Pelantikan Bupati-Wabup Mabar 2010-2015
Oleh Frans Anggal
Mabar punya bupati-wabup baru. Agustinus Ch Dula dan Maximus Gasa alias GUSTI. Dilantik Gubernur NTT Frans Lebu Raya di Labuan Bajo, Senin 30 Agustus 2010. GUSTI kebanjiran ucapan selamat. Umumnya berupa ‘doa’ agar pengabdian mereka selalu di bawah bimbingan Tuhan (Flores Pos 30 Agustus 2010).
Selain diucapi selamat, GUSTI disodori berbagai pendapat, saran, harapan. Semuanya bertolak dari janji kampanyenya, “GUSTI Hadir Membawa Perubahan”. GUSTI sudah hadir. Berkali-kali. Sebagai kandidat. Sebagai yang berkampanye. Sebagai yang terpilih. Sebagai yang menang. Sebagai yang terlantik. Dan, tentu, sebagai yang berpesta.
Berpesta. Karena impian tergapai. Dula-Gasa benar-benar sudah jadi bupati dan wabup Mabar 2010-2015. Semua keraguan selepas penetapan hasil pemilukada, akibat gugatan hukum, telah berlalu. Semua kecemasan, yang terbawa hingga jelang pelantikan, sudah sirna. Dada sesak kini longgar. Pikiran mumet sekarang tenang. Lega. Plong. Semuanya sudah selesai.
Perasaan itu wajar. Namun berhenti hanya pada perasaan lega karena “semuanya sudah selesai” tidaklah cukup. Sebab, perasaan dan semua sifat psikologis bisa berubah dari waktu ke waktu. Yang fluktuatif ini sangat rapuh sebagai titik pijak penunaian tugas besar. Karena itu, lebih daripada sekadar psikologis, “semuanya sudah selesai” perlu diangkat ke tingkat lebih tinggi. Yang tidak fluktuatif tapi konstan. Tingkat etis dan religius.
Bagi Dula-Gasa yang kristiani, “semuanya sudah selesai” kiranya mengarah ke jantung iman. “Semuanya sudah selesai” atau dalam bahasa Latin “Consummatum est” adalah kata-kata terakhir Yesus di atas salib. Selepas kalimat itu, Ia tundukkan kepala dan embuskan napas terakhir.
Memaknai kata-kata ini, komentar D. H. Lawrence bisa menyentakkan kesadaran baru. “Anda mengira bahwa ‘Consummatum est’ berarti ‘Semuanya sudah selesai’. Anda keliru. Ungkapan itu berarti langkah telah diambil. Bangkitlah … marilah kita mengikuti Dia” (Hubert J. Richards, 1989).
Sejalan dengan itu, imam pada akhir perayaan misa (kurban salib) mengucapkan kata-kata yang mirip. “Misa sudah selesai”, atau dalam bahasa Latin “Ite missa est”. Louis Evely (1982) mengingatkan: jika kata-kata ini hanya berarti perayaan bubar dan umat dipersilakan pulang, betapa dangkalnya.
“Misa sudah selesai” berarti ”Pergilah sekarang!” Kalian telah diserahi tugas. Inilah pengutusan Saudara. Pergi, wartakanlah Kabar Gembira. Pergi, bersaksilah tentang kebenaran, keadilan, kedamaian, dan keutuhan ciptaan. Pergi, sejahterahkanlah yang miskin. Pergi, cerdaskanlah yang bodoh. Pergi, pulihkankah yang sakit. Pergi, hijaukanlah yang gersang.
“Itulah pesan terakhir yang dikatakan Gereja kepada kita sesudah kita diutus,” kata Evely. “Bagian akhir dari setiap kurban misa (ini) hendaknya mendorong kita ke dalam dunia, seperti suatu Pentekosta baru.”
Pentekosta baru! Entah kebetulan entah tidak, istilah ini klop dengan janji kampanye Dula-Gasa: “GUSTI Hadir Membawa Perubahan”. Tentu maksudnya: pembaruan. Sebagaimana peristiwa Pentekosta membarui muka bumi, demikian hendaknya pelantikan Dula-Gasa membarui Manggarai Barat. Pelantikan ini harus jadi Pentekosta baru. Kalau tidak, untuk apa GUSTI hadir?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 31 Agustus 2010
31 Agustus 2010
28 Agustus 2010
Jarak Pagar untuk Flores
Peresmian Pusat Teknolgi Tepat Guna Jatropha
Oleh Frans Anggal
Pusat Teknologi Tepat Guna Jatropha (Puspha) di Kabupaten Sikka diresmikan Gubernur NTT Frans Lebu Raya, Kamis 26 Agustus 2010. Proyek ini dilaksanakan Yayasan Dian Desa dan LSM Jepang Asian People’s Exchange bekerja sama dengan Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia. Pemerintah Jepang mengalokasikan dana Rp7 miliar (Flores Pos Jumat 27 Agustus 2010).
Dengan peristiwa ini, dalam kisah jarak pagar (Jatropha curcas L), Sikka beruntung. Tidak seperti Flotim tahun 2008. Di Desa Nayubaya, enam mesin pengelola minyak jarak pagar bantuan Dapartemen Perindustrian tidak digunakan. Bahan baku biji jaraknya tidak ada. Proyek yang gagal.
Proyek pemerintah ya kadang begitu. Anggaran ada, hasil tiada. Proyeknya ‘diproyekkan’. Lembaganya ‘disapiperahkan’. PDAM misalnya. Urusan air bersih pemberian gratis Tuhan dan pipa-pipanya peninggalan Belanda koq bisa rugi. Sementara, usaha air mineral milik swasta koq bisa untung.
‘Pemroyekan’ proyek dan ‘penyapiperahan’ lembaga menimpa hampir semua BUMD. Di Manggarai ada Komodo Jaya. Tidak jaya-jaya. Rajin minta suntikan modal, ‘rajin’ pula defisit. Di Lembata, BUMD-nya bangkrut karena piutang. Pejabat rajin bon barang tapi malas bayar. Bangkrut karena bon. Persis seperti nasib kios di kampung.
Dalam kisah jarak pagar, Sikka beruntung. Proyek ditangani swasta, menggandeng ‘investor’ asing. Tak pake manajemen ‘akal miring’ ala proyek pemerintah. Pemerintah malah dibebaskan dari tugas rentan korupsi, sebagai pemilik proyek, penyedia dan pengelola anggaran. Sebagai regulator dan fasilitator, pemerintah hanya beri izin, bantu struktur pasar, dan jamin sistem perdagangan yang adil. Selanjutnya, sebagai motivator, pemerintah sadarkan dan dorong para petani. Karena, jarak pagar menjanjikan.
Ketika BBM sebagai energi tak terbarukan (non renewable energy) berkurang dan mahal, banyak negara mencari sumber energi alternatif. Selain tebu dan tanaman lain yang bisa diproses menjadi etanol, jarak pagar andal. Bisa dijadikan bahan bakar hayati dengan sumber energi terbarukan (renewable energy) atau energi hijau yang terbarukan (biofuel).
Tanaman ini menarik. Kandungan minyaknya tinggi. Tak berkompetisi untuk pemanfaatan lain, beda dengan kelapa sawit atau tebu. Miliki karakteristik agronomi yang bandel pula: bisa tumbuh di tanah tandus. Maka, tanah tandus bisa selamatkan negeri ini dari masalah BBM. Dari 13 juta ha lahan tandus di seluruh Indonesia, bila ditanami jarak pagar, dapat dihasilkan 400 ribu barel solar per hari. Pemerintah tak perlu pusing utak-atik RAPBN menyusul fluktuasi harga minyak (Investor Daily Online, 17 Agustus 2005).
Jarak pagar bisa mencapai usia 50 tahun. Tahan terhadap kekurangan air.. Pada musim kemarau, daunnya dapat gugur, tetapi akarnya tetap mampu menahan air dan tanah. Karena itulah, tanaman ini disebut juga tanaman pioner, tanaman penahan erosi dan pengurang kecepatan angin. Sudah saatnya, program penghijauan menggunakannya.
Untuk Flores yang sedang arus utamakan kesadaran ekologis, jarak pagar salah satu pilihan investasi yang tepat, ketimbang pertambangan terbuka yang merusak lingkungan. Selain manfaat ekonomisnya, jarak pagar punya manfaat ekologis. Dapat mereklamasi lahan tererosi. Dapat mengurangi pencemaran udara. Kemampuannya menyerap CO2 dari atmosfer cukup tinggi, 1,8 kg/kg bagian kering tanaman. Jarak pagar untuk Flores, kenapa tidak!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 28 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Pusat Teknologi Tepat Guna Jatropha (Puspha) di Kabupaten Sikka diresmikan Gubernur NTT Frans Lebu Raya, Kamis 26 Agustus 2010. Proyek ini dilaksanakan Yayasan Dian Desa dan LSM Jepang Asian People’s Exchange bekerja sama dengan Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia. Pemerintah Jepang mengalokasikan dana Rp7 miliar (Flores Pos Jumat 27 Agustus 2010).
Dengan peristiwa ini, dalam kisah jarak pagar (Jatropha curcas L), Sikka beruntung. Tidak seperti Flotim tahun 2008. Di Desa Nayubaya, enam mesin pengelola minyak jarak pagar bantuan Dapartemen Perindustrian tidak digunakan. Bahan baku biji jaraknya tidak ada. Proyek yang gagal.
Proyek pemerintah ya kadang begitu. Anggaran ada, hasil tiada. Proyeknya ‘diproyekkan’. Lembaganya ‘disapiperahkan’. PDAM misalnya. Urusan air bersih pemberian gratis Tuhan dan pipa-pipanya peninggalan Belanda koq bisa rugi. Sementara, usaha air mineral milik swasta koq bisa untung.
‘Pemroyekan’ proyek dan ‘penyapiperahan’ lembaga menimpa hampir semua BUMD. Di Manggarai ada Komodo Jaya. Tidak jaya-jaya. Rajin minta suntikan modal, ‘rajin’ pula defisit. Di Lembata, BUMD-nya bangkrut karena piutang. Pejabat rajin bon barang tapi malas bayar. Bangkrut karena bon. Persis seperti nasib kios di kampung.
Dalam kisah jarak pagar, Sikka beruntung. Proyek ditangani swasta, menggandeng ‘investor’ asing. Tak pake manajemen ‘akal miring’ ala proyek pemerintah. Pemerintah malah dibebaskan dari tugas rentan korupsi, sebagai pemilik proyek, penyedia dan pengelola anggaran. Sebagai regulator dan fasilitator, pemerintah hanya beri izin, bantu struktur pasar, dan jamin sistem perdagangan yang adil. Selanjutnya, sebagai motivator, pemerintah sadarkan dan dorong para petani. Karena, jarak pagar menjanjikan.
Ketika BBM sebagai energi tak terbarukan (non renewable energy) berkurang dan mahal, banyak negara mencari sumber energi alternatif. Selain tebu dan tanaman lain yang bisa diproses menjadi etanol, jarak pagar andal. Bisa dijadikan bahan bakar hayati dengan sumber energi terbarukan (renewable energy) atau energi hijau yang terbarukan (biofuel).
Tanaman ini menarik. Kandungan minyaknya tinggi. Tak berkompetisi untuk pemanfaatan lain, beda dengan kelapa sawit atau tebu. Miliki karakteristik agronomi yang bandel pula: bisa tumbuh di tanah tandus. Maka, tanah tandus bisa selamatkan negeri ini dari masalah BBM. Dari 13 juta ha lahan tandus di seluruh Indonesia, bila ditanami jarak pagar, dapat dihasilkan 400 ribu barel solar per hari. Pemerintah tak perlu pusing utak-atik RAPBN menyusul fluktuasi harga minyak (Investor Daily Online, 17 Agustus 2005).
Jarak pagar bisa mencapai usia 50 tahun. Tahan terhadap kekurangan air.. Pada musim kemarau, daunnya dapat gugur, tetapi akarnya tetap mampu menahan air dan tanah. Karena itulah, tanaman ini disebut juga tanaman pioner, tanaman penahan erosi dan pengurang kecepatan angin. Sudah saatnya, program penghijauan menggunakannya.
Untuk Flores yang sedang arus utamakan kesadaran ekologis, jarak pagar salah satu pilihan investasi yang tepat, ketimbang pertambangan terbuka yang merusak lingkungan. Selain manfaat ekonomisnya, jarak pagar punya manfaat ekologis. Dapat mereklamasi lahan tererosi. Dapat mengurangi pencemaran udara. Kemampuannya menyerap CO2 dari atmosfer cukup tinggi, 1,8 kg/kg bagian kering tanaman. Jarak pagar untuk Flores, kenapa tidak!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 28 Agustus 2010
Label:
bentara,
ekonomi,
flores,
flores pos,
jarak pagar,
lingkungan,
pusat teknologi tepat guna jatropha,
sikka
26 Agustus 2010
Ketika GSP Dipelesetkan
Gerakan Swasembada Pangan Kabupaten Ende
Oleh Frans Anggal
Bupati Ende Don Bosco M Wangge mengatakan, saat ini GSP 2012 telah dipelesetkan oleh oknum-oknum tertentu dari Gerakan Swasembada Pangan menjadi Gerakan Syok Pahlawan. Tanggapannya? Pelesetan ini merupakan cambuk bagi bupati, wabup, dan jajarannya untuk lebih giat bekerja sama menyukseskan GSP 2012 (Flores Pos Kamis 26 Agustus 2010).
Pelesetan adalah ‘penggelinciran’ atas kata, singkatan, atau akronim sehingga menimbulkan makna lain atau makna berlawanan. Tujuannya, mengkritik, bisa juga menghina, merendahkan. Sasarannya, pihak lain (kritik sosial), bisa juga diri sendiri (kritik diri). Ini lumrah.
Di luar negeri, ketika demokrasi disalahpraktikkan sebagai delusi (alat tipu daya untuk sembunyikan ketidakadilan), democracy dipelesetkan jadi democrazy (crazy = sinting). Di Indonesia, masa Orla, ketika Wapres Hatta mundur karena tak akur dengan Presiden Soekarno, Soekarno-Hatta dipelesetkan jadi Soekar-No-Hatta (betapa sukarnya kalau tanpa Hatta).
Masa Orba, ketika KKN Presiden Soeharto menggila, Supersemar dipelesetkan dari Surat Perintah Sebelas Maret jadi Sudah Persis Seperti Marcos (presiden Filipina yang terkenal korup kala itu). Masa Reformasi, ketika Presiden SBY terkesan ‘dikendalikan’ Wapres JK, Amien Rais memelesetkan SBY: Soesilo Bawahan Yusuf.
Itu contoh kritik terhadap pihak lain. Meski tidak umum, ada pula pelesetan sebagai kritik terhadap diri sendiri. Dulu, konstitusi kongregasi SVD (Societas Verbi Divini atau Serikat Sabda Allah) melarang keras anggotanya merokok, sedangkan minum anggur (miras) tidak. Maka, oleh anggotanya sendiri, SVD dipelesetkan: Smoke We Don’t, So We Drink (kami dilarang merokok maka kami minum). Hanya orang yang matang kepribadiannya yang mampu mengkritik diri.
Kematangan kepribadian juga tampak dari cara menanggapi pelesetan. Bupati Don Wangge tunjukkan itu. Pelesetan GSP 2012 ia sikapi tidak hanya dengan kepala dingin, tapi juga dengan tekad menjadikannya cambuk prestasi. Ia berpikir positif. Pujian masuk kantong plastik. Kritikan masuk bokor kencana.
Dalam cacatan pepolitikan di Ende, inilah pelesetan kedua terhadap bupati-wabup Don Wangge-Ahmad Mochdar yang populer dengan akronim DOA (Don-Ahmad). Pada masa kampanye pilkada, DOA dipelesetkan jadi Dana Orang Arab. Pelesetan ini hendak mencitrakan betapa ‘berbahaya’-nya pasangan Katolik-Islam ini. Seakan-akan DOA hendak lempangkan jalan islamisasi. Sentimen agama diperalat demi kepentingan politik kekuasaan.
Terhadap pelesetan DOA, bagaimana tanggapan Wangge-Mochdar, sejauh ini belum dipublikasikan. Rupanya karena dianggap isu peka. Karena peka maka tidak diberitakan. Padahal, persoalan bagi jurnalisme bukan itu. Bukan boleh atau tidak boleh memberitakan, tapi bagaimana memberitakan. Pemberitaan itu penting. Karena, esensi berita adalah verifikasi, pengujian kebenaran.
Kalau tidak diberitakan, dengan demikian pula tidak terverifikasi, maka pelesetan akan sekadar dan tetap menjadi gosip. Celakalah masyarakat yang dikepung gosip, yang mengonsumsi gosip, dan mengambil keputusan berdasarkan gosip.
Pada titik ini, kita mengapresiasi sikap Wangge-Mochdar. Tidak hanya karena berpikir positif menghadapi pelesetan, tapi juga karena keduanya proaktif membuat pernyataan pers. Gosip tidak ditangkis dengan gosip. Gosip dilawan dengan verifikasi. Maka, betapa pentingnya berita. Betapa pentingnya media.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 27 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Bupati Ende Don Bosco M Wangge mengatakan, saat ini GSP 2012 telah dipelesetkan oleh oknum-oknum tertentu dari Gerakan Swasembada Pangan menjadi Gerakan Syok Pahlawan. Tanggapannya? Pelesetan ini merupakan cambuk bagi bupati, wabup, dan jajarannya untuk lebih giat bekerja sama menyukseskan GSP 2012 (Flores Pos Kamis 26 Agustus 2010).
Pelesetan adalah ‘penggelinciran’ atas kata, singkatan, atau akronim sehingga menimbulkan makna lain atau makna berlawanan. Tujuannya, mengkritik, bisa juga menghina, merendahkan. Sasarannya, pihak lain (kritik sosial), bisa juga diri sendiri (kritik diri). Ini lumrah.
Di luar negeri, ketika demokrasi disalahpraktikkan sebagai delusi (alat tipu daya untuk sembunyikan ketidakadilan), democracy dipelesetkan jadi democrazy (crazy = sinting). Di Indonesia, masa Orla, ketika Wapres Hatta mundur karena tak akur dengan Presiden Soekarno, Soekarno-Hatta dipelesetkan jadi Soekar-No-Hatta (betapa sukarnya kalau tanpa Hatta).
Masa Orba, ketika KKN Presiden Soeharto menggila, Supersemar dipelesetkan dari Surat Perintah Sebelas Maret jadi Sudah Persis Seperti Marcos (presiden Filipina yang terkenal korup kala itu). Masa Reformasi, ketika Presiden SBY terkesan ‘dikendalikan’ Wapres JK, Amien Rais memelesetkan SBY: Soesilo Bawahan Yusuf.
Itu contoh kritik terhadap pihak lain. Meski tidak umum, ada pula pelesetan sebagai kritik terhadap diri sendiri. Dulu, konstitusi kongregasi SVD (Societas Verbi Divini atau Serikat Sabda Allah) melarang keras anggotanya merokok, sedangkan minum anggur (miras) tidak. Maka, oleh anggotanya sendiri, SVD dipelesetkan: Smoke We Don’t, So We Drink (kami dilarang merokok maka kami minum). Hanya orang yang matang kepribadiannya yang mampu mengkritik diri.
Kematangan kepribadian juga tampak dari cara menanggapi pelesetan. Bupati Don Wangge tunjukkan itu. Pelesetan GSP 2012 ia sikapi tidak hanya dengan kepala dingin, tapi juga dengan tekad menjadikannya cambuk prestasi. Ia berpikir positif. Pujian masuk kantong plastik. Kritikan masuk bokor kencana.
Dalam cacatan pepolitikan di Ende, inilah pelesetan kedua terhadap bupati-wabup Don Wangge-Ahmad Mochdar yang populer dengan akronim DOA (Don-Ahmad). Pada masa kampanye pilkada, DOA dipelesetkan jadi Dana Orang Arab. Pelesetan ini hendak mencitrakan betapa ‘berbahaya’-nya pasangan Katolik-Islam ini. Seakan-akan DOA hendak lempangkan jalan islamisasi. Sentimen agama diperalat demi kepentingan politik kekuasaan.
Terhadap pelesetan DOA, bagaimana tanggapan Wangge-Mochdar, sejauh ini belum dipublikasikan. Rupanya karena dianggap isu peka. Karena peka maka tidak diberitakan. Padahal, persoalan bagi jurnalisme bukan itu. Bukan boleh atau tidak boleh memberitakan, tapi bagaimana memberitakan. Pemberitaan itu penting. Karena, esensi berita adalah verifikasi, pengujian kebenaran.
Kalau tidak diberitakan, dengan demikian pula tidak terverifikasi, maka pelesetan akan sekadar dan tetap menjadi gosip. Celakalah masyarakat yang dikepung gosip, yang mengonsumsi gosip, dan mengambil keputusan berdasarkan gosip.
Pada titik ini, kita mengapresiasi sikap Wangge-Mochdar. Tidak hanya karena berpikir positif menghadapi pelesetan, tapi juga karena keduanya proaktif membuat pernyataan pers. Gosip tidak ditangkis dengan gosip. Gosip dilawan dengan verifikasi. Maka, betapa pentingnya berita. Betapa pentingnya media.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 27 Agustus 2010
Label:
bentara,
bupati-wabup ende,
enda,
flores,
flores pos,
gsp 2010,
pasangan doa,
pelesetan,
politik
25 Agustus 2010
Reformasi Gelombang Tsunami
Maraknya Kejahatandi Bulan Ramdahan
Oleh Frans Anggal
Menyikapi berbagai kejahatan yang marak pada bulan Ramadhan, Polres Ende melakukan sosialisasi pengamanan tempat kerja bagi kalangan perusahaan, Selasa 24 Agustus 2010. Hadir, pihak BRI, BNI, Danamon, Pertamina, SPBU, pegadaian, dan pemilik toko perhiasan.
“Sekarang ini (kejahatan) sedang ramai-ramainya jelang hari raya Idul Fitri. Terkadang situasi ini dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab,” kata Kasat Samapta Ketut Badria (Flores Pos Rabu 25 Agsutus 2010).
Manfaatkan kesempatan. Itulah kiat pencuri, perampok, penjambret, teroris. Kesempatan itu mereka temukan justru pada bulan Ramadhan. Pada bulan ini, umat Islam seluruh dunia berpuasa, tapa, mati raga, berdoa, dan bertobat. Tali silaturahmi diperbarui. Di bulan ini, kasih menang atas kebencian.
Puasa bukan monopoli Islam. Tradisi ini sudah dijalankan berbagai agama jauh sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW. Bahkan sudah ada jauh sebelum Yesus lahir. Namun, dalam perkembangan laku puasa, hanya Islam yang tetap menjalankannya secara massal, dengan aturan yang masih rigid dan ketat. Ini ciri utama sekaligus kelebihan Islam.
Dengan laku puasa yang massal, rigid, dan ketat itu, Islam memetik dua manfaat. Di satu sisi, meneruskan otentisitas tradisi keberagamaan. Di sisi lain, mencegah perubahan yang mudah terperosok menjadi wujud kompromistis terhadap berbagai kelemahan daging yang kini justru menjadi ciri dunia modern yang konsumtif dan hedonistik.
Dengan laku itu, yang rohani mendapat perhatian lebih ketimbang yang jasmani. Yang duniawi (sejenak) dilupakan demi yang surgawi. Itu bagi yang benar-benar mengibadahkan puasa sebagai jalan kembali ke fitrah. Bagi pencuri, perampok, penjambret, teroris, sebaliknya. Besarnya perhatian terhadap yang surgawi dipandang sebagai ‘kelengahan’ terhadap yang duniawi. ‘Kelengahan’ ini mereka manfaatkan. Kejahatan pun marak pada bulan Ramdhan.
Yang mengherankan, sebelum era Reformasi, kejahatan pada bulan Ramadhan tidak sesemarak ini. Para penjahat rupanya tahu, ‘kelengahan’ warga pada bulan ini semakin menjadi lahan empuk karena negara juga ‘lengah’ dan lemah. Ini sulit terjadi pada masa Orde Baru. Terlepas dari berbagai kekurangannya, Presiden Soeharto mampu menjaga kadaulatan negara, ke dalam dan ke luar.
Ke dalam, ‘kemerdekaan politik’ (political freedom) memang musnah, tapi ‘kemerdekaan sebagai penduduk’ (civil liberty) tetap ada. Warga tahu, kapan pun dan di mana pun aparat keamanan selalu siaga dan tegas. Tidak seperti sekarang. Kita tidak tahu apakah di jalan, di pasar, di bank, di tempat ibadah kita aman dan pulang ke rumah tidak sebagai mayat.
Penuturan penyanyi Tri Utami layak disimak. “Saya khawatir, sekarang saya ke ATM saja saya nggak mau. Benar, saya tidak mau mengambil (uang) ke ATM, perasaan saya nggak aman saja. Gue hidup di zaman Pak Harto, gue lebih aman. Artinya, pembunhan tidak sebanyak ini, penghinaan terhadap keagamaan tidak seperti ini” (Flores Pos Rabu 25 Agustus 2010).
Yang mengherankan, di tengah civil liberty yang tidak terjamin ini, di luar negeri Presiden SBY berkali-kali mengklaim keberhasilan pluralisme dan toleransi agama di Indonesia. Di luar, di tingkat doksi, ia banggakan negerinya. Di dalam, di tingkat praksi, ia biarkan warganya ketakutan. Inikah “Reformasi Gelombang Kedua” yang ia canangkan? Seperti “Reformasi Gelombang Tsunami” saja!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 26 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Menyikapi berbagai kejahatan yang marak pada bulan Ramadhan, Polres Ende melakukan sosialisasi pengamanan tempat kerja bagi kalangan perusahaan, Selasa 24 Agustus 2010. Hadir, pihak BRI, BNI, Danamon, Pertamina, SPBU, pegadaian, dan pemilik toko perhiasan.
“Sekarang ini (kejahatan) sedang ramai-ramainya jelang hari raya Idul Fitri. Terkadang situasi ini dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab,” kata Kasat Samapta Ketut Badria (Flores Pos Rabu 25 Agsutus 2010).
Manfaatkan kesempatan. Itulah kiat pencuri, perampok, penjambret, teroris. Kesempatan itu mereka temukan justru pada bulan Ramadhan. Pada bulan ini, umat Islam seluruh dunia berpuasa, tapa, mati raga, berdoa, dan bertobat. Tali silaturahmi diperbarui. Di bulan ini, kasih menang atas kebencian.
Puasa bukan monopoli Islam. Tradisi ini sudah dijalankan berbagai agama jauh sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW. Bahkan sudah ada jauh sebelum Yesus lahir. Namun, dalam perkembangan laku puasa, hanya Islam yang tetap menjalankannya secara massal, dengan aturan yang masih rigid dan ketat. Ini ciri utama sekaligus kelebihan Islam.
Dengan laku puasa yang massal, rigid, dan ketat itu, Islam memetik dua manfaat. Di satu sisi, meneruskan otentisitas tradisi keberagamaan. Di sisi lain, mencegah perubahan yang mudah terperosok menjadi wujud kompromistis terhadap berbagai kelemahan daging yang kini justru menjadi ciri dunia modern yang konsumtif dan hedonistik.
Dengan laku itu, yang rohani mendapat perhatian lebih ketimbang yang jasmani. Yang duniawi (sejenak) dilupakan demi yang surgawi. Itu bagi yang benar-benar mengibadahkan puasa sebagai jalan kembali ke fitrah. Bagi pencuri, perampok, penjambret, teroris, sebaliknya. Besarnya perhatian terhadap yang surgawi dipandang sebagai ‘kelengahan’ terhadap yang duniawi. ‘Kelengahan’ ini mereka manfaatkan. Kejahatan pun marak pada bulan Ramdhan.
Yang mengherankan, sebelum era Reformasi, kejahatan pada bulan Ramadhan tidak sesemarak ini. Para penjahat rupanya tahu, ‘kelengahan’ warga pada bulan ini semakin menjadi lahan empuk karena negara juga ‘lengah’ dan lemah. Ini sulit terjadi pada masa Orde Baru. Terlepas dari berbagai kekurangannya, Presiden Soeharto mampu menjaga kadaulatan negara, ke dalam dan ke luar.
Ke dalam, ‘kemerdekaan politik’ (political freedom) memang musnah, tapi ‘kemerdekaan sebagai penduduk’ (civil liberty) tetap ada. Warga tahu, kapan pun dan di mana pun aparat keamanan selalu siaga dan tegas. Tidak seperti sekarang. Kita tidak tahu apakah di jalan, di pasar, di bank, di tempat ibadah kita aman dan pulang ke rumah tidak sebagai mayat.
Penuturan penyanyi Tri Utami layak disimak. “Saya khawatir, sekarang saya ke ATM saja saya nggak mau. Benar, saya tidak mau mengambil (uang) ke ATM, perasaan saya nggak aman saja. Gue hidup di zaman Pak Harto, gue lebih aman. Artinya, pembunhan tidak sebanyak ini, penghinaan terhadap keagamaan tidak seperti ini” (Flores Pos Rabu 25 Agustus 2010).
Yang mengherankan, di tengah civil liberty yang tidak terjamin ini, di luar negeri Presiden SBY berkali-kali mengklaim keberhasilan pluralisme dan toleransi agama di Indonesia. Di luar, di tingkat doksi, ia banggakan negerinya. Di dalam, di tingkat praksi, ia biarkan warganya ketakutan. Inikah “Reformasi Gelombang Kedua” yang ia canangkan? Seperti “Reformasi Gelombang Tsunami” saja!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 26 Agustus 2010
Label:
bentara,
bulan ramadhan,
civil liberty,
flores pos,
hukum,
kamtibmas,
kriminalitas,
nasional
24 Agustus 2010
“Suara Lain” Kasus Rm Faustin
Kontroversi Putusan PT Kupang
Oleh Frans Anggal
Amar putusan PT Kupang dalam perkara tingkat banding kasus kematian Romo Faustin Sega Pr menetapkan beberapa hal. Membatalkan putusan PN Bajawa yang telah memvonis Anus Waja dan Theresia Tawan penjara seumur hidup. Membebaskan Waja-Tawa dari hukuman, tahanan, dan biaya perkara, serta merehabilitasi nama baik kedua terdakwa (Flores Pos Sabtu 21 Agustus 2010).
Putusan jungkir balik ini mengandaikan PT telah melakukan dua hal yang merupakan tujuan banding. Pertama, menguji ketepatan putusan PN Bajawa dan menyimpulkan putusan PN sesat. Kedua, melakukan pemeriksaan baru, penilaian baru, hingga menetapkan putusan baru. Dua hal itu sangat dipertanyakan. Antara lain oleh Valens Daki-Soo, pura Flores yang pernah aktif di Satgas Bom/Antiteror Polri dan Satgas TKKN Bareskrim Mabes Polri.
“Apakah benar kedua fungsi itu dilakukan sungguh-sungguh dengan asas imparsialitas para hakim PT Kupang? Adakah saksi-saksi baru, ahli-ahli dan surat-surat baru? Apakah telah terjadi ‘kelalaian dalam acara’ di tingkat PN Bajawa? Jika tidak, bagaimana putusan PT Kupang dapat kontradiktif absolut dengan PN Bajawa?” (SMS 23 dan 24 Agustus 2010).
Dari keterangan pers Ketua Pengadilan Tinggi A. Th. Pudjiwahono terkesan, “jawaban” atas pertanyaan tersebut jauh panggang dari api. PT mendasarkan putusan bebas Waja-Tawa pada dua hal. Pertama, “Tidak ada saksi yang melihat langsung dua terdakwa melakukan pembunuhan itu.” Kedua, “Bahkan ada saksi (10 orang) yang menerangkan terdakwa Anus Waja berada di tempat lain saat kejadian berlangsung” (Pos Kupang 21 Agustus 2010).
Menurut Valens, pernyataan ini sulit dinalar. Pertama, PT hanya dengarkan keterangan 10 saksi meringankan, dan abaikan keterangan 48 saksi memberatkan. Kedua, mutlak bergantung pada “saksi yang melihat langsung” hanya akan luputkan pembunuh, koruptor, teroris. Mana ada pembunuh yang tunggu disaksikan baru mau eksekusi korban?
Tepat. Amrozi dkk divonis mati dalam kasus bom Bali, padahal tak ada saksi yang lihat langsung mereka lakukan peledakan. Kenapa? Hakimnya pakai otak dan hati. Pakai otak (hukum): pertimbangkan semua alat bukti sebagai dasar putusan. Pakai hati (moral): pertimbangkan suara hati atau keyakinan pribadi.
Hanya hakim yang boleh begitu, polisi dan jaksa tidak. Maka, hanya hakim yang berhak gunakan formula “terbukti secara sah dan meyakinkan”. Sah (hukum), karena berdasarkan alat bukti yang cukup. Meyakinkan (moral), karena berdasarkan suara hati yang benar. Bukan “suara lain”!
Tentang “suara lain”, Ulysses dalam mitologi Yunani beri pelajaran. Ulysses rela diikat di tiang kapal ketika kapalnya melintasi pulau tempat dewi laut bernyanyi. Ia tak ingin tergoda suara merdu itu, yang telah menyebabkan banyak pelaut lari meninggalkan kapal, terjun mengejar ke sumber suara dan kemudian punah. Ulysses mengikatkan diri di tiang kapal, maka ia dan kapalnya selamat.
Mitologi adalah sosiologi kekuasaan. Kapal itu lembaga negara. Tiang itu hukum dan moral. Pejabat negara yang tidak rela mengikatkan diri pada hukum dan moral gampang merusak diri dan lembaganya hanya karena tergoda “suara lain”.
Dalam kasus Romo Faustin, “suara lain” itulah yang dorong kapolres Ngada mati-matian “mematiwajarkan” Romo Faustin. “Suara lain” itulah yang dorong Theresia Tawa ‘berpornografi’ di sebuah media. “Suara lain” itulah yang dorong PT Kupang membebaskan Waja-Tawa. “Suara lain” itu harus dilawan, harus dikalahkan. Kita pilih jalan hukum yang bermoral: kasasi.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 25 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Amar putusan PT Kupang dalam perkara tingkat banding kasus kematian Romo Faustin Sega Pr menetapkan beberapa hal. Membatalkan putusan PN Bajawa yang telah memvonis Anus Waja dan Theresia Tawan penjara seumur hidup. Membebaskan Waja-Tawa dari hukuman, tahanan, dan biaya perkara, serta merehabilitasi nama baik kedua terdakwa (Flores Pos Sabtu 21 Agustus 2010).
Putusan jungkir balik ini mengandaikan PT telah melakukan dua hal yang merupakan tujuan banding. Pertama, menguji ketepatan putusan PN Bajawa dan menyimpulkan putusan PN sesat. Kedua, melakukan pemeriksaan baru, penilaian baru, hingga menetapkan putusan baru. Dua hal itu sangat dipertanyakan. Antara lain oleh Valens Daki-Soo, pura Flores yang pernah aktif di Satgas Bom/Antiteror Polri dan Satgas TKKN Bareskrim Mabes Polri.
“Apakah benar kedua fungsi itu dilakukan sungguh-sungguh dengan asas imparsialitas para hakim PT Kupang? Adakah saksi-saksi baru, ahli-ahli dan surat-surat baru? Apakah telah terjadi ‘kelalaian dalam acara’ di tingkat PN Bajawa? Jika tidak, bagaimana putusan PT Kupang dapat kontradiktif absolut dengan PN Bajawa?” (SMS 23 dan 24 Agustus 2010).
Dari keterangan pers Ketua Pengadilan Tinggi A. Th. Pudjiwahono terkesan, “jawaban” atas pertanyaan tersebut jauh panggang dari api. PT mendasarkan putusan bebas Waja-Tawa pada dua hal. Pertama, “Tidak ada saksi yang melihat langsung dua terdakwa melakukan pembunuhan itu.” Kedua, “Bahkan ada saksi (10 orang) yang menerangkan terdakwa Anus Waja berada di tempat lain saat kejadian berlangsung” (Pos Kupang 21 Agustus 2010).
Menurut Valens, pernyataan ini sulit dinalar. Pertama, PT hanya dengarkan keterangan 10 saksi meringankan, dan abaikan keterangan 48 saksi memberatkan. Kedua, mutlak bergantung pada “saksi yang melihat langsung” hanya akan luputkan pembunuh, koruptor, teroris. Mana ada pembunuh yang tunggu disaksikan baru mau eksekusi korban?
Tepat. Amrozi dkk divonis mati dalam kasus bom Bali, padahal tak ada saksi yang lihat langsung mereka lakukan peledakan. Kenapa? Hakimnya pakai otak dan hati. Pakai otak (hukum): pertimbangkan semua alat bukti sebagai dasar putusan. Pakai hati (moral): pertimbangkan suara hati atau keyakinan pribadi.
Hanya hakim yang boleh begitu, polisi dan jaksa tidak. Maka, hanya hakim yang berhak gunakan formula “terbukti secara sah dan meyakinkan”. Sah (hukum), karena berdasarkan alat bukti yang cukup. Meyakinkan (moral), karena berdasarkan suara hati yang benar. Bukan “suara lain”!
Tentang “suara lain”, Ulysses dalam mitologi Yunani beri pelajaran. Ulysses rela diikat di tiang kapal ketika kapalnya melintasi pulau tempat dewi laut bernyanyi. Ia tak ingin tergoda suara merdu itu, yang telah menyebabkan banyak pelaut lari meninggalkan kapal, terjun mengejar ke sumber suara dan kemudian punah. Ulysses mengikatkan diri di tiang kapal, maka ia dan kapalnya selamat.
Mitologi adalah sosiologi kekuasaan. Kapal itu lembaga negara. Tiang itu hukum dan moral. Pejabat negara yang tidak rela mengikatkan diri pada hukum dan moral gampang merusak diri dan lembaganya hanya karena tergoda “suara lain”.
Dalam kasus Romo Faustin, “suara lain” itulah yang dorong kapolres Ngada mati-matian “mematiwajarkan” Romo Faustin. “Suara lain” itulah yang dorong Theresia Tawa ‘berpornografi’ di sebuah media. “Suara lain” itulah yang dorong PT Kupang membebaskan Waja-Tawa. “Suara lain” itu harus dilawan, harus dikalahkan. Kita pilih jalan hukum yang bermoral: kasasi.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 25 Agustus 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus kematian romo faustin sega pr,
ngada,
pt kupang,
vonis bebas waja-tawa
Akal Miring Kasus Rm Faustin
Hakim dan Jaksa Perlu Diperiksa
Oleh Frans Anggal
Ketua Komisi III DPR RI Benny K Harman mendesak tim independen MA dan Kejagung memeriksa hakim dan jaksa yang menangani proses hukum kasus kematian Romo Faustin Sega Pr, khususnya berkenaan dengan vonis tingkat banding Pengadilan Tinggi (PT) Kupang yang memutus bebas Anus Waja dan Theresia Tawa dari hukuman penjara seumur hidup yang telah dijatuhkan Pengadilan Negeri (PN) Bajawa (Flores Pos Senin 23 Agustus 2010).
Menurut ketua komisi yang membidangi hukum dan HAM ini, pemeriksaan sangat penting mengingat adanya fakta putusan yang bertentangan. PN Bajawa memvonis Waja-Tawa penjara seumur hidup, PT Kupang memvonisnya bebas. Fakta bertolak belakang ini mencederai huokum dan melukai rasa keadilan. “Dengan pemeriksaan, publik tahu apa yang terjadi di balik dua putusan itu.”
Kita dukung desakan ini. Selain karena adanya fakta putusan yang bertentangan, juga karena adanya fakta umum praktik ‘pasar gelap keadilan’ (black market of justice). Filosof Rocky Gerung mendefiniskannya sebagai keseluruhan praktik penegakan hukum yang bekerja dalam prinsip oportunisme total. Jual beli kasus oleh pengacara, sogok-menyogok polisi-jaksa-hakim, jual-beli RUU parlemen-eksekutif, sampai pada praktik rent seeking oleh parpol dalam pembuatan kebijakan ekonomi negara (Kompas 2 Juli 2008).
Dalam pasar gelap ini, keadilan yang merupakan tujuan utama hukum (just law) direndahkan. Dari keluhurannya sebagai ‘nilai’ (value), keadilan ditelapk-kakikan sebagai sekadar ‘harga’ (price). Begitu ada kejahatan, yang tergiang di kepala bukan ‘hukum’ tapi ‘pasar’. Yang terdesir di hati bukan perihal ‘luhung’ tapi persoalan ‘untung’. Kiat sukses bukan lagi how to be better (bagaimana menjadi lebih baik) tapi how to have more (bagaimana memiliki lebih banyak). Kalau kau ingin ‘menang’, saya harus ‘kenyang’!
Cara ‘menang demi kenyang’, itu gampang. Hukum bisa diatur, tidak mesti ditaati. Kata-kata Chrsitopher North (John Wilson) menjadi sangat bertuah. “Laws are made to be broken” (Noctes Ambrosianae No. 24 May, 1830). Hukum dibikin untuk dilanggar. Yang penting, dilanggar secara legal. Prosedurnya legal. Dokumen transaksinya pun legal. Karena legal, ya, siap takut. Open-open saja. Maka lahirlah kontradiksi: transaksi gelap dijalankan secara terang-terangan!
Itulah laku aparat hukum di Indonesia. Akal sehat diganti akal miring. Sedemikian miringnya sampai terbalik 180 derajat, sehingga tegak lurus dengan ‘mulut’ dan ‘perut’. Mulut yang hanya ingin ‘makan’ dan perut yang hanya ingin ‘kenyang’. Maka, di negeri ini, kredo akal sehat filosof Rene Descartes disepak buang. Descartes bilang: Cogito ergo sum. Saya berpikir maka saya ada. I think therefore I am. Di sini menjadi: Manduco ergo sum. Saya makan maka saya ada. I eat therefore I am.
Laku akal miring patut dapat diduga telah terjadi dalam proses hukum kasus kematian Romo Faustin. Kemiringannya begitu kasatmata. Vonis penjara seumur hidup dimiringkan sedemikian hingga mencapai titik nol, menjadi vonis bebas. Dengan formula “terbukti secara sah dan meyakinkan”, Waja-Tawa dinyatakan “bersalah” oleh pengadilan negeri. Dengan formula yang sama pula, Waja-Tawa dinyatakan “tidak bersalah” oleh pengadilan tinggi. Ini kemiringan absolut.
Akal sehat kita pasti bilang, pasti ada yang tidak beres. Perlu dicek. Karena itu, desakan Benny K Harman tepat. Kita dukung. Tim independen MA dan Kejagung perlu segera periksa hakim dan jaksa. Terutama hakim PT Kupang.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 24 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Ketua Komisi III DPR RI Benny K Harman mendesak tim independen MA dan Kejagung memeriksa hakim dan jaksa yang menangani proses hukum kasus kematian Romo Faustin Sega Pr, khususnya berkenaan dengan vonis tingkat banding Pengadilan Tinggi (PT) Kupang yang memutus bebas Anus Waja dan Theresia Tawa dari hukuman penjara seumur hidup yang telah dijatuhkan Pengadilan Negeri (PN) Bajawa (Flores Pos Senin 23 Agustus 2010).
Menurut ketua komisi yang membidangi hukum dan HAM ini, pemeriksaan sangat penting mengingat adanya fakta putusan yang bertentangan. PN Bajawa memvonis Waja-Tawa penjara seumur hidup, PT Kupang memvonisnya bebas. Fakta bertolak belakang ini mencederai huokum dan melukai rasa keadilan. “Dengan pemeriksaan, publik tahu apa yang terjadi di balik dua putusan itu.”
Kita dukung desakan ini. Selain karena adanya fakta putusan yang bertentangan, juga karena adanya fakta umum praktik ‘pasar gelap keadilan’ (black market of justice). Filosof Rocky Gerung mendefiniskannya sebagai keseluruhan praktik penegakan hukum yang bekerja dalam prinsip oportunisme total. Jual beli kasus oleh pengacara, sogok-menyogok polisi-jaksa-hakim, jual-beli RUU parlemen-eksekutif, sampai pada praktik rent seeking oleh parpol dalam pembuatan kebijakan ekonomi negara (Kompas 2 Juli 2008).
Dalam pasar gelap ini, keadilan yang merupakan tujuan utama hukum (just law) direndahkan. Dari keluhurannya sebagai ‘nilai’ (value), keadilan ditelapk-kakikan sebagai sekadar ‘harga’ (price). Begitu ada kejahatan, yang tergiang di kepala bukan ‘hukum’ tapi ‘pasar’. Yang terdesir di hati bukan perihal ‘luhung’ tapi persoalan ‘untung’. Kiat sukses bukan lagi how to be better (bagaimana menjadi lebih baik) tapi how to have more (bagaimana memiliki lebih banyak). Kalau kau ingin ‘menang’, saya harus ‘kenyang’!
Cara ‘menang demi kenyang’, itu gampang. Hukum bisa diatur, tidak mesti ditaati. Kata-kata Chrsitopher North (John Wilson) menjadi sangat bertuah. “Laws are made to be broken” (Noctes Ambrosianae No. 24 May, 1830). Hukum dibikin untuk dilanggar. Yang penting, dilanggar secara legal. Prosedurnya legal. Dokumen transaksinya pun legal. Karena legal, ya, siap takut. Open-open saja. Maka lahirlah kontradiksi: transaksi gelap dijalankan secara terang-terangan!
Itulah laku aparat hukum di Indonesia. Akal sehat diganti akal miring. Sedemikian miringnya sampai terbalik 180 derajat, sehingga tegak lurus dengan ‘mulut’ dan ‘perut’. Mulut yang hanya ingin ‘makan’ dan perut yang hanya ingin ‘kenyang’. Maka, di negeri ini, kredo akal sehat filosof Rene Descartes disepak buang. Descartes bilang: Cogito ergo sum. Saya berpikir maka saya ada. I think therefore I am. Di sini menjadi: Manduco ergo sum. Saya makan maka saya ada. I eat therefore I am.
Laku akal miring patut dapat diduga telah terjadi dalam proses hukum kasus kematian Romo Faustin. Kemiringannya begitu kasatmata. Vonis penjara seumur hidup dimiringkan sedemikian hingga mencapai titik nol, menjadi vonis bebas. Dengan formula “terbukti secara sah dan meyakinkan”, Waja-Tawa dinyatakan “bersalah” oleh pengadilan negeri. Dengan formula yang sama pula, Waja-Tawa dinyatakan “tidak bersalah” oleh pengadilan tinggi. Ini kemiringan absolut.
Akal sehat kita pasti bilang, pasti ada yang tidak beres. Perlu dicek. Karena itu, desakan Benny K Harman tepat. Kita dukung. Tim independen MA dan Kejagung perlu segera periksa hakim dan jaksa. Terutama hakim PT Kupang.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 24 Agustus 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus kematian romo faustin sega pr,
ngada,
pt kupang,
vonis bebas waja-tawa
22 Agustus 2010
Kasus Rm Faustin 5M
PT Kupang Vonis Bebas Waja-Tawa
Oleh Frans Anggal
Dalam sidang putusan tingkat banding perkara pembunuhan berencana terhadap Romo Faustin Sega Pr, Pengadilan Tinggi (PT) Kupang memvonis bebas Anus Waja dan Theresia Tawa dari hukuman penjara seumur hidup yang telah dijatuhkan Pengadilan Negeri (PN) Bajawa. Mulai Kamis 18 Agustus 2010, Waja-Tawa menghirup udara bebas (Flores Pos Sabtu 21 Agustus 2010).
Menyimak reaksi masyarakat, kita bisa katakan putusan ini “bernilai” 5M: mengejutkan, mengecewakan, menyakitkan, mengherankan, mengkhawatirkan.
Mengejutkan. Karena, vonis ini tak sesuai dengan dugaan publik. Kejari Bajawa menuntut penjara seumur hidup. PN Bajawa memvonis penjara seumur hidup. Dugaan publik, vonis PT pun begitu. Kalaupun beda, hanya dua kemungkinan: lebih tinggi (hukuman mati) atau lebih rendah (penjara sekian tahun).
Mengecewakan. Karena, vonis ini tak sesuai dengan harapan masyarakat. Harapan itu bersifat limitatif. Maksimal penjara seumur hidup, bukan hukuman mati. Minimal penjara sekian tahun, bukan vonis bebas. Putusan PT ternyata di luar limit. Di luar batas harapan.
Menyakitkan. Karena, vonis ini melukai rasa keadilan masyarakat. Rasa di sini bersifat etis. Boleh jadi, di mata PT, Waja-Tawa tak terbukti bersalah. Namun, “tak terbukti bersalah” tidak sama dengan “tak bersalah”. Yang pertama itu teknis, yang kedua itu etis. Rasa keadilan masyarakat berkenaan dengan yang etis, bukan yang teknis. Sederhana saja: yang menyebabkan matinya binatang bisa dipenjara, koq yang menyebabkan matinya manusia diputus bebas.
Mengherankan. Karena, terdapat rentetan kebetulan. Kebetulan pertama: sidang pembacaan tuntutan Kejari Bajawa berlangsung 4 Maret 2010: hari Kamis. Sidang pembacaan vonis PN Bajawa berlangsung 22 Maret 2010: juga hari Kamis. Waja-Tawa menghirup udara bebas 18 Agustus 2010: lagi-lagi hari Kamis. Serba-hari Kamis.
Kebetulan kedua: Waja-Tawa divonis penjara seumur hidup pada masa Puasa: ziarah menuju Paska.2010. Waja-Tawa pun divonis bebas pada masa Puasa: ibadah menuju Idul Fitri 2010. Serba-masa Puasa. Kebetulan ketiga: Waja-Tawa divonis bebas pada suasana HUT proklamasi 2010. Narapidana dapat kado remisi. Keduanya dapat kado bebas.
Mengkhawatirkan. Karena, semua ini bisa jadi preseden buruk. Dalam kasus pembunuhan berencana terhadap imam (kalangan yang sangat dihormati), penegakan hukumnya sudah penuh kontroversi. Apalagi dalam kasus pembunuhan berencana terhadap orang biasa. Tinggal pilih saja: mau di-matiwajar-kan, di-lakalantas-kan, atau di-gantungdiri-kan. Kalau sampai dimejahijaukan, tinggal di-“KUHP”-kan saja. Kasih Uang Habis Perkara. Kasih Uang Hakim Pasrah. Sebaliknya, Kurang Uang Hukuman Penjara.
Kita tidak tuduh PT Kupang seburuk iru. Namun kita juga tidak mustahilkan kemungkin itu. Dibanding PN, PT lebih rentan. Sebab, berbeda dengan di PN, persidangan (tingkat banding) di PT tidak (benar-benar) terbuka untuk umum (openbaar). Dengan kata lain, tidak (benar-benar) diletakkan di bawah penguasaan umum. Jauh dari kontrol publik. Dengan demikian, persidangannya tidak (benar-benar) menjamin objektivitas, imparsialitas, dan HAM.
Kendati demikian, masih ada harapan. Kasasi. Semoga putusan MA nanti tidak lagi “bernilai” 5M. Tidak lagi mengejutkan, mengecewakan, menyakitkan, mengherankan, mengkhawatirkan.
“Bentara” FLORES POS, Minggu 23 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Dalam sidang putusan tingkat banding perkara pembunuhan berencana terhadap Romo Faustin Sega Pr, Pengadilan Tinggi (PT) Kupang memvonis bebas Anus Waja dan Theresia Tawa dari hukuman penjara seumur hidup yang telah dijatuhkan Pengadilan Negeri (PN) Bajawa. Mulai Kamis 18 Agustus 2010, Waja-Tawa menghirup udara bebas (Flores Pos Sabtu 21 Agustus 2010).
Menyimak reaksi masyarakat, kita bisa katakan putusan ini “bernilai” 5M: mengejutkan, mengecewakan, menyakitkan, mengherankan, mengkhawatirkan.
Mengejutkan. Karena, vonis ini tak sesuai dengan dugaan publik. Kejari Bajawa menuntut penjara seumur hidup. PN Bajawa memvonis penjara seumur hidup. Dugaan publik, vonis PT pun begitu. Kalaupun beda, hanya dua kemungkinan: lebih tinggi (hukuman mati) atau lebih rendah (penjara sekian tahun).
Mengecewakan. Karena, vonis ini tak sesuai dengan harapan masyarakat. Harapan itu bersifat limitatif. Maksimal penjara seumur hidup, bukan hukuman mati. Minimal penjara sekian tahun, bukan vonis bebas. Putusan PT ternyata di luar limit. Di luar batas harapan.
Menyakitkan. Karena, vonis ini melukai rasa keadilan masyarakat. Rasa di sini bersifat etis. Boleh jadi, di mata PT, Waja-Tawa tak terbukti bersalah. Namun, “tak terbukti bersalah” tidak sama dengan “tak bersalah”. Yang pertama itu teknis, yang kedua itu etis. Rasa keadilan masyarakat berkenaan dengan yang etis, bukan yang teknis. Sederhana saja: yang menyebabkan matinya binatang bisa dipenjara, koq yang menyebabkan matinya manusia diputus bebas.
Mengherankan. Karena, terdapat rentetan kebetulan. Kebetulan pertama: sidang pembacaan tuntutan Kejari Bajawa berlangsung 4 Maret 2010: hari Kamis. Sidang pembacaan vonis PN Bajawa berlangsung 22 Maret 2010: juga hari Kamis. Waja-Tawa menghirup udara bebas 18 Agustus 2010: lagi-lagi hari Kamis. Serba-hari Kamis.
Kebetulan kedua: Waja-Tawa divonis penjara seumur hidup pada masa Puasa: ziarah menuju Paska.2010. Waja-Tawa pun divonis bebas pada masa Puasa: ibadah menuju Idul Fitri 2010. Serba-masa Puasa. Kebetulan ketiga: Waja-Tawa divonis bebas pada suasana HUT proklamasi 2010. Narapidana dapat kado remisi. Keduanya dapat kado bebas.
Mengkhawatirkan. Karena, semua ini bisa jadi preseden buruk. Dalam kasus pembunuhan berencana terhadap imam (kalangan yang sangat dihormati), penegakan hukumnya sudah penuh kontroversi. Apalagi dalam kasus pembunuhan berencana terhadap orang biasa. Tinggal pilih saja: mau di-matiwajar-kan, di-lakalantas-kan, atau di-gantungdiri-kan. Kalau sampai dimejahijaukan, tinggal di-“KUHP”-kan saja. Kasih Uang Habis Perkara. Kasih Uang Hakim Pasrah. Sebaliknya, Kurang Uang Hukuman Penjara.
Kita tidak tuduh PT Kupang seburuk iru. Namun kita juga tidak mustahilkan kemungkin itu. Dibanding PN, PT lebih rentan. Sebab, berbeda dengan di PN, persidangan (tingkat banding) di PT tidak (benar-benar) terbuka untuk umum (openbaar). Dengan kata lain, tidak (benar-benar) diletakkan di bawah penguasaan umum. Jauh dari kontrol publik. Dengan demikian, persidangannya tidak (benar-benar) menjamin objektivitas, imparsialitas, dan HAM.
Kendati demikian, masih ada harapan. Kasasi. Semoga putusan MA nanti tidak lagi “bernilai” 5M. Tidak lagi mengejutkan, mengecewakan, menyakitkan, mengherankan, mengkhawatirkan.
“Bentara” FLORES POS, Minggu 23 Agustus 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus kematian romo faustin sega pr,
ngada,
pt kupang,
vonis bebas waja-tawa
Mungkin Gelombangnya SBY
Tema HUT Proklamasi 2010
Oleh Frans Anggal
Perayaan HUT Ke-65 Proklamasi Kemerdekaan RI berlalu. Namun, ada yang terbawa: sebuah kontroversi. Bukan dari perayaannya. Bukan pula dari temanya. Tapi dari pernyataan politikus Ruhut Sitompul, Ketua Divisi Komunikasi dan Informasi DPP Partai Demokrat. Dia bilang, UUD 1945 perlu diamandemen lagi: masa jabatan presiden tiga periode (Flores Pos Kamis 19 Agustus 2010).
Reaksi bermunculan. Tudingan pun diarahkan ke Partai Demokrat, partainya Presiden SBY. Ruhut dinilai sekadar peniup peluit bagi agenda besar ‘langgengkan’ kekuasaan SBY. Partai Demokrat menepis. Peluit Ruhut bukan cerminan konstelasi politik dalam partai. Karena itu, ia akan ditegur.
Mungkin kebetulan, tapi mungkin juga kebenaran. Peluit ‘presiden tiga periode’ sepertinya pas dengan tema perayaan tujuhbelasan: “Dengan Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945, Kita Sukseskan Reformasi Gelombang Kedua, untuk Mewujudkan Kehidupan Berbangsa yang Makin Sejahtera, Makin Demokratis, dan Makin Berkeadilan”.
Formula tema ini sangat klise. Formulanya yang itu-itu saja sejak era Orde Baru. Rumusannya selalu sama: “Dengan Semangat …, Kita Sukseskan ….” Kalaupun ada variasi, kata “sukseskan” tinggal diganti dengan kata lain, tanpa mengubah formulanya. “Dengan Semangat …, Kita Tingkatkan ….”
Formula klise tak punya daya gugah. Ia seolah deretan kata yang terbaca tapi tak menyapa. Ia seakan rentetan bunyi yang terdengar tapi menghambar. Formula klise juga membosankan. Selain karena hanya peniruan atas yang sudah dirumuskan, ia produk anonimitas. Publik tidak tahu, datangnya dari siapa dan ditujukan kepada siapa. Karena anonimnya, apa pun tema perayaan kenegaraan tidak pernah bisa mengalahkan daya gugah selarik puisi. Berbeda dari formula anonim, puisi adalah produk personalitas.
Pada tema perayaan agustusan 2010, formula yang sudah klise itu memuat pula istilah yang kabur: “reformasi gelombang kedua”. Maksudnya apa? Kenapa “gelombang”? Kenapa pula “kedua”?
Dandim Ende Frans Tomas termasuk yang terusik. Via SMS 12 Agustus 2010, ia pertanyakan, “Reformasi gelombang pertama kapan dimulai? Lantas kalau ada, apakah sudah diselesaikan? Wah, jangan-jangan tahun depan ada gelombang ketiga.”
Pertanyaan kritis sang dandim seakan terjawab oleh peluit Ruhut Sitompul. Presiden tiga periode! Mungkin gelombang di sini gelombangnya SBY. Periode I pemerintahannya, itulah reformasi gelombang I. Periode II, sekarang ini, itulah reformasi gelombang II. Periode III, nanti, itulah reformasi gelombang III. Mungkin karena itu, jauh-jauh hari Ruhut bunyikan peluit ‘presiden tiga periode’.
Kalau ‘teori’ ini benar, pertanyaan sang dandim mudah dijawab. Reformasi gelombang I dimulai 2004 (koq bukan 1998?) ketika SBY mulai jadi presiden. Gelombang itu sudah diselesaikannya pada 2009. Tahun itu juga, saat ia awali masa jabatan periode II, reformasi gelombang II dimulai. Mungkin karena itu, tema perayaan tujubelasan 2010 mengajak “Kita Sukseskan Reformasi Gelombang Kedua”. Tahun 2011, masih reformasi gelombang II, belum reformasi gelombang III seperti ‘dicemaskan’ sang dandim. Gelombang III tunggu 2014, awal masa jabatan periode III. Untuk itu, UUD 1945 perlu diamandemen. Sehingga klop: presiden tiga periode. Luar bi(n)asa!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 21 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Perayaan HUT Ke-65 Proklamasi Kemerdekaan RI berlalu. Namun, ada yang terbawa: sebuah kontroversi. Bukan dari perayaannya. Bukan pula dari temanya. Tapi dari pernyataan politikus Ruhut Sitompul, Ketua Divisi Komunikasi dan Informasi DPP Partai Demokrat. Dia bilang, UUD 1945 perlu diamandemen lagi: masa jabatan presiden tiga periode (Flores Pos Kamis 19 Agustus 2010).
Reaksi bermunculan. Tudingan pun diarahkan ke Partai Demokrat, partainya Presiden SBY. Ruhut dinilai sekadar peniup peluit bagi agenda besar ‘langgengkan’ kekuasaan SBY. Partai Demokrat menepis. Peluit Ruhut bukan cerminan konstelasi politik dalam partai. Karena itu, ia akan ditegur.
Mungkin kebetulan, tapi mungkin juga kebenaran. Peluit ‘presiden tiga periode’ sepertinya pas dengan tema perayaan tujuhbelasan: “Dengan Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945, Kita Sukseskan Reformasi Gelombang Kedua, untuk Mewujudkan Kehidupan Berbangsa yang Makin Sejahtera, Makin Demokratis, dan Makin Berkeadilan”.
Formula tema ini sangat klise. Formulanya yang itu-itu saja sejak era Orde Baru. Rumusannya selalu sama: “Dengan Semangat …, Kita Sukseskan ….” Kalaupun ada variasi, kata “sukseskan” tinggal diganti dengan kata lain, tanpa mengubah formulanya. “Dengan Semangat …, Kita Tingkatkan ….”
Formula klise tak punya daya gugah. Ia seolah deretan kata yang terbaca tapi tak menyapa. Ia seakan rentetan bunyi yang terdengar tapi menghambar. Formula klise juga membosankan. Selain karena hanya peniruan atas yang sudah dirumuskan, ia produk anonimitas. Publik tidak tahu, datangnya dari siapa dan ditujukan kepada siapa. Karena anonimnya, apa pun tema perayaan kenegaraan tidak pernah bisa mengalahkan daya gugah selarik puisi. Berbeda dari formula anonim, puisi adalah produk personalitas.
Pada tema perayaan agustusan 2010, formula yang sudah klise itu memuat pula istilah yang kabur: “reformasi gelombang kedua”. Maksudnya apa? Kenapa “gelombang”? Kenapa pula “kedua”?
Dandim Ende Frans Tomas termasuk yang terusik. Via SMS 12 Agustus 2010, ia pertanyakan, “Reformasi gelombang pertama kapan dimulai? Lantas kalau ada, apakah sudah diselesaikan? Wah, jangan-jangan tahun depan ada gelombang ketiga.”
Pertanyaan kritis sang dandim seakan terjawab oleh peluit Ruhut Sitompul. Presiden tiga periode! Mungkin gelombang di sini gelombangnya SBY. Periode I pemerintahannya, itulah reformasi gelombang I. Periode II, sekarang ini, itulah reformasi gelombang II. Periode III, nanti, itulah reformasi gelombang III. Mungkin karena itu, jauh-jauh hari Ruhut bunyikan peluit ‘presiden tiga periode’.
Kalau ‘teori’ ini benar, pertanyaan sang dandim mudah dijawab. Reformasi gelombang I dimulai 2004 (koq bukan 1998?) ketika SBY mulai jadi presiden. Gelombang itu sudah diselesaikannya pada 2009. Tahun itu juga, saat ia awali masa jabatan periode II, reformasi gelombang II dimulai. Mungkin karena itu, tema perayaan tujubelasan 2010 mengajak “Kita Sukseskan Reformasi Gelombang Kedua”. Tahun 2011, masih reformasi gelombang II, belum reformasi gelombang III seperti ‘dicemaskan’ sang dandim. Gelombang III tunggu 2014, awal masa jabatan periode III. Untuk itu, UUD 1945 perlu diamandemen. Sehingga klop: presiden tiga periode. Luar bi(n)asa!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 21 Agustus 2010
Label:
bentara,
flores pos,
hut proklamasi 2010,
indonesia,
nasional,
politik,
presiden tiga periode,
ruhut sitompul
19 Agustus 2010
Ende: Perda Selera Makan?
Gerakan Swasembada Pangan 2012
Oleh Frans Anggal
Anggota DPR RI Honing Sani punya usul bagi Kabupaten Ende untuk sukseskan Gerakan Swasembada Pangan (GSP) 2012. Pemkab-DPRD perlu kerja sama buat perda. Semua warung makan wajib sediakan pangan lokal sekali seminggu, misalnya tiap Kamis. Pol PP harus kontrol. Yang tidak buka pada Kamis atau tidak sediakan pangan lokal hari itu, diberi sanksi. Cabutan izin usahanya (Flores Pos Rabu 18 Agustus 2010).
Mari kita bayangkan. Pada Kamis, semua warung dibuka dan sediakan pangan lokal. Kalau itu menu wajib dan satu-satunya, betapa terbatasnya pilihan konsumen. Kalau itu menu wajib tapi bukan satu-satunya, betapa terancamnya produsen. Wajib sediakan, tapi kalau tidak laku? Apakah pemkab borong? Ataukah konsumen diwajibkan juga biar semua jualan itu laris?
Begitulah kalau negara mau atur semua hal. Tidak jelas lagi mana yang publik dan mana yang privat. Di kota Ende, ketidakjelasan publik-privat sudah biasa. Hajatan nikah, kematian, sambut baru, sunatan (privat) bisa digelar di jalan raya (publik). Fasilitas umum (res publica) ini bisa diblokir berhari-hari untuk urusan pribadi (res privata). Diizinkan dengan mudahnya oleh pemkab.
Apa yang tergilas di sini? Keadilan (justice). Keadilan mencakup semua hal yang berhubungan dengan hak dan kewajiban serta hukum dan UU. Parkir sepeda motor (kecil) di tengah jalan dilarang polantas. Eh, ’parkir’ kemah (besar dan blokir jalan) diizinkan. Pemrivatan ruang publik melahirkan ketidakadilan.
Sekarang, dengan usul Honing Sani itu, Ende mau berbalik ke ekstrem lain. Pemublikkan ruang privat. Apa yang tergilas? Hidup baik (good life). Ini mencakup gaya hidup, selera makan, selera berpakaian, penggunaan waktu senggang, dll. Enaknya makan apa hari ini koq mau diatur negara. Aneh. Selera makan itu urusan privat, bukan urusan publik. Tidak pantas diperdakan.
Kalau diperdakan, itu bukan selera lagi. Itu seloroh, lelucon. Dengan perda itu, maksud hati sukseskan GSP 2012, apa daya celaka 12. Kemerdekaan tiap orang dan tiap kelompok dalam ’hidup baik’ dilanggar bulat-bulat. Ini hanya pantas pada negara berideologi marxis ortodoks. Di sana, kedudukan privat perseorang dianggap tidak ada.
GSP 2012 tidak pantas di-perda-begitu-kan. Selain melanggar kemerdekaan warga, pemerdaan selera makan menyalahi makna GSP itu sendiri. GSP itu ”gerakan” , bukan ”hukum”. Praksis ”gerakan” mencakup sosialisasi (pemasyarakatan), yang hanya sukses kalau bermuatan konsientisasi (penyadaran) dan persuasi (ajakan), sehingga melahirkan motivasi (dorongan dari dalam diri) untuk melakukan aksi (tindakan).
Contoh bagus sudah diperlihatkan CIJ Ende melalui SMKK Muctyaca. Sekolah asuhan Yayasan Bina Wirawan ini mendirikan Pusat Pangan Lokal di Jalan Melati. Dikelola Sint Sevill, unit usaha sekolah. Diresmikan bupati Ende, Selasa 25 Maret 2010.
Tanpa perda, Sint Revill buka tiap hari, bukan hanya tiap Kamis. Tanpa diawasi Pol PP, Sint Revill sediakan pangan lokal, dan hanya pangan lokal. Ini baru namanya ”gerakan”. Lahir karena sadar dan bebas. Sebuah contoh sukses.
Nah. Daripada bikin perda aneh, lebih baik pemkab dan DPRD Ende jadikan Sint Revill proyek percontohan GSP 2012. Daripada sibuk paksa semua warung jual pangan lokal, lebih baik bantu, berdayakan, dan mitrakan Sint Revill dalam GSP 2012. Buahnya akan nyata.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 20 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Anggota DPR RI Honing Sani punya usul bagi Kabupaten Ende untuk sukseskan Gerakan Swasembada Pangan (GSP) 2012. Pemkab-DPRD perlu kerja sama buat perda. Semua warung makan wajib sediakan pangan lokal sekali seminggu, misalnya tiap Kamis. Pol PP harus kontrol. Yang tidak buka pada Kamis atau tidak sediakan pangan lokal hari itu, diberi sanksi. Cabutan izin usahanya (Flores Pos Rabu 18 Agustus 2010).
Mari kita bayangkan. Pada Kamis, semua warung dibuka dan sediakan pangan lokal. Kalau itu menu wajib dan satu-satunya, betapa terbatasnya pilihan konsumen. Kalau itu menu wajib tapi bukan satu-satunya, betapa terancamnya produsen. Wajib sediakan, tapi kalau tidak laku? Apakah pemkab borong? Ataukah konsumen diwajibkan juga biar semua jualan itu laris?
Begitulah kalau negara mau atur semua hal. Tidak jelas lagi mana yang publik dan mana yang privat. Di kota Ende, ketidakjelasan publik-privat sudah biasa. Hajatan nikah, kematian, sambut baru, sunatan (privat) bisa digelar di jalan raya (publik). Fasilitas umum (res publica) ini bisa diblokir berhari-hari untuk urusan pribadi (res privata). Diizinkan dengan mudahnya oleh pemkab.
Apa yang tergilas di sini? Keadilan (justice). Keadilan mencakup semua hal yang berhubungan dengan hak dan kewajiban serta hukum dan UU. Parkir sepeda motor (kecil) di tengah jalan dilarang polantas. Eh, ’parkir’ kemah (besar dan blokir jalan) diizinkan. Pemrivatan ruang publik melahirkan ketidakadilan.
Sekarang, dengan usul Honing Sani itu, Ende mau berbalik ke ekstrem lain. Pemublikkan ruang privat. Apa yang tergilas? Hidup baik (good life). Ini mencakup gaya hidup, selera makan, selera berpakaian, penggunaan waktu senggang, dll. Enaknya makan apa hari ini koq mau diatur negara. Aneh. Selera makan itu urusan privat, bukan urusan publik. Tidak pantas diperdakan.
Kalau diperdakan, itu bukan selera lagi. Itu seloroh, lelucon. Dengan perda itu, maksud hati sukseskan GSP 2012, apa daya celaka 12. Kemerdekaan tiap orang dan tiap kelompok dalam ’hidup baik’ dilanggar bulat-bulat. Ini hanya pantas pada negara berideologi marxis ortodoks. Di sana, kedudukan privat perseorang dianggap tidak ada.
GSP 2012 tidak pantas di-perda-begitu-kan. Selain melanggar kemerdekaan warga, pemerdaan selera makan menyalahi makna GSP itu sendiri. GSP itu ”gerakan” , bukan ”hukum”. Praksis ”gerakan” mencakup sosialisasi (pemasyarakatan), yang hanya sukses kalau bermuatan konsientisasi (penyadaran) dan persuasi (ajakan), sehingga melahirkan motivasi (dorongan dari dalam diri) untuk melakukan aksi (tindakan).
Contoh bagus sudah diperlihatkan CIJ Ende melalui SMKK Muctyaca. Sekolah asuhan Yayasan Bina Wirawan ini mendirikan Pusat Pangan Lokal di Jalan Melati. Dikelola Sint Sevill, unit usaha sekolah. Diresmikan bupati Ende, Selasa 25 Maret 2010.
Tanpa perda, Sint Revill buka tiap hari, bukan hanya tiap Kamis. Tanpa diawasi Pol PP, Sint Revill sediakan pangan lokal, dan hanya pangan lokal. Ini baru namanya ”gerakan”. Lahir karena sadar dan bebas. Sebuah contoh sukses.
Nah. Daripada bikin perda aneh, lebih baik pemkab dan DPRD Ende jadikan Sint Revill proyek percontohan GSP 2012. Daripada sibuk paksa semua warung jual pangan lokal, lebih baik bantu, berdayakan, dan mitrakan Sint Revill dalam GSP 2012. Buahnya akan nyata.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 20 Agustus 2010
Pansus Kasus PU Ende
Momentum Kedua Reformasi Birokrasi
Oleh Frans Anggal
Komisi B DPRD Ende rekomendasikan tiga hal dalam rapat dengan kadis PU dan staf, Sabtu 14 Agustus 2010. Pertama, minta polisi dan jaksa usut tuntas kasus perusakan kantor PU. Kedua, minta polisi dan jaksa usut tuntas proses tender 11 proyek yang dinilai bermasalah. Ketiga, minta dinas PU batalkan seluruh proses tender itu (Flores Pos Senin 16 Agustus 2010).
Rekomendasi. Kata ini tak hanya bermakna denotatif ‘saran’, ‘anjuran’, ‘nasihat, atau ‘permintaan’, tapi juga bermakna konotatif ‘percaya’ bahwa yang disarankan, dianjurkan, dinasihatkan, atau diminta itu dilaksanakan. Kalau dilaksanakan, terima kasih. Kalau tidak, tiada sanksi. Beda dengan ‘perintah’.
Menurut gradasi pewajibannya, nomor satu ‘perintah’, nomor dua ‘rekomendasi’, nomor tiga ‘permohonan’. Pada ‘perintah’, pewajibannya tinggi. Kalau dilaksanakan, tak harus terima kasih. Kalau tidak dilaksankan, sudah harus diberi sanksi. Sebaliknya pada ‘permohonan’, pewajibannya rendah bahkan nol. Kalau dikabulkan, syukur alhamdulillah. Kalau tidak dikabulkan, apa boleh buat.
Dengan ‘rekomendasi’-nya, DPRD Ende tidak ‘memerintahkan’ kepolres, kajari, dan kadis PU, tapi juga tidak ‘memohon’ menghamba-hamba. Dengan ‘rekomendasi’-nya, DPRD Ende percaya bahwa yang direkomendasikan akan dilaksanakan oleh kapolres, kajari, dan kadis PU. Kalau dilaksankan: terima kasih Pak. Kalau tidak dilaksankan? Tak ada sanksi. Ini bukan ‘perintah’.
Itu tak jadi soal. Lagi pula, DPRD tak berwenang (langsung) ‘perintah’ kapolres, kajari, dan kadis. Yang jadi soal, jika ‘rekomendasi’-nya turun pangkat jadi ‘permohonan’. Ini tidak boleh. Sebagaimana ‘rekomendasi’ bukan ‘perintah’, sehingga jangan disanksi jika tak dilaksanakan, demikian pula ‘rekomendasi’ bukan ‘permohonan’, maka jangan disikapi pasrah sumarah apa boleh buat.
Dengan kata lain, terhadap pelaksanaan hal yang direkomendasikannya, DPRD Ende perlu proaktif. Bila yang direkomendasikan tidak dilaksanakan, DPRD tidak pantas diam. Diam berarti pasrah sumarah. Ini reaksi khas ‘permohonan’, bukan kelasnya ‘rekomendasi’, apalagi kelasnya ‘perintah’. Diam berarti merendahkan wibawa putusan. Kalau berwibawa, DPRD harus bertindak.
Konkretnya: jika kapolres, kajari, dan kadis PU tidak melaksankan apa yang telah diromendasikan, DPRD Ende sudah seharusnya meningkatkan ‘rekomendasi’ menjadi ‘perintah’, dalam batas kewenangannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Format yang pas untuk itu adalah pansus.
Pembentukan pansus sebenarnya sudah dicuatkan dalam rapat dengan kadis PU dan staf. Diusulkan Arminus Wuni Wasa. Tujuannya, untuk mengetahui apakah proses tender berjalan sesuai dengan regulasi atau tidak. Usulan ini terabaikan. Rupanya karena argumentasinya lemah. Mengecek apakah proses tender berjalan sesuai dengan regulasi atau tidak, bisa langsung oleh polisi dan jaksa, tidak perlu repot-repot oleh pansus.
Semestinya, argumentasinya tak sebatas itu. Kasus di dinas PU ditengarai sudah sistemik, laten, dan berulang. Ini menggagalkan program reformasi birokrasi. Reformasi (ke arah baik) jadinya deformasi (ke arah buruk). Penyelesaian hukum saja tidak cukup. Perlu penyelesaian politik: pansus.
Itu kalau DPRD mau jadikan penyelesaian kasus ini momentum kedua reformasi birokrasi. Tempo hari, mereka berkeluh kesah ketika urus mutasi dan promosi, bupati tidak tanya-tanya mereka. Sekarang, saatnya untuk tidak berkeluh kesah, eh, malah mereka lewatkan momentum itu. Yang benar saja.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 19 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Komisi B DPRD Ende rekomendasikan tiga hal dalam rapat dengan kadis PU dan staf, Sabtu 14 Agustus 2010. Pertama, minta polisi dan jaksa usut tuntas kasus perusakan kantor PU. Kedua, minta polisi dan jaksa usut tuntas proses tender 11 proyek yang dinilai bermasalah. Ketiga, minta dinas PU batalkan seluruh proses tender itu (Flores Pos Senin 16 Agustus 2010).
Rekomendasi. Kata ini tak hanya bermakna denotatif ‘saran’, ‘anjuran’, ‘nasihat, atau ‘permintaan’, tapi juga bermakna konotatif ‘percaya’ bahwa yang disarankan, dianjurkan, dinasihatkan, atau diminta itu dilaksanakan. Kalau dilaksanakan, terima kasih. Kalau tidak, tiada sanksi. Beda dengan ‘perintah’.
Menurut gradasi pewajibannya, nomor satu ‘perintah’, nomor dua ‘rekomendasi’, nomor tiga ‘permohonan’. Pada ‘perintah’, pewajibannya tinggi. Kalau dilaksanakan, tak harus terima kasih. Kalau tidak dilaksankan, sudah harus diberi sanksi. Sebaliknya pada ‘permohonan’, pewajibannya rendah bahkan nol. Kalau dikabulkan, syukur alhamdulillah. Kalau tidak dikabulkan, apa boleh buat.
Dengan ‘rekomendasi’-nya, DPRD Ende tidak ‘memerintahkan’ kepolres, kajari, dan kadis PU, tapi juga tidak ‘memohon’ menghamba-hamba. Dengan ‘rekomendasi’-nya, DPRD Ende percaya bahwa yang direkomendasikan akan dilaksanakan oleh kapolres, kajari, dan kadis PU. Kalau dilaksankan: terima kasih Pak. Kalau tidak dilaksankan? Tak ada sanksi. Ini bukan ‘perintah’.
Itu tak jadi soal. Lagi pula, DPRD tak berwenang (langsung) ‘perintah’ kapolres, kajari, dan kadis. Yang jadi soal, jika ‘rekomendasi’-nya turun pangkat jadi ‘permohonan’. Ini tidak boleh. Sebagaimana ‘rekomendasi’ bukan ‘perintah’, sehingga jangan disanksi jika tak dilaksanakan, demikian pula ‘rekomendasi’ bukan ‘permohonan’, maka jangan disikapi pasrah sumarah apa boleh buat.
Dengan kata lain, terhadap pelaksanaan hal yang direkomendasikannya, DPRD Ende perlu proaktif. Bila yang direkomendasikan tidak dilaksanakan, DPRD tidak pantas diam. Diam berarti pasrah sumarah. Ini reaksi khas ‘permohonan’, bukan kelasnya ‘rekomendasi’, apalagi kelasnya ‘perintah’. Diam berarti merendahkan wibawa putusan. Kalau berwibawa, DPRD harus bertindak.
Konkretnya: jika kapolres, kajari, dan kadis PU tidak melaksankan apa yang telah diromendasikan, DPRD Ende sudah seharusnya meningkatkan ‘rekomendasi’ menjadi ‘perintah’, dalam batas kewenangannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Format yang pas untuk itu adalah pansus.
Pembentukan pansus sebenarnya sudah dicuatkan dalam rapat dengan kadis PU dan staf. Diusulkan Arminus Wuni Wasa. Tujuannya, untuk mengetahui apakah proses tender berjalan sesuai dengan regulasi atau tidak. Usulan ini terabaikan. Rupanya karena argumentasinya lemah. Mengecek apakah proses tender berjalan sesuai dengan regulasi atau tidak, bisa langsung oleh polisi dan jaksa, tidak perlu repot-repot oleh pansus.
Semestinya, argumentasinya tak sebatas itu. Kasus di dinas PU ditengarai sudah sistemik, laten, dan berulang. Ini menggagalkan program reformasi birokrasi. Reformasi (ke arah baik) jadinya deformasi (ke arah buruk). Penyelesaian hukum saja tidak cukup. Perlu penyelesaian politik: pansus.
Itu kalau DPRD mau jadikan penyelesaian kasus ini momentum kedua reformasi birokrasi. Tempo hari, mereka berkeluh kesah ketika urus mutasi dan promosi, bupati tidak tanya-tanya mereka. Sekarang, saatnya untuk tidak berkeluh kesah, eh, malah mereka lewatkan momentum itu. Yang benar saja.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 19 Agustus 2010
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus dinas pu ende,
politik,
reformasi birokrasi
18 Agustus 2010
Ke-12-an Manggarai Timur
Kasus Korupsi di Sebuah Intansi
Oleh Frans Anggal
Kejari Ruteng kembali menahan 4 tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan 30 kapal ikan pada Dinas Pertanian, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Manggarai Timur, Kamis 12 Agustus 2010. Sebelumnya, kejari menahan 3 tersangka, disusul 4 tersangka. Total yang sudah ditahan 11 tersangka. Satu tersangka belum, masih sakit (Flores Pos Sabtu 14 Agustus 2010).
Kalau si sakit sembuh dan ditahan, maka jumlah tahanan dalam kasus dugaan kerugian negara Rp570 juta ini 12 orang. Kedubelasan Manggarai Timur! Ini menarik. Selain banyak sebagai jumlah, 12 juga simbolik sebagai angka.
Banyak. Dua belas tersangka, pada satu kasus, pada satu dinas, di sebuah kabupaten baru. Saking banyak, ‘jemaah’ ini ‘diterbangkan’ bergelombang ke rutan . Kloter pertama 3 orang, termasuk kadis. Kloter kedua 4 orang. Kloter ketiga 4 orang. Kloter keempat (nanti) 1 orang (masih sakit).
Simbolik. Dua belas itu simbol kepenuhan, kegenapan, kesempurnaan. Kitab Suci mengenal 12 suku Israel, 12 rasul. Kalender tahunan mengenal 12 bulan. Mesin jam mengenal 12 angka siklus waktu. Jadi, 12 itu ‘hebat’. Tentu, untuk hal yang patut dibanggakan. Sedangkan untuk yang sebaliknya, 12 itu ‘heboh’. Keduabelasan Manggarai Timur: itu heboh, buka hebat.
Semakin heboh, ketika satu dari keduabelasan bikin pernyataan yang mengesankan seolah-olah masuk rutan itu hebat. Tersangka Agus Tandur bilang, dia siap menerima keputusan apa pun dari penyidik kejaksaan, apakah ditahan atau tidak. Sebab, kata dia, yang terjadi ini adalah konsekuensi menjalankan tugas sebagai abdi negara.
Terkesan hebat, karena dibubat-buat hebat. Masuk tahanan dianggap sebagai konsekuensi tugas abdi negara. Seolah-olah, karena menjalankan tugas abdi negara, keduabelasan itu ditahan. Kalau benar demikian maka harus dikatakan pula: menunaikan tugas abdi negara itu melanggar hukum. Mengabdi negara itu tindak pidana. Lebih jauh: kalau tak ingin dihukum, jangan mengabdi negara. Kalau tak ingin dibui, jangan jadi abdi negara.
Benarkah itu? Akal sehat kita pasti bilang tidak. Mengabdi negara, perbuatan luhur. Bahkan kewajiban etis setiap warga negara. Kalau begitu, apa yang salah? Yang salah---disengajakan atau tidak---adalah logika si anggota keduabelasan. Ia hanya mencolokkan dua hal: “abdi negara” dan “ditahan”. Ia lupakan atau abaikan atau sembunyikan hal paling penting. Yaitu, perbuatan melawan hukum. Tindak pidana korupsi.
Itulah yang terpenting. Melanggar hukum atau tidak. Bukan, mengabdi negara atau tidak. Keduabelasan ditahan bukan karena telah mengabdi negara. Mereka ditahan karena telah melakukan korupsi. Abdi negara atau bukan, asalkan terlibat korupsi, pasti ditahan kalau ancaman hukumannya di atas 5 tahun dan/atau dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatan.
Di sini luar biasanya keduabelasan Manggarai Timur. Luar biasa karena hebohnya, bukan karena hebatnya. Heboh, karena jumlah mereka duhai banyaknya. Heboh, karena sebanyak itu hanya dari satu kasus, pada satu dinas, di sebuah kabupaten yang masih baru. Heboh, karena ‘jemaah tersangka’ ini dirutankan bergelombang dalam empat ‘kloter’. Heboh, karena salah satu anggotanya bikin pernyataan menyesatkan, seakan-akan masuk rutan itu hebat.
Inilah hebohnya Manggarai Timur. Heboh di tengah hebat perayaan HUT Ke-65 Republik Indonesia. Kemerdekaaan diisi dengan kebersimaharajalelaan.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 18 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Kejari Ruteng kembali menahan 4 tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan 30 kapal ikan pada Dinas Pertanian, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Manggarai Timur, Kamis 12 Agustus 2010. Sebelumnya, kejari menahan 3 tersangka, disusul 4 tersangka. Total yang sudah ditahan 11 tersangka. Satu tersangka belum, masih sakit (Flores Pos Sabtu 14 Agustus 2010).
Kalau si sakit sembuh dan ditahan, maka jumlah tahanan dalam kasus dugaan kerugian negara Rp570 juta ini 12 orang. Kedubelasan Manggarai Timur! Ini menarik. Selain banyak sebagai jumlah, 12 juga simbolik sebagai angka.
Banyak. Dua belas tersangka, pada satu kasus, pada satu dinas, di sebuah kabupaten baru. Saking banyak, ‘jemaah’ ini ‘diterbangkan’ bergelombang ke rutan . Kloter pertama 3 orang, termasuk kadis. Kloter kedua 4 orang. Kloter ketiga 4 orang. Kloter keempat (nanti) 1 orang (masih sakit).
Simbolik. Dua belas itu simbol kepenuhan, kegenapan, kesempurnaan. Kitab Suci mengenal 12 suku Israel, 12 rasul. Kalender tahunan mengenal 12 bulan. Mesin jam mengenal 12 angka siklus waktu. Jadi, 12 itu ‘hebat’. Tentu, untuk hal yang patut dibanggakan. Sedangkan untuk yang sebaliknya, 12 itu ‘heboh’. Keduabelasan Manggarai Timur: itu heboh, buka hebat.
Semakin heboh, ketika satu dari keduabelasan bikin pernyataan yang mengesankan seolah-olah masuk rutan itu hebat. Tersangka Agus Tandur bilang, dia siap menerima keputusan apa pun dari penyidik kejaksaan, apakah ditahan atau tidak. Sebab, kata dia, yang terjadi ini adalah konsekuensi menjalankan tugas sebagai abdi negara.
Terkesan hebat, karena dibubat-buat hebat. Masuk tahanan dianggap sebagai konsekuensi tugas abdi negara. Seolah-olah, karena menjalankan tugas abdi negara, keduabelasan itu ditahan. Kalau benar demikian maka harus dikatakan pula: menunaikan tugas abdi negara itu melanggar hukum. Mengabdi negara itu tindak pidana. Lebih jauh: kalau tak ingin dihukum, jangan mengabdi negara. Kalau tak ingin dibui, jangan jadi abdi negara.
Benarkah itu? Akal sehat kita pasti bilang tidak. Mengabdi negara, perbuatan luhur. Bahkan kewajiban etis setiap warga negara. Kalau begitu, apa yang salah? Yang salah---disengajakan atau tidak---adalah logika si anggota keduabelasan. Ia hanya mencolokkan dua hal: “abdi negara” dan “ditahan”. Ia lupakan atau abaikan atau sembunyikan hal paling penting. Yaitu, perbuatan melawan hukum. Tindak pidana korupsi.
Itulah yang terpenting. Melanggar hukum atau tidak. Bukan, mengabdi negara atau tidak. Keduabelasan ditahan bukan karena telah mengabdi negara. Mereka ditahan karena telah melakukan korupsi. Abdi negara atau bukan, asalkan terlibat korupsi, pasti ditahan kalau ancaman hukumannya di atas 5 tahun dan/atau dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatan.
Di sini luar biasanya keduabelasan Manggarai Timur. Luar biasa karena hebohnya, bukan karena hebatnya. Heboh, karena jumlah mereka duhai banyaknya. Heboh, karena sebanyak itu hanya dari satu kasus, pada satu dinas, di sebuah kabupaten yang masih baru. Heboh, karena ‘jemaah tersangka’ ini dirutankan bergelombang dalam empat ‘kloter’. Heboh, karena salah satu anggotanya bikin pernyataan menyesatkan, seakan-akan masuk rutan itu hebat.
Inilah hebohnya Manggarai Timur. Heboh di tengah hebat perayaan HUT Ke-65 Republik Indonesia. Kemerdekaaan diisi dengan kebersimaharajalelaan.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 18 Agustus 2010
Label:
bentara,
dinas perikanan manggarai timur,
flores,
flores pos,
hukum,
korupsi,
manggarai timur
17 Agustus 2010
HUT RI: Ada Baik Ada Aib
Kemajemukan Tetap Dikorbankan
Oleh Frans Anggal
Presiden SBY menegaskan, bangsa Indonesia harus pertahankan empat konsensus dasar. Yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Penegasan itu disampaikan dalam ramah tamah dan buka puasa bersama para perintis kemerdekaan, veteran, dan purnawirawan, di Istana Negara, Jakarta, Jumat 13 Agustus 2010 (Flores Pos Sabtu 14 Agustus 2010).
Mendengar ini, kita terhibur. Semacam pelipur lara. Tapi cuma sejenak. Cuma sepanjang kata sambutan. Sesudahnya, kita kembali ke kenyataan. Ke praktik kehidupan bernegara. Makin jauh panggang dari api. Makin jauh kenyataan dari pernyataan. Dari pelipur lara, kita kembali lagi ke duka lara.
Dalam duka lara, kita dihibur lagi. Presiden tidak nafikan kenyataan. Ia ingatkan adanya bahaya. Akhir-akhir ini mucul beberapa kelompok yang menolak Pancasila sebagai dasar negara. Mereka inginkan ideologi tertentu jadi dasar negara. Di beberapa daerah muncul sejumlah gerakan separatis yang menolak konsep negara kesatuan.
Terhadap gerakan ini, negara tidak diam. Dalam perkembangan, kata presiden, polisi berhasil mengungkap dan menanggulangi berbagai upaya mengganti keempat konsensus dasar. Lagi-lagi, kita terhibur. Tapi, lagi-lagi, cuma sejenak. Cuma sepanjang kata sambutan. Dari sambutan, kita kembali lagi ke sumbatan.
Salah satu sumbatan: kita belum benar-benar merdeka dalam kemajemukan. Padahal, salah satu konsensus dasar kita adalah Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi satu. Satu tapi berbeda-beda. Baik pada era Orla, Orba, maupun era Reformasi, pilar ini belum berdiri tegak lurus. Masih miring ke satu sisi. Gaya beratnya masih ke “persatuan”, menjauhi “kemajemukan”.
Pada era Orla, persatuan nasional menjadi akumulasi kehendak dan kekuatan revolusioner. Segala perbedaan suku, budaya, agama, bahasa, dinomorduakan. Bahkan, kemajemukan harus dikorbankan demi kepentingan ‘bangsa’ (nation). Soekarno menyebutnya “samenbundeling van alle revolutionaire krachten” (penyatu-paduan semua kekuatan dan tenaga revolusioner).
Pada era Orba, kemajemukan tetap dikorbankan. Namun, dengan tekanan baru. Bukan lagi dami kepentingan ‘bangsa’ seperti pada Orla, tapi demi kepentingan ‘negara’ (state). Kemerdekaan, yang oleh Soekarno diperuntukkan bagi ‘penyatu-paduan semua kekuatan dan tenaga revolusioner’, oleh Soeharto diidentikan dengan ‘pembangunan’. Demi pembangunan, persatuan pun diganti dengan stabilitas dan penyeragaman.
Pada era Reformasi, kemajemukan tetap dikorbankan. Kali ini, bukan demi kepentingan ‘bangsa’ (Orla), bukan pula demi kepentingan ‘negara’ (Orba), tapi demi kepentingan kelompok ‘warga’ (citizen). Yang mengkhawatirkan, pergeseran ini terjadi bukan karena negara kuat, tapi karena negara lemah. Betapa berbahayanya! Warga yang tidak siap bermajemuk, hidup dalam negara yang strukturnya goyah. Warga bisa mengambil ahli fungsi negara.
Itulah yang kini terjadi. Warga bisa bertindak sesukanya terhadap warga lain. Warga bebas lakukan sweeping, memblokir jalan raya, menyegel sekolah, membakar tempat ibadah, mengubrak-abrik tempat hiburan, merazia KTP warga lain, dll. Negara seakan tak berdaya. Aparatnya seakan tak percaya diri.
Selasa, 17 Agustus 2010, kita rayakan HUT ke-65 kemerdekaan. Kenyataan yang kita hadapi: di satu sisi, kita semakin memiliki ‘kemerdekaan politik’ (political freedom). Ini baiknya. Namun, di lain sisi, kita semakin kehilangan ‘hak sebagai penduduk’ (civil liberty). Ini aibnya.
“Bentara” FLORES POS, Senin 16 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Presiden SBY menegaskan, bangsa Indonesia harus pertahankan empat konsensus dasar. Yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Penegasan itu disampaikan dalam ramah tamah dan buka puasa bersama para perintis kemerdekaan, veteran, dan purnawirawan, di Istana Negara, Jakarta, Jumat 13 Agustus 2010 (Flores Pos Sabtu 14 Agustus 2010).
Mendengar ini, kita terhibur. Semacam pelipur lara. Tapi cuma sejenak. Cuma sepanjang kata sambutan. Sesudahnya, kita kembali ke kenyataan. Ke praktik kehidupan bernegara. Makin jauh panggang dari api. Makin jauh kenyataan dari pernyataan. Dari pelipur lara, kita kembali lagi ke duka lara.
Dalam duka lara, kita dihibur lagi. Presiden tidak nafikan kenyataan. Ia ingatkan adanya bahaya. Akhir-akhir ini mucul beberapa kelompok yang menolak Pancasila sebagai dasar negara. Mereka inginkan ideologi tertentu jadi dasar negara. Di beberapa daerah muncul sejumlah gerakan separatis yang menolak konsep negara kesatuan.
Terhadap gerakan ini, negara tidak diam. Dalam perkembangan, kata presiden, polisi berhasil mengungkap dan menanggulangi berbagai upaya mengganti keempat konsensus dasar. Lagi-lagi, kita terhibur. Tapi, lagi-lagi, cuma sejenak. Cuma sepanjang kata sambutan. Dari sambutan, kita kembali lagi ke sumbatan.
Salah satu sumbatan: kita belum benar-benar merdeka dalam kemajemukan. Padahal, salah satu konsensus dasar kita adalah Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi satu. Satu tapi berbeda-beda. Baik pada era Orla, Orba, maupun era Reformasi, pilar ini belum berdiri tegak lurus. Masih miring ke satu sisi. Gaya beratnya masih ke “persatuan”, menjauhi “kemajemukan”.
Pada era Orla, persatuan nasional menjadi akumulasi kehendak dan kekuatan revolusioner. Segala perbedaan suku, budaya, agama, bahasa, dinomorduakan. Bahkan, kemajemukan harus dikorbankan demi kepentingan ‘bangsa’ (nation). Soekarno menyebutnya “samenbundeling van alle revolutionaire krachten” (penyatu-paduan semua kekuatan dan tenaga revolusioner).
Pada era Orba, kemajemukan tetap dikorbankan. Namun, dengan tekanan baru. Bukan lagi dami kepentingan ‘bangsa’ seperti pada Orla, tapi demi kepentingan ‘negara’ (state). Kemerdekaan, yang oleh Soekarno diperuntukkan bagi ‘penyatu-paduan semua kekuatan dan tenaga revolusioner’, oleh Soeharto diidentikan dengan ‘pembangunan’. Demi pembangunan, persatuan pun diganti dengan stabilitas dan penyeragaman.
Pada era Reformasi, kemajemukan tetap dikorbankan. Kali ini, bukan demi kepentingan ‘bangsa’ (Orla), bukan pula demi kepentingan ‘negara’ (Orba), tapi demi kepentingan kelompok ‘warga’ (citizen). Yang mengkhawatirkan, pergeseran ini terjadi bukan karena negara kuat, tapi karena negara lemah. Betapa berbahayanya! Warga yang tidak siap bermajemuk, hidup dalam negara yang strukturnya goyah. Warga bisa mengambil ahli fungsi negara.
Itulah yang kini terjadi. Warga bisa bertindak sesukanya terhadap warga lain. Warga bebas lakukan sweeping, memblokir jalan raya, menyegel sekolah, membakar tempat ibadah, mengubrak-abrik tempat hiburan, merazia KTP warga lain, dll. Negara seakan tak berdaya. Aparatnya seakan tak percaya diri.
Selasa, 17 Agustus 2010, kita rayakan HUT ke-65 kemerdekaan. Kenyataan yang kita hadapi: di satu sisi, kita semakin memiliki ‘kemerdekaan politik’ (political freedom). Ini baiknya. Namun, di lain sisi, kita semakin kehilangan ‘hak sebagai penduduk’ (civil liberty). Ini aibnya.
“Bentara” FLORES POS, Senin 16 Agustus 2010
Label:
bentara,
flores pos,
hut ke-65 ri,
indonesia,
kemajemukan,
orba,
orla,
politik,
reformasi
14 Agustus 2010
Ende: Momentum Kedua
Kasus Dinas PU sebagai Titik Star
Oleh Frans Anggal
Kadis PU Kabupaten Ende Yos Mario Lanamana melapor kepada Sekda Yoseph Ansar Rera perusakan kantornya oleh rekanan Paskalis Lanamana. Selanjutnya, kadis tunggu koordinasi sekda. Sekda merekam adanya ketidakpuasan rekanan terhadap panitia tender. Akan ditelusuri. Selanjutnya, sekda tunggu kebijakan bupati (Flores Pos Jumat 13 Agustus 2010).
Kadis tunggu sekda. Sekda tunggu bupati. Itu tata langkah birokrasi. Sosiolog Peter L Berger menyebut “tata langkah yang layak” untuk setiap prosedur birokrasi yang mengikuti aturan dan tata urut rasional. Bahwa kemudian terkesan lamban---sehingga lahir konotasi ‘berbelit-belit’ untuk semua hal birokratis---, apa boleh buat. Tata langkah harus tetap berada dalam kompentensi. Tidak boleh, demi cepatnya prosedur, kadis men-sekda-kan diri atau sekda berlagak bupati.
Demi “tata langkah yang layak”, penyelesaian birokrasi atau politik kasus Dinas PU tak mungkin secepat kilat. Yang bisa cepat, penyelesaian hukum. Narasinya ringkas. Merasa dirugikan dalam tender, Kalis Lanamana mengamuk di kantor Dinas PU Ende, Rabu 11 Agustus 2010. Bersenjatakan parang, ia ubrak-abrik ruang kerja kabid dan kadis (Flores Pos Kamis 12 Agustus 2010).
Semua unsur tindak pidana terpenuhi. Keterlaluan kalau penyelesaian hukum lamban. Tidak demikian dengan penyelesaian politik. Apalagi kalau mau temukan akar masalah dan cari jalan keluar. Belum lagi kalau akar itu berkelindan dengan akar di luar instansi. Indikasinya ada, dari pernyataan Kalis.
Dia bilang, sejumlah proyek yang ditenderkan sudah ada jagonya. Saat dia tanya, dijawab bahwa itu proyeknya anggota DPRD Ende. Kalau ini benar maka, dalam apa yang disebut Kalis “sindikat kejahatan proyek”, anggota DPRD terlibat. Anggota DPRD ikut merusak Dinas PU. Karena duit, pengontrol kecantol. Demi duit, pagar makan tanaman.
DPRD sudah agendakan pertemuan dengan Dinas PU. Tepat. Akan lebih tepat kalau yang ‘diperiksa’ bukan hanya kadis, kabid, dan panitia tender. DPRD perlu ‘periksa diri’. Di sini, Badan Kehormatan Dewan perlu proaktif. Jangan hanya tunggu laporan menurut definisi penyidik. Pernyataan Kalis mengutip panitia tender itu sudah ‘laporan’ (report) karena merupakan hasil wawancara “reporter” dan dipublikasikan sebagai “reportase”.
Kita berharap, ‘pemeriksaan’ oleh DPRD di satu sisi dan oleh bupati di sisi lain akan menuju dan mencapai titik temu. Ini momentum, kalau Ende di bawah Bupati Don Wangge dan Wabup Achmad Mochdar benar-benar ingin memenuhi janjinya saat dilantik dulu: reformasi birokrasi.
Yang kasat mata selama ini baru mutasi. Mutasi bisa jadi jalan reformasi, tapi tak identik. Bisa saja, reformasi tanpa mutasi. Sebab, inti reformasi adalah perbaikan ‘kembali’ (re-) ‘bentuk’ (forma). Perbaikan kinerja (performance). “Wajah boleh lama, asal hati baru”. Itu lebih reformatif ketimbang “wajah baru, tapi hati lama”.
Selama ini, sebatas “wajah baru, tapi hati lama”. Wajah baru itu pun wajah pucuknya saja dari pohon SKPD. Pucuk boleh baru, tapi kalau sebagian besar daun, ranting, dahan, batang, dan akar tidak sehat, buahnya pasti jelek. Malah bisa aneh. Seaneh lirik lagu Broery Marantika: “buah semangka berdaun sirih”. Sirih rasa semangka, mendingan. Bayangkan kalau semangka rasa sirih.
Kita berharap, penyelesaian kasus Dinas PU Ende menjadi momentum kedua reformasi birokrasi. Pucuk pohon SKPD-nya sudah. Tinggal ranting, dahan, batang, dan akarnya. Wajahnya sudah. Tinggal hatinya.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 14 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Kadis PU Kabupaten Ende Yos Mario Lanamana melapor kepada Sekda Yoseph Ansar Rera perusakan kantornya oleh rekanan Paskalis Lanamana. Selanjutnya, kadis tunggu koordinasi sekda. Sekda merekam adanya ketidakpuasan rekanan terhadap panitia tender. Akan ditelusuri. Selanjutnya, sekda tunggu kebijakan bupati (Flores Pos Jumat 13 Agustus 2010).
Kadis tunggu sekda. Sekda tunggu bupati. Itu tata langkah birokrasi. Sosiolog Peter L Berger menyebut “tata langkah yang layak” untuk setiap prosedur birokrasi yang mengikuti aturan dan tata urut rasional. Bahwa kemudian terkesan lamban---sehingga lahir konotasi ‘berbelit-belit’ untuk semua hal birokratis---, apa boleh buat. Tata langkah harus tetap berada dalam kompentensi. Tidak boleh, demi cepatnya prosedur, kadis men-sekda-kan diri atau sekda berlagak bupati.
Demi “tata langkah yang layak”, penyelesaian birokrasi atau politik kasus Dinas PU tak mungkin secepat kilat. Yang bisa cepat, penyelesaian hukum. Narasinya ringkas. Merasa dirugikan dalam tender, Kalis Lanamana mengamuk di kantor Dinas PU Ende, Rabu 11 Agustus 2010. Bersenjatakan parang, ia ubrak-abrik ruang kerja kabid dan kadis (Flores Pos Kamis 12 Agustus 2010).
Semua unsur tindak pidana terpenuhi. Keterlaluan kalau penyelesaian hukum lamban. Tidak demikian dengan penyelesaian politik. Apalagi kalau mau temukan akar masalah dan cari jalan keluar. Belum lagi kalau akar itu berkelindan dengan akar di luar instansi. Indikasinya ada, dari pernyataan Kalis.
Dia bilang, sejumlah proyek yang ditenderkan sudah ada jagonya. Saat dia tanya, dijawab bahwa itu proyeknya anggota DPRD Ende. Kalau ini benar maka, dalam apa yang disebut Kalis “sindikat kejahatan proyek”, anggota DPRD terlibat. Anggota DPRD ikut merusak Dinas PU. Karena duit, pengontrol kecantol. Demi duit, pagar makan tanaman.
DPRD sudah agendakan pertemuan dengan Dinas PU. Tepat. Akan lebih tepat kalau yang ‘diperiksa’ bukan hanya kadis, kabid, dan panitia tender. DPRD perlu ‘periksa diri’. Di sini, Badan Kehormatan Dewan perlu proaktif. Jangan hanya tunggu laporan menurut definisi penyidik. Pernyataan Kalis mengutip panitia tender itu sudah ‘laporan’ (report) karena merupakan hasil wawancara “reporter” dan dipublikasikan sebagai “reportase”.
Kita berharap, ‘pemeriksaan’ oleh DPRD di satu sisi dan oleh bupati di sisi lain akan menuju dan mencapai titik temu. Ini momentum, kalau Ende di bawah Bupati Don Wangge dan Wabup Achmad Mochdar benar-benar ingin memenuhi janjinya saat dilantik dulu: reformasi birokrasi.
Yang kasat mata selama ini baru mutasi. Mutasi bisa jadi jalan reformasi, tapi tak identik. Bisa saja, reformasi tanpa mutasi. Sebab, inti reformasi adalah perbaikan ‘kembali’ (re-) ‘bentuk’ (forma). Perbaikan kinerja (performance). “Wajah boleh lama, asal hati baru”. Itu lebih reformatif ketimbang “wajah baru, tapi hati lama”.
Selama ini, sebatas “wajah baru, tapi hati lama”. Wajah baru itu pun wajah pucuknya saja dari pohon SKPD. Pucuk boleh baru, tapi kalau sebagian besar daun, ranting, dahan, batang, dan akar tidak sehat, buahnya pasti jelek. Malah bisa aneh. Seaneh lirik lagu Broery Marantika: “buah semangka berdaun sirih”. Sirih rasa semangka, mendingan. Bayangkan kalau semangka rasa sirih.
Kita berharap, penyelesaian kasus Dinas PU Ende menjadi momentum kedua reformasi birokrasi. Pucuk pohon SKPD-nya sudah. Tinggal ranting, dahan, batang, dan akarnya. Wajahnya sudah. Tinggal hatinya.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 14 Agustus 2010
Label:
bentara,
birokrasi,
dinss pu ende,
dprd ende,
ende,
flores,
flores pos,
mutasi,
reformasi birokrasi,
tender proyek
Amuk di Dinas PU Ende
Rekanan Kecewa dengan Panitia Tender
Oleh Frans Anggal
Merasa dirugikan dalam tender di Bidang Bina Marga, rekanan Paskalis Lanamana mengamuk di kantor Dinas PU Ende, Rabu 11 Agustus 2010. Bersenjatakan parang, ia ubrak-abrik ruang kerja Kabid Bina Marga Frans Lewang dan ruang kerja Kadis PU Yos Lanamana. Kaca meja, lemari, jendela hancur (Flores Pos Kamis 12 Agustus 2010).
Ini jelas tindak pidana. Semua unsur terpenuhi. Pelakunya, perbuatannya, motifnya, akibatnya, saksinya, barang buktinya. Proses hukum tidak bakal rumit. Tinggal saja polisi bertindak.
Modus tindakannya memperlihatkan secara mencolok tidak hanya aksi pidananya, tapi juga alasan dan tujuannya. Alasannya: tender di Bina Marga tidak transparan. Kolutif. Hanya formalitas. Jagonya sudah ada. Yang menang orang yang sama.
Kalis menyebut ini sindikat kejahatan proyek. Rekanan lain sulit menang. Ia sendiri tujuh kali ikut tender, kalah melulu. Angka 7 seakan simbol kepe¬nuh¬an kecewanya. Ia tak tahan lagi. Pake cara elegan tidak mempan. Maka ia pake cara preman.
Tujuannya: membongkar sindikasi. Agar dike¬tahui dan diatasi. Bagaimana diatasi, kabid Bina Marga dan kadis PU perlu diganti. Desakan ini mengandung dua kemungkinan sebab. Kabid dan kadis sudah tak berdaya mengatasi sindikat kejahatan proyek di instansinya. Atau, keduanya justru sudah jadi simpul penting sindikat itu.
Berbeda dengan Kalis, Ketua Gabpeknas Gaspar Gatot berpendapat, yang perlu segera diganti, kabid Bina Marga. Sang kabid terlalu lama di tempatnya. Tidak pindah-pindah sejak ia jadi tenaga honorer. Keberlamaan ini memudahkan sindikat kejahatan proyek. Ibarat pohon, makin lama makin berakar. Akarnya bisa menjadi tentakel gurita yang menjangkau, membelit, dan menyedot.
Kalis dan Gatot berbicara seakan-akan mereka Baperjakat. Boleh jadi mereka dinilai tidak tahu diri. Itu harga yang harus mereka bayar. Tapi, kecerewetan mereka ada benarnya. Terlalu lama pada satu jabatan, berbahaya. Jika kelamaan, jabatan bisa dianggap sebagai milik. Namanya milik, ya, suka-sukanya saya. Mau diapakan, terserah saya. Aturan pun saya atur, bukan saya taati. Dalam tender, bukan lagi "semua ada aturannya", tapi "semuanya bisa diatur". Sindikat kejahatan proyek mudah lahir dari sini.
Prinsipnya, bertahan lama pada satu jabatan publik dapat dibenarkan. Namun, hanya atas dasar integritas, kinerja, dan prestasi luar biasa, serta pertimbangan besarnya risiko bagi publik jika jabatan itu dialihkan. Yang begini, langka. Amerika Serikat punya Alan Greenspan. Hampir 20 tahun (1987-2006) ia menjabat Gubernur Bank Sentral AS (The Fed). Ia dijuluki "a rock-star central-banker". Investor dan pelaku pasar menganggapnya manusia setengah dewa. Ia sang maestro. Ikon ekonomi AS.
Yang tidak seistimewa Greenspan tentu perlu diganti. Perlu ada sirkulasi. Tanpa sirkulasi, kekuasaan mudah bobrok. Karena itulah kita bikin pemilu, pilpres, dll, setiap lima tahun. Alam sendiri ajarkan kita. Bumi bersirkulasi mengitari porosnya dan mengitari matahari. Tanpa sirkulasi, udara ruangan akan pengap. Tanpa sirkulasi, air kolam renang akan bercampur lendir tubuh kita sendiri.
Kembali ke amuk di Dinas PU Ende. Di satu sisi, tindakan Kalis Lanamana tidak dapat dibenarkan. Ia patut dihukum. Di lain sisi, tindakannya dapat dimengerti. Juga ada hikmahnya. Ia 'mengingatkan' bupati dan wabup. Di Dinas PU, ada sindikasi, dan perlunya sirkulasi.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 13 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Merasa dirugikan dalam tender di Bidang Bina Marga, rekanan Paskalis Lanamana mengamuk di kantor Dinas PU Ende, Rabu 11 Agustus 2010. Bersenjatakan parang, ia ubrak-abrik ruang kerja Kabid Bina Marga Frans Lewang dan ruang kerja Kadis PU Yos Lanamana. Kaca meja, lemari, jendela hancur (Flores Pos Kamis 12 Agustus 2010).
Ini jelas tindak pidana. Semua unsur terpenuhi. Pelakunya, perbuatannya, motifnya, akibatnya, saksinya, barang buktinya. Proses hukum tidak bakal rumit. Tinggal saja polisi bertindak.
Modus tindakannya memperlihatkan secara mencolok tidak hanya aksi pidananya, tapi juga alasan dan tujuannya. Alasannya: tender di Bina Marga tidak transparan. Kolutif. Hanya formalitas. Jagonya sudah ada. Yang menang orang yang sama.
Kalis menyebut ini sindikat kejahatan proyek. Rekanan lain sulit menang. Ia sendiri tujuh kali ikut tender, kalah melulu. Angka 7 seakan simbol kepe¬nuh¬an kecewanya. Ia tak tahan lagi. Pake cara elegan tidak mempan. Maka ia pake cara preman.
Tujuannya: membongkar sindikasi. Agar dike¬tahui dan diatasi. Bagaimana diatasi, kabid Bina Marga dan kadis PU perlu diganti. Desakan ini mengandung dua kemungkinan sebab. Kabid dan kadis sudah tak berdaya mengatasi sindikat kejahatan proyek di instansinya. Atau, keduanya justru sudah jadi simpul penting sindikat itu.
Berbeda dengan Kalis, Ketua Gabpeknas Gaspar Gatot berpendapat, yang perlu segera diganti, kabid Bina Marga. Sang kabid terlalu lama di tempatnya. Tidak pindah-pindah sejak ia jadi tenaga honorer. Keberlamaan ini memudahkan sindikat kejahatan proyek. Ibarat pohon, makin lama makin berakar. Akarnya bisa menjadi tentakel gurita yang menjangkau, membelit, dan menyedot.
Kalis dan Gatot berbicara seakan-akan mereka Baperjakat. Boleh jadi mereka dinilai tidak tahu diri. Itu harga yang harus mereka bayar. Tapi, kecerewetan mereka ada benarnya. Terlalu lama pada satu jabatan, berbahaya. Jika kelamaan, jabatan bisa dianggap sebagai milik. Namanya milik, ya, suka-sukanya saya. Mau diapakan, terserah saya. Aturan pun saya atur, bukan saya taati. Dalam tender, bukan lagi "semua ada aturannya", tapi "semuanya bisa diatur". Sindikat kejahatan proyek mudah lahir dari sini.
Prinsipnya, bertahan lama pada satu jabatan publik dapat dibenarkan. Namun, hanya atas dasar integritas, kinerja, dan prestasi luar biasa, serta pertimbangan besarnya risiko bagi publik jika jabatan itu dialihkan. Yang begini, langka. Amerika Serikat punya Alan Greenspan. Hampir 20 tahun (1987-2006) ia menjabat Gubernur Bank Sentral AS (The Fed). Ia dijuluki "a rock-star central-banker". Investor dan pelaku pasar menganggapnya manusia setengah dewa. Ia sang maestro. Ikon ekonomi AS.
Yang tidak seistimewa Greenspan tentu perlu diganti. Perlu ada sirkulasi. Tanpa sirkulasi, kekuasaan mudah bobrok. Karena itulah kita bikin pemilu, pilpres, dll, setiap lima tahun. Alam sendiri ajarkan kita. Bumi bersirkulasi mengitari porosnya dan mengitari matahari. Tanpa sirkulasi, udara ruangan akan pengap. Tanpa sirkulasi, air kolam renang akan bercampur lendir tubuh kita sendiri.
Kembali ke amuk di Dinas PU Ende. Di satu sisi, tindakan Kalis Lanamana tidak dapat dibenarkan. Ia patut dihukum. Di lain sisi, tindakannya dapat dimengerti. Juga ada hikmahnya. Ia 'mengingatkan' bupati dan wabup. Di Dinas PU, ada sindikasi, dan perlunya sirkulasi.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 13 Agustus 2010
Label:
bentara,
dinss pu ende,
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
tender proyek
12 Agustus 2010
Di Ujung Timur Flores
Tenggelamnya KM Hasnita 3 di Selat Boleng
Oleh Frans Anggal
KM Hasnita 3 tenggelam di perairan Selat Boleng, Kabupaten Lembata, Senin 9 Agustus 2010. Sepuluh orang meninggal, belasan luka-luka, 20 belum ditemukan. Tim SAR masih lakukan pencarian. Nakhoda Awan Jacob sudah diamankan di polres. (Flores Pos Selasa-Rabu, 10-11 Agustus 2010).
Di perairan ujung timur Flores, ini kecelakaan ketiga tahun 2010. Pada 22 Januari, sebuh kapal tenggelam di perairan Dermaga Larantuka. KM Siti Nirmala. Kapal milik Pemkab Flotim. Pada 2 Februari, juga di perairan Dermaga Larantuka, sebuah kapal menabark kapal lain. Penabark, KM Torani 2. Kapal milik Pemkab Lembata. Yang ditabrak, KM Mitra Abadi. Kapal milik nelayan. Mitra Abadi tenggelam. Awaknya selamat. Torani 2 hanya rusak sedikit pada bagian haluan. Penumpangnya, Bupati Andres Duli Manuk dan Nyonya, selamat.
Enam bulan berselang, 9 Agustus, kecelakaan terjadi lagi. Kali ini di Lembata, di perairan Selat Boleng. Menimpa KM Hasnita 3. Kapal milik swasta. Dari 50-an penumpang, 10 tewas, 20 sedang dicari. Semoga ditemukan selamat. Jika tidak, lebih dari setengah penumpang tewas. Sungguh kecelakan yang luar biasa.
Peristiwa ini beruntun. Menimpa dua kabupaten di ujung timur Flores. Kabupaten yang terdiri dari beberapa pulau. Bahasa Indonesia salah kaprah menyebutnya ”kabupaten (ke)pulau(an)”, merujuk ”wilayah kepulauan” sebagai terjemahan keliru dari archipelago. Kata archipelago berasal dari kata Yunani, arch (utama, besar) dan pelagos (laut). Maka, terjemahan yang tepat adalah ”wilayah kelautan (utama)”, bukan ”wilayah kepulauan”.
Kekeliruan bahasa ini, tidak disadari, mempengaruh cara orang Indonesia mewawas wilayahnya. Indonesia dilihat tidak sebagai hamparan laut yang ditaburi pulau, tapi lebih sebagai kumpulan nusa yang di-antara-i laut. Sehingga lahirlah nusa-antara, nusantara. Kita lebih memelototi nusa-nya. Kurang memandang peng-antara-nya. Kita lebih memperhatikan pulaunya. Kurang memedulikan lautnya. Padahal, wilayah terluas kita laut, bukan darat.
Cara wawas keliru ini berdampak pada cara kita mengatur negeri. Banyak contoh. Di bidang hankam, Angkatan Laut belum sungguh diperhatikan. Padahal, Indonesia negara kelautan. Luas lautnya 5,8 juta kilometer persegi. Garis pantainya 81 kali panjang Pulau Jawa. Tapi, apa yang dimiliki Angkatan Laut kita? Lebih dari 80 persen kapal yang bertugas menghubungi pulau-pulau sudah berusia lebih dari 30 tahun (Tempo, 19-26 Januari 2009).
Kondisi menyedihkan ini melahirkan humor ketika Indonesia bersitegang dengan Malaysia di wilayah perbatasan, yang notabene wilayah laut. Kata si empunya humor, Malaysia tidak akan menembak kapal perang Indonesia. Itu buang-buang peluru saja. Tidak perlu ditembak, kapal perang Indonesia akan tenggelam sendiri koq. Saking tuanya!
Itu humornya. Seriusnya, karena fokus kita daratan, maka kekayaan laut kita mubazir. Menadi makanan empuk kapal-kapal asing. Karena fokus kita keselamatan di darat, maka kecelakaan laut jadi biasa. Bisnis angkutan sungai, danau, dan perairan mengandalkan nekat. Yang penting untung. Segi keselamatan diterlantarkan. Ini sudah lama. Karena, pengawasan pemerintah kurang.
Kenapa kurang? Karena, cara pandang pemerintah belum berubah. Di Flotim dan Lembata sekalipun, pemerintahnya masih memandang dan memperlakukan kabupatennya lebih sebagai kabupaten (ke)pulau(an). Belum sebagai kabupaten kelautan. Dua kabupaten ini membutuhkan pemimpin bervisi maritim. Dengan demikian, mudah-mudahan, pengeboman ikan dan kecelakaan laut berkurang.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 12 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
KM Hasnita 3 tenggelam di perairan Selat Boleng, Kabupaten Lembata, Senin 9 Agustus 2010. Sepuluh orang meninggal, belasan luka-luka, 20 belum ditemukan. Tim SAR masih lakukan pencarian. Nakhoda Awan Jacob sudah diamankan di polres. (Flores Pos Selasa-Rabu, 10-11 Agustus 2010).
Di perairan ujung timur Flores, ini kecelakaan ketiga tahun 2010. Pada 22 Januari, sebuh kapal tenggelam di perairan Dermaga Larantuka. KM Siti Nirmala. Kapal milik Pemkab Flotim. Pada 2 Februari, juga di perairan Dermaga Larantuka, sebuah kapal menabark kapal lain. Penabark, KM Torani 2. Kapal milik Pemkab Lembata. Yang ditabrak, KM Mitra Abadi. Kapal milik nelayan. Mitra Abadi tenggelam. Awaknya selamat. Torani 2 hanya rusak sedikit pada bagian haluan. Penumpangnya, Bupati Andres Duli Manuk dan Nyonya, selamat.
Enam bulan berselang, 9 Agustus, kecelakaan terjadi lagi. Kali ini di Lembata, di perairan Selat Boleng. Menimpa KM Hasnita 3. Kapal milik swasta. Dari 50-an penumpang, 10 tewas, 20 sedang dicari. Semoga ditemukan selamat. Jika tidak, lebih dari setengah penumpang tewas. Sungguh kecelakan yang luar biasa.
Peristiwa ini beruntun. Menimpa dua kabupaten di ujung timur Flores. Kabupaten yang terdiri dari beberapa pulau. Bahasa Indonesia salah kaprah menyebutnya ”kabupaten (ke)pulau(an)”, merujuk ”wilayah kepulauan” sebagai terjemahan keliru dari archipelago. Kata archipelago berasal dari kata Yunani, arch (utama, besar) dan pelagos (laut). Maka, terjemahan yang tepat adalah ”wilayah kelautan (utama)”, bukan ”wilayah kepulauan”.
Kekeliruan bahasa ini, tidak disadari, mempengaruh cara orang Indonesia mewawas wilayahnya. Indonesia dilihat tidak sebagai hamparan laut yang ditaburi pulau, tapi lebih sebagai kumpulan nusa yang di-antara-i laut. Sehingga lahirlah nusa-antara, nusantara. Kita lebih memelototi nusa-nya. Kurang memandang peng-antara-nya. Kita lebih memperhatikan pulaunya. Kurang memedulikan lautnya. Padahal, wilayah terluas kita laut, bukan darat.
Cara wawas keliru ini berdampak pada cara kita mengatur negeri. Banyak contoh. Di bidang hankam, Angkatan Laut belum sungguh diperhatikan. Padahal, Indonesia negara kelautan. Luas lautnya 5,8 juta kilometer persegi. Garis pantainya 81 kali panjang Pulau Jawa. Tapi, apa yang dimiliki Angkatan Laut kita? Lebih dari 80 persen kapal yang bertugas menghubungi pulau-pulau sudah berusia lebih dari 30 tahun (Tempo, 19-26 Januari 2009).
Kondisi menyedihkan ini melahirkan humor ketika Indonesia bersitegang dengan Malaysia di wilayah perbatasan, yang notabene wilayah laut. Kata si empunya humor, Malaysia tidak akan menembak kapal perang Indonesia. Itu buang-buang peluru saja. Tidak perlu ditembak, kapal perang Indonesia akan tenggelam sendiri koq. Saking tuanya!
Itu humornya. Seriusnya, karena fokus kita daratan, maka kekayaan laut kita mubazir. Menadi makanan empuk kapal-kapal asing. Karena fokus kita keselamatan di darat, maka kecelakaan laut jadi biasa. Bisnis angkutan sungai, danau, dan perairan mengandalkan nekat. Yang penting untung. Segi keselamatan diterlantarkan. Ini sudah lama. Karena, pengawasan pemerintah kurang.
Kenapa kurang? Karena, cara pandang pemerintah belum berubah. Di Flotim dan Lembata sekalipun, pemerintahnya masih memandang dan memperlakukan kabupatennya lebih sebagai kabupaten (ke)pulau(an). Belum sebagai kabupaten kelautan. Dua kabupaten ini membutuhkan pemimpin bervisi maritim. Dengan demikian, mudah-mudahan, pengeboman ikan dan kecelakaan laut berkurang.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 12 Agustus 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
flotim,
kecelakaan laut,
lembata,
pelayaran,
visi maritim
11 Agustus 2010
Marhaban ya Ramadhan!
Puasa Berdimensi Sosial
Oleh Frans Anggal
Menyambut bulan suci Ramadhan, Sarwo Centre bekerja sama dengan Apotek Trio Farma selenggarakan khitanan massal bagi 110 anak dari empat kecamatan dalam kota Ende, Sabtu 7 Agustus 2010. Khitanan berlangsung di kediaman anggota DPRD Ende Sarwo Edi. Khitanan ini meringankan beban keluarga kurang mampu (Flores Pos Senin 9 Agustus 2010).
Sarwo Edi. Dia makhluk ’langka’. Dia politikus ’tidak biasa’. Ia peduli pada derita sesama. Itu tidak hanya sekali dua. Kegiatan amal sudah sering ia lakukan. Bahwa itu karena ia mampu, ya. Tapi bukan hanya karena itu. Ia punya hati.
Dengan kegiatan amalnya, tanpa berkhotbah, Sarwo Edi perlihatkan satu hal. Puasa itu berdimensi sosial. Rahmat yang diturunkan Allah dalam masa puasa tidak hanya rahmat personal. Tapi rahmat sosial juga. Makna pertobatan pribadi dan kemenangan dalam mencapai fitrah sejati diri sendiri semestinya membawa dampak positif bagi sesama, terutama sesama yang kurang mampu.
Sesama di sini, sesama manusia. Bukan hanya sesama umat Islam. Sarwo Edi menunjukkan itu. Pihak yang terlibat dalam kegiatan ini tidak eksklusif Islam. Apotek Trio Farma mitra Sarwo Centre adalah milik Dokter Gusti Ngasu, seorang Katolik. Ketua panitianya pun Don Bosco Watu, seorang Katolik.
Hikmah apakah ini? Setiap hamba Allah yang sadar akan fitrahnya akan mampu melihat keluhuran fitrah sesamanya. Tanpa melihat perbedaan agama, suku, budaya, bahasa. Yang dilihatnya hanya kemanusiaan setiap manusia. Lainnya tidak. Sebab, di dalam Kemanusiaan Yang Maha Esa, semua perbedaan itu hanya kulit pembungkus fitrah sejati manusia. Analog dengan bayi. Semua bayi dilahirkan telanjang. Begitu ia diberi kulit pembungkus (pakaian), muncullah perbedaan: ini anak petani, ini anak pejabat. Ornamen pembungkus itu selalu hadir kemudian. Itu bukti, ornamen atau kulit bukanlah fitrah.
Yang menyedihkan, semua yang bukan fitrah sering diperlakukan seakan-akan fitrah. Dalam praksis, terutama politik, ’pemujaan kulit’ dan ’penyembahan ornamen’ begitu menggila. Sampai berdarah-darah. Sampai menghilangkan nyawa. Tengoklah kasus Ambon. Agama diperalat elite politik dan elite agama untuk mempertahankan status quo dan memperjuangkan kepentingan politik dan ekonomi mereka. Simbol-simbol agama dieksploitasi untuk membakar semangat destruktif umat. Akhirnya, pecahlah konflik horizontal bernuansa agama.
Kita tidak ingin Flores jadi Ambon atau di-Ambon-kan. Kuncinya ada di Ende. Jantungnya Flores. Berbeda dengan kabupaten lain yang mayoritas penduduknya Katolik, Ende khas. Jumlah umat Islamnya signifikan. Ini peluang lahirkan sinergi menjadikan Ende demokratis, adil, dan sejahtera. Tapi juga tantangan kalau simbol-simbol agama dieksploitasi untuk kepentingan elite.
Ambon mulai rusuh justru pada titik ketika jumlah penduduk Islam dan Kristen mulai berimbang. Para elite mulai berebut sumber daya, mengandalkan kekuatan primordial masing-masing. Untuk mendapat dukungan luas, mereka kibarkan simbol-simbol agama. Hal sensitif ini mudah membakar semangat destruktif umat. Dan, terjadilah. Filosofi ”pela gandong” mati terinjak-injak.
Kita tidak ingin Flores seperti itu. Kuncinya di Ende. Jantungnya Flores. Kita optimistis, semua kita mampu dan punya hati melihat keluhuran fitrah sesama. Sesama hamba Allah. Dalam Kemanusiaan Yang Maha Esa. Marhaban ya Ramadhan!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 11 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Menyambut bulan suci Ramadhan, Sarwo Centre bekerja sama dengan Apotek Trio Farma selenggarakan khitanan massal bagi 110 anak dari empat kecamatan dalam kota Ende, Sabtu 7 Agustus 2010. Khitanan berlangsung di kediaman anggota DPRD Ende Sarwo Edi. Khitanan ini meringankan beban keluarga kurang mampu (Flores Pos Senin 9 Agustus 2010).
Sarwo Edi. Dia makhluk ’langka’. Dia politikus ’tidak biasa’. Ia peduli pada derita sesama. Itu tidak hanya sekali dua. Kegiatan amal sudah sering ia lakukan. Bahwa itu karena ia mampu, ya. Tapi bukan hanya karena itu. Ia punya hati.
Dengan kegiatan amalnya, tanpa berkhotbah, Sarwo Edi perlihatkan satu hal. Puasa itu berdimensi sosial. Rahmat yang diturunkan Allah dalam masa puasa tidak hanya rahmat personal. Tapi rahmat sosial juga. Makna pertobatan pribadi dan kemenangan dalam mencapai fitrah sejati diri sendiri semestinya membawa dampak positif bagi sesama, terutama sesama yang kurang mampu.
Sesama di sini, sesama manusia. Bukan hanya sesama umat Islam. Sarwo Edi menunjukkan itu. Pihak yang terlibat dalam kegiatan ini tidak eksklusif Islam. Apotek Trio Farma mitra Sarwo Centre adalah milik Dokter Gusti Ngasu, seorang Katolik. Ketua panitianya pun Don Bosco Watu, seorang Katolik.
Hikmah apakah ini? Setiap hamba Allah yang sadar akan fitrahnya akan mampu melihat keluhuran fitrah sesamanya. Tanpa melihat perbedaan agama, suku, budaya, bahasa. Yang dilihatnya hanya kemanusiaan setiap manusia. Lainnya tidak. Sebab, di dalam Kemanusiaan Yang Maha Esa, semua perbedaan itu hanya kulit pembungkus fitrah sejati manusia. Analog dengan bayi. Semua bayi dilahirkan telanjang. Begitu ia diberi kulit pembungkus (pakaian), muncullah perbedaan: ini anak petani, ini anak pejabat. Ornamen pembungkus itu selalu hadir kemudian. Itu bukti, ornamen atau kulit bukanlah fitrah.
Yang menyedihkan, semua yang bukan fitrah sering diperlakukan seakan-akan fitrah. Dalam praksis, terutama politik, ’pemujaan kulit’ dan ’penyembahan ornamen’ begitu menggila. Sampai berdarah-darah. Sampai menghilangkan nyawa. Tengoklah kasus Ambon. Agama diperalat elite politik dan elite agama untuk mempertahankan status quo dan memperjuangkan kepentingan politik dan ekonomi mereka. Simbol-simbol agama dieksploitasi untuk membakar semangat destruktif umat. Akhirnya, pecahlah konflik horizontal bernuansa agama.
Kita tidak ingin Flores jadi Ambon atau di-Ambon-kan. Kuncinya ada di Ende. Jantungnya Flores. Berbeda dengan kabupaten lain yang mayoritas penduduknya Katolik, Ende khas. Jumlah umat Islamnya signifikan. Ini peluang lahirkan sinergi menjadikan Ende demokratis, adil, dan sejahtera. Tapi juga tantangan kalau simbol-simbol agama dieksploitasi untuk kepentingan elite.
Ambon mulai rusuh justru pada titik ketika jumlah penduduk Islam dan Kristen mulai berimbang. Para elite mulai berebut sumber daya, mengandalkan kekuatan primordial masing-masing. Untuk mendapat dukungan luas, mereka kibarkan simbol-simbol agama. Hal sensitif ini mudah membakar semangat destruktif umat. Dan, terjadilah. Filosofi ”pela gandong” mati terinjak-injak.
Kita tidak ingin Flores seperti itu. Kuncinya di Ende. Jantungnya Flores. Kita optimistis, semua kita mampu dan punya hati melihat keluhuran fitrah sesama. Sesama hamba Allah. Dalam Kemanusiaan Yang Maha Esa. Marhaban ya Ramadhan!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 11 Agustus 2010
Label:
agama,
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
puasa islam
09 Agustus 2010
Seda-Say Telah Terpatri
Nama Bandara dan Pelabuahan Laut Maumere
Oleh Frans Anggal
Senin 9 Agustus 2010, Menhub Fredy Numberi meresmikan nama baru bagi bandar udara dan pelabuhan laut Maumete, Kabupaten Sikka. Bandar Udara Frans Seda, menggantikan Waioti. Pelabuhan Laut Lorens Say, menggantikan Sadang Bui (Flores Pos Senin 9 Agustus 2010).
Hari-hari jelang peresmian ini, Sikka ’panas’. Sebagian masyarakat menilai, penggantian nama ini hanya keinginan dari, oleh, dan untuk kepentingan segelintir elite politik Sikka. Prosesnya tidak demokratis. Tertutup. Tanpa uji publik. Tanpa sosialisasi. Motif dan prosedur seperti ini mengecilkan kebesaran Frans Seda dan Lorens Say. Mereka akan lakukan gugatan hukum class action.
Tanggapan elite politik ’diwakili’ pernyataan Ketua DPRD Rafael Raga. Proses penggantian nama telah melewati tahapan yang benar: sosialisasi, rapat, pandangan fraksi, dan paripurna DPRD. Meski demikian, ia minta maaf kepada warga yang tidak puas.
Semua puas, tidak. Semua tidak puas, juga tidak. Tidak semua puas, ya. Tidak semua tidak puas, juga ya. Kalau tunggu semua puas, sulit. Tapi minimal sebagian besar puas, bisa. Untuk memastikannya, cara paling ideal adalah referendum. Tapi makan waktu, makan ongkos. Kapan selesainya? Berapa biayanya? Dari mana anggarannya? Repot!
Agar tidak terlalu repot, tapi bisa representatif, orang melakoni demokrasi perwakilan. Dalam politik, ia jadi electoral politics, gantikan citizenship politics. Dengan demikian, ketika keputusan harus diambil, yang berkonsensus bukan lagi seluruh warga, tapi segelintir elite yang mewakili warga. Apakah yang parsial ini benar-benar mewakili yang total, itu soal. Demokrasi pun bermasalah.
Keterbatasan demokrasi justru pada fasilitas konsensual yang ia sediakan. Demokrasi memang hanya mengolah kebenaran politik di antara mereka yang berkonsensus. Bahkan, konsensus itu harus diwakilkan pada hanya segelintir orang melalui sistem perwakilan politik. Itu berarti peluang bagi praktik oligarki.
Dalam penggantian nama bandar udara dan pelabuhan laut Maumere, praktik oligarki ini yang disorot. Penggantian nama itu hanya keinginan dari, oleh, dan untuk kepentingan segelintir elite politik Sikka. Kalaupun ada sosialisasi, rapat, pandangan fraksi, dan paripurna DPRD, pelakunya tetap saja segelintir elite politik itu, bukan segenap warga.
Mau segenap warga? Bikin saja referendum! Tampaknya, sulit, kecuali gugatan class action diterima. Selain sulit, ’lucu’. Karena, yang nanti tentukan perlu tidaknya referendum tetap saja segelintir elite politik itu. Inilah ironi demokrasi. Apakah demokrasi harus dicampakkan? Tidak. Demokrasi memang bukan ideal terbaik bagi pengaturan politik, namun itu yang termungkin menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warga negara.
Kuncinya tetap manusia: yang bisa berbuat adil, juga bisa sewenang-wenang. Demokrasi ditentukan oleh kapasitas itu. Benar kata Jimmy Carter, presiden AS: ”Kapasitas manusia untuk berbuat adil menyebabkan demokrasi mungkin; kapasitas manusia untuk sewenang-wenang menyebabkan demokrasi perlu.”
Apakah segelintir elite politik Sikka berbuat adil? Ataukah sewenang-wenang? Frans Seda dan Lorens Say tahu jawabannya. Apa pun itu, sudah terjadi. Nama mereka telah terpatri, usai memberi arti, bagi negeri, tempat mengabdi. Selamat!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 10 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Senin 9 Agustus 2010, Menhub Fredy Numberi meresmikan nama baru bagi bandar udara dan pelabuhan laut Maumete, Kabupaten Sikka. Bandar Udara Frans Seda, menggantikan Waioti. Pelabuhan Laut Lorens Say, menggantikan Sadang Bui (Flores Pos Senin 9 Agustus 2010).
Hari-hari jelang peresmian ini, Sikka ’panas’. Sebagian masyarakat menilai, penggantian nama ini hanya keinginan dari, oleh, dan untuk kepentingan segelintir elite politik Sikka. Prosesnya tidak demokratis. Tertutup. Tanpa uji publik. Tanpa sosialisasi. Motif dan prosedur seperti ini mengecilkan kebesaran Frans Seda dan Lorens Say. Mereka akan lakukan gugatan hukum class action.
Tanggapan elite politik ’diwakili’ pernyataan Ketua DPRD Rafael Raga. Proses penggantian nama telah melewati tahapan yang benar: sosialisasi, rapat, pandangan fraksi, dan paripurna DPRD. Meski demikian, ia minta maaf kepada warga yang tidak puas.
Semua puas, tidak. Semua tidak puas, juga tidak. Tidak semua puas, ya. Tidak semua tidak puas, juga ya. Kalau tunggu semua puas, sulit. Tapi minimal sebagian besar puas, bisa. Untuk memastikannya, cara paling ideal adalah referendum. Tapi makan waktu, makan ongkos. Kapan selesainya? Berapa biayanya? Dari mana anggarannya? Repot!
Agar tidak terlalu repot, tapi bisa representatif, orang melakoni demokrasi perwakilan. Dalam politik, ia jadi electoral politics, gantikan citizenship politics. Dengan demikian, ketika keputusan harus diambil, yang berkonsensus bukan lagi seluruh warga, tapi segelintir elite yang mewakili warga. Apakah yang parsial ini benar-benar mewakili yang total, itu soal. Demokrasi pun bermasalah.
Keterbatasan demokrasi justru pada fasilitas konsensual yang ia sediakan. Demokrasi memang hanya mengolah kebenaran politik di antara mereka yang berkonsensus. Bahkan, konsensus itu harus diwakilkan pada hanya segelintir orang melalui sistem perwakilan politik. Itu berarti peluang bagi praktik oligarki.
Dalam penggantian nama bandar udara dan pelabuhan laut Maumere, praktik oligarki ini yang disorot. Penggantian nama itu hanya keinginan dari, oleh, dan untuk kepentingan segelintir elite politik Sikka. Kalaupun ada sosialisasi, rapat, pandangan fraksi, dan paripurna DPRD, pelakunya tetap saja segelintir elite politik itu, bukan segenap warga.
Mau segenap warga? Bikin saja referendum! Tampaknya, sulit, kecuali gugatan class action diterima. Selain sulit, ’lucu’. Karena, yang nanti tentukan perlu tidaknya referendum tetap saja segelintir elite politik itu. Inilah ironi demokrasi. Apakah demokrasi harus dicampakkan? Tidak. Demokrasi memang bukan ideal terbaik bagi pengaturan politik, namun itu yang termungkin menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warga negara.
Kuncinya tetap manusia: yang bisa berbuat adil, juga bisa sewenang-wenang. Demokrasi ditentukan oleh kapasitas itu. Benar kata Jimmy Carter, presiden AS: ”Kapasitas manusia untuk berbuat adil menyebabkan demokrasi mungkin; kapasitas manusia untuk sewenang-wenang menyebabkan demokrasi perlu.”
Apakah segelintir elite politik Sikka berbuat adil? Ataukah sewenang-wenang? Frans Seda dan Lorens Say tahu jawabannya. Apa pun itu, sudah terjadi. Nama mereka telah terpatri, usai memberi arti, bagi negeri, tempat mengabdi. Selamat!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 10 Agustus 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
frans seda,
lorens say,
perhubungan,
politik,
sadang bui,
sikka,
waioti
08 Agustus 2010
Ketika Bulan Puasa Tiba
Anarki demi Puasa Tidak Dapat Dibenarkan
Oleh Frans Anggal
Ketika bulan puasa tiba, kesibukan negara meningkat. Termasuk di bidang kamtibmas. Kerja polisi pun bertambah. Juga di Flores. Di Ende, misalnya, polisi merazia miras pada beberapa titik dalam kota, 3 Agustus 2010. Terjaring 66 botol dan setengah jeriken arak (Flores Pos Jumat 6 Agustus 2010).
Menurut Kabag Ops Jarot Yusviq Andito, dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan, Polres Ende lakukan operasi Cipta Kondisi dan operasi Simpatik. Cipta Kondisi, rahasia. Simpatik, terbuka. Sasaran Cipta Kondisi: penertiban miras, pekerja seks komersial, perjudian, petasan, dan senjata tajam. Sasaran Simpatik: penertiban lalu lintas.
Kita dukung. Kamtibmas, tugas negara. Tugas polisi, sebagai aparatnya. Di bidang keagamaan, ini tugas konstitusional juga. Pasal 28E UUD 1945 menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agamanya, beribadat menurut agamanya, dan meyakini kepercayaannya. Tugas konstitusional negara di sini menjamin “hak meyakini” agama dan kepercayaan itu. Salah satu bentuk jaminan itu adalah penciptaan kondisi. Karena itulah, setiap jelang hari besar keagamaan, polisi gelar berbagai operasi kamtibmas.
Berbagai operasi itu memberi rasa aman dan nyaman. Tidak hanya bagi umat beragama yang sedang berpuasa, tapi juga bagi semua warga negara. Ini tepat dan sudah seharusnya. Di mata warga negara, kamtibmas itu kebutuhan dan hak. Di mata negara, kamtibmas itu tugas dan kewajiban.
Yang bikin kita khawatir, tugas dan kewajiban negara itu diambil alih warga. Sesama warga mengubrak-abrik tempat hiburan warga lain. Kita makin khawatir, negara cuma menonton. Kita prihatin, pengambialihan sering terjadi justru ketika pelaku sedang diuji pengendalian dirinya dalam masa yang diibadahkan sebagai masa puasa. Kita sedih, kekerasan harus terjadi pada masa seperti ini.
Selain menyalahi hukum---karena hanya negaralah yang berhak untuk itu ---, tindak kekerasan oleh warga terhadap sesama warga atas dasar dan demi keluhuran ibadah puasa, menyalahi prinsip paling hakiki religiositas. Kemurnian spiritual harus otonom, mandiri. Kemurnian spiritual tidak boleh ditentukan oleh perilaku orang lain. Maka, terhadap godaan, sikap paling bijaksana adalah menjadikan godaan itu bagian dari ujian puasa.
Oscar Wilde dalam Picture of Dorian Gray (Ch. 2) memberi ‘pedoman’ yang tidak lazim tapi benar . Dia bilang, The only way to get rid of a temptation is to yield to it. ‘Satu-satunya cara membuang godaan adalah menyerah padanya’. Kalau kita menyerah pada godaan maka godaan tidak ada lagi. Ia tidak lagi berhadapan dengan kita. Tidak lagi menantang kita. Sebab, ia sudah masuk dalam diri kita. Menjadi bagian dari diri kita.
Godaan tidak bisa dihilangkan. Ia selalu ada, di mana pun dan kapan pun. Untuk mengenyahkannya hanya ada satu cara: menyerah padanya! Karena itu, jangan sekali-kali berpikir bisa mengenyahkan godaan. Berpikirlah dan bertekadlah bertahan terhadap godaan. Letak kemenangan bukan pada lenyapnya godaan, tapi pada kebertahanan menghadapi godaan.
Karena itu, tidak hanya menyalahi hukum negara, tindak kekerasan warga melenyapkan ‘aneka bentuk godaan’ sebenarnya menyalahi rasionalitas agama. Atas dasar dan demi keluhuran ibadah puasa sekalipun, tindak kekerasan itu tidak dapat dibenarkan.
Pada titik ini, kita bangga sebagai orang Flores. Di Flores, hal seperti itu tidak terjadi. Flores layak jadi miniatur model bagi Indonesia. Selamat berpuasa!
“Bentara” FLORES POS, Senin 9 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Ketika bulan puasa tiba, kesibukan negara meningkat. Termasuk di bidang kamtibmas. Kerja polisi pun bertambah. Juga di Flores. Di Ende, misalnya, polisi merazia miras pada beberapa titik dalam kota, 3 Agustus 2010. Terjaring 66 botol dan setengah jeriken arak (Flores Pos Jumat 6 Agustus 2010).
Menurut Kabag Ops Jarot Yusviq Andito, dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan, Polres Ende lakukan operasi Cipta Kondisi dan operasi Simpatik. Cipta Kondisi, rahasia. Simpatik, terbuka. Sasaran Cipta Kondisi: penertiban miras, pekerja seks komersial, perjudian, petasan, dan senjata tajam. Sasaran Simpatik: penertiban lalu lintas.
Kita dukung. Kamtibmas, tugas negara. Tugas polisi, sebagai aparatnya. Di bidang keagamaan, ini tugas konstitusional juga. Pasal 28E UUD 1945 menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agamanya, beribadat menurut agamanya, dan meyakini kepercayaannya. Tugas konstitusional negara di sini menjamin “hak meyakini” agama dan kepercayaan itu. Salah satu bentuk jaminan itu adalah penciptaan kondisi. Karena itulah, setiap jelang hari besar keagamaan, polisi gelar berbagai operasi kamtibmas.
Berbagai operasi itu memberi rasa aman dan nyaman. Tidak hanya bagi umat beragama yang sedang berpuasa, tapi juga bagi semua warga negara. Ini tepat dan sudah seharusnya. Di mata warga negara, kamtibmas itu kebutuhan dan hak. Di mata negara, kamtibmas itu tugas dan kewajiban.
Yang bikin kita khawatir, tugas dan kewajiban negara itu diambil alih warga. Sesama warga mengubrak-abrik tempat hiburan warga lain. Kita makin khawatir, negara cuma menonton. Kita prihatin, pengambialihan sering terjadi justru ketika pelaku sedang diuji pengendalian dirinya dalam masa yang diibadahkan sebagai masa puasa. Kita sedih, kekerasan harus terjadi pada masa seperti ini.
Selain menyalahi hukum---karena hanya negaralah yang berhak untuk itu ---, tindak kekerasan oleh warga terhadap sesama warga atas dasar dan demi keluhuran ibadah puasa, menyalahi prinsip paling hakiki religiositas. Kemurnian spiritual harus otonom, mandiri. Kemurnian spiritual tidak boleh ditentukan oleh perilaku orang lain. Maka, terhadap godaan, sikap paling bijaksana adalah menjadikan godaan itu bagian dari ujian puasa.
Oscar Wilde dalam Picture of Dorian Gray (Ch. 2) memberi ‘pedoman’ yang tidak lazim tapi benar . Dia bilang, The only way to get rid of a temptation is to yield to it. ‘Satu-satunya cara membuang godaan adalah menyerah padanya’. Kalau kita menyerah pada godaan maka godaan tidak ada lagi. Ia tidak lagi berhadapan dengan kita. Tidak lagi menantang kita. Sebab, ia sudah masuk dalam diri kita. Menjadi bagian dari diri kita.
Godaan tidak bisa dihilangkan. Ia selalu ada, di mana pun dan kapan pun. Untuk mengenyahkannya hanya ada satu cara: menyerah padanya! Karena itu, jangan sekali-kali berpikir bisa mengenyahkan godaan. Berpikirlah dan bertekadlah bertahan terhadap godaan. Letak kemenangan bukan pada lenyapnya godaan, tapi pada kebertahanan menghadapi godaan.
Karena itu, tidak hanya menyalahi hukum negara, tindak kekerasan warga melenyapkan ‘aneka bentuk godaan’ sebenarnya menyalahi rasionalitas agama. Atas dasar dan demi keluhuran ibadah puasa sekalipun, tindak kekerasan itu tidak dapat dibenarkan.
Pada titik ini, kita bangga sebagai orang Flores. Di Flores, hal seperti itu tidak terjadi. Flores layak jadi miniatur model bagi Indonesia. Selamat berpuasa!
“Bentara” FLORES POS, Senin 9 Agustus 2010
Label:
agama,
anarki demi puasa,
bentara,
bulan puasa,
ende,
flores,
flores pos
06 Agustus 2010
Ketika SDK Kelewae Disegel
Yang Privat Diseret ke Ruang Publik
Oleh Frans Anggal
Setelah seminggu lumpuh, kegiatan SDK Kelewae, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, kembali normal. Pemilik tanah yang menyegel ruangan menyerahkan kembali kunci sekolah, dalam pertemuan di kantor Desa Kelewae, Selasa 3 Agustus 2010. Hadir, asisten I setda, kadis PPO, ketua yayasan, sekcam, para guru, dan tokoh masyarakat (Flores Pos Jumat 6 Agustus 2010).
Penyegelan dilakukan pemilik tanah sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah yang dinilai tak konsisten. Atas desakan pemilik tanah dan komite sekolah, dua guru SDK Kelewae dipindahkan ke sekolah lain, 13 April 2010. Tepat tiga bulan kemudian, 13 Juli, keduanya dikembalikan ke SDK Kelewae. Ini yang memicu penyegelan sekolah.
Persoalan pokok kasus ini tak ada kaitan dengan sekolah. Tak ada kaitan dengan yayasan. Murni masalah pribadi para pihak. Masalah keluarga. Masalah persekutuan adat. Sengaja dibiaskan ke sekolah, hanya untuk ’menyingkirkan’ dua guru yang terlibat. Ketika keduanya dipindahkan, masalah mereda. Begitu keduanya dikembalikan, masalah muncul lagi. Dan, makin tidak proporsional.
Tidak proporsional, karena masalah di ruang privat diseret ke ruang publik. Sekolah disegel, belajar mengajar terhenti, hak murid atas pendidikan terabaikan, orangtua/wali murid dan masyarakat dirugikan. Ini memprihatinkan. Privat dan publik tidak dibedakan, tidak dipilah, tidak dihargai.
Kejadian serupa, di Ende, sebulan sebelumnya. Sejumlah warga Desa Nanganesa memagari jalan raya di tapal batas dengan Desa Wolotopo, Senin 12 Juli 2010. Kendaraan dilarang lewat. Yang diperbolehkan hanya pelajar dan pekerja. Roda perekonomian lumpuh total (Flores Pos Selasa 13 Juli 2010).
Pemagaran ini merupakan reaksi warga Desa Nanganesa atas penyerangan oleh sejumlah warga Desa Wolotopo. Penyerangan itu rentetan perkelahian hari sebelumnya saat pesta nikah di wilayah Desa Nanganesa. Awalnya, persoalan di ruang privat: perkelahian antar-orang atau kelompok orang. Terjadi pada hajatan privat: pernikahan. Persoalan di ruang privat ini diseret ke ruang publik.
Apa yang dilakukan di ruang publik itu? Tindak pidana! Di Nagekeo, sekolah disegel. Di Ende, jalan diblokir. Keduanya menghilangkan akses publik. Di Nagekeo, akses pendidikan. Di Ende, akses ekonomi. Apa tindakan negara?
Pada kasus Nagekeo dan Ende, syukurlah, negara tidak menonton. Tidak seperti yang terjadi pada kasus pemblokiran jalan raya oleh sekelompok warga di perbatasan Ngada-Manggarai Timur. Pemblokiran sudah tiga bulan. Tak ada tindakan apa pun. Negara lakukan pembiaran. Seperti pada banyak kasus lain di negeri ini, negara seakan tak berdaya.
Terkesan, Indonesia bergerak dari satu kutub ke kutub lain. Pada masa Orde Baru, negara begitu kuat. Kekuatan masyarakat tak bisa mengambil ahli fungsi negara. Pada masa Roformasi, sebaliknya. Struktur negara goyah. Aparat tidak percaya diri menegakkan hukum. Ini memberi peluang merebaknya kriminalitas warga. Warga bebas merazia KTP warga lain. Bebas mengubrak-abrik tempat hiburan. Etika kewargaan, etika publik, mati terinjak-injak.
Sebentar lagi kita rayakan HUT kemerdekaan RI. Apa yang patut disadari? Selama 65 tahun, kita baru nikmati ’kemedekaan politik’ (political freedom). Kita belum, masih jauh, bahkan makin jauh dari ’kemerdekaan warga’ (civil liberties). Sebelum merdeka, kita diteror penjajah. Setelah merdeka, di masa Orde Baru, kita diteror negara. Kini, di masa Reformasi, kita diteror sesama warga. Sekolah disegel. Jalan diblokir. Rumah ibadah dibakar. Tanah air ini, tanah air mata. Belum, tanah mata air. Ah!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 7 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Setelah seminggu lumpuh, kegiatan SDK Kelewae, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, kembali normal. Pemilik tanah yang menyegel ruangan menyerahkan kembali kunci sekolah, dalam pertemuan di kantor Desa Kelewae, Selasa 3 Agustus 2010. Hadir, asisten I setda, kadis PPO, ketua yayasan, sekcam, para guru, dan tokoh masyarakat (Flores Pos Jumat 6 Agustus 2010).
Penyegelan dilakukan pemilik tanah sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah yang dinilai tak konsisten. Atas desakan pemilik tanah dan komite sekolah, dua guru SDK Kelewae dipindahkan ke sekolah lain, 13 April 2010. Tepat tiga bulan kemudian, 13 Juli, keduanya dikembalikan ke SDK Kelewae. Ini yang memicu penyegelan sekolah.
Persoalan pokok kasus ini tak ada kaitan dengan sekolah. Tak ada kaitan dengan yayasan. Murni masalah pribadi para pihak. Masalah keluarga. Masalah persekutuan adat. Sengaja dibiaskan ke sekolah, hanya untuk ’menyingkirkan’ dua guru yang terlibat. Ketika keduanya dipindahkan, masalah mereda. Begitu keduanya dikembalikan, masalah muncul lagi. Dan, makin tidak proporsional.
Tidak proporsional, karena masalah di ruang privat diseret ke ruang publik. Sekolah disegel, belajar mengajar terhenti, hak murid atas pendidikan terabaikan, orangtua/wali murid dan masyarakat dirugikan. Ini memprihatinkan. Privat dan publik tidak dibedakan, tidak dipilah, tidak dihargai.
Kejadian serupa, di Ende, sebulan sebelumnya. Sejumlah warga Desa Nanganesa memagari jalan raya di tapal batas dengan Desa Wolotopo, Senin 12 Juli 2010. Kendaraan dilarang lewat. Yang diperbolehkan hanya pelajar dan pekerja. Roda perekonomian lumpuh total (Flores Pos Selasa 13 Juli 2010).
Pemagaran ini merupakan reaksi warga Desa Nanganesa atas penyerangan oleh sejumlah warga Desa Wolotopo. Penyerangan itu rentetan perkelahian hari sebelumnya saat pesta nikah di wilayah Desa Nanganesa. Awalnya, persoalan di ruang privat: perkelahian antar-orang atau kelompok orang. Terjadi pada hajatan privat: pernikahan. Persoalan di ruang privat ini diseret ke ruang publik.
Apa yang dilakukan di ruang publik itu? Tindak pidana! Di Nagekeo, sekolah disegel. Di Ende, jalan diblokir. Keduanya menghilangkan akses publik. Di Nagekeo, akses pendidikan. Di Ende, akses ekonomi. Apa tindakan negara?
Pada kasus Nagekeo dan Ende, syukurlah, negara tidak menonton. Tidak seperti yang terjadi pada kasus pemblokiran jalan raya oleh sekelompok warga di perbatasan Ngada-Manggarai Timur. Pemblokiran sudah tiga bulan. Tak ada tindakan apa pun. Negara lakukan pembiaran. Seperti pada banyak kasus lain di negeri ini, negara seakan tak berdaya.
Terkesan, Indonesia bergerak dari satu kutub ke kutub lain. Pada masa Orde Baru, negara begitu kuat. Kekuatan masyarakat tak bisa mengambil ahli fungsi negara. Pada masa Roformasi, sebaliknya. Struktur negara goyah. Aparat tidak percaya diri menegakkan hukum. Ini memberi peluang merebaknya kriminalitas warga. Warga bebas merazia KTP warga lain. Bebas mengubrak-abrik tempat hiburan. Etika kewargaan, etika publik, mati terinjak-injak.
Sebentar lagi kita rayakan HUT kemerdekaan RI. Apa yang patut disadari? Selama 65 tahun, kita baru nikmati ’kemedekaan politik’ (political freedom). Kita belum, masih jauh, bahkan makin jauh dari ’kemerdekaan warga’ (civil liberties). Sebelum merdeka, kita diteror penjajah. Setelah merdeka, di masa Orde Baru, kita diteror negara. Kini, di masa Reformasi, kita diteror sesama warga. Sekolah disegel. Jalan diblokir. Rumah ibadah dibakar. Tanah air ini, tanah air mata. Belum, tanah mata air. Ah!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 7 Agustus 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kriminalitas warga,
nagekeo,
privat dan publik
05 Agustus 2010
Dari Beokina untuk Pers
Pengeroyokan Wartawan di Flores
Oleh Frans Anggal
Setelah ditetapkan jadi tersangka kasus pengeroyokan terhadap tiga wartawan, Kepala Puskesmas Beokina Wily Dugis ditahan di Mapolres Manggara di Ruteng. Tiga stafnya, Daniel Jeneha, Hendrikus Tuju, dan Hartono MD, sudah ditangkap. Status mereka belum ditetapkan (Flores Pos Kamis 5 Agustus 2010).
Pengeroyokan terjadi di puskesmas Beokina, Senin 2 Agustus 2010, ketika ketiga wartawan sedang mewawancarai pelaku. Kenapa sampai ada pengeroyokan, ada dua versi cerita. Versi wartawan: suasana mulai tegang ketika Wily Dugis minta mereka perlihatkan surat tugas. Mereka tidak bawa. Cuma kartu pers. Terjadilah perdebatan, lalu pengeroyokan. Tampaknya terencana. Saat wawancara, banyak staf pria masuk ruangan dan ’siap’.
Versi Wily Dugis: suasana mulai tegang bukan ketika ia minta surat tugas. Itu kemudian. Awalnya, sikap tidak sopan wartawan. ”Saat hendak wawancara, seorang di antara mereka langsung bertanya dengan suara keras dan kasar, ’Kau masuk kantor jam berapa?’ ... Saya merasa dikasari. Suara wartawan makin tinggi dan tampak emosi. Karena itu banyak pegawai masuk (ruangan).”
Dalam suasana itulah Wily Dugis minta surat tugas. Tiba-tiba seorang wartawan mendekat seperti hendak menyerang. Tangan Wily Dugis pun ’refleks’. Jadi, ia merasa tidak memukul. Para stafnya pun ’cuma’ mendorong wartawan ke luar. Wily Dugis tidak tahu siapa yang keroyok dan di mana wartawan dikeroyok.
Mana yang benar? Hukum akan mengujinya. Dari versi Wily Dugis, kita patut catat dua hal. Catatan pertama, untuk dia dan staf. Boleh jadi benar, gerakannya refleks. Demikian pula gerakan stafnya. Semua serba-refleks, termasuk ketika menggebuk korban, merobek kartu pers, mencampakkan kamera, dan menahan sepeda motor. Katakanlah, ini spontanitas plus solidaritas.
Beres? Tidak. Atas dasar apa pun, tindakan mereka tetaplah tindak kekerasan. Atas nama spontanitas dan solidaritas sekalipun, penggunaan kekerasan tetap bertentangan secara prinsipiil dengan hukum, bersifat antidemokratis, dan melanggar hak-hak asasi orang lain.
Dalam banyak kasus premanisme terhadap jurnalis di Indonesia, spontanitas dan solidaritas laris digunakan sekelompok orang. Mereka mengaku tidak disuruh. Mereka bertindak hanya atas dasar spontanitas dan solidaritas dengan patronnya atau bosnya. Serangan terhadap kantor TEMPO, misalnya, dilakukan sekelompok orang dengan dasar ini. Dan kita tahu, itu dalih.
Catatan kedua, untuk ketiga wartawan dan para jurnalis. Kalau benar awal masalah adalah sikap tidak sopan wartawan, disayangkan. Kalau benar Wily Dugis ditanyai ”Kau masuk kantor jam berapa?” dengan suara keras dan kasar, disayangkan. Yang begitu itu bukan wawancara (interview). Itu pemeriksaan (interrogation). Dan itu hak polisi. Bukan hak wartawan. Kenapa?
Interogasi merupakan tindak kekerasan juga. Oleh hukum, hanya negaralah yang boleh lakukan itu. Negara diakui sebagai satu-satunya lembaga yang punya monopoli gunakan kekerasan. Personifikasi negara dalam hal ini adalah polisi. Polisi berwenang dan sah berdasarkan hukum menggunakan kekerasan. Tinggal saja---ini yang perlu dikontrol---alasan dan tinggkat penggunaannya.
Pada titik ini, kasus Beokina ada hikmahnya untuk pers. Wartawan bukan polisi. Narasumber bukan terperiksa. Spirit wawancara adalah kesederajatan. Saling hormat. Mana yang boleh dipublikasikan (on the record), mana yang tidak (off the record), perlu dihargai. Karena itu, dalam batas tertentu, wawancara adalah negosiasi. Bukan interogasi.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 6 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Setelah ditetapkan jadi tersangka kasus pengeroyokan terhadap tiga wartawan, Kepala Puskesmas Beokina Wily Dugis ditahan di Mapolres Manggara di Ruteng. Tiga stafnya, Daniel Jeneha, Hendrikus Tuju, dan Hartono MD, sudah ditangkap. Status mereka belum ditetapkan (Flores Pos Kamis 5 Agustus 2010).
Pengeroyokan terjadi di puskesmas Beokina, Senin 2 Agustus 2010, ketika ketiga wartawan sedang mewawancarai pelaku. Kenapa sampai ada pengeroyokan, ada dua versi cerita. Versi wartawan: suasana mulai tegang ketika Wily Dugis minta mereka perlihatkan surat tugas. Mereka tidak bawa. Cuma kartu pers. Terjadilah perdebatan, lalu pengeroyokan. Tampaknya terencana. Saat wawancara, banyak staf pria masuk ruangan dan ’siap’.
Versi Wily Dugis: suasana mulai tegang bukan ketika ia minta surat tugas. Itu kemudian. Awalnya, sikap tidak sopan wartawan. ”Saat hendak wawancara, seorang di antara mereka langsung bertanya dengan suara keras dan kasar, ’Kau masuk kantor jam berapa?’ ... Saya merasa dikasari. Suara wartawan makin tinggi dan tampak emosi. Karena itu banyak pegawai masuk (ruangan).”
Dalam suasana itulah Wily Dugis minta surat tugas. Tiba-tiba seorang wartawan mendekat seperti hendak menyerang. Tangan Wily Dugis pun ’refleks’. Jadi, ia merasa tidak memukul. Para stafnya pun ’cuma’ mendorong wartawan ke luar. Wily Dugis tidak tahu siapa yang keroyok dan di mana wartawan dikeroyok.
Mana yang benar? Hukum akan mengujinya. Dari versi Wily Dugis, kita patut catat dua hal. Catatan pertama, untuk dia dan staf. Boleh jadi benar, gerakannya refleks. Demikian pula gerakan stafnya. Semua serba-refleks, termasuk ketika menggebuk korban, merobek kartu pers, mencampakkan kamera, dan menahan sepeda motor. Katakanlah, ini spontanitas plus solidaritas.
Beres? Tidak. Atas dasar apa pun, tindakan mereka tetaplah tindak kekerasan. Atas nama spontanitas dan solidaritas sekalipun, penggunaan kekerasan tetap bertentangan secara prinsipiil dengan hukum, bersifat antidemokratis, dan melanggar hak-hak asasi orang lain.
Dalam banyak kasus premanisme terhadap jurnalis di Indonesia, spontanitas dan solidaritas laris digunakan sekelompok orang. Mereka mengaku tidak disuruh. Mereka bertindak hanya atas dasar spontanitas dan solidaritas dengan patronnya atau bosnya. Serangan terhadap kantor TEMPO, misalnya, dilakukan sekelompok orang dengan dasar ini. Dan kita tahu, itu dalih.
Catatan kedua, untuk ketiga wartawan dan para jurnalis. Kalau benar awal masalah adalah sikap tidak sopan wartawan, disayangkan. Kalau benar Wily Dugis ditanyai ”Kau masuk kantor jam berapa?” dengan suara keras dan kasar, disayangkan. Yang begitu itu bukan wawancara (interview). Itu pemeriksaan (interrogation). Dan itu hak polisi. Bukan hak wartawan. Kenapa?
Interogasi merupakan tindak kekerasan juga. Oleh hukum, hanya negaralah yang boleh lakukan itu. Negara diakui sebagai satu-satunya lembaga yang punya monopoli gunakan kekerasan. Personifikasi negara dalam hal ini adalah polisi. Polisi berwenang dan sah berdasarkan hukum menggunakan kekerasan. Tinggal saja---ini yang perlu dikontrol---alasan dan tinggkat penggunaannya.
Pada titik ini, kasus Beokina ada hikmahnya untuk pers. Wartawan bukan polisi. Narasumber bukan terperiksa. Spirit wawancara adalah kesederajatan. Saling hormat. Mana yang boleh dipublikasikan (on the record), mana yang tidak (off the record), perlu dihargai. Karena itu, dalam batas tertentu, wawancara adalah negosiasi. Bukan interogasi.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 6 Agustus 2010
Label:
bentara,
beokina,
flores,
flores pos,
hukum,
manggarai,
pengeroyokan wartawan
Untuk Dinkes Manggarai
Pengeroyokan Wartawan di Flores
Oleh Frans Anggal
Aparat Polres Manggarai telah menangkap Kepala Puskesmas Beokina, Wily Dugis, Selasa 3 Agustus 2010, menyusul laporan dari tiga wartawan: Ferdinand Ambo (TVRI), Melky Pantur (Suara Flores), dan Maxi MD (Sukses Indonesia). Ketiganya dikeroyok Wily Dugis dan staf di Puskesmas Beokina, Kecamatan Rahong Utara, Senin 2 Agustus, ketika sedang menjalankan tugas jurnalistik (Flores Pos Rabu 4 Agustus 2010).
Wily Dugis sudah diperiksa. Sudah jadi tersangka. Untuk kepentingan penyelidikan, polisi masih harus olah tempat kejadian perkara, mengambil barang bukti, dan menangkap pelaku lain. Sementara itu, Asosiasi Wartawan Manggarai (Awam), anggota DPRD, dan elemen mahasiswa dari GMNI dan GMPI menuntut proses hukum yang seadil-adilnya dan tuntas. Mereka mendesak para pelaku ditahan.
Dibandingkan dengan premanisme lain terhadap jurnalis di Flores, kasus di Beokina ini luar biasa. Pertama, penganiayaan terjadi dalam kantor pemerintah, yang notabene dibangun menggunakan uang rakyat. Terjadi pada jam dinas, yang katanya jam pelayanan bagi masyarakat. Dilakukan rame-rame, melibatkan kepala dan staf kantor, yang katanya abdi masyarakat.
Ada indikasi, pengeroyokan direncanakan. Saat ketiga wartawan mewawancarai kepala puskesmas, banyak staf pria masuk ruangan. Tampaknya mereka sudah ’siap’ sebelum laksanakan ’tugas’. Demikian ’siap’ dan ’kompak’, tidak hanya menganiaya korban, mereka juga merobek kartu pers dan tas kamera serta menahan sepeda motor. Demikian ’siap’ dan ’kompak’, tidak hanya dalam ruangan mengeroyok, di luar uangan pun mereka mengejar korban.
Kedua, kasus ini terjadi pada Senin. Hari apel bendera. Boleh dibilang, Senin itu ’hari suci’-nya pegawai pemerintah. Hari penuh ritus protokoler. Berbaris rapi di halaman kantor, menghormati bendera, mendengarkan wejangan, memanjatkan doa, dst. Dengan tangan, mereka menghormati bendera dan Tuhan. Dengan tangan yang sama, pada hari yang sama, mereka menganiaya orang.
Pengeroyokan itu jelang tengah hari. Jadi, hanya beberapa jam setelah waktu apel bendera yang mengawali kegiatan kantor. Ritus protokoler itu, yang biasanya dilaporkan berlangsung aman, tertib, dan lancar, ternyata tidak berbekas. Tidak membarui pikiran, sikap, dan tingkah laku. Sekadar masuk di telinga kiri untuk kemudian keluar di telinga kanan.
Ketiga, para pelaku penganiayaan adalah petugas kesehatan. Tugas pokok mereka merawat kesehatan masyarakat, tapi koq malah bikin orang jadi sakit. Dua dari tiga wartawan yang mereka ’jamah’ itu sampai harus dirawat di RSUD Ruteng. Sedangkan satunya mendingan kondisinya karena lolos dari kejaran para algojo.
Kasus ini sangat memalukan jajaran dinkes Manggarai. Puskesmas Beokina, sebagaimana semua puskemas dan pustu, sesungguhnya rumah sakit kecil. Dalam bahasa Inggris, ”rumah sakit” itu ”hospital”. Dari kata ”hospital” lahir kata ”hospitality”, yang diindonesiakan menjadi ”hospitalitas”, yang berarti ”keramahtamahan” atau ”kegemaran menerima tamu”.
Betapa jauhnya makna itu dari apa yang dipertontonkan puskesmas Beokina. Hakikat rumah sakit mereka ganti: ”keramahan” jadi ”kemarahan”. Marah itu gila kecil, kata pepatah. Kalau sampai amuk, keroyok, itu gila besar. Malah gila benaran, menurut kamus adab manusia akal sehat. Pertanyaan kita: apa tindakan dinkes terhadap mereka yang ’tidak sehat’ ini?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 5 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Aparat Polres Manggarai telah menangkap Kepala Puskesmas Beokina, Wily Dugis, Selasa 3 Agustus 2010, menyusul laporan dari tiga wartawan: Ferdinand Ambo (TVRI), Melky Pantur (Suara Flores), dan Maxi MD (Sukses Indonesia). Ketiganya dikeroyok Wily Dugis dan staf di Puskesmas Beokina, Kecamatan Rahong Utara, Senin 2 Agustus, ketika sedang menjalankan tugas jurnalistik (Flores Pos Rabu 4 Agustus 2010).
Wily Dugis sudah diperiksa. Sudah jadi tersangka. Untuk kepentingan penyelidikan, polisi masih harus olah tempat kejadian perkara, mengambil barang bukti, dan menangkap pelaku lain. Sementara itu, Asosiasi Wartawan Manggarai (Awam), anggota DPRD, dan elemen mahasiswa dari GMNI dan GMPI menuntut proses hukum yang seadil-adilnya dan tuntas. Mereka mendesak para pelaku ditahan.
Dibandingkan dengan premanisme lain terhadap jurnalis di Flores, kasus di Beokina ini luar biasa. Pertama, penganiayaan terjadi dalam kantor pemerintah, yang notabene dibangun menggunakan uang rakyat. Terjadi pada jam dinas, yang katanya jam pelayanan bagi masyarakat. Dilakukan rame-rame, melibatkan kepala dan staf kantor, yang katanya abdi masyarakat.
Ada indikasi, pengeroyokan direncanakan. Saat ketiga wartawan mewawancarai kepala puskesmas, banyak staf pria masuk ruangan. Tampaknya mereka sudah ’siap’ sebelum laksanakan ’tugas’. Demikian ’siap’ dan ’kompak’, tidak hanya menganiaya korban, mereka juga merobek kartu pers dan tas kamera serta menahan sepeda motor. Demikian ’siap’ dan ’kompak’, tidak hanya dalam ruangan mengeroyok, di luar uangan pun mereka mengejar korban.
Kedua, kasus ini terjadi pada Senin. Hari apel bendera. Boleh dibilang, Senin itu ’hari suci’-nya pegawai pemerintah. Hari penuh ritus protokoler. Berbaris rapi di halaman kantor, menghormati bendera, mendengarkan wejangan, memanjatkan doa, dst. Dengan tangan, mereka menghormati bendera dan Tuhan. Dengan tangan yang sama, pada hari yang sama, mereka menganiaya orang.
Pengeroyokan itu jelang tengah hari. Jadi, hanya beberapa jam setelah waktu apel bendera yang mengawali kegiatan kantor. Ritus protokoler itu, yang biasanya dilaporkan berlangsung aman, tertib, dan lancar, ternyata tidak berbekas. Tidak membarui pikiran, sikap, dan tingkah laku. Sekadar masuk di telinga kiri untuk kemudian keluar di telinga kanan.
Ketiga, para pelaku penganiayaan adalah petugas kesehatan. Tugas pokok mereka merawat kesehatan masyarakat, tapi koq malah bikin orang jadi sakit. Dua dari tiga wartawan yang mereka ’jamah’ itu sampai harus dirawat di RSUD Ruteng. Sedangkan satunya mendingan kondisinya karena lolos dari kejaran para algojo.
Kasus ini sangat memalukan jajaran dinkes Manggarai. Puskesmas Beokina, sebagaimana semua puskemas dan pustu, sesungguhnya rumah sakit kecil. Dalam bahasa Inggris, ”rumah sakit” itu ”hospital”. Dari kata ”hospital” lahir kata ”hospitality”, yang diindonesiakan menjadi ”hospitalitas”, yang berarti ”keramahtamahan” atau ”kegemaran menerima tamu”.
Betapa jauhnya makna itu dari apa yang dipertontonkan puskesmas Beokina. Hakikat rumah sakit mereka ganti: ”keramahan” jadi ”kemarahan”. Marah itu gila kecil, kata pepatah. Kalau sampai amuk, keroyok, itu gila besar. Malah gila benaran, menurut kamus adab manusia akal sehat. Pertanyaan kita: apa tindakan dinkes terhadap mereka yang ’tidak sehat’ ini?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 5 Agustus 2010
Label:
bentara,
beokina,
flores,
flores pos,
hukum,
manggarai,
pengeroyokan wartawan
03 Agustus 2010
Preman dari Beokina
Pengeroyokan Wartawan di Flores
Oleh Frans Anggal
Tiga wartawan dikeroyok kepala dan staf puskesmas Beokina, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, saat lakukan tugas jurnalistik di Beokina, Senin 2 Agustus 2010. Mereka, Ferdinand Ambo (TVRI), Melky Pantur (Suara Flores), Maxi MD (Sukses Indonesia). Kartu pers dan tas kamera dirobek. Sepeda motor ditahan. Sedang ditangani polisi (Flores Pos Selasa 3 Agustus 2010).
Ketiga wartawan ke Beokina setelah rekam banyak keluhan masyarakat. Petugas puskesmas dan pustu suka datang terlambat. Biaya pelayanan melambung. Saat tiba di lokasi, mereka saksikan itu. Di pustu, pasien tunggu 1-2 jam baru petugasnya datang. Dari pustu, mereka ke puskesmas, wawancarai kepalanya Wily Dugis. Di sinilah pengeroyokan terjadi.
Wily Dugis minta mereka perlihatkan surat tugas. Mereka tidak bawa. Cuma kartu pers. Ini jadi perdebatan, lalu meningkat jadi pengeroyokan. Ada kesan, pengeroyokan itu terencana. Saat wawancara, banyak staf pria masuk ruangan. Sepertinya sudah ’siap’ sebelum lakukan ’tugas’.
Soal surat tugas meliput. Mutlakkah itu? Tidak! Kartu pers saja cukup. Kartu pers mengandung dua unsur: identitas dan tugas. Dua unsur ini tak terpisahkan. Karena identitasnya ”wartawan” maka tugasnya ”meliput”. Ditugaskan atau tidak, meliput itu tugas. Kalau ditugaskan, itu peliputan instruktif. Kalau tidak ditugaskan, itu peliputan inisiatif. Keduanya sah. Kalau tunggu ditugaskan baru meliput, itu bukan wartawan! Itu pesuruh!
Ketiga wartawan ke Beokina tanpa surat tugas. Artinya, peliputan mereka peliputan inisiatif. Atas inisiatif sendiri, bukan atas instruksi atasan. Inisiatif muncul setelah mereka rekam keluhan masyarakat. Jadi, mereka ke sana karena ”terpanggil” oleh persoalan masyarakat, bukan karena ”terpaksa” oleh penugasan atasan. Inilah hakikat kewartawanan itu. Panggilan! Maka disebut: profesi.
Banyak birokrat kurang paham. Mereka pikir, wartawan itu PNS. Tidak heran, Wily Dugis tuntut surat tugas. Dengan mindset PNS-nya, semestinya dia juga tuntut SK pengangkatan wartawan, SK penempatan, akta kelahiran, KTP, akta perkawinan, kartu keluarga, bukti pajak, dst. Wartawan di-PNS-kan.
Soal pengeroyokan. Ini jelas premanisme. Mari kita utak-atik kata dasarnya: preman. Menurut KBBI, preman bisa berarti partikelir atau bukan dinas (pakaian preman). Bisa pula orang jahat (penodong, perampok, pencopet). Kita juga bisa lakukan dekonstruksi dan rekonstruksi kata ini. Kita bongkar dan susun kembali dengan pemaknaan baru. Kita ’inggriskan’. Preman itu pre-man terdiri dari pre (Latin: prae = sebelum) dan man (manusia). Jadi, pre-man itu (se)belum manusia. Belum sungguh-sungguh manusia. Setengah hewan.
Mungkin baik ”preman” kita sumbangkan ke kamus Inggris. Sebelumnya, sudah dua lema (entry) yang orang Indonesia sumbangkan. Yaitu, ”amok” dan ”orang utan”. Kalau ditambah ”preman”, klop. Amok atau amuk, dalam berbagai bentuknya termasuk keroyok, adalah tindakan tak laik manusia. Tindakan orang utan. Tindakan pre-man. Tindakan setengah hewan.
Luar biasa! Inspirasi menyumbangkan ”preman” ke kamus Inggris justru datang dari Beokina. Katakanlah, ini sumbangan dari puskesmas Beokina. Khususnya, dari kepala dan staf puskesmas. Ini juga bukti, inspirasi bisa datang dari mana saja. Bisa dari kejahatan. Dari pengeroyokan. Maka, atas inspirasi itu, kita berterima kasih. Namun, atas kejahatannya, kita bertolak kasih. Para ’penyumbang’ harus dihukum seadil-adilnya.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 4 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Tiga wartawan dikeroyok kepala dan staf puskesmas Beokina, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, saat lakukan tugas jurnalistik di Beokina, Senin 2 Agustus 2010. Mereka, Ferdinand Ambo (TVRI), Melky Pantur (Suara Flores), Maxi MD (Sukses Indonesia). Kartu pers dan tas kamera dirobek. Sepeda motor ditahan. Sedang ditangani polisi (Flores Pos Selasa 3 Agustus 2010).
Ketiga wartawan ke Beokina setelah rekam banyak keluhan masyarakat. Petugas puskesmas dan pustu suka datang terlambat. Biaya pelayanan melambung. Saat tiba di lokasi, mereka saksikan itu. Di pustu, pasien tunggu 1-2 jam baru petugasnya datang. Dari pustu, mereka ke puskesmas, wawancarai kepalanya Wily Dugis. Di sinilah pengeroyokan terjadi.
Wily Dugis minta mereka perlihatkan surat tugas. Mereka tidak bawa. Cuma kartu pers. Ini jadi perdebatan, lalu meningkat jadi pengeroyokan. Ada kesan, pengeroyokan itu terencana. Saat wawancara, banyak staf pria masuk ruangan. Sepertinya sudah ’siap’ sebelum lakukan ’tugas’.
Soal surat tugas meliput. Mutlakkah itu? Tidak! Kartu pers saja cukup. Kartu pers mengandung dua unsur: identitas dan tugas. Dua unsur ini tak terpisahkan. Karena identitasnya ”wartawan” maka tugasnya ”meliput”. Ditugaskan atau tidak, meliput itu tugas. Kalau ditugaskan, itu peliputan instruktif. Kalau tidak ditugaskan, itu peliputan inisiatif. Keduanya sah. Kalau tunggu ditugaskan baru meliput, itu bukan wartawan! Itu pesuruh!
Ketiga wartawan ke Beokina tanpa surat tugas. Artinya, peliputan mereka peliputan inisiatif. Atas inisiatif sendiri, bukan atas instruksi atasan. Inisiatif muncul setelah mereka rekam keluhan masyarakat. Jadi, mereka ke sana karena ”terpanggil” oleh persoalan masyarakat, bukan karena ”terpaksa” oleh penugasan atasan. Inilah hakikat kewartawanan itu. Panggilan! Maka disebut: profesi.
Banyak birokrat kurang paham. Mereka pikir, wartawan itu PNS. Tidak heran, Wily Dugis tuntut surat tugas. Dengan mindset PNS-nya, semestinya dia juga tuntut SK pengangkatan wartawan, SK penempatan, akta kelahiran, KTP, akta perkawinan, kartu keluarga, bukti pajak, dst. Wartawan di-PNS-kan.
Soal pengeroyokan. Ini jelas premanisme. Mari kita utak-atik kata dasarnya: preman. Menurut KBBI, preman bisa berarti partikelir atau bukan dinas (pakaian preman). Bisa pula orang jahat (penodong, perampok, pencopet). Kita juga bisa lakukan dekonstruksi dan rekonstruksi kata ini. Kita bongkar dan susun kembali dengan pemaknaan baru. Kita ’inggriskan’. Preman itu pre-man terdiri dari pre (Latin: prae = sebelum) dan man (manusia). Jadi, pre-man itu (se)belum manusia. Belum sungguh-sungguh manusia. Setengah hewan.
Mungkin baik ”preman” kita sumbangkan ke kamus Inggris. Sebelumnya, sudah dua lema (entry) yang orang Indonesia sumbangkan. Yaitu, ”amok” dan ”orang utan”. Kalau ditambah ”preman”, klop. Amok atau amuk, dalam berbagai bentuknya termasuk keroyok, adalah tindakan tak laik manusia. Tindakan orang utan. Tindakan pre-man. Tindakan setengah hewan.
Luar biasa! Inspirasi menyumbangkan ”preman” ke kamus Inggris justru datang dari Beokina. Katakanlah, ini sumbangan dari puskesmas Beokina. Khususnya, dari kepala dan staf puskesmas. Ini juga bukti, inspirasi bisa datang dari mana saja. Bisa dari kejahatan. Dari pengeroyokan. Maka, atas inspirasi itu, kita berterima kasih. Namun, atas kejahatannya, kita bertolak kasih. Para ’penyumbang’ harus dihukum seadil-adilnya.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 4 Agustus 2010
Label:
bentara,
beokina,
flores,
flores pos,
hukum,
manggarai,
pengeroyokan wartawan
Kesehatian Tanpa Hati
Konflik Tapal Batas Manggarai Timur dan Ngada
Oleh Frans Anggal
Sejak 27 April 2010, ruas jalan provinsi di perbatasan Manggarai Timur dan Ngada diblokir sekelompok orang. Akibatnya, hingga saat ini akses ekonomi dan transportasi di wilayah itu macet total.
”Kami minta pemerintah provinsi segera menyelesaikan masalah tapal batas di daerah tersebut karena kasusnya sudah sekian lama,” kata anggota Fraksi Golkar DPRD NTT Emilianus Charles Lalung pada rapat dengan Gubernur Frans Lebu Raya (Flores Pos Sabtu 31 Juli 2010).
Tanggapan gubernur? Penyelesaian sudah dimulai. Masing-masing bupati sudah paparkan peta wilayah. Kini sedang dibentuk tim yang libatkan tokoh masyarakat dan elemen lain dari kedua kabupaten. Pemprov memilih pendekatan kesehatian. Bukan jalur hukum. Jalur hukum bisa membawa ekses buruk.
Argumentasi gubernur menolak jalur hukum sudah disoroti ”Bentara” Flores Pos Senin 2 Agustus 2010. Gubernur beragumentasi, jalur hukum bisa bawa ekses buruk. Sementara, kenyataan empirik di lapangan, ekses buruk justru sudah terjadi: jalan diblokir, akses ekonomi dan transportasi lumpuh total. Dan sudah berlangsung tiga bulan. Kenapa? Karena tidak ada tindakan hukum!
Kenapa tidak ada tindakan hukum? Rupanya karena gubernur menolak jalur hukum. Para pelaku kriminal yang merusak fasilitas negara itu pun dibiarkan. Dua bupati menonton. Dua polres menonton. Jadi, tidak ada pemerintah di sana. Yang ada cuma penguasa, di atas takhta, yang menonton---bukan mengatasi---kriminalitas yang dilakukan warga.
Yang berhak selesaikan sengketa tapal batas itu gubernur. Tidak heran, warga perbatasan, khususnya yang lakukan pemblokiran jalan, menunggu bahkan menuntut gubernur datang. Kalau gubenur datang, pemblokiran mereka akhiri. Hingga kini gubernur tidak datang-datang. Jalan itu pun tetap mereka blokir. Akses ekonomi dan transportasi tetap macet total.
Seandainya Ben Mboi masih jadi gubenur NTT, ia pasti sudah ke sana. Bukan untuk penuhi tuntutan warga. Bukan! Tapi, untuk menangkap langsung dan lengkap atmosfer sikon empirik. Untuk mendengar sendiri aspirasi para petikai. Dengan demikian, pemahaman masalah akan makin bernas, kiat menemukan solusi akan makin tepat, dibandingkan kalau hanya tunggu mendapat laporan, keluh-kesah, belum lagi ’hasutan’ dari bupati, DPRD, dll.
Sayang, cara ini tidak ditempuh Frans Lebu Raya. Padahal, dia gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat. Semestinya---berbeda dari yang ditunjuk pusat atau dipilih DPRD---ia lebih dekat dengan rakyat dan lebih tanggap. Kalau penuhi undangan ikatan keluarga di Flores ia bisa datang, kenapa penuhi harapan warga yang terlibat konflik tapal batas kabupaten ia tidak muncul? Kalau untuk urusan privat ia bisa dekat, kenapa untuk urusan publik ia justru jauh?
Apakah semua ini konskuensi logis dari pendekatan kesehatian? Kalau ya, kita harus katakan: kesehatian itu sudah tanpa hati. Sebab, hati dalam bernegara adalah ’hasrat’ (desire). Politik pun harus menjadi ’politik hasrat’ (politics of desire). Hasrat untuk memelihara politik dalam jalur keadilan. Hasrat untuk memastikan politik hanya diucapkan untuk menempuh keadilan.
Melihat bagaimana tindakan kriminal warga memblokir jalan dibiarkan berbulan-bulan, hingga melahirkan ekses hilang totalnya akses ekonomi dan transportasi berbulan-bulan, maka kita mesti katakan: politics of desire dalam pendekatan kesehatian itu kosong. Kesehatian itu kesehatian tanpa hati. Tanpa hasrat menegakkan hukum, demi keadilan. Ini menyedihkan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 3 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Sejak 27 April 2010, ruas jalan provinsi di perbatasan Manggarai Timur dan Ngada diblokir sekelompok orang. Akibatnya, hingga saat ini akses ekonomi dan transportasi di wilayah itu macet total.
”Kami minta pemerintah provinsi segera menyelesaikan masalah tapal batas di daerah tersebut karena kasusnya sudah sekian lama,” kata anggota Fraksi Golkar DPRD NTT Emilianus Charles Lalung pada rapat dengan Gubernur Frans Lebu Raya (Flores Pos Sabtu 31 Juli 2010).
Tanggapan gubernur? Penyelesaian sudah dimulai. Masing-masing bupati sudah paparkan peta wilayah. Kini sedang dibentuk tim yang libatkan tokoh masyarakat dan elemen lain dari kedua kabupaten. Pemprov memilih pendekatan kesehatian. Bukan jalur hukum. Jalur hukum bisa membawa ekses buruk.
Argumentasi gubernur menolak jalur hukum sudah disoroti ”Bentara” Flores Pos Senin 2 Agustus 2010. Gubernur beragumentasi, jalur hukum bisa bawa ekses buruk. Sementara, kenyataan empirik di lapangan, ekses buruk justru sudah terjadi: jalan diblokir, akses ekonomi dan transportasi lumpuh total. Dan sudah berlangsung tiga bulan. Kenapa? Karena tidak ada tindakan hukum!
Kenapa tidak ada tindakan hukum? Rupanya karena gubernur menolak jalur hukum. Para pelaku kriminal yang merusak fasilitas negara itu pun dibiarkan. Dua bupati menonton. Dua polres menonton. Jadi, tidak ada pemerintah di sana. Yang ada cuma penguasa, di atas takhta, yang menonton---bukan mengatasi---kriminalitas yang dilakukan warga.
Yang berhak selesaikan sengketa tapal batas itu gubernur. Tidak heran, warga perbatasan, khususnya yang lakukan pemblokiran jalan, menunggu bahkan menuntut gubernur datang. Kalau gubenur datang, pemblokiran mereka akhiri. Hingga kini gubernur tidak datang-datang. Jalan itu pun tetap mereka blokir. Akses ekonomi dan transportasi tetap macet total.
Seandainya Ben Mboi masih jadi gubenur NTT, ia pasti sudah ke sana. Bukan untuk penuhi tuntutan warga. Bukan! Tapi, untuk menangkap langsung dan lengkap atmosfer sikon empirik. Untuk mendengar sendiri aspirasi para petikai. Dengan demikian, pemahaman masalah akan makin bernas, kiat menemukan solusi akan makin tepat, dibandingkan kalau hanya tunggu mendapat laporan, keluh-kesah, belum lagi ’hasutan’ dari bupati, DPRD, dll.
Sayang, cara ini tidak ditempuh Frans Lebu Raya. Padahal, dia gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat. Semestinya---berbeda dari yang ditunjuk pusat atau dipilih DPRD---ia lebih dekat dengan rakyat dan lebih tanggap. Kalau penuhi undangan ikatan keluarga di Flores ia bisa datang, kenapa penuhi harapan warga yang terlibat konflik tapal batas kabupaten ia tidak muncul? Kalau untuk urusan privat ia bisa dekat, kenapa untuk urusan publik ia justru jauh?
Apakah semua ini konskuensi logis dari pendekatan kesehatian? Kalau ya, kita harus katakan: kesehatian itu sudah tanpa hati. Sebab, hati dalam bernegara adalah ’hasrat’ (desire). Politik pun harus menjadi ’politik hasrat’ (politics of desire). Hasrat untuk memelihara politik dalam jalur keadilan. Hasrat untuk memastikan politik hanya diucapkan untuk menempuh keadilan.
Melihat bagaimana tindakan kriminal warga memblokir jalan dibiarkan berbulan-bulan, hingga melahirkan ekses hilang totalnya akses ekonomi dan transportasi berbulan-bulan, maka kita mesti katakan: politics of desire dalam pendekatan kesehatian itu kosong. Kesehatian itu kesehatian tanpa hati. Tanpa hasrat menegakkan hukum, demi keadilan. Ini menyedihkan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 3 Agustus 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
gubernur ntt frans lebu raya,
hukum,
konflik tapal batas manggarai timur dan ngada,
manggarai timur,
ngada,
pendekatan kesehatian,
politik
Pendekatan Kesehatian?
Konflik Tapal Batas Manggarai Timur dan Ngada
Oleh Frans Anggal
Gubernur NTT Frans Lebu Raya katakan, ia gunakan pola pendekatan kesehatian untuk selesaikan konflik tapal batas antara Manggarai Timur dan Ngada serta Belu dan Timor Tengah Selatan. Hal itu disampaikannya dalam rapat dengan DPRD NTT (Flores Pos Sabtu 31 Juli 2010).
Pendekatan kesehatian. Apakah itu? Tidak diuraikan dalam berita. Yang bisa ditangkap dari konteks berita: itu bukan pendekatan hukum. ”Pemprov menolak permintaan sejumlah komponenen agar penyelesaian masalah tapal batas melalui jalur hukum,” kata gubernur. ”Jalur hukum bisa membawa ekses yang tidak diinginkan.”
Benarkah itu? Konflik ini konflik tapal batas. Batas itu sudah ditetapkan secara hukum. Yang digugat dalam konflik justru penetapan secara hukum itu. Maka, penyelesaiannya tidak bisa menafikan hukum. Hukum sudah melekat pada konflik itu.
Bahwa penyelesaian hukum bisa membawa ekses yang tidak diinginkan, itu bisa saja. Apa pun bentuk penyelesaian konflik, ekses selalu bisa muncul. Karena, konflik sudah jadi masalah sosial. Hubungan sebab-akibat di dalamnya jadi longgar. Sebuah sebab dapat menimbulkan banyak akibat berbeda. Sebuah akibat pun dapat muncul dari banyak sebab berbeda dan bahkan bertentangan.
Kalau semua bentuk penyesaian konflik bisa lahirkan ekses yang tidak diinginkan, apakah konflik tidak perlu diselesaikan? Tentu tidak. Ekses tidak boleh menjadi halangan. Untuk itu, ekses harus sudah diperhitungkan, guna diantisipasi dan diatasi, bukan dijadikan dalih tidak melakukan apa pun atau menunda-nunda penyelesaian masalah.
Kesan menunda penyelesaian masalah sangat terasa dalam konflik tapal batas Manggarai Timur dan Ngada. Akibat penundaan itu, ekses pun muncul. Jalan provinsi di wilayah perbatasan diblokir sekelompok orang. Jalan dipalang. Badan jalan dibelah menjadi got dengan dalam 1 meter dan lebar 2 meter. Akibatnya, akses ekonomi dan transportasi macet total. Ini dibiarkan berbulan-bulan.
Apakah ini yang diinginkan pendekatan kesehatian? Secara moral dan psikologis, mungkin tidak. Tapi secara logis, iya. Inilah konsekuensinya. Sebab, gubernur menolak penyelesaian hukum karena, menurutnya, jalur hukum bisa membawa ekses yang tidak diinginkan. Pertanyaan kita: pemblokiran jalan itu apa? Hilangnya akses ekonomi dan transportasi itu apa? Itu sudah ekses! Mau ekses mana lagi? Di sinilah lucunya pendekatan kesehatian. Ingin menghindari ekses, tapi justru melahirkan ekses.
Ini juga menunjukkan, pendekatan kesehatian tidak jelas konsepnya. Tidak jelas teorinya. Tidak jelas asumsinya. Tidak jelas pula perhitungan risikonya. Ujung-ujungnya nanti, pendekatan itu hanya menabung risiko untuk kemudian tidak menanggung risiko. Pendekatan kesehatian terancam hanya menjadi bentuk lain penghindaran tanggung jawab.
Kalau benar demikian, kita kecewa. Frans Lebu Raya adalah gubenur pertama NTT yang dipilih langsung oleh rakyat. Pemilukada langsung telah memberi dia dasar legitimasi yang amat kukuh. Ia mesti percaya diri. Tidak boleh jadi peragu.
Pendekatan kesehatian itu pendekatan ragu-ragu. Tidak jelas dan tidak tegas. Padahal duduk soal konflik tapal batas itu jelas. Pelanggarannya jelas. Eksesnya jelas. Instalasi hukum kita pun lengkap. Kenapa tidak digunakan? Lagi pula, negara ini negara hukum. Kasus itu kasus hukum. Jalur hukumlah yang tepat dan cepat. Sebab, diperlukan hanya satu teori, satu asumsi, dan satu risiko.
“Bentara” FLORES POS, Senin 2 Agustus 2010
Oleh Frans Anggal
Gubernur NTT Frans Lebu Raya katakan, ia gunakan pola pendekatan kesehatian untuk selesaikan konflik tapal batas antara Manggarai Timur dan Ngada serta Belu dan Timor Tengah Selatan. Hal itu disampaikannya dalam rapat dengan DPRD NTT (Flores Pos Sabtu 31 Juli 2010).
Pendekatan kesehatian. Apakah itu? Tidak diuraikan dalam berita. Yang bisa ditangkap dari konteks berita: itu bukan pendekatan hukum. ”Pemprov menolak permintaan sejumlah komponenen agar penyelesaian masalah tapal batas melalui jalur hukum,” kata gubernur. ”Jalur hukum bisa membawa ekses yang tidak diinginkan.”
Benarkah itu? Konflik ini konflik tapal batas. Batas itu sudah ditetapkan secara hukum. Yang digugat dalam konflik justru penetapan secara hukum itu. Maka, penyelesaiannya tidak bisa menafikan hukum. Hukum sudah melekat pada konflik itu.
Bahwa penyelesaian hukum bisa membawa ekses yang tidak diinginkan, itu bisa saja. Apa pun bentuk penyelesaian konflik, ekses selalu bisa muncul. Karena, konflik sudah jadi masalah sosial. Hubungan sebab-akibat di dalamnya jadi longgar. Sebuah sebab dapat menimbulkan banyak akibat berbeda. Sebuah akibat pun dapat muncul dari banyak sebab berbeda dan bahkan bertentangan.
Kalau semua bentuk penyesaian konflik bisa lahirkan ekses yang tidak diinginkan, apakah konflik tidak perlu diselesaikan? Tentu tidak. Ekses tidak boleh menjadi halangan. Untuk itu, ekses harus sudah diperhitungkan, guna diantisipasi dan diatasi, bukan dijadikan dalih tidak melakukan apa pun atau menunda-nunda penyelesaian masalah.
Kesan menunda penyelesaian masalah sangat terasa dalam konflik tapal batas Manggarai Timur dan Ngada. Akibat penundaan itu, ekses pun muncul. Jalan provinsi di wilayah perbatasan diblokir sekelompok orang. Jalan dipalang. Badan jalan dibelah menjadi got dengan dalam 1 meter dan lebar 2 meter. Akibatnya, akses ekonomi dan transportasi macet total. Ini dibiarkan berbulan-bulan.
Apakah ini yang diinginkan pendekatan kesehatian? Secara moral dan psikologis, mungkin tidak. Tapi secara logis, iya. Inilah konsekuensinya. Sebab, gubernur menolak penyelesaian hukum karena, menurutnya, jalur hukum bisa membawa ekses yang tidak diinginkan. Pertanyaan kita: pemblokiran jalan itu apa? Hilangnya akses ekonomi dan transportasi itu apa? Itu sudah ekses! Mau ekses mana lagi? Di sinilah lucunya pendekatan kesehatian. Ingin menghindari ekses, tapi justru melahirkan ekses.
Ini juga menunjukkan, pendekatan kesehatian tidak jelas konsepnya. Tidak jelas teorinya. Tidak jelas asumsinya. Tidak jelas pula perhitungan risikonya. Ujung-ujungnya nanti, pendekatan itu hanya menabung risiko untuk kemudian tidak menanggung risiko. Pendekatan kesehatian terancam hanya menjadi bentuk lain penghindaran tanggung jawab.
Kalau benar demikian, kita kecewa. Frans Lebu Raya adalah gubenur pertama NTT yang dipilih langsung oleh rakyat. Pemilukada langsung telah memberi dia dasar legitimasi yang amat kukuh. Ia mesti percaya diri. Tidak boleh jadi peragu.
Pendekatan kesehatian itu pendekatan ragu-ragu. Tidak jelas dan tidak tegas. Padahal duduk soal konflik tapal batas itu jelas. Pelanggarannya jelas. Eksesnya jelas. Instalasi hukum kita pun lengkap. Kenapa tidak digunakan? Lagi pula, negara ini negara hukum. Kasus itu kasus hukum. Jalur hukumlah yang tepat dan cepat. Sebab, diperlukan hanya satu teori, satu asumsi, dan satu risiko.
“Bentara” FLORES POS, Senin 2 Agustus 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
gubernur ntt frans lebu raya,
hukum,
konflik tapal batas manggarai timur dan ngada,
manggarai timur,
ngada,
pendekatan kesehatian,
politik
Langganan:
Postingan (Atom)