Solusi Kasus Tambang di Matim
Oleh Frans Anggal
Setelah sepekan memagari dan menduduki lokasi tambang mangan di tanah adat (lingko) Rengge Komba milik mereka. warga Serise, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Matim, menggelar ritus adat takung ceki ali rewak lingko, Sabtu 27 November 2010. Mereka korbankan seekor babi bagi nenek moyang karena lingko telah hancur oleh eksploitasi mangan (Flores Pos Senin 29 November 2010).
Ini ritus rekonsiliasi dengan roh nenek moyang (ceki). Dalam perasaan religius masyarakat adat, nenek moyang pasti marah. Anak cucu tidak tahu menjaga tanah warisan leluhur (mbate dise ame, redong dise empo). Mereka lengah dan lalai, sehingga tanah leluhur akhirnya diklaim oleh pihak yang tidak berhak dan dieksploitasi oleh pihak yang tidak pernah mereka serahi tanah itu untuk ditambang. Tanah itu kini terluka (rewak). Mereka telah berdosa terhadap leluhur dan alam. Mereka khawatir akan murka. Lewat kurban (takung) ini mereka mohon pengampunan, perdamaian, dan berkat untuk hidup selanjutnya.
Ritus dipimpin Siprianus Amon, dihadiri warga Serise, tu’a teno Weleng, tu’a teno Luwuk, tu’a teno Satarteu, dan Kades Satarpunda Bernabas Raba. Tu’a teno itu semacam kepala pertanahan dalam adat. Kehadiran mereka, terutama tu’a teno Satarteu, merupakan pengakuan bahwa lingko Rengge Komba milik Serise, bukan milik Satarteu. Selama ini PT Arumbai selalu beralasan, penambangannya sah karena telah direstui warga Satarteu selaku pemilik lingko.
Menurut Pater Mateus Batubara OFM dari JPIC OFM Indonesia, semua tua adat yang hadir menegaskan, lingko Rengge Komba milik Serise. “Tua-tua adat yang omong hari ini bukan sembarangan. Mereka tahu sejarah. Pertahankan hak ini!” tandas Kades Satarpunda Bernabas Raba.
Hadirnya 7 tua adat Satarteu dalam ritus ini semakin memberi pengukuhan. Sekaligus, menunjukkan bahwa antara Serise dan Satarteu tidak ada masalah. “Pihak-pihak lain saja yang mencari-cari cara untuk membenturkan Serise dengan Satarteu,” kata Pater Mateus.
Pernyataan ini penting. Pertama, PT Arumbai selalu beralasan penambangan di Rengge Komba sah karena telah direstui warga Satarteu sebagai pemilik lingko. Ini bisa berdampak---kalau tidak dikatakan bertujuan---melahirkan konflik horizontal antar-masyarakat adat. Tidak mengejutkan. Ini laku umum pertambangan di Indonesia. Devide et impera. Pecah-belahkan dan kuasai.
Kedua, Bupati Yoseph Tote barusan membuat pernyataan bahwa masalah di Serise itu bukan masalah tambang, tapi masalah tanah (Flores Pos Kamis 25 November 2010). Ini bisa berbahaya. Di satu sisi meluputkan PT Arumbai dari tanggung jawab dan tanggung gugat, di lain sisi membenturkan Serise dengan Satarteu. Yang pertama itu merusak keadilan. Yang kedua itu merusak kedamaian. Sedangkan PT Arumbai boleh terus merusak lingko.
Ini dasar mengapa warga Serise menolak datang ke Dampek untuk hadiri pertemuan dengan PT Arumbai dan tua adat Satarteu yang difasilitasi bupati. Mereka kecewa dengan cara wawas pemkab yang buntungkan mereka dan untungkan PT Arumbai. Kalau kasus Serise sekadar masalah tanah dan bukan masalah tambang maka konsekuensinya jelas: penambangan boleh jalan terus. Ini yang mereka tolak. Mereka justru mendesak penambangan dihentikan.
Bupati perlu memahami gejolak hati dan pikiran masyarakat Serise. Derita, kecemasan, dan harapan mereka hanya bisa terekam baik kalau bupati menangkap langsung dan lengkap atmosfer sikon empirik di lokasi sengketa. Bupati perlu ke sana. Sekaligus memenuhi permintaan warga. Datanglah, lihat langsung dan dengar langsung. Tidak cukup sampai di Dampek.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 30 November 2010
30 November 2010
Bupati Perlu ke Serise
Label:
bentara,
bupati matim,
flores,
flores pos,
matim,
pertambangan,
serise
29 November 2010
Serise: Tanah & Tambang!
Mengkritisi Pernyataan Bupati Matim
Oleh Frans Anggal
Hampir sepekan warga Serise, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Matim, duduki dan pagari lokasi tambang mangan di tanah adat Rengge Komba milik mereka. Ini mereka tempuh setelah berkali-kali mereka mengadu ke pemkab dan polres (Flores Pos Sabtu 7 November 2010).
Menurut Pater Simon Suban SVD dari JPIC SVD Ruteng, sudah 7 kali warga adukan PT Arumbai masuk lokasi tanpa persetujuan mereka. Berkali-kali mereka protes langsung ke PT Arumbai. Pada 23 November 2010 mereka laporkan ke polres penyerobotan oleh PT Arumbai dan Istindo Mitra Perdana.
Tidak ada tanggapan. Maka, mereka duduki dan pagari lokasi. Saat sudah begini baru muncul ke lokasi: kapolres, kadistamben, kasat pol PP, kaban kesbanglinmas. Mereka ajak warga ke Borong, ibu kota Matim, untuk cari solusi. Warga menolak. Warga tetap di tempat, tidur di lokasi.
Warga, 300-an orang, pernah ke Borong, Selasa 9 November 2010. Mereka memprotes eksploitasi mangan di tanah mereka. Saat itu DPRD janjikan wacana pembentukan pansus. Bupati janjikan pertemuan dengan pihak terkait. Janji belum terlaksana. Sementara, lahan warga tetap dieksploitasi. Artinya, perusahaan tetap diuntungkan, sedangkan warga tetap dibuntungkan. Ini tidak adil. Menunda pelaksanaan janji sama dengan menunda pemenuhan keadilan. Menunda pemenuhan keadilan sama dengan melanggengkan ketidakadilan.
Dalam konteks ketidakadilan itulah tindakan warga duduki dan pagari lokasi dapat dibenarkan secara moral, meski---dan itu pasti---dipersoalkan secara legal oleh perusahaan. Boleh dibilang, ini konflik yang legal vs yang moral. Dalam banyak kasus, yang legal kalahkan yang moral. Per-UU-an kalahkan keadilan. Huruf hukum kalahkan roh hukum.
Ini tidak boleh terjadi. Roh hukum harus diembuskan sebelum huruf hukum dituturkan. Keadilan harus ditegakkan sebelum per-UU-an diperbincangkan. Yang moral harus dimenangkan sebelum yang legal ditetapkan.
Maka, sambil menunggu penyelesaian sengketa, penambangan harus dihentikan. Meneruskan penambangan sama artinya dengan melanggengkan ketidakadilan. Tujuan warga duduki dan pagari lokasi justru itu. Untuk hentikan penambangan, hentikan pelanggengan ketidakadilan. Ini prasyarat penyelesaian masalah. Karena itu, pemkab dan polres jangan hanya desak warga tinggalkan lokasi. Desaklah juga perusahaan hentikan penambangan.
Dengan latar ini, pernyataan Bupati Yoseph Tote perlu dikritisi. Dia bilang, masalah pokok di Serise bukan masalah tambang tapi masalah tanah. Menanggapi pernyataan ini, “Senggol” Flores Pos Jumat 26 November 2010 nyeletuk, “O ya? Selama ini menambang di langit.”
Tanah dan tambang dalam kasus ini ibarat dua diagram yang bagiannya saling mencakup. Tambang itu di tanah (bukan di langit!), dan tanah itu ditambang (bukan dikebuni!). Bagaimana mungkin kasus ini hanya masalah tanah dan bukan masalah tambang? Selain tidak logis dan tidak realistis, dikotomi itu berkonsekuensi langgengkan ketidakadilan. Logikanya begini: karena ini bukan masalah tambangnya maka penambangan jalan terus, sedangkan warga harus tinggalkan lokasi untuk selesaikan masalah tanahnya.
Konskuensi seperti itu asimetris. Tidak adil. Perusahaan tetap untung, warga tetap buntung. Masalah Serise, ya masalah tanah, ya masalah tambang! Maka, sebelum diselesaikan, hentikan semua aktivitas di lokasi, baik penambangan maupun pendudukan dan pemagaran. Itu baru simetris. Itu baru adil. Keadilan hanya bisa ditegakkan dengan cara yang adil.
“Bentara” FLORES POS, Senin 29 November 2010
Oleh Frans Anggal
Hampir sepekan warga Serise, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Matim, duduki dan pagari lokasi tambang mangan di tanah adat Rengge Komba milik mereka. Ini mereka tempuh setelah berkali-kali mereka mengadu ke pemkab dan polres (Flores Pos Sabtu 7 November 2010).
Menurut Pater Simon Suban SVD dari JPIC SVD Ruteng, sudah 7 kali warga adukan PT Arumbai masuk lokasi tanpa persetujuan mereka. Berkali-kali mereka protes langsung ke PT Arumbai. Pada 23 November 2010 mereka laporkan ke polres penyerobotan oleh PT Arumbai dan Istindo Mitra Perdana.
Tidak ada tanggapan. Maka, mereka duduki dan pagari lokasi. Saat sudah begini baru muncul ke lokasi: kapolres, kadistamben, kasat pol PP, kaban kesbanglinmas. Mereka ajak warga ke Borong, ibu kota Matim, untuk cari solusi. Warga menolak. Warga tetap di tempat, tidur di lokasi.
Warga, 300-an orang, pernah ke Borong, Selasa 9 November 2010. Mereka memprotes eksploitasi mangan di tanah mereka. Saat itu DPRD janjikan wacana pembentukan pansus. Bupati janjikan pertemuan dengan pihak terkait. Janji belum terlaksana. Sementara, lahan warga tetap dieksploitasi. Artinya, perusahaan tetap diuntungkan, sedangkan warga tetap dibuntungkan. Ini tidak adil. Menunda pelaksanaan janji sama dengan menunda pemenuhan keadilan. Menunda pemenuhan keadilan sama dengan melanggengkan ketidakadilan.
Dalam konteks ketidakadilan itulah tindakan warga duduki dan pagari lokasi dapat dibenarkan secara moral, meski---dan itu pasti---dipersoalkan secara legal oleh perusahaan. Boleh dibilang, ini konflik yang legal vs yang moral. Dalam banyak kasus, yang legal kalahkan yang moral. Per-UU-an kalahkan keadilan. Huruf hukum kalahkan roh hukum.
Ini tidak boleh terjadi. Roh hukum harus diembuskan sebelum huruf hukum dituturkan. Keadilan harus ditegakkan sebelum per-UU-an diperbincangkan. Yang moral harus dimenangkan sebelum yang legal ditetapkan.
Maka, sambil menunggu penyelesaian sengketa, penambangan harus dihentikan. Meneruskan penambangan sama artinya dengan melanggengkan ketidakadilan. Tujuan warga duduki dan pagari lokasi justru itu. Untuk hentikan penambangan, hentikan pelanggengan ketidakadilan. Ini prasyarat penyelesaian masalah. Karena itu, pemkab dan polres jangan hanya desak warga tinggalkan lokasi. Desaklah juga perusahaan hentikan penambangan.
Dengan latar ini, pernyataan Bupati Yoseph Tote perlu dikritisi. Dia bilang, masalah pokok di Serise bukan masalah tambang tapi masalah tanah. Menanggapi pernyataan ini, “Senggol” Flores Pos Jumat 26 November 2010 nyeletuk, “O ya? Selama ini menambang di langit.”
Tanah dan tambang dalam kasus ini ibarat dua diagram yang bagiannya saling mencakup. Tambang itu di tanah (bukan di langit!), dan tanah itu ditambang (bukan dikebuni!). Bagaimana mungkin kasus ini hanya masalah tanah dan bukan masalah tambang? Selain tidak logis dan tidak realistis, dikotomi itu berkonsekuensi langgengkan ketidakadilan. Logikanya begini: karena ini bukan masalah tambangnya maka penambangan jalan terus, sedangkan warga harus tinggalkan lokasi untuk selesaikan masalah tanahnya.
Konskuensi seperti itu asimetris. Tidak adil. Perusahaan tetap untung, warga tetap buntung. Masalah Serise, ya masalah tanah, ya masalah tambang! Maka, sebelum diselesaikan, hentikan semua aktivitas di lokasi, baik penambangan maupun pendudukan dan pemagaran. Itu baru simetris. Itu baru adil. Keadilan hanya bisa ditegakkan dengan cara yang adil.
“Bentara” FLORES POS, Senin 29 November 2010
Label:
flores,
flores pos,
matim,
pertambangan,
serise
27 November 2010
Mengharukan & Menyedihkan
Demo Tolak Tambang di Lembata
Oleh Frans Anggal
Demo tolak tambang ke kantor bupati dan DPRD di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata, Rabu 24 November 2010, sungguh dramatis. Di satu sisi demo itu mengharukan. Di lain sisi demo itu menyedihkan.
Mengharukan. Jumlah demonstran 2.000-an. Tidak hanya berjumlah besar, aksi ini berdaya dukung luas. Demo tidak hanya libatkan masyarakat wilayah Kedang dan Leragere yang merupakan incaran tambang emas dan tembaga, tapi juga sertakan warga beberapa kecamatan. Para kades pun ikut beraksi. Demonstran bertahan dari siang hingga pukul 20.30.
Hal mengharukan ini menampakkan, betapa tolak tambang di Lembata telah jadi gerakan sosial masyarakat akar rumput. Gerakan sosial ini ditandai solidaritas, soliditas, dan militansi. Karena itu, masyarakat tidak sekadar berslogan ketika berpekik, “tolak tambang harga mati”, “tolak tambang sampai titik darah terakhir”. Hasilnya nyata. Sampai detik ini tambang belum masuk.
Ini buah perjuangan panjang sejak 2006. Selama itu, mereka berjuang sendirian dalam kebersamaan, dan berjuang bersama dalam kesendirian. Tidak hanya “tanpa” dukungan bupati dan DPRD, perjuangan mereka justru “melawan” bupati dan DPRD. Orang yang dulu mereka pilih dengan penuh harapan, kini mereka hadapi dengan penuh kekecewaan.
Perjuangan melawan arogansi penguasa ini adalah pertarungan. Ini perang. Dalam kultur masyarakat Flores-Lembata dan NTT umumnya, perempuan tidak turun ke palagan menghadapi musuh. Mereka cukup berada di fron paling belakang, memainkan peran domestik dan logistik. Kalau mereka sampai ikut ke medan laga, itu berarti mereka sudah tidak tahan.
Justru hal seperti inilah yang terjadi pada demo hari itu. Dari 2.000-an demonstran, mayoritasnya adalah perempuan, khususnya ibu-ibu. Dalam pandangan modern, sudah seharusnya perempuan turut berjuang tolak tambang. Sebab, pertambangan memicu kekerasan dan ketidakadilan terhadap mereka. Mereka kelompok paling rentan menghadapi dampak pertambangan. Mereka dijauhkan dari sumber penghidupannya semula. Pencemaran menyebabkan mereka mengalami masalah dalam sistem reproduksi.
Dalam pandangan tradisional---dan itulah yang terjadi pada demo di Lembata---bacaannya lain. Perempuan adalah personifikasi “kerahiman” yang terpaksa masuk ke ranah perjuangan “keadilan” tolak tambang yang secara kultural seharusnya hanya dipersonifikasikan laki-laki. Artinya apa? Di mata masyarakat tradisional itu, ngotot tambang eksekutif-legislatif Lembata sudah sangat bobrok. Sedemikian bobroknya sehingga memaksa perempuan ikut berdemo sambil membawa bekal dari kampung.
Pada titik ini, demo mengharukan itu adalah juga demo menyedihkan. Yang menyedihkan bukan ibu-ibu. tapi bapak-bapak, khususnya bapak bupati. Bapak DPRD mendingan, bersedia menemui demonstran. Bapak bupati tidak. Dia cuma kirim dua utusan: asisten satu setda dan kapolres. Makin menyedihkan, ternyata bapak bupati ini berbohong.
Via kapolres, kepada massa, dia bilang dia tidak pernah keluarkan surat izin tambang. Eh, selang beberapa jam, kepada utusan massa dia bilang, dia pernah keluarkan izin tambang. Dan, kepada wartawan dia akui, pemkab sudah terima Rp1,7 miliar dari PT Puku Afu Indah, anak perusahaan Merukh Enterprises, sebagai dana jaminan kesungguhan investor. Namun, katanya lagi, dana itu sudah dikembalikan. “Karena itu, untuk sementara kita sedang melakukan penangguhan perizinan penambangan kepada PT Puku Ufu Indah.”
Benarkah itu? Jangan-jangan ini pembohongan jilid dua.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 27 November 2010
Oleh Frans Anggal
Demo tolak tambang ke kantor bupati dan DPRD di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata, Rabu 24 November 2010, sungguh dramatis. Di satu sisi demo itu mengharukan. Di lain sisi demo itu menyedihkan.
Mengharukan. Jumlah demonstran 2.000-an. Tidak hanya berjumlah besar, aksi ini berdaya dukung luas. Demo tidak hanya libatkan masyarakat wilayah Kedang dan Leragere yang merupakan incaran tambang emas dan tembaga, tapi juga sertakan warga beberapa kecamatan. Para kades pun ikut beraksi. Demonstran bertahan dari siang hingga pukul 20.30.
Hal mengharukan ini menampakkan, betapa tolak tambang di Lembata telah jadi gerakan sosial masyarakat akar rumput. Gerakan sosial ini ditandai solidaritas, soliditas, dan militansi. Karena itu, masyarakat tidak sekadar berslogan ketika berpekik, “tolak tambang harga mati”, “tolak tambang sampai titik darah terakhir”. Hasilnya nyata. Sampai detik ini tambang belum masuk.
Ini buah perjuangan panjang sejak 2006. Selama itu, mereka berjuang sendirian dalam kebersamaan, dan berjuang bersama dalam kesendirian. Tidak hanya “tanpa” dukungan bupati dan DPRD, perjuangan mereka justru “melawan” bupati dan DPRD. Orang yang dulu mereka pilih dengan penuh harapan, kini mereka hadapi dengan penuh kekecewaan.
Perjuangan melawan arogansi penguasa ini adalah pertarungan. Ini perang. Dalam kultur masyarakat Flores-Lembata dan NTT umumnya, perempuan tidak turun ke palagan menghadapi musuh. Mereka cukup berada di fron paling belakang, memainkan peran domestik dan logistik. Kalau mereka sampai ikut ke medan laga, itu berarti mereka sudah tidak tahan.
Justru hal seperti inilah yang terjadi pada demo hari itu. Dari 2.000-an demonstran, mayoritasnya adalah perempuan, khususnya ibu-ibu. Dalam pandangan modern, sudah seharusnya perempuan turut berjuang tolak tambang. Sebab, pertambangan memicu kekerasan dan ketidakadilan terhadap mereka. Mereka kelompok paling rentan menghadapi dampak pertambangan. Mereka dijauhkan dari sumber penghidupannya semula. Pencemaran menyebabkan mereka mengalami masalah dalam sistem reproduksi.
Dalam pandangan tradisional---dan itulah yang terjadi pada demo di Lembata---bacaannya lain. Perempuan adalah personifikasi “kerahiman” yang terpaksa masuk ke ranah perjuangan “keadilan” tolak tambang yang secara kultural seharusnya hanya dipersonifikasikan laki-laki. Artinya apa? Di mata masyarakat tradisional itu, ngotot tambang eksekutif-legislatif Lembata sudah sangat bobrok. Sedemikian bobroknya sehingga memaksa perempuan ikut berdemo sambil membawa bekal dari kampung.
Pada titik ini, demo mengharukan itu adalah juga demo menyedihkan. Yang menyedihkan bukan ibu-ibu. tapi bapak-bapak, khususnya bapak bupati. Bapak DPRD mendingan, bersedia menemui demonstran. Bapak bupati tidak. Dia cuma kirim dua utusan: asisten satu setda dan kapolres. Makin menyedihkan, ternyata bapak bupati ini berbohong.
Via kapolres, kepada massa, dia bilang dia tidak pernah keluarkan surat izin tambang. Eh, selang beberapa jam, kepada utusan massa dia bilang, dia pernah keluarkan izin tambang. Dan, kepada wartawan dia akui, pemkab sudah terima Rp1,7 miliar dari PT Puku Afu Indah, anak perusahaan Merukh Enterprises, sebagai dana jaminan kesungguhan investor. Namun, katanya lagi, dana itu sudah dikembalikan. “Karena itu, untuk sementara kita sedang melakukan penangguhan perizinan penambangan kepada PT Puku Ufu Indah.”
Benarkah itu? Jangan-jangan ini pembohongan jilid dua.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 27 November 2010
Label:
bentara,
bupati lembata,
demo tolak tambang,
dprd lembata,
flores,
flores pos,
lembata,
pertambangan
26 November 2010
Demo Tolak Pasal Krusial
Tolak Tambang di Lembata
Oleh Frans Anggal
Sekitar 2-000-an massa menggelar aksi tolak tambang di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata, Rabu 24 November 2010. Mereka, warga dari Kecamatan Lebatukan, Kecamatan Kedang, dan beberapa kecamatan lain. Turut serta dalam aksi ini, empat kepala desa. Massa bergerak bersama beberapa elemen civil society seperti Barisan Rakyat Kedang Bersatu dan JPIC SVD (Flores Pos Kamis 25 November 2010).
Dalam pawai menuju kantor DPRD dan kantor bupati, mereka pekikkan yel dan bentangkan poster: tolak tambang harga mati. Dalam orasi, mereka tegaskan: tetap menolak tambang sampai titik darah penghabisan. Mereka mengecam pihak-pihak yang mencatut nama mereka mendukung tambang. Mereka meminta bupati dan DPRD tidak menjadi antek perusahaan tambang.
Di kantor DPRD, mereka mendesak agar pasal 50 dalam ranperda RTRW, yang memuat frasa “mineral, logam, dan radioaktif”, digugurkan. Di kantor bupati, mereka mendesak Bupati Andreas Duli Manuk menemui mereka. Bupati menolak dan hanya mengutus Asisten I Setda Nico Padji Liarian. Kepada wartawan, bupati katakan, “Mereka demo tolak tambang tidak relevan, tidak beralasan, dan demo kepada siapa?”
Ini mencengangkan. Seorang bupati tidak mampu melihat relevansi, alasan, dan sasaran demo yang sedang digelar warganya. Orang di luar Lembata, yang notabene bukan bupati, gampang koq melihat itu. Demo tolak tambang oleh 2.000-an massa itu relevan, beralasan, dan bersasaran jelas.
Relevan, karena menyangkut ranperda RTRW usulan bupati yang sedang dibahas DPRD. Ranperda itu memuat pasal krusial yang memudahkan masuknya tambang yang oleh masyarakat justru sudah ditolak. Mereka berdemo karena bupati dan sebagian DPRD masih ngotot tambang. Jadi, tidak hanya relevan, demo mereka beralasan. Demo kepada sapa? Ya jelaslah kepada bupati (pengusul ranperda) dan DPRD (pembahas ranperda).
Kalau benar bupati tidak mampu melihat relevansi, alasan, dan sasaran demo, itu salahnya sendiri. Dia cuma berani omong sama wartawan. Dengan demikian, dia tidak segera mendapat tanggapan dan jawaban atas apa yang dia nyatakan dan dia tanyakan. Seandainya dia berani temui massa, semuanya segera jelas.
Namun, akal sehat kita berteriak: tidak mungkin bupati tidak tahu! Kalau mau jujur, bupati tahu koq relevansi, alasan, dan sasaran demo hari itu. Patut dapat diduga, dia cuma berlagak tidak tahu. Untuk itulah dia ‘harus’ bertanya. Maka, pertanyaannya itu kedok kemunafikan, bukan tanda ketidaktahuan.
Bupati bikin sewot massa. Syukur, DPRD-nya tidak. Demonstran diterima baik oleh Wakil Ketua Dewan Yos Meran Lagour. Tanggapannya terhadap desakan agar gugurkan pasal krusial ranperda pun cukup bisa diterima oleh massa. Ada tiga pernyataannya yang patut disimak.
Pertama, jika pasal krusial tetap diakomodasi, maka kepentingan rakyat tetap diutamakan. Kedua, jika kehadiran massa ini representatif, maka tidak ada jalan lain bagi DPRD menolak tambang dan menggugurkan pasal krusial itu. Ketiga, jika masih ada perbedaan pendapat di kalangan DPRD, maka sampai kapan pun ranperda RTRW tidak bisa ditetapkan menjadi perda.
Ketiga pernyataan itu diawali kata “jika”. Bersifat kondisional. Kata kuncinya: kondisi, sebagai prasyarat. Maka, pesan bagi masyarakat tolak tambang: pilih yang mana. Kalau sudah pilih, ciptakanlah kondisinya. Selamat berjuang!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 26 November 2010
Oleh Frans Anggal
Sekitar 2-000-an massa menggelar aksi tolak tambang di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata, Rabu 24 November 2010. Mereka, warga dari Kecamatan Lebatukan, Kecamatan Kedang, dan beberapa kecamatan lain. Turut serta dalam aksi ini, empat kepala desa. Massa bergerak bersama beberapa elemen civil society seperti Barisan Rakyat Kedang Bersatu dan JPIC SVD (Flores Pos Kamis 25 November 2010).
Dalam pawai menuju kantor DPRD dan kantor bupati, mereka pekikkan yel dan bentangkan poster: tolak tambang harga mati. Dalam orasi, mereka tegaskan: tetap menolak tambang sampai titik darah penghabisan. Mereka mengecam pihak-pihak yang mencatut nama mereka mendukung tambang. Mereka meminta bupati dan DPRD tidak menjadi antek perusahaan tambang.
Di kantor DPRD, mereka mendesak agar pasal 50 dalam ranperda RTRW, yang memuat frasa “mineral, logam, dan radioaktif”, digugurkan. Di kantor bupati, mereka mendesak Bupati Andreas Duli Manuk menemui mereka. Bupati menolak dan hanya mengutus Asisten I Setda Nico Padji Liarian. Kepada wartawan, bupati katakan, “Mereka demo tolak tambang tidak relevan, tidak beralasan, dan demo kepada siapa?”
Ini mencengangkan. Seorang bupati tidak mampu melihat relevansi, alasan, dan sasaran demo yang sedang digelar warganya. Orang di luar Lembata, yang notabene bukan bupati, gampang koq melihat itu. Demo tolak tambang oleh 2.000-an massa itu relevan, beralasan, dan bersasaran jelas.
Relevan, karena menyangkut ranperda RTRW usulan bupati yang sedang dibahas DPRD. Ranperda itu memuat pasal krusial yang memudahkan masuknya tambang yang oleh masyarakat justru sudah ditolak. Mereka berdemo karena bupati dan sebagian DPRD masih ngotot tambang. Jadi, tidak hanya relevan, demo mereka beralasan. Demo kepada sapa? Ya jelaslah kepada bupati (pengusul ranperda) dan DPRD (pembahas ranperda).
Kalau benar bupati tidak mampu melihat relevansi, alasan, dan sasaran demo, itu salahnya sendiri. Dia cuma berani omong sama wartawan. Dengan demikian, dia tidak segera mendapat tanggapan dan jawaban atas apa yang dia nyatakan dan dia tanyakan. Seandainya dia berani temui massa, semuanya segera jelas.
Namun, akal sehat kita berteriak: tidak mungkin bupati tidak tahu! Kalau mau jujur, bupati tahu koq relevansi, alasan, dan sasaran demo hari itu. Patut dapat diduga, dia cuma berlagak tidak tahu. Untuk itulah dia ‘harus’ bertanya. Maka, pertanyaannya itu kedok kemunafikan, bukan tanda ketidaktahuan.
Bupati bikin sewot massa. Syukur, DPRD-nya tidak. Demonstran diterima baik oleh Wakil Ketua Dewan Yos Meran Lagour. Tanggapannya terhadap desakan agar gugurkan pasal krusial ranperda pun cukup bisa diterima oleh massa. Ada tiga pernyataannya yang patut disimak.
Pertama, jika pasal krusial tetap diakomodasi, maka kepentingan rakyat tetap diutamakan. Kedua, jika kehadiran massa ini representatif, maka tidak ada jalan lain bagi DPRD menolak tambang dan menggugurkan pasal krusial itu. Ketiga, jika masih ada perbedaan pendapat di kalangan DPRD, maka sampai kapan pun ranperda RTRW tidak bisa ditetapkan menjadi perda.
Ketiga pernyataan itu diawali kata “jika”. Bersifat kondisional. Kata kuncinya: kondisi, sebagai prasyarat. Maka, pesan bagi masyarakat tolak tambang: pilih yang mana. Kalau sudah pilih, ciptakanlah kondisinya. Selamat berjuang!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 26 November 2010
Label:
bentara,
demo tolak tambang,
flores,
flores pos,
lembata,
pertambangan,
ranperda rtrw
25 November 2010
Nagekeo: Parah Deh!
Menyoal Prosedur Lamaran CPNSD
Oleh Frans Anggal
Semua CPNSD Kabupaten Nagekeo 2010 diwajibkan mengirim lamaran melalui kantor pos terdekat. ”Lamaran dikirim melalui kantor pos untuk menghindari kontak langsung dengan petugas, yang bisa saja dianggap ada pilih kasih,” kata Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Aloysius Tiba (Flores Pos Senin 22 November 2010).
Apa tanggapan CPNSD? Mereka belum memberi tanggapan. Bisa dimengerti. Namanya juga calon, mereka terpaksa berlagak kerbau dicocok hidung. Ikut-ikut sa. Sebab, mereka tahu, bersikap kritis apalagi menantang dan menentang pada tahap seperti ini sama artinya dengan bunuh diri.
Belum adanya tanggapan CPNSD tidak berarti tidak adanya masalah. Anggota DPRD Nagekeo Marselinus Damara menilai prosedur melalui kantor pos tidak efektif. “Kantor pos Mbay ada di Mbay. Kantor bupati Nagekeo juga ada di Mbay. Kenapa (lamaran ke kantor bupati) harus diantar ke kantor pos lagi? Kecuali (bagi) mereka yang dari luar Mbay, (lamaran) bisa dikirim via kantor pos” (Flores Pos Rabu 24 November 2010).
Selain tidak efektif, cara seperti itu tidak efisien. “Bayangkan, pelamar yang berjubel itu pasti harus bayar (resi di kantor pos) tujuh ribu lima ratus (rupiah) per orang,” kata Damara. Dengan seribu pelamar saja, kantor pos memanen Rp7,5 juta. Kalau berkas harus bolak-balik karena belum lengkap, pemasukan kantor pos tentu berlipat.
“Hindari kesan bahwa sistem atau metode yang digunakan adalah komerisalisasi,” kata Damara. Betul. Sayangnya, kesan itu sudah tidak bisa dihindari. Kalau pada banyak daerah, pelamar hanya berurusan dengan toko untuk “habiskan” duit, pada seleksi CPNSD Nagekeo mereka harus “terkuras” lagi di kantor pos.
Tidak salah kalau dikatakan, prosedur ala Nagekeo ini contoh terbaik tentang pelayanan terburuk. Karakteristik ideal pelayanan publik adalah cepat, mudah, murah. Tak perlu diuraikan panjang lebar, kecuali bagi pelamar jauh, berurusan langsung dengan BKD akan lebih cepat, lebih mudah, dan lebih murah ketimbang melalui kantor pos. Langsung ke BKD bagi pelamar dekat merupkan pilihan rasional. Ini tidak. Main pukul rata. Semua harus via kantor pos.
Pukul rata ini semakin mengutakan kesan “komersialisasi”, meminjam istilah Marselinus Damara. Modus umumnya adalah bikin buntung supaya untung. Demi untung, maka prinsip pelayanannya: kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat. Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah. Kalau bisa dipermahal, kenapa harus dipermurah.
Kesan ini bertambah kuat karena argumentasi pemkab lemah. Dari penjelasan Sekretaris BKD Aloysius Tiba terungkap, tujuan pelamaran melalui kantor pos adalah untuk menghindari kontak langsung dengan petugas. Kontak langsung “bisa dianggap ada pilih kasih”.
Ini argumentasi parah. Pertama, pilih kasih tidak hanya bisa dibangun melalui kontak langsung. Bisa juga melalui kontak tidak langsung: via orang lain atau sarana komunikasi. Kedua, pilih kasih itu atribut yang dilekatkan pada orang BKD. Itu dosanya BKD. Kenapa dosa BKD harus didampakkan ke CPNSD? BKD yang bikin dosa, CPNSD yang pikul salib. Tidak adil.
Selain tidak adil, tidak rasional. Gatalnya di kepala, garuknya di kaki. Semestinya, struktur, sistem, mekanisme, dan budaya kerja di BKD itulah yang dibereskan. Wah, wah, parah deh!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 25 November 2010
Oleh Frans Anggal
Semua CPNSD Kabupaten Nagekeo 2010 diwajibkan mengirim lamaran melalui kantor pos terdekat. ”Lamaran dikirim melalui kantor pos untuk menghindari kontak langsung dengan petugas, yang bisa saja dianggap ada pilih kasih,” kata Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Aloysius Tiba (Flores Pos Senin 22 November 2010).
Apa tanggapan CPNSD? Mereka belum memberi tanggapan. Bisa dimengerti. Namanya juga calon, mereka terpaksa berlagak kerbau dicocok hidung. Ikut-ikut sa. Sebab, mereka tahu, bersikap kritis apalagi menantang dan menentang pada tahap seperti ini sama artinya dengan bunuh diri.
Belum adanya tanggapan CPNSD tidak berarti tidak adanya masalah. Anggota DPRD Nagekeo Marselinus Damara menilai prosedur melalui kantor pos tidak efektif. “Kantor pos Mbay ada di Mbay. Kantor bupati Nagekeo juga ada di Mbay. Kenapa (lamaran ke kantor bupati) harus diantar ke kantor pos lagi? Kecuali (bagi) mereka yang dari luar Mbay, (lamaran) bisa dikirim via kantor pos” (Flores Pos Rabu 24 November 2010).
Selain tidak efektif, cara seperti itu tidak efisien. “Bayangkan, pelamar yang berjubel itu pasti harus bayar (resi di kantor pos) tujuh ribu lima ratus (rupiah) per orang,” kata Damara. Dengan seribu pelamar saja, kantor pos memanen Rp7,5 juta. Kalau berkas harus bolak-balik karena belum lengkap, pemasukan kantor pos tentu berlipat.
“Hindari kesan bahwa sistem atau metode yang digunakan adalah komerisalisasi,” kata Damara. Betul. Sayangnya, kesan itu sudah tidak bisa dihindari. Kalau pada banyak daerah, pelamar hanya berurusan dengan toko untuk “habiskan” duit, pada seleksi CPNSD Nagekeo mereka harus “terkuras” lagi di kantor pos.
Tidak salah kalau dikatakan, prosedur ala Nagekeo ini contoh terbaik tentang pelayanan terburuk. Karakteristik ideal pelayanan publik adalah cepat, mudah, murah. Tak perlu diuraikan panjang lebar, kecuali bagi pelamar jauh, berurusan langsung dengan BKD akan lebih cepat, lebih mudah, dan lebih murah ketimbang melalui kantor pos. Langsung ke BKD bagi pelamar dekat merupkan pilihan rasional. Ini tidak. Main pukul rata. Semua harus via kantor pos.
Pukul rata ini semakin mengutakan kesan “komersialisasi”, meminjam istilah Marselinus Damara. Modus umumnya adalah bikin buntung supaya untung. Demi untung, maka prinsip pelayanannya: kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat. Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah. Kalau bisa dipermahal, kenapa harus dipermurah.
Kesan ini bertambah kuat karena argumentasi pemkab lemah. Dari penjelasan Sekretaris BKD Aloysius Tiba terungkap, tujuan pelamaran melalui kantor pos adalah untuk menghindari kontak langsung dengan petugas. Kontak langsung “bisa dianggap ada pilih kasih”.
Ini argumentasi parah. Pertama, pilih kasih tidak hanya bisa dibangun melalui kontak langsung. Bisa juga melalui kontak tidak langsung: via orang lain atau sarana komunikasi. Kedua, pilih kasih itu atribut yang dilekatkan pada orang BKD. Itu dosanya BKD. Kenapa dosa BKD harus didampakkan ke CPNSD? BKD yang bikin dosa, CPNSD yang pikul salib. Tidak adil.
Selain tidak adil, tidak rasional. Gatalnya di kepala, garuknya di kaki. Semestinya, struktur, sistem, mekanisme, dan budaya kerja di BKD itulah yang dibereskan. Wah, wah, parah deh!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 25 November 2010
Label:
bentara,
cpnsd 2010,
flores pos,
flors,
nagekeo,
pemerintahan
24 November 2010
Di Balik Kebakaran Nage
Hormati Adat dan Berdayakan Masyarakat Adat
Oleh Frans Anggal
Akibat hubungan arus pendek, tiga rumah adat hangus terbakar di Kampung Nage, Desa Dariwali, Kecamatan Jerebuu, Kabupaten Ngada, Kamis 18 November 2010. Ketiga rumah adat itu adalah Sao Sese Wali, Sao Pojo Molo, dan Sao Mue Zia. Turut terbakar, “ngadhu-bhaga” milik Suku Metu.
Ritus adat pemulihan dan tolak bala telah dilakukan pada Sabtu 20 November. Acara ini ditandai dengan “noza kaba”, penyembelihan kerbau korban. Acara dihadiri Bupati Marianus Sae dan Wabup Paulus Soliwoa. Tidak hanya hadir, bupati-wabup juga memberikan bantuan (Flores Pos Selasa 23 November 2010).
Bagi masyarakat adat, terbakarnya rumah adat dan simbol-simbol persekutuan bukanlah masalah kecil. Hangusnya semua perbendaharaan itu tidak hanya berarti hilangnya aset bersama, tapi juga dan malah terutama berarti terancamnya hidup persekutuan. Keterhilangan itu tidak hanya ancaman ekonomis, tapi juga dan terutama ancaman eksistensial.
Simaklah pernyataan Ketua Suku Metu, Andreas Molo, memaknai ikut terbakarnya “ngadhu-bhaga” mereka. “Kejadian seperti ini adalah isyarat bahwa ‘woe’ (suku) kami mau punah, karena ‘ngadhu-bhaga’ juga habis dimakan api. Akan tetapi, kami bertekad untuk berjuang membangun kembali, dan kami mohon bantuan dan uluran tangan pemerintah.”
“Ngadhu” dan “bhaga” merupakan monumen di tengah kampung, simbol eksitensi “woe” atau suku. Orang Ngada mengenal ungkapan, ”Ngadhu nee Bhaga tau rada go kisanata”. Dari jumlah “ngadhu” dan “bhaga”, dapat diketahui berapa jumlah suku dalam sebuah kampung. “Ngadhu” berupa tiang beratap, simbol laki-laki (lingga). Sedangkan “bhaga” berupa miniatur rumah berpintu terbuka, simbol perempuan (yoni).
Karena menyimbolkan sekaligus menandakan eksistensi suku maka hilangnya “ngadhu-bhaga” dianggap dan dirasakan seolah-olah sebagai hilangnya suku. Peristiwa yang menyebabkan hilangnya “ngadhu-bhaga”---dalam kasus di atas berupa hubungan arus pendek yang menimbulkan kebakaran---dipandang sebagai peristiwa chaostic, yang tidak hanya merusak harmoni tapi juga mengancam ekstensi suku.
Chaos tidak boleh dibiarkan berlangsung lama, baik berupa peristiwanya maupun akibat yang ditimbulkannya. Karena itu, tidak mengherankan, hanya berselang satu hari setelah kebakaran (18 November), masyarakat adat Kampung Nage langsung mengadakan ritus pemulihan dan tolak bala (20 November). Dari dasar dan tujuannya, ritus ini sesungguhnya ritus re-harmonisasi dan re-eksitensi suku. Ini ritus ‘kelas berat’. Maka, hewan korban yang pantas adalah kerbau.
Betapa suatu kehormatan, kebanggaan, penghiburan, dan peneguhan bagi warga suku dan warga kampung ketika Bupati Marianus Sae dan Wabup Paulus Soliwoa menyempatkan diri hadir dalam ritus ini. Selain berbagai bentuk bantuan yang telah diberikan Pemkab Ngada, kehadiran pemimpin tertinggi kabupaten ini memiliki nilai tersendiri bagi masyarakat adat yang dirundung duka eksistensial.
Kita berharap, kepedulian yang diperlihatkan bupati-wabup yang dikenal sebagai paket Mulus ini menjadi tanda positif untuk kiprah pembangunan Ngada ke depan. Hormati adat. Berdayakan masyarakat adat. Jangan biarkan Ngada tergadai mudah dan murah. Belajarlah dari kontroversi eksplorasi pertambangan biji besi di Riung, yang merupakan catatan buruk di senjakala bupati terdahulu.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 24 November 2010
Oleh Frans Anggal
Akibat hubungan arus pendek, tiga rumah adat hangus terbakar di Kampung Nage, Desa Dariwali, Kecamatan Jerebuu, Kabupaten Ngada, Kamis 18 November 2010. Ketiga rumah adat itu adalah Sao Sese Wali, Sao Pojo Molo, dan Sao Mue Zia. Turut terbakar, “ngadhu-bhaga” milik Suku Metu.
Ritus adat pemulihan dan tolak bala telah dilakukan pada Sabtu 20 November. Acara ini ditandai dengan “noza kaba”, penyembelihan kerbau korban. Acara dihadiri Bupati Marianus Sae dan Wabup Paulus Soliwoa. Tidak hanya hadir, bupati-wabup juga memberikan bantuan (Flores Pos Selasa 23 November 2010).
Bagi masyarakat adat, terbakarnya rumah adat dan simbol-simbol persekutuan bukanlah masalah kecil. Hangusnya semua perbendaharaan itu tidak hanya berarti hilangnya aset bersama, tapi juga dan malah terutama berarti terancamnya hidup persekutuan. Keterhilangan itu tidak hanya ancaman ekonomis, tapi juga dan terutama ancaman eksistensial.
Simaklah pernyataan Ketua Suku Metu, Andreas Molo, memaknai ikut terbakarnya “ngadhu-bhaga” mereka. “Kejadian seperti ini adalah isyarat bahwa ‘woe’ (suku) kami mau punah, karena ‘ngadhu-bhaga’ juga habis dimakan api. Akan tetapi, kami bertekad untuk berjuang membangun kembali, dan kami mohon bantuan dan uluran tangan pemerintah.”
“Ngadhu” dan “bhaga” merupakan monumen di tengah kampung, simbol eksitensi “woe” atau suku. Orang Ngada mengenal ungkapan, ”Ngadhu nee Bhaga tau rada go kisanata”. Dari jumlah “ngadhu” dan “bhaga”, dapat diketahui berapa jumlah suku dalam sebuah kampung. “Ngadhu” berupa tiang beratap, simbol laki-laki (lingga). Sedangkan “bhaga” berupa miniatur rumah berpintu terbuka, simbol perempuan (yoni).
Karena menyimbolkan sekaligus menandakan eksistensi suku maka hilangnya “ngadhu-bhaga” dianggap dan dirasakan seolah-olah sebagai hilangnya suku. Peristiwa yang menyebabkan hilangnya “ngadhu-bhaga”---dalam kasus di atas berupa hubungan arus pendek yang menimbulkan kebakaran---dipandang sebagai peristiwa chaostic, yang tidak hanya merusak harmoni tapi juga mengancam ekstensi suku.
Chaos tidak boleh dibiarkan berlangsung lama, baik berupa peristiwanya maupun akibat yang ditimbulkannya. Karena itu, tidak mengherankan, hanya berselang satu hari setelah kebakaran (18 November), masyarakat adat Kampung Nage langsung mengadakan ritus pemulihan dan tolak bala (20 November). Dari dasar dan tujuannya, ritus ini sesungguhnya ritus re-harmonisasi dan re-eksitensi suku. Ini ritus ‘kelas berat’. Maka, hewan korban yang pantas adalah kerbau.
Betapa suatu kehormatan, kebanggaan, penghiburan, dan peneguhan bagi warga suku dan warga kampung ketika Bupati Marianus Sae dan Wabup Paulus Soliwoa menyempatkan diri hadir dalam ritus ini. Selain berbagai bentuk bantuan yang telah diberikan Pemkab Ngada, kehadiran pemimpin tertinggi kabupaten ini memiliki nilai tersendiri bagi masyarakat adat yang dirundung duka eksistensial.
Kita berharap, kepedulian yang diperlihatkan bupati-wabup yang dikenal sebagai paket Mulus ini menjadi tanda positif untuk kiprah pembangunan Ngada ke depan. Hormati adat. Berdayakan masyarakat adat. Jangan biarkan Ngada tergadai mudah dan murah. Belajarlah dari kontroversi eksplorasi pertambangan biji besi di Riung, yang merupakan catatan buruk di senjakala bupati terdahulu.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 24 November 2010
Label:
budaya,
flores,
flores pos,
kebakaran,
ngada,
ngadhu-bhaga
23 November 2010
Remaja Rentan Narkoba
Pengedaran dan Penggunaan Narkoba di NTT
Oleh Frans Anggal
Inilah data narkoba di NTT hingga November 2010. Yang libatkan mahasiswa pasca-sarjana 2 kasus, mahasiswa calon sarjana 9 kasus, siswa SMA 132 kasus, siswa SMP 72 kasus, murid SD 5 kasus. Jenis narkoba yang dikonsumsi: ganja 72 kasus, ekstasi 43 kasus, shabu-shabu 30 kasus (Flores Pos Senin 22 November 2010).
Ini menunjukkan, pengedaran dan penggunaan narkoba sudah merebak di kalangan pelajar, kata Kabid Pencegahan Badan Narkotika NTT Erni Usboko. Sangat mengkhawatirkan. “Kami terus gencarkan sosialisasi tentang bahaya narkoba di kalangan pelajar dan guru di sekolah-sekolah,” katanya. Juga di kalangan pemuda dan pemudi, melalui kerja sama dengan Dharma Wanita.
Data di atas secara kasat mata menunjukkan, jumlah terbesar kasus justru melibatkan pelajar SMP dan SMA. Karena itu---mudah-mudahan setelah dikomparasi dengan data lain---simpulan Erni Usboko benar: pengedaran dan penggunaan narkoba sudah merebak di kalangan pelajar. Ia gunakan kategori “pelajar”. Ini menarik untuk disimak.
Apakah karena status pelajarnya anak SMP dan SMA itu mudah terlibat? Kajian psikologi menyatakan tidak. Yang memudahkan mereka terjerumus bukan ke-pelajar-annya, tapi ke-remaja-annya.
Di mana-mana remaja itu sama. Mereka rentan secara psikologis. Mereka mudah dipengaruhi. Kalau demikian persoalannya, bukankah itu berarti pula mereka mudah dituntutn ke jalan yang benar oleh orangtua dan guru? Ya! Namun, ini soalnya: persis pada usia yang rentan secara psikologis itu mereka justru lebih dekat pada kelompok sebayanya (peer group).
Dalam kelompok sebayanya, mereka saling percaya. Bahkan mereka bisa lebih percaya teman kelompoknya ketimbang percaya orangtua dan guru. Mereka juga saling terbuka, bahkan bisa lebih terang-terangan, ketimbang bercurhat jujur kepada orangtua dan guru. Mereka pun saling membimbing. Jadi co-counselor.
Dalam keadaan seperti ini, bayangkan kalau sebuah pengaruh buruk masuk. Bayangkan kalau narkoba diperkenalkan, seakan-akan sebagai trennya remaja. Mereka suka ikut tren. Yang trandy itu yang gaul, katanya. Yang tidak gaul, yang tidak trendy, layak disingkirkan. Khawatir tidak diterima dalam kelompoknya, si remaja mau tidak mau menyesuaikan diri. Di sini bencana itu muncul.
Produsen dan pengedar narkoba tahu itu. Mereka menyusup ke kelompok ini, selain karena pertimbangan psikologis bahwa remaja mudah dipengaruhi dan suka saling mempengaruhi, juga karena pertimbangan ekonomis. Remaja merupakan pasar potensial narkoba. Sekali remaja ketagihan, bisnis ini terjamin langgeng. Kecil terbiasa, besar terbawa-bawa, kata pepatah.
Bagaimana mencegahnya? Sosialisasi oleh Badan Narkotika NTT itu bagus. Tapi tidak cukup jika tidak didukung orangtua dan guru. Mempertimbangkan karakteristik remaja, orangtua dan guru harus menjadi sahabat remaja. Menjadi seakan-akan teman kelompok sebayanya. Menjadi tempat curhat dll. Dalam posisi seperti ini, orangtua dan guru lebih mudah mempengaruhi si remaja, menuntunnya ke jalan yang benar.
Langkah edukasional ini tetap tidak cukup. Perlu langkah hukum. Sindikat narkoba harus diberantas. Produden dan pengedar harus ditangkap. Ini tugas negara, polisi. Hanya polisi yang tidak mudah disogok bisa jalani misi ini. Justru pada titik ini, kita sering kecewa. Yang rawan ternyata bukan hanya remaja. Polisi juga. Remaja rawan secara psikolgis. Polisi rawan secara etis.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 23 November 2010
Oleh Frans Anggal
Inilah data narkoba di NTT hingga November 2010. Yang libatkan mahasiswa pasca-sarjana 2 kasus, mahasiswa calon sarjana 9 kasus, siswa SMA 132 kasus, siswa SMP 72 kasus, murid SD 5 kasus. Jenis narkoba yang dikonsumsi: ganja 72 kasus, ekstasi 43 kasus, shabu-shabu 30 kasus (Flores Pos Senin 22 November 2010).
Ini menunjukkan, pengedaran dan penggunaan narkoba sudah merebak di kalangan pelajar, kata Kabid Pencegahan Badan Narkotika NTT Erni Usboko. Sangat mengkhawatirkan. “Kami terus gencarkan sosialisasi tentang bahaya narkoba di kalangan pelajar dan guru di sekolah-sekolah,” katanya. Juga di kalangan pemuda dan pemudi, melalui kerja sama dengan Dharma Wanita.
Data di atas secara kasat mata menunjukkan, jumlah terbesar kasus justru melibatkan pelajar SMP dan SMA. Karena itu---mudah-mudahan setelah dikomparasi dengan data lain---simpulan Erni Usboko benar: pengedaran dan penggunaan narkoba sudah merebak di kalangan pelajar. Ia gunakan kategori “pelajar”. Ini menarik untuk disimak.
Apakah karena status pelajarnya anak SMP dan SMA itu mudah terlibat? Kajian psikologi menyatakan tidak. Yang memudahkan mereka terjerumus bukan ke-pelajar-annya, tapi ke-remaja-annya.
Di mana-mana remaja itu sama. Mereka rentan secara psikologis. Mereka mudah dipengaruhi. Kalau demikian persoalannya, bukankah itu berarti pula mereka mudah dituntutn ke jalan yang benar oleh orangtua dan guru? Ya! Namun, ini soalnya: persis pada usia yang rentan secara psikologis itu mereka justru lebih dekat pada kelompok sebayanya (peer group).
Dalam kelompok sebayanya, mereka saling percaya. Bahkan mereka bisa lebih percaya teman kelompoknya ketimbang percaya orangtua dan guru. Mereka juga saling terbuka, bahkan bisa lebih terang-terangan, ketimbang bercurhat jujur kepada orangtua dan guru. Mereka pun saling membimbing. Jadi co-counselor.
Dalam keadaan seperti ini, bayangkan kalau sebuah pengaruh buruk masuk. Bayangkan kalau narkoba diperkenalkan, seakan-akan sebagai trennya remaja. Mereka suka ikut tren. Yang trandy itu yang gaul, katanya. Yang tidak gaul, yang tidak trendy, layak disingkirkan. Khawatir tidak diterima dalam kelompoknya, si remaja mau tidak mau menyesuaikan diri. Di sini bencana itu muncul.
Produsen dan pengedar narkoba tahu itu. Mereka menyusup ke kelompok ini, selain karena pertimbangan psikologis bahwa remaja mudah dipengaruhi dan suka saling mempengaruhi, juga karena pertimbangan ekonomis. Remaja merupakan pasar potensial narkoba. Sekali remaja ketagihan, bisnis ini terjamin langgeng. Kecil terbiasa, besar terbawa-bawa, kata pepatah.
Bagaimana mencegahnya? Sosialisasi oleh Badan Narkotika NTT itu bagus. Tapi tidak cukup jika tidak didukung orangtua dan guru. Mempertimbangkan karakteristik remaja, orangtua dan guru harus menjadi sahabat remaja. Menjadi seakan-akan teman kelompok sebayanya. Menjadi tempat curhat dll. Dalam posisi seperti ini, orangtua dan guru lebih mudah mempengaruhi si remaja, menuntunnya ke jalan yang benar.
Langkah edukasional ini tetap tidak cukup. Perlu langkah hukum. Sindikat narkoba harus diberantas. Produden dan pengedar harus ditangkap. Ini tugas negara, polisi. Hanya polisi yang tidak mudah disogok bisa jalani misi ini. Justru pada titik ini, kita sering kecewa. Yang rawan ternyata bukan hanya remaja. Polisi juga. Remaja rawan secara psikolgis. Polisi rawan secara etis.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 23 November 2010
22 November 2010
Bandar Kakap Dilindungi?
Judi Kupon Putih di Kabupaten Sikka
Oleh Frans Anggal
Aparat Polres Sikka menangkap 1 bandar dan 13 pengepul atau pengedar kupon putih (KP) pada dua tempat berbeda di Maumere, Kamis 18 November 2010. Turut disita sebagai barang bukti, uang Rp1.827.000, hand phone 6 buah, kalkulator 2 buah, tas pinggang, balpoin, dan beberapa dokumen (Flores Pos Jumat 19 November 2010).
Setelah dilakukan identifikasi dan konfrontasi, polisi akhirnya menetapkan 7 menjadi tersangka. Mereka langsung ditahan di sel pada Jumat 19 November. Ke-7 orang ini tediri dari 1 bandar dan 6 pengepul. Sedangkan 7 lainnya tak ditahan, mereka hanya bersatus saksi (Flores Pos Sabtu 20 November 2010).
Kendati berita ini menempati halaman depan Flores Pos, apresiasi publik terhadap kerja polisi terkesan biasa-biasa saja. Padahal, penangkapan penjudi ini peristiwa langka di Flores. Rupanya publik sudah bosan dengan kelambanan polisi. Maka, masuk akal gumaman Om Toki pada “Senggol” Flores Pos Sabtu 20 November 2010. “Biasa, didesak dulu baru tangkap.”
Judi sudah lama ada dan marak. Koq baru sekarang pelaku ditangkap? Di mana dan buat apa saja polisi selama ini? Apakah ini upaya memulihkan citra? Semacam tindakan reaktif pemadam kebakaran jenggot karena Polri barusan dipermalukan Gayus Halomoan Tambunan setelah sebelumnya terconteng warta rekening gendut para perwira?
Gayus, si tahanan kejahatan pajak, ketahuan ternyata bebas keluar-masuk Rutan Bareskrim Cabang Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Ia tertangkap kamera wartawan Kompas saat sedang nonton pertandingan tenis internasional di Bali. Ia menyamar, berambut palsu berkacamata. Mulanya ia membantah. Tapi kemudian ia mengaku.
Terlansirlah kabar, untuk bebas keluar-masuk rutan, Gayus menyuap 9 oknum polisi penjaga hingga mencapai total Rp368 juta. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, ada informasi bahwa Gayus melakukan transaksi keuangan senilai Rp50 juta per bulan (www.analisadaily.com).
Dengan uang, Gayus bisa beli apa saja. Termasuk, ‘beli’ polisi. Ini fenomena umum di Indonesia. Mucullah istilah ‘budaya suap’. Sebagai bagian dari Indonesia, Sikka bukanlah kekecualian. Maka, fenomena umum ini memberi konteks pada kritik anggota DPRD Sikka Siflan Angi. Ia menilai Polres Sikka tebang pilih. Cuma tangkap penjudi kelas teri. Kelas kakapnya tidak.
“Bandar KP yang ditangkap, apa benar selama ini di Sikka cuma mereka?” tanya Angi. “Semua orang tahu, siapa-siapa bandar KP yang diduga dilindungi oleh oknum penegak hukum. Kenapa ada bandar-bandar KP yang diduga dilindungi oleh penegak hukum? Ini ada apa?” (Flores Pos Sabtu 20 November 2010).
Ada apa? Kongkalikong? Tahu sama tahu? Uang tebusan? Dana sogokan? Setoran mingguan? Tak perlu dijawab. Rahasia umum. Modusnya kurang lebih sama dengan praktik tebang pilih penegakan hukum Polres Mabar. Polres satu ini berani. Tapi, beraninya cuma sama orang kecil, orang kampung, petani miskin, yang tebang pohon di hutan lindung. Kalau sama bupati, sama investor, yang demi tambang emas merambah hutan lindung (kasus Tebedo) dan melanggar perda (kasus Batu Gosok), mana berani dia.
Kita prihatin, polisi tidak jera citrakan dirinya buruk. Citra umum: maju tak gentar membela yang bayar, mundur gemetar menjauhi yang benar. Citra khusus, dalam perjudian: kakap membayar tak pakai tawar, tergagap polisi langsung menggelepar. Huh!
“Bentara” FLORES POS, Senin 22 November 2010
Oleh Frans Anggal
Aparat Polres Sikka menangkap 1 bandar dan 13 pengepul atau pengedar kupon putih (KP) pada dua tempat berbeda di Maumere, Kamis 18 November 2010. Turut disita sebagai barang bukti, uang Rp1.827.000, hand phone 6 buah, kalkulator 2 buah, tas pinggang, balpoin, dan beberapa dokumen (Flores Pos Jumat 19 November 2010).
Setelah dilakukan identifikasi dan konfrontasi, polisi akhirnya menetapkan 7 menjadi tersangka. Mereka langsung ditahan di sel pada Jumat 19 November. Ke-7 orang ini tediri dari 1 bandar dan 6 pengepul. Sedangkan 7 lainnya tak ditahan, mereka hanya bersatus saksi (Flores Pos Sabtu 20 November 2010).
Kendati berita ini menempati halaman depan Flores Pos, apresiasi publik terhadap kerja polisi terkesan biasa-biasa saja. Padahal, penangkapan penjudi ini peristiwa langka di Flores. Rupanya publik sudah bosan dengan kelambanan polisi. Maka, masuk akal gumaman Om Toki pada “Senggol” Flores Pos Sabtu 20 November 2010. “Biasa, didesak dulu baru tangkap.”
Judi sudah lama ada dan marak. Koq baru sekarang pelaku ditangkap? Di mana dan buat apa saja polisi selama ini? Apakah ini upaya memulihkan citra? Semacam tindakan reaktif pemadam kebakaran jenggot karena Polri barusan dipermalukan Gayus Halomoan Tambunan setelah sebelumnya terconteng warta rekening gendut para perwira?
Gayus, si tahanan kejahatan pajak, ketahuan ternyata bebas keluar-masuk Rutan Bareskrim Cabang Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Ia tertangkap kamera wartawan Kompas saat sedang nonton pertandingan tenis internasional di Bali. Ia menyamar, berambut palsu berkacamata. Mulanya ia membantah. Tapi kemudian ia mengaku.
Terlansirlah kabar, untuk bebas keluar-masuk rutan, Gayus menyuap 9 oknum polisi penjaga hingga mencapai total Rp368 juta. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, ada informasi bahwa Gayus melakukan transaksi keuangan senilai Rp50 juta per bulan (www.analisadaily.com).
Dengan uang, Gayus bisa beli apa saja. Termasuk, ‘beli’ polisi. Ini fenomena umum di Indonesia. Mucullah istilah ‘budaya suap’. Sebagai bagian dari Indonesia, Sikka bukanlah kekecualian. Maka, fenomena umum ini memberi konteks pada kritik anggota DPRD Sikka Siflan Angi. Ia menilai Polres Sikka tebang pilih. Cuma tangkap penjudi kelas teri. Kelas kakapnya tidak.
“Bandar KP yang ditangkap, apa benar selama ini di Sikka cuma mereka?” tanya Angi. “Semua orang tahu, siapa-siapa bandar KP yang diduga dilindungi oleh oknum penegak hukum. Kenapa ada bandar-bandar KP yang diduga dilindungi oleh penegak hukum? Ini ada apa?” (Flores Pos Sabtu 20 November 2010).
Ada apa? Kongkalikong? Tahu sama tahu? Uang tebusan? Dana sogokan? Setoran mingguan? Tak perlu dijawab. Rahasia umum. Modusnya kurang lebih sama dengan praktik tebang pilih penegakan hukum Polres Mabar. Polres satu ini berani. Tapi, beraninya cuma sama orang kecil, orang kampung, petani miskin, yang tebang pohon di hutan lindung. Kalau sama bupati, sama investor, yang demi tambang emas merambah hutan lindung (kasus Tebedo) dan melanggar perda (kasus Batu Gosok), mana berani dia.
Kita prihatin, polisi tidak jera citrakan dirinya buruk. Citra umum: maju tak gentar membela yang bayar, mundur gemetar menjauhi yang benar. Citra khusus, dalam perjudian: kakap membayar tak pakai tawar, tergagap polisi langsung menggelepar. Huh!
“Bentara” FLORES POS, Senin 22 November 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
judi kupon putih,
polres sikka,
sikka
20 November 2010
Segera Kosongkan Lokasi!
Penghentian Tambang Manggarai Barat
Oleh Frans Anggal
Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng, Plt Sekab Mabar Anggalus Abut, Kasat Pol PP Mabar Roby Ngolong, Wakil Ketua DPRD Mabar Jerahun Bernadus, sejumlah anggota DPRD Mabar, Ketua Geram Flores-Lembata Florianus Suryon, dan berbagai elemen masyarakat, gagal masuk kawasan puncak Batu Gosok, Kamis 18 November 2010. Mereka dihadang pekerja tambang emas PT Grand Nusantara Mining (Flores Pos Jumat 19 November 2010).
Para pekerja melubangi jalan dan menggundukkan tanah. Setelah bersitegang, mereka hanya izinkan pihak pemerintah dan uskup ke kawasan puncak. Rombongan menolak dan memutuskan pulang. Sebelum balik, rombongan menanam pohon perdamaian, beringin, yang sedianya ditanam di puncak di lokasi eksplorasi. Penanaman didahuli upacara sabda, dipimpin uskup.
Dalam penjelasannya, para pekerja memblokir jalan agar orang tidak bebas keluar masuk. Meski tak ada kegiatan eksplorasi lagi karena pemkab sudah keluarkan larangan, aset perusahaan masih ada di lokasi. “Kami hanya jaga alat sekarang,” kata Lasa, pekerja lokal. “Kalau masuk lokasi tambang, harus ada surat dari pihak tambang dan didampingi pihak dinas pertambangan,” kata pekerja lain.
Apa yang mereka tekankan? Prosedur! Rombongan itu sangat lengkap. Ada pucuk pemerintah: plt sekab mewakili bupati. Ada pemimpin tertinggi gereja setempat: uskup. Ada elemen civil society: Geram dll. Semua petinggi ini seakan tak ada apa-apanya di mata kuasa pertambangan. Mereka datang tanpa izin perusahaan, tidak prosedural, maka ditolak.
Batu Gosok “dimilik” Mabar, tapi “dikuasai” PT Grand Nusantara Mining (GNM). Kuasa ini ada di tangan GNM karena diberikan oleh bupati, sang “pemilik” Mabar, melalui izin eksplorasi. Dengan izin itu, GNM menjadi “penguasa”. Selaku “penguasa”, GNM merasa berhak menghadang siapa saja, termasuk “pemilik”. Itulah insiden Batu Gosok.
Pertanyaan kita: benarkah Batu Gosok dikuasai GNM? Dulu, ya. Sekarang, tidak. Jangka waktu izin ekslorasinya sudah berakhir. Maka, hak penguasaannya berakhir pula. Haknya itu pun bermasalah karena diperoleh melalui izin eksplorasi yang melanggar hukum. Pemberian izin oleh Bupati Wilfridus Fidelis Pranda menyalahi perda tata ruang. Perda 30/2005 Pasal 23 menetapkan Batu Gosok sebagai lokasi wisata komersial.
Pelanggaran ini sudah dilaporkan ke Polres Mabar oleh Geram. Selain lamban, polres tidak bikin apa-apa. Dengan berakhirnya izin itu dan bermasalahnya ekskplorasi karena melanggar hukum, semestinya Batu Gosok di-status-quo-kan. Pertama, kegiatannya harus dihentikan. Kedua, lokasinya harus dikosongkan: peralatan kerja harus dikeluarkan. Ini tidak dilakukan polres.
Karena polres tidak lakukan apa-apa, peralatan kerja GNM tetap parkir di sana. Dengan dalih menjaga alat-alat inilah para pekerja melarang orang keluar masuk. Termasuk, melarang pihak pemerintah sang “pemilik”. Padahal, GNM sudah tidak punya hak apa-apa lagi di sana. Sungguh ini tidak lucu.
Akan semakin tidak lucu kalau ini dibiarkan. Polres Mabar tidak bisa diandalkan. Kalau sekarang eksplorasi Batu Gosok terhenti, itu bukan karena tindakan hukum oleh polres. Itu hanya karena tindakan politik oleh Bupati Agus Ch Dula dan Wabup Maxi Gasa (GUSTI). Mabar sepertinya tidak punya polisi.
Karena polres sulit dipercaya, kita mendesak agar GUSTI lebih tegas. Insiden Batu Gosok mengingatkan satu hal. Tidak cukup hanya melarang aktivitas pertambangan. Perlu dan mendesak juga, segera kosongkan lokasi!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 20 November 2010
Oleh Frans Anggal
Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng, Plt Sekab Mabar Anggalus Abut, Kasat Pol PP Mabar Roby Ngolong, Wakil Ketua DPRD Mabar Jerahun Bernadus, sejumlah anggota DPRD Mabar, Ketua Geram Flores-Lembata Florianus Suryon, dan berbagai elemen masyarakat, gagal masuk kawasan puncak Batu Gosok, Kamis 18 November 2010. Mereka dihadang pekerja tambang emas PT Grand Nusantara Mining (Flores Pos Jumat 19 November 2010).
Para pekerja melubangi jalan dan menggundukkan tanah. Setelah bersitegang, mereka hanya izinkan pihak pemerintah dan uskup ke kawasan puncak. Rombongan menolak dan memutuskan pulang. Sebelum balik, rombongan menanam pohon perdamaian, beringin, yang sedianya ditanam di puncak di lokasi eksplorasi. Penanaman didahuli upacara sabda, dipimpin uskup.
Dalam penjelasannya, para pekerja memblokir jalan agar orang tidak bebas keluar masuk. Meski tak ada kegiatan eksplorasi lagi karena pemkab sudah keluarkan larangan, aset perusahaan masih ada di lokasi. “Kami hanya jaga alat sekarang,” kata Lasa, pekerja lokal. “Kalau masuk lokasi tambang, harus ada surat dari pihak tambang dan didampingi pihak dinas pertambangan,” kata pekerja lain.
Apa yang mereka tekankan? Prosedur! Rombongan itu sangat lengkap. Ada pucuk pemerintah: plt sekab mewakili bupati. Ada pemimpin tertinggi gereja setempat: uskup. Ada elemen civil society: Geram dll. Semua petinggi ini seakan tak ada apa-apanya di mata kuasa pertambangan. Mereka datang tanpa izin perusahaan, tidak prosedural, maka ditolak.
Batu Gosok “dimilik” Mabar, tapi “dikuasai” PT Grand Nusantara Mining (GNM). Kuasa ini ada di tangan GNM karena diberikan oleh bupati, sang “pemilik” Mabar, melalui izin eksplorasi. Dengan izin itu, GNM menjadi “penguasa”. Selaku “penguasa”, GNM merasa berhak menghadang siapa saja, termasuk “pemilik”. Itulah insiden Batu Gosok.
Pertanyaan kita: benarkah Batu Gosok dikuasai GNM? Dulu, ya. Sekarang, tidak. Jangka waktu izin ekslorasinya sudah berakhir. Maka, hak penguasaannya berakhir pula. Haknya itu pun bermasalah karena diperoleh melalui izin eksplorasi yang melanggar hukum. Pemberian izin oleh Bupati Wilfridus Fidelis Pranda menyalahi perda tata ruang. Perda 30/2005 Pasal 23 menetapkan Batu Gosok sebagai lokasi wisata komersial.
Pelanggaran ini sudah dilaporkan ke Polres Mabar oleh Geram. Selain lamban, polres tidak bikin apa-apa. Dengan berakhirnya izin itu dan bermasalahnya ekskplorasi karena melanggar hukum, semestinya Batu Gosok di-status-quo-kan. Pertama, kegiatannya harus dihentikan. Kedua, lokasinya harus dikosongkan: peralatan kerja harus dikeluarkan. Ini tidak dilakukan polres.
Karena polres tidak lakukan apa-apa, peralatan kerja GNM tetap parkir di sana. Dengan dalih menjaga alat-alat inilah para pekerja melarang orang keluar masuk. Termasuk, melarang pihak pemerintah sang “pemilik”. Padahal, GNM sudah tidak punya hak apa-apa lagi di sana. Sungguh ini tidak lucu.
Akan semakin tidak lucu kalau ini dibiarkan. Polres Mabar tidak bisa diandalkan. Kalau sekarang eksplorasi Batu Gosok terhenti, itu bukan karena tindakan hukum oleh polres. Itu hanya karena tindakan politik oleh Bupati Agus Ch Dula dan Wabup Maxi Gasa (GUSTI). Mabar sepertinya tidak punya polisi.
Karena polres sulit dipercaya, kita mendesak agar GUSTI lebih tegas. Insiden Batu Gosok mengingatkan satu hal. Tidak cukup hanya melarang aktivitas pertambangan. Perlu dan mendesak juga, segera kosongkan lokasi!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 20 November 2010
Label:
batu gosok,
bentara,
flores,
flores pos,
mabar,
pertambangan
19 November 2010
Dari Sidang Klasis Flores
Apa Sikap dan Tindakan dalam Kontroversi Tambang?
Oleh Frans Anggal
Sidang Klasis Flores Jemaat Syaloom Ende, yang berlangsung tiga hari, dibuka dengan kabaktian, Rabu 17 November 2010, dipimpin Pdt Damaris Tubatonu Hitu. Dalam khotbahnya, Pdt Damaris mengangkat isu pemanasan global dan perubahan iklim (Flores Pos Kamis 18 November 2010).
Ia mengingatkan, saat ini planet Bumi mengalami perubahan serius lewat pemanasan global, yang ditandai peningkatan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem. Dampaknya, antara lain, bencana alam yang makin sering terjadi. Fenomena ini menuntut manusia membuka mata hati tehadap kelanjutan hidup segala makhluk alam semesta yang terancam punah.
Berbagai bencana alam itu terjadi bukan karena dunia segera kiamat. Tapi karena manusia merusak alam ciptaan. “Karena itu,” kata Pdt Damaris, “sudah seharusnya Gereja menaruh perhatian serius terhadap masalah ekologi. Gereja diutus ke dunia untuk menyelamatkan alam ciptaan Tuhan dari kerusakan.”
Pesan ini memperlihatkan dan mengingtakan dua hal. Pertama, Klasis Flores Jemaat Syaloom Ende tetap visioner. Tetap setia pada salah satu visi pelayanan GMIT. Yakni, memperlihatkan tanda-tanda Kerajaan Allah dengan memperjuangkan keadilan dan kebenaran, pembebasan, persamaan derajat dan hak, serta pelestarian alam ciptaan Allah.
Kedua, Klasis Flores Jemaat Syaloom Ende tanggap terhadap persoalan nyata dunia sekitarnya. Bukankah Indonesia barusan dirundung bencana Wasior, Mentawai, dan Merapi? Klasis Flores Jemaat Syaloom Ende turut berduka bersama Indonesia yang menangis. Duka itu mendesakkan panggilan, tidak hanya untuk beraksi tapi juga untuk berkontemplasi.
Mutiara kontemplasi itulah yang berbinar dari khotbah Pendeta Damaris. Bahwa, jika dirunut lebih jauh, berbagai “bencana alam” sesungguhnya merupakan “bencana ekologis”. Bencana akibat ulah manusia merusak keutuhan alam ciptaan. Bencana ini hanya akan berkurang kalau manusia bertobat.
Pengertian “bertobat” menurut Alkitab adalah perubahan pikiran yang menghasilkan perubahan tingkah laku. Kisah pertobatan Santo Paulus memperlihatkan, perubahan tingkah laku itu menyata dalam kehidupan bersama. Setelah pertobatannya, rasul agung ini bergabung dengan sebuah jemaat Kristen di Damaskus, melalui babtisan.
Inilah model pertobatan yang benar. Pertobatan melahirkan persekutuan persaudaraan. Pertobatan menuntut solidaritas. Ini jugalah yang menjadi harapan kita dari pesan bernas khotbah Pendeta Damaris. Bahwa, kalau dikatakan Gereja harus menaruh perhatian serius terhadap masalah ekologi, maka pertama-tama Gereja harus bertobat.
Kenapa? Dalam konteks Flores, di tengah pro-kontra tambang sang monster ekologi itu, Gereja belum optimal dan maksimal menjadi tanda dan sarana bagi Kerajaan Allah. Gereja belum benar-benar solider dengan masyarakat lingkar tambang yang hidupnya sudah, sedang, dan akan terancam oleh perusakan ekologi. Karena itu, kalau dikatakan bahwa Gereja harus menaruh perhatian serius terhadap masalah ekologi, maka Gereja harus solider dengan para (calon) korban ini.
Dengan ini, kita menitip sebuah pertanyaan untuk Sidang Klasis Flores Jemaat Syaloom Ende. Apa sikap dan tindakan konkret sidang ini dalam kontroversi pertambang di Flores?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 19 November 2010
Oleh Frans Anggal
Sidang Klasis Flores Jemaat Syaloom Ende, yang berlangsung tiga hari, dibuka dengan kabaktian, Rabu 17 November 2010, dipimpin Pdt Damaris Tubatonu Hitu. Dalam khotbahnya, Pdt Damaris mengangkat isu pemanasan global dan perubahan iklim (Flores Pos Kamis 18 November 2010).
Ia mengingatkan, saat ini planet Bumi mengalami perubahan serius lewat pemanasan global, yang ditandai peningkatan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem. Dampaknya, antara lain, bencana alam yang makin sering terjadi. Fenomena ini menuntut manusia membuka mata hati tehadap kelanjutan hidup segala makhluk alam semesta yang terancam punah.
Berbagai bencana alam itu terjadi bukan karena dunia segera kiamat. Tapi karena manusia merusak alam ciptaan. “Karena itu,” kata Pdt Damaris, “sudah seharusnya Gereja menaruh perhatian serius terhadap masalah ekologi. Gereja diutus ke dunia untuk menyelamatkan alam ciptaan Tuhan dari kerusakan.”
Pesan ini memperlihatkan dan mengingtakan dua hal. Pertama, Klasis Flores Jemaat Syaloom Ende tetap visioner. Tetap setia pada salah satu visi pelayanan GMIT. Yakni, memperlihatkan tanda-tanda Kerajaan Allah dengan memperjuangkan keadilan dan kebenaran, pembebasan, persamaan derajat dan hak, serta pelestarian alam ciptaan Allah.
Kedua, Klasis Flores Jemaat Syaloom Ende tanggap terhadap persoalan nyata dunia sekitarnya. Bukankah Indonesia barusan dirundung bencana Wasior, Mentawai, dan Merapi? Klasis Flores Jemaat Syaloom Ende turut berduka bersama Indonesia yang menangis. Duka itu mendesakkan panggilan, tidak hanya untuk beraksi tapi juga untuk berkontemplasi.
Mutiara kontemplasi itulah yang berbinar dari khotbah Pendeta Damaris. Bahwa, jika dirunut lebih jauh, berbagai “bencana alam” sesungguhnya merupakan “bencana ekologis”. Bencana akibat ulah manusia merusak keutuhan alam ciptaan. Bencana ini hanya akan berkurang kalau manusia bertobat.
Pengertian “bertobat” menurut Alkitab adalah perubahan pikiran yang menghasilkan perubahan tingkah laku. Kisah pertobatan Santo Paulus memperlihatkan, perubahan tingkah laku itu menyata dalam kehidupan bersama. Setelah pertobatannya, rasul agung ini bergabung dengan sebuah jemaat Kristen di Damaskus, melalui babtisan.
Inilah model pertobatan yang benar. Pertobatan melahirkan persekutuan persaudaraan. Pertobatan menuntut solidaritas. Ini jugalah yang menjadi harapan kita dari pesan bernas khotbah Pendeta Damaris. Bahwa, kalau dikatakan Gereja harus menaruh perhatian serius terhadap masalah ekologi, maka pertama-tama Gereja harus bertobat.
Kenapa? Dalam konteks Flores, di tengah pro-kontra tambang sang monster ekologi itu, Gereja belum optimal dan maksimal menjadi tanda dan sarana bagi Kerajaan Allah. Gereja belum benar-benar solider dengan masyarakat lingkar tambang yang hidupnya sudah, sedang, dan akan terancam oleh perusakan ekologi. Karena itu, kalau dikatakan bahwa Gereja harus menaruh perhatian serius terhadap masalah ekologi, maka Gereja harus solider dengan para (calon) korban ini.
Dengan ini, kita menitip sebuah pertanyaan untuk Sidang Klasis Flores Jemaat Syaloom Ende. Apa sikap dan tindakan konkret sidang ini dalam kontroversi pertambang di Flores?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 19 November 2010
Label:
agama,
bentara,
flores,
flores pos,
gmit,
klasis flores,
lingkungan,
pertambangan
Aneh: Tim Buser Tinja
Penamaan Salah di Kabupaten Ende
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 20 dusun pada 7 desa di Kecamatan Pulau Ende, Kabupaten Ende, membentuk tim yang siap memantau terus sanitasi masyarakat, khusus menyangkut buang air besar (BAB). Tim ini libatkan kepala dusun sebagai ketua, ketua RT/RW sebagai wakil, dan warga dusun sebagai anggota. Tim diberi nama “Tim Buser Tinja” (Flores Pos Selasa 16 November 2010).
Tim akan menindak tegas warga yang buang hajat di sembarang tempat. Kalau ada yang kedapatan BAB di pinggir pantai atau kebun---kebiasaan lama yang perlahan hilang---, hukumannya tidak main-main. Yang bersangkutan harus angkat tinjanya langsung dengan tapak tangan sendiri dan buang ke jamban. Ini sudah jadi kesepakatan, kata Camat Arbaa Djuma.
Kalau begitu kesepakatannya, nama tim itu menyesatkan! Tim Buser Tinja. “Buser” sudah dikenal sebagai akronim dari frasa “buru sergap”. Polisi punya Tim Buser yang bertugas memburu dan menyergap pelaku kriminal. Pelaku kriminal diburu lalu disergap. Nah, dengan akronim yang persis sama, apa yang dilakukan Tim Buser Tinja?
Kalau konsisten dengan makna leksikal kata itu, maka tugas Tim Buser Tinja adalah memburu dan menyergap tinja. Tinja yang dilepas warga di sembarang tempat, mereka buru, lalu mereka sergap. Kita tidak tahu, apakah tinja itu mereka borgol juga, lalu mereka bawa ke rumah kepala dusun untuk diadili. Tinjanya mereka hukum. Pembuang tinjanya tidak.
Apakah seperti itu? Kalau ya, pertahankan nama itu: Tim Buser Tinja. Tapi kalau tidak, ubahlah. Gunakan nama yang masuk akal. Kalau toh ngotot dengan “Buser”, boleh-boleh saja. Asalkan, bukan Buser Tinja, tapi Buser Pembuang Tinja. Itupun ada risikonya.
Kalau itu Tim Buser Pembuang Tinja, yang terbayangkan adalah aksi lapangan, yang jika difilemkan hanya layak bagi penonton 17 tahun ke atas. Karena tugasnya harus sesuai dengan namanya, maka tim ini ‘terpaksa’, sebagaimana laiknya pemburu, mengintai tiap orang yang sedang membuang hajat di sembarang tempat. Agar benar-benar tertangkap tangan, calon buruan ‘terpaksa’ disergap saat sedang dalam keadaan membuang hajat. Bayangkan ngerinya adegan ini.
Kita usulkan, buang jauh-jauh akronim Buser itu. Buser hanya pantas bagi polisi. Tugas polisi memang itu. Warga terhadap warga lain janganlah buser-membuser. Jangan tiru-tiru FPI.
Kita usulkan nama yang, selain logis, mencerminkan tupoksi tim. Yaitu: Tim Pengamanan dan Penertiban Buang Air Besar. Disingkat: Tim Pamtib BAB. Kalau mau dipersingkat lagi---karena orang Indonesia suka bersingkat-singkat dan gemar berjalan pintas---maka namakan saja: TP-BAB.
Dalam catatan Flores Pos, ini ‘kecelakaan’ penamaaan yang kedua dalam program penertiban BAB di Pulau Ende. Pada Oktober 2009, terlansir berita: “Masyarakat Pulau Ende sepakat deklarasikan bebas BAB di sembarang tempat” (Flores Pos Selasa 20 Oktober 2009). Bayangkan: bebas buang air besar di sembarang tempat! Berarti, boleh dong di kebun, di pantai, di jalan raya, dst. Ini menyesatkan. Semestinya, “stop BAB di sembarang tempat”, bukan “bebas BAB di sembarang tempat” (“Bentara” Flores Pos Kamis 22 Oktober 2009).
Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah. Tertib berbahasa menunjukkan tertib berbangsa. Ini sebuah bahan refleksi bagi pemkab, DPRD, dan masyarakat Kabupaten Ende.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 18 November 2010
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 20 dusun pada 7 desa di Kecamatan Pulau Ende, Kabupaten Ende, membentuk tim yang siap memantau terus sanitasi masyarakat, khusus menyangkut buang air besar (BAB). Tim ini libatkan kepala dusun sebagai ketua, ketua RT/RW sebagai wakil, dan warga dusun sebagai anggota. Tim diberi nama “Tim Buser Tinja” (Flores Pos Selasa 16 November 2010).
Tim akan menindak tegas warga yang buang hajat di sembarang tempat. Kalau ada yang kedapatan BAB di pinggir pantai atau kebun---kebiasaan lama yang perlahan hilang---, hukumannya tidak main-main. Yang bersangkutan harus angkat tinjanya langsung dengan tapak tangan sendiri dan buang ke jamban. Ini sudah jadi kesepakatan, kata Camat Arbaa Djuma.
Kalau begitu kesepakatannya, nama tim itu menyesatkan! Tim Buser Tinja. “Buser” sudah dikenal sebagai akronim dari frasa “buru sergap”. Polisi punya Tim Buser yang bertugas memburu dan menyergap pelaku kriminal. Pelaku kriminal diburu lalu disergap. Nah, dengan akronim yang persis sama, apa yang dilakukan Tim Buser Tinja?
Kalau konsisten dengan makna leksikal kata itu, maka tugas Tim Buser Tinja adalah memburu dan menyergap tinja. Tinja yang dilepas warga di sembarang tempat, mereka buru, lalu mereka sergap. Kita tidak tahu, apakah tinja itu mereka borgol juga, lalu mereka bawa ke rumah kepala dusun untuk diadili. Tinjanya mereka hukum. Pembuang tinjanya tidak.
Apakah seperti itu? Kalau ya, pertahankan nama itu: Tim Buser Tinja. Tapi kalau tidak, ubahlah. Gunakan nama yang masuk akal. Kalau toh ngotot dengan “Buser”, boleh-boleh saja. Asalkan, bukan Buser Tinja, tapi Buser Pembuang Tinja. Itupun ada risikonya.
Kalau itu Tim Buser Pembuang Tinja, yang terbayangkan adalah aksi lapangan, yang jika difilemkan hanya layak bagi penonton 17 tahun ke atas. Karena tugasnya harus sesuai dengan namanya, maka tim ini ‘terpaksa’, sebagaimana laiknya pemburu, mengintai tiap orang yang sedang membuang hajat di sembarang tempat. Agar benar-benar tertangkap tangan, calon buruan ‘terpaksa’ disergap saat sedang dalam keadaan membuang hajat. Bayangkan ngerinya adegan ini.
Kita usulkan, buang jauh-jauh akronim Buser itu. Buser hanya pantas bagi polisi. Tugas polisi memang itu. Warga terhadap warga lain janganlah buser-membuser. Jangan tiru-tiru FPI.
Kita usulkan nama yang, selain logis, mencerminkan tupoksi tim. Yaitu: Tim Pengamanan dan Penertiban Buang Air Besar. Disingkat: Tim Pamtib BAB. Kalau mau dipersingkat lagi---karena orang Indonesia suka bersingkat-singkat dan gemar berjalan pintas---maka namakan saja: TP-BAB.
Dalam catatan Flores Pos, ini ‘kecelakaan’ penamaaan yang kedua dalam program penertiban BAB di Pulau Ende. Pada Oktober 2009, terlansir berita: “Masyarakat Pulau Ende sepakat deklarasikan bebas BAB di sembarang tempat” (Flores Pos Selasa 20 Oktober 2009). Bayangkan: bebas buang air besar di sembarang tempat! Berarti, boleh dong di kebun, di pantai, di jalan raya, dst. Ini menyesatkan. Semestinya, “stop BAB di sembarang tempat”, bukan “bebas BAB di sembarang tempat” (“Bentara” Flores Pos Kamis 22 Oktober 2009).
Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah. Tertib berbahasa menunjukkan tertib berbangsa. Ini sebuah bahan refleksi bagi pemkab, DPRD, dan masyarakat Kabupaten Ende.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 18 November 2010
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
kesehatan
16 November 2010
Warga Serise, Luar Biasa!
36 Karyawan Undukan diri PT Arumbai
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 36 karyawan PT Arumbai undurkan diri. Ini buntut dari demo yang mereka lakukan bersama warga adat Serise. Karyawan yang ikut aksi itu 13 orang. Mereka dipanggil menghadap. Mereka menolak, lalu mengambil sikap berhenti sebagai karyawan. Solider dengan sesama saudaranya, 23 karyawan lain turut undurkan diri (Flores Pos Seni 15 Oktober 2010).
Sebelumnya, masyarakat adat Serise, Kecamatan Lambaleeda, Kabupaten Matim, berdemo ke PT Arumbai, Kamis 4 November 2010. Mereka desak penambangan mangan dihentikan. Wilayah itu tanah mereka, yang tidak pernah mereka izinkan ditambang. “Selama ini pihak perusahaan beralasan, usaha itu bisa dilakukan karena telah dapat restu warga Satar Teu. Padahal, lokasi itu tanah lingko milik warga Serise,” kata Koordinator JPIC Keuskupan Ruteng, Romo Chrales Suwendi Pr (Flores Pos Jumat 5 November 2010).
Karena ikut demo, ke-13 karyawan dipanggil menghadap. Mengetahui hal ini, tua adat Serise, Siprianis Amon, gelar pertemuan dan hasilkan kesepakatan. (1) Semua warga adat Serise yang kerja di PT Arumbai undurkan diri dan stop selama-lamanya sebagai karyawan. (2) Karyawan yang dipanggil menghadap, tidak akan menghadap.
Keputusan ini radikal. Demikian penilaian staf JPIC OFM, Emil Sarwandi. Tuntutan mereka hanya satu: “Kembalikan ruang hidup kami”. Mereka tidak mau bernegosiasi dengan perusahaan, untuk naikkan upah dan tunjangan buruh misalnya. “Ada satu lompatan berpikir kolektif akan keberlangsungan hidup mereka sebagai masyarakat adat Serise,” kata Sarwandi.
Benarkah keputusan itu radikal? Ya, dalam pengertian sejati kata itu. Radikal dari kata radix (Latin) berarti akar. Menukik ke akar dan bertolak dari akar. Menukik ke kedalaman dan bertolak dari kedalaman. Bangunan yang fondasinya menghunjam kedalaman bumi tak mudah rubuh. Maka, radikal (harus) berarti tak tergoyahkan. Tak mudah diimingi. Tak mudah lacurkan prinsip.
Benarkah keputusan itu lompatan berpikir? Tidak. Sejatinya, tolak tambang sudah menjadi sikap masyarakat adat Serise sejak awal. Sejak lingko mereka diklaim pihak tak berhak dan ‘diserobot’ kuasa pertambangan. Maka, keputusan itu bukan lompatan berpikir. Itu konsitensi berpikir.
Konsistensi seperti ini---yang jarang ada pada pejabat ---justru dimiliki banyak masyarakat adat. Don K Marut, Direktur Eksekutif INFID, men-sharing-kan pengalamannya di grup facebook “Mari Bersama Tolak Tambang di Manggarai Raya”, Senin 15 November 2010.
“Dua minggu lalu saya di Pulau Haruku, Maluku. Tinggal bersama seorang kewang (ketua adat)---Eliza Kiisya, Ketua Kewang Haruku---yang pernah mendapat hadiah Kalpataru. Sekali dia diundang TVOne dalam acara lingkungan bersama KLH. Dia seharusnya tampil bersama Luna Maya (sebelum terjadi kasus). Luna Maya sudah live di depan kamera, Pak Eli (ketua adat ini) lihat di daftar sponsor acara ada Newmont Minahasa dan ANTAM. Dia batal untuk tampil live di TVOne. Dia bilang, ini perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan dan sengsarakan beta pung saudara di Sulut dan NTB, dan bikin sengsara kami di Pulau Haruku. Saya tidak berkenan tampil dengan sponsor perusahaan-perusahaan ini. Dia pun pulang dan tolak uang dari panitia acara.
“Saya terenyuh sekali,” tulis Don. “Sudah 33 tahun dia berjuang tolak tambang di desanya, dan tambang itu belum berhasil masuk.” Ini contoh keputusan radikal dan konsistensi berpikir. Masyarakat adat Serise juga begitu. Luar biasa!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 16 November 2010
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 36 karyawan PT Arumbai undurkan diri. Ini buntut dari demo yang mereka lakukan bersama warga adat Serise. Karyawan yang ikut aksi itu 13 orang. Mereka dipanggil menghadap. Mereka menolak, lalu mengambil sikap berhenti sebagai karyawan. Solider dengan sesama saudaranya, 23 karyawan lain turut undurkan diri (Flores Pos Seni 15 Oktober 2010).
Sebelumnya, masyarakat adat Serise, Kecamatan Lambaleeda, Kabupaten Matim, berdemo ke PT Arumbai, Kamis 4 November 2010. Mereka desak penambangan mangan dihentikan. Wilayah itu tanah mereka, yang tidak pernah mereka izinkan ditambang. “Selama ini pihak perusahaan beralasan, usaha itu bisa dilakukan karena telah dapat restu warga Satar Teu. Padahal, lokasi itu tanah lingko milik warga Serise,” kata Koordinator JPIC Keuskupan Ruteng, Romo Chrales Suwendi Pr (Flores Pos Jumat 5 November 2010).
Karena ikut demo, ke-13 karyawan dipanggil menghadap. Mengetahui hal ini, tua adat Serise, Siprianis Amon, gelar pertemuan dan hasilkan kesepakatan. (1) Semua warga adat Serise yang kerja di PT Arumbai undurkan diri dan stop selama-lamanya sebagai karyawan. (2) Karyawan yang dipanggil menghadap, tidak akan menghadap.
Keputusan ini radikal. Demikian penilaian staf JPIC OFM, Emil Sarwandi. Tuntutan mereka hanya satu: “Kembalikan ruang hidup kami”. Mereka tidak mau bernegosiasi dengan perusahaan, untuk naikkan upah dan tunjangan buruh misalnya. “Ada satu lompatan berpikir kolektif akan keberlangsungan hidup mereka sebagai masyarakat adat Serise,” kata Sarwandi.
Benarkah keputusan itu radikal? Ya, dalam pengertian sejati kata itu. Radikal dari kata radix (Latin) berarti akar. Menukik ke akar dan bertolak dari akar. Menukik ke kedalaman dan bertolak dari kedalaman. Bangunan yang fondasinya menghunjam kedalaman bumi tak mudah rubuh. Maka, radikal (harus) berarti tak tergoyahkan. Tak mudah diimingi. Tak mudah lacurkan prinsip.
Benarkah keputusan itu lompatan berpikir? Tidak. Sejatinya, tolak tambang sudah menjadi sikap masyarakat adat Serise sejak awal. Sejak lingko mereka diklaim pihak tak berhak dan ‘diserobot’ kuasa pertambangan. Maka, keputusan itu bukan lompatan berpikir. Itu konsitensi berpikir.
Konsistensi seperti ini---yang jarang ada pada pejabat ---justru dimiliki banyak masyarakat adat. Don K Marut, Direktur Eksekutif INFID, men-sharing-kan pengalamannya di grup facebook “Mari Bersama Tolak Tambang di Manggarai Raya”, Senin 15 November 2010.
“Dua minggu lalu saya di Pulau Haruku, Maluku. Tinggal bersama seorang kewang (ketua adat)---Eliza Kiisya, Ketua Kewang Haruku---yang pernah mendapat hadiah Kalpataru. Sekali dia diundang TVOne dalam acara lingkungan bersama KLH. Dia seharusnya tampil bersama Luna Maya (sebelum terjadi kasus). Luna Maya sudah live di depan kamera, Pak Eli (ketua adat ini) lihat di daftar sponsor acara ada Newmont Minahasa dan ANTAM. Dia batal untuk tampil live di TVOne. Dia bilang, ini perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan dan sengsarakan beta pung saudara di Sulut dan NTB, dan bikin sengsara kami di Pulau Haruku. Saya tidak berkenan tampil dengan sponsor perusahaan-perusahaan ini. Dia pun pulang dan tolak uang dari panitia acara.
“Saya terenyuh sekali,” tulis Don. “Sudah 33 tahun dia berjuang tolak tambang di desanya, dan tambang itu belum berhasil masuk.” Ini contoh keputusan radikal dan konsistensi berpikir. Masyarakat adat Serise juga begitu. Luar biasa!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 16 November 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
manggarai timur,
pertambangan,
pt arumbai,
serise,
tambang mangan
15 November 2010
DPRD Ende “Te’u Meja”?
Tudingan Percaloan Proyek
Oleh Frans Anggal
Berita Flores Pos tentang amuk kontraktor di gedung DPD Ende, Rabu 10 November 2010, dapat tanggapan luas. Via telepon, SMS, dan facebook. Begitu juga dengan ulasan “Bentara” Flores Pos tentang soal ini. DPRD Ende kini berada dalam tatapan nanar publik.
Diberitakan, sejumlah kontraktor mengamuk di gedung dewan. Mereka memprotes penetapan pemenang tender proyek Dinas PPO. Seorang kontraktor menyebut nama seorang anggota dewan. Menurutnya, ybs ikut bermain tender proyek (Flores Pos Kamis 11 November 2010).
Berikut ini komentar di facebook. @A: Anggota DPRD tak paham tentang DPR itu sendiri. @B: Sama-sama TEKAN lalu TEKEN. @C: DPRD sekadar menjadi pekerjaan, tempat cari nafkah, bukan sebagai panggilan. TEKAN lalu TEKEN, dengan TEKUN! @D: TEKAN lalu TEKEN, dilakukan dengan TEKUN dan ujung-ujungnya TAKEN. Kata taken (Inggris) berarti boyong.
@E: Beginilah jadinya, kalau nganggur di ruang paripurna DPRD, cari lapangan kerja baru yang namanya calo tender . @F: Bagi sebagian anggota dewan, lapangan kerja baru ini lapangan kerja utama. Pantauan Pusam Ende selama setahun, masih banyak anggota DPRD Ende 2009-2014 yang diam saat rapat. Dari 27 anggota, 6 tidak pernah bicara, 9 jarang bicara, 12 sering bicara. Di jajaran pimpinan dewan, ada yang belum pernah pimpin rapat. Habis, mereka bukan politisi. Mereka pengusaha yang berkantor di DPRD. Tidak heran, di forum dewan mereka diam, di forum panitia tender mereka cerewet. Inilah kecelakaan pemilu di Ende, juga di Flores umumnya, saya kira.
Berikit ini komentar via SMS, dari seseorang yang inisialkan diri “AP” (+6285253505624), menanggapi “Bentara“ Flores Pos Sabtu 13 November 2010 yang menyoroti Dewan Kehormatan (DK) DPRD Ende. “Selamat pagi Aji. Jangan hanya Badan Kehormatan saja. Angkat juga masalah Wakil Ketua DPRD Ende … (sebut nama) dapat 6 paket proyek di Dinas PPO dan … (nama anggota DPRD Ende) percaloan pengadaan tanah Pasar Ndori.”
Semoga ini tidak benar. Kalau benar, aduh DPRD Ende! Ini menunjukkan---seperti kata sang facebooker---DPRD tak paham tentang DPR itu sendiri. Dalam pandangan budaya Ende-Lio, DPRD itu ata laki tuke sani. Penopang hukum dan moralitas publik. Pengawas pemerintah dan kepemerintahan. DPRD bertupoksi agar semuanya mbana leka jala eo masa, leta leka wolo eo molo, we’e ngala gaga bo’o kewi ae. Agar semuanya berjalan di atas rel aturan, kebenaran, dan kebaikan, demi terciptanya kesejahteraan umum.
Sebagai ata laki tuke sani, DPRD tak boleh ngawur, apalagi mbou ramba, merampas makanan di kebun orang lain. Proyek itu kebunnya kontraktor. Bukan kebunnya DPRD. Tugas DPRD adalah pati ripi nidi hoba lombu, beri pengayoman, selain lakukan kontrol. Ma’e mbou ramba. Jangan merampas.
Dengan apa mbou ramba dapat dilukiskan? Orang Ende-Lio punya metafora yang tepat. Yaitu te’u meja, tikus pengerat bermoncong panjang berbau busuk.
Bukankah tikus metafora bagi koruptor? Bukankah banyak koruptor itu politikus? Maka, politikus (termasuk DPRD) dipelesetkan jadi “poli-tikus” (kata Yunani polys = banyak). Kawanan tikus, gerombolan tikus, komplotan tikus. Pasukan lapar te’u meja.
Pertanyaan kita: apakah DPRD Ende te’u meja? Dewan Kehormatan, silakan menjawab. Dewan Kehormatan, silakan bertindak.
“Bentara” FLORES POS, Senin 15 November 2010
Oleh Frans Anggal
Berita Flores Pos tentang amuk kontraktor di gedung DPD Ende, Rabu 10 November 2010, dapat tanggapan luas. Via telepon, SMS, dan facebook. Begitu juga dengan ulasan “Bentara” Flores Pos tentang soal ini. DPRD Ende kini berada dalam tatapan nanar publik.
Diberitakan, sejumlah kontraktor mengamuk di gedung dewan. Mereka memprotes penetapan pemenang tender proyek Dinas PPO. Seorang kontraktor menyebut nama seorang anggota dewan. Menurutnya, ybs ikut bermain tender proyek (Flores Pos Kamis 11 November 2010).
Berikut ini komentar di facebook. @A: Anggota DPRD tak paham tentang DPR itu sendiri. @B: Sama-sama TEKAN lalu TEKEN. @C: DPRD sekadar menjadi pekerjaan, tempat cari nafkah, bukan sebagai panggilan. TEKAN lalu TEKEN, dengan TEKUN! @D: TEKAN lalu TEKEN, dilakukan dengan TEKUN dan ujung-ujungnya TAKEN. Kata taken (Inggris) berarti boyong.
@E: Beginilah jadinya, kalau nganggur di ruang paripurna DPRD, cari lapangan kerja baru yang namanya calo tender . @F: Bagi sebagian anggota dewan, lapangan kerja baru ini lapangan kerja utama. Pantauan Pusam Ende selama setahun, masih banyak anggota DPRD Ende 2009-2014 yang diam saat rapat. Dari 27 anggota, 6 tidak pernah bicara, 9 jarang bicara, 12 sering bicara. Di jajaran pimpinan dewan, ada yang belum pernah pimpin rapat. Habis, mereka bukan politisi. Mereka pengusaha yang berkantor di DPRD. Tidak heran, di forum dewan mereka diam, di forum panitia tender mereka cerewet. Inilah kecelakaan pemilu di Ende, juga di Flores umumnya, saya kira.
Berikit ini komentar via SMS, dari seseorang yang inisialkan diri “AP” (+6285253505624), menanggapi “Bentara“ Flores Pos Sabtu 13 November 2010 yang menyoroti Dewan Kehormatan (DK) DPRD Ende. “Selamat pagi Aji. Jangan hanya Badan Kehormatan saja. Angkat juga masalah Wakil Ketua DPRD Ende … (sebut nama) dapat 6 paket proyek di Dinas PPO dan … (nama anggota DPRD Ende) percaloan pengadaan tanah Pasar Ndori.”
Semoga ini tidak benar. Kalau benar, aduh DPRD Ende! Ini menunjukkan---seperti kata sang facebooker---DPRD tak paham tentang DPR itu sendiri. Dalam pandangan budaya Ende-Lio, DPRD itu ata laki tuke sani. Penopang hukum dan moralitas publik. Pengawas pemerintah dan kepemerintahan. DPRD bertupoksi agar semuanya mbana leka jala eo masa, leta leka wolo eo molo, we’e ngala gaga bo’o kewi ae. Agar semuanya berjalan di atas rel aturan, kebenaran, dan kebaikan, demi terciptanya kesejahteraan umum.
Sebagai ata laki tuke sani, DPRD tak boleh ngawur, apalagi mbou ramba, merampas makanan di kebun orang lain. Proyek itu kebunnya kontraktor. Bukan kebunnya DPRD. Tugas DPRD adalah pati ripi nidi hoba lombu, beri pengayoman, selain lakukan kontrol. Ma’e mbou ramba. Jangan merampas.
Dengan apa mbou ramba dapat dilukiskan? Orang Ende-Lio punya metafora yang tepat. Yaitu te’u meja, tikus pengerat bermoncong panjang berbau busuk.
Bukankah tikus metafora bagi koruptor? Bukankah banyak koruptor itu politikus? Maka, politikus (termasuk DPRD) dipelesetkan jadi “poli-tikus” (kata Yunani polys = banyak). Kawanan tikus, gerombolan tikus, komplotan tikus. Pasukan lapar te’u meja.
Pertanyaan kita: apakah DPRD Ende te’u meja? Dewan Kehormatan, silakan menjawab. Dewan Kehormatan, silakan bertindak.
“Bentara” FLORES POS, Senin 15 November 2010
Label:
bentara,
dprd ende,
ende,
flores,
flores pos,
percaloan proyek,
politik,
tender proyek
13 November 2010
Halo, BK DPRD Ende?
Tudingan Percaloan Proyek
Oleh Frans Anggal
Sejumlah kontraktor yang tidak puas dengan penetapan pemenang tender di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (PPO) Kabupaten Ende mengamuk di gedung dewan, Rabu 10 November 2010. Pada saat itu salah seorang kontraktor menyebut nama seorang anggota dewan yang menurutnya ikut bermain dalam proses tender proyek (Flores Pos Kamis 11 November 2010).
Mengomentari kejadian ini, Om Toki pada “Senggol” Flores Pos Jumat 12 November 20010 menyeletuk: “Tidak kaget kita, sudah rahasia umum koq.” Dengan kata lain, calo proyek, atau lebih umum calo anggaran, tidak baru di DPRD. Modusnya macam-macam. Dari yang sehalus sutera sampai yang sekasar karung goni.
Pada percaloan anggaran, anggota dewan mengarahkan pimpinan SKPD agar menyetujui anggaran proyek tertentu dalam rapat panitia anggaran. Pantia ini terdiri dari beberapa anggota dewan. Mereka memainkan peran masing-masing. Ada yang ‘bertugas’ menekan pimpinan SKPD dari sisi hukum dll. Tujuannya agar mata anggaran atau proyek yang mereka incar disetujui.
Itu cara halus. Cara kasar: anggota dewan mendatangi langsung kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Sebab, SKPD inilah yang menggodok semua proyek pemerintah daerah. Lahirlah sindiran: anggota dewan lebih rajin datang ke Bappeda ketimbang pegawai Bappeda sendiri.
Modus percaloan tender proyek begitu juga. Anggota dewan mengarahkan dan kalau perlu memaksa pantia tender. Bisa secara empat mata, dari muka ke muka. Bisa juga hanya melalui SMS dan telepon. Itu dianggap bukan masalah. Karena sudah tahu sama tahu. Segala cara bolehlah, hanya agar rekanan tertentu dimenangkan.
Karena ini praktik umum---“Dari Sabang sampai Marauke berjajar calo-calo!”---maka insiden di gedung DPRD Ende tidak bikin kita kaget. Pernyataan Sekretaris Pusat Kajian dan Advokasi Masyarakat (Pusam ) Ende Oscar Vigator pun tepat. Dengan kejadian ini, katanya, sinyalemen selama ini bahwa anggota DPRD Ende makelar proyek atau main proyek mulai terungkap (Flores Pos Jumat 12 November 2010).
Pusam mendesak Badan Kehormatan (BK) DPRD Ende segera bertindak. Anggota BK DPRD Efraim Belarminus Ngaga tampak tanggap. “Nama (anggota dewan itu) sudah disebut dan diberitakan media massa. Kita tidak bisa tutup mata lagi. Kita harus ambil sikap tegas,” katanya. BK sudah gelar rapat. Langkah selanjutnya masih dikonsultasikan dengan pimpinan dewan.
Kita mau lihat, apakah BK DPRD Ende mau dan mampu. Tidak gampang. Efraim menyebut satu hambatan. Kode etik dan tata beracara DPRD Ende belum disahkan dalam rapat paripurna. Ini kelalaian pimpinan dewan. Sudah didesak tapi tidak tanggap.
Itu hambatan formalnya. Masih ada hambatan lainnya. Hambatan psikologis. Pertanyaan retorisnya: tegakah, dengan demikian juga mungkinkah, jeruk makan jeruk? BK DPRD itu terdiri dari anggota DPRD juga. Beban psikologis ‘mengadili’ sesama jeruk sulit dinafikan. Semakin sulit kalau mereka bukan hanya sama-sama jeruk tapi juga jeruk yang sama. Sama asam dan sama jeleknya.
Dengan ini, kita hendak nyatakan dua hal. Di satu sisi, kita berharap BK DPRD Ende bertindak. Di lain sisi, kita khawatir ia tersendat. Maka, ia perlu didukung dan diawasi. Jangan kalahkan hal moral oleh hal formal. Jangan kalahkan hal etis oleh hal psikologis. Halo, BK DPRD Ende?
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 13 November 2010
Oleh Frans Anggal
Sejumlah kontraktor yang tidak puas dengan penetapan pemenang tender di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (PPO) Kabupaten Ende mengamuk di gedung dewan, Rabu 10 November 2010. Pada saat itu salah seorang kontraktor menyebut nama seorang anggota dewan yang menurutnya ikut bermain dalam proses tender proyek (Flores Pos Kamis 11 November 2010).
Mengomentari kejadian ini, Om Toki pada “Senggol” Flores Pos Jumat 12 November 20010 menyeletuk: “Tidak kaget kita, sudah rahasia umum koq.” Dengan kata lain, calo proyek, atau lebih umum calo anggaran, tidak baru di DPRD. Modusnya macam-macam. Dari yang sehalus sutera sampai yang sekasar karung goni.
Pada percaloan anggaran, anggota dewan mengarahkan pimpinan SKPD agar menyetujui anggaran proyek tertentu dalam rapat panitia anggaran. Pantia ini terdiri dari beberapa anggota dewan. Mereka memainkan peran masing-masing. Ada yang ‘bertugas’ menekan pimpinan SKPD dari sisi hukum dll. Tujuannya agar mata anggaran atau proyek yang mereka incar disetujui.
Itu cara halus. Cara kasar: anggota dewan mendatangi langsung kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Sebab, SKPD inilah yang menggodok semua proyek pemerintah daerah. Lahirlah sindiran: anggota dewan lebih rajin datang ke Bappeda ketimbang pegawai Bappeda sendiri.
Modus percaloan tender proyek begitu juga. Anggota dewan mengarahkan dan kalau perlu memaksa pantia tender. Bisa secara empat mata, dari muka ke muka. Bisa juga hanya melalui SMS dan telepon. Itu dianggap bukan masalah. Karena sudah tahu sama tahu. Segala cara bolehlah, hanya agar rekanan tertentu dimenangkan.
Karena ini praktik umum---“Dari Sabang sampai Marauke berjajar calo-calo!”---maka insiden di gedung DPRD Ende tidak bikin kita kaget. Pernyataan Sekretaris Pusat Kajian dan Advokasi Masyarakat (Pusam ) Ende Oscar Vigator pun tepat. Dengan kejadian ini, katanya, sinyalemen selama ini bahwa anggota DPRD Ende makelar proyek atau main proyek mulai terungkap (Flores Pos Jumat 12 November 2010).
Pusam mendesak Badan Kehormatan (BK) DPRD Ende segera bertindak. Anggota BK DPRD Efraim Belarminus Ngaga tampak tanggap. “Nama (anggota dewan itu) sudah disebut dan diberitakan media massa. Kita tidak bisa tutup mata lagi. Kita harus ambil sikap tegas,” katanya. BK sudah gelar rapat. Langkah selanjutnya masih dikonsultasikan dengan pimpinan dewan.
Kita mau lihat, apakah BK DPRD Ende mau dan mampu. Tidak gampang. Efraim menyebut satu hambatan. Kode etik dan tata beracara DPRD Ende belum disahkan dalam rapat paripurna. Ini kelalaian pimpinan dewan. Sudah didesak tapi tidak tanggap.
Itu hambatan formalnya. Masih ada hambatan lainnya. Hambatan psikologis. Pertanyaan retorisnya: tegakah, dengan demikian juga mungkinkah, jeruk makan jeruk? BK DPRD itu terdiri dari anggota DPRD juga. Beban psikologis ‘mengadili’ sesama jeruk sulit dinafikan. Semakin sulit kalau mereka bukan hanya sama-sama jeruk tapi juga jeruk yang sama. Sama asam dan sama jeleknya.
Dengan ini, kita hendak nyatakan dua hal. Di satu sisi, kita berharap BK DPRD Ende bertindak. Di lain sisi, kita khawatir ia tersendat. Maka, ia perlu didukung dan diawasi. Jangan kalahkan hal moral oleh hal formal. Jangan kalahkan hal etis oleh hal psikologis. Halo, BK DPRD Ende?
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 13 November 2010
Label:
bentara,
bk dprd ende,
dprd ende,
flores,
flores pos,
percaloan anggaran,
percaloan proyek,
politik
12 November 2010
Serise dan Ruang Hidup
Masyarat Adat Datangi Bupati & DPRD Matim
Oleh Frans Anggal
Sekitar 300 warga masyarakat adat Golokoe Serise, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), berunjuk rasa ke kantor bupati dan DPRD Matim di Borong, Selasa 9 November 2010. Mereka memprotes eksploitasi tambang mangan oleh PT Arumbai. "Kembalikan ruang hidup kami”, tema aksi mereka (Flores Pos Kamis 11 November 2010).
Mereka datang dari jauh di utara, ke selatan, ke ibu kota kabupaten. Mereka didampingi JPIC Keuskupan Ruteng, JPIC OFM Indonesia, GMNI, PMKRI, dan SPI.
Di kantor bupati, mereka gagal temui bupati. Bupati sedang rapat di dewan. Penerimaan di sini jelek. Mereka berorasi di bawah terik, lalu serahkan pernyataan sikap. Diterima Kadistamben Thomas Ngalong. Di gedung DPRD, mendingan. Tiga puluh wakil dibolehkan masuk, temui bupati, wabup, dan dewan. Itupun setelah bersitegang di luar.
Dalam orasi di halaman kantor bupati, mereka mendesak pemerintah meninjau kembali izin PT Arumbai serta menghentikan ekploitasi di Lingko Rengge Komba. Lingko (tanah persekutuan adat) ini milik mereka. Di gedung DPRD, mereka mendesak pembentukan pansus. Dewan berjanji membahasnya. Sedangkan bupati berjanji memfasilitasi pertemuan dengan pihak terkait.
Sebelumnya, Kamis 4 November 2010, mereka berdemo ke PT Arumbai di lokasi tambang. Mereka mendesak penghentian eksploitasi. Wilayah itu tanah mereka, yang tidak pernah mereka izinkan ditambang. Perusahaan berdalih telah mendapat restu warga Satar Teu. Padahal, wilayah itu bukan milik warga Satar Teu (Flores Pos Jumat 5 November 2010).
Ada dua masalah mendasar di sini. Pertama, masalah prosedural: penambangan itu tidak seizin pemilik tanah, alias hanya seizin pihak yang justru bukan pemilik. Kedua, persoalan substansial: rusaknya lingkungan, yang nyata terbukti telah dan akan terus berdampak luas: hancurnya lahan pertanian rakyat, miskin dan sengsaranya masyarakat (“Bentara” Flores Pos, Sabtu 6 November 2010).
Dilatari dua masalah mendasar ini, tema aksi mereka sangat tepat: “Kembalikan ruang hidup kami”. Dengan sadar dan sengaja mereka menyebut lingko sebagai ‘ruang hidup’ (Lebensraum). Ruang hidup bukan sekadar tanah, bukan sekadar lingko. Ruang hidup adalah segenap keluasan dan keleluasaan, di dalamnya segala hal dari hidup dan kehidupan mendapat tempat.
Bagi orang Manggarai, ruang hidup mencakup mbaru bate ka’eng (rumah), natas bate labar (kampung halaman), uma bate duat (kebun), dan wae bate teku (sumber air). Keempatnya satu kesatuan integratif dan holistik. Satu saja unsurnya dirusakkan maka keseluruhan ruang hidup itu rusak. Justru inilah yang dilakukan tambang. Monster ini tidak hanya merampas ruang itu, tapi juga menghancurkannya.
Dalam konteks ini, apa makna desakan “kembalikan ruang hidup kami”? Keliru bahkan naïf kalau itu hanya bermakna imperatif mengembalikan lingko kepada pemiliknya. Desakan itu harus juga bermakna kewajiban memulihkan lingko oleh pihak yang telah merusakkannya. Dengan kata lain, harus ada rehabilitasi, apa pun bentuknya. Paling realistis, berupa pembayaran ganti rugi.
DPRD sudah berjanji akan membicarakan pembentukan pansus. Bupati sudah berjanji akan memfasilitasi pertemuan dengan pihak terkait. Kita berharap, agenda setting mereka tidak menyimpang dari konteks itu. Kembalikan ruang hidup masyarakat!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 12 November 2010
Oleh Frans Anggal
Sekitar 300 warga masyarakat adat Golokoe Serise, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), berunjuk rasa ke kantor bupati dan DPRD Matim di Borong, Selasa 9 November 2010. Mereka memprotes eksploitasi tambang mangan oleh PT Arumbai. "Kembalikan ruang hidup kami”, tema aksi mereka (Flores Pos Kamis 11 November 2010).
Mereka datang dari jauh di utara, ke selatan, ke ibu kota kabupaten. Mereka didampingi JPIC Keuskupan Ruteng, JPIC OFM Indonesia, GMNI, PMKRI, dan SPI.
Di kantor bupati, mereka gagal temui bupati. Bupati sedang rapat di dewan. Penerimaan di sini jelek. Mereka berorasi di bawah terik, lalu serahkan pernyataan sikap. Diterima Kadistamben Thomas Ngalong. Di gedung DPRD, mendingan. Tiga puluh wakil dibolehkan masuk, temui bupati, wabup, dan dewan. Itupun setelah bersitegang di luar.
Dalam orasi di halaman kantor bupati, mereka mendesak pemerintah meninjau kembali izin PT Arumbai serta menghentikan ekploitasi di Lingko Rengge Komba. Lingko (tanah persekutuan adat) ini milik mereka. Di gedung DPRD, mereka mendesak pembentukan pansus. Dewan berjanji membahasnya. Sedangkan bupati berjanji memfasilitasi pertemuan dengan pihak terkait.
Sebelumnya, Kamis 4 November 2010, mereka berdemo ke PT Arumbai di lokasi tambang. Mereka mendesak penghentian eksploitasi. Wilayah itu tanah mereka, yang tidak pernah mereka izinkan ditambang. Perusahaan berdalih telah mendapat restu warga Satar Teu. Padahal, wilayah itu bukan milik warga Satar Teu (Flores Pos Jumat 5 November 2010).
Ada dua masalah mendasar di sini. Pertama, masalah prosedural: penambangan itu tidak seizin pemilik tanah, alias hanya seizin pihak yang justru bukan pemilik. Kedua, persoalan substansial: rusaknya lingkungan, yang nyata terbukti telah dan akan terus berdampak luas: hancurnya lahan pertanian rakyat, miskin dan sengsaranya masyarakat (“Bentara” Flores Pos, Sabtu 6 November 2010).
Dilatari dua masalah mendasar ini, tema aksi mereka sangat tepat: “Kembalikan ruang hidup kami”. Dengan sadar dan sengaja mereka menyebut lingko sebagai ‘ruang hidup’ (Lebensraum). Ruang hidup bukan sekadar tanah, bukan sekadar lingko. Ruang hidup adalah segenap keluasan dan keleluasaan, di dalamnya segala hal dari hidup dan kehidupan mendapat tempat.
Bagi orang Manggarai, ruang hidup mencakup mbaru bate ka’eng (rumah), natas bate labar (kampung halaman), uma bate duat (kebun), dan wae bate teku (sumber air). Keempatnya satu kesatuan integratif dan holistik. Satu saja unsurnya dirusakkan maka keseluruhan ruang hidup itu rusak. Justru inilah yang dilakukan tambang. Monster ini tidak hanya merampas ruang itu, tapi juga menghancurkannya.
Dalam konteks ini, apa makna desakan “kembalikan ruang hidup kami”? Keliru bahkan naïf kalau itu hanya bermakna imperatif mengembalikan lingko kepada pemiliknya. Desakan itu harus juga bermakna kewajiban memulihkan lingko oleh pihak yang telah merusakkannya. Dengan kata lain, harus ada rehabilitasi, apa pun bentuknya. Paling realistis, berupa pembayaran ganti rugi.
DPRD sudah berjanji akan membicarakan pembentukan pansus. Bupati sudah berjanji akan memfasilitasi pertemuan dengan pihak terkait. Kita berharap, agenda setting mereka tidak menyimpang dari konteks itu. Kembalikan ruang hidup masyarakat!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 12 November 2010
Label:
bentara,
bupati matim,
dprd matim,
flores,
flores pos,
manggarai timur,
pertambangan,
serise,
tambang mangan
11 November 2010
Sumbangan PNS Itu ….
Dari Manggarai untuk Korban Bencana
Oleh Frans Anggal
Pemkab Manggarai menyerukan PNS memberi sumbangan bagi korban bencana banjir di Wasior, tsunami di Mentawai, dan letusan Merapi di Jawa. Posnya di kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di Ruteng. “Imbauan sudah diketahui semua PNS. Dalam imbauan itu, bantuan minimal Rp5 ribu (per orang),” kata Kepala BPBD Angglus Angkat (Flores Pos Rabu 10 November 2010).
PNS kumpulkan sumbangan di kantor masing-masing. Setelah terhimpun, dana itu diantar ke posko. Dengan jumlah PNS 7.000-an orang, dana yang bakal terkumpul minimal Rp35 juta. Ditambah dengan dana terhimpun dari masyarakat oleh beberapa elemen civil society, jumlahnya bakal tidak kecil.
Ini solidaritas sosial. Menurut sosiolog Emile Durkheim (1858-1917), solidaritas sosial merupakan keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang didasari perasaan moral dan kepercayaan bersama dan diperkuat pengalaman emosional bersama.
Agar solidaritas sosial tidak menyempit atau memicik, “perasaan moral” pada konsep Durkheim perlu digarisbawahi dan benar-benar diberi bobot etik. Dengan demikian, solidaritas sosial mesti dipandang sebagai perwujudan etika sosial. Yang menjadi pertanyaan: etikal sosial macam apa yang mesti memboboti solidaritas sosial itu.
Tidak rumit-rumit. Bayangkan saja kesejatian sebuah persahabatan. Cara wawas Milan Kundera, novelis Prancis kelahiran Ceko, bisa membantu. Di matanya, persahabatan merupakan relasi non-sektarian. Sesuatu yang lebih sublim ketimbang ras, agama, dan ideologi. Persahabatan adalah etika yang berlandaskan pengakuan satu sama lain sebagai subjek moral yang setara. Itulah etika solidaritas!
Ditarik ke ranah publik hidup bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, etika solidaritas sudah seharusnya berfisat publik. Privatisasi terhadapnya dapat hancurkan kehidupan bersama. Fundamentalis agama yang memprivatkan solidaritas sosial hanya pada kelompoknya bisa benar-benar mengorbankan diri bagi kelompoknya, tapi sekaligus menghancurkan kehidupan bersama dengan kelompk lain, melalui aksi bom bunuh diri.
Etika solidaritas seperti itu harus kita padamkan. Kita nyalakan etika sosial berdimensi publik. Apa yang dilakukan Pemkab Manggarai memperlihatkan dimensi itu. Para PNS menyumbang bagi sesama warga negara, bisa lebih luas lagi bagi sesama umat manusia, yang sedang menderita, siapa pun, di mana pun, dan apa pun suku, agama, dan ras mereka.
Nilai etis solidaritas publik semakin tinggi kalau kadar pemaksaan terhadapnya semakin rendah. Pada titik ini, kita perlu mengkritisi langkah Pemkab Manggarai. Mengimbau PNS menyumbang, itu bagus. Dengannya, mereka diajak bersolidaritas secara sukarela. Menjadi kurang bagus, pemkab mematok jumlah minimal sumbangan per orang .
Ini tidak lucu. Pemkab mengajak sekaligus mewajibkan. Mengimbau sekaligus memaksakan. Membebaskan sekaligus membatasi. Kenapa mesti dipatok minimal Rp5 ribu per orang? Kalau uang itu berasal dari dana rutin tiap SKPD, boleh-boleh saja, bupati punya hak. Tapi kalau itu dari gaji si PNS, apa hak seorang bupati?
Selain melampaui apa yang menjadi hak bupati, pematokan jumlah minimal itu melunturkan, mengurangi, mendinginkan, bahkan mematikan nilai kesukarelaan. Maka, jadilan ia “sumbangan sukarela dengan tekanan”. Tidak lucu.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 11 November 2010
Oleh Frans Anggal
Pemkab Manggarai menyerukan PNS memberi sumbangan bagi korban bencana banjir di Wasior, tsunami di Mentawai, dan letusan Merapi di Jawa. Posnya di kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di Ruteng. “Imbauan sudah diketahui semua PNS. Dalam imbauan itu, bantuan minimal Rp5 ribu (per orang),” kata Kepala BPBD Angglus Angkat (Flores Pos Rabu 10 November 2010).
PNS kumpulkan sumbangan di kantor masing-masing. Setelah terhimpun, dana itu diantar ke posko. Dengan jumlah PNS 7.000-an orang, dana yang bakal terkumpul minimal Rp35 juta. Ditambah dengan dana terhimpun dari masyarakat oleh beberapa elemen civil society, jumlahnya bakal tidak kecil.
Ini solidaritas sosial. Menurut sosiolog Emile Durkheim (1858-1917), solidaritas sosial merupakan keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang didasari perasaan moral dan kepercayaan bersama dan diperkuat pengalaman emosional bersama.
Agar solidaritas sosial tidak menyempit atau memicik, “perasaan moral” pada konsep Durkheim perlu digarisbawahi dan benar-benar diberi bobot etik. Dengan demikian, solidaritas sosial mesti dipandang sebagai perwujudan etika sosial. Yang menjadi pertanyaan: etikal sosial macam apa yang mesti memboboti solidaritas sosial itu.
Tidak rumit-rumit. Bayangkan saja kesejatian sebuah persahabatan. Cara wawas Milan Kundera, novelis Prancis kelahiran Ceko, bisa membantu. Di matanya, persahabatan merupakan relasi non-sektarian. Sesuatu yang lebih sublim ketimbang ras, agama, dan ideologi. Persahabatan adalah etika yang berlandaskan pengakuan satu sama lain sebagai subjek moral yang setara. Itulah etika solidaritas!
Ditarik ke ranah publik hidup bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, etika solidaritas sudah seharusnya berfisat publik. Privatisasi terhadapnya dapat hancurkan kehidupan bersama. Fundamentalis agama yang memprivatkan solidaritas sosial hanya pada kelompoknya bisa benar-benar mengorbankan diri bagi kelompoknya, tapi sekaligus menghancurkan kehidupan bersama dengan kelompk lain, melalui aksi bom bunuh diri.
Etika solidaritas seperti itu harus kita padamkan. Kita nyalakan etika sosial berdimensi publik. Apa yang dilakukan Pemkab Manggarai memperlihatkan dimensi itu. Para PNS menyumbang bagi sesama warga negara, bisa lebih luas lagi bagi sesama umat manusia, yang sedang menderita, siapa pun, di mana pun, dan apa pun suku, agama, dan ras mereka.
Nilai etis solidaritas publik semakin tinggi kalau kadar pemaksaan terhadapnya semakin rendah. Pada titik ini, kita perlu mengkritisi langkah Pemkab Manggarai. Mengimbau PNS menyumbang, itu bagus. Dengannya, mereka diajak bersolidaritas secara sukarela. Menjadi kurang bagus, pemkab mematok jumlah minimal sumbangan per orang .
Ini tidak lucu. Pemkab mengajak sekaligus mewajibkan. Mengimbau sekaligus memaksakan. Membebaskan sekaligus membatasi. Kenapa mesti dipatok minimal Rp5 ribu per orang? Kalau uang itu berasal dari dana rutin tiap SKPD, boleh-boleh saja, bupati punya hak. Tapi kalau itu dari gaji si PNS, apa hak seorang bupati?
Selain melampaui apa yang menjadi hak bupati, pematokan jumlah minimal itu melunturkan, mengurangi, mendinginkan, bahkan mematikan nilai kesukarelaan. Maka, jadilan ia “sumbangan sukarela dengan tekanan”. Tidak lucu.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 11 November 2010
Label:
bentara,
etika solidaritas,
flores,
flores pos,
manggarai,
pns kabupaten manggarai,
sumbangan sukarela
10 November 2010
Kadis Kunker, Sekolah Libur
"Pejabatisasi" di Kabupaten Lembata
Oleh Frans Anggal
Senin 8 November 2010, sekolah se-Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, diliburkan. Hari itu, Kadis Pemuda dan Olahraga (PPO) Alex Making lakukan kunjungan kerja (kunker) ke ibu kota kecamatan, Lewoleba, yang juga ibu kota kabupaten. Ia diterima secara adat, lalu diantar ke gedung Dekenat Lembata. Di sana ia bertemu dengan semua guru sekecamatan. Karena semua guru kumpul di sana, sekolah diliburkan (Flores Pos Selasa 9 November 2010).
Kadis datang, tentu untuk benahi pendidikan, khususnya tingkatkan mutu sekolah, lebih khusus lagi dongkrak persentase kelulusan UN. Kiatnya: efektivitas proses belajar-mengajar. Antara lain melalui interaksi guru-murid sesering dan seintensif mungkin. Pada saat kunker kadis, interkasi guru-murid itu justru dibatalkan. Kunker yang bertujuan meningkatkan mutu pendidikan justru mengurangi bahkan menghilangkan peluang meningkatkan mutu pendidikan.
Baik kadis maupun para kasi tidak melihat kejanggalan ini. Karena, mereka cuma pejabat, bukan pendidik. Mereka tidak miliki kepekaan edukasional. Ini jadi langgeng, antara lain karena dilanggengkan masyarakat yang masih menyembah feodalisme. Tidak heran, lahirlah “pejabatisasi”. Pejabat selalu jadi tokoh sentral. Dalam urusan pertanian, dia lebih penting ketimbang petani. Dalam urusan pendidikan, dia lebih penting ketimbang guru.
Karena sang pejabat lebih penting maka yang lain boleh dikorbankan. Jalan boleh diblokir demi lewat mulusnya pejabat. Kendaraan foreder boleh meraung-raung demi terwartanya sang raja tiba. Anak-anak sekolah boleh terpanggang di bawah matahari demi terpagar betisnya lintasan sang dewa.
Dengan varian yang lain, pejabatasi terjadi pula pada kunker kadis PP Lembata. Ia diterima secara adat. Ini wajar dan dapat dimengerti. Itu kali pertama ia berkunker setelah dilantik. Dalam budaya kita, semua yang (kali) pertama diperlakukan istimewa. Kepertamaan paralel dengan kesulungan. Mendapat privilese secara kultural.
Kunker itu jadi tidak wajar ketika sekolah harus diliburkan. Pertemuan guru-murid dikalahkan oleh dan dikorbankan demi petemuan kadis-guru. Apakah karena pertemuan kadis-guru lebih bernilai? Tidak. Ada kesaksian, selain tidak berikan nilai tambah, pertemuan itu membosankan.
“Hanya mau ketemu kadis, anak-anak diliburkan. Padahal, ujung-ujung dari pertemuan ini adalah bagaimana meningkatkan mutu pendidikan di Lembata. Nilai apa yang kami dapat dari pertemuan ini?” guguatn Yohanes Paulus P. Koban, guru SMU PGRI.
Selain tidak berikan nilai tambah, pertemuan ini hanya me-murid-kan guru. Menggantikan murid yang diliburkan, para guru bersekolah di gedung Dekenat Lembata, mendengarkan pengajaran kadis dan kasi. Hingga pukul 13.00, mereka hanya mendengarkan program kerja dan kegiatan dinas. Keluh kesah dan saran mereka kurang mendapat tempat.
Tidak hanya itu. Kunker ini mengorbankan kocek para guru. Tiap guru harus bayar Rp40 ribu. Untuk makan-minum Rp30 ribu, untuk kegiatan PGRI Rp10 ribu. Adoh, sudah tidak dapat nilai tambah, mereka kehilangan duit. Tragedi Umar Bakrie selalu berulang. Guru selalu jadi ayam sayur pejabat. Dipotong di sana, dikebiri di sini.
Kita belum bebas dari kungkungan feodalisme. Belum lepas dari kegilaan pejabatisasi. Yang menyedihkan, hal seperti ini justru masih kuat menggerogoti dinas dan lembaga pendidikan yang justru mengemban misi transformasi. Duh!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 10 November 2010
Oleh Frans Anggal
Senin 8 November 2010, sekolah se-Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, diliburkan. Hari itu, Kadis Pemuda dan Olahraga (PPO) Alex Making lakukan kunjungan kerja (kunker) ke ibu kota kecamatan, Lewoleba, yang juga ibu kota kabupaten. Ia diterima secara adat, lalu diantar ke gedung Dekenat Lembata. Di sana ia bertemu dengan semua guru sekecamatan. Karena semua guru kumpul di sana, sekolah diliburkan (Flores Pos Selasa 9 November 2010).
Kadis datang, tentu untuk benahi pendidikan, khususnya tingkatkan mutu sekolah, lebih khusus lagi dongkrak persentase kelulusan UN. Kiatnya: efektivitas proses belajar-mengajar. Antara lain melalui interaksi guru-murid sesering dan seintensif mungkin. Pada saat kunker kadis, interkasi guru-murid itu justru dibatalkan. Kunker yang bertujuan meningkatkan mutu pendidikan justru mengurangi bahkan menghilangkan peluang meningkatkan mutu pendidikan.
Baik kadis maupun para kasi tidak melihat kejanggalan ini. Karena, mereka cuma pejabat, bukan pendidik. Mereka tidak miliki kepekaan edukasional. Ini jadi langgeng, antara lain karena dilanggengkan masyarakat yang masih menyembah feodalisme. Tidak heran, lahirlah “pejabatisasi”. Pejabat selalu jadi tokoh sentral. Dalam urusan pertanian, dia lebih penting ketimbang petani. Dalam urusan pendidikan, dia lebih penting ketimbang guru.
Karena sang pejabat lebih penting maka yang lain boleh dikorbankan. Jalan boleh diblokir demi lewat mulusnya pejabat. Kendaraan foreder boleh meraung-raung demi terwartanya sang raja tiba. Anak-anak sekolah boleh terpanggang di bawah matahari demi terpagar betisnya lintasan sang dewa.
Dengan varian yang lain, pejabatasi terjadi pula pada kunker kadis PP Lembata. Ia diterima secara adat. Ini wajar dan dapat dimengerti. Itu kali pertama ia berkunker setelah dilantik. Dalam budaya kita, semua yang (kali) pertama diperlakukan istimewa. Kepertamaan paralel dengan kesulungan. Mendapat privilese secara kultural.
Kunker itu jadi tidak wajar ketika sekolah harus diliburkan. Pertemuan guru-murid dikalahkan oleh dan dikorbankan demi petemuan kadis-guru. Apakah karena pertemuan kadis-guru lebih bernilai? Tidak. Ada kesaksian, selain tidak berikan nilai tambah, pertemuan itu membosankan.
“Hanya mau ketemu kadis, anak-anak diliburkan. Padahal, ujung-ujung dari pertemuan ini adalah bagaimana meningkatkan mutu pendidikan di Lembata. Nilai apa yang kami dapat dari pertemuan ini?” guguatn Yohanes Paulus P. Koban, guru SMU PGRI.
Selain tidak berikan nilai tambah, pertemuan ini hanya me-murid-kan guru. Menggantikan murid yang diliburkan, para guru bersekolah di gedung Dekenat Lembata, mendengarkan pengajaran kadis dan kasi. Hingga pukul 13.00, mereka hanya mendengarkan program kerja dan kegiatan dinas. Keluh kesah dan saran mereka kurang mendapat tempat.
Tidak hanya itu. Kunker ini mengorbankan kocek para guru. Tiap guru harus bayar Rp40 ribu. Untuk makan-minum Rp30 ribu, untuk kegiatan PGRI Rp10 ribu. Adoh, sudah tidak dapat nilai tambah, mereka kehilangan duit. Tragedi Umar Bakrie selalu berulang. Guru selalu jadi ayam sayur pejabat. Dipotong di sana, dikebiri di sini.
Kita belum bebas dari kungkungan feodalisme. Belum lepas dari kegilaan pejabatisasi. Yang menyedihkan, hal seperti ini justru masih kuat menggerogoti dinas dan lembaga pendidikan yang justru mengemban misi transformasi. Duh!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 10 November 2010
Label:
bentara,
feodalisme,
flores,
flores pos,
lembata,
pejabatisasi,
pendidikan
09 November 2010
Uniform DPRD Mabar
Lebih Penting daripada Tupoksi?
Oleh Frans Anggal
Anggota DPRD Mabar, Bernadus Barat Daya, mengembalikan 4 setelan uniform dewan karena merasa haknya dikebiri Ketua DPRD Mateus Hamsi. Pada sidang paripurna Selasa 2 November 2010, ia minta bicara, tapi tidak diberi kesempatan oleh ketua yang saat itu memimpin sidang. Konon, ini semacam sanksi, karena Barat Daya tak kenakan uniform.
“Tiga kali saya interupsi, menanyakan tatib mana yang dilanggar, tetapi tidak digubris ketua dewan,” katanya. Ia pun pulang ke rumah mengambil 4 setel uniform, lalu balik lagi ke ruang sidang untuk memulangkannya ke DPRD (Flores Pos Senin 8 November 2010).
Kenapa ia tidak kenakan uniform? Alasannya, ternyata, sederhana. Keempat setelan yang pengadaannya dibiayai APBD itu kesesakan. Hambatan teknis ini mendorongnya menempuh solusi praktis. Ia tetap hadiri sidang meski tidak beuniform.
Selain praktis, solusi itu bijaksana. Barat Daya tahu akan skala nilai. Yang penting, hadir dan aktif dalam sidang, meski tidak beruniform. Ini lebih terhormat ketimbang: yang penting beruniform, meski hanya diam selama sidang.
Ini tidak dilihat oleh Mateus Hamsi. Tidak dilihat, karena tidak ditanyakan. Sendainya ditanyakan, persoalannya klir dan transparan. Mateus Hamsi hanya mendalihkan tindakannya pada aturan. “Soal seragam, ada rambu-rambunya. Anggota dewan semestinya taati itu,” katanya.
Itu benar, tapi bukan segala-galanya. Ada yang jauh lebih penting. Yaitu: tupoksi dan hak anggota dewan. Di hadapan tupoksi dan hak anggota dewan, uniform hanya boleh mendukung, tidak boleh menghambat. Tupoksi dan hak merupakan substansi, sedangkan uniform hanya aksidensi. Seamsal rambut bagi manusia, demikianlah uniform bagi anggota dewan. Manusia disebut manusia karena berakal budi, bukan karena berambut. Berambut atau tanpa rambut, manusia tetap manusia, asalkan berakal budi.
Beruniform atau tanpa uniform, dewan tetaplah dewan sejauh melaksanakan tupoksi dan haknya dengan baik dan benar. Apalah artinya beruniform kalau anggota dewan bermental 5D belaka: datang, duduk, dengar, diam, duit. Sebagai aksidensi, uniform hanyalah aksesori. Sama seperti cincin bagi jari, gelang bagi tangan, kalung bagi leher, anting bagi telinga.
Diwawas secara demikian, insiden Barat Daya tidak beruniform itu persoalan kecil, teknis, aksesoris. Itu tidak boleh menghambat tupoksi dan hak seorang anggota dewan. Salah satunya, hak berbicara. Hak ini tidak boleh dihilangkan hanya karena anggota dewan tidak beruniform. Ini yang justru dilakukan Mateus Hamsi. Tindakannya salah dan naïf.
Kesalahan dan kenaifan itu membangkitkan sikap Barat Daya. Ia tidak akan memakai uniform dewan hingga masa baktinya berakhir. “Bagi saya, seragam bukanlah hal penting. Yang lebih penting adalah melaksanakan tupoksi sebagai wakil rakyat. Saya jadi DPRD karena dipercaya oleh rakyat, dan saya loyal kepada rakyat, bukan loyal kepada seragam. Saya tidak pernah takut pada tatib ataupun bentuk tekanan di dewan.”
Ini sikap radikal. Berasal dari kata Latin, radix, yang berarti “akar”. Sebagai radix, sikap Barat Daya menukik ke kedalaman, ke substansi, justru karena sikap Mateus Hamsi mengambang dangkal di permukaan, di aksidensi. Dengan ini, Barat Daya melakukan perimbangan. Dan sesungguhnya ini juga gerakan kembali ke dasar (back to basic), ke perihal mengapa dan untuk apa DPRD ada.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 9 November 2010
Oleh Frans Anggal
Anggota DPRD Mabar, Bernadus Barat Daya, mengembalikan 4 setelan uniform dewan karena merasa haknya dikebiri Ketua DPRD Mateus Hamsi. Pada sidang paripurna Selasa 2 November 2010, ia minta bicara, tapi tidak diberi kesempatan oleh ketua yang saat itu memimpin sidang. Konon, ini semacam sanksi, karena Barat Daya tak kenakan uniform.
“Tiga kali saya interupsi, menanyakan tatib mana yang dilanggar, tetapi tidak digubris ketua dewan,” katanya. Ia pun pulang ke rumah mengambil 4 setel uniform, lalu balik lagi ke ruang sidang untuk memulangkannya ke DPRD (Flores Pos Senin 8 November 2010).
Kenapa ia tidak kenakan uniform? Alasannya, ternyata, sederhana. Keempat setelan yang pengadaannya dibiayai APBD itu kesesakan. Hambatan teknis ini mendorongnya menempuh solusi praktis. Ia tetap hadiri sidang meski tidak beuniform.
Selain praktis, solusi itu bijaksana. Barat Daya tahu akan skala nilai. Yang penting, hadir dan aktif dalam sidang, meski tidak beruniform. Ini lebih terhormat ketimbang: yang penting beruniform, meski hanya diam selama sidang.
Ini tidak dilihat oleh Mateus Hamsi. Tidak dilihat, karena tidak ditanyakan. Sendainya ditanyakan, persoalannya klir dan transparan. Mateus Hamsi hanya mendalihkan tindakannya pada aturan. “Soal seragam, ada rambu-rambunya. Anggota dewan semestinya taati itu,” katanya.
Itu benar, tapi bukan segala-galanya. Ada yang jauh lebih penting. Yaitu: tupoksi dan hak anggota dewan. Di hadapan tupoksi dan hak anggota dewan, uniform hanya boleh mendukung, tidak boleh menghambat. Tupoksi dan hak merupakan substansi, sedangkan uniform hanya aksidensi. Seamsal rambut bagi manusia, demikianlah uniform bagi anggota dewan. Manusia disebut manusia karena berakal budi, bukan karena berambut. Berambut atau tanpa rambut, manusia tetap manusia, asalkan berakal budi.
Beruniform atau tanpa uniform, dewan tetaplah dewan sejauh melaksanakan tupoksi dan haknya dengan baik dan benar. Apalah artinya beruniform kalau anggota dewan bermental 5D belaka: datang, duduk, dengar, diam, duit. Sebagai aksidensi, uniform hanyalah aksesori. Sama seperti cincin bagi jari, gelang bagi tangan, kalung bagi leher, anting bagi telinga.
Diwawas secara demikian, insiden Barat Daya tidak beruniform itu persoalan kecil, teknis, aksesoris. Itu tidak boleh menghambat tupoksi dan hak seorang anggota dewan. Salah satunya, hak berbicara. Hak ini tidak boleh dihilangkan hanya karena anggota dewan tidak beruniform. Ini yang justru dilakukan Mateus Hamsi. Tindakannya salah dan naïf.
Kesalahan dan kenaifan itu membangkitkan sikap Barat Daya. Ia tidak akan memakai uniform dewan hingga masa baktinya berakhir. “Bagi saya, seragam bukanlah hal penting. Yang lebih penting adalah melaksanakan tupoksi sebagai wakil rakyat. Saya jadi DPRD karena dipercaya oleh rakyat, dan saya loyal kepada rakyat, bukan loyal kepada seragam. Saya tidak pernah takut pada tatib ataupun bentuk tekanan di dewan.”
Ini sikap radikal. Berasal dari kata Latin, radix, yang berarti “akar”. Sebagai radix, sikap Barat Daya menukik ke kedalaman, ke substansi, justru karena sikap Mateus Hamsi mengambang dangkal di permukaan, di aksidensi. Dengan ini, Barat Daya melakukan perimbangan. Dan sesungguhnya ini juga gerakan kembali ke dasar (back to basic), ke perihal mengapa dan untuk apa DPRD ada.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 9 November 2010
Label:
bentara,
bernadus barat daya,
dprd mabar,
flores,
flores pos,
mabar,
mateus hamsi,
uniform
08 November 2010
Bencana Lain di Sikka
Sebuah Panti Sekarat Butuhkan Pertolongan
Oleh Frans Anggal
Uskup Maumere Mgr G Kherubim Pareira SVD mengimbau para imam, calon imam, rohaniwan-rohaniwati, dan seluruh umat keuskupan mengumpulkan sumbangan melalui kolekte dll bagi para korban tenggelamnya KM Karya Pinang di Sikka, banjir Wasior di Papua, tsunami di Mentawai, dan letusan Merapi di Jawa. Kolekte solidaritas dilakukan serempak pada Minggu 14 November 2010 (Flores Pos Sabtu 6 November 2010).
Ini gerakan solidaritas gerejawi. Bersifat dwi-kiblat: ke dalam (sentripetal) dan ke luar (sentrifugal). Secara sentripetal, umat keuskupan “berkumpul di dalam”. Secara sentrifugal, mereka “mengirim ke luar”. Kata bahasa Jerman punya sound-bite untuk dua gerakan ini: Sammlung und Sendung. Menyatu padu ke dalam dan melepas ikhlas ke luar.
Sangat tepat: pengumpulan sumbangan dilakukan sebagai kolekte pada perayaan ekaristi. Pada akhir setiap perayaan ekaristi, imam berucap: “Misa telah selesai.” Kata “selesai” tidak bermakna “sampai di sini” tapi justru “mulai dari sini”. Karena itulah, imam berucap lagi: “Pergilah, kamu diutus”. Setelah ber-Sammlung, saatnya ber-Sendung. Setelah bersatu padu ke dalam, saatnya berwarta ke luar. Bersaksi. Berbuat.
Sangat tepat pula: pengumpulan sumbangan dilakukan bersama-sama dan serempak pada misa Minggu 14 November 2010. Kebersama-samaan dan keserampakan ini jauh dari makna dan maksud beramai-ramai dan bergegap-gempita. Juga jauh dari sekadar tujuan praktis, demi cepat dan mudahnya penghimpunan dana.
Kebersama-samaan dan keserampakan ini sesungguhnya---dan karena itu hendaknya---memaknakan dan mengintensikan Minggu 14 November 2010 sebagai “titik rahmat", bukan sekadar “titik waktu”. Sebagai “kairos”, bukan sekadar “kronos”. Kronos adalah waktu yang dapat diukur dengan jam, hari, tanggal, bulan, tahun, dsb. Kronos dapat juga dimengerti sebagai rangkaian peristiwa dan kemungkinan dalam hidup manusia (kronologi).
Sedangka kairos adalah waktu yang diberikan Tuhan dan yang di dalamnya terdapat kesempatan bagi kita untuk bertindak penuh kasih atau melakukan sesuatu yang penting atau bermanfaat bagi diri sendiri dan sesama. Kairos juga dapat menunjuk pada waktunya Tuhan bertindak untuk mendatangkan kebaikan bagi manusia.
Dengan pemaknaan dan pemaksudan seperti ini, kita berharap umat Keuskupan Maumere menggunakan kesempatan kolekte misa Minggu 14 November 2010 sebagai momen berahmat, sebagai kairos. Sebagai kesempatan bertindak penuh kasih membantu para korban tenggelamnya KM Karya Pinang di Sikka, banjir Wasior di Papua, tsunami di Mentawai, dan letusan Merapi di Jawa.
Namun, khusus untuk Sikka, bencana bukan hanya tenggelamnya KM Karya Pinang di perairan Sada Watu Manuk, Jumat 22 Oktober 2010, yang menyebabkan 14 tewas dan 9 hilang. Sikka juga sedang terancam bencana lain, yang sudah lama membutuhkan pertolongan.
Panti Santa Dymphna Maumere kini kewalahan menghidupi 126 anak asuhan. Betapa menyedihkan, ketika anak-anak cacat panti ini meletakkan kotak amal pada tujuh lokasi di kota Maumere (Flores Pos Kamis 4 November 2010).
Kita bisa menyumbang untuk Papua, Mentawai, dan Jawa. Kenapa tidak untuk sebuah panti sekarat di Sikka? Dengan jujur kita harus katakan: ini sebuah skandal bagi Kabupaten Sikka dan Keuskupan Maumere!
“Bentara” FLORES POS, Senin 8 November 2010
Oleh Frans Anggal
Uskup Maumere Mgr G Kherubim Pareira SVD mengimbau para imam, calon imam, rohaniwan-rohaniwati, dan seluruh umat keuskupan mengumpulkan sumbangan melalui kolekte dll bagi para korban tenggelamnya KM Karya Pinang di Sikka, banjir Wasior di Papua, tsunami di Mentawai, dan letusan Merapi di Jawa. Kolekte solidaritas dilakukan serempak pada Minggu 14 November 2010 (Flores Pos Sabtu 6 November 2010).
Ini gerakan solidaritas gerejawi. Bersifat dwi-kiblat: ke dalam (sentripetal) dan ke luar (sentrifugal). Secara sentripetal, umat keuskupan “berkumpul di dalam”. Secara sentrifugal, mereka “mengirim ke luar”. Kata bahasa Jerman punya sound-bite untuk dua gerakan ini: Sammlung und Sendung. Menyatu padu ke dalam dan melepas ikhlas ke luar.
Sangat tepat: pengumpulan sumbangan dilakukan sebagai kolekte pada perayaan ekaristi. Pada akhir setiap perayaan ekaristi, imam berucap: “Misa telah selesai.” Kata “selesai” tidak bermakna “sampai di sini” tapi justru “mulai dari sini”. Karena itulah, imam berucap lagi: “Pergilah, kamu diutus”. Setelah ber-Sammlung, saatnya ber-Sendung. Setelah bersatu padu ke dalam, saatnya berwarta ke luar. Bersaksi. Berbuat.
Sangat tepat pula: pengumpulan sumbangan dilakukan bersama-sama dan serempak pada misa Minggu 14 November 2010. Kebersama-samaan dan keserampakan ini jauh dari makna dan maksud beramai-ramai dan bergegap-gempita. Juga jauh dari sekadar tujuan praktis, demi cepat dan mudahnya penghimpunan dana.
Kebersama-samaan dan keserampakan ini sesungguhnya---dan karena itu hendaknya---memaknakan dan mengintensikan Minggu 14 November 2010 sebagai “titik rahmat", bukan sekadar “titik waktu”. Sebagai “kairos”, bukan sekadar “kronos”. Kronos adalah waktu yang dapat diukur dengan jam, hari, tanggal, bulan, tahun, dsb. Kronos dapat juga dimengerti sebagai rangkaian peristiwa dan kemungkinan dalam hidup manusia (kronologi).
Sedangka kairos adalah waktu yang diberikan Tuhan dan yang di dalamnya terdapat kesempatan bagi kita untuk bertindak penuh kasih atau melakukan sesuatu yang penting atau bermanfaat bagi diri sendiri dan sesama. Kairos juga dapat menunjuk pada waktunya Tuhan bertindak untuk mendatangkan kebaikan bagi manusia.
Dengan pemaknaan dan pemaksudan seperti ini, kita berharap umat Keuskupan Maumere menggunakan kesempatan kolekte misa Minggu 14 November 2010 sebagai momen berahmat, sebagai kairos. Sebagai kesempatan bertindak penuh kasih membantu para korban tenggelamnya KM Karya Pinang di Sikka, banjir Wasior di Papua, tsunami di Mentawai, dan letusan Merapi di Jawa.
Namun, khusus untuk Sikka, bencana bukan hanya tenggelamnya KM Karya Pinang di perairan Sada Watu Manuk, Jumat 22 Oktober 2010, yang menyebabkan 14 tewas dan 9 hilang. Sikka juga sedang terancam bencana lain, yang sudah lama membutuhkan pertolongan.
Panti Santa Dymphna Maumere kini kewalahan menghidupi 126 anak asuhan. Betapa menyedihkan, ketika anak-anak cacat panti ini meletakkan kotak amal pada tujuh lokasi di kota Maumere (Flores Pos Kamis 4 November 2010).
Kita bisa menyumbang untuk Papua, Mentawai, dan Jawa. Kenapa tidak untuk sebuah panti sekarat di Sikka? Dengan jujur kita harus katakan: ini sebuah skandal bagi Kabupaten Sikka dan Keuskupan Maumere!
“Bentara” FLORES POS, Senin 8 November 2010
Label:
bencana,
bentara,
flores,
flores pos,
gereja,
keuskupan maumere,
mgr g cherubim pareira svd,
panti santa dymphna,
sikka
06 November 2010
Matim & “Dagang Bodok”
Tambang Mangan di Serise
Oleh Frans Anggal
Masyarakat adat Serise, Kecamatan Lambaaleda, Kabupaten Matim, berdemo ke PT Arumbai, Kamis 4 November 2010. Mereka desak perusahaan tambang mangan itu hentikan eksploitasi. Wilayah itu tanah mereka, yang tidak pernah mereka izinkan ditambang (Flores Pos Jumat 5 November 2010).
“Selama ini pihak perusahaan beralasan, usaha itu bisa dilakukan karena telah dapat restu warga Satar Teu. Padahal, lokasi itu tanah lingko milik warga Serise. Karena itu warga tolak dan mau usir perusahaan itu,” kata Koordinator JPIC Keuskupan Ruteng, Romo Chrales Suwendi Pr.
Kepala Perwakilan PT Arumbai, Ahmadi, mengajak duduk bersama dan berdiskusi, melibatkan pemkab dan DPRD. Ia juga tawarkan, “Kalau merasa keberatan dengan perusahaan kami, silakan ajukan proses hukum. PT Arumbai legal melakukan aktivitas di lokasi yang ada saat ini.”
Menambang di lokasi tanpa izin pemilik tanah. Inilah dasar penolakan masyarakat Serise. Restu warga Satar Teu yang didalihkan perusahaan adalah restu tidak berdasar. Tanah bernama Lingko Rengge itu milik Serise, bukan milik Satar Teu. Perusahaan mendapat restu dari pihak yang tidak berhak. Prosedurnya tidak legal. Maka, penambangnya tidak legal.
Dasar lain penolakan adalah dampaknya. Eksploitasi sudah 30 tahun, sejak 1980-an. Semula oleh PT Aneka Tambang, lalu oleh PT Arumbai sejak 1997. Lubang tambang menganga lebar dan dalam. Lahan pertanian rakyat hancur permanen. Mereka tetap miskin. Makin sengsara. Tiap hari menghirup debu mangan. Demikian tulis Pater Alex Jebadu SVD dalam artikelnya ”Jeritan Masyarakat Lingkar Tambang Torong Besi dan Serise di Manggarai, Flores, NTT” (adatlist@yahoogroups.com).
Kalau mereka miskin, apakah daerahnya kaya? Dengan perusakan lingkungan secara massif dan permanen, apakah tambang signifikan menyumbangkan PAD? Pelatihan monitoring APBD oleh Almadi di Pagal, Manggarai, 2009, menemukan kenyataan: pertambangan ini tidak terakomodasi dalam PAD. Ini yang oleh orang Flores disebut “rugi dobel”. Lingkungan hancur, rakyat miskin, daerah tidak dapat apa-apa.
Yang dikorbankan tidak sebanding dengan yang diperoleh. Orang Manggarai menyebutnya “dagang bodok”. Ilustrasinya yang terkenal: beli satu sisir pisang Rp5.000, jual lagi Rp4.000, maka untungnya Rp1.000. Ilustrasi lain: si “bodok” ke pasar hendak jual pisang. Di tengah jalan ia lapar. Pisang ia makan. Ia lanjutkan perjalanan ke pasar, lalu balik ke rumah. Ia merasa sudah berdagang.
Dengan varian lain, tambang mangan di Serise itu “dagang bodok” juga. Bagi investor, tambang itu menguntungkan. Bagi daerah dan rakyat, membuntungkan. Buntung tapi koq---dasar “dagang bodok”---dibiarkan terus.
Dalam “dagang bodok” ini, demo masyarakat adat Serise dan sikap mereka tolak tambang merupakan pencerahan budi. Orang kecil yang sering dianggap bodoh ini ternyata lebih bijaksana daripada bupati, wabup, dan agggota dewan. Tambang mangan di Matim sudah sangat merusak, tapi pemkab dan DPRD-nya tenang-tenang saja.
Kita patut bertanya: ada apa koq tenang-tenang saja? Karena rakyatnya untung? Jelas tidak. Karena daerahnya untung? Juga tidak. Mereka tenang-tenang saja karena mungkin justru merekalah yang untung. Daerahnya dibeli murah, dikeruk mudah, oleh tamu mampir ngombe (meka liba salang). Kasihan. Matim tetap berkanjang dalam “dagang bodok”.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 6 November 2010
Oleh Frans Anggal
Masyarakat adat Serise, Kecamatan Lambaaleda, Kabupaten Matim, berdemo ke PT Arumbai, Kamis 4 November 2010. Mereka desak perusahaan tambang mangan itu hentikan eksploitasi. Wilayah itu tanah mereka, yang tidak pernah mereka izinkan ditambang (Flores Pos Jumat 5 November 2010).
“Selama ini pihak perusahaan beralasan, usaha itu bisa dilakukan karena telah dapat restu warga Satar Teu. Padahal, lokasi itu tanah lingko milik warga Serise. Karena itu warga tolak dan mau usir perusahaan itu,” kata Koordinator JPIC Keuskupan Ruteng, Romo Chrales Suwendi Pr.
Kepala Perwakilan PT Arumbai, Ahmadi, mengajak duduk bersama dan berdiskusi, melibatkan pemkab dan DPRD. Ia juga tawarkan, “Kalau merasa keberatan dengan perusahaan kami, silakan ajukan proses hukum. PT Arumbai legal melakukan aktivitas di lokasi yang ada saat ini.”
Menambang di lokasi tanpa izin pemilik tanah. Inilah dasar penolakan masyarakat Serise. Restu warga Satar Teu yang didalihkan perusahaan adalah restu tidak berdasar. Tanah bernama Lingko Rengge itu milik Serise, bukan milik Satar Teu. Perusahaan mendapat restu dari pihak yang tidak berhak. Prosedurnya tidak legal. Maka, penambangnya tidak legal.
Dasar lain penolakan adalah dampaknya. Eksploitasi sudah 30 tahun, sejak 1980-an. Semula oleh PT Aneka Tambang, lalu oleh PT Arumbai sejak 1997. Lubang tambang menganga lebar dan dalam. Lahan pertanian rakyat hancur permanen. Mereka tetap miskin. Makin sengsara. Tiap hari menghirup debu mangan. Demikian tulis Pater Alex Jebadu SVD dalam artikelnya ”Jeritan Masyarakat Lingkar Tambang Torong Besi dan Serise di Manggarai, Flores, NTT” (adatlist@yahoogroups.com).
Kalau mereka miskin, apakah daerahnya kaya? Dengan perusakan lingkungan secara massif dan permanen, apakah tambang signifikan menyumbangkan PAD? Pelatihan monitoring APBD oleh Almadi di Pagal, Manggarai, 2009, menemukan kenyataan: pertambangan ini tidak terakomodasi dalam PAD. Ini yang oleh orang Flores disebut “rugi dobel”. Lingkungan hancur, rakyat miskin, daerah tidak dapat apa-apa.
Yang dikorbankan tidak sebanding dengan yang diperoleh. Orang Manggarai menyebutnya “dagang bodok”. Ilustrasinya yang terkenal: beli satu sisir pisang Rp5.000, jual lagi Rp4.000, maka untungnya Rp1.000. Ilustrasi lain: si “bodok” ke pasar hendak jual pisang. Di tengah jalan ia lapar. Pisang ia makan. Ia lanjutkan perjalanan ke pasar, lalu balik ke rumah. Ia merasa sudah berdagang.
Dengan varian lain, tambang mangan di Serise itu “dagang bodok” juga. Bagi investor, tambang itu menguntungkan. Bagi daerah dan rakyat, membuntungkan. Buntung tapi koq---dasar “dagang bodok”---dibiarkan terus.
Dalam “dagang bodok” ini, demo masyarakat adat Serise dan sikap mereka tolak tambang merupakan pencerahan budi. Orang kecil yang sering dianggap bodoh ini ternyata lebih bijaksana daripada bupati, wabup, dan agggota dewan. Tambang mangan di Matim sudah sangat merusak, tapi pemkab dan DPRD-nya tenang-tenang saja.
Kita patut bertanya: ada apa koq tenang-tenang saja? Karena rakyatnya untung? Jelas tidak. Karena daerahnya untung? Juga tidak. Mereka tenang-tenang saja karena mungkin justru merekalah yang untung. Daerahnya dibeli murah, dikeruk mudah, oleh tamu mampir ngombe (meka liba salang). Kasihan. Matim tetap berkanjang dalam “dagang bodok”.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 6 November 2010
Label:
flores,
flores pos,
hukum,
manggarai timur,
pertambangan,
serise,
tambang mangan
05 November 2010
Ruteng dan Credo Jilid II
Jadikan Ruteng Aman, Nyaman, Tertib
Oleh Frans Anggal
Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, adalah kota dingin yang cantik. Pada zaman penjajahan Belanda, dalam hal satu ini, Ruteng disetarakan dengan Bandung. Kalau Bandung itu “Paris van Java”, Ruteng itu “Bandung van Flores”.
Didukung hospitalitas masyarakatnya, “Bandung van Flores” kala itu tercitra sangat positif. Sekarang? Simaklah beritanya. Pertama: ”Polisi Kembali Tangkap Penjudi Kartu”. Ini judul berita utama Flores Pos Rabu 5 Mei 2010. Kata ”kembali” itu menunjukkan berulangnya penangkapan, karena berulangnya perjudian. Ruteng identik dengan dan masih tetap sebagai kota penjudi.
Beberapa tahun lalu, di Ruteng, beberapa anggota DPRD 2004-2009 tertangkap tangan berjudi kartu. Ada yang masuk penjara. Itu judi kelas berat. Judi kelas ringannya tak terbilang. Yang kaya, yang miskin, laki-laki, perempuan, suka judi. Berbagai upaya penyadaran dan pemberantasan sudah dilakukan, baik oleh negara maupun oleh Gereja. Belum mempan.
Berita kedua: “Sepeda Motor Raib Sekejap”. Ini judul berita utama Flores Pos Kamis 4 November 2010. Kejadiannya di Ruteng juga, siang hari, di pelataran parkir BRI. Teras beritanya: “Pencurian di siang bolong kembali terjadi di kota Ruteng. Pekan lalu, uang Rp30 juta raib dari mobil. Kali ini, sepeda motor ….”
Berita ini ditutup dengan pernyataan Kasat Reskrim Okto Wadu Ere, “… belakangan ini marak pencurian di kota Ruteng dan sekitarnya.” Frasa “belakangan ini”---kalau polisi mau jujur---harus diganti dengan frasa “beberapa tahun terakhir”. Pencurian bukan hanya berulang, tapi sudah marak. Makna leksikal kata “marak”: terang, mencolok. Makna popularnya: ramai. Bayangkan, ramainya pencurian.
Dengan gejala ini, tampaknya Ruteng tidak cukup digelari kota penjudi. Atributnya kini bertambah: kota pencuri. Dengan dua penyakit sosial ini, yang tak lapuk kena hujan pemberantasan, huruf “n” pada “Bandung van Flores” tampaknya harus dicopot. Ruteng kini hanyalah “Badung van Flores”. Badung berarti nakal, bandel, susah diajar.
Betapa tidak badung. Penangkapan berulang-ulang, pemenjaraan berkali-kali, publikasi bertubi-tubi, namun judi dan sekarang curi tidak semakin berkurang. Belasan tahun lalu, Gereja Keuskupan Ruteng sampai bikin lokakarya, rekoleksi, katekese, dan doa khusus menghilangkan judi. Belum mempan.
Kota “badung” mengingatkan kita akan Medellin di Kolombia. Era 1980 hingga 1990-an, Medellin terkenal sebagai kota dengan tingkat kriminalitas tertinggi di dunia. Kota ini paling berkuasa dalam perdagangan narkoba internasional, dengan organisasi terkenalnya Medellin Cartel pimpinan Pablo Escobar, yang selalu menyebabkan Kolombia tidak aman. Pada 1991 tercatat 6.349 pembunuhan, 10 kali lipat dari Chicago di AS. Tahun 1981 pemerintah AS menutup konsulernya di kota ini dengan alasan keamanan (http://id.wikipedia.org).
Namun kini, di awal abad 21, Medellin berubah. Citranya membaik. Pemerintah dan warga kota bahu-membahu menghapus citra buruk Medellin. Perubahan sosial dan ekonomi terasa. Tahun 2005 tingkat pembunuhan menurun hingga pada posisi terendah selama 20 tahun terakhir. Medellin akhirnya bisa menjadi kota aman bagi penduduk dan wisatawan.
Kalau Medellin bisa, kenapa Ruteng tidak. Kita titipkan harapan ini pada Credo Jilid II. Jilid II itu jilid pamungkas, masa jabatan terakhir Bupati Chris Rotok dan Wabup Kamelus Deno. Jadikan Ruteng kota aman, kota nyaman, kota tertib.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 5 November 2010
Oleh Frans Anggal
Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, adalah kota dingin yang cantik. Pada zaman penjajahan Belanda, dalam hal satu ini, Ruteng disetarakan dengan Bandung. Kalau Bandung itu “Paris van Java”, Ruteng itu “Bandung van Flores”.
Didukung hospitalitas masyarakatnya, “Bandung van Flores” kala itu tercitra sangat positif. Sekarang? Simaklah beritanya. Pertama: ”Polisi Kembali Tangkap Penjudi Kartu”. Ini judul berita utama Flores Pos Rabu 5 Mei 2010. Kata ”kembali” itu menunjukkan berulangnya penangkapan, karena berulangnya perjudian. Ruteng identik dengan dan masih tetap sebagai kota penjudi.
Beberapa tahun lalu, di Ruteng, beberapa anggota DPRD 2004-2009 tertangkap tangan berjudi kartu. Ada yang masuk penjara. Itu judi kelas berat. Judi kelas ringannya tak terbilang. Yang kaya, yang miskin, laki-laki, perempuan, suka judi. Berbagai upaya penyadaran dan pemberantasan sudah dilakukan, baik oleh negara maupun oleh Gereja. Belum mempan.
Berita kedua: “Sepeda Motor Raib Sekejap”. Ini judul berita utama Flores Pos Kamis 4 November 2010. Kejadiannya di Ruteng juga, siang hari, di pelataran parkir BRI. Teras beritanya: “Pencurian di siang bolong kembali terjadi di kota Ruteng. Pekan lalu, uang Rp30 juta raib dari mobil. Kali ini, sepeda motor ….”
Berita ini ditutup dengan pernyataan Kasat Reskrim Okto Wadu Ere, “… belakangan ini marak pencurian di kota Ruteng dan sekitarnya.” Frasa “belakangan ini”---kalau polisi mau jujur---harus diganti dengan frasa “beberapa tahun terakhir”. Pencurian bukan hanya berulang, tapi sudah marak. Makna leksikal kata “marak”: terang, mencolok. Makna popularnya: ramai. Bayangkan, ramainya pencurian.
Dengan gejala ini, tampaknya Ruteng tidak cukup digelari kota penjudi. Atributnya kini bertambah: kota pencuri. Dengan dua penyakit sosial ini, yang tak lapuk kena hujan pemberantasan, huruf “n” pada “Bandung van Flores” tampaknya harus dicopot. Ruteng kini hanyalah “Badung van Flores”. Badung berarti nakal, bandel, susah diajar.
Betapa tidak badung. Penangkapan berulang-ulang, pemenjaraan berkali-kali, publikasi bertubi-tubi, namun judi dan sekarang curi tidak semakin berkurang. Belasan tahun lalu, Gereja Keuskupan Ruteng sampai bikin lokakarya, rekoleksi, katekese, dan doa khusus menghilangkan judi. Belum mempan.
Kota “badung” mengingatkan kita akan Medellin di Kolombia. Era 1980 hingga 1990-an, Medellin terkenal sebagai kota dengan tingkat kriminalitas tertinggi di dunia. Kota ini paling berkuasa dalam perdagangan narkoba internasional, dengan organisasi terkenalnya Medellin Cartel pimpinan Pablo Escobar, yang selalu menyebabkan Kolombia tidak aman. Pada 1991 tercatat 6.349 pembunuhan, 10 kali lipat dari Chicago di AS. Tahun 1981 pemerintah AS menutup konsulernya di kota ini dengan alasan keamanan (http://id.wikipedia.org).
Namun kini, di awal abad 21, Medellin berubah. Citranya membaik. Pemerintah dan warga kota bahu-membahu menghapus citra buruk Medellin. Perubahan sosial dan ekonomi terasa. Tahun 2005 tingkat pembunuhan menurun hingga pada posisi terendah selama 20 tahun terakhir. Medellin akhirnya bisa menjadi kota aman bagi penduduk dan wisatawan.
Kalau Medellin bisa, kenapa Ruteng tidak. Kita titipkan harapan ini pada Credo Jilid II. Jilid II itu jilid pamungkas, masa jabatan terakhir Bupati Chris Rotok dan Wabup Kamelus Deno. Jadikan Ruteng kota aman, kota nyaman, kota tertib.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 5 November 2010
04 November 2010
Matahari Itu Terbit di Barat
Gereja dan Tolak Tambang di Flores-Lembata
Oleh Frans Anggal
Pekan ini, Flores-Lembata seperti dikepung tolak tambang. Di timur, dilakukan oleh berbagai elemen civil society, yang menggelar Mubes V Petani dan Nelayan, di Hokeng, 27-30 Oktober 2010. Di barat, dilakukan tidak hanya oleh elemen civil society tapi juga oleh pemkab.
Di timur, petani dan nelayan Flores-Lembata dan pulau sekitarnya bersikukuh menolak segala upaya eksplorasi dan eksploitasi tambang. Karena itu, mereka juga menolak segala upaya regulasi dan kebijakan yang membahayakan keselamatan ekologi dan ekososial (Flores Pos Rabu 3 November 2010).
Di barat, di Labuan Bajo, ibu kota Mabar, Senin 1 November 2010, Geram gelar unjuk rasa tolak tambang. Pada hari itu juga, Bupati Agus Ch Dula gelar pertemun dengan para investor tambang. Di hadapan investor, ia nyatakan tolak tambang. Di hadapan Geram, ia juga nyatakan tetap tolak tambang (Flores Pos Rabu 3 November 2010).
“Dalam pertemuan kami dengan investor barusan, kami nyatakan sikap bahwa kami tolak tambang,” kata bupati, disambut tepuk tangan aktivis Geram. Ia lalu bertanya: kalau investor tambang lakukan sosialisasi, apakah Geram setuju? Tidak, jawab Ketua Umum Florianus Suryon. “Kalau begitu, baik,” kata bupati. “Kami akan tindak lanjuti.”
Dalam sejarah tolak tambang di Flores-Lembata, wacana dan perjuangannya dimulai di timur, di Lembata. JPIC SVD Ende, JPIC OFM Indonesia, dan berbagai elemen civil society turun gunung. Masyarakat pun tercerahkan dan sadar. Mereka ambil sikap jelas-tegas-definitif tolak tambang. Sikap ini justru tidak diperlihatkan hierarki Gerejanya. Tercitra: di hadapan penguasa, Gerejanya bungkam. Di hadapan krisis, Gerejanya gamang.
Sikap Gereja seperti ini kontributif bagi ngototnya Pemkab Lembata loloskan tambang. Belum lolos. Tapi DPRD-nya mulai pecah belah saat bahas Ranperda RTRW. Perda itu pintu masuk tambang. Kalau pintu ini terbuka sehingga akhirnya ekologi dan ekososial Lembata hancur, Gereja ikut berdosa.
Gereja harus independen, tapi bukan netral. Dalam hal tambang, netral itu sikap yang salah secara logis, buruk secara etis, dan berbahaya secara praktis. Allah, menurut Alkitab, bukankah Allah yang netral. Teks-teks Alkitab gamblang menggambarkan Allah yang berpihak pada kaum miskin, orang-orang kecil (Herman Hendriks CICM: 1985). Kenapa?
Allah memihak mereka bukan karena mereka lebih baik dan lebih saleh. Bukan. Allah memihak, karena mereka tidak berdaya, kurang diperhatikan sesama, dan karenanya mudah jadi korban. Pada prinsipnya, Allah perhatikan semua orang. Ia mau selamatkan seluruh umat manusia. Namun, perhatian-Nya pertama-tama ditujukan pada titik di mana kemanusiaan paling terancam.
Ketika di timur Flores-Lembata fajar ilahi itu seakan tak menyingsing, kita kecewa. Namun kita dilegakan tatkala matahari itu terbit di barat. Gereja Keuskupan Ruteng jelas-tegas tolak tambang. Buahnya pun mulai nyata. Pemkab Mabar pun akhirnya tolak tambang.
Flores-Lembata “pulau Katolik”. Gereja Katolik masih tetap jadi referensi utama etika dan moral publik. Bungkamnya Gereja di hadapan penguasa, dan tidak jelas-tegasnya keberpihakannya dalam (ancaman) krisis lingkungan, tragedi kemiskinan, dan pelanggaran HAM, hanya akan membuat umat kehilangan pegangan bersama, tercerai-berai, dan akhirnya selalu mudah dimangsa.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 4 November 2010
Oleh Frans Anggal
Pekan ini, Flores-Lembata seperti dikepung tolak tambang. Di timur, dilakukan oleh berbagai elemen civil society, yang menggelar Mubes V Petani dan Nelayan, di Hokeng, 27-30 Oktober 2010. Di barat, dilakukan tidak hanya oleh elemen civil society tapi juga oleh pemkab.
Di timur, petani dan nelayan Flores-Lembata dan pulau sekitarnya bersikukuh menolak segala upaya eksplorasi dan eksploitasi tambang. Karena itu, mereka juga menolak segala upaya regulasi dan kebijakan yang membahayakan keselamatan ekologi dan ekososial (Flores Pos Rabu 3 November 2010).
Di barat, di Labuan Bajo, ibu kota Mabar, Senin 1 November 2010, Geram gelar unjuk rasa tolak tambang. Pada hari itu juga, Bupati Agus Ch Dula gelar pertemun dengan para investor tambang. Di hadapan investor, ia nyatakan tolak tambang. Di hadapan Geram, ia juga nyatakan tetap tolak tambang (Flores Pos Rabu 3 November 2010).
“Dalam pertemuan kami dengan investor barusan, kami nyatakan sikap bahwa kami tolak tambang,” kata bupati, disambut tepuk tangan aktivis Geram. Ia lalu bertanya: kalau investor tambang lakukan sosialisasi, apakah Geram setuju? Tidak, jawab Ketua Umum Florianus Suryon. “Kalau begitu, baik,” kata bupati. “Kami akan tindak lanjuti.”
Dalam sejarah tolak tambang di Flores-Lembata, wacana dan perjuangannya dimulai di timur, di Lembata. JPIC SVD Ende, JPIC OFM Indonesia, dan berbagai elemen civil society turun gunung. Masyarakat pun tercerahkan dan sadar. Mereka ambil sikap jelas-tegas-definitif tolak tambang. Sikap ini justru tidak diperlihatkan hierarki Gerejanya. Tercitra: di hadapan penguasa, Gerejanya bungkam. Di hadapan krisis, Gerejanya gamang.
Sikap Gereja seperti ini kontributif bagi ngototnya Pemkab Lembata loloskan tambang. Belum lolos. Tapi DPRD-nya mulai pecah belah saat bahas Ranperda RTRW. Perda itu pintu masuk tambang. Kalau pintu ini terbuka sehingga akhirnya ekologi dan ekososial Lembata hancur, Gereja ikut berdosa.
Gereja harus independen, tapi bukan netral. Dalam hal tambang, netral itu sikap yang salah secara logis, buruk secara etis, dan berbahaya secara praktis. Allah, menurut Alkitab, bukankah Allah yang netral. Teks-teks Alkitab gamblang menggambarkan Allah yang berpihak pada kaum miskin, orang-orang kecil (Herman Hendriks CICM: 1985). Kenapa?
Allah memihak mereka bukan karena mereka lebih baik dan lebih saleh. Bukan. Allah memihak, karena mereka tidak berdaya, kurang diperhatikan sesama, dan karenanya mudah jadi korban. Pada prinsipnya, Allah perhatikan semua orang. Ia mau selamatkan seluruh umat manusia. Namun, perhatian-Nya pertama-tama ditujukan pada titik di mana kemanusiaan paling terancam.
Ketika di timur Flores-Lembata fajar ilahi itu seakan tak menyingsing, kita kecewa. Namun kita dilegakan tatkala matahari itu terbit di barat. Gereja Keuskupan Ruteng jelas-tegas tolak tambang. Buahnya pun mulai nyata. Pemkab Mabar pun akhirnya tolak tambang.
Flores-Lembata “pulau Katolik”. Gereja Katolik masih tetap jadi referensi utama etika dan moral publik. Bungkamnya Gereja di hadapan penguasa, dan tidak jelas-tegasnya keberpihakannya dalam (ancaman) krisis lingkungan, tragedi kemiskinan, dan pelanggaran HAM, hanya akan membuat umat kehilangan pegangan bersama, tercerai-berai, dan akhirnya selalu mudah dimangsa.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 4 November 2010
Label:
agama,
bentara,
flores,
flores pos,
gereja,
lingkungan,
tambang
02 November 2010
Bersikap dan Bertindaklah
DPRD Manggarai Timur Jangan Pasif
Oleh Frans Anggal
Menanggapi berita dan ulasan “Bentara” Flores Pos tentang kasus tertembaknya warga Desa Rana Mbeling, Manggarai Timur, dalam operasi penertiban perjudian oleh polisi, para facebooker berikan komentar. Ada yang pertanyakan kebenaran protap. Ada pula yang sarankan langkah mendesak dan strategis.
Gonza Jegaut dari Manggarai pertentangkan penjelasan resmi Kapolres Hambali dengan kenyataan bahwa korban tertembak di perut tembus punggung. Menurut kapolres, korban ditembak karena larikan diri saat hendak ditangkap. Polisi sudah dua kali keluarkan tembakan peringatan, tetapi korban tetap berusaha kabur. Korban terpaksa ditembak.
Kata Gonza? “Tembakannya mengenai perut tembus punggung … berarti ditembak dari arah depan …. Mungkin korban lari mundur atau atret? Atau lari ke arah polisi yang tidak kelihatan atau incognito?”
Pertanyaan Gonza memperlihatkan tidak masuk akalnya penjelasan kapolres, betapapun penjelasan itu resmi. Kalau benar korban larikan diri, logisnya belakang tubuhnyalah yang tertembak, dan semestinya kakinyalah yang jadi sasaran, karena penembakan hanyalah upaya pelumpuhan.
Penjelasan resmi yang tidak masuk akal dan pertanyaan falsifikatif publik terhadapnya membawa dua dampak. Di satu sisi, meruntuhkan kredibiltas pernyataan kapolres. Di lain sisi, meneguhkan kepercayaan publik terhadap penjelasan korban. Menurut korban, dia dan dua temannya sedang berjudi bola guling saat polisi datang. ”Seorang anggota polisi langsung merangkul leher saya dan menodongkan pistol ke perut. Pistol kemudian meledak.”
Ini lebih masuk akal, maka lebih terpercaya. Karena itu, facebooker lain memberi saran agar polisi si tukang tembak segera diproses secara hukum dan kode etik. Pascal Baut dari Jakarta seakan setengah berteriak: “Laporkan langsung ke Propam Mabes Polri, Bung!” Sarannya patut dipertimbangkan. Yang jadi pertanyaan: siapa yang melapor?
Manggarai Raya punya banyak elemen civil society. Tapi juga, khusus dalam kasus ini, Manggarai Timur punya wakil rakyat. Apa sikap dan tindakan DPRD ketika warga yang suaranya mereka ngemis saat kampanye pemilu, kini ditembak aparatur negara? Bertolak dari keyakinan bahwa tindakan itu cerminan rendahnya kualitas polisi, Romo Edigius Menori Pr dari Filipina mengharapkan sesuatu dari DPRD. “Semoga DPRD Manggarai Timur bisa menunjukkan bahwa mereka juga berkualitas.”
Harapan itu megandung dua hal. Minimal: DPRD mampu dan mau bersuara tegas dan jelas. Ideal: mereka mampu dan mau menginisiatifi investagasi. Duduk soal kasus ini harus klir dan transparan. Ini dasar penting bagi penegakan hukum dan pencapaian keadilan. Maka, segala upaya mengaburkan apalagi menguburkan fakta tidak boleh dibiarkan.
“Menggunakan kekerasan senjata untuk menangkap yang diduga melakukan kejahatan atau melanggar hukum bisa dinilai bodoh,” tulis Romo Edi. “Saya kira alasan-alasan seperti ini melatarbelakangi tuntutan publik (akan) perlunya reformasi internal kepolisian di Tanah Air.” Benar. Dibanding dengan TNI, Polri kalah capat mereformasi diri. Secara doktrinal sudah, secara aktual belum. Ortodoksinya bagus, ortopraksinya parah.
Warga perlu berpartisipasi mereformasi polisi. Kalau tidak secara doktrinal, ya secara aktual, bahkan bisa lebih khusus lagi secara kasual seperti pada kasus ini. Misi inilah yang mendorong kita mendesak DPRD Manggarai Timur tidak pasif. Bersikap dan bertindaklah!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 3 November 2010
Oleh Frans Anggal
Menanggapi berita dan ulasan “Bentara” Flores Pos tentang kasus tertembaknya warga Desa Rana Mbeling, Manggarai Timur, dalam operasi penertiban perjudian oleh polisi, para facebooker berikan komentar. Ada yang pertanyakan kebenaran protap. Ada pula yang sarankan langkah mendesak dan strategis.
Gonza Jegaut dari Manggarai pertentangkan penjelasan resmi Kapolres Hambali dengan kenyataan bahwa korban tertembak di perut tembus punggung. Menurut kapolres, korban ditembak karena larikan diri saat hendak ditangkap. Polisi sudah dua kali keluarkan tembakan peringatan, tetapi korban tetap berusaha kabur. Korban terpaksa ditembak.
Kata Gonza? “Tembakannya mengenai perut tembus punggung … berarti ditembak dari arah depan …. Mungkin korban lari mundur atau atret? Atau lari ke arah polisi yang tidak kelihatan atau incognito?”
Pertanyaan Gonza memperlihatkan tidak masuk akalnya penjelasan kapolres, betapapun penjelasan itu resmi. Kalau benar korban larikan diri, logisnya belakang tubuhnyalah yang tertembak, dan semestinya kakinyalah yang jadi sasaran, karena penembakan hanyalah upaya pelumpuhan.
Penjelasan resmi yang tidak masuk akal dan pertanyaan falsifikatif publik terhadapnya membawa dua dampak. Di satu sisi, meruntuhkan kredibiltas pernyataan kapolres. Di lain sisi, meneguhkan kepercayaan publik terhadap penjelasan korban. Menurut korban, dia dan dua temannya sedang berjudi bola guling saat polisi datang. ”Seorang anggota polisi langsung merangkul leher saya dan menodongkan pistol ke perut. Pistol kemudian meledak.”
Ini lebih masuk akal, maka lebih terpercaya. Karena itu, facebooker lain memberi saran agar polisi si tukang tembak segera diproses secara hukum dan kode etik. Pascal Baut dari Jakarta seakan setengah berteriak: “Laporkan langsung ke Propam Mabes Polri, Bung!” Sarannya patut dipertimbangkan. Yang jadi pertanyaan: siapa yang melapor?
Manggarai Raya punya banyak elemen civil society. Tapi juga, khusus dalam kasus ini, Manggarai Timur punya wakil rakyat. Apa sikap dan tindakan DPRD ketika warga yang suaranya mereka ngemis saat kampanye pemilu, kini ditembak aparatur negara? Bertolak dari keyakinan bahwa tindakan itu cerminan rendahnya kualitas polisi, Romo Edigius Menori Pr dari Filipina mengharapkan sesuatu dari DPRD. “Semoga DPRD Manggarai Timur bisa menunjukkan bahwa mereka juga berkualitas.”
Harapan itu megandung dua hal. Minimal: DPRD mampu dan mau bersuara tegas dan jelas. Ideal: mereka mampu dan mau menginisiatifi investagasi. Duduk soal kasus ini harus klir dan transparan. Ini dasar penting bagi penegakan hukum dan pencapaian keadilan. Maka, segala upaya mengaburkan apalagi menguburkan fakta tidak boleh dibiarkan.
“Menggunakan kekerasan senjata untuk menangkap yang diduga melakukan kejahatan atau melanggar hukum bisa dinilai bodoh,” tulis Romo Edi. “Saya kira alasan-alasan seperti ini melatarbelakangi tuntutan publik (akan) perlunya reformasi internal kepolisian di Tanah Air.” Benar. Dibanding dengan TNI, Polri kalah capat mereformasi diri. Secara doktrinal sudah, secara aktual belum. Ortodoksinya bagus, ortopraksinya parah.
Warga perlu berpartisipasi mereformasi polisi. Kalau tidak secara doktrinal, ya secara aktual, bahkan bisa lebih khusus lagi secara kasual seperti pada kasus ini. Misi inilah yang mendorong kita mendesak DPRD Manggarai Timur tidak pasif. Bersikap dan bertindaklah!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 3 November 2010
Label:
bentara,
dprd manggarai timur,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus penembakan,
manggarai timur,
polisi
01 November 2010
Untuk DPRD Matim
Lakukan Investigasi Kasus Penembakan
Saat menggerebek perjudian bola guling di Desa Rana Mbeling, Kecamatan Kotakomba, Kabupaten Manggarai, seorang dari tiga polisi menembak seorang penjudi, warga setempat. Tembakannya mengenai perut, tembus punggung. Versi polisi: korban ditembak karena berusaha larikan diri setelah dua kali diberi tembakan peringatan.
Versi korban: dia dan dua temannya sedang berjudi saat polisi datang. Mereka tertangkap tangan. Mereka tidak bisa buat apa-apa lagi. ”Seorang anggota polisi langsung merangkul leher saya dan menodongkan pistol ke perut. Pistol kemudian meledak” (Flores Pos Sabtu 30 Oktober 2010).
Versi mana yang benar? Proses hukum yang verifikatif akan menjawabnya. Versi polisi tampak ”protap banget”. Terkesan memenuhi prosedur tetap sehingga menembak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Pernyataan pers Kapolres Hambali pun meneguhkan telah terpenuhinya protap dan---sebagai konsekuensinya---membenarkan penembakan.
Dia bilang, korban ditembak karena larikan diri saat hendak ditangkap. Sebelumnya, polisi sudah dua kali keluarkan tembakan peringatan, tetapi korban tetap berusaha kabur dari kejaran polisi. Korban terpaksa ditembak. Penjelasan ini penjelasan resmi. Namun, apalah artinya penjelasan resmi.
Penjelasan resmi tidak sama dengan penjelasan benar. Kalau yang dirujuk hanya keterangan polisi pelaku penembakan, penjelasan itu penjelasan sepihak. Kalau perujukan itu dilakukan hanya karena pelakunya polisi anak buah kapolres, penjelasan itu penjelasan bela korps. Baik penjelasan sepihak maupun penjesan bela korps sama-sama tidak verifikatif dan tidak adil.
Ditengarai dan patut dapat diduga, penjelasan kapolres terindikasi sepihak dan sekadar bela korps. Karena itu, proses legal atas kasus ini perlu disertai bahkan mendesak didahuli proses paralegal investigasi. Yang pertama itu urusan lembaga hukum: polisi. Yang kedua itu urusan lembaga politik: DPRD.
Anggota DPRD Manggarai Timur (Matim) dari dapil tempat kejadian perkara perlu tergerak menginisiatifi investigasi. Ingat: warga konstituen Anda sedang berhadapan dengan institusi negara bernama kepolisian, setelah dikorbankan oleh aparaturnya bernama polisi, atas nama sebuah protap, yang kebenaran aplikasinya di lapangan masih patut dipertanyakan.
Kita harapkan DPRD Manggarai Timur menginvestigasi kasus ini dengan perspektif korban. Perspektif korban penting guna mengimbangi perspektif pelaku yang tindakannya jelas-jelas dibenarkan dan dibela kapolres. Korban di sini adalah warga. Di hadapan institusi negara yang powerfull, warga adalah kaum kecil dan lemah. Sebagai yang kecil dan lemah, mereka kelompok rentan. Hak asasi dan hak hukumnya terancam diabakan.
Bahwa secara hukum dan moral mereka bersalah karena berjudi, ya. Untuk perbuatannya itu, mereka patut dihukum, ya. Ini tidak kita persoalkan. Yang kita soroti adalah tindakan polisi yang overdosis serta sikap kapolres yang overprotektif terhadap anak buahnya. Ini harus dilawan. Jangan dibiarkan.
Tanpa investigasi pun, kejanggalan sudah tampak kasat mata. Kalau benar korban larikan diri, kenapa tidak tembak di kakinya? Koq tembaknya di perut? Lalu, yang sebenarnya larikan diri itu siapa? Para penjudi atau justru ketiga polisi? Berita menyebutkan: setelah menembak korban, ketiga polisi melarikan diri. Ole, kita jadi bingung e, siapa penjahatnya di sini. Penjudi atau polisi?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 2 November 2010
Saat menggerebek perjudian bola guling di Desa Rana Mbeling, Kecamatan Kotakomba, Kabupaten Manggarai, seorang dari tiga polisi menembak seorang penjudi, warga setempat. Tembakannya mengenai perut, tembus punggung. Versi polisi: korban ditembak karena berusaha larikan diri setelah dua kali diberi tembakan peringatan.
Versi korban: dia dan dua temannya sedang berjudi saat polisi datang. Mereka tertangkap tangan. Mereka tidak bisa buat apa-apa lagi. ”Seorang anggota polisi langsung merangkul leher saya dan menodongkan pistol ke perut. Pistol kemudian meledak” (Flores Pos Sabtu 30 Oktober 2010).
Versi mana yang benar? Proses hukum yang verifikatif akan menjawabnya. Versi polisi tampak ”protap banget”. Terkesan memenuhi prosedur tetap sehingga menembak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Pernyataan pers Kapolres Hambali pun meneguhkan telah terpenuhinya protap dan---sebagai konsekuensinya---membenarkan penembakan.
Dia bilang, korban ditembak karena larikan diri saat hendak ditangkap. Sebelumnya, polisi sudah dua kali keluarkan tembakan peringatan, tetapi korban tetap berusaha kabur dari kejaran polisi. Korban terpaksa ditembak. Penjelasan ini penjelasan resmi. Namun, apalah artinya penjelasan resmi.
Penjelasan resmi tidak sama dengan penjelasan benar. Kalau yang dirujuk hanya keterangan polisi pelaku penembakan, penjelasan itu penjelasan sepihak. Kalau perujukan itu dilakukan hanya karena pelakunya polisi anak buah kapolres, penjelasan itu penjelasan bela korps. Baik penjelasan sepihak maupun penjesan bela korps sama-sama tidak verifikatif dan tidak adil.
Ditengarai dan patut dapat diduga, penjelasan kapolres terindikasi sepihak dan sekadar bela korps. Karena itu, proses legal atas kasus ini perlu disertai bahkan mendesak didahuli proses paralegal investigasi. Yang pertama itu urusan lembaga hukum: polisi. Yang kedua itu urusan lembaga politik: DPRD.
Anggota DPRD Manggarai Timur (Matim) dari dapil tempat kejadian perkara perlu tergerak menginisiatifi investigasi. Ingat: warga konstituen Anda sedang berhadapan dengan institusi negara bernama kepolisian, setelah dikorbankan oleh aparaturnya bernama polisi, atas nama sebuah protap, yang kebenaran aplikasinya di lapangan masih patut dipertanyakan.
Kita harapkan DPRD Manggarai Timur menginvestigasi kasus ini dengan perspektif korban. Perspektif korban penting guna mengimbangi perspektif pelaku yang tindakannya jelas-jelas dibenarkan dan dibela kapolres. Korban di sini adalah warga. Di hadapan institusi negara yang powerfull, warga adalah kaum kecil dan lemah. Sebagai yang kecil dan lemah, mereka kelompok rentan. Hak asasi dan hak hukumnya terancam diabakan.
Bahwa secara hukum dan moral mereka bersalah karena berjudi, ya. Untuk perbuatannya itu, mereka patut dihukum, ya. Ini tidak kita persoalkan. Yang kita soroti adalah tindakan polisi yang overdosis serta sikap kapolres yang overprotektif terhadap anak buahnya. Ini harus dilawan. Jangan dibiarkan.
Tanpa investigasi pun, kejanggalan sudah tampak kasat mata. Kalau benar korban larikan diri, kenapa tidak tembak di kakinya? Koq tembaknya di perut? Lalu, yang sebenarnya larikan diri itu siapa? Para penjudi atau justru ketiga polisi? Berita menyebutkan: setelah menembak korban, ketiga polisi melarikan diri. Ole, kita jadi bingung e, siapa penjahatnya di sini. Penjudi atau polisi?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 2 November 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
manggarai timur,
penembakan,
perjudian
Langganan:
Postingan (Atom)