betul sampah!
Sampah ini juga ada di Amerika Serikat, yang katanya kampiun demokrasi. Capres Barack Obama disangkutpautkan dengan Islam. Obama terpaksa berikan klarifikasi tentang agama yang dianutnya. Padahal, selaku warga sebuah negara sekular, hal seperti ini tidak perlu ia lakukan. Tapi, begitulah politik praktis. Halalkan segala cara. Ini yang kita tolak.
Kita sepakat dengan Djamal Humris. Jasa baik Iskandar Mberu patut dihargai. Ia telah buat banyak bagi umat Islam. Namun, hargai jasanya tak boleh dengan halalkan segala cara. Apalagi dengan tumbalkan orang yang tak bersalah. Apa salah para pedagang dalam kasus Iskandar Mberu sehingga toko mereka harus dibakar? “Masalah Pak Iskandar itu sudah masuk ranah hukum,” kata Djamal Humris, “jadi mari kita hormati proses hukum.”
Ajakan yang tepat. Tidak hanya karena proporsional sesuai dengan ranahnya, tapi juga proporsional sesuai dengan hakikat keinsanian kita. Seperti kita, Iskandar Mberu itu manusia juga. Maka, meski berjasa banyak, ia tetap bisa punya salah. Membela seakan-akan dia tidak mungkin bersalah adalah bentuk kultus individu. Islam justru sangat menentang ini.
Prof Dr Hamka dalam bukunya Dari Hati ke Hati menulis sangat bagus tentang kultus individu. Rasulullah SAW menjaga dengan keras, jangan sampai cinta kepada dirinya menyebabkan kultus atau pemujaan. Dia boleh dicintai …. Tetapi cinta jangan sampai timbulkan pemujaan. Yang wajib dipuja dan disembah hanyalah Allah. “Sedangkan nabi kita tidak kita puja (sembah) dan tidak kita kultus-individukan, apalagi manusia lain, siapa pun dia!”
“Bentara” FLORES POS, Selasa 9 Februari 2010
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
kultus individu,
m iskandar mberu,
provokasi
Hamba Budaya Patriarki
Kekerasan terhadap Anak di Flores
Oleh Frans Anggal
Dalam sebuah edisinya, Jumat 5 Februari 2010, Flores Pos wartakan dua kasus kekerasan seksual terhadap anak. Kasus pertama, terjadi di Kabupaten Manggarai Timur. Kepala sekolah sebuah SD memperkosa muridnya sendiri. Kasus kedua, terjadi di Kabupaten Ende. Seorang siswi SMP dicabuli ayah tirinya. Kedua kasus ini sudah dilaporkan ke polisi. Kini sedang dalam proses penyidikan.
Dua kasus ini, kasus yang terungkap. Yang tak terungkap, lebih banyak. Tak terungkap, karena berbagai faktor. Terbesar, faktor budaya: menganggap mengungkap kasus sama dengan membuka aib. ”Taruh di mana mukaku kalau orang tahu?” Muka lebih penting ketimbang otak dan hati. Malu lebih tinggi ketimbang benar dan baik. Sifat psikologis lebih utama ketimbang sifat moral.
Kita hidup dalam budaya seperti ini. Tak heran, banyak kasus kekerasan seksual didiamkan. Ini ’menguntungkan’ lelaki sebagai—maaf--predator. Perempuan hanya berkeluh dalam diam: ”Mangsa aku dalam cakarmu.” Alhasil, kekerasan seksual tetap marak, untuk tidak mengatakan semakin menjadi-jadi.
Kepala Delegasi Komisi Eropa Julian Wilson, dalam acara 20 Tahun Peringatan Konvensi Hak-Hak Anak, di Hotel Le Meredien, Jakarta, 20 November 2009, singkapkan fakta. Lebih dari 200 juta anak di dunia jadi korban kekerasan seksual. Taruhlah 200 juta itu puncak gunung es, berapa banyak yang masih tersembunyi sebagai badan gunung di bawah laut? Berapa pun itu, persentase terbesar ada pada negara yang utamakan ‘budaya rasa malu’ (shame culture) ketimbang ‘budaya rasa bersalah’ (guilt culture). Indonesia di antaranya.
Malah, bisa jadi, tidak sekadar salah satunya, Indonesia juga juara satunya. Dibanding dengan bangsa lain, bangsa kita sangat utamakan roman muka, fasade, ritual performance. Wajah, bendera, citra, gelar, itulah yang penting. Dan, semua orang sepertinya menerimanya sebagai hal biasa. Malah, bukan sekadar “begitu sudah”, tapi “begitu memang”. Alias, sudah seharusnya begitu.
Budayawan YB Mangunwiya (1981) pernah kasih contoh. Anak Pak Lurah menghamili babu. Seluruh kampung tahu, tapi pura-pura tidak tahu. Maka, Pak Lurah, yang juga pura-pura menganggap warga kampung tidak tahu, menikahkan sang babu dengan sopirnya. Tanggapan warga kampung? Meski tahu si bayi dalam kandungan sang babu itu berasal dari benih putra nakal Pak Lurah, mereka serius dan gembira “mendoa-restukan” pernikahan itu, atas biaya Pak Lurah. Jadilah, “semua beres”. Pak Lurah “luput” dari aib.
Bangsa kita merdeka sejak 1945. Sudah 64 tahun lebih. Sayang, hanya merdeka dari kungkungan penjajah. Belum merdeka dari kungkungan budaya malu, budaya roman muka, budaya fasade, budaya ritual performance. Dalam kasus Pak Lurah, ini “menguntungkan” laki-laki. Dengan kata lain, mengukuhkan budaya patriarki yang sudah lama berakar. Kalau ditelisik lebih jauh, kiat bebas aib ala Pal Lurah sebenarnya juga konstruksi dari budaya patriarki itu sendiri.
Dalam kasus Pak Lurah, dengan latar masyarakat yang masih terkungkung budaya malu, si babu yang adalah juga ‘produk’ budaya masyarakatnya, sulit memperjuangkan atau diperjuangkan haknya melalui proses hukum. Banyak perempuan korban kekerasan seksual bernasib begitu. Anak-anak, apalagi.
Dalam perspektif inilah kita dukung langkah hukum dua kasus yang diberitakan Flores Pos. Ini salah satu cara mengikis budaya patriarki. Sayang, banyak aparat penegak hukum tidak serius. Seperti Pak Lurah dll, mereka belum menjadi hamba hukum. Mereka masih menjadi hamba budaya patriarki. Apakah karena kebanyakan mereka laki-laki?
“Bentara” FLORES POS, Senin 8 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Dalam sebuah edisinya, Jumat 5 Februari 2010, Flores Pos wartakan dua kasus kekerasan seksual terhadap anak. Kasus pertama, terjadi di Kabupaten Manggarai Timur. Kepala sekolah sebuah SD memperkosa muridnya sendiri. Kasus kedua, terjadi di Kabupaten Ende. Seorang siswi SMP dicabuli ayah tirinya. Kedua kasus ini sudah dilaporkan ke polisi. Kini sedang dalam proses penyidikan.
Dua kasus ini, kasus yang terungkap. Yang tak terungkap, lebih banyak. Tak terungkap, karena berbagai faktor. Terbesar, faktor budaya: menganggap mengungkap kasus sama dengan membuka aib. ”Taruh di mana mukaku kalau orang tahu?” Muka lebih penting ketimbang otak dan hati. Malu lebih tinggi ketimbang benar dan baik. Sifat psikologis lebih utama ketimbang sifat moral.
Kita hidup dalam budaya seperti ini. Tak heran, banyak kasus kekerasan seksual didiamkan. Ini ’menguntungkan’ lelaki sebagai—maaf--predator. Perempuan hanya berkeluh dalam diam: ”Mangsa aku dalam cakarmu.” Alhasil, kekerasan seksual tetap marak, untuk tidak mengatakan semakin menjadi-jadi.
Kepala Delegasi Komisi Eropa Julian Wilson, dalam acara 20 Tahun Peringatan Konvensi Hak-Hak Anak, di Hotel Le Meredien, Jakarta, 20 November 2009, singkapkan fakta. Lebih dari 200 juta anak di dunia jadi korban kekerasan seksual. Taruhlah 200 juta itu puncak gunung es, berapa banyak yang masih tersembunyi sebagai badan gunung di bawah laut? Berapa pun itu, persentase terbesar ada pada negara yang utamakan ‘budaya rasa malu’ (shame culture) ketimbang ‘budaya rasa bersalah’ (guilt culture). Indonesia di antaranya.
Malah, bisa jadi, tidak sekadar salah satunya, Indonesia juga juara satunya. Dibanding dengan bangsa lain, bangsa kita sangat utamakan roman muka, fasade, ritual performance. Wajah, bendera, citra, gelar, itulah yang penting. Dan, semua orang sepertinya menerimanya sebagai hal biasa. Malah, bukan sekadar “begitu sudah”, tapi “begitu memang”. Alias, sudah seharusnya begitu.
Budayawan YB Mangunwiya (1981) pernah kasih contoh. Anak Pak Lurah menghamili babu. Seluruh kampung tahu, tapi pura-pura tidak tahu. Maka, Pak Lurah, yang juga pura-pura menganggap warga kampung tidak tahu, menikahkan sang babu dengan sopirnya. Tanggapan warga kampung? Meski tahu si bayi dalam kandungan sang babu itu berasal dari benih putra nakal Pak Lurah, mereka serius dan gembira “mendoa-restukan” pernikahan itu, atas biaya Pak Lurah. Jadilah, “semua beres”. Pak Lurah “luput” dari aib.
Bangsa kita merdeka sejak 1945. Sudah 64 tahun lebih. Sayang, hanya merdeka dari kungkungan penjajah. Belum merdeka dari kungkungan budaya malu, budaya roman muka, budaya fasade, budaya ritual performance. Dalam kasus Pak Lurah, ini “menguntungkan” laki-laki. Dengan kata lain, mengukuhkan budaya patriarki yang sudah lama berakar. Kalau ditelisik lebih jauh, kiat bebas aib ala Pal Lurah sebenarnya juga konstruksi dari budaya patriarki itu sendiri.
Dalam kasus Pak Lurah, dengan latar masyarakat yang masih terkungkung budaya malu, si babu yang adalah juga ‘produk’ budaya masyarakatnya, sulit memperjuangkan atau diperjuangkan haknya melalui proses hukum. Banyak perempuan korban kekerasan seksual bernasib begitu. Anak-anak, apalagi.
Dalam perspektif inilah kita dukung langkah hukum dua kasus yang diberitakan Flores Pos. Ini salah satu cara mengikis budaya patriarki. Sayang, banyak aparat penegak hukum tidak serius. Seperti Pak Lurah dll, mereka belum menjadi hamba hukum. Mereka masih menjadi hamba budaya patriarki. Apakah karena kebanyakan mereka laki-laki?
“Bentara” FLORES POS, Senin 8 Februari 2010
Label:
bentara,
budaya,
f;ores,
flores pos,
hukum,
kekerasans eksual terhadap anak
Terbaik: Lupakan Korem
Menyoal Pernyataan Dandim Ende
Oleh Frans Anggal
Dandim 1602 Ende Frans Tomas mengatakan, pembangunan Korem dialihkan ke Maumere, Kabupaten Sikka, karena ditolak di Ende, Kabupaten Ende. Pemkab Sikka merespon baik rencana ini. Pembangunannya diperkirakan terlaksana 2013 (Flores Pos Senin 1 Februari 2010).
Menanggapi pernyataan Dandim Frans Tomas, Om Toki pada ”Senggol” Flores Pos Selasa 2 Februari 2010 berkomentar singkat. ”Ditolak di Ende, korem dibangun di Sikka.” Apa kata Om Toki? ”Bukan ditolak di Ende, ditolak di Flores.” Seorang imam di Ende, Romo Yos Liwu Pr, mengirim SMS. Ia nyatakan sependapat. Korem bukan ditolak di Ende, tapi ditolak di Flores.
Ditolak di Flores. Artinya: di mana pun di Flores, korem tidak diterima. Termasuk, sudah tentu, di Maumere. Dan itu sudah terbukti, sejak 1999, setelah jajak pendapat di Timor Timur, yang melepaskan provinsi ke-27 Indonesia itu dari pangkuan NKRI dan berdiri sendiri sebagai negara berdaulat, Timor Leste.
Dari dulu sudah ditolak. Berkali-kali. Sekarang pun ditolak. Simak saja tanggapan Bupati Sikka Sosimus Mitang. ”Tidak benar kalau dikatakan bahwa Pemkab Sikka merespon baik pembangunan korem di Maumere. Pemerintah dan SPRD belum ada wacana untuk bangun korem” (Flores Pos Jumat 5 Februari 2010).
Itu versi ’halus’-nya, khas pemerintah. Versi ’kasar’-nya keluar dari mulut masyarakat. Dari mulut Siflan Angi, Ketua Forum Peduli atas Situasi Negara (Petasan) Kabupaten Sikka. ”Dandim Ende jangan ngawurlah .... Dari dulu Pemkab Sikka tolak (korem). Pemkab dan masyarakat Sikka dan Flores belum butuh kehadiran korem ... Jadi, dandim jangan jual nama Pemkab Sikka. Saya minta (dandim) tarik pernyataan itu.”
Akankah Dandim Frans Tomas tarik kembali pernyataannya? Bisa ya, bisa tidak. Ia mudah menariknya kembali, pertama, kalau pernyataan itu bersumber dari dirinya sendiri dan, kedua, kalau pernyataan itu diakuinya salah. Sebaliknya, ia sulit menariknya kembali kalau pernyataan itu bersumber dari atasannya. Sebagai bawahan, itu bisa ia lakukan hanya atas perintah sang atasan.
Mempertimbangkan struktur hierarkis dan garis komando militer serta rencana startegis TNI AD dengan konsep teritorialnya, kita patut dapat menduga, Dandim Frans Tomas hanyalah seorang pelaksana lapangan rencana pembangunan korem di Flores. Sebagai pelaksana lapangan, ia hanya melakukan dan menyatakan apa yang diperintahkan. Dari pengalaman sejak 1999, peran ini dimainkan oleh dandim Ende, mulai dari Musa Bangun kala itu sampai dengan Frans Tomas saat ini. Namun, sejak 1999 juga, dandim berganti dandim, rencana pembangunan korem di Flores tetap kandas.
Persoalannya bukan pada dandim-nya. Tapi pada masyarakatnya. Masyarakat Flores, dengan berbagai pengalaman, kecemasan, serta banyak alasan yang sudah dirumuskan, dipublikasikan, dan diyakini kebenarannya, tiba pada simpulan, seperti yang dikatakan Siflan Angi. Flores belum butuhkan kehadiran korem. Itulah yang terbaik untuk Flores. Maka, TNI perlu konsekuen dengan ucapannya sendiri. Terbaik untuk rakyat, terbaik untuk TNI.
Dalam ’psikologi’ masyarakat Flores seperti ini, korem akan selalu jadi isu sensitif. Salah tindak, dilawan. Salah omong, dikecam. Kali ini dialami Dandim Frans Tomas. Pilihan terbaik untuk TNI: lupakan korem. Dan, diam. Si decem habeas linguas, mutum esse addecet, kata ungkapan Latin. ‘Bahkan jika engkau miliki sepuluh lidah, sebaiknya engkau tetap diam’. Si tacuisses, philosophus mansisses. Andai kau tetap diam, mungkin kau akan tetap jadi filsuf.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 6 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Dandim 1602 Ende Frans Tomas mengatakan, pembangunan Korem dialihkan ke Maumere, Kabupaten Sikka, karena ditolak di Ende, Kabupaten Ende. Pemkab Sikka merespon baik rencana ini. Pembangunannya diperkirakan terlaksana 2013 (Flores Pos Senin 1 Februari 2010).
Menanggapi pernyataan Dandim Frans Tomas, Om Toki pada ”Senggol” Flores Pos Selasa 2 Februari 2010 berkomentar singkat. ”Ditolak di Ende, korem dibangun di Sikka.” Apa kata Om Toki? ”Bukan ditolak di Ende, ditolak di Flores.” Seorang imam di Ende, Romo Yos Liwu Pr, mengirim SMS. Ia nyatakan sependapat. Korem bukan ditolak di Ende, tapi ditolak di Flores.
Ditolak di Flores. Artinya: di mana pun di Flores, korem tidak diterima. Termasuk, sudah tentu, di Maumere. Dan itu sudah terbukti, sejak 1999, setelah jajak pendapat di Timor Timur, yang melepaskan provinsi ke-27 Indonesia itu dari pangkuan NKRI dan berdiri sendiri sebagai negara berdaulat, Timor Leste.
Dari dulu sudah ditolak. Berkali-kali. Sekarang pun ditolak. Simak saja tanggapan Bupati Sikka Sosimus Mitang. ”Tidak benar kalau dikatakan bahwa Pemkab Sikka merespon baik pembangunan korem di Maumere. Pemerintah dan SPRD belum ada wacana untuk bangun korem” (Flores Pos Jumat 5 Februari 2010).
Itu versi ’halus’-nya, khas pemerintah. Versi ’kasar’-nya keluar dari mulut masyarakat. Dari mulut Siflan Angi, Ketua Forum Peduli atas Situasi Negara (Petasan) Kabupaten Sikka. ”Dandim Ende jangan ngawurlah .... Dari dulu Pemkab Sikka tolak (korem). Pemkab dan masyarakat Sikka dan Flores belum butuh kehadiran korem ... Jadi, dandim jangan jual nama Pemkab Sikka. Saya minta (dandim) tarik pernyataan itu.”
Akankah Dandim Frans Tomas tarik kembali pernyataannya? Bisa ya, bisa tidak. Ia mudah menariknya kembali, pertama, kalau pernyataan itu bersumber dari dirinya sendiri dan, kedua, kalau pernyataan itu diakuinya salah. Sebaliknya, ia sulit menariknya kembali kalau pernyataan itu bersumber dari atasannya. Sebagai bawahan, itu bisa ia lakukan hanya atas perintah sang atasan.
Mempertimbangkan struktur hierarkis dan garis komando militer serta rencana startegis TNI AD dengan konsep teritorialnya, kita patut dapat menduga, Dandim Frans Tomas hanyalah seorang pelaksana lapangan rencana pembangunan korem di Flores. Sebagai pelaksana lapangan, ia hanya melakukan dan menyatakan apa yang diperintahkan. Dari pengalaman sejak 1999, peran ini dimainkan oleh dandim Ende, mulai dari Musa Bangun kala itu sampai dengan Frans Tomas saat ini. Namun, sejak 1999 juga, dandim berganti dandim, rencana pembangunan korem di Flores tetap kandas.
Persoalannya bukan pada dandim-nya. Tapi pada masyarakatnya. Masyarakat Flores, dengan berbagai pengalaman, kecemasan, serta banyak alasan yang sudah dirumuskan, dipublikasikan, dan diyakini kebenarannya, tiba pada simpulan, seperti yang dikatakan Siflan Angi. Flores belum butuhkan kehadiran korem. Itulah yang terbaik untuk Flores. Maka, TNI perlu konsekuen dengan ucapannya sendiri. Terbaik untuk rakyat, terbaik untuk TNI.
Dalam ’psikologi’ masyarakat Flores seperti ini, korem akan selalu jadi isu sensitif. Salah tindak, dilawan. Salah omong, dikecam. Kali ini dialami Dandim Frans Tomas. Pilihan terbaik untuk TNI: lupakan korem. Dan, diam. Si decem habeas linguas, mutum esse addecet, kata ungkapan Latin. ‘Bahkan jika engkau miliki sepuluh lidah, sebaiknya engkau tetap diam’. Si tacuisses, philosophus mansisses. Andai kau tetap diam, mungkin kau akan tetap jadi filsuf.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 6 Februari 2010
Label:
bentara,
dandim ende,
ende,
flores,
flores pos,
hankam,
korem
Flotim dan Kapitan Perahu
Menimbang Figur Pemimpin Flotim
Oleh Frans Anggal
KM Torani 2, milik Pemkab Lembata, menabrak kapal nelayan, KM Mitra Abadi, di depan Dermaga Larantuka, Flotim, Selasa malam 2 Februari 2010. Mitra Abadi tenggelam. Awaknya selamat. Sedangkan Torani 2 hanya rusak sedikit pada bagian haluan. Penumpangnya, Bupati Ande Manuk dan Nyonya, selamat (Flores Pos Kamis 4 Februari 2010).
Dua pekan sebelumnya, 22 Januari 2010, juga di perairan Dermaga Larantuka, sebuh kapal tenggelam. KM Siti Nirmala. Milik Pemkab Flotim. Lima tahun kapal ini tidak digunakan. Jadilah ia penghias pelabuhan. Rupanya, karena “merasa” dimubazirkan oleh Bupati Simon Hayon dan Wabup Yoseph ‘Yosni’ Laga Doni Herin, kapal yang dibeli pada masa Bupati Felix Fernandez dan Wabup John Payong Beda ini akhirnya tenggelam sendiri.
Pasti hanya kebetulan, tiga kapal kini “bersanding” di perairan yang sama. Siti Nirmala, Torani 2, Mitra Abadi. Kalau diperbandingkan, ketignya punya kesamaan, juga perbedaan. Menariknya, ketiganya bisa diperbandingkan dengan menggunakan “formula 1:2”. Satu kapalnya begini, dua kapalnya begitu.
Simak saja. Satunya milik masyarakat: Mitra Abadi, duanya milik pemerintah: Torani 2 dan Siti Nirmala. Satunya di atas air: Torani 2, duanya di bawa air: Mitra Abadi dan Siti Nirmala. Satunya ditahan oleh polisi: Torani 2, duanya ‘ditahan’ oleh laut: Mitra Abadi dan Siti Nirmala. Satunya menabrak: Torani 2, duanya ditabrak: Mitra Abadi oleh Torani 2, Siti Nirmala oleh gelombang. Satunya tak berpenumpang: Siti Nirmala, duanya berpenumpang: Mitra Abadi dan Torani 2.
Perbandingan ini bisa menyedot perhatian kita pada banyak hal. Tapi sudi kiranya kita fokus pada satu ini: laut dan kapal. Agar tidak jauh-jauh dari Flotim, ada baiknya laut dan kapal itu kita kaitkan dengan isu paling aktual saat ini. Pemilu kada. Kita cari figur pemimpin Flotim ke depan, yang “harus” ada kaitannya dengan laut dan kapal. Apalagi, Flotim sesungguhnya kabupaten kelautan, bukan kabupaten kepulauan. Flotim itu laut yang ditaburi pulau-pulau, bukan pulau-pulau yang dikelilingi laut.
Kata archipelago, yang di Indonesia diterjemahkan (keliru) jadi ‘wilayah kepulauan’, sesungguhnya bermakna ‘wilayah kelautan’. Kata archipelago berasal dari kata Yunani, arch (besar, utama) dan pelagos (laut). Nah, sebagai “kabupaten laut utama”, Flotim butuhkan pemimpin yang “harus” ada kaitannya dengan laut dan kapal atau perahu. Pemimpin yang punya etos kapitan perahu!
Konsep “kapitan perahu” dikemukakan pertama kali oleh Prof Mattulada, berdasarkan penelitiannya atas budaya pesisir di Sulawesi. Konsep ini dikutip Ignas Kleden dalam pidato kebudayaannya “Seni dan Civil Society” di TIM, Jakarta, 10 November 2009.
Dalam etos kapitan perahu, seorang pemimpin perahu tidak mungkin didrop begitu saja dari atas, tetapi harus bertumbuh dari bawah dan mencapai pengetahuan dan kematangan tertentu yang dipersyaratkan.
Dalam etos kapitan perahu, seorang pemimpin diharuskan mampu mengambil keputusan secara cepat dan mengoreksi keputusan dalam waktu singkat. Keragu-raguan dalam mengambil keputusan, dan kelambanan atau keengganan untuk mengoreksi keputusan yang salah, akan berakibat fatal bagi keselamatan perahunya dan hidup para penumpang.
Dalam etos kapitan perahu, ketika menghadapi bahaya karamnya perahu, seorang pemimpin harus menjadi orang terakhir yang meninggalkan perahu, setelah penumpang lain mendapat kesempatan menyelamatkan diri atau mendapat pertolongan semestinya.
Etos kapitan perahu patut dipertimbangkan dalam pemilu kada Flotim. Selamat menimbang-nimbang!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 5 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
KM Torani 2, milik Pemkab Lembata, menabrak kapal nelayan, KM Mitra Abadi, di depan Dermaga Larantuka, Flotim, Selasa malam 2 Februari 2010. Mitra Abadi tenggelam. Awaknya selamat. Sedangkan Torani 2 hanya rusak sedikit pada bagian haluan. Penumpangnya, Bupati Ande Manuk dan Nyonya, selamat (Flores Pos Kamis 4 Februari 2010).
Dua pekan sebelumnya, 22 Januari 2010, juga di perairan Dermaga Larantuka, sebuh kapal tenggelam. KM Siti Nirmala. Milik Pemkab Flotim. Lima tahun kapal ini tidak digunakan. Jadilah ia penghias pelabuhan. Rupanya, karena “merasa” dimubazirkan oleh Bupati Simon Hayon dan Wabup Yoseph ‘Yosni’ Laga Doni Herin, kapal yang dibeli pada masa Bupati Felix Fernandez dan Wabup John Payong Beda ini akhirnya tenggelam sendiri.
Pasti hanya kebetulan, tiga kapal kini “bersanding” di perairan yang sama. Siti Nirmala, Torani 2, Mitra Abadi. Kalau diperbandingkan, ketignya punya kesamaan, juga perbedaan. Menariknya, ketiganya bisa diperbandingkan dengan menggunakan “formula 1:2”. Satu kapalnya begini, dua kapalnya begitu.
Simak saja. Satunya milik masyarakat: Mitra Abadi, duanya milik pemerintah: Torani 2 dan Siti Nirmala. Satunya di atas air: Torani 2, duanya di bawa air: Mitra Abadi dan Siti Nirmala. Satunya ditahan oleh polisi: Torani 2, duanya ‘ditahan’ oleh laut: Mitra Abadi dan Siti Nirmala. Satunya menabrak: Torani 2, duanya ditabrak: Mitra Abadi oleh Torani 2, Siti Nirmala oleh gelombang. Satunya tak berpenumpang: Siti Nirmala, duanya berpenumpang: Mitra Abadi dan Torani 2.
Perbandingan ini bisa menyedot perhatian kita pada banyak hal. Tapi sudi kiranya kita fokus pada satu ini: laut dan kapal. Agar tidak jauh-jauh dari Flotim, ada baiknya laut dan kapal itu kita kaitkan dengan isu paling aktual saat ini. Pemilu kada. Kita cari figur pemimpin Flotim ke depan, yang “harus” ada kaitannya dengan laut dan kapal. Apalagi, Flotim sesungguhnya kabupaten kelautan, bukan kabupaten kepulauan. Flotim itu laut yang ditaburi pulau-pulau, bukan pulau-pulau yang dikelilingi laut.
Kata archipelago, yang di Indonesia diterjemahkan (keliru) jadi ‘wilayah kepulauan’, sesungguhnya bermakna ‘wilayah kelautan’. Kata archipelago berasal dari kata Yunani, arch (besar, utama) dan pelagos (laut). Nah, sebagai “kabupaten laut utama”, Flotim butuhkan pemimpin yang “harus” ada kaitannya dengan laut dan kapal atau perahu. Pemimpin yang punya etos kapitan perahu!
Konsep “kapitan perahu” dikemukakan pertama kali oleh Prof Mattulada, berdasarkan penelitiannya atas budaya pesisir di Sulawesi. Konsep ini dikutip Ignas Kleden dalam pidato kebudayaannya “Seni dan Civil Society” di TIM, Jakarta, 10 November 2009.
Dalam etos kapitan perahu, seorang pemimpin perahu tidak mungkin didrop begitu saja dari atas, tetapi harus bertumbuh dari bawah dan mencapai pengetahuan dan kematangan tertentu yang dipersyaratkan.
Dalam etos kapitan perahu, seorang pemimpin diharuskan mampu mengambil keputusan secara cepat dan mengoreksi keputusan dalam waktu singkat. Keragu-raguan dalam mengambil keputusan, dan kelambanan atau keengganan untuk mengoreksi keputusan yang salah, akan berakibat fatal bagi keselamatan perahunya dan hidup para penumpang.
Dalam etos kapitan perahu, ketika menghadapi bahaya karamnya perahu, seorang pemimpin harus menjadi orang terakhir yang meninggalkan perahu, setelah penumpang lain mendapat kesempatan menyelamatkan diri atau mendapat pertolongan semestinya.
Etos kapitan perahu patut dipertimbangkan dalam pemilu kada Flotim. Selamat menimbang-nimbang!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 5 Februari 2010
Label:
bentara,
etos kapitan perahu,
figur pemimpin flotim,
flores,
flores pos,
flotim,
politik
Demi Warga Pulau Ende
Ketika Sumber Air Tawar Ditemukan
Oleh Frans Anggal
Pengeboran air di Pulau Ende berhasil temukan air tawar. Awalnya, air yang keluar itu keruh. Lama-lama jernih. Sampel air sudah diuji di Laboratorium Dinkes. Hasinya: air itu memenuhi syarat kesehatan dan layak digunakan sebagai air bersih (Flores Pos Rabu 3 Februari 2010).
Ini perisiwa penting. Pulau Ende dikenal unik. Seratus persen warganya Islam. Pulau ini pulau tanpa mobil. Dan, terutama, pulau tanpa sumber air tawar. Dulu, ada kapal tanki air, disiapkan pemerintah. Rusak. Sejak itu, warga angkut sendiri air dari Pulau Flores, pakai perahu motor. Dengan ditemukannya sumber air tawar, atribut ”pulau tanpa sumber air tawar” pun berakhir.
Peristiwa ini juga penting, karena inisiatif, pencarian, dan pengeboran dilakukan sendiri oleh warga. Mereka gunakan peralatan minim. Sudah pasti, dengan anggaran minim pula. Mereka tidak pake tender. Tidak pake mark up (penggelembungan anggaran) yang menguras APBD. Dan karenanya pula, tidak perlu jadi tersangka tindak pidana korupsi, seperti nasib bapak-bapak pejabat.
Wajar dan pantas mereka berbangga. Sebagai saudara, kita ikut bangga. Namun, jauh di lubuk hati, kita juga prihatin. Bagaimana tidak. Untung saja usaha mereka ini berhasil. Kalau tidak? Pulau Ende akan tetap sebagai pulau tanpa sumber air tawar. Atribut ini tidak cukup dieja secara faktual. Perlu juga dieja secara evaluatif. Bahwa, kalau usaha mereka gagal, Pulau Ende akan tetap sebagai pulau yang kebutuhan air bersihnya tidak diperhatikan pemerintah.
Kasarnya, atau lebih tepat jujurnya, diterlantarkan. Sudah dari dulu. Apa yang disebut hidup merdeka nyaris tidak ada pengaruhnya. Dalam hal ketersediaan air bersih, warga Pulau Ende belum bebas dari kemiskinan atau kekurangan (freedom from what). Artinya apa? Substansi penyelenggaraan pemerintahan tidak berubah dari dulu sampai sekarang. Dari bupati ke bupati, penyelenggaraannya masih tetap menitikberatkan kepentingan negara (state heavy) ketimbang kepentingan masyarakat (society oriented).
Sosiolog Ignas Kleden, dalam “Indonesia Setelah Lima Tahun Reformasi” (2003), menyebutkan beberapa contoh. Warga harus bayar pajak, tapi tidak harus dapat tunjangan pengangguran. Warga harus bayar listrik, tapi tidak harus dapat ganti rugi kalau listriknya sering mati. Penduduk harus punya KTP jika tidak ingin dikejar petugas, tetapi penduduk yang sah dengan KTP tidak dapat bantuan kalau terkena bencana banjir.
Contoh-contoh itu, bisa ditambahkan dengan banyak contoh lain, menunjukkan satu hal. Bahwa, hingga era reformasi pun, kewajiban warga terhadap negara masih dan tetap saja lebih ditekankan ketimbang kewajiban negara terhadap warga. Semboyan “demi kepentingan bangsa dan negara” belum diimbangi semboyan “demi kepentingan rakyat dan masyarakat”.
Khusus bagi Pemkab Ende. Kisah Pulau Ende temukan sumber air tawar kiranya jadi titik teguh pembalikan paradigma penyelenggaraan pemerintahan. Dari state heavy ke society oriented. Secara teoritik, tak ada soal. Bupati-wabup Don Bosco M Wangge dan Achmad Mochdar sudah ikrarkan kredo sejak dilantik. Pelayanan masyarakat adalah kunci keberhasilan birokrasi. Tinggal pelaksanaannya. Ini yang biasanya repot. Setan suka muncul di sini.
Demi warga, setan apa pun harus dilawan. Nah, sekarang, apa yang bisa segera dilakukan pemkab, “demi kepentingan rakyat dan masyarakat” Pulau Ende, setelah warganya berhasil temukan sumber air tawar atas swadaya mereka sendiri? Tidak cukup hanya ikut gembira, bangga, dan nonton, bukan?
“Bentara” FLORES POS, Kamia 4 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Pengeboran air di Pulau Ende berhasil temukan air tawar. Awalnya, air yang keluar itu keruh. Lama-lama jernih. Sampel air sudah diuji di Laboratorium Dinkes. Hasinya: air itu memenuhi syarat kesehatan dan layak digunakan sebagai air bersih (Flores Pos Rabu 3 Februari 2010).
Ini perisiwa penting. Pulau Ende dikenal unik. Seratus persen warganya Islam. Pulau ini pulau tanpa mobil. Dan, terutama, pulau tanpa sumber air tawar. Dulu, ada kapal tanki air, disiapkan pemerintah. Rusak. Sejak itu, warga angkut sendiri air dari Pulau Flores, pakai perahu motor. Dengan ditemukannya sumber air tawar, atribut ”pulau tanpa sumber air tawar” pun berakhir.
Peristiwa ini juga penting, karena inisiatif, pencarian, dan pengeboran dilakukan sendiri oleh warga. Mereka gunakan peralatan minim. Sudah pasti, dengan anggaran minim pula. Mereka tidak pake tender. Tidak pake mark up (penggelembungan anggaran) yang menguras APBD. Dan karenanya pula, tidak perlu jadi tersangka tindak pidana korupsi, seperti nasib bapak-bapak pejabat.
Wajar dan pantas mereka berbangga. Sebagai saudara, kita ikut bangga. Namun, jauh di lubuk hati, kita juga prihatin. Bagaimana tidak. Untung saja usaha mereka ini berhasil. Kalau tidak? Pulau Ende akan tetap sebagai pulau tanpa sumber air tawar. Atribut ini tidak cukup dieja secara faktual. Perlu juga dieja secara evaluatif. Bahwa, kalau usaha mereka gagal, Pulau Ende akan tetap sebagai pulau yang kebutuhan air bersihnya tidak diperhatikan pemerintah.
Kasarnya, atau lebih tepat jujurnya, diterlantarkan. Sudah dari dulu. Apa yang disebut hidup merdeka nyaris tidak ada pengaruhnya. Dalam hal ketersediaan air bersih, warga Pulau Ende belum bebas dari kemiskinan atau kekurangan (freedom from what). Artinya apa? Substansi penyelenggaraan pemerintahan tidak berubah dari dulu sampai sekarang. Dari bupati ke bupati, penyelenggaraannya masih tetap menitikberatkan kepentingan negara (state heavy) ketimbang kepentingan masyarakat (society oriented).
Sosiolog Ignas Kleden, dalam “Indonesia Setelah Lima Tahun Reformasi” (2003), menyebutkan beberapa contoh. Warga harus bayar pajak, tapi tidak harus dapat tunjangan pengangguran. Warga harus bayar listrik, tapi tidak harus dapat ganti rugi kalau listriknya sering mati. Penduduk harus punya KTP jika tidak ingin dikejar petugas, tetapi penduduk yang sah dengan KTP tidak dapat bantuan kalau terkena bencana banjir.
Contoh-contoh itu, bisa ditambahkan dengan banyak contoh lain, menunjukkan satu hal. Bahwa, hingga era reformasi pun, kewajiban warga terhadap negara masih dan tetap saja lebih ditekankan ketimbang kewajiban negara terhadap warga. Semboyan “demi kepentingan bangsa dan negara” belum diimbangi semboyan “demi kepentingan rakyat dan masyarakat”.
Khusus bagi Pemkab Ende. Kisah Pulau Ende temukan sumber air tawar kiranya jadi titik teguh pembalikan paradigma penyelenggaraan pemerintahan. Dari state heavy ke society oriented. Secara teoritik, tak ada soal. Bupati-wabup Don Bosco M Wangge dan Achmad Mochdar sudah ikrarkan kredo sejak dilantik. Pelayanan masyarakat adalah kunci keberhasilan birokrasi. Tinggal pelaksanaannya. Ini yang biasanya repot. Setan suka muncul di sini.
Demi warga, setan apa pun harus dilawan. Nah, sekarang, apa yang bisa segera dilakukan pemkab, “demi kepentingan rakyat dan masyarakat” Pulau Ende, setelah warganya berhasil temukan sumber air tawar atas swadaya mereka sendiri? Tidak cukup hanya ikut gembira, bangga, dan nonton, bukan?
“Bentara” FLORES POS, Kamia 4 Februari 2010
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
kesra,
pulau ende,
sumber air tawar
Putra Asli Manggarai?
Menyoal Kriteria Cabup-Cawabup Manggarai
Oleh Frans Anggal
Paket calon bupati-wabup Manggarai Aloysius Sukardan dan Valens Gampur, alias paket Syukur, bertatap muka dengan 500-an pemuda di Ruteng, Sabtu 30 Januari 2010 (Flores Pos Selasa 2 Februari 2010).
Kenapa tatap muka dengan pemuda? Cabup Alo Sukardan beralasan, pemuda itu tonggak perubahan. Dalam sejarah lahirnya Indonesia, pemuda itu pelopor dan penggagas. ”Coba kita ingat ikrar Sumpah Pemuda ....” Karena itu, dalam konteks lokal membangun Manggarai, kaum muda perlu diberi peran
Ketua Bapilu DPC Hanura Manggarai Yasualdus Priani Mbaut, yang hadir khusus saat itu, nyatakan mendukung. Hanura Manggarai, kata dia, punyai visi dan misi yang sama. Tampilkan kaum muda. ”Kaum muda harus tunjukkan sejarah untuk Kabupaten Manggarai dengan terlibat langsung dalam hajatan pemilu kada.”
Mudah terbaca, paket Syukur sedang menarik dukungan yang muda. Caranya: menghimpun mereka, berinteraksi dengan mereka, mengapresiasi peran sejarah mereka, dan mengidentifikasi diri sebagai bagian dari mereka. Ini upaya pencitraan. Intinya: paket Syukur paketnya kaum muda. Pencitraan ini dikuatkan dengan dukungan politik Ketua Bapilu Hanura Yasualdus Priani Mbaut.
Hingga di situ, kampanyenya bagus. Kemasan belanganya cantik. Isi belanganya pun bergizi, penuh susu. Sayang, susu sebelanga itu dirusakkan oleh nila setitik. Nila diteteskan Ketua Bapilu Hanura Yasualdus Priani Mbaut. ”Paket ini ... merupakan kombinasi putra asli Manggarai yang dinilai layak untuk pimpin Manggarai ke depan,” katanya. ”Putra asli Manggarai”. Inilah nila setitik itu.
Cabup omong Sumpah Pemuda. Ketua Bapilu omong putra asli Manggarai. Tidak nyambung. Sumpah Pemuda adalah tonggak penting nasionalisme Indonesia, yang meski berbeda-beda tapi bersatu, dan meski bersatu tetap menghargai keberbedaan. Sumpah Pemuda adalah tonggak sejarah pedoman arah pluralisme dan multikulturalisme Indonesia.
Pluralisme menghargai keragaman manusia pada tingkat individu. Multikulturalisme menghargai keragaman manusia pada tingkat puak, kaum, golongan. Pluralisme dan multikulturalisme adalah ide yang tak bisa dipisahkan dari gagasan dasar demokrasi. Tanpa itu, sistem demokrasi kehilangan alasan mendasar untuk ada.
Karena itu, ketika Ketua Bapilu DPC Hanura Manggarai gunakan “putra asli Manggarai” sebagai kriteria cabup-cawabup, ia sebenarnya anti-demokrasi. Ia mengelus-elus “keturunan” seseorang, seolah masih hidup di masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Ia ketinggalan kereta demokrasi modern, yang hanya cukup melihat “kewargaan” (citizenship) seseorang, selain kualitasnya.
Tidak hanya anti-demokrasi. Ia juga ahistoris. Ia memutar jarum sejarah Indonesia kembali ke era sebelum Sumpah Pemuda. Era yang penuh kriteria “putra asli”, sehingga para pemuda terkotak-kotak dalam Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Celebes.
Dari sisi tilik demokrasi dan sejarah, kriteria “putra asli” itu langkah mundur. Apalagi kalau kita tatap ke depan. Kita sudah masuki struktur planeter. Mengutip YB Mangunwijaya (1981), barangkali generasi mendatang sudah malu untuk berkata “Kami bangsa Indonesia”, seperti kita sekarang juga segan untuk menonjolkan diri “Saya orang Jawa” atau “Kami suku Batak”. Barangkali anak cucu kita nanti sudah merasa diri warga dunia tanpa problem kebangsaan. Bahkan mungkin nasionalisme akan dianggap sebentuk kesukuan, terkebelakang, dan nostalgia masa lampau.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 3 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Paket calon bupati-wabup Manggarai Aloysius Sukardan dan Valens Gampur, alias paket Syukur, bertatap muka dengan 500-an pemuda di Ruteng, Sabtu 30 Januari 2010 (Flores Pos Selasa 2 Februari 2010).
Kenapa tatap muka dengan pemuda? Cabup Alo Sukardan beralasan, pemuda itu tonggak perubahan. Dalam sejarah lahirnya Indonesia, pemuda itu pelopor dan penggagas. ”Coba kita ingat ikrar Sumpah Pemuda ....” Karena itu, dalam konteks lokal membangun Manggarai, kaum muda perlu diberi peran
Ketua Bapilu DPC Hanura Manggarai Yasualdus Priani Mbaut, yang hadir khusus saat itu, nyatakan mendukung. Hanura Manggarai, kata dia, punyai visi dan misi yang sama. Tampilkan kaum muda. ”Kaum muda harus tunjukkan sejarah untuk Kabupaten Manggarai dengan terlibat langsung dalam hajatan pemilu kada.”
Mudah terbaca, paket Syukur sedang menarik dukungan yang muda. Caranya: menghimpun mereka, berinteraksi dengan mereka, mengapresiasi peran sejarah mereka, dan mengidentifikasi diri sebagai bagian dari mereka. Ini upaya pencitraan. Intinya: paket Syukur paketnya kaum muda. Pencitraan ini dikuatkan dengan dukungan politik Ketua Bapilu Hanura Yasualdus Priani Mbaut.
Hingga di situ, kampanyenya bagus. Kemasan belanganya cantik. Isi belanganya pun bergizi, penuh susu. Sayang, susu sebelanga itu dirusakkan oleh nila setitik. Nila diteteskan Ketua Bapilu Hanura Yasualdus Priani Mbaut. ”Paket ini ... merupakan kombinasi putra asli Manggarai yang dinilai layak untuk pimpin Manggarai ke depan,” katanya. ”Putra asli Manggarai”. Inilah nila setitik itu.
Cabup omong Sumpah Pemuda. Ketua Bapilu omong putra asli Manggarai. Tidak nyambung. Sumpah Pemuda adalah tonggak penting nasionalisme Indonesia, yang meski berbeda-beda tapi bersatu, dan meski bersatu tetap menghargai keberbedaan. Sumpah Pemuda adalah tonggak sejarah pedoman arah pluralisme dan multikulturalisme Indonesia.
Pluralisme menghargai keragaman manusia pada tingkat individu. Multikulturalisme menghargai keragaman manusia pada tingkat puak, kaum, golongan. Pluralisme dan multikulturalisme adalah ide yang tak bisa dipisahkan dari gagasan dasar demokrasi. Tanpa itu, sistem demokrasi kehilangan alasan mendasar untuk ada.
Karena itu, ketika Ketua Bapilu DPC Hanura Manggarai gunakan “putra asli Manggarai” sebagai kriteria cabup-cawabup, ia sebenarnya anti-demokrasi. Ia mengelus-elus “keturunan” seseorang, seolah masih hidup di masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Ia ketinggalan kereta demokrasi modern, yang hanya cukup melihat “kewargaan” (citizenship) seseorang, selain kualitasnya.
Tidak hanya anti-demokrasi. Ia juga ahistoris. Ia memutar jarum sejarah Indonesia kembali ke era sebelum Sumpah Pemuda. Era yang penuh kriteria “putra asli”, sehingga para pemuda terkotak-kotak dalam Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Celebes.
Dari sisi tilik demokrasi dan sejarah, kriteria “putra asli” itu langkah mundur. Apalagi kalau kita tatap ke depan. Kita sudah masuki struktur planeter. Mengutip YB Mangunwijaya (1981), barangkali generasi mendatang sudah malu untuk berkata “Kami bangsa Indonesia”, seperti kita sekarang juga segan untuk menonjolkan diri “Saya orang Jawa” atau “Kami suku Batak”. Barangkali anak cucu kita nanti sudah merasa diri warga dunia tanpa problem kebangsaan. Bahkan mungkin nasionalisme akan dianggap sebentuk kesukuan, terkebelakang, dan nostalgia masa lampau.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 3 Februari 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
kriteria cabup-cawabup manggarai,
manggarai,
pemilukada,
politik
Kenapa Bupati Ngotot Tambang?
Contoh Kasus Manggarai Barat dan Lembata
Oleh Frans Anggal
Undang-undang pertambangan baru, UU No. 4/2009, sangat pro-investor. Bagi hasilnya: perusahaan 90%, negara 10%. Bagian negara dibagi lagi: pusat 4%, daerah 6%. Bagian daerah dibagi lagi: provinsi 1%, daerah penghasil 2,5%, daerah lain dalam provinsi 2,5%.
”Rasanya, penghasilan untuk daerah tak sebanding dengan dampak negartif dari pertambangan itu kini dan akan datang,” kata Koordinator JPIC SVD Ruteng Pater Simon Suban Tukan SVD. Karena itu, UU ini perlu disosilisaiskan kepada masyarakat, terutama di lingkar tambang (Flores Pos Senin 1 Februari 2010).
Makin jelas, bagi daerah dan masyarakat, tambang itu lebih sebagai kutukan ketimbang berkat. Bupati tahu itu. Tapi, kenapa ngotot tambang? Jawabannya sederhana. Yang dipikirkan adalah kepentingan pribadi, bukan kepentingan umum. Persetan daerahnya terima sedikit. Yang penting bupatinya terima banyak. Melalui izin tambang! Kalau investasinya Rp300 miliar, bupati minta 10 persen, apa susahnya. Investor paham. Tak ada makan siang yang gratis.
Selain itu, yang dipikirkan bupati adalah kepentingan jangka pendek, bukan jangka panjang. Soal kerusakan lingkungan dsb, itu urusan nanti. Saat itu ia bukan bupati lagi. Praktis itu urusan bupati lain. Urusannya sekarang, gemukkan kantong daerah dan, terutama, kantong pribadi. Dengan demikian, ia bisa apa saja. Bisa menangkan pilkada periode kedua. Untuk dapat kendaraan politik, ia beli partainya. Untuk dapat dukungan rakyat, ia beli suaranya. Gitu aja koq repot!
Demi kepentingan diri dan jangka pendek, ia halalkan semua cara. Benar-salah, baik-buruk, tidak jelas lagi batasnya. Ia bisa keluarkan izin tambang tanpa persetujuan DPRD. Ia bisa kasih izin tambang dengan kangkangi perda tata ruang. Ia bisa menerjang undang-undang, dengan ’merampas’ wewenang otoritas lebih tinggi. Di Mabar, misalnya, Bupati Fidelis Pranda keluarkan izin tambang di hutan lindung. Padahal, itu wewenang menhut.
Ini tidak hanya dikarenakan oleh faktor diri pribadi bupati. Ada faktor lain. Faktor birokrasi. Birokrasi patrimonial. Ini yang bikin semuanya enteng. Birokrasi patrimonial ditandai ’relasi bapak-anak buah’ (patron-klien relationship). Bupati ’bapak buah’. Kepala dinas dll ’anak buah’. Tak jarang anggota DPRD juga. Hubungannya bersifat ikatan pribadi, implisit dianggap mengikat seluruh hidup, seumur hidup, dengan loyalitas primordial sebagai dasar tali perhubungan.
Dalam relasi macam ini, birokrasi hasilkan pertukaran loyalitas politik dengan sumber ekonomi. Kalau Anda loyal, Anda diberi sumber ekonomi, dikasih kedudukan basah, disodori proyek besar. Tapi kalau Anda tidak loyal, sumber ekonomimu dibendung, bila perlu dimatikan. Tak heran, di Lembata misalnya, para kadis dan anggota DPRD pontang-panting sosialisasikan tambang. Mereka loyalis Bupati Ande Manuk. Atau, di Mabar, kadis kehutanan mati daya kritisnya ketika pertambangan merambah hutan lindung. Habis, dia cuma anak buah.
Dikelilingi anak buah serba takluk, taat, penurut, bupati merasa diri selalu benar. Apalagi kalau DPRD-nya lemah gemulai. Ditempeleng pake duit langsung tersungkur. Jadilah: semuanya mudah diatur. Bupati pun maju tak gentar membela yang cemar. Dikritisi dari luar, ia reaktif dan defensif. Para kritisi dicap provokatur. Ini menimpa banyak imam di Flores-Lembata.
Mempertimbangkan faktor diri pribadi bupati dan birokrasi patrimonial, kita bersyukur punya ’imam provokatur’. Mereka cerahkan dan bela kepentingan masyarakat kecil. Kalau mereka pikirkan kepentingan pribadi seperti bupati ngotot tambang, gila apa mereka capek-capek naik turun gunung? Dalam konteks inilah kita hargai dan dukung perjuangan mereka. Maju terus, imamku!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 2 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
Undang-undang pertambangan baru, UU No. 4/2009, sangat pro-investor. Bagi hasilnya: perusahaan 90%, negara 10%. Bagian negara dibagi lagi: pusat 4%, daerah 6%. Bagian daerah dibagi lagi: provinsi 1%, daerah penghasil 2,5%, daerah lain dalam provinsi 2,5%.
”Rasanya, penghasilan untuk daerah tak sebanding dengan dampak negartif dari pertambangan itu kini dan akan datang,” kata Koordinator JPIC SVD Ruteng Pater Simon Suban Tukan SVD. Karena itu, UU ini perlu disosilisaiskan kepada masyarakat, terutama di lingkar tambang (Flores Pos Senin 1 Februari 2010).
Makin jelas, bagi daerah dan masyarakat, tambang itu lebih sebagai kutukan ketimbang berkat. Bupati tahu itu. Tapi, kenapa ngotot tambang? Jawabannya sederhana. Yang dipikirkan adalah kepentingan pribadi, bukan kepentingan umum. Persetan daerahnya terima sedikit. Yang penting bupatinya terima banyak. Melalui izin tambang! Kalau investasinya Rp300 miliar, bupati minta 10 persen, apa susahnya. Investor paham. Tak ada makan siang yang gratis.
Selain itu, yang dipikirkan bupati adalah kepentingan jangka pendek, bukan jangka panjang. Soal kerusakan lingkungan dsb, itu urusan nanti. Saat itu ia bukan bupati lagi. Praktis itu urusan bupati lain. Urusannya sekarang, gemukkan kantong daerah dan, terutama, kantong pribadi. Dengan demikian, ia bisa apa saja. Bisa menangkan pilkada periode kedua. Untuk dapat kendaraan politik, ia beli partainya. Untuk dapat dukungan rakyat, ia beli suaranya. Gitu aja koq repot!
Demi kepentingan diri dan jangka pendek, ia halalkan semua cara. Benar-salah, baik-buruk, tidak jelas lagi batasnya. Ia bisa keluarkan izin tambang tanpa persetujuan DPRD. Ia bisa kasih izin tambang dengan kangkangi perda tata ruang. Ia bisa menerjang undang-undang, dengan ’merampas’ wewenang otoritas lebih tinggi. Di Mabar, misalnya, Bupati Fidelis Pranda keluarkan izin tambang di hutan lindung. Padahal, itu wewenang menhut.
Ini tidak hanya dikarenakan oleh faktor diri pribadi bupati. Ada faktor lain. Faktor birokrasi. Birokrasi patrimonial. Ini yang bikin semuanya enteng. Birokrasi patrimonial ditandai ’relasi bapak-anak buah’ (patron-klien relationship). Bupati ’bapak buah’. Kepala dinas dll ’anak buah’. Tak jarang anggota DPRD juga. Hubungannya bersifat ikatan pribadi, implisit dianggap mengikat seluruh hidup, seumur hidup, dengan loyalitas primordial sebagai dasar tali perhubungan.
Dalam relasi macam ini, birokrasi hasilkan pertukaran loyalitas politik dengan sumber ekonomi. Kalau Anda loyal, Anda diberi sumber ekonomi, dikasih kedudukan basah, disodori proyek besar. Tapi kalau Anda tidak loyal, sumber ekonomimu dibendung, bila perlu dimatikan. Tak heran, di Lembata misalnya, para kadis dan anggota DPRD pontang-panting sosialisasikan tambang. Mereka loyalis Bupati Ande Manuk. Atau, di Mabar, kadis kehutanan mati daya kritisnya ketika pertambangan merambah hutan lindung. Habis, dia cuma anak buah.
Dikelilingi anak buah serba takluk, taat, penurut, bupati merasa diri selalu benar. Apalagi kalau DPRD-nya lemah gemulai. Ditempeleng pake duit langsung tersungkur. Jadilah: semuanya mudah diatur. Bupati pun maju tak gentar membela yang cemar. Dikritisi dari luar, ia reaktif dan defensif. Para kritisi dicap provokatur. Ini menimpa banyak imam di Flores-Lembata.
Mempertimbangkan faktor diri pribadi bupati dan birokrasi patrimonial, kita bersyukur punya ’imam provokatur’. Mereka cerahkan dan bela kepentingan masyarakat kecil. Kalau mereka pikirkan kepentingan pribadi seperti bupati ngotot tambang, gila apa mereka capek-capek naik turun gunung? Dalam konteks inilah kita hargai dan dukung perjuangan mereka. Maju terus, imamku!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 2 Februari 2010
Buruk Berita, Pers Dicerca
Kekeliruan Diagnosis Dokter Ahli RSUD Ende
Oleh Frans Anggal
RSUD Ende menyatakan ada kekeliruan diagnosis oleh dokter ahli bedah RSUD Ende terhadap luka yang diderita Petrus Nai Lengo (28) saat eksekusi tanah di Paupire, Selasa 26 Januari 2010. Kekeliruan terjadi karena diskomunikasi antara sang dokter dan bagian radiologi. Begitu kata Direktris RSUD Ende Yayik Prawitra Gati (Flores Pos Sabtu 30 Januari 2010).
Sebelumnya, sebagaimana dilansir Flores Pos Kamis 28 Januari 2010, dokter ahi bedah Nengah Raditha mengatakan, berdasaran pemeriksaan klinis dan radiologis, ada benda asing dalam luka korban. Berupa sepihan logam, sangat kecil, pada kedalaman 2 cm dari kulit. Ia tidak berani untuk lakukan operasi keluarkan serpihan itu karena serpihan sangat kecil dan peralatan RSUD Ende terbatas. Bila dipaksakan, bisa ganggu saraf lengan. Ia sarankan rujuk ke Denpasar.
Kalau hanya itu persoalannya, tak perlu heboh. Yang bikin heboh, luka ini dikaitkan dengan pengamanan eksekusi. Diduga, korban ditembak karena membawa parang saat eksekusi paksa hendak dilakukan. Kalau benar korban ditembak, pertanyaannya: siapa yang tembak?
Eksekusi ini libatkan 350-an personel keamanan. Terdiri dari Polres Ende, Kodim 1602/Ende, Sub Detasemen Polisi Militer IX/1-1 Ende, Kompi C Batalion Infanteri 743, Kompi B Brimob Ende, dan Satpol PP. Hanya Satpol PP yang tak pegang senjata api. Maka, diduga, penembaknya polisi atau brimob atau tentara. Padahal, belum tentu. Bisa saja pihak lain di luar 350-an personel.
Kalau benar korban ditembak, tembaknya pakai peluru apa? Karena yang ada dalam luka itu serpihan logam, lantas diduga, korban ditembak pakai peluru tajam. Padadal, belum tentu. Peluru tajam itu logam, ya. Tapi, tidak semua logam itu peluru tajam. Bisa saja, yang ada dalam luka itu logam bukan peluru tajam, yang melesak masuk atas cara tertentu.
Kapolres Bambang Sugiarto, selaku penanggung jawab pengamanan eksekusi, memastikan tidak ada penggunaan peluru tajam. Demikian juga Dandim Frans Thomas yang bertanggung jawab atas tugas back up. Polisi dan tentara hanya pakai peluru karet dan peluru hampa. Kalau benar luka korban disebabkan terjangan peluru tajam, tipologi lukanya tidak mungkin seperti itu, kata kapolres.
Peluru tajam ialah peluru yang mempunyai lubang di ujungnya. Saat menerjang sasaran lunak, peluru ini akan berubah ke bentuk cendawan yang menimbulkan kerusakan luas pada jaringan lunak. Tipologi luka korban tidak begitu. Maka, ada kemungkinan lain: terjangan peluru karet. Yakni proyektil terbuat dari karet atau dilapisi karet. Meski digunakan sebagai senjata tidak mematikan (kecuali berjarak dekat dan mengenai bagian vital), peluru karet tetap dapat tembus kulit. Kalau luka korban tadi dikarenakan terjangan peluru karet, kenapa sampai ada serpihan logam di dalamnya?
Teka-teki ini terpecahkan ketika RSUD Ende bersuara. Bahwa, yang disebut serpihan logam dalam luka itu sebenarnya tidak ada. Yang terbaca sebagai logam dalam luka itu sebetulnya logam marker penanda titik luka untuk memudahkan pembacaan hasil rontgen. Karena pengambilan fotonya dari samping, perspektif yang tampak: seakan-akan logam itu ada dalam luka. Maka, dilakukan rontgen ulang. Hasilnya, tidak ada logam dalam luka.
Sampai di sini, heboh ini mereda. Eh, muncul ’heboh’ baru. Saat dimintai klarifikasi oleh kapolres, dokter ahli bedah membantah lagi pernyataan persnya. ”Dokter Nengah mengakui bahwa dia tidak bicara seperti itu kepada wartawan,” kata kapolres. Hmmm. Sebelumnya polres terpojok. Kini pers tersudut. Begitulah ’penyakit keturunan’ narasumber di Indonesia. Buruk muka, cermin dibelah. Buruk berita, pers dicerca.
“Bentara” FLORES POS, Senin 1 Februari 2010
Oleh Frans Anggal
RSUD Ende menyatakan ada kekeliruan diagnosis oleh dokter ahli bedah RSUD Ende terhadap luka yang diderita Petrus Nai Lengo (28) saat eksekusi tanah di Paupire, Selasa 26 Januari 2010. Kekeliruan terjadi karena diskomunikasi antara sang dokter dan bagian radiologi. Begitu kata Direktris RSUD Ende Yayik Prawitra Gati (Flores Pos Sabtu 30 Januari 2010).
Sebelumnya, sebagaimana dilansir Flores Pos Kamis 28 Januari 2010, dokter ahi bedah Nengah Raditha mengatakan, berdasaran pemeriksaan klinis dan radiologis, ada benda asing dalam luka korban. Berupa sepihan logam, sangat kecil, pada kedalaman 2 cm dari kulit. Ia tidak berani untuk lakukan operasi keluarkan serpihan itu karena serpihan sangat kecil dan peralatan RSUD Ende terbatas. Bila dipaksakan, bisa ganggu saraf lengan. Ia sarankan rujuk ke Denpasar.
Kalau hanya itu persoalannya, tak perlu heboh. Yang bikin heboh, luka ini dikaitkan dengan pengamanan eksekusi. Diduga, korban ditembak karena membawa parang saat eksekusi paksa hendak dilakukan. Kalau benar korban ditembak, pertanyaannya: siapa yang tembak?
Eksekusi ini libatkan 350-an personel keamanan. Terdiri dari Polres Ende, Kodim 1602/Ende, Sub Detasemen Polisi Militer IX/1-1 Ende, Kompi C Batalion Infanteri 743, Kompi B Brimob Ende, dan Satpol PP. Hanya Satpol PP yang tak pegang senjata api. Maka, diduga, penembaknya polisi atau brimob atau tentara. Padahal, belum tentu. Bisa saja pihak lain di luar 350-an personel.
Kalau benar korban ditembak, tembaknya pakai peluru apa? Karena yang ada dalam luka itu serpihan logam, lantas diduga, korban ditembak pakai peluru tajam. Padadal, belum tentu. Peluru tajam itu logam, ya. Tapi, tidak semua logam itu peluru tajam. Bisa saja, yang ada dalam luka itu logam bukan peluru tajam, yang melesak masuk atas cara tertentu.
Kapolres Bambang Sugiarto, selaku penanggung jawab pengamanan eksekusi, memastikan tidak ada penggunaan peluru tajam. Demikian juga Dandim Frans Thomas yang bertanggung jawab atas tugas back up. Polisi dan tentara hanya pakai peluru karet dan peluru hampa. Kalau benar luka korban disebabkan terjangan peluru tajam, tipologi lukanya tidak mungkin seperti itu, kata kapolres.
Peluru tajam ialah peluru yang mempunyai lubang di ujungnya. Saat menerjang sasaran lunak, peluru ini akan berubah ke bentuk cendawan yang menimbulkan kerusakan luas pada jaringan lunak. Tipologi luka korban tidak begitu. Maka, ada kemungkinan lain: terjangan peluru karet. Yakni proyektil terbuat dari karet atau dilapisi karet. Meski digunakan sebagai senjata tidak mematikan (kecuali berjarak dekat dan mengenai bagian vital), peluru karet tetap dapat tembus kulit. Kalau luka korban tadi dikarenakan terjangan peluru karet, kenapa sampai ada serpihan logam di dalamnya?
Teka-teki ini terpecahkan ketika RSUD Ende bersuara. Bahwa, yang disebut serpihan logam dalam luka itu sebenarnya tidak ada. Yang terbaca sebagai logam dalam luka itu sebetulnya logam marker penanda titik luka untuk memudahkan pembacaan hasil rontgen. Karena pengambilan fotonya dari samping, perspektif yang tampak: seakan-akan logam itu ada dalam luka. Maka, dilakukan rontgen ulang. Hasilnya, tidak ada logam dalam luka.
Sampai di sini, heboh ini mereda. Eh, muncul ’heboh’ baru. Saat dimintai klarifikasi oleh kapolres, dokter ahli bedah membantah lagi pernyataan persnya. ”Dokter Nengah mengakui bahwa dia tidak bicara seperti itu kepada wartawan,” kata kapolres. Hmmm. Sebelumnya polres terpojok. Kini pers tersudut. Begitulah ’penyakit keturunan’ narasumber di Indonesia. Buruk muka, cermin dibelah. Buruk berita, pers dicerca.
“Bentara” FLORES POS, Senin 1 Februari 2010
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
kekeliruan dignosis,
kesehatan,
pers,
rsud edne
Antonius dan Surgensius
Kecelakaan Pekerja Anak di Sikka
Oleh Frans Anggal
Dua anak bersaudara sepupu, Antonius (12) dan Surgensius Wokur (14) asal Kloangbolat, Desa Egona Hagar, Kecamatan Mapitara, Kabupaen Sikka, tewas tertimbun pasir dan batu saat keduanya menggali pasir di salah satu bukit di desa itu, Senin petang 25 Januari 2010.
“Pasir dan batu yang digali ini untuk proyek jalan dan bangunan rumah,” kata Kapolsek Somba Say. “Pasir dan batu yang digali kedua korban dijual kepada kontraktor jalan,” kata Direktur Walhi NTT Carolus Winfridus Keupung, sebagaimana diwartakan Flores Pos Jumat 29 Januari 2010. “Saya minta, ke depan, kontrator atau pihak berwenang perketat lokasi pengambilan pasir dan batu,” katanya.
Menurut catatan Flores Pos, dalam empat tahun terakhir, ini kasus ketiga kecelakaan kerja yang menimpa anak. Tahun 2007, empat murid SDK Gapong di Manggarai tertimbun tanah saat membersihkan reruntuhan di samping rumah guru. Mereka disuruh istri kepala sekolah, di luar jam sekolah. Untung saja, jiwa mereka selamat.
Tidak demikian dengan kejadian 2008 yang menimpa murid SDK Roga di Ende. Murid disuruh guru ambil pasir di seberang jalan untuk bangun WC sekolah. Mereka ambil di ‘gua’ bekas kerukan, seratus meter dari sekolah. Saat mereka ada di dalam, ‘gua’ ambrol. Tiga tewas, empat luka-luka. Ini terjadi pada jam sekolah.
Ada beberapa persamaan pada ketiga kasus ini. Anak dipekerjakan. Di SDK Gapong, anak dipekerjakan untuk kepentingan pribadi guru. Di SDK Roga, anak dipekerjakan untuk kepentingan umum sekolah. Di Kloangbolat, anak dipekerjakan untuk kepentingan ekonomi keluarga.
Anak dipekerjakan, karena dianggap sebagai aset ekonomi. Kalau bukan untuk datangkan duit, minimal untuk tekan pengeluaran duit. Di Kloangbolat, Antonius dan Surgensius dipekerjakan untuk menghasilkan uang bagi keluarga. Di SDK Gapong dan SDK Roga, murid dipekerjakan guna menghemat kantong guru dan kantong sekolah.
Sebagai pekerja, anak miliki semacam ‘keunggulan komparatif’. Mereka lugu. Penurut. Karena itu, mereka mudah sekali dieksploitasi. Jangankan dibayar pake duit, dikasih gula-gula saja mereka mau. Malah, tidak jarang, mereka mau saja bekerja tanpa imbalan. Terutama kalau yang suruh itu orangtua atau guru.
Poin kita di sini, bukan tidak boleh anak bekerja. Kerja itu penting, perlu, dan berguna. Namun, hanya sejauh sebagai sarana aktualisasi diri anak. Itu pun harus dengan pengawasan, penilaian, dan perlindungan ketat. Yang pasti, jenis, waktu, tempat, dan tujuan pekerjaan tidak boleh sembarangan. Pekerjaan berisiko tinggi, seperti menggali pasir, jelas tidak laik dan tidak ramah anak. Demikian pula dengan pekerjaan yang bertujuan ekonomi bisnis: mendatangkan keuntungan atau menekan pengeluaran. Kenapa?
Yang mengendalikan tingkahlaku ekonomi adalah kepentingan serseorangan atau pribadi. Adam Smith (1957) katakan, penjual roti membuka tokonya bukan untuk memberi makan kepada mereka yang membutuhkan, tetapi untuk mendapat untung bagi dirinya. Dalam transaksi, kata para ahli ekonomi, apa yang disebut pareto optimal itu tidak pernah ada. Yaitu, keadaan di mana seorang mendapat keuntungan lebih banyak tanpa timbulkan kerugian pada pihak lain.
Dalam transaksi seperti itu, anaklah yang paling rentan. Ia mudah dirugikan demi menguntungkan pihak lain. Ia gampang dimanipulasi. Ini tidak boleh terjadi. Karena itu, anak harus dilindungi. UU Ketenagakerjaan, misalnya, tidak membenarkan mempekerjakan anak di bawah umur 15 tahun. Praktiknya? Antonius dan Surgensius baru berusia 12 dan 14 tahun. Siapa yang harus bertanggung jawab?
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 30 Januari 2010
Oleh Frans Anggal
Dua anak bersaudara sepupu, Antonius (12) dan Surgensius Wokur (14) asal Kloangbolat, Desa Egona Hagar, Kecamatan Mapitara, Kabupaen Sikka, tewas tertimbun pasir dan batu saat keduanya menggali pasir di salah satu bukit di desa itu, Senin petang 25 Januari 2010.
“Pasir dan batu yang digali ini untuk proyek jalan dan bangunan rumah,” kata Kapolsek Somba Say. “Pasir dan batu yang digali kedua korban dijual kepada kontraktor jalan,” kata Direktur Walhi NTT Carolus Winfridus Keupung, sebagaimana diwartakan Flores Pos Jumat 29 Januari 2010. “Saya minta, ke depan, kontrator atau pihak berwenang perketat lokasi pengambilan pasir dan batu,” katanya.
Menurut catatan Flores Pos, dalam empat tahun terakhir, ini kasus ketiga kecelakaan kerja yang menimpa anak. Tahun 2007, empat murid SDK Gapong di Manggarai tertimbun tanah saat membersihkan reruntuhan di samping rumah guru. Mereka disuruh istri kepala sekolah, di luar jam sekolah. Untung saja, jiwa mereka selamat.
Tidak demikian dengan kejadian 2008 yang menimpa murid SDK Roga di Ende. Murid disuruh guru ambil pasir di seberang jalan untuk bangun WC sekolah. Mereka ambil di ‘gua’ bekas kerukan, seratus meter dari sekolah. Saat mereka ada di dalam, ‘gua’ ambrol. Tiga tewas, empat luka-luka. Ini terjadi pada jam sekolah.
Ada beberapa persamaan pada ketiga kasus ini. Anak dipekerjakan. Di SDK Gapong, anak dipekerjakan untuk kepentingan pribadi guru. Di SDK Roga, anak dipekerjakan untuk kepentingan umum sekolah. Di Kloangbolat, anak dipekerjakan untuk kepentingan ekonomi keluarga.
Anak dipekerjakan, karena dianggap sebagai aset ekonomi. Kalau bukan untuk datangkan duit, minimal untuk tekan pengeluaran duit. Di Kloangbolat, Antonius dan Surgensius dipekerjakan untuk menghasilkan uang bagi keluarga. Di SDK Gapong dan SDK Roga, murid dipekerjakan guna menghemat kantong guru dan kantong sekolah.
Sebagai pekerja, anak miliki semacam ‘keunggulan komparatif’. Mereka lugu. Penurut. Karena itu, mereka mudah sekali dieksploitasi. Jangankan dibayar pake duit, dikasih gula-gula saja mereka mau. Malah, tidak jarang, mereka mau saja bekerja tanpa imbalan. Terutama kalau yang suruh itu orangtua atau guru.
Poin kita di sini, bukan tidak boleh anak bekerja. Kerja itu penting, perlu, dan berguna. Namun, hanya sejauh sebagai sarana aktualisasi diri anak. Itu pun harus dengan pengawasan, penilaian, dan perlindungan ketat. Yang pasti, jenis, waktu, tempat, dan tujuan pekerjaan tidak boleh sembarangan. Pekerjaan berisiko tinggi, seperti menggali pasir, jelas tidak laik dan tidak ramah anak. Demikian pula dengan pekerjaan yang bertujuan ekonomi bisnis: mendatangkan keuntungan atau menekan pengeluaran. Kenapa?
Yang mengendalikan tingkahlaku ekonomi adalah kepentingan serseorangan atau pribadi. Adam Smith (1957) katakan, penjual roti membuka tokonya bukan untuk memberi makan kepada mereka yang membutuhkan, tetapi untuk mendapat untung bagi dirinya. Dalam transaksi, kata para ahli ekonomi, apa yang disebut pareto optimal itu tidak pernah ada. Yaitu, keadaan di mana seorang mendapat keuntungan lebih banyak tanpa timbulkan kerugian pada pihak lain.
Dalam transaksi seperti itu, anaklah yang paling rentan. Ia mudah dirugikan demi menguntungkan pihak lain. Ia gampang dimanipulasi. Ini tidak boleh terjadi. Karena itu, anak harus dilindungi. UU Ketenagakerjaan, misalnya, tidak membenarkan mempekerjakan anak di bawah umur 15 tahun. Praktiknya? Antonius dan Surgensius baru berusia 12 dan 14 tahun. Siapa yang harus bertanggung jawab?
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 30 Januari 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
pekerja anak,
perlindungan anak,
sikka
Menempel Sumpah di Cermin
Pelantikan Pejabat Depag Ende
Oleh Frans Anggal
Kakan Depag Ende Marsel Sarman meminta para pejabat yang baru dilantik menempelkan sumpah jabatan di cermin, agar tetap diingat tiap hari. ”Sumpah jabatan bukan hanya gerakan bibir tanpa makna, tetapi harus dipahami dan dihayati,” katanya saat melantik dan mengambil sumpah 14 pejabat, Senin 25 Januari 2010 (Flores Pos Rabu 27 Januari 2010).
Cermin bisa harfiah. Kaca bening yang salah satu mukanya dicat dengan air raksa dsb sehingga dapat memperlihatkan bayangan benda-benda yang ditaruh di depannya. Biasanya untuk melihat wajah ketika bersolek. Cermin bisa juga kiasan. Sesuatu yang menjadi pelajaran. Makna manakah yang dimaksudkan Kakan Depag Marsel Sarman?
Sulit dibayangkan kalau yang dimaksudkannya itu makna harfiah. Sebab, belum tentu semua pejabat yang dilantik dan diambil sumpahnya memiliki cermin. Kalaupun miliki, belum tentu semua mereka suka bercermin. Kalaupun miliki dan suka bercermin, belum tentu juga cerminnya cukup lebar untuk bisa ditempeli sumpah jabatan. Dan, bagaimana pula Kakan Depag mengontrolnya? Cermin biasanya disimpan dalam kamar tidur atau toilet.
Tampaknya, makna kiasanlah yang dimaksudkan. Bahwa sumpah jabatan itu harus menjadi pelajaran. Dengan demikian, ia tidak sekadar ’ditempelkan di cermin’, tapi ’menjadi cermin itu sendiri’. Di hadapannya, sang pejabat harus berkaca setiap hari. Kalau ini sungguh-sungguh dilakukan, mindset sesat tentang apa itu kedudukan dan jabatan bisa berubah.
Di negeri ini, kedudukan dan jabatan dipandang sebagai anugerah. Dan karena itu, promosi jabatan dipandang layak dirayakan. Bahkan dipestameriahkan. Bila perlu dengan berboros-boros. Ada sesuatu yang hilang dalami perlakuan ini. Yakni, kesejatian hakikat jabatan itu sendiri. Jabatan sebagai tanggung jawab, dengan setumpuk risiko yang sudah menunggu.
Dalam analogi yang diberikan sosiolog Ignas Kleden, kedudukan dan jabatan itu semacam racun. Ia harus ada justru untuk mengobati sakit. Ia bukan semacam gula-gula yang serbamanis. Sebagai racun, dosisnya harus tepat takar. Jika overdosis, ia bukan lagi obat yang menyehatkan tapi racun yang mematikan.
Di negeri ini, selain sebagai anugerah, kedudukan dan jabatan dipandang juga sebagai amanah. Kakan Depag Marsel Sarman pun menekankan poin amanah saat melantik dan mengambil sumpah 14 pejabat. Amanah itu sama dengan kepercayaan. Sayang, amanah sering hanya menjadi slogan hampa. Tanpa pemahaman yang benar tentang risiko-risikonya. Dengan kata lain, belum muncul kesadaran bahwa yang disebut sebagai amanah itu sesungguhnya juga penuh dengan ‘tabu’ atau pembatasan guna mengurangi atau meniadakan risiko.
Apa risiko itu? Banyak dan macam-macam. Yang pasti, lahir dari psikologi kekuasaan yang melekat pada setiap kedudukan dan jabatan. Kekuasaan cenderung memperbesar diri dan tidak batasi diri. Kekuasaan cenderung membenarkan diri dan tidak suka disalahkan. Lord Acton merumuskannya ringkas: power tends to corrupt. ‘Kekuasaan itu cenderung bobrok’.
Mempertimbangkan hal itu, kekuasaan harus dibatasi. Sumpah jabatan dapat dimaknai dalam konteks ini. Bahwa, sumpah itu ekspresi paripurna tekad dan ikrar pembatasan diri. Ia paripurna, karena diucapkan resmi dengan bersaksi kepada Tuhan. Oleh karenanya, jangan main-main dengan sumpah.
Apa yang disumpahkan hendaknya selalu diingat, dihayati, diamalkan. Boleh ditempelkan di cermin. Biar bisa bersolek sambil berulang sumpah. Namun, terpenting, hendaknya ia menjadi cermin itu sendiri. Buat berkaca setiap hari.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 29 Januari 2010
Oleh Frans Anggal
Kakan Depag Ende Marsel Sarman meminta para pejabat yang baru dilantik menempelkan sumpah jabatan di cermin, agar tetap diingat tiap hari. ”Sumpah jabatan bukan hanya gerakan bibir tanpa makna, tetapi harus dipahami dan dihayati,” katanya saat melantik dan mengambil sumpah 14 pejabat, Senin 25 Januari 2010 (Flores Pos Rabu 27 Januari 2010).
Cermin bisa harfiah. Kaca bening yang salah satu mukanya dicat dengan air raksa dsb sehingga dapat memperlihatkan bayangan benda-benda yang ditaruh di depannya. Biasanya untuk melihat wajah ketika bersolek. Cermin bisa juga kiasan. Sesuatu yang menjadi pelajaran. Makna manakah yang dimaksudkan Kakan Depag Marsel Sarman?
Sulit dibayangkan kalau yang dimaksudkannya itu makna harfiah. Sebab, belum tentu semua pejabat yang dilantik dan diambil sumpahnya memiliki cermin. Kalaupun miliki, belum tentu semua mereka suka bercermin. Kalaupun miliki dan suka bercermin, belum tentu juga cerminnya cukup lebar untuk bisa ditempeli sumpah jabatan. Dan, bagaimana pula Kakan Depag mengontrolnya? Cermin biasanya disimpan dalam kamar tidur atau toilet.
Tampaknya, makna kiasanlah yang dimaksudkan. Bahwa sumpah jabatan itu harus menjadi pelajaran. Dengan demikian, ia tidak sekadar ’ditempelkan di cermin’, tapi ’menjadi cermin itu sendiri’. Di hadapannya, sang pejabat harus berkaca setiap hari. Kalau ini sungguh-sungguh dilakukan, mindset sesat tentang apa itu kedudukan dan jabatan bisa berubah.
Di negeri ini, kedudukan dan jabatan dipandang sebagai anugerah. Dan karena itu, promosi jabatan dipandang layak dirayakan. Bahkan dipestameriahkan. Bila perlu dengan berboros-boros. Ada sesuatu yang hilang dalami perlakuan ini. Yakni, kesejatian hakikat jabatan itu sendiri. Jabatan sebagai tanggung jawab, dengan setumpuk risiko yang sudah menunggu.
Dalam analogi yang diberikan sosiolog Ignas Kleden, kedudukan dan jabatan itu semacam racun. Ia harus ada justru untuk mengobati sakit. Ia bukan semacam gula-gula yang serbamanis. Sebagai racun, dosisnya harus tepat takar. Jika overdosis, ia bukan lagi obat yang menyehatkan tapi racun yang mematikan.
Di negeri ini, selain sebagai anugerah, kedudukan dan jabatan dipandang juga sebagai amanah. Kakan Depag Marsel Sarman pun menekankan poin amanah saat melantik dan mengambil sumpah 14 pejabat. Amanah itu sama dengan kepercayaan. Sayang, amanah sering hanya menjadi slogan hampa. Tanpa pemahaman yang benar tentang risiko-risikonya. Dengan kata lain, belum muncul kesadaran bahwa yang disebut sebagai amanah itu sesungguhnya juga penuh dengan ‘tabu’ atau pembatasan guna mengurangi atau meniadakan risiko.
Apa risiko itu? Banyak dan macam-macam. Yang pasti, lahir dari psikologi kekuasaan yang melekat pada setiap kedudukan dan jabatan. Kekuasaan cenderung memperbesar diri dan tidak batasi diri. Kekuasaan cenderung membenarkan diri dan tidak suka disalahkan. Lord Acton merumuskannya ringkas: power tends to corrupt. ‘Kekuasaan itu cenderung bobrok’.
Mempertimbangkan hal itu, kekuasaan harus dibatasi. Sumpah jabatan dapat dimaknai dalam konteks ini. Bahwa, sumpah itu ekspresi paripurna tekad dan ikrar pembatasan diri. Ia paripurna, karena diucapkan resmi dengan bersaksi kepada Tuhan. Oleh karenanya, jangan main-main dengan sumpah.
Apa yang disumpahkan hendaknya selalu diingat, dihayati, diamalkan. Boleh ditempelkan di cermin. Biar bisa bersolek sambil berulang sumpah. Namun, terpenting, hendaknya ia menjadi cermin itu sendiri. Buat berkaca setiap hari.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 29 Januari 2010
Label:
agama,
bentara,
depag ende,
ende,
flores,
flores pos,
politik
Langganan:
Postingan (Atom)